BAB - 2
KAJIAN TEORITIS DAN
EMPIRIK
Halaman | 2-1
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
dengan karakteristik fisik yang ada dan dalam lingkungan pergudangan konsep
RTH tetap di laksanakan sebagai elemen penunjang.
B. Konsep Pengembangan Minapolitan
Pengembangan Kawasan Minapolitan merupakan alternatif solusi pembangunan
wilayah perdesaan, dalam hal ini adalah kawasan perairan/pesisir (tangkap) dan
kawasan budidaya (kolam). Kegiatannya difokuskan pada sistem dan usaha
perikanan (minabisnis) sehingga mampu mendorong kegiatan perikanan di wilayah
sekitarnya.
Pengembangan Kawasan Minapolitan turut diwujudkan oleh Direktorat
Pengembangan Permukiman, Ditjen Cipta Karya, Kementerian Pekerjaan Umum di
sejumlah wilayah di Indonesia. Dengan pengembangan Kawasan Minapolitan
diharapkan dapat mewujudkan pembangunan berkelanjutan melalui peningkatan
produksi perikanan tangkap maupun budidaya sehingga mampu mening katkan
pendapatan dan kesejahteraan masyarakatnya.
Konsep dasar pengembangan Kawasan Minapolitan adalah upaya menciptakan
pembangunan inter-regional berimbang, khususnya dengan meningkatkan
keterkaitan pembangunan kota-desa (rural-urban linkage) yaitu pengembangan
kawasan perdesaan yang terintegrasi di dalam sistem perkotaan secara fungsional
dan spasial. Pengembangan ekonomi masyarakat lokal/perdesaan sangat penting,
dengan diupayakan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya lokal melalui
pengembangan ekonomi komunitas, investasi social capital dan human capital,
investasi di bidang prasarana dan sumberdaya alam (natural capital).
Pengembangan kawasan Minapolitan dilakukan dengan disertai upaya peningkatan
capacity building di tingkat masyarakat maupun di tingkat pemerintahan agar
menjamin manfaat utama dapat dinikmati masyarakat lokal.
Dalam Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, Minapolitan
masuk dalam kategori Agropolitan dijelaskan bahwa Kawasan
Agropolitan/Minapolitan adalah kawasan yang terdiri atas satu atau lebih pusat
kegiatan pada wilayah perdesaan sebagai sistem produksi pertanian/perikanan dan
pengelolaan sumber daya alam tertentu yang ditunjukkan oleh adanya keterkaitan
fungsional dan hirarki keruangan satuan sistem permukiman dan sistem agrobisnis.
Dijelaskan pula pada pasal 26 bahwa rencana tata ruang kawasan perdesaan
merupakan bagian dari rencana tata ruang wilayah kabupaten yang dapat disusun
sebagai instrumen pemanfaatan ruang untuk mengoptimalkan kegiatan
pertanian/perikanan, yang dapat berbentuk kawasan agropolitan/Minapolitan.
Halaman | 2-2
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Minapolitan terdiri dari kata mina dan kata politan (polis). Mina berarti perikanan
dan politan berarti kota, sehingga Minapolitan dapat diartikan sebagai kota
perikanan atau kota di daerah lahan perikanan atau perikanan di daerah kota.
Secara definitif Minapolitan adalah kota perikanan yang tumbuh dan berkembang
karena berjalannya sistem dan usaha perikanan serta mampu melayani dan
mendorong kegiatan pembangunan perikanan di wilayah sekitarnya, dengan ciri
utama kegiatan perikanan dan pengolahan hasil perikanan.
Minapolitan bertujuan untuk: (a) meningkatkan kemampuan ekonomi masyarakat
skala mikro dan kecil, (b) meningkatkan jumlah dan kualitas usaha skala menengah
ke atas sehingga berdaya saing tinggi, dan (c) meningkatkan sektor kelautan dan
perikanan menjadi penggerak ekonomi regional dan nasional.
