Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Spondilolistesis merupakan pergeseran kedepan korpus vertebra dalam
hubungannya dengan sacrum atau kadang hubungan dengan vertebra lainnya.
Kelainan terjadi akibat hilangnya kontinuitas pars intervertebralis sehingga menjadi
kuran kuat untuk menahan pergeseran tulang belakang. Dikenali 5 jenis utama
spondilolistesis, yaitu : displastik (kongenital), isthmic, degeneratif, trauma dan
patologis. 1

Gejalanya berupa nyeri pinggang yang semakin hebat bila berdiri, berjalan,atau
berlari, dan berkurang bila beristirahat. Biasanya otot biceps femur, semitendinosus,
semimembranosus dan grasilis tegang sehingga ekstensi tungkai terbatas.
Foto rontgen memberikan gambaran yang jelas menunjukkan kelainan vertebra.
Kelainan ini mungkin tidak bergejala sehingga perlu pemeriksaan klinis dan
radiologis berkala. Adanya pergeseran yang progresif merupakan indikasi untuk
melakukan stabilisasi. Nyeri pinggang yangr ingan biasanya dapat diatasi dengan
pemakaian alat penguat lumbosacral. 1

Pada spondilolistesis tipe kongenital, pergeseran mungkin demikian berat


sehingga mempersempit panggul dan tidak memungkinkan persalinan per vaginam. 1

1.2 Tujuan
Tujuan penulisan referat ini adalah untuk menambah wawasan penulis dan
pembaca mengenai spondilolistesis yang cukup banyak dijumpai selama mengikuti
kepaniteraan klinik Neurologi di RS dr. Marzoeki Mahdi Bogor.

1
BAB II
ANATOMI DAN FISIOLOGI VERTEBRA

Kolumna vertebralis merupakan poros tulang rangka tubuh yang memungkinkan


untuk beregrak. Columna vertebralis terbentang dari cranium sampai ujung os coccygis.
Kolumna vertebralis melindungi medulla spinalis, menyangga berat tubuh, dan
merupakan sumbu bagi tubuh yang untuk sebagian kaku dan untuk sebagian lentur, serta
berfungsi sebagai poros untuk kepala berputar.2
Kolumna vertebralis terdiri dari 33 vertebra yang teratur dalam 5 daerah, tetapi
hanya 24 dari jumlah tersebut ( 7 vertebra cervicalis, 12 vertebra thorakalis, dan 5
vertebra lumbalis) yang dapat
digerakan pada orang dewasa.
Pada orang dewasa ke lima
vertebra sacralis melebur untuk
membentuk os sacrum dan
keempat vertebra coccygea
melebur untuk membentuk os
coccygis. Korpus vertebra
berangsur menjadi lebih besar
ke ujung kaudal kolumna
vertebralis, dan kemudian
berturut-turut menjadi makin
kecil ke ujung os coccygis.
Perbedaan structural ini
berhubungan dengan keadaan
bahwa daerah lumbal dan
sakral menanggung beban yang lebih besar daripada servikal dan torakal. Lengkung
torakal dan sakrokoksigeal mencekung ke arah ventral. Sedangkan servikal dan lumbal
mencekung ke arah dorsal. 2

2
Vertebra dari berbagai daerah berbeda dalam ukuran dan sifat khas lainnya, dan
vertebra dalam satu daerah pun satu dengan yang lain memperlihatkan perbedaan yang
lebih kecil. Vertebra yang khas terdiri dari corpus vertebra dan arcus vertebra. Corpus
vertebrae adalah bagian ventral yang memberi kekuatan pada kolumna vertebralis dan
menanggung berat tubuh. Corpus vertebrae terutama dari vertebra thorakalis IV ke kaudal
berangsur bertambah besar supaya dapat memikul beban yang makin berat. Arcus
vertebrae adalah bagian dorsal vertebra yang terdiri dari pediculus dan lamina arcus
vertebra. Pediculus adalah taju pendek yang kokoh dan menghubungkan lengkung pada
corpus vertebrae; incisura vertebralis merupakan torehan pada pediculus arcus vertebrae.
Incisura vertebralis superior dan incisura vertebralis inferior pada vertebra-vertebra yang
bertetangga membentuk sebuah foramen intervertebalis. Pediculus menjorok kearah
dorsal untuk bertemu dengan dua lempeng tulang yang lebar dan gepeng, yakni lamina
arcus vertebra. Arcus vertebra dan permukaan dorsal corpus vertebra membatasi foramen
vertebrale. Foramen vertebrale berurutan pada kolumna vertebralis yang utuh
membentuk canalis vertebralis yang berisi medulla spinalis, meningens, jaringan lemak,
akar saraf dan pembuluh darah. 2

