Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Suatu perusahaan tertentu pada dasarnya selalu berusaha untuk mencapai

tujuan didirikannya perusahaan tersebut. Untuk menunjang agar tercapainya

tujuan itu, setiap perusahaan mempunyai aktiva (harta/asset) tertentu guna

memperlancar kegiatan yang dilaksanakan perusahaan.

Aktiva tetap merupakan komponen yang sangat penting bagi perusahaan

untuk kegiatan operasionalnya. Aktiva tetap tersebut merupakan salah satu

komponen dalam neraca, sehingga ketelitian dalam pengolahan aktiva tetap

sangat berpengaruh terhadap kewajaran penilaiannya dalam laporan keuangan.

Kewajaran penilaian aktiva tetap suatu perusahaan dapat disesuaikan

dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 16 (2009).

Dalam PSAK ini dinyatakan bahwa aset tetap adalah aset berwujud yang

dimiliki untuk digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa,

untuk direntalkan kepada pihak lain, atau tujuan administratif dan diharapkan

untuk digunakan selama lebih dari satu periode.

Aset tetap biasanya memiliki masa pemakaian lebih dari satu tahun,

sehingga diharapkan dapat memberikan manfaat bagi perusahaan dalam

jangka waktu yang relatif lama. Namun, manfaat yang diberikan aktiva tetap

umumnya semakin lama semakin menurun manfaatnya secara terus menerus,

dan menyebabkan terjadi penyusutan (depreciation).

Seiring dengan berlalunya waktu, aktiva tetap akan mengalami

penyusutan (kecuali tanah). Faktor yang mempengaruhi menurun kemampuan


suatu aktiva tetap untuk memberikan jasa/manfaaat yaitu : Secara fisik,

disebabkan oleh pemakaian dan keausan karena penggunaan yang berlebihan

dan secara fungsional, disebabkan oleh ketidakcukupan kapasitas yang

tersedia dengan yang diminta (misal kemajuan teknologi).Sehingga penurunan

kemampuan aktiva tetap tersebut dapat dialokasikan sebagai biaya.

Masalah pengalokasian biaya penyusutan merupakan masalah penting,

karena mempengaruhi laba yang dihasilkan oleh suatu perusahaan. Apabila

menggunakan metode penyusutan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip

yang berlaku atau kondisi perusahaan tersebut, maka akan mempengaruhi

pendapatan yang dilaporkan setiap periode akuntansi. Selain itu juga

mempengaruhi nilai dari aktiva tetap tersebut.

Dalam perhitungan penyusutan aktiva tetap terdapat beberapa metode

yang dapat digunakan, antara lain : metode garis lurus, metode saldo menurun,

metode jumlah angka tahun, metode unit input dan metode unitoutput.

1.2 Rumusan Masalah

1.2.1 Apa yang dimaksud dengan aset tetap?

1.2.2 Apa saja yang masuk dalam aset tetap?

1.2.3 Bagaimana posisi aset tetap dalam pajak?

1.2.4 Bagaimana pengertian investasi jangka panjang?

1.2.5 Bagaimana posisi investasi jangka panjang dalam pajak?

1.3 Tujuan Penulisan

1.3.1 Supaya pembaca paham mengenai apa itu aset tetap

1.3.2 Supaya pembaca paham mengenai aset tetap dalam pajak


1.3.3 Supaya pembaca paham mengeni investasi jangka panjang dalam

pajak
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Aset Tetap

Aset merupakan salah satu elemen dalam neraca yang menunjukkan


jumlah harta yang dimiliki oleh perusahaan atau dalam kata lain aset juga
merupakan investasi di dalam perusahaan. Menurut Keiso dan Weygandt
(2008:11-12), “Aset adalah sumber penghasilan atas usahanya sendiri,
dimana karakteristik umum yang dimilikinya yaitu memeberikan jasa atau
manfaat dimasa yang akan datang”. Terdapat berbagai jenis pengelompokan
aset yang ada dalam perusahaan, salah satunya adalah aset tetap.

Pernyataan Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) No. 16 (2012 : 16.1) 


menyatakan bahwa : “Aset tetap adalah aset berwujud yang dimiliki untuk
digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa, untuk
direntalkan kepada pihak lain, atau tujuan administratif dan diharapkan untuk
digunakan selama lebih dari satu periode”.
Menurut Warren, et. al, (2010 : 2) aset tetap merupakan aset jangka
panjang atau aset yang relatif permanen, dimiliki dan digunakan oleh
perusahaan serta tidak dimaksudkan untuk dijual sebagai bagian dari operasi
normal.
Menurut Soemarso (2010 : 20) aset tetap adalah aktiva berwujud
yang memiliki kriteria sebagai berikut :
a. Masa manfaatnya lebih satu tahun
b. Digunakan untuk kegiatan perusahaan
c. Dimiliki tidak dijual kembali dalam kegiatan perusahaan
d. Nilainya cukup besar
Berdasarkan definisi berbagai sumber di atas tentang aset tetap,
dapat disimpulkan bahwa aset tetap merupakan suatu aset yang mempunyai
bentuk fisik, mempunyai nilai yang relatif besar,  dimiliki oleh perusahaan
dan digunakan dalam operasi normal perusahaan sehari-hari serta tidak untuk
diperjualbelikan dan bersifat permanen atau mempunyai masa guna lebih dari
satu periode akuntansi.
Karakteristik Aset Tetap
Aset tetap mempunyai beberapa karakteristik dari berbagai sumber, yaitu :
Menurut Hendriksen yang diterjemahkan oleh Widjadjanto (2002 : 339),
karakteristik dari aset tetap adalah :
a. Aset tetap merupakan barang fisik yang dimiliki untuk memperlancar atau
mempermudah produksi barang-barang lain dalam kegiatan normal
perusahaan.
b. Semua aset tetap mempunyai umur terbatas dan pada akhir umurnya harus
dibuang atau diganti. Umur ini dapat merupakan estimasi jumlah tahun
yang didasarkan pada pemakaian dan keausan yang ditimbulkan oleh
unsur-unsurnya atau dapat bersifat variabel tergantung pada jumlah
penggunaan dan pemeliharaannya.
c. Nilai aset tetap berasal dari kemampuannya untuk mengesampingkan
pihak lain dalam mendapatkan hak-hak yang sah atas penggunaannya dan
bukan dari pemaksaan suatu kontrak.
d. Aset tetap seluruhnya bersifat non moneter, manfaatnya diterima dari
penjualan jasa-jasa dan bukan dari pengubahannya menjadi sejumlah uang
tertentu.
e. Pada umumnya jasa yang diterima dari aset tetap ini meliputi suatu
periode yang lebih panjang dari satu tahun atau satu siklus operasi
perusahaan.
Menurut Firdaus A Dunia (2005 : 151) menyatakan bahwa karakteristik aset
tetap, yaitu :
a. Maksud perolehannya adalah digunakan dalam kegiatan perusahaan,
bukan diperjualbelikan dalam kegiatan normal perusahaan
b. Jangka waktu pemakaian yang lebih dari satu tahun
c. Bahwa pengeluaran untuk aktiva tersebut harus merupakan pengeluaran
yang nilainya besar atau material bagi perusahaan tersebut
Sedangkan menurut Achmad Tjahjono, dkk (2009 : 112) mengungkapkan
beberapa karakteristik aset tetap, yaitu :
a. Dipergunakan untuk operasional perusahaan dan tidak  untuk dijual
b. Memiliki manfaat satu periode akuntansi atau satu siklus operasi normal
c. Memiliki fisik, karakter untuk membedakan dengan aktiva tak berwujud
d. Mempunyai nilai material