Halaman | 2-3
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-4
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-5
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-6
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-7
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-8
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Gambar 2-3 Keterkaitan Rencana Umum Tata Ruang dan Rencana Rinci Tata Ruang
1. Rencana umum tata ruang, secara hierarki terdiri dari RTRWN, RTRWP, dan
RTRW Kabupaten/Kota.
2. Rencana rinci tata ruang, yang terdiri atas RTR Pulau/kepulauan dan RTR Kawasan
Strategis Nasional, RTR Kawasan Strategis Provinsi dan RDTR Kabupaten/Kota
dan RTR Kawasan Strategis Kabupaten/Kota.
Rencana umum tata ruang belum dapat dijadikan dasar dalam pelaksanaan
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang karena mencakup wilayah
perencanaan wilayah perencanaan yang luas dan skala peta dalam rencana
memerlukan perincian sebelum dioperasionalkan. Rencana detail tata ruang dapat
dijadikan dasar penysuuann peraturan zonasi.
Halaman | 2-9
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-10
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Kota memiliki karakter yang berbeda dengan desa dan masing-masing kota memiliki
ciri lingkungan yang spesifik sesuai fungsi dan perannya dalam sistem perkotaan yang
tercermin pada kegiatan yang berlangsung di kota tersebut. Kegiatan yang
berlangsung kota akan mempengaruhi kebutuhan sumberdaya alam seperti air, lahan,
makanan dan lainnya. Sumber alam lain yaitu ruang, waktu, keanekaragaman hayati.
Ruang memisahkan makhluk hidup dengan sumber bahan makanan yang dibutuhkan,
jauh dekatnya jarak sumber makanan akan berpengaruh terhadap perkembangan
populasi. Waktu sebagai sumber alam tidak merupakan besaran yang berdiri sendiri.
Hewan mamalia di padang pasir, pada musim kering apabila persediaan air habis
dilingkungannya, maka harus berpindah ke lokasi yang ada sumber airnya.
Keanekaragaman juga merupakan sumberdaya alam. Semakin beragam jenis makanan
suatu spesies semakin kurang bahayanya apabila menghadapi perubahan lingkungan
yang dapat memusnahkan sumber makanannya. Sebaliknya suatu spesies yang hanya
tergantung satu jenis makanan akan mudah terancam bahaya kelaparan
Pembangunan kota yang berkelanjutan menurut Salim [1997] adalah suatu proses
dinamis yang berlangsung secara terus-menerus, merupakan respon terhadap
tekanan peruahan ekonomi, lingkungan, dan sosial. Proses dan kebijakannya tidak
sama pada setiap kota, tergantung pada kota-kotanya. Salah satu tantangan terbesar
konsep tersebut saat ini adalah menciptakan keberlanjutan, termasuk didalamnya
keberlanjutan sistem politik dan kelembagaan sampai pada strategi, program, dan
kebijakan sehingga pembangunan kota yang berkelanjutan dapat terwujud.
Menurut Budihardjo, E dan Sudjarto, DJ [2009], kota berkelanjutan didefinisikan
sebagai kota yang dalam pengembangannya mampu memenuhi kebutuhan
masyarakatnya masa kini, mampu berkompetisi dalam ekonomi global dengan
mempertahankan keserasian lingkungan vitalitas sosial, budaya, politik, dan
pertahanan keamanannya tanpa mengabaikan atau mengurangi kemampuan generasi
mendatang dalam pemenuhan kebutuhan mereka. Menurut Research Triangle
Institute, 1996 dalam Budihardjo, 2009 dalam mewujudkan kota berkelanjutan
diperlukan beberapa prinsip dasar yang dikenal dengan Panca E yaitu Environment
(Ecology), Economy (Employment), Equity, Engagement dan Energy.
Seiring berkembangnya konsep kota berkelanjutan, berkembang pula konsep- konsep
yang mendukung implementasi konsep keberlanjutan itu sendiri diantaranya adalah
Green City, Self-Sufficient City, Zero-Waste City, Green Transportation, Eco2City dan
Resilient City. Pada dasarnya keenam konsep tersebut memiliki keterkaitan satu sama
lain dan saling melengkapi.
a. Green City
Saat ini, lebih dari setengah populasi dunia tinggal dan berkegiatan di kawasan
perkotaan. Pertumbuhan sebuah kota merupakan hal yang tidak terelakkan.