3
Tujuh prossesus menonjol dari arcus vertebra : 2
 Prosessus spinosus menonjol dari tempat persatuan kedua lamina dan
bertumpang di sebelah dorsal pada prosessus spinosus vertebra di
bawahanya.
 Dua prosessus transversus menonjol kea rah dorso lateral dari tempat
persatuan pediculus dan lamina arcus vertebra.
 Prosessus articularis superior dan inferior, masing-masing terdapat di
kanan dan kiri juga berpangkal pada tempat persatuan pediculus dan
lamina.
Sendi-sendi kolumna vertebralis terdiri dari sendi-sendi korpus vertebralis, sendi-
sendi arcus vertebralis, sendi kraniovertebralis, sendi kostovertebralis dan sendi sacro-
iliaca. Sendi korpus vertebralis termasuk jenis sendi kondral (simfisis) yang dirancang
untuk menangguang beban dan kekuatan. Permukaan vertebra-vertebra berdekatan yang
bersendi memperoleh hubungan melalui sebuah discus dan ligamentum. Setiap discus
intervertebralis terdiri dari annulus fibrosus yang terbentuk dari lamel-lamel
fibrokartilago yang teratur konsentris mengelilingi nucleus pulposus yang berkonsistensi
jeli. Antara vertebra servikalis I (atlas) dan II (axis) tidak terdapat diskus intervertebralis.
Ketebalan diskus intervertebralis di berbagai daerah berbeda satu dari yang lain; diskus
intervertebralis yan paling
tebal terdapat di daerah lumbal
dan yang paling tipis di daerah
torakal sebelah kranial. 2
Facet join
(articulation zygapophysealis)
adalah persendian kecil yang
menghubungkan tulang
vertebra dengan yang lainnya.
Sendi faset merupakan sendi
diartrosis yang membolehkan
tulang belakang bergerak. Oleh

4
karena kelenturan kapsul sendi, tulang belakang mampu bergerak dalam batas wajar
dengan arah yang berbeda-beda. 2

5
BAB III
SPONDILOLISTESIS

3.1 Definisi
Kata spondylolisthesis berasal dari bahsa Yunani yang terdiri atas kata
“spondylo” yang berarti tulang belakang (vertebra) dan “listhesis” yang berarti bergeser.
Maka spondilolistesis adalah suatu pergeseran korpus vertebrae (biasanya kedepan)
terhadap korpus vertebra yang terletak dibawahnya. Umumnya terjadi pada pertemuan
lumbosacral (lumbosacral joints) dimana L5 bergeser (slip) diatas S1, akan tetapi hal
tersebut dapat terjadi pula pada tingkat vertebra yang lebih tinggi. 3
Umumnya diklasifikasikan ke dalam lima bentuk : kongenital atau displastik,
isthmus, degeneratif, traumatik dan patologis. Banyak kasus dapat diterapi secara
konservatif. Meskipun demikian, pada individu dengan radikulopati, klaudikasio
neurogenik, abnormalitas postural dan cara berjalan yang tidak berhasil dengan
penanganan non-operatif, dan terdapatnya pergeseran yanf progresif, pembedahan
dianjurkan. Tujuan pembedahan adalah untuk menstabilkan segmen spinal dan
dekompresi elemen saraf jika dibutuhkan.

