Sikap Toleransi NU
Sikap Toleransi NU
Hasan Abrary
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara dengan jumlah pemeluk islam terbanyak
merupakan negara yang memiliki keragaman etnis, bahasa, agama, budaya,
dan status sosial. Namaun dengan keragaman tersebut, masyarakat tetap
memegang erat sebuah nilai toleransi dalam setiap ras, budaya, dan agama.
Saat ini umat islam menghadapi berbagai tuduhan, mulai tuduhan terorisme,
anti-NKRI, anti-kemajuan, intoleran, dan sebagainya.
1
Zuhairi misrawi, moderas keutamaan dan kebangsaan, (Jakarta : PT kompas Media Nusantara,
2010), Hl. 13.
2
Idem, hal. 14.
3
Khairan Muhammad arif, moderasi islam perspektif al-quran, hal. 24.
dengan istilah wasathiyyah, kata al wasath dalam ayat tersebut bermakna
terbaik dan paling sempurna. Didalam hadits populer pula disebutkan sebaik
baik perkara adalah yang ditengah-tengah. Islam moderat selalu
mengedepankan sikap toleransi, saling menghargai dengan tetap meyakini
kebenaran keyakinan masing-masing agam dan madzhab, sehingga semua
dapat menerima keputusan dengan kepala dingin tanpa harus terlibat dalam
aksi yang anarkis4.
Moderasi beragama harus dipahami sebagai sikap beragama yang
seimbang antara pengamalan agama sendiri dan penghormatan kepada praktik
beragama orang lain yang berbeda keyakinan. Keseimbangan atau jalan
tengah dalam praktik beragama ini niscaya dapat mencegah dari sifat ekstrim,
fanatik, dan sikap revolusioner dalam beragama. Seperti yang telah
diisyaratkan bahwa moderasi beragama merupakan solusi atas hadirnya dua
kutub ekstrim dalam beragama, yaitu kutub fanatik atau ekstrim kanan disatu
sisi dan liberal atau ekstrim kiri disisi lain5.
Dengan demikian moderasi beragama merupakan sebuah jalan tengah
ditengah-tengah keberagaman agama di Indonesia. Moderat dalam pandangan
islam adalah mengedepankan sikap toleran dalam perbedaan menjadi tetap
konsisten disisi perbedaannya, bukan mencampur kedua perbedaan tersebut.
Moderasi harus ditumbuh kembangkan sebagai komitmen bersama untuk
menjaga keseimbangan yang paripurna, dimana setiap suku, ras, etnis, budaya,
dan agama bisa saling mendengarkan, melatih, mengelola, dan mengatasi
perbedaan diantara mereka.
Peran seorang tokoh agama, kyai, ustadz, dan ormas-ormas dalam
masyarakat sangatlah penting, karena sebagian masyarakat masih memandang
pentingnya sosok ideal sebagai teladan dan public figure dalam kehidupan
masyarakat, salah satunya ormas penyongsong sikap moderat dalam beragama
ialah Nahdlatul Ulama.
4
Edy sutrisno, aktualisasi moderasi beragama, jurnal bimas islam, vol 12, hal. 328.
5
Ibid, hal. 330
Toleransi Sebagai Salah Satu Bentuk Moderasi Beragama
Toleransi berasal dari Bahasa latin tolerantia, yang berarti
kelonggaran, kelembutan hati, keringanan dan kesabaran. Toleransi beragama
adalah toleransi yang mencakup masalah-masalah yang berkaitan dengan
keyakinan dalam diri manusia yang berhubungan dengan akidah atau
ketuhanan yang diyakininya. Seseorang harus diberikan kebebasan untuk
meyakini dan memeluk agama yang telah dipilihnya masing-masing serta
memberi kebebasan pula atas pelaksanaan ajaran-ajaran yang dianut atau
diyakininya6.
Toleransi merupakan salah satu bentuk ekspresi seseorang dalam
berintraksi sosial. Manusia beragama secara sosial tidak dapat menafikan
bahwa mereka harus berinteraksi bukan hanya dengan kelompok mereka
sendiri, akan tetapi juga dengan kelompok yang berbeda agama atau
keyakinan7.
Salah satu basis interaksi antar ummat beragama adalah toleransi.
Karena, perbedaan bukanlah alasan untuk bertindak intoleran kepada
siapapun. Sebab itulah, kualitas beragama seseorang bisa diukur dari seberapa
bijak ia mampu berinteraksi dengan perbedaan. Maka dari itu, sikap toleran
pada dasarnya adalah mendamaikan perbedaan untuk saling menghargai dan
menghormati identitas, perilaku, dan kepentingan masing-masing8.
Perbedaan keyakinan dan agama bukanlah sebuah alasan intoleran.