Pertumbuhan kota akan menumbuhkan perekonomian masyarakat dan
Halaman | 2-11
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-12
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-13
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-14
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-15
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-16
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
8. Resilient city memiliki sumber daya dan bahan baku yang mereka butuhkan
dalam radius yang dekat, yaitu 200 kilometer.
9. Pembangunan resilient city membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh anggota
komunitas.
10. Resilient city merencanakan dan mendesain suatu kota yang daya tahannya
sepadan dengan tekanan lingkungan, sosial, dan ekonomi yang meningkat
terkait dengan dampak perubahan iklim dan kelangkaan minyak.
11. Resilient city membangun tipe bangunan dan bentuk kota yang merudiksi biaya
pelayanan dan dampak terhadap lingkungan.
Halaman | 2-17
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-18
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
membedakan waterfront city dengan kawasan pesisir biasa yang dibiarkan pasif tanpa
kegiatan utama.
Berdasarkan beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa waterfront city
adalah suatu area perkotaan yang berbatasan dengan air atau yang memiliki kontak
fisik dan visual dengan air laut, sungai, danau dan badan air lainnya, yang dibangun
dengan tujuan untuk memunculkan sifat lain dari perkotaan yang berbeda dengan
kota non pesisir. Konsep ini lahir pada mulanya lahir karena pemikiran bahwa kota-
kota di pesisir mengalami tekanan yang berat sehingga rentan terjadinya pencemaran
dan kekumuhan.
Tema merupakan hal terpenting dalam proses pengembangan waterfront city. Dengan
tema, suatu pembangunan daerah tepian air akan mempunyai kekhasan yang spesifik
yang akan membedakan waterfront city dengan lokasi lainnya. Tema tersebut akan
mampu mengontrol analisis kebutuhan ruang di masa depan serta material yang
dipergunakan. Pengembangan fungsi waterfront city dengan tema tertentu telah
dilakukan di berbagai negara maju dan berkembang, seperti kawasan bisnis di London,
Inggris, kawasan hunian di Port Grimoud, Perancis, dan kawasan komersil dan
pariwisata di Venice, Italia.
Dalam perancangan kawasan tepian air, terdapat dua aspek penting yang mendasari
keputusan-keputusan serta solusi rancangan yang dihasilkan. Kedua aspek tersebut
adalah faktor geografis serta konteks perkotaan (Wren, 1983 dan Toree, 1989 dalam
Tangkuman, 2011).
a. Faktor geografis merupakan hal-hal yang menyangkut geografis kawasan dan
akan menentukan jenis serta pola penggunaannya. Yang termasuk faktor
geografis adalah:
Kondisi perairan, yaitu jenis (laut, sungai, dst), dimensi dan konfigurasi, pasang-
surut, serta kualitas airnya;
Kondisi lahan, ukuran, konfigurasi, daya dukung tanah, serta kepemilikannya;
dan
Iklim, yaitu menyangkut jenis musim, temperatur, angin, serta curah hujan.
b. Konteks perkotaan merupakan faktor-faktor yang akan memberikan identitas
bagi kota yang bersangkutan serta menentukan hubungan antara kawasan
waterfront yang dikembangkan dengan bagian kota yang terkait. Termasuk dalam
aspek ini adalah:
Pemakai, baik yang tinggal, bekerja atau hanya berwisata di kawasan
waterfront.
Halaman | 2-19
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Khasanah sejarah dan budaya, yaitu situs atau bangunan bersejarah yang perlu
ditentukan arah pengembangannya (misalnya restorasi, renovasi atau
penggunaan adaptif) serta bagian tradisi yang perlu dilestarikan.
Pencapaian dan sirkulasi, yaitu akses dari dan menuju tapak serta pengaturan
sirkulasi didalamnya.