2.2 Yang Termasuk Aset Tetap


2.2.1 Aktiva tetap berwujud
Yang dimaksud dengan aktiva tetap berwujud (tangible fixed
assets) yaitu merupakan aktiva tetap yang memiliki bentuk fisik,
terdapat 3 (tiga) jenis aktiva tetap berwujud, diantaranya seperti di
bawah ini:
a. Aktiva yang merupakan sumber dari penyusutan atau depresiasi,
contohnya seperti: bangunan atau gedung, peralatan, kendaraan,
inventaris, mesin-mesin produksi dan lain sebagainya.
b. Aktiva yang merupakan sumber dari deplesi atau penyusutan,
contohnya seperti: tambang mineral, mineral deposits atau sumber
alam dan lain sebagainya. Sumber alam atau tambang dapat habis
melalui kegiatan-kegiatan eksploitasi pada sumber-sumber tersebut,
oleh sebab itu sumber alam harus dapat dialokasikan kepada
periode-periode yang dimana sumber alam atau tambang tersebut
dapat memberikan hasilnya.
c. Aktiva yang tidak mengalami penyusutan atau tidak mengalami
deplesi, contohnya seperti: tempat atau tanah dimana bagunan
perusahaan di dirikan dan lain sebagainya
2.2.2 Aktiva tetap tidak berwujud
Sedangkan yang dimaksud dengan aktiva tidak berwujud
(Intangible Assets) yaitu merupakan aktiva yang tidak memiliki wujud
fisik, akan tetapi memiliki manfaat yang besar untuk perusahaan yang
dinyatakan dalam bentuk jaminan tertentu, contohnya seperti: hak cipta,
hak paten, hak monopoli, biaya untuk riset, merek dagang, biya untuk
mendirikan perusahaan dan lain sebagainya.

2.3 Penyusutan Aset Tetap Dalam Pajak

Berdasarkan pph Nomor 36 Tahun 2008, pengeluaran untuk


memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1
tahun harus dibebankan sebagai pengeluaran untuk mendapatkan, menagih,
dan memelihara penghasilan dengan mengalokasikan pengeluaran tersebut
selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Dalam perpajakan
tidak mengenal nilai sisa karena prinsip penyusutan dalam ketentuan Pasal 11
UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 adalah mekanisme pengalokasian biaya yang
dikeluarkan untuk perolehan aset selama masa manfaat.