3.2 Epidemiologi
Spondilolistesis mengenai 5-6 % populasi pria, dan 2-3 % wanita. Karena gejala
yang diakibatkan olehnya bervariasi, kelainan tersebut sering ditandai dengan nyeri pada
bagian belakang (low back pain), nyeri pada paha dan tungkai. Sering penderita
mengalami perasaan tidak nyaman dalam bentuk spasme otot, kelemahan dan ketegangan
otot betis. Meskipun demikian, banyak penelitian menyebutkan bahwa terdapat
predisposisi kongenital dalam terjadinya spondilolistesis dengan prevalensi sekitar 69 %
pada anggota keluarga yang terkena. Lebih lanjut, kelainan ini juga berhubungan dengan
meningkatnya insidensi spina bifida sacralis.3
Kira-kira 82 % kasus isthmic spondilolistesis terjadi di L5-S1. 11,3 % terjadi di
L4-L5. Kelainan kongenital seperti spina bifida occulta berkaitan dengan munculnya
isthmic spondilolistesis. 3

6
Degenarative spondilolistesis terjadi lebih sering seiring bertambahnya usia.
Vertebra L4-L5 terkena 6-10 kali lebih sering dibanding lokasi lainnya. Sakralisasi L5
sering terlihat pada degenerative spondilolistesis L4-L5. Tipe ini biasanya muncul 5 kali
lebih sering pada wanita dibanding pria, dan sering pada usia lebih dari 40 tahun.
Spondilolistesis kongenital (tipe displastik) terjadi 2 kali lebih sering pada wanita
dengan permulaan gejala muncul pada usia remaja. Tipe ini biasanya terjadi sekitar 14-21
% dari semua kasus spondilolistesis.

3.3 Etiologi dan Klasifikasi


Etiologi spondylolistesis adalah multifaktorial. Predisposisi kongenital tampak
pada spondilolistesis tipe 1 dan 2, dan postur, gravitasi, tekanan rotasional dan stres/
tekanan konsentrasi tinggi pada sumbu tubuh berperan penting dalam terjadinya
pergeseran tersebut. Terdapat 5 tipe utama spondilolistesis :4
a. Tipe I disebut dengan spondilolistesis displastik (kongenital) dan terjadi akibat
kelainan kongenital. Biasanya pada permukaan sacral superior dan permukaan
L5 inferior atau keduanya dengan pergeseran vertebra L5. 4
b. Tipe II, istmhik atau spondilolitik, dimana lesi terletak pada bagian isthmus
atau pars interartikularis, mempunyai angka kepentingan klinis yang bermakna
pada individu di bawah 50 tahun. Jika defeknya pada pars interartikularis tanpa
adanya pergeseran tulang, keadaan ini disebut dengan spondilolisis. Jika satu
vertebra mengalami pergeseran kedepan dari vertebra yang lain, kelainan ini
disebut dengan spondilolistesis. Tipe II dibagi dalam tiga subkategori :
 Tipe IIA yang kadang-kadang disebut dengan lytic atau stress
spondilolistesis dan umumnya diakibatkan oleh mikro-fraktur rekuren
yang disebabkan oleh hiperekstensi. Juga disebut dengan stress fraktur
pars interarticularis dan paling sering terjadi pada laki-laki.
 Tipe IIB umumnya juga terjadi akibat mikro-fraktur pada pars
interartikularis. Meskipun demikian, berlawanan dengan tipe IIA, pars
interartikularis masih tetap intak, akan tetapi meregang dimana fraktur
mengisinya dengan tulang baru. 4

7
 Tipe IIC sangat jarang terjadi dan disebabkan oleh fraktur akut pada
bagian pars interartikularis. Pencitraan radioisotop diperlukan dalam
menegakkan diagnosis kelainan ini.

c. Tipe III, merupakan spondilolistesis degenerative, dan terjadi sebagai akibat


degenerasi permukaan sendi vertebra. Perubahan pada permukaan sendi
tersebut akan mengakibatkan pergeseran vertebra ke depan atau ke belakang.
Tipe spondilolistesis ini sering dijumpai pada orang tua. Pada tipe III,
spondilolistesis degenerative pergeseran vertebra tidak melebihi 30 %.
d. Tipe IV, spondilolistesis traumatic, berhubungan dengan fraktur akut pada
elemen posterior (pedikel, lamina atau permukaan/ facet) dibandingkan dengan
fraktur pada bagian pars interartikularis.
e. Tipe V, spondilolistesis patologik, terjadi karena kelemahan struktur tulang
sekunder akibat proses penyakit seperti tumor atau penyakit tulang lainnya.