Karakter visual, yaitu hal-hal yang akan memberi ciri yang membedakan satu
kawasan waterfront dengan lainnya. Ciri ini dapat dibentuk dengan material,
vegetasi, atau kegiatan yang khas.
Berdasarkan hasil Global Conference on the Urban Future, dihasilkan 10 prinsip untuk
membangun waterfront city yang sustainable, yaitu sebagai berikut.
a. Pembangunan harus senantiasa mengamankan kualitas air dan lingkungan.
b. Waterfront yang dibangun tetap terintegrasi dengan sistem perkotaan eksisting.
c. Karakter dari waterfront city harus memperhatikan sejarah kawasan.
d. Pembangunan kawasan mixed use harus diprioritaskan dalam waterfront city.
e. Kawasan waterfront city harus menyediakan akses untuk publik.
f. Sistem public private partnership untuk mempercepat proses pembangunan untuk
meningkatkan keefektifan.
g. Partisipasi publik merupakan elemen dari keberlanjutan waterfront city sehingga
partisipasi publik yang aktif diperlukan dalam pembangunan dan pengelolaan
waterfront city.
h. Waterfront city merupakan proyek jangka panjang yang akan melibatkan lebih dari
satu generasi dengan karakter yang berbeda, sehingga pembangunannya harus
selalu dinamis terhadap perubahan karakter tersebut.
i. Revitalisasi akan terus berlanjut selama pembangunan dalam jangka waktu yang
panjang, rencana yang dibuat harus fleksibel.
j. Waterfront city merupakan proyek yang sangat kompleks dan melibatkan berbagai
ahli dari berbagai disiplin sehingga diperlukan kerjasama dari berbagai
stakeholders.
Halaman | 2-20
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-21
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
3. Memprogram ruang agar dapat digunakan untuk kegiatan yang tepat pada
saat yang tepat, dengan optimalisasi waktu penggunaan;
4. Menjaga citra penampilan kawasan sebagai fasilitas umum dengan
melakukan perawatan secara berkala;
5. Mempertimbangkan skala manusia sebagai penyesuaian dengan kebiasaan
pengguna sebagai pokok dalam penciptaan ruang yang baik;
6. Menarik orang-orang yang bergerak dengan perantara ruang publik sebagai
ruang pengumpul melalui fasilitas transportasi;
7. Mengutamakan faktor keselamatan sebagai fundamental bagi keberhasilan
ruang publik, termasuk tempat transit dengan keragaman penggunanya;
8. Mengoptimalkan variasi dan kompleksitas fungsi lahan dan jenis kegiatan
yang terjadi sehingga memberikan perasaan positif bagi penggunanya dan
memperkuat karakter suatu tempat;
9. Membuat hubungan antar ruang kota yang terintegrasi dengan baik dan
saling mendukung antara tempat transit dengan kawasan;
10. Menghidupkan kembali jalur-jalur pejalan kaki dengan fasilitas pejalan kaki
senyaman mungkin, tersinergi dengan rencana perkotaan;
11. Mengintegrasikan fungsi-fungsi kawasan transit dan fasilitas transit dengan
pola perencanaan kota agar saling bersinergi; dan
12. Memperhatikan pergerakan kendaraan pribadi dan areal parkir demi
mendukung fungsi kawasan transit secara optimal.
Di sisi lain, Calthrope (1994) juga menjabarkan beberapa prinsip pengembangan
kawasan berbasiskan transit, yaitu:
1. Pengorganisasian pertumbuhan berskala regional agar menjadi lingkungan
kompak yang berorientasi transit;
2. Penyediaan keragaman fungsi, kepadatan, dan variasi tipe hunian;
3. Penciptaan ruang-ruang publik sebagai fokus dari orientasi bangunan dan
aktivitas lingkungan;
4. Penciptaan jaringan jalan ramah pejalan kaki yang memiliki aksesibilitas
tinggi dan luas ke berbagai sudut;
5. Penempatan fasilitas komersial, perumahan, perkantoran, parkir, dan fasilitas
publik lain dalam jangkauan jarak berjalan kaki dari perhentian transit;
6. Perlindungan habitat dan ruang-ruang terbuka alami; dan
7. Mendorong terciptanya infiltrasi dan peremajaan daerah di sekitar koridor
transit dan lingkungannya.