Menurut peraturan perpajakan, penyusutan aset tetap dimulai pada saat


tahun pengeluaran, untuk tahun 2000 dan sebelumnya (UU PPh Nomor 17
Tahun 1983). Sedangkan untuk tahun 2001 (UU PPh Nomor 17 Tahun
2000)sampai dengan sekarang (UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 ) penyusutan
dimulai pada saat bulan pengeluaran aset tetap tersebut, kecuali apabila aset
yang masih dalam proses pengerjaan yaitu pada bulan selesainya pengerjaan
aset tersebut. Dengan persetujuan Ditjen Pajak, WP diperkenankan
melakukan penyusutan mulai pada bulan aset tersebut digunakan untuk
mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan aset
yang bersangkutan mulai menghasilkan.
2.3.1 Kelompok Masa Manfaat dan Tarif penyusutan
Menurut akuntansi maupun pajak, tanah yang berstatus Hak
milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha ( HGU ),Hak
Pakai untuk pertama kalinya tidak disusutkan, kecuali nilainya
berkurang dalam pemakain.
Dilain pihak, ada harta berwujud yang menurut akuntansi dapat
disusutkan tetapi menurut perpajakan tidak dapat dibebankan sebagai
penyusutan secara keseluruhan yang dapat menjadi pengurang
penghasilan bruto dikarenakan hal-hal sebagai berikut:
a. Atas perolehan aset tersebut termasuk pengeluaran yang tidak boleh
dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai Pasal 9 ayat 1 UU PPh
Nomor 36nTahun 2008, misalnya :
 Biaya perolehan aset yang tidak mempunyai hubungan langsung
dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan,menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
 Biaya perolehan aset yang digunakan untuk memberi
perggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan
kepada karyawan, kecuali penggantian atau imbalan dalam
bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu yang berkaitan
dengan pelaksanaanpekerjaan yang ditetapkan dengan PMK-
83/PMK.03/2009.
b. Barang modal yang di SGU-kan, baik SGU dengan hak opsi
ataupun tanpa opsi bagi lessee dan SGU dengan hak opsi bagi
lessor.
2.3.2 Penyusutan dan Amortisasi
a. Ketentuan tentang Penyusutan menurut pasal 10 UU PPh
 Harta yang dapat disusutkan adalah harta berwujud yang
memiliki masa manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk
mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
menjadi objek pajak, kecuali tanah.
 Harta yang tidak dipergunakan untuk mendapatkan, menagih
dan memelihara penghasilan tidak boleh disusutkan secara
fiskal, misalnya: bangunan untuk tempat tinggal karyawan
bukan di daerah terpencil yang ditetapkan Menteri Keuangan.
Keuntungan penjualan harta tersebut merupakan objek PPh,
namun apabila terjadi kerugian tidak dapat dibebankan sebagai
biaya fiskal.
 Penyusutan aktiva dimulai pada bulan dilakukannya
pengeluaran, kecuali untuk harta yang masih dalam proses
pengerjaan, penyusutannya dimulai pada bulan selesainya
pengerjaan hrta tersebut. Dengan persetujuan Direktorat
Jenderal Pajak, penyusutan dapat dimulai pada bulan harta
tersebut dipergunakan.
b. Harga/Nilai Perolehan Aktiva Tetap
Penentuan harga prolehan aktiva tetap sangat penting karena harga
perolehan menjadi dasar untuk menghitung besarnya biaya
penyusutan tiap-tiap tahun. Adapun ketentuan sesuai dengan pasal
10 UU PPh, penentuan harga perolehan aktiva tetap sebagai berikut:
 Harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli
harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa adalah jumlah
yang sesungguhnya dikeluarkan atau diterima sedangkan apabila
terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya
dikeluarkan atau diterima.
 Nilai perolehan atau niai penjualan dalam hal terjadi tukar-
menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau
diterima berdasarkan harga pasar.
 Nilai perolehan atau nilai pengalihan harta yang dialihkan dalam
rangka likuidasi, penggabungan, peleburan pemekaran,
pemecahan, atau pengambilalihan usaha adalah jumlah yang
seharunya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar,
kecuali ditetapkan lain oleh Menteri Keuangan.
 Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka bantuan
sumbangan atau hibah:
- Yang memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi yang
meneima pengalihan, sama dengan nilai sisa buku dari pihak yang
melakukan pengalihan atau nilai yang ditetapkan Direktur
Jenderal Pajak.
- Yang tidak memenuhi syarat sebagai bukan Objek Pajak bagi
yang menerima pengalihan, sama dengan nilai pasar dan harta
tersebut.
- Dasar penilaian harta yang dialihkan dalam rangka penyetoran
modal bagi badan yang menerima pengalihan, sama dengan nilai
pasar dari harta tesebut.
2.3.3 Waktu Dilakukannya Penyusutan
a. pada bulan dilakukannya pengeluaran; atau
b. pada bulan selesainya pengerjaan suatu harta sehingga penyusutan
pada tahun pertama dihitung secara pro-rata; atau;
c. dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pada bulan harta
tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan; atau
d. dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak, pada bulan harta
tersebut mulai menghasilkan yakni saat mulai berproduksi dan bukan
saat diterima atau diperolehnya penghasilan
Menurut Undang-undang Pajak Penghasilan, penyusutan atau
deperesiasi merupakan konsep alokasi harga perolehan harta tetap
berwujud. Untuk menghitung besarnya penyusutan harta tetap
berwujud dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
a. Harta berwujud yang bukan berupa bangunan.
b. Harta berwujud yang berupa bangunan.
Harta berwujud yang bukan bangunan terdiri dari empat
kelompok, yaitu:
a. Kelompok 1: kelompok harta berwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 4 tahun.
b. Kelompok 2: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 8 tahun.
c. Kelompok 3: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 16 tahun.
d. Kelompok 4: kelompok harta terwujud bukan bangunan yang
mempunyai masa manfaat 20 tahun.
Harta terwujud yang berupa bangunan dibagi menjadi dua, yaitu:
a. Permanen: masa manfaatnya 20 tahun.
b. Tidak permanen: bangunan yang bersifat sementara, terbuat dari
bahan yang tidak tahan lama, atau bangunan yang dapat dipindah-
pindahkan. Masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.

Kelompok Harta Tarif Penyusutan


Masa Manfaat
Berwujud Garis Lurus Saldo menurun
I. Bukan Bangunan      
a. Kelompok 1 4 tahun 25% 50%
b. Kelompok 2 8 tahun 12,50% 25%
c. Kelompok 3 16 tahun 6,25% 12,50%
d. Kelompok 4 20 tahun 5% 10%
II. Bangunan      
a.P ermanen 20 tahun 5%  
b. Tidak
Permanen 10 tahun 10%  

Metode penyusutan yang dipergunakan adalah metode garis


lurus (straight line method) dan metode saldo menurun (declining
balance method). Wajib pajak diperkenankan untuk memilih salah satu
metode untuk melakukan penyusutan. Metode garis lurus
diperkenankan dipergunakan untuk semua kelompok harta tetap
terwujud. Sedangkan metode saldo menurun hanya diperkenankan
digunakan untuk kelompok harta berwujud bukan bangunan saja.
Tabel berikut menggambarkan kelompok harta berwujud,
metode, serta tarif penyusutannya:
Dengan ijin Direktur Jenderal pajak, penyusutan dapat dimulai
pada bulan harta berwujud mulai digunakan untuk mendapatkan,
menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta tersebut
mulai menghasilkan. Menurut akuntansi ada 4 faktor yang harus
dipertimbangkan dalam penghitungan besarnya biaya penyusutan suatu
aktiva, yaitu:
a. Nilai Perolehan Aktiva
b. Nilai resid
c. Dasar penyusutan
d. Umur aktiva
Metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan fiskal, yakni :
·         a. Metode garis lurus
Pada metode penyusutan garis lurus, biaya penyusutan aktiva
dialokasikan ke tiap-tiap tahun dengan jumlah yang sama. Tarif
amortisasi : 25%, 12.5%, 6.25%, 5%.
Rumus:
Penyusutan tiap tahun= NP-NR
Umur Prnikahan
Contoh:
PT. Jaya Abadi membeli sebuah aktiva yang termasuk dalam kelompok I
harta berwujud seharga Rp.100.000.000 pada tanggal 10 Juli 2009, maka
pembebanan atas biaya penyusutan aktiva tersebut berdasarkan metode
garis lurus adalah sebagai berikut :
Harga Biaya Nilai Sisa
Tahun %Penyusutan
Perolehan Penyusutan Buku
Rp.
2009 25% Rp. 12.500.000 Rp. 87.500.000
100.000.000
2010 25% Rp. 25.000.000 Rp. 62.500.000
2011 25% Rp. 25.000.000 Rp. 37.500.000
2012 25% Rp. 25.000.000 Rp. 12.500.000
2013 25% Rp. 12.500.000 Rp. 0

Keterangan :
Untuk tahun 2009 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x
25% x biaya perolehan, karena pembelian dimulai pada bulan Juli 2009
sehingga biaya yang diperkenankan hanya dari bulan Juli 2009 sampai
Desember 2009 yaitu selama 6 bulan. 
Untuk tahun 2013 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x
25% x biaya perolehan, karena sisa masa manfaat hanya untuk bulan
Januari 2011 sampai Juni 2011 yaitu selama 6 bulan.