3.4 Patofisiologi
Sekitar 5-6 % pria dan 2-3 % wanita mengalami spondilolistesis. Pertama sekali
tampak pada individu yang terlibat aktif dengan aktifitas fisik yang berat seperti angkat
besi, senam dan sepak bola. Pria lebih sering menunjukkan gejala dibandingkan dengan
wanita, terutama diakibatkan oleh tingginya aktivitas fisik pada pria. Meskipun beberapa
anak-anak dibawah usia 5 tahun dapat mengalami spondilolistesis, sangat jarang anak-
anak tersebut didiagnosis dengan spondilolistesis. Spondilolistesis sering terjadi pada
anak usia 7-10 tahun.

8
Peningkatan aktivitas fisik pada masa remaja dan dewasa sehari-hari
mengakibatkan spondilolistesis sering dijumpai pada remaja dan dewasa. Spondilolistesis
dikelompokkan ke dalam lima tipe utama dimana masing-masing mempunyai patologi
yang berbeda. Tipe tersebut antara lain tipe displastik, isthmic, degenerative, traumatic
dan patologik. Spondilolistesis displastik merupakan kelainan kongenital yang terjadi
karena malformasi lumbosacral joints dengan permukaan sendi yang kecil dan
inkompeten. Spondilolistesis displastik sangat jarang terjadi, akan tetapi cenderung
berkembang secara progresif, dan sering berhubungan dengan deficit neurologis berat.
Sangat sulit diterapi karena bagian elemen posterior dan prosessus transversus cenderung
berkembang kurang baik, meninggalkan area permukaan kecil untuk fusi pada bagian
posterolateral.
Spondilolistesis displastik terjadi akibat defek arkus neural, seringnya pada
sacrum bagian atas atau L5. Pada tipe ini, 95 % kasus berhubungan dengan spina bifida
occulta. Terjaid kompresi serabut saraf pada foramen S1, meskipun peregserannya
minimal. Spondilolistesis isthmic merupakan bentuk spondilolistesis yang paling sering.
Spondilolistesis isthmic (juga sering disebut spondilolistesis spondilolitik) merupakan
kondisi yang paling sering dijjumpai dengan angka prevalensi 5-7 %. Fredericson et al
menunjukkan bahwa defek spondilolistesis biasanya didapatkan pada usia 6-16 tahun,
dan pergeseran tersebut sering lebih cepat. Ketika pergeseran terjadi, jarang berkembang
progresif, meskipun suatu penelitian tidak mendapatkan hubungan antara progresifitas
pergeseran dengan terjadinya gangguan diskus intervertebralis pada usia pertengahan.
Telah dianggap bahwa kebanyakan spondilolistesis isthmic tidak bergejala, akan tetapi
insidensi timbulnya gejala tidak diketahui. Secara kasar 90 % pergeseran isthmus
merupakan pergeseran tingkat rendah (low grade : kurang dari 50 % yang mengalami
pergeseran) dan sekitar 10 % bersifat high grade (lebih dari 50 % yang mengalami
pergeseran).
Sistem grading untuk spondilolistesis yang umum dipakai adalah system grading
Meyerding untuk menilai beratnya pergeseran. Kategori tersebut didasarkan pengukuran
jarak dari pinggir posterior korpus vertebra superior hingga pinggir posterior korpus
vertebra inferior yang terletak berdekatan dengannya pada foto rontgen lateral. Jarak
tersebut kemudian dilaporkan sebagai panjang korpus vertebra superior total :

9
 Grade 1 adalah 0-25 %
 Grade 2 adalah 25-50 %
 Grade 3 adalah 50-75 %
 Grade 4 adalah 75-100 %
 Spondiloptosis  lebih dari 100 %

Faktor biomekanik sangat penting perannya dalam perkembangan spondilolisis


menjadi spondilolistesis. Tekanan / kekuatan gravitasional dan postural akan
menyebabkan tekanan yang besar pada pars interartikularis. Lordosis lumbal dan tekanan
rotasional dipercaya berperan penting dalam perkembangan defek litik pada pars
interartikularis dan kelemahan pars interartikularis pada pasien muda. Terdapat hubungan
antara tingginya aktivitas selama masa kanak-kanak dengan timbulnya defek pada pars
interartikularis.