Karena al-qur’an telah mejelaskan bahwa manusia diciptakan dengan
kesempurnaan moral dan akal pikiran agar bisa berpikir lebih toleran, dan al-
qur’an juga telah melarang untuk bersikap tertutup eksklusif seperti halnya
komunis yahudi dan nasrani dihadapan Nabi.
6
Casram, membangun sikap toleransi beragama dalam masyarakat plural, jurnal ilmiah agama, hal.
188.
7
Hairul puadi, islam moderat dalam konteks sosial politik di Indonesia, dalam jurnal pustaka-
desember 2014, (malang: STAI AL-Qolam gondonglegi), hal. 6-7.
8
Dr. H. Imam Taufiq, Al-Qur’an bukan kitab terror, (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2016), hal.
197.
Ummat beragama harus berupaya memunculkan toleransi untuk
mejaga kestabilan sosial, sehingga tidak akan terjadi benturan-benturan
ideologi dan fisik antar ummat yang berbeda agama.
Dalam masyarakat multikultural dengan serba keragaman baik dalam
politik, budaya, bahkan agama, manusia cenderung mengalami konflik
disebabkan kepentingan pribadi atau kelompoknya. Munculnya kesadaran
antar ummat beragama yang diwujudkan dalam toleransi bisa menekan atau
meminimalisir bentrokan yang terjadi diantara mereka. Namun, akhir-akhir ini
banyak sekali pelanggaran agama yang terjadi dengan dasar toleransi,
toleransi beragama tidak berarti bahwa seseorang yang telah mempunyai
keyakinan, kemudian berpindah atau merubah keyakinannya untuk mengikuti
dan berbaur dengan keyakinan atau kepribadian agama-agama lainnya, tidak
pula dimaksudkan untuk mengakui kebenaran semua agama atau kepercayaan,
melainkan bahwa saling berpegang teguh terhadap masing-masing keyakinan
yang diyakini kebenarannya9.
Salah satu organisasi masyarakat terbesar di Indonesia, yakni
Nahdlatul Ulama telah menguraikan secara detail tentang konsep hidup
berdampingan ditengah ragam perbedaan. Konsep tasammuh atau toleransi
dalam islam berarti kelapangan dada dalam arti membiarkan orang dalam
pendirian dan keyakinan mereka masing-masing10. Dalam hadits Rasulullah
SAW bersabda “Barangsiapa yang membunuh kafir dimmi, maka
berhadapan dengan saya. Dan barangsiapa yang berhadapan dengan saya,
maka tidak akan mencium bau syurga.
Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh sayyidina Umar bin khattab
ketika menjadi khalifah11. Ketika berkunjung ke palestina kemudian masuk ke
dalam gereja, mendengar adzan ashar beliau keluar dan shalat diluar. Ketika
ditanya beliau menjawab “saya khawatir kalua ummat islam mendatang akan
9
Ibid, hal. 190.
10
Fathurrohman, aswaja NU dan toleransi umat beragama, jurnal review politik, vol. 2, hal. 39.
11
Ibid, hal. 40.
merebut gereja ini untuk dijadikan masjid dengan alasan bekas shalatnya
Umar”.
Interpretasi Ulama Terhadap Ayat Wasathiyyah (Moderat)
Muhammad ali as-Shalaby telah menulis dengan baik dan mumpuni
tentang manhaj Al-Wasathiyyah dalam Al-quran lewat thesis magisternya di
Universitas Ummu Darman Sudan yang diterbitkan oleh Mu’assasah iqro’,
Mesirtahun 2007 dengan judul “|Al-Wasathiyyah fii Al-Qur’an Al-Karim”.
Menurut beliau terdapat empat kata dalam Al-quran yang menunjukkan akar
kata dari;
A. Wasathiyyah bermakna sikap adil
وكذالك جعلناكم أمة وسطا لتكونوا شهداء علي الناس ويكون الرسول عليكم
شهيدا وما جعلنا القبلة اليت كنت عليها اال لنعلم من يتبع الرسول ممن ينقلب علي عقبيه وان
كانت لكبرية اال علي الذين هدي اهلل وما كان اهلل ليضيع اميانكم ان اهلل بالناس لرؤوف
رحيم
“dan demikian (pula) kami telah menjadikan kamu (ummat islam) sebagai
ummat yang pertengahan (adil) agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan)
manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan kamu”.
(Q.S. Al-Baqarah :143).
Dari Abu Sa’id ra, Nabi Muhammad SAW menjelaskan makna
ummatan wasathan adalah keadilan12 . At-Thabari juga menjelaskan bahwa
makna wasathan bisa berarti “posisi paling baik”. Sehingga makna ayat ini
adalah Allah SWT telah menjadikan ummat islam sebagai ummat yang paling
adil.
Dari Abu Sa’id berkata13; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “(Pada hari Qiyamat) Nabi Nuh ‘alaihissalam dan ummatnya datang
12
Abu ja’far At-Thabari, Tafsir at-Thabari, juz. 2, hal. 627.
13
Khairan Muhammad arif, moderasi islam perspektif al-quran, hal. 27.
lalu Allah Ta’ala berfirman: “Apakah kamu telah menyampaikan (ajaran)?.
Nuh ‘Alaihissalam menjawab: “Sudah, Wahai Rabbku”. Kemudian Allah
bertanya kepada ummatnya: “Apakah benar dia telah Menyampaikan kepada
kalian?”. Mereka menjawab; “Tidak. Tidak ada seorang Nabi Pun yang
datang kepada kami”. Lalu Allah berfirman kepada Nuh ‘alaihissalam: “Siapa
Yang menjadi saksi atasmu?”. Nabi Nuh Alaihissalam berkata; “Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dan ummatnya”. Maka kami pun bersaksi bahwa
Nabi Nuh ‘alaihissalam telah menyampaikan risalah yang diembannya kepada
ummatnya. Begitulah seperti yang difirmankan Allah Yang Maha Tinggi (QS
al-Baqarah ayat 143 Yang artinya), (“Dan demikianlah kami telah menjadikan
kalian sebagai ummat Pertengahan untuk menjadi saksi atas manusia..”). al-
washath artinya al-‘adl (adil). (HR. Bukhari, Hadits No. 3091 dan Ahmad,
Hadits No 10646).
17
Ahmad mubarok yasin, profil pesantren tebuireng, (jombang : Pustaka Tebuireng, 2011), hal. 12.
Kedua, pelarangan menabuh kentongan sebagai penanda Waktu
tibanya shalat. KH. Abdurrahman Wahid pernah menceritakan Bahwa
peristiwa ini terjadi pada tahun 1928 ketika Kiai Hasyim Menuliskan fatwa
tersebut di jurnal ilmiah bulanan NU. Kemudian pendapat Rois Akbar itu
disanggah oleh Wakil Rois Beliau, Kiai Faqih Maskumambang, Gresik yang
menyatakan Hukum menabuh kentongan diperbolehkan karena dianalogikan
dengan bedug. Meski Demikian hubungan keduanya tetap saja terjalin sangat
harmonis, bahkan Sebagai penghormatan jika Kiai Hasyim ke Gresik, semua
masjid Di sana menyembunyikan kentongan. Alasan Hadratus Syaikh
melarang kentongan karena tidak Adanya teks tertulis (dalil naqli) dan
merupakan tasyabuh atau menyerupai Agama lain, di mana beliau khawatir
dengan menyamakan Budaya itu nanti akan membuat agama lain tersinggung
karena Budayanya telah dicuri. Dengan sangat tolerannya beliau itulah
Hadratus Syaikh melarang kentongan bagi umat muslim demi Menjaga
keharmonisan antar umat beragama.
Kesimpulan
18
Fathurrohman, aswaja NU dan toleransi umat beragama, jurnal review politik, vol. 2, hal. 40.
Setiap agama-agama tidak Terkecuali Islam tidak membenarkan
Bentuk aksi teror, kekerasan, atau Apapun namanya yang mencederai Nilai-
nilai kemanusiaan, menyobek Keharmonisan dan kerukunan antara Sesama
penganut agama maupun Antar penganut agama. Bangsa ini Dibangun diatas
keragaman, dan Kerukunan antar agama, budaya, Bahasa dan lain sebagainya.
Sehingga hal ini merupakan Tantangan tersendiri bagi Masyarakat Indonesia
untuk Membangun kedamaian, kerukunan Dan kebersamaan.
Casram, membangun sikap toleransi beragama dalam masyarakat plural, jurnal ilmiah
agama
Fathurrohman, aswaja NU dan toleransi umat beragama, jurnal review politik, vol. 2.
Misrawi, Zuhairi. (2010). Moderasi keutamaan dan kebangsaan. Jakarta : PT kompas Media
Nusantara.
Puadi, Hairul. islam moderat dalam konteks sosial politik di Indonesia. 2014. dalam jurnal
pustaka. Malang : STAI AL-Qolam gondonglegi
Sutrisno, Edy. aktualisasi moderasi beragama, jurnal bimas islam. vol 12. (2019).
Taufiq, Imam. Al-Qur’an bukan kitab terror. (Yogyakarta: PT Bentang Pustaka, 2016)
Yasin, ahmad mubarok. 2011. Profil pesantren tebuireng. Jombang: Pustaka
Tebuireng