·         b. Metode saldo menurun (declining balance method)


Dasar penyusutan adalah nilai sisa buku fiskal. Penyusutan
dengan metode saldo menurun adalah penyusutan dalam bagian-bagian
yang menurun dengan cara menerapkan tarif penyusutan atas nilai sisa
buku. Cara perlakuan nilai sisa buku suatu aktiva tetap pada akhir masa
manfaat yang disusutkan dengan metode saldo menurun adalah nilai sisa
buku suatu aktiva pada akhir masa manfaat yang disusutkan dengan
metode saldo menurun harus disusutkan sekaligus.
Contoh :
PT. Jaya Abadi membeli sebuah aktiva yang termasuk dalam kelompok I
harta berwujud seharga Rp.100.000.000 pada tanggal 10 Juli 2009, maka
pembebanan atas biaya penyusutan aktiva tersebut berdasarkan metode
saldo menurun adalah sebagai berikut :
Biaya Nilai Sisa
Tahun Harga Perolehan %Penyusutan
Penyusutan Buku
Rp.
2009 Rp. 100.000.000 50% Rp. 25.000.000
75.000.000
Rp.
2010 50% Rp. 32.500.000
32.500.000
Rp.
2011 50% Rp. 16.250.000
16.250.000
2012 50% Rp. 8.125.000 Rp. 8.125.000
Disusutkan
2013 50% Rp. 8.125.000 Rp. 0
sekaligus
Keterangan : 
Untuk tahun 2009 biaya penyusutan dihitung berdasarkan 6/12 x 50% x
biaya perolehan, karena pembelian dimulai pada bulan Juli 2009
sehingga biaya yang diperkenankan hanya dari bulan Juli 2009 sampai
Desember 2009 yaitu selama 6 bulan.
Deplesi
Deplesi ialah istilah yang digunakan dalam akuntansi untuk
menyatakan penyusutan dalam usaha pertambangan dan pengusahaan
hutan. Perpajakan menggunakan istilah lain untuk deplesi yaitu
amortisasi. Sumber pertambangan dan pengusahaan hutan adalah harta
yang berkurang secara berangsur-angsur karena penambangan atau
penebang pohon.
Menurut ketentuan pajak, hak penambangan dan hak pengusahaan
hutan termasuk harta tidak berwujud. Amortisasi menggunakan metode
satuan produksi berarti persentase amortisasi dari biaya tersebut dalam
setiap tahun pajak harus sama dengan penambangan yang dihasilkan
setiap tahun. Karena itu, harga perolehannya dapat diamortisasikan
berdasarkan metode satuan produksi dengan pembatasan sebagai berikut:
a. Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas
bumi serta pengusahaan hutan dapat diamortisasikan dengan
persentase yang tidak lebih dari 20 % tahun.
Amortisasi per tahun = Jumlah penambangan/penebangan x 20%
                                        Taksiran total produksi/deposit
b. Biaya untuk memperoleh hak atau biaya-biaya yang mempunyai
manfaat lebih dari satu tahun di bidang penambangan minyak dan gas
bumi tanpa pembatasan presentase tertentu.
Amortisasi per tahun = Jumlah penambangan  x tanpa batasan
                                      Tanpa total produksi
Metode satuan = Jum. penambangan yg dihasilkan setahun  x 100%
                                   Taksiran jumlah seluruh produksi

Contoh : 
Suatu konsensi pertambangan ditaksir jumlah depositnya 100.000 ton.
Hasil produksi 1 tahun = 10.000 ton. Berapa prosentase produksi
dalam setahun ?
(10.000 / 100.000) * 100 % = 10 %
Jadi, hak penambangan perusahaan tersebut dalam setahun
diamortisasikan sebesar 10%.

2.3.4 Penarikan dan Pelepasan Aktiva


a. Keuntungan Pelepasan Aktiva Tetap
Dalam pasal 11 UU no.7 tahun 1983 menyatakan hanya
penarikan atau pelepasan aktiva tetap golongan bangunan dan
penarikan luar biasa yang dapat menghasilkan keuntungan atau
kerugian yang di perhitungkan pada tahun penarikan.
Namun menurut UU No.10 tahun 1994 perlakuan berbeda
demikian tidak ada lagi. Hampir sama dengan perlakuan akuntansi,
semua penarikan atau pelepasan harta akan mendatangkan keutungan
atau kerugian. Perhitungan keuntungan juga di terapkan pada
transaksi tukar menukar harta walaupun tidak terjadi pembayaran.
Begitu juga dengan pertukaran harta walaupun hartanya sama atau
sejenis masih dalam satu kelompok.
Harta yang di hibahkan, diberikan atau di bantukan kepada
badan keagamaan, pendidikan, social dan pengusaha kecil termasuk
koperasi akan dihitung keuntungan bagi pelepas dan penghasilan
bagi penerima.
b.Penarikan Harta dari Pemakaian
Pengalihan harta dari pemakaian dapat terjadi karena dialihkan
kepada pihak lain, dijual, atau terjadi musibah terhadap harta
tersebut. Pengalihan atau penarikan harta menurut UU No. 10 Tahun
1994 pasal 4 ayat (1) adalah karena :
 Penjualan
 Pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal
 Pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu atau anggota
 Pengalihan harta karena likuidasi, penggabungan, peleburan,
pemekaran, pemecahan atau pengambilalihan usaha
 Pengalihan harta karena hibah, bantuan atau sumbangan
Salah satu contoh penarikan aktiva menurut UU No.10  tahun 1994 pasal
4 ayat 1 adalah penjualan.
Contoh Soal :
Sebuah aktiva yang dibeli PT”Andi” pada oktober 2000 Rp 10 juta 
dijual pada akhir Maret 2002 Rp 7.500.000,00. Apabila perusahaan itu
menghitung penyusutan dengan metode saldo menurun maka jumlah
keuntungan menurut akuntansi komersial dan akuntansi perpajakan 
dapat dihitung sebagai berikut:

Tahu Uraian Komersial Perpajakan


n
1994 Harga Perolehan 10.000.000 10.000.000
Depresiasi (3 bulan) (1.250.000) (5.000.000)

1995 Depresiasi (12 bulan) (3.750.000) (2.500.000)

1996 Depresiasi (3 bulan) (625.000) -


Nilai buku 4.375.000 2.500.000
Harga jual 7.500.000 7.500.000
Keuntungan 3.125.000 5.000.000
Berdasarkan uraian di atas, keuntungan penjualan aktiva untuk
tujuan akuntansi perpajakan lebih besar 1.875.000(5.000.000 – 3.125.000).
Dengan demikian, selisih ini merupakan penutupan kembali dari selisih
beban depresiasi perpajakan yang lebih besar.
Contoh-contoh penarikan harta :
Penarikan Harta Karena Dijual Menurut Fiskal
Sebuah mesin dengan nilai perolehan Rp 40.000.000 dengan akumulasi
penyusutan       Rp 30.000.000 dijual dengan harga Rp 17.000.000. Biaya
yang dikeluarkan berkenaan dengan penjualan sebesar Rp 2.000.000
Kalkulasi
Harga jual                                                                         Rp  17.000.000
Biaya penjualan                                                                Rp    2.000.000
Penerimaan netto                                                             Rp  15.000.000
Nilai perolehan                             Rp 40.000.000
Akumulasi penyusutan                 Rp 30.000.000
Nilai sisa buku                                                                  Rp  10.000.000
Keuntungan                                                                     Rp    5.000.000

Nilai sisa buku sebesar Rp 0 dibebankan sebagai kerugian dalam tahun


pajak yang bersangkutan. Keuntungan sebesar Rp 5.000.000 merupakan
penghasilan yang menjadi objek pajak PPh. Apabila transaksi ini dicatat
maka ayat jurnal adalah sbb:
Penerimaan kas                                        Rp 17.000.000
Akumulasi penyusutan                             Rp 30.000.000
                 Mesin                                                              Rp 40.000.000
                 Biaya                                                               Rp   2.000.000
                 Laba                                                                Rp   5.000.000

Penarikan Harta Karena Terbakar


Suatu mesin terbakar pada pertengahan tahun 1995 dengan keterangan
sbb:
Nilai perolehan                                         Rp 50.000.000
Akumulasi penyusutan                             Rp 30.000.000
Nilai sisa buku                                          Rp 20.000.000
a. Jumlah penggantian asuransi diterima pada tahun 1995 sebesar Rp
19.000.000
b. Jumlah penggantian belum dapat diketahui dan penundaan pembebanan
kerugian tidak diajukan untuk ditunda kepada Dirjen Pajak
c. Jumlah penggantian asuransi belum dapat diketahui, karena itu
penundaan kerugian diajukan utnuk ditunda kepada Dirjen Pajak
Menurut ketentuan fiskal maka penarikan harta karena terbakar dicatat :
a. Nilai sisa buku mesin Rp 20.000.000 dicatat sebagai kerugian, sedang
penerimaan pengganti asuransi Rp 19.000.000 dicatat sbagai
penghasilan dalam tahun yang bersangkutan. Karena nilai sisa buku
lebih besar daripada penggantian asuransi maka wajib pajak menderita
rugi Rp 1.000.000 (Rp 20.000.000 – Rp 19.000.000)
Kas                                         Rp 19.000.000
Akumulasi penyusutan           Rp 30.000.000
Kerugian                                Rp   1.000.000
           Mesin                                                  Rp 50.000.000
b. Jumlah penggantian belum dapat diketahui karena itu kerugian sebesar
nilai sisa buku Rp 20.000.000 harus segera dibebankan sebagai
kerugian pada tahun yang bersangkutan. Kejadian ini dapat dicatat
dengan ayat jurnal sebagai berikut :
Akumulasi penyusutan           Rp 30.000.000
Kerugian                                Rp 20.000.000
           Mesin                                                  Rp 50.000.000
c. Wajib pajak tidak perlu mencatat kerugian dalam tahun terjadinya
kebakaran. Namun penyusutan mesin harus dihentikan

2.3.4 Pengertian Investasi Jangka Panjang


Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2007);PSAK no 13:13.1
menyatakan bahwa “Investasi adalah suatu aktiva yang digunakan
perusahaan untuk pertumbuhan kekayaan (accretion of wealt) melalui
distribusi hasil investasi (seperti bunga, royalti, deviden, dan uang sewa)
untuk apresiasi nilai investasi atau untuk manfaat lain bagi perusahaan
yang berinvestasi”.

Investasi jangka panjang adalah penanaman sebagian kekayaan


suatu perusahaan pada perusahaan lain dengan maksud untuk memperoleh
pendapatan tetap dan atau untuk menguasai atau mengendalikan
perusahaan tersebut.

Berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan , PSAK No 13


paragraf 3 menyatakan bahwa “Investasi jangka panjang adalah investasi
selain investasi lancar”.

Investasi jangka panjang dapat berupa :

a. Penyertaan dalam bentuk saham, obligasi, dan surat berharga lainnya.


b. Dana untuk melunasi utang jangka panjang, atau dana khusus lainnya.
c. Aktiva lain-lain, seperti pembelian tanah dengan rencana penggunaan
dimasa yang akan datang.

Tujuan investasi jangka panjang:

a. Untuk memperoleh pendapatan yang tetap dalam setiap periode, antara


lain seperti bunga, royalti, deviden, atau uang sewa dan lain-lain
b. Untuk membentuk suatu dana khusus, misalnya dana untuk kepentingan
ekspansi dan kepentingan sosial
c. Untuk mengontrol atau mengendalikan perusahaan lain, melalui
pemilikan sebagian ekuitas perusahaan tersebut
d. Untuk menjamin tersedianya bahan baku dan mendapatkan pasar untuk
produk yang dihasilkan
e. Untuk menjaga hubungan antar perusahaan

2.3.5 Posisi Investasi Jangka Panjang Dalam Pajak

a. Investasi Jangka Panjang dalam Laporan Laba Rugi

Laba atau rugi dalam penjualan investasi jangka panjang biasanya


dilaporkan dalam perhitungan laba rugi. Penghasilan penjualan investasi
umumnya dipisahkan dari penghasilan yang diterima dari kegiatan usaha.