10
Pada Tipe degenerative, instabilitas intersegmental terjadi akibat penyakit diskus
degenerative atau facet arthropaty. Proses tersebut dikenal dengan spondilosis.
Pergeseran tersebut terjadi akibat spondilosis progresif pada 3 kompleks persendian
tersebut. Umumnya terjadi pada L4-5, dan wanita usia tua yang umumnya terkena.
Cabang saraf L5 biasanya terkena akibat stenosis resesus lateralis sebagai akibat
hipertrofi ligament atau permukaan sendi.
Pada Tipe traumatic, banyak bagian arkus neural yang terkena / mengalami
fraktur, sehingga menyebabkan subluksasi vertebra yang tidak stabil. Spondilolistesis
patologis terjadi akibat penyakit yang mengenai tulang, atau berasal dari metastasis atau
penyakit metabolic tulang, yang menyebabkan mineralisasi abnormal, remodeling
abnormal serta penipisan bagian posterior sehingga menyebabkan pergeseran (slippage).
Kelainan ini dilaporkan terjadi pada penyakit Pagets, tuberculosis tulang, Giant cell
Tumor dan metastasis tumor. 4

3.5 Gambaran Klinis


Gambaran klinis spondilolistesis sangat bervariasi dan bergantung pada tipe
pergeseran dan usia pasien. Selama masa awal kehidupan, gambaran klinisnya berupa
low back pain yang biasanya menyebar ke paha bagian dalam dan bokong, terutama
selama aktivitas tinggi. Gejala jarang berhubungan dengan derajat pergeseran (slippage),
meskipun sangat berkaitan dengan instabilitas segmental yang terjadi. Tanda neurologis
berhubungan dengan derajat pergeseran dan mengenai system sensoris, motoric dan
perubahan reflex akibat dari pergeseran serabut saraf. Progresifitas listesis pada individu
dewasa muda biasanya terjadi bilateral dan berhubungan dengan gambaran klinis/fisik
berupa :5
 Terbatasnya pergerakan tulang belakang
 Tidak dapat memfleksikan panggul dengan lutut yang berekstensi penuh
 Hiperlordosis lumbal dan thorakolumbal
 Hiperkifosis lumbosacral junction
 Kesulitan berjalan
 Pemendekan badan jika terjadi pergeseran komplit (spondiloptosis)

11
Pasien dengan spondilolistesis degenerative biasanya pada orang tua dan muncul
dengan nyeri tulang belakang (back pain), radikulopati, klaudikasio neurogenic atau
gabungan beberapa gejala tersebut. Pergeseran tersebut paling sering terjadi pada L4-5
dan jarang terjadi L3-4. Gejala radikuler sering terjadi akibat stenosis resesus lateralis
dan hipertrofi ligamen atau herniasi diskus. Cabang akar saraf L5 sering terkena dan
menyebabkan kelemahan otot ekstensor halluces longus. Penyebab gejala klaudikasio
neurogenic selama pergerakan adalah bersifat multifactorial. Nyeri berkurang ketika
pasien memfleksikan tulang belakang dengan duduk. Fleksi memperbesar ukuran kanal
dengan menegangkan ligamentum flavum, mengurangi overriding lamina dan
pembesaran foramen. Hal tersebut mengurangi tekanan pada cabang akar saraf, sehingga
mengurangi nyeri yang timbul. 5

3.6 Diagnosis
Diagnosis ditegakan dengan gambaran klinis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
radiologis.
1. Gambaran Klinis
Nyeri punggung (back pain) pada regio yang terkena merupakan gejala khas.
Umunya nyeri yang timbul berhubungan dengan aktivitas. Aktivitas membuat
nyeri makin bertambah buruk dan istirahat akan dapat menguranginya. Spasme
otot dan kekakuan dalam pergerakan tulang belakang merupakan ciri yang
spesifik. Gejala neurologis seperti nyeri pada bokong dan otot hamstring tidak
sering terjadi kecuali jika terdapatnya bukti subluksasi vertebra. Keadaan
umum pasien biasanya baik dan masalah tulang belakang umumnya tidak
berhubungan dengan penyakir atau kondisi lainnya.

