Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN TUTORIAL KELOMPOK

MODUL 4 - Skenario 4: “Pincangnya si Hemo”


Dosen Pembimbing Tutorial :
dr. Aswiyanti Asri, M.Si. Med, Sp.PA(K)

Oleh :
Kelompok 4A

- Xavier Novdi Tansyah Putra 2010313006


- Muhammad Naufal Naveki 2010313027
- Natasya Wulandari 2010312095
- Deona Ramadhani 2010317008
- Marvelni Nurul Hanifah 2010313047
- Resti Karunia Aljassri 2010311037
- Nurul Arbaniah 2010311051
- Annisa Tamara Husna 2010313042
- Puti Fadhila Hasanah 2010313038
- Azkiya Nabiela Fauzan 2010317007

PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN


UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2021
MODUL 4
Skenario 4: Pincangnya si Hemo

Hemo, anak laki-laki berusia 4 tahun dibawa ke puskesmas oleh ibunya dengan
keluhan bengkak pada lutut kiri sejak 4 hari lalu. Awalnya lutut hanya terasa nyeri namun
kemudian membengkak sehingga sulit untuk dibawa berjalan. Saat tiba di puskesmas, Hemo
tampak berjalan pincang dan terlihat kesakitan sehingga ibu harus menggendongnya. Ibu
mengatakan bahwa sebelumnya lutut Hemo terbentur meja. Dari anamnesis diketahui tidak
terdapat keluhan perdarahan dari gusi, hidung dan saluran cerna dan tidak ada keluhan
demam sebelumnya. Hemo tidak mengalami keluhan pada buang air kecil dan besar. Hemo
pernah mengalami gusi berdarah yang lama berhenti. Ibu mengatakan kalau adik laki-lakinya
juga mengalami keluhan yang sama, namun meninggal pada usia 8 tahun karena kecelakaan.
Pemeriksaan fisik yang dilakukan oleh dokter didapatkan tanda vital dalam batas
normal. Konjungtiva tidak anemis. Terdapat hematom pada lengan kanan. Tidak ditemukan
petekie maupun ekimosis. Pada lutut kanan didapatkan pembengkakan, teraba hangat, dengan
range of motion (ROM) menurun. Pada pemeriksaan darah didapatkan kadar hemoglobin
11,5 g/dL, hitung leukosit 10.000/mm3, hitung trombosit 260.000/mm3. Waktu perdarahan 2
menit, waktu pembekuan 10 menit.
Dokter mengatakan pada Ibu Hemo bahwa pembengkakan pada lutut Hemo diduga
akibat perdarahan di dalam sendi lututnya. Dokter merencanakan akan merujuk Hemo ke
rumah sakit terdekat untuk memastikan penyakit Hemo dan tatalaksana selanjutnya. Ibu
sangat cemas takut Hemo mengalami penyakit yang serius, karena kakak perempuan Hemo
telah meninggal sebelumnya saat usia 6 bulan dengan perdarahan di otak. Saat itu dokter
menyatakan bahwa sakit kakaknya akibat tidak disuntik vitamin K saat lahir.
Bagaimana Saudara menjelaskan kasus-kasus di atas?
STEP 1 : TERMINOLOGI
1. Petekie (marvel/ara) : Petekie adalah Bintik-bintik bulat kecil berwarna ungu
kecokelatan akibat adanya pendarahan di bawah kulit, mungkin muncul pada area
kecil karena trauma ringan, atau di area yang lebih luas karena gangguan pembekuan
darah.
2. Ekimosis (xavier/nia) : Ekimosis adalah perdarahan dibawah kulit yang ukurannya
lebih besar dari 1 cm yang ditandai dengan kulit tubuh tampak lebam atau bercak
ungu kehitam-hitaman.
3. Range of motion (ROM) (deona/naufal) : Biasa disebut rentang gerak, merupakan
jumlah maksimum gerakan yang mungkin dilakukan sendi pada salah satu dari tiga
potongan tubuh: sagital, frontal, dan transversal. Pemeriksaan ROM dilakukan untuk
mengevaluasi lingkup gerak sendi
4. Waktu perdarahan (natasya/resti) : Interval waktu dari tetes darah pertama sampai
darah berhenti menetes. Merupakan salah satu parameter pengukuran pembekuan
darah.
5. Waktu pembekuan (kiya/puti):Waktu yang di perlukan darah untuk membeku atau
waktu yang diperlukan saat pengambilan darah sampai saat terjadinya pembekuan

STEP 2 : IDENTIFIKASI MASALAH


1. Mengapa lutut Hemo bengkak dan nyeri? (Resti/nia)
2. Bagaimana status penampilan umum Hemo? (Puti/marvel)
3. Mengapa dokter menanyakan adanya keluhan perdarahan dari gusi, hidung, saluran
cerna dan adanya keluhan demam sebelumnya? Trombosit kurang atau frekuensi
pembekuan? (Ara/xavier)
4. Apa kaitan lutut terbentur dengan keluhan BAB dan BAK? (Deona/nopal)
5. Apa yang menyebabkan hemo mengalami gusi berdarah dalam waktu yang lama?
(Kiya/ara)
6. Apakah ada faktor keturunan dari keluhan yang dialami Hemo? (Marvel/natasya)
7. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan darah Hemo? (Nopal/puti)
8. Bagaimana interpretasi dari pemeriksaan fisik hemo? (Natasya/deona)
9. Mengapa dokter merujuk Hemo ke rumah sakit? (Xavier/azkiya)
10. Mengapa kakak perempuan Hemo sakit karena tidak disuntik vitamin K saat lahir?
(Nia/resti)