Peneriman dividen saham dan bunga dari obligasi merupakan


penghasilan lain-lain. Hal ini dicatat dalam perhitungan laba rugi dengan
jumlah bersih. Dividen atau bunga obligasi yang diperoleh atau diterima
sebagai hasil investasi adalah objek yang dikenakan PPh. Dividend an
bunga obligasi yang diterima atau diperoleh dipungut PPh oleh si
pemberi penghasilan. Pembayaran pajak yang dipungut itu tidak dapat
dikreditkan pada akhir tahun pajak.

b. Investasi Jangka Panjang dalam Saham

Pada umumnya, nilai yang dibukukan untuk investasi dalam saham


adalah nilai perolehannya. Namun, adakalanya nilai saham yang dimiliki
akan berkurang. Apabila terjadi pengurangan nilai yang cukup material
dan sifatnya permanen, maka selisihnya dapat diperhitungkan sebagai
kerugian yang dibebankan ke laba rugi dan akun cadangan penurunan
investasi. Namun, ketentuan perpajakan tidak memperkenankan
pengurangan nilai tersebut sebagai biaya.

IAI (2007) dalam PSAK 15 mengatur perlakuan akuntansi untuk


investor yang melakukan investasi dalam perusahaan asosiasi (investor
mempunyai pengaruh signifikan dalam keputusan yang menyangkut
kebijakan finansial dan operasi perusahaan). Pengaruh tersebut diukur
berdasarkan kepemilikan 20% atau lebih dari hak perusahaan investee.

Berdasarkan PSAK 15, investasi saham pada perusahaan asosiasi


dapat dibukukan dengan berpedoman pada metode harga perolehan (cost)
atau ekuitas (equity), bergantung dari signifikansi pengaruh investor.
Perbedaan dari kedua metode itu terletak pada saat pengakuan
penghasilan investasi. Berbeda dengan metode ekuitas yang mengakui
penghasilan secara proporsional dengan keuntungan yang diperoleh
investee, metode harga perolehan mengakui penghasilan apabila telah
secara resmi ada deklarasi (pembayaran) dividen.

Dalam praktik, bergantung pada tingkat kepemilikan, akuntansi


investasi saham bervariasi antara metode (a) harga perolehan: untuk
pemilikan sampai 20%; (b) ekuitas: untuk pemilikan antara 20% sampai
dengan 50%; dan (c) konsolidasi: untuk pemilikan lebih dari 50%. IAI
(2007), dalam PSAK 4 menyatakan bahwa investasi pada anak
perusahaan terkendali yang ditunjukkan dalam bentuk pemilikan saham
lebih dari 50% hak suara, oleh perusahaan lain harus dikonsolidasikan
dengan laporan keungan investor dengan pengungkapan selengkapnya
terhadap hak minoritas.

Jurnal akuntansi pajak untuk transaksi investasi dalam saham


dengan menggunakan cost method dan equity method adalah sebagai
berikut.

Transaksi Cost Method


Pembelian Investasi dalam xxxx
Investasi saham-PT... xxxx
Kas/Bank - -
Pengumuman Tidak ada jurnal xxxx
Laba Kas/Bank xxxx
Pembagian PPh 23 dibayar di xxxx
Dividen muka
Pembayaran
dividen

Transaksi Equity Method (jika kepemilikan saham ≤ 25%)


Pembelian Investasi dalam xxxx
Investasi saham-PT... xxxx
Kas/Bank xxxx
Pengumuman Investasi dalam xxxx
Laba saham-PT... xxxx
Pendapatan xxxx
Pembagian Investasi xxxx
Dividen Kas/Bank
PPh 23 dibayar di
muka
Investasi
dalam saham-
PT...
Transaksi Equity Method (jika kepemilikan saham ≥ 25%)
Pembelian Investasi dalam xxxx
Investasi saham-PT... xxxx
Kas/Bank xxxx
Pengumuman Investasi dalam xxxx
Laba saham-PT... xxxx
Pendapatan xxxx
Pembagian Investasi
Dividen Kas/Bank
Investasi
dalam saham-
PT...
Untuk tujuan perpajakan, tidak terdapat ketentuan yang secara
eksplisit menyebut metode pembukuan investasi jangka panjang saham,
selain yang tersebut dalam Penjelasan Pasal 10 ayat 5 UU PPh.
Penjelasan tersebut menyatakan bahwa investasi saham, sama halnya
dengan persediaan, dibukukan berdasarkan harga perolehan tanpa
memperhatikan persentasi kepemilikan.

Karena salah satu penghasilan investasi saham adalah dividend an


pajak terutang (pada umumnya) pada saat pembagian, dapat disimpulkan
bahwa penilaian investasi saham untuk perpajakan berlaku metode harga
perolehan. Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 17 ayat
(2c) dan PP Nomor 19 Tahun 2009, dividen yang dikenakan pajak adalah
dividen yang diterima oleh Wajib Pajak (WP) orang pribadi dalam
negeri. Atas penghasilan berupa dividen tersebut dikenakan pajak yang
bersifat final dengan tarif 10% dari penghasilan bruto. Menurut UU PPh
Nomor 36 Tahun 2008 pasal 4 ayat (3), dividen yang dikecualikan dari
objek PPh 23 adalah dividen yang diterima oleh PT sebagai WP dalam
negeri, koperasi, BUMN/BUMD dari penyertaan modal pada badan
usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, dengan
syarat: dividen yang dibagikan berasal dari cadangan laba ditahan dan
untuk PT, BUMN/BUMD kepemilikan saham paling rendah 25% dari
jumlah modal yang disetor.

Berbeda dengan dividen, keuntungan pengalihan saham dikenakan


pajak. Keuntungan itu secara umum dimengerti sebagai kelebihan harga
jual di atas perolehan. Apabila penjualan pasar saham dilakukan di pasar
modal, sama halnya dengan sekuritas saham (investasi lancar),
penghasilan dari penjualan itu dikenakan PPh sebesar 0,1% untuk bukan
saham pendiri dan tambahan 0,5% untuk saham pendiri dan bersifat final.
Sementara itu, jika penjualan dilakukan tidak melalui pasar modal, maka
keuntungan dari penjualan itu harus diakui sebagai penghasilan di luar
usaha yang harus digabungkan dengan penghasilan lain untuk dilaporkan
dalam Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh Badan.