2. Pemeriksaan Fisik
Postur pasien biasanya normal, bilamana subluksasio yang terjadi bersifat
ringan. Dengan subluksasio berat, terdapat gangguan bentuk postur.
Pergerakan tulang belakang berkurang karena nyeri dan terdapatnya spasme
otot. Penyangga badan kadang-kadang memberikan rasa nyeri pada pasien, dan
nyeri umumnya terletak pada bagian dimana terdapatnya pergeseran/keretakan,

12
kadang nyeri tampak pada beberapa segmen distal dari level/tingkat dimana
lesi mulai timbul. Ketika pasien dalam posisi telungkup (prone) di atas meja
pemeriksaan, perasaan tidak nyaman atau nyeri dapat diidentifikasi ketika
palpasi dilakukan secara langsung diatas defek pada tulang belakang. Nyeri
dan kekakuan otot adalah hal yang sering dijumpai. Pada banyak pasien,
lokalisasi nyeri disekitar defek dapat sangat mudah diketahui bila pasien
diletakkan pada posisi lateral dan meletakkan kaki mereka keatas seperti posisi
fetus. Defek dapat diketahui pada posisi tersebut. Pemeriksaan neurologis
terhadap pasien dengan spondilolistesis biasanya negative. Fungsi berkemih
dan defekasi biasanya normal, terkecuali pada pasien dengan sindrom cauda
equine yang berhubungan dengan lesi derajat tinggi.

3. Pemeriksaan Radiologis
Foto polos vertebra merupakan modalitas pemeriksaan awal dalam diagnosis
spondilosis atau spondilolistesis. X ray pada pasien dengan spondilolistesis
harus dilakukan pada posisi tegak/berdiri. Film posisi AP, Lateral dan oblique
adalah modalitas standard dan posisi lateral persendian lumbosacral akan
melengkapkan pemeriksaan radiologis. Posisi lateral pada lumbosacral joints,
membuat pasien berada dalam posisi fetal, membantu dalam mengidentifikasi
defek pada pars interartikularis, karena defek lebih terbuka pad aposisi tersebut
dibandingkan bila pasien berada dalam posisi berdiri. Pada beberapa kasus
tertentu studi pencitraan seperti bone scan atau CT scan dibutuhkan untuk
menegakkan diagnosis. Pasien dengan defek pada pars interartikularis sangat
mudah terlihat dengan CT scan. Bone scan (SPECT scan) bermanfaat dalam
diagnosis awal reaksi stress/tekanan pada defek pars interartikularis yang tidak
terlihat baik dengan foto polos. Scan positif menunjukkan bahwa proses
penyembuhan tulang telah dimulai, akan tetapi tidak mengindikasikan bahwa
penyembuhan yang definitive akan terjadi. CT scan dapat menggambarkan
abnormalitas pada tulang dengan baik, akan tetapi MRI sekarang lebih sering
digunakan karena selain dapat mengidentifikasi tulang juga dapat

13
mengidentifikasi jaringan lunak (diskus, kanal dan anatomi serabut saraf ) lebih
baik dibandingkan dengan foto polos. 5