Halaman | 2-22
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-23
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
berorientasi pada pasar lokal berupa yang dilengkapi fungsi retail, hiburan,
area umum, rekreasi dan pelayanan berskala lingkungan
Dalam pengembangannya, kawasan yang menggunakan konsep Transit Oriented
Development harus memiliki beberapa struktur dan fungsi guna lahan yang
menjadi area pengembangan dalam mendukung fasilitas transit, yaitu:
1. Fungsi publik. Fungsi publik diperlukan untuk melayani penduduk/residen
dan para pekerja di kawasan TOD dan daerah-daerah sekitarnya. Tempat
parkir, plasa, zona hijau, gedung-gedung publik, dan pelayanan publik dapat
digunakan untuk mengisi kebutuhan tersebut. Parkir umum dan plasa kecil
harus disediakan dalam memenuhi kebutuhan penduduk. Lokasinya berada
dalam jarak terdekat dengan titik transit dengan jangkauan 5 menit berjalan
kaki.
2. Pusat area komersial. Inti perniagaan di pusat setiap TOD adalah hal esensial
karena memungkinkan sebagian besar penduduk dan pekerja berjalan atau
mengendarai sepeda bagi banyak barang-barang dan pelayanan dasar.
Pengguna transit memilih pergi ke toko akan pergi pada sekian mil yang lebih
singkat serta dapat menghindari menggunakan jalan arterial untuk
perjalanan lokal. Area komersial inti juga menyediakan destination (tempat
tujuan) mixed use yang membuat pengguna transit menggunakan perhentian
transit bila dikombinasikan dengan peluang-peluang retail, pelayanan/jasa,
perkantoran, mall, dan tempat pertemuan. Pusat area komersial ini juga
dialokasikan dalam jangkauan 5 menit berjalan kaki.
3. Area permukiman. Berada pada jarak perjalanan pejalan kaki dari area pusat
komersial dan titik transit. Kepadatan area permukiman harus sejalan dengan
variasi tipe permukiman, termasuk single family housing, town house,
condominium, dan apartment.
4. Area sekunder. Berdekatan dengan TOD, berjarak lebih dari 1 mil dari pusat
area komersial. Jaringan area sekunder harus menyediakan beberapa akses
langsung dan jalur sepeda menuju titik transit dan area komersial dengan
seminimal mungkin terbelah oleh jalan arteri. Area ini memiliki densitas yang
lebih rendah dari fungsi single family housing, sekolah umum, taman
komunitas, fungsi pembangkit perkantoran dengan intensitas rendah, dan
parkir.
5. Fungsi-fungsi lain yang secara ekstensif bergantung pada kendaraan
bermotor, truk, atau intensitas perkantoran yang sangat rendah yang berada
di luar kawasan TOD dan area sekunder
Titik transit dilihat sebagai awalan maupun akhiran dalam pergerakan.
Pengaturan letak fasilitas transit menjadi faktor penting karena titik transit
Halaman | 2-24
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
berperan sebagai titik temu dari berbagai jenis angkutan yang erat kaitannya
dengan penataan distribusi kegiatan yang ada dalam kawasan yang memiliki
peruntukkan campuran, agar tercapai keseimbangan sirkulasi dan intensitas yang
merata baik untuk sirkulasi kendaraan maupun pejalan kaki (Barnett, 1982).
Dikaitkan dengan sistem tautan, titik transit merupakan daerah tujuan sebagai
titik awal pergerakan kawasan. Yang perlu diperhatikan dalam penataan adalah:
1. Lokasi jalur transit. Memiliki potensi untuk ditingkatkan kepadatannya
sehingga dapat meningkatkan pertumbuhan suatu wilayah. Pada jalur tersebut
harus disediakan lahan yang memadai untuk TOD yang dapat melayani akses