Menurut PP Nomor 138 Tahun 2000, saham bonus yang diterima


oleh pemegang saham, yang berasal dari konversi agio saham, tidak
termasuk dalam pengertian dividen sebagaimana diatur dalam Penjelasan
Pasal 4 ayat (1) huruf g UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, karena
merupakan bagian keuntungan yang diterima oleh pemegang saham.
Dengan demikian, penerimaan saham bonus yang berasal dari konversi
agio saham tidak termasuk sebagai objek pemotongan PPh 23. Sementara
itu, saham bonus yang berasal dari retained earning merupakan bagian
keuntungan, sehingga termasuk pengertian dividen sebagaimana
dimaksud dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf g dan Pasal 23 ayat (1)
huruf a angka 1 UU PPh.

Penghasilan berupa saham bonus tersebut harus dilaporkan dalam


SPT Tahunan PPh, dengan ketentuan bahwa pengakuan penghasilan atas
saham bonus yang berasal dari konversi agio adalah pada saat dijual,
karena belum dimasukkan sebagai penghasilan pada saat
diterima/diperoleh.

Contoh :
WP Alain adalah pemegang saham PT XYZ, pada tahun 1990 memiliki
5000 lembar saham dengan harga perolehan Rp 3.000 per lembar saham.
Pada tahun 1992, PT XYZ membagikan saham bonus yang berasal dari
konversi agio saham dengan perbandingan 1:1 yaitu setiap satu lembar
saham memperoleh satu saham bonus. Pada bulan Agustus 1993, WP
Alain menjual 1000 lembar saham dengan harga Rp 5.000 per lembar
saham.

Dengan demikian penghasilan yang harus dimasukkan dalam SPT


Tahunan PPh Tahun 1993 dari keuntungan atas penjualan saham adalah:

1. Harga perolehan setiap lembar saham:


a. 5000 lbr yang diperoleh tahun 1990 @ Rp 3.000 = Rp 15.000.000
b. 5000 lbr yang diperoleh tahun 1992 @ Rp 0 = Rp 0
2. Jumlah saham 10.000 lembar = Rp
15.000.000
3. Harga perolehan rata-rata per lembar saham = Rp
1.500
4. Harga penjualan : 1000 x Rp 5000 = Rp 5.000.000
5. Harga perolehan 1000 lembar saham:
1000 x Rp 1.500 = Rp 1.500.000
6. Keuntungan = Rp 3.500.000

Untuk mempertahankan proporsi pemilikan saham pesero (pemegang


saham), pada umumnya apabila perusahaan akan menerbitkan saham
baru kepada persero lama diberikan hak membeli terlebih dahulu (pre-
emptive rights). Kelaziman dalam akuntansi komersial untuk
mengalokasikan harga perolehan saham kepada rights tersebut. Penjualan
rights di atas harga alokasi itu merupakan keuntungan. Sementara itu,
kalau hak itu dimanfaatkan untuk membeli saham baru (dengan harga
yang lebih rendah dari harga pasar), harga perolehan (alokasi) rights
ditambahkan pada pembelian dan diakui sebagai harga perolehan saham
baru. Apabila rights tidak dimanfaatkan, alokasi biaya umumnya
dianggap sebagai kerugian. Dalam ketentuan perpajakan, alokasi tersebut
tidak dilakukan sehingga hasil penjualan rights merupakan Penghasilan
Kena Pajak seluruhnya.

c. Investasi Jangka Panjang dalam Obligasi

Obligasi adalah surat utang jangka panjang dengan tingkat bunga


tertentu. Obligasi dapat dibeli sesuai dengan nilai nominal atau nilai kurs.
Nilai obligasi sebagai investasi dicatat sesuai dengan harga perolehannya.
Pembayaran untuk bunga sehubungan dengan obligasi yang diperoleh di
antara tanggal pembayaran bunga harus dinyatakan terpisah dari harga
perolehannya.

Obligasi merupakan surat peminjaman uang yang akan dilunasi


setelah jangka waktu tertentu. Umumnya obligasi memberikan
penghasilan bunga dengan jumlah tetap kepada investor. Adakalanya
obligasi juga mempunyai hak atas pembagian keuntungan. Penjelasan
Pasal 4 ayat (1) bagian g UU PPh menganggap bagian keuntungan
tersebut sebagai dividen. Kalau diterima atau diperoleh oleh pemegang
obligasi yang berbentuk perseroan terbatas sebagai WP dalam negeri,
koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah,
dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat
kedudukan di Indonesia, maka bagian keuntungan yang diterima tersebut
tidak termasuk sebagai objek PPh, dengan syarat:

1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan


2. Bagi perseroan terbatas, BUMN dan BUMD yang menerima dividen,
kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah
25% dari jumlah modal yang disetor.
Namun, bagi pembayar bunga yang direkarakteristik sebagai dividen,
pembagian laba dengan nama dan dalam bentuk apa pun termasuk
pembayaran dividen, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan badan
yang membagikannya karena pembagian laba tersebut merupakan bagian
dari penghasilan badan tersebut yang akan dikenakan pajak berdasarkan
undang-undang ini.
Karena pada saat jatuh temponya obligasi akan dibayar (kembali)
sejumlah nominalnya, agio obligasi merupakan kerugian bagi investor
dan sebaliknya disagio merupakan penghasilan. Hal ini sebaliknya
berlaku untuk perusahaan penerbit obligasi . Dalam praktik akuntansi
komersial, dengan adanya agio dan disagio (diskonto) obligasi tersebut,
investor mendapatkan penghasilan bunga efektif yang berbeda dengan
tingkat bunga nominal (yang tersurat di atas warkat obligasi).
Penghitungan bunga efektif tersebut menghendaki adanya amortisasi agio
dan disagio sebagai koreksi terhadap nilai buku obligasi.
Contoh :
Pada 1 Juli 2009 Saudara Budi membeli sepuluh lembar obligasi PT. Noni
dengan harga nominal Rp 10.000 dan dengan kurs sebesar 110%. Bunga
obligasi 12% per tahun dibayar tiap 1 April dan 1 Oktober. Komisi
pialang Rp 8.000. Obligasi akan dilunasi pada 31 Desember 2013 (4,5
tahun lagi).