14
3.7 Penatalaksanaan
Terapi pada spondilolistesis dapat dilakukan dengan dua cara yaitu operative dan
non operative. Pemilihan terapi pada pasien tergantung dari usia pasien, tipe subluksasi
dan gejala yang dialami oleh pasien. Tujuan dari terapi adalah menghilangkan nyeri yang
dirasakan pasien dan memperkuat serta stabilisasi vertebra. Prinsip terapi pada
spondilolistesis adalah apabila spondilolistesis yang ringan tanpa gejala, tidak diperlukan
terapi tertentu. Apabila muncul gejala yang masih ringan, terapinya biasanya diberikan
latihan agar tidak terjadi kekakuan vertebra dan penggunaan brace untuk stabilisasi
vertebra. Namun, jika gejala yang timbul berat dan lebih penting lagi apabila sampai
mengganggu aktivitas pasien, maka operasi menjadi pilihan terbaik. 6

15
1. Konservatif (Non operatif)
Terapi konservatif terdiri dari istirahat (rest), penyangga eksternal ke bagian
vertebra yang terkena defek, terapi medikamentosa dan fisioterapi. Penyangga
eksternal biasanya menggunakan brace.
 Modifikasi gaya hidup
Sangatlah penting untuk mengedukasi pasien dengan spondilolistesis
mengenai kondisi mereka dan bagaimana untuk meminimalisasi gejala
yang dialami serta mencegah terjadinya progresi dari subluksasi
tersebut. Langkah-langkahnya adalah sebagai berikut :
 Mengurangi atau tidak melakukan aktifitas yang menyebabkan
nyeri
 Bed rest selama episode nyeri akut
 Menjaga berat badan agar tidak overweight
 Membatasi gerakan lumbar
 Penyangga eksternal (bracing)
Brace merupakan hal yang penting dalam terapi konservatif. Tujuan
penggunaan brace adalah untuk stabilisasi vertebra, mencegah
terjadinya progresifitas dari subluksasi yang telah terjadi. Dalam
beberapa kasus brace juga terbukti mengurangi nyeri dan spasme otot.
 Terapi medikamentosa
Medikasi diberikan untuk mengurangi rasa nyeri, proses inflamasi dan
spasme otot. Analgesik digunakan untuk mengurangi nyeri, muscle
relaxants digunakan untuk mengurangi spasme otot serta NSAID atau
steroid untuk mengurangi proses inflamasi.
 Fisioterapi
Fisioterapi menggunakan variasi modalitas seperti ultrasound, stimulasi
elektrik, pemijatan dan termal terapi untuk membantu mengurangi
spasme otot. Latihan stabilitas vertebra juga bisa dilakukan untuk
membantu meningkatkan fleksibilitas. Perlu diingat bahwa latihan ini
apabila dilakukan pada fase akut dapat semakin merusak bagian yang
sedang mengalami inflamasi.

16
 Ultrasound
Ultrasound adalah sebuah cara yang sangat efektif untuk
menstimulasi penyembuhan jaringan. Gelombang suara dapat
meningkatkan sirkulasi ke area yang mengalami kerusakan, dan
membantu merilekskan otot sekitarnya. Cara ini sangat
mendatangkan keuntungan bagi pasien dengan spondilolistesis
yang telah menyebabkan iritasi pada jaringan disekitarnya.
 Terapi termal hangat
Terapi termal hangat berguna untuk meningkatkan sirkulasi dan
merilekskan jaringan otot sekitar.
 Kompres es
Kompres es biasanya digunakan pada 72 jam inisal dari
terjadinya injuri untuk mengurangi inflamasi dan
menghilangkan nyeri.
 TENS
Transcutaneous electrical nerve stimulation membantu
menghilangkan nyeri. Biasanya digunakan terutama untuk nyeri
yang teradiasi.
Angka keberhasilan terapi non-operatif sangat besar, terutama pada pasien
muda. Pada pasien yang lebih tua dengan pergeseran ringan (low grade slip)
yang diakibatkan oleh degenerasi diskus, traksi dapat digunakan dengan
beberapa tingkat keberhasilan. Salah satu tantangan adalah dalam terapi pasien
dengan nyeri punggung hebat dan menunjukkan gambaran radiografi
abnormal. Pasien tersebut mungkin memiliki penyakit degenerative pada
diskus atau bahkan pergeseran ringan (low grade slip, <25%), dan biasanya
nyeri yang terjadi tidak sesuai dengan pemeriksaan fisik dan gambaran
radiografi. Nyeri punggung merupakan masalah kesehatan utama dan penyebab
disabilitas yang paling sering. Adalah sangat penting untuk
mempertimbangkan factor tingkah laku dan psikososial yang berperan dalam
timbulnya disabilitas pada pasien tersebut.

17
2. Terapi Pembedahan
Terapi pembedahan hanya direkomendasikan bagi pasien yang sangat
simtomatis yang tidak berespon dengan perawatan non-bedah dan dimana
gejalanya menyebabkan suatu disabilitas. Tujuan terapi adalah untuk
dekompesi elemen neural dan immobilisasi segmen yang tidak stabil.
Umumnya dilakukan dengan eliminasi pergerakan sepanjang permukaan sendi
(facet joints) dan diskus intervertebralis melalui arthrodesis (fusi). Indikasi
intervensi bedah (fusi) pada pasien dewasa adalah :
 Tanda neurologis - radikulopaty (yang tidak berespon dengan terapi
konservatif).
 Klaudikasio neurogenik.
 Pergeseran berat ( High grade slip >50 %)
 Pergeseran tipe I dan tipe II, dengan bukti adanya instabilitas,
progresifitas listesis, dan kurang berespon dengan terapi konservatif.
 Spondilolistesis traumatic.
 Spondilolistesis iatrogenic.
 Listesis tipe III (degenerative) dengan instabilitas berat dan nyeri hebat.
 Deformitas postural dan abnormalitas gaya berjalan (gait).

3.8 Komplikasi
Progresifitas dari pergeseran dengan peningkatan tekanan ataupun penarikan pada
saraf spinal, bisa menyebabkan komplikasi. Pada pasien yang membutuhkan penanganan
dengan pembedahanuntuk menstabilkan spondilolistesis, dapat terjadi komplikasi seperti
nerve root injury (<1%), kebocoran LCS (2-10 %), kegagalan melakukan fusi (5-25 %),
infeksi dan perdarahan dari prosedur pembedahan (1-5 %). Pada pasien yang perokok,
kemungkinan untuk terjadinya kegagalan pada saat fusi ialah (>50%). Pasien yang
berusia lebih muda memiliki resiko yang lebih tinggi untuk menderita spondilolistesis
isthmic atau kongenital yang lebih progresif. Radiografi serial dengan posisi lateral harus
dilakukan setiap 6 bulan untuk mengetahui perkembangan pasien ini. 6

18
3.9 Prognosis
Pasien dengan fraktur akut dan pergeseran tulang yang minimal kemungkinan
akan kembali normal apabila fraktur tersebut membaik. Pasien dengan perubahan
vertebra yang progresif dan degenerative kemungkinan akan mengalami gejala yang
sifatnya intermiten. Resiko untuk terjadinya spondilolistesis degenerative meningkat
seiring dengan bertambahnya usia, dan pergeseran vertebra yang progresif terjadi pada
30% pasien. Bila pergeseran vertebra semakin progresif, foramen neural akan semakin
dekat dan menyebabkan penekanan pada saraf, ha lini akan membutuhkan dekompresi. 6

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Sistem Muskuloskeletal. In : Buku Ajar Ilmu Bedah.


2nd ed. Jakarta : EGC; 2005. p. 835.
2. Moore KL, Agur AMR. Anatomi Klinis Dasar. Hipokrates : Jakarta; 2002.
3. Spondylolisthesis. Available at :
http://my.clevelandclinic.org/disorders/back_pain/hic_spondylolisthesis.aspx.
Accessed on November, 23rd 2013.
4. Salter RB. Textbook of Disorders and Injuries of the Musculoskeletal System.
Williams & Wilkins : USA; 1999.
5. Vokshoor A, Keenan MAE. Spondylolisthesis, Spondylolysis, and Spondylosis.
Available at : http://emedicine.medscape.com/article/1266860-overview.
Accessed on November, 23rd 2013.
6. Spondylolisthesis. Available at : http://www.spine-
health.com/video/spondylolisthesis-symptoms-and-causes-video. Accessed on
November, 23rd 2013.

20

Anda mungkin juga menyukai