STEP 3 : ANALISIS MASALAH


1. Karena terkena benturan yang memecahkan pembuluh darah kecil di bawah jaringan,
darah yang keluar dari pembuluh darah dapat mengiritasi jaringan sekitar dan
menyebabkan gejala peradangan dan terasa nyeri, disertai kebocoran cairan dari
dinding pembuluh darah yang menyebabkan bengkak pada lututnya.
→ Tambahan (xavier) : perdarahan merangsang makrofrag bisa hal tersebut bisa
terjadi karena inflamasi
2. Status penampilan umum Hemo terlihat sakit ringan dengan kondisi tampak berjalan
pincang dan kesakitan hingga digendong oleh ibunya. Kondisi kaki pincang
merupakan gangguan gaya berjalan dimana salah satu tungkai bertumpu dengan
tungkai lainnya. Keluhan berjalan pincang dapat terjadi akibat cedera, lemah,
ketidakseimbangan otot saraf, atau kelainan bentuk kerangka tulang, namun yang
paling dan sering akibat cedera atau trauma fisik. Kondisi kesakitan yang menjadi
penyebab anak tersebut berjalan pincang adalah karena merasakan nyeri atau sakit
pada kakinya.
3. Demam → Apakah dia infeksi atau tidak?
Pendarahan dari gusi, hidung, saluran cerna → Bagaimana berat dari gejalanya
apakah pendarahan ringan bisa menyebabkan hal begini atau pendarahan spontan ? /
trombositopenia kah?
(Terlihat defisiensi sistem pembekuan darah)
→ saat terbentur, cari tau gangguan pembekuan darah atau trombosit, apakah ada
trombositpoenia atau engga, jika hemofilia cari tau minor atau mayor
4. Kaitan lutut terbentur dengan keluhan BAB dan BAK ialah bila hemo ada mengalami
buang air kecil berdarah (hematuria) atau buang air besar berdarah (hemorrhoid),
dokter bisa menduga bahwa hemo menderita trombositopenia. Pembengkakan yang
terjadi pada lutut yang diduga akibat dari benturan dengan meja juga dapat mengarah
pada pemeriksaan ini karena salah satu gejala trombositopenia yang tampak dari luar
adalah memar atau lebam.
5. Gusi berdarah yang sulit berhenti ini sangat erat kaitannya dengan gangguan pembekuan
darah. Gangguan pembekuan darah terjadi ketika seseorang tidak memiliki cukup platelet atau
protein pembeku maupun keduanya tidak bekerja dengan baik. Kebanyakan kasus gangguan
koagulasi adalah kondisi genetik yang diwariskan dari orangtua ke anak. Gusi berdarah dalam
waktu yang lama ini juga bisa menjadi indikasi HEMOFILIA,khasnya pada pemeriksaan Lab
didapatkan Clotting time memanjang, Bleeding time normal dan Manifestasi klinis utamanya
adalah PERDARAHAN BERLEBIHAN (mukosa mulut, perdarahan berkelanjutan pasca
operasi kecil : ekstraksi gigi) yang sesuai dengan apa yang dialami Hemo.
Tetapi tentu, untuk memastikan kecurigaan/ diagnosis ini diperlukan pemeriksaan lebih lanjut,
agar nanti setelah diketahui bagaimana hasil lab nya sehingga Hemo pun bisa di tata laksana
dengan tepat.
Ada beberapa penyakit lainnya yang dicurigai menjadi penyebab gusi berdarah :
a. Gingivitis atau radang gusi : disebabkan oleh penumpukan plak di garis gusi
b. Periodontitis : infeksi dan peradangan gusi jangka panjang yang merusak jaringan
lukak dan tulang penopang gigi.
c. Gusi berdarah atau bengkak bisa menjadi tanda peringatan diabetes tipe 1 maupun
diabetes tipe 2 : mulut tidak kuat melawan kuman, jadi lebih mungkin terkena infeksi
seperti penyakit gusi
d. Leukimia : karena trombosit rendah
→ tambahan dari ibu : kuncinya pada waktu perdarahan yang lama
6. Ada, karena jika Hemo didiagnosis hemofilia, maka ada faktor keturunan, yaitu
X-linked resesif.
7. Hb → 11,5 g/dL (normal :Anak usia 2 hingga 6 tahun: 11,5 hingga 13,5 g/dL)
Leukosit →10.000/uL (normal : 4.000-12.000/uL)
Trombosit → 260.000/uL (normal : 150.000-400.000/uL)
Waktu perdarahan 2 menit, waktu pembekuan 10 menit→
-bleeding time → Pemeriksaan Bleeding Time digunakan untuk mengetahui masa
pendarah seseorang. Nilai normal penetapan masa pendarahan (Bleending Time)
adalah 1-6 menit. (Normal)
-clotting time→ ada 2 metode yaitu metode object glass dan metode tabung.Untuk
waktu normal pada metode object glass 2-6 menit dan metode tabung 4-10 menit.Nah
di skenario tidak dijelaskan menggunakan metode apa namun metode yang sering
dipakai adalah metode object glass,jika iya memakai metode object glass maka hasil
yang didapati tidak normal atau bisa juga disebut CT memanjang. Pada pasien yang
mengindap hemofili didapati untuk BT normal dan CT memanjang.
8. Hemakrosis atau kondisi cedera pada sendi, salah satu komplikasi hemofili, bukan
trombositopenia karena trombosisnya masih dalam rentang normal
9. Dari hasil pemeriksaan laboratorium, ditemukan bahwa waktu pembekuan (clotting
time) pasien terlalu panjang (tidak normal), yaitu 10 menit. Adanya pemanjangan
pada waktu pembekuan darah atau clotting time menunjukan bahwa terdapat suatu
masalah pada faktor koagulasi dari si Hemo. Oleh karena itu, untuk mengetahui jenis
faktor koagulasi mana yang bermasalah perlu dilakukan tes PT (Prothrombin Time)
untuk menilai faktor ekstrinsik koagulasi dan tes APTT (Activated Partial
Thromboplastin Time) untuk menilai faktor intrinsik koagulasinya. Tes PT dan APTT
ini hanya dapat ditemukan di rumah sakit sehingga dokter harus merujuk Hemo ke
rumah sakit untuk melakukan tes-tes ini.
10. Pada bayi yang baru lahir, memiliki kadar vitamin K dan cadangan vitamin K dalam
hati yang relatif lebih rendah. Sementara itu asupan vitamin K dalam ASI belum
mencukupi, sedangkan pada bayi usia 6 bulan belum ada asupan tambahan vitamin K
dari makanan selain ASI/ MPASI. Sehingga bayi baru lahir cenderung kekurangan
vitamin K. Pada saudara-saudara Hemo dicurigai mengalami gangguan dalam proses
pembekuan darah. Jadi kemungkinan ketika kakak Hemo yang mengalami perdarahan
otak dapat dicurigai mengalami gangguan pembekuan darah, salah satunya
kekurangan faktor pembekuan darah yaitu vitamin K, dimana kakak Hemo tidak
mendapatkan suntik vitamin K saat lahir.
→ tambahan (xavier) : vitamin K sebagai kofaktor penentu pembekuan darah
STEP 4 : SKEMA
STEP 5 : LEARNING OBJECTIVE
Gangguan hemostasis & Trombosis
● Hemofilia→ puti, deona
● Von Willebrand→ xavier
● DIC→ Ara, Marvel
● ITP→ kiya, nia
● Defisiensi Vit.K→ resti
● Trombositopenia→ natasya, naufal

Learning Objective :
1. Definisi dan klasifikasi gangguan hemostasis dan trombosis
2. Epidemiologi gangguan hemostasis dan trombosis
3. Etiologi dan factor resiko gangguan hemostasis dan trombosis
4. Patogenesis dan Patofisiologi gangguan hemostasis dan trombosis
5. Manifestasi Klinis gangguan hemostasis dan trombosis
6. Pendekatan diagnosis dan diagnosis banding gangguan hemostasis dan trombosis
7. Pemeriksaan labor dan penunjang gangguan hemostasis dan trombosis
8. Tatalaksana komprehensif gangguan hemostasis dan trombosis
9. Komplikasi dan Indikasi Rujukan gangguan hemostasis dan trombosis
10. Prognosis gangguan hemostasis dan trombosis

STEP 6 : BELAJAR MANDIRI


STEP 7 : HASIL BELAJAR MANDIRI

HEMOFILIA
1.Definisi & Klasifikasi
Penyakit perdarahan akibat kekurangan faktor pembekuan darah yang diturunkan secara
x-linked resesif pada kromosom x.Tetapi walaupun herediter sekitar 20-30% pasien yang
menderita tidak memilki riwayat keluarga dengan gangguan pembekuan darah sehingga
diduga terjadi mutasi spontan akibat lingkungan endogen maupun eksogen.

2.Epidemiologi

•Mayoritas Penderita laki-laki


•Angka Kejadian Hemofilia A→ 1:10.000 Orang
•Angka Kejadian Hemofilia B → 1:25.000-30.000 Orang
•Survei WFH 2010→ A: 125.049 Orang
B: 25.160 Orang
•Di Indonesia→ Belulm ada data angka kekerapan tetapi diperkirakan ada sekitar 20.000
kasus dari 200 juta penduduk di Indonesia
A→ 80-85% Kasus
B→1 0-15% Kasus
Mutasi spontan tanpa Riwayat keluarga→ 20-30% Kasus

3.Epidemiologi dan Faktor Resiko


Hemofilia A adalah penyakit X-linked resesif yang paling sering di dunia dan penyakit
perdarahan defisiensi faktor yang kedua tesering setelah penyakit von Willebrand. Insiden
dunia untuk hemofilia A adalah sekitar 1 per 5000 laki-laki dan 1/3 dari individu tidak
HEMOFILIA memiliki sejarah penyakit pada keluarga. Prevalensi hemofilia B lebih sedikit
daripada hemofilia A yaitu kira-kira 1 per 25 000 – 30 000 laki-laki. Dari semua kasus
hemofilia, 80- 85% kasus adalah hemofilia A, 14% adalah hemofilia B, dan sisanya adalah
penyakit pembekuan darah lainnya.4, 5 Hemofilia C dan didapatmengenai laki-laki dan
perempuan secara merata dan masing-masing memiliki prevalensi sebanyak sekitar 1 kasus
per 100 000 penduduk dan 0.2-1 individu per 1 000 000 penduduk per tahun terutama pada
usia tua.
4.Patogenesis dan Patofisiologi
Patogenesis Hemofilia A adalah sebuah penyakit heterogen dimana faktor VIII yang
berfungsi pada darah terdapat dengan jumlah yang menurun. Jumlah faktor VIII yang
menurun ini dapat disebabkan karena memang jumlah faktor VIII yang diproduksi menurun,
terdapatnya protein yang abnormal dan tidak fungsional, atau keduanya. Faktor VIIIa dan
faktor IXa berperan keduanya dalam mengaktifasi faktor X pada jalur campuran di proses
koagulasi. Oleh sebab itu, hemofilia A dan B memiliki gambaran klinis yang sangat mirip.
Thrombin yang dibentuk pada pasien hemofilia sangat berkurang. Bekuan darah yang
terbentuk menjadi lemah, mudah tergerak, dan sangat rentan terhadap fibrinolysis.8
Hemofilia C sangatlah jarang dan informasi mengenainya masih cukup sedikit. Ditemukan
bahwa walaupun terdapat defisiensi faktor XI yang besar, kecenderungan untuk berdarah
dapat masihlah cukup sedikit, kekurangan jumlah faktor tidaklah berbanding lurus dengan
derajat keparahan penyakit.6 Hemofilia didapatadalah suatu penyakit autoimun. Antibodi
terhadap faktor VIII atau IX terbentuk pada pasien terutama pada saat usia tua. Pada 50%
kasus individu dengan hemofilia didapattidak memiliki penyakit lainnya atau suatu kejadian
yang dapat ditunjuk sebagai trigger penyakit.

5.Manifestasi Klinis
Gejala klinis dari hemofilia adalah perdarahan yang berlebih. Walau tidak dapat dibedakan
secara klinis, kasus yang lebih berat ditemukan pada pasien-pasien dengan hemofilia A
dibandingkan hemofilia B.Hemofilia dapat dibagi menjadi penyakit ringan, sedang, atau
parah berdasarkan gejala dan jumlah faktor VIII atau IX yang berfungsi yang ditemukan pada
darah. Seorang dengan hemofilia berat tanpa pengobatan adekuat dapat mengalami
hemarthrosis berulang yang menyabkan artropati hemofilik kronik yang terjadi pada saat
dewasa muda. Hemarthrosis mencakup sekitar 75% dari semua kasus perdarahan pada pasien
dengan hemofilia berat. Hal ini terjadi pada saat kapiler dibawah synovium terusak oleh
trauma mekanik oleh sebab penggunaan sehari-hari. Sendi yang paling sering terkena adalah
lutut, siku, kaki, tangan, dan pinggang. Hemarthrosis biasanya terjadi pada saat anak mulai
berjalan.
Selain hemartrhosis, gejala pendarahan lainnya yang dapat terjadi pada hemofilia adalah
hematoma, pseudotumor (kista darah), hematuria, perdarahan intrakranial, perdarahan
membrane mukosa, dan perdarahan pada mulut dan akibat tindakan operasi.Hemofilia C pada
umumnya tidak separah kasus hemofilia A dan B. Perdarahan setelah operasi adalah
komplikasi yang paling sering terjadi pada kasus hemofilia C
VON WILLEBRAND
PENYAKIT VON WILLEBRAND=VON WILLEBRAND'S DISEASE (VWD)
Penyakit von Willebrand timbul karena sintesis vWF menurun
1. Epidemiologi

•Di negara Barat vWD relatif sering dijumpai, diperkirakan mengenai 1% penduduk
dunia, tetapi di Indonesia belum banyak dilaporkan. Namun berdasarkan data
seseorang yang bergejala → 0.1% dari populasi
•Namun, PVW berat dengan riwayat perdarahan yang mengancam jiwa terjadi pada
kurang dari 5 orang per 1 juta penduduk di negara negara Barat
•Diturunkan sebagai satu sifat (trait) dominan autosomal dengan prevalensi sekitar
1/100 sampai 3/100.000 orang
•Di kalangan wanita dengan menorrhagia, prevalensinya lebih besar hingga 15%
→ Approximately 80% of patients with von Willebrand disease have classic (type 1)
disease (i.e., a mild to moderate deficiency of VWF)
→ There is an equal distribution between males and females. Acquired von
Willebrand disease prevalence is unknown but may represent 1% to 5% of all von
Willebrand disease
2. Etiologi dan Faktor Risiko
von Willebrand disease adalah penyakit yang diturunkan melalui autosomal dominan
dan jarang pada autosomal resesif
Banyak juga faktor lain yang mempengaruhi : Tipe darah , status tiroid , stress ,
latihan fisik dan hormonal. Pasien dengan tipe golongan darah O memiliki kadar
protein vWF sekitar setengah dari pasien dengan golongan darah AB, meskipun itu
normal. nah karena vWF sedikit menurun mungkin harus dilihat sebagai faktor risiko
untuk pendarahan daripada penyakit yang sebenarnya ,Penyakit hipotiroid , dan obat
obatan as valproic acid, bisa menurunkan VWF
3. Patogenesis dan Patofisiologi
→ Fungsi faktor von Willebrand (vWF) adalah:
1. Menunjang adhesi trombosit pada matrik subendotel karena vWF memperantarai
ikatan GpIIb dan GPIIIa pada permukaan trombosit dan jaringan kolagen.
2. Sebagai karier protein dari F. VIIIC dalam darah.
Gangguan struktur atau sintesis vWF mengakibatkan:
a. gangguan adhesi trombosit
b. menurunnya aktivitas F.VIIIC dalam plasma
VWF tersimpan di endotelial sel dan platelet Weibel-Palade bodies serta bersirkulasi
sebagai multimeric glycoprotein. Jika ada luka akan menginduksi perubahan VWF
yang akan memfasilitasi untuk pengikatan platelet melalui GPIb (tempat ikatan pada
platelet . Ini membuat VWF untuk merekrut platelet menyebabkan clot yang
tergantung pada HMW VWF
4. Manifestasi kliniknya
Perdarahan sedang, epistaksis sejak kecil, menorrhagi, perdarahan dari luka, ekstraksi
gigi, atau post operasi, perdarahan besar, hematom, tetapi perdarahan sendi jarang
dijumpai.

5. Pendekatan Diagnosis dan Diagnosis Banding


Klasifikasi vWD
vWD dapat digolongkan menjadi 3 tipe, yaitu:
1. Tipe I-penurunan sintesis vWF;
2. Type II a-gangguan sintesis multimer vWF besar dan sedang
Type IIb-pembentukan multimer vWF besar yang abnormal sehingga cepat
dikeluarkan dari darah;
3. Tipe Ill-sintesis vWF sama sekali tidak ada.

+) PVW yang Didapat


Autoantibodi terhadap inhibitor protein FVW
PVW yang didapat, berbeda dari PVW kongenital, jarang terjadi, tampil awalnya
lambat, dan tanpa riwayat perdarahan dalam keluarga. PVW yang didapat berkaitan
dengan sejumlah penyakit kronis termasuk kelainan berikut: . autoimun . gamopati
monoklonal . limfoproliferatif . keganasan epidemik . hipotiroidisme . tumor Wilm .
mieloproliferatif . sebab pemakaian obat, termasuk siprofloksasin.
Autoantibodi tipe IgG, IgM dan IgA telah ditemukan dan tampaknya ditujukan
terhadap berbagai epitope molekul protein PVW yang menyebabkan beberapa
mekanisme perdarahan berkaitan dengan PVW yang didapat. Pasien dengan
auto-antibodi terhadap FVW biasanya menunjukkan perdarahan membran mukosa
dan mudah memar. Gambaran laboratorium dapat menyerupai PVW dengan
pemanjangan BT, penurunan aktivitas FVIII:C, Ag:FVW dan FVW, meskipun
kadarnya dapat berbeda.
Acquired VWD is a rare disorder, most commonly seen in patients with underlying
lymphoproliferative disorders, including monoclonal gammopathies of
underdetermined significance (MGUS), multiple myeloma, and Waldenström’s
macroglobulinemia. It is seen most commonly in the setting of MGUS and should be
suspected in patients, particularly elderly patients, with a new onset of severe mucosal
bleeding symptoms. Laboratory evidence of acquired VWD is found in some patients
with aortic valvular disease. Heyde’s syndrome (aortic stenosis with gastrointestinal
bleeding) is attributed to the presence of angiodysplasia of the gastrointestinal tract in
patients with aortic stenosis. However, the shear stress on blood passing through the
stenotic aortic valve appears to produce a change in VWF, making it susceptible to
serum proteases. Consequently, large multimer forms are lost, leading to an acquired
type 2 VWD, but return when the stenotic valve is replaced.

6. Pemeriksaan Penunjang
Kelainan Laboratorium Padi vWD kelainan laboratorium dapat dijumpai dalam
bentuk, seperti:
1. Waktu perdarahan memanjang.
2. APTT sedikit meningkat.
3. Ristocetin induced platelet aggregation test negaif, kecuali pada tipe IIb.
4.Elektroforesis: vWF menurun pada tipe I atau nol pada tipe III
5. Imunoelektroforesis: multimer besar negatif pada tipe IIa, multimer besar negatif,
dengan multimer sedang meningkat pada tipe IIb.

7. Tatalaksana Komprehensif
Terapi Pengobatan untuk vWD adalah:
a. Infus Desmopressin (DDAVP) yang dapat melepaskan vWF dari cadangan
dalam endotel.
Efek samping dari DDAVP adalah hiponatremia karena berkurangnya
clearance pada air di ginjal. Hal ini biasanya sering terjadi pada anak yang
sangat muda atau yang sangat tua , tetapi pembatasan cairan perlu diingatkan
ke pasien untuk difollow up 24 jam setelah dosis. Seperti preparat
pendahulunya, DDAVP akan menyebabkan nyeri kepala, pusing
(lightheadedness), nausea, dan muka kemerahan (facial flushing) pada pasien,
terutama bila diberikan secara cepat.
b. Terapi ganti dengan "single donor cryoprecipitate",jangan memakai FVIII
concentrates.
c. Dapat juga diberikan epsilon aminocaproic acid atau asam traneksamat
d. Estrogen tampaknya meningkatkan produksi FVW oleh sel endotel. Selama
kehamilan normal, pasien PVW dapat menormalkan kembali kadar Ag:FVW
dan faktor VIII:C, meskipun BT-nya biasanya tetap memanjang

8. Indikasi Rujukan

•Membutuhkan Pemeriksaan laboratorium lanjutan untuk pemeriksaan vWF factor →


mahal dan rumit serta pengobatan yang mahal
•Untuk diagnosis dan tata laksana

9. Prognosis dan Komplikasi


Prognosis : Kebanyakan pasien dengan vWD umumnya ringan dengan pengobatan
lukanya saja (vWD tipe 1). Jika yang parah umumnya terlihat pada trauma atau
prosedur invasif

Komplikasi : alloantibodi dapat terjadi 10-15% dengan PVW tipe 3→Mengancam j


iwa khususnya anafilaktik terhadap preparat vWF - FVIII.
Pendarahan GI, hematom, hemarthosis, progresif kerusakan sendi, bahkan kerusakan

DISSEMINATED INTRAVASCULAR COAGULATION (DIC)


1. Pengertian dan Klasifikasi
Menurut International Society of Thrombosis and Haemostasis (ISTH) Scientific and
Standardization Committee, Disseminated Intravascular Coagulation (DIC) adalah
sindrom yang ditandai dengan aktivasi koagulasi intravaskular dengan hilangnya
lokalisasi yang timbul dari penyebab yang berbeda. Hal ini dapat berasal dari dan
menyebabkan kerusakan pada mikrovaskulatur. Kondisi yang cukup parah dapat
menyebabkan disfungsi organ. Darah yang membentuk thrombin dan fibrin
intravaskular mengakibatkan pembentukan thrombosis pembuluh darah kecil sampai
sedang, disfungsi organ serta perdarahan hebat.
Terdapat 2 tipe klinis DIC yaitu akut dan kronik. Keduanya memiliki etiologi dan
manifestasi klinis yang berbeda :

● DIC akut
DIC akut berkembang ketika sejumlah besar prokoagulan (faktor jaringan)
memasuki sirkulasi pada jangka waktu yang singkat (beberapa jam hingga
beberapa hari), sangat besar kemampuan tubuh untuk mengisi faktor koagulasi
dan predisposisi pasien terhadap perdarahan. DIC akut terjadi pada endotoksemia,
trauma jaringan luas, wanita hamil dengan komplikasi pre-eklampsi, atau
terlepasnya jaringan plasenta. DIC akut juga terjadi pada penderita dengan
hipotensi atau syok oleh berbagai sebab (misalnya pada tindakan operasi, stroke
luas, atau serangan jantung
● DIC kronik
Pada DIC kronik, jumlah dari faktor jaringan yang terlibat lebih kecil, sehingga
stimulasi lebih kurang kuat dari sistem koagulasi dan memungkinkan tubuh untuk
mengkompensasi penggunaan protein koagulasi dan trombosit. DIC kronik
biasanya berkembang secara perlahan dalam waktu berminggu-minggu hingga
berbulan-bulan dengan manifestasi klinik lebih bersifat trombotik.
DIC kronik sring terjadi pada penyakit kanker (sindroma trousseau), aneurisme
aorta, dan penyakit inflamasi kronis. Pada penderita dengan penyakit kanker,
faktor resiko yang penting adalah usia lanjut, laki-laki, kanker lanjut dan nekrosis
pada tumor. Kebanyakan DIC kronik terjadi pada penderita kanker jenis
adenokarsinoma paru, payudara, prostat atau kolorektal

2. Epidemiologi

Epidemiologi disseminated intravascular coagulation (DIC) dilaporkan mempengaruhi


35% pasien sepsis berat. Epidemiologi di Indonesia masih belum diketahui.

Global

DIC ditemukan sebagai komplikasi pada sekitar 35% kasus sepsis berat dan
menyumbang angka 1% pada pasien rawat inap rumah sakit. Menurut data di Jepang,
proporsi kejadian DIC mencapai 300/10 juta populasi.

3. Etiologi

Penyebab DIC dapat diklasifikasikan berdasarkan keadaan akut atau kronis. DIC pun
dapat merupakan akibat dari kelainan tunggal atau multipel.

DIC akut :

● Infeksi : Bakteri (gram negatif, gram positif, ricketsia), virus (HIV, varicella,
CMV, hepatitis, virus dengue), fungal (histoplasma), parasit (malaria)
● Keganasan : Hematologi (AML), Metastase (mucin secreting adenocarcinoma)
● Trauma berat : aktivasi tromboplastin jaringan.
● Reaksi Hemolitik, Reaksi transfuse, Gigitan ular, Penyakit hati, Acute hepatic
failure, luka bakar.

DIC kronik:

● Keganasan: rumor solid, lekemi,


● Obstetri: intrauterin fetal death, abrasio plasenta : sindrom mieloproliferatif
● Hematologi: rematoid artritis, penyakit raynaud
● Vaskular
● Cardiovascular - infark miokard
● Inflamasi; ulcerative colitis, penyakit crohn, sarcoidosis

Faktor risiko :
➔ Pernah melakukan operasi.
➔ Pernah melahirkan atau keguguran.
➔ Pernah melakukan transfusi darah.
➔ Pernah menerima anestesi.
➔ Memiliki riwayat sepsis atau infeksi darah akibat jamur atau bakteri.
➔ Memiliki riwayat penyakit kanker, terutama kanker darah (leukemia).
➔ Pernah mengalami kecelakaan serius yang menyebabkan cedera pada kepala,
luka bakar atau cedera lainnya.
➔ Memiliki riwayat penyakit pada hati.

4. Patogenesis dan patofisiologis

5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis DIC bervariasi. Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan
penyakit yang mendasarinya, ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli,
disfungsi organ, dan perdarahan Kebanyakan pasien mengalami perdarahan yang luas
pada kulit dan membran mukosa. Manifestasi perdarahan yang tejadi dapat berupa
peteki, purpura, ekimosis, atau hematoma. Perdarahan yang terjadi akibat bekas
suntikan atau tempat infusa tau pada mukosa sering ditemukan pada DIC akut.
Perdarahan ini juga bisa masif dan membahayakan, misalnya pada traktus
gastrointestinal, paru, susunan saraf pusat atau mata. Sedangkan pasien dengan DIC
kronik umumnya hanya disertai sedikit perdarahan pada kulit dan mukosa.
Gejala-gejala umum seperti demam, hipotensi, asidosis, hipoksia, proteinuria dapat
menyertai.

Trombosis mikrovaskular dapat menyebabkan disfungsi organ yang luas. Pada kulit
dapat berupa bulla hemoragik, nekrosis akral dan gangren. Trombosis vena dan arteri
besar dapat terjadi, tetapi relatif jarang. Disfungsi organ akibat mikrotrombosis yang
luas ini dapat berupa akrosianosis perifer, pregangren sampai gangren pada jari- jari,
genitalia dan hidung, iskemia korteks ginjal, hipoksemia hingga perdarahan dan acute
respiratory distress síndrome (ARDS) pada paru serta penurunan kesadaran.

Manifestasi yang sering dilihat pada DIC antara lain:


● Sirkulasi : Dapat terjadi syok hemoragik
● Susunan saraf pusat : Penurunan kesadaran dari yang ringan sampai koma,
Perdarahan Intrakranial
● Sistem Kardiovaskular : Hipotensi, Takikardi, Kolapsnya pembuluh darah perifer
● Sistem Respirasi : Pada keadaan DIC yang berat dapat mengakibatkan gagal napas
yang dapat menyebabkan kematian.
● Sistem Gastrointestinal : Hematemesis, Hematochezia
● Sistem Genitourinaria : Hematuria, Oliguria, Metrorrhagia, Perdarahan uterus

6. Pendekatan Diagnosis dan Diagnosis Banding

Anamnesis

Anamnesis pada pasien yang dicurigai DIC dimulai dari riwayat penyakit yang diderita
pasien untuk mencari tahu penyebab kemungkinan terjadinya DIC. Pada anamnesis
digali adanya riwayat sepsis, trauma, kemungkinan komplikasi obstetri, kelainan
vaskuler, atau keganasan

Pemeriksaan Fisik

Dari pemeriksaan fisik, pada umumnya pasien DIC menunjukkan tanda perdarahan
yang jelas di berbagai area tubuh. Lesi kulit termasuk ekimosis, hematoma, ikterus dari
gagal hati, nekrosis, dan gangren juga dapat timbul. Koagulasi yang berlebihan dapat
menyebabkan purpura, petekie, dan sianosis yang luas. Hematochezia, hematemesis,
hematuria dapat menjadi tanda adanya perdarahan internal. Seorang pasien DIC juga
dapat mengalami kegagalan pernafasan akut atau defisit neurologis berdasarkan lokasi
perdarahan atau pembekuan darah.

Hiperkoagulasi pada DIC dapat bermanifestasi sebagai oklusi pembuluh darah pada
mikrovaskuler. Pasien dapat menunjukkan tanda iskemia miokard dan peningkatan
frekuensi nafas jika oklusi terbentuk di pembuluh darah paru-paru atau jantung. Nyeri,
eritema, panas pada perabaan, dan edema di kaki dapat ditemukan jika thrombosis
terbentuk di pembuluh darah tungkai. Sefalgia, parese, pusing, kesulitan berbicara dan
memahami dapat menjadi tanda jika trombus terbentuk di pembuluh darah otak.

Diagnosis Banding

a. Thrombotic Thrombocytopenic Purpura (TTP)


Agregasi platelet menyebabkan pembentukan trombus platelet (bukan trombus
fibrin seperti pada DIC)
b. Sindrom Uremik Hemolitik
Tidak seperti DIC akut dengan peningkatan PT dan aPTT, sindrom uremik
hemolitik khas hanya menunjukkan penurunan jumlah thrombosit yang signifikan
c. Sindrom Thrombositopenia dan Thrombosis yang Diinduksi Heparin
d. Koagulopati pada Sirosis

7. Pemeriksaan Laboratorium dan Pemeriksaan Penunjang

Pada banyak sindrom akut, darah mungkin gagal membeku karena adanya defisiensi
fibrinogen berat.

Pemeriksaan hemostasis :

1. Hitung trombosit rendah


Penurunan jumlah thrombosit adalah tanda yang sensitif (meskipun tidak
spesifik) pada DIC. Hampir pada semua kasus, DIC memiliki manifestasi
thrombositopenia dan setengah diantaranya memiliki jumlah thrombosit <
50.000/μL. Meskipun begitu, penting untuk diingat thrombositopenia dapat
disebabkan berbagai penyakit lain, seperti leukemia akut.
2. Uji penyaring, titer atau pemeriksaan fibrinogen menunjukkan adanya defisiensi
3. Masa trombin memanjang
4. Produk pemecahan fibrinogen (dan fibrin) seperti D-dimer dalam kadar yang
tinggi ditemukan dalam serum dan urine.
Aktivitas fibrinolitik yang meningkat pada DIC dapat diukur dari produk
degradasi fibrin (Fibrin degradation product, FDP) dengan metode
enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) atau dengan tes aglutinasi lateks.
Kondisi lain yang dapat meningkatkan FDP/D-dimer di antaranya trauma dan
thromboemboli vena. Karena FDP dimetabolisme oleh hati dan disekresikan oleh
ginjal, gangguan hati dan ginjal juga dapat mempengaruhi kadarnya.
5. PT dan APTT memanjang pada sindrom akut.
Pemanjangan PT atau aPTT ditemukan pada 50-60% kasus DIC. Hal ini terutama
disebabkan oleh peningkatan konsumsi faktor koagulasi yang menyebabkan
gangguan pembekuan.

Pemeriksaan sediaan hapus darah tepi :

Pada banyak pasien, dijumpai anemia hemolitik (mikroangiopntik) dan eritrosit


memperlihatkan fragmentasi nyata karena kerusakan saat melewati benang-benang
fibrin dalam pembuluh darah kecil.

8. Tatalaksana komprehensif
a. Pengobatan terpenting adalah mengobati penyebab yang mendasari.
b. Terapi suportif dengan plasma beku segar dan konsentrat trombosit diindikasikan
pada pasien yang mengalami perdarahan yang berbahaya atau luas. Kriopresipitat
menyediakan sumber fibrinogen yang lebih terkonsentrasi, dan mungkin
diperlukan transfusi eritrosit.

Penggunaan heparin atau obat-obatan antitrombosit untuk menghambat proses


koagulasi biasanya tidak diindikasikan karena pada beberapa kasus perdarahan yang
terjadi mungkin berat. Inhibitor fibrinolitik sebaiknya tidak dipertimbangkan karena
kegagalan untuk melisiskan trombus dalam organ-organ seperti ginjal mungkin
menimbulkan efek yang tidak diharapkan. Penggunaan konsentrat antitrombin dan
protein C untuk menghambat DIC pada kasus-kasus berat (misal septikemia
meningokokus) tampaknya men-rberi hasil menjanjikan.

Terapi farmakologis dari DIC berfokus pada terapi suportif untuk mengatasi
perdarahan, pengembalian fungsi koagulasi, serta penggantian thrombosit yang dipakai
secara berlebihan. Penatalaksanaan haruslah ditekankan kepada memperbaiki klinis
pasien, bukan mengoreksi hasil laboratorium

Edukasi dan promosi kesehatan untuk disseminated intravascular coagulation (DIC)


berdasar pada prevensi faktor resiko yang mendasari terjadinya DIC seperti sepsis,
trauma, dan komplikasi obstetrik. Deteksi dini dan penanganan awal yang tepat
merupakan kunci utama tatalaksana DIC yang mungkin dapat menurunkan mortalitas
dan morbiditas. Pada pasien DIC asimptomatik, dapat diberikan heparin sebagai
pencegahan terjadinya deep vein thrombosis (DVT).

9. Indikasi Rujukan

10. Prognosis dan Komplikasi

Prognosis disseminated intravascular coagulation (DIC) bervariasi tergantung pada


penyakit yang mendasarinya, dan sejauh mana thrombosis intravaskular berkembang.
Secara umum, apabila penyakit yang mendasari DIC dapat diatasi, maka status
koagulasi akan kembali normal.

Komplikasi disseminated intravascular coagulation (DIC) dapat terjadi baik dari


koagulasi berlebihan yang terjadi pada tahap awal kondisi, maupun karena kurangnya
faktor koagulasi darah yang terjadi pada tahap lanjut.

ITP

DEFISIENSI VITAMIN K

PERDARAHAN DEFISIENSI VITAMIN K (PDVK/VKDB)

1. Definisi dan Klasifikasi

PDVK yaitu terjadinya perdarahan spontan atau perdarahan seperti proses perdarahan
lainnya aibat defisiensi vitamin K.

HDN (Hemorraghic Disease of the Newborn) adalah sindrom klinis yang disebabkan
defisiensi vitamin K
Vitamin K perlu untuk sintesis 6 faktor pembekuan yaitu protrombin, factor VII, IX, X,
protein C dan S

Klasifikasi

a. Early VKDB (PDVK dini) : menyerang hari pertamai kehidupan

Jarang terjadi, biasanya terjadi pada bayi yang ibunya mengosumsi obat-obatan yang
mengganggu metabolism vitamin K.

b. Classical VKDB (PDVK klasik) : hari 1-7 setelah lahir

Sering terjadi pada bayi yang kondisi waktu lahir tidak optimal atau terlambat
mendapatkan suplementasi makanan

c. Late VKDB (PDVK lambat) : hari 8 – 6 bulan setelah lahir, sebagian besar umur 1-3
bulan

Setengah kasus memiliki kelainan hati sebagai penyakit dasar atau kelainan malabsorbsi

2. Epidemiologi

Angka kejadian perdarahan pada bayi baru lahir di Negara Asia berkisar antara 1:200
sampai 1:400 pada bayi yang tidak mendapatkan vitamin K profiaksis

Di AS 0,25 - 1,15 % pada tahun 1961 dan menurun menjadi 0 - 0,44% setelah program
profilaksis vitamin K

Kejadian PDVK pada bayi yang tidak mendapat profilaksis vitamin K : 5-20 per
100.000 kelahiran dengan angka mortalitas 30%

Di Indonesia, data PDVK belum tersedia secara nasional. Hingga tahun 2004, 24 kasus
di RSCM Jakarta, 6 kasus di RS Dr Sardjito Yogyakarta, dan 8 kasus di RSU Dr
Soetomo Surabaya

3. Etiologi dan Faktor Risiko

Etiologi

· Asupan makanan yang tidak adekuat

· Penyakit hati

· Pemakaian antibiotika yang lama

· Komplikasi perinatal
Pada bayi baru lahir disebut Hemorraghic Disease of the Newborn (HDN) atau PDVK.
Hal ini dapat disebabkan karena:

· Usus bayi yang relative steril

· Imaturitas hepar

· Transmisi vitamin K tidak baik

· Malabsorbsi

Faktor risiko

· Selama kehamilan ibu mengosumsi obat-obatan yang mengganggu metabolism vitamin


K, seperti obat antikoagulan oral (warfarin), obat antikovulsan (fenobarbital, fenitoin,
karbamazepin), obat antitberkulosis

· Sintesis vitamin K yang kuran oleh bakteri usus (antibiotic)

· Gangguan fungsi hati

· Kurang asupan vitamin K

4. Patogenesis dan Patofisiologi

Vitamin K merupakan bahan essensial pada pembentukan protrombin sehingga penting dalam
proses pembekuan darah.

PDVK ini didasarkan pada mekanisme bayi baru lahir yang berbeda dengan bayi yang lebih
tua dan anak-anak, dimana terdapat penurunan aktivasi factor pembekuan, gangguan fungsi
hati, dan pertahanan yang kurang maksimal dalam hal pembentukan gumpalan darah. Sintesa
factor pembekuan di hepar masih belum sempurna mengakibatkan jumlah factor-faktor
pembekuan darah kurang optimal. Kondisi ini bertambah parah pada bayi premature.

5. Manifestasi Klinis

· Perdarahan : dapat spontan atau akibat trauma, terutama trauma lahir. Kebanyakan
perdarahan di kulit (purpura, ekimosis, perdarahan bekas suntikan), mata, hidung, dan
saluran cerna

· Pucat

· Hepatomegaly ringan

Manifestasi perdarahan umumnya tidak spesifik, bervariasi dari memar ringan sampai
ekimosis generalisata, perdarahan mukosa, perdarahan intracranial yang fatal.
Manifestasi perdarahan pada neonates dapat timbul dalam bentuk perdarahan di scalp, di tali
pusar, hematom sefal yang besar, perdarahan pada bekas suntikan, gastrointestinal dan
intracranial.

6. Pendekatan Diagnosis dan Diagnosis Banding serta Pemeriksaan Laboratorium


dan Penunjang

a. Anamnesis

· Pada neonates, anamnesis difokuskan pada awitan perdarahan, lokasi, pemberian ASI,
riwayat konsumsi obat si ibu selama hamil.

· Pada anak, tanyakan mengenai asupan makanan terutama vitamin K, riwayat pengobatan,
riwayat penyakit yang berhubungan dengan malabsorbsi dan riwayat perdarahan dalam
keluarga.

b. Pemeriksaan Fisik

c. Pemeriksaan Laboratorium

· Waktu pembekuan memanjang

· Penurunan aktivitas factor II, VII, IX, dan X

· PT dan APTT memanjang

· TT (thrombin time) normal

· Jumlah trombosit, waktu perdarahan, fibrinogen, factor V dan VIII, fragilitas kapiler, dan
retraksi bekuan normal

· Pemeriksaan penunjang lain

d. USG, CT-scan, MRI untuk melihat lokasi perdarahan bila dicurigai adanya
perdarahan intracranial

Diagnosis Banding

· Penyakit pembekuan darah lain (penyakit hati dan disseminated intravascular


coagulation (DIC)

7. Komplikasi

Perdarahan intracranial à komplikasi tersering (63%) berupa perdarahan subdural dan


subarachnoid. Gejalanya peningkatan tekanan intracranial bahkan ada asimptomatik.
Sebagian besar gejala sakit kepala, muntah, anak menjadi cengeng, ubun-ubun besar
menonjol, pucat, dan kejang.
8. Tatalaksana Komprehensif

Pencegahan :

Profilaksis vitamin K1 dosis 1 mg IM satu kali segera setelah lahir atau per oral 3 kali, dosis
2 mg pada bayi umur 3-7 hari dan umur 1-2 bulan.

Pengobatan :

Pada PDVK harus diatasi penyakit primernya,

· Pemberian vitamin K1 dosis 1-2 mg/hari selama 1-3 hari

· fresh frozen plasma (FFP) 10-15 mg/kgBB

9. Prognosis

· PDVK ringan umumnya baik, setelah injeksi vitamin K1 akan membaik dalam 24
jam

· Angka kematian PDVK dengan manifestasi perdarahan berat (intracranial,


intratorakal, dan intraabdominal) sangat tinggi

· Pada perdarahan intracranial kematian mencapai 25% dan kecacatan permanen


50-65%

TROMBOSITOPENIA

1. Definisi, klasifikasi, dan Epidemiologi


Trombositopenia adalah keadaan dimana terjadinya penurunan jumlah platelet darah di
bawah batas minimal. Perdarahan abnormal yang berkaitan dengan trombositopenia atau
fungsi trombosit abnormal yang ditandai oleh purpura kulit spontan, perdarahan mukosa, dan
perdarahan berkepanjangan setelah trauma. Terjadi pada 14,8/100.000 populasi/ tahun di
dunia.
Klasifikasi:
2. Etiologi dan faktor risiko
- Kegagalan produksi trombosit
Hal ini adalah penyebab tersering trombositopenia dan biasanya merupakan bagian dari
kegagalan sumsum tulang generalisata. penekanan megakariosit selektif dapat disebabkan
oleh toksisitas obat atau infeksi virus. Hal ini kadang bersifat kongenital akibat mutasi pada
reseptor thrombopoietin c-MPL, disertai dengan tidak adanya tulang radius, atau pada
sindrom May-Hegglin atau Wiskott-Aldrich. Diagnosis penyebab trombositopenia tersebut
ditegakkan berdasarkan riwayat klinis, hitung darah tepi, sediaan hapus darah tepi, dan
pemeriksaan sumsum tulang.
- Peningkatan destruksi trombosit
Disebabkan oleh Purpura trombositopenia autoimun (idiopatik) bisa yang kronis maupun
akut, diinduksi oleh obat, Infeksi, purpura pasca transfusi, purpura trombositopenia
trombotik.
3. Patogenesis dan Patofisiologi

Jenis kerusakan trombosit yang lazim terjadi disebabkan oleh obat; pada keadaan ini suatu
kompleks antibodi-obat protein terdeposit pada permukaan trombosit. Jika komplemen
melekat dan urutan tersebut menjadi lengkap, trombosit dapat langsung dilisiskan. Jika tidak,
trombosit disingkirkan oleh sel-sel retikuloendotel karena opsonisasi dengan imunoglobulin
dan/atau komponen komplemen C3.

4. Manifestasi klinis
- asymptomatic
- skin bleeding (petechiae, purpura, ekimosis)
- mucosal bleeding ( epistaksis, perdarahan gastrointestinal, perdarahan intrakranial)

Anda mungkin juga menyukai