Pencatatan investasi obligasi oleh saudara Budi tahun 2009:

Tangga Keterangan Debit Kredit


l
01-Jul- Investasi Obligasi 110.000
09 Penghasilan bunga 3.000
Utang PPh Ps. 1.500
4 ayat (2) 111.500
Kas

Sesuai PP Nomor 16 Tahun 2009, Saudara Budi berkewajiban melakukan


pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) atas premium diskonto yang merupakan
penghasilan bagi yang menerbitkan obligasi sebesar 15% x Rp 10.000 =
Rp 1.500

Tangga Keterangan Debit Kredit


l
10- Utang PPh Ps. 4 ayat 1.500
Ags- (2) 1.500
09 Kas

Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, Saudara Budi harus telah


menyetorkan PPh Pasal 4 ayat (2) yang telah dipotongnya ke Kas
Negara.

Tangga Keterangan Debit Kredit


l
01-Jul- Biaya Komisi 8.000
09 Utang PPh 21 400
Kas 7.600

Sesuai Pasal 21 UU PPh, Saudara Budi berkewajiban melakukan


pemotongan PPh 21 atas pembayaran komisi yang merupakan
penghasilan bagi yang menerima sebesar 5% x Rp 8.000 = Rp 400

Tangga Keterangan Debit Kredit


l
10- Utang PPh 21 400
Ags- Kas 400
09
Paling lambat tanggal 10 bulan berikutnya, Saudara Budi harus telah
menyetorkan PPh 21 yang telah dipotongnya ke kas Negara.

Tangga Keterangan Debit Kredit


l
01-Okt- Kas 5.100
09 PPh 23 dibayar di 900
muka 6.000
Kas
Sesuai PP Nomor 16 Tahun 2009, pendapatan bunga yang diterima Saudara
Budi berkewajiban dilakukan pemotongan PPh Pasal 4 ayat (2) oleh PT
Noni sebagai pemberi penghasilan sebesar 15% x Rp 6000 = Rp 900.
PPh ini bersifat final sehingga tidak dapat diperhitungkan (dikreditkan)
oleh Saudara Budi pada SPT Tahunan Saudara Budi.

Tanggal Keterangan Debit Kredit


31-Des- Piutang bunga 3.000
09 Penghasilan 3.000
bunga

Tanggal Keterangan Debit Kredit


31-Des- Penghasilan bunga 1.111
09 Premium 1.111
obligasi
Premium obligasi diamortisasi sebesar Rp 1.111 untuk 6 bulan selama tahun
2009 yang dimasukkan dalam pos pengurang penghasilan bunga.

Tanggal Keterangan Debit Kredit


31-Des- Penghasilan bunga 4.889
09 Rugi-laba 4.889

Penghasilan bunga obligasi merupakan penghasilan yang bersifat final,


sehingga pada akhir tahun tidak akan dilakukan penggabungan dengan
penghasilan lain dan tidak dilakukan penghitungan kembali pada SPT
Tahunan Saudara Budi.
d. Investasi dalam Surat Berharga yang Lain
` Selain saham dan obligasi, perusahaan dapat melakukan investasi
pada surat berharga yang lain, misalnya warkat komersial. Pencatatana
pada investasi dalam warkat komersial itu hampir sama dengan obligasi.
Perbedaan kecil kemungkinan terjadi dengan adanya diskonto pada jenis
surat berharga tersebut. Diskonto dimaksud merupakan penghasilan dari
pemegang warkat komersial yang akan direalisasi pada saat pelunasan
warkat tersebut.
e. Investasi dalam Dana
Perusahaan karena keharusan (sesuai dengan kontrak) atau secara
sukarela setiap tahun dapat menyisihkan suatu dana dalam jumlah
tertentu. Dana tersebut dapat dibentuk misalnya untuk pelunasan piutang
(obligasi), saham preferen atau pembelian asset. Dalam hubungan dengan
ketentuan perpajakan, sebagai contoh dengan pembentukan dana
(cadangan) reklamasi perusahaan pertambangan yang dananya harus
dititipkan pada bank pemerintah Selanjutnya, dana itu dapat dikelola
sendiri atau diserahkan kepada pihak ketiga.
Penanaman dana tersebut dapat memberikan hasil bagi perusahaan,
misalnya dalam bentuk bunga (dari deposito dan tabungan yang lain),
dividen (dari saham), dan sewa (dari harta). Pasal 4 ayat (3) bagian h UU
PPh Nomor 36 Tahun2008 menyatakan penghasilan dari modal yang
ditanamkan di bidang-bidang tertentu berdasarkan KMK oleh dana
pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan
dikecualikan dari Objek Pajak. Penanaman modal oleh dana pensiun
dimaksudkan untuk pengembangan dan pemupukan dana untuk
pembayaran kembali kepada peserta pensiun di kemudian hari, sehingga
penanaman modal tersebut perlu diarahkan pada bidang-bidang yang
tidak bersifat spekulatif atau yang berisiko tinggi. Oleh karena itu
penentuan bidang-bidang tertentu dimaksud ditetapkan dengan KMK.
f. Investasi dalam Aset lain-lain
Perusahaan dapat melakukan investasi pada asset lain-lain, misalnya
tanah dan bangunan atau property. Selain karena ada kelebihan dana,
investasi tersebut dapat dimaksudkan untuk keperluan ekspansi masa
yang akan datang. Penghasilan dari investasi tersebut pada umumnya
merupakan Penghasilan Kena Pajak. Begitu juga dengan keuntungannya
apabila investasi tersebut dijual.
DAFTAR PUSTAKA

1. Agoes, Sukrisno. 2009. Akuntansi Perpajakan Edisi 2. Jakarta: Salemba


Empat.
2. Jusup, Al. Haryono.1993. Dasar-Dasar Akuntansi 2.  Edisi 4. Yogyakarta:
Bagian Penerbitan STIE YKPN.
3. Hendriksen, S. Eldon.,dan Nugroho W. Teori Akuntansi. Edisi 4. Jakarta:
Erlangga.`
4. Tuanakotta, M. Theodorus. Teori Akuntansi 2. Jakarta: Fakultas Ekonomi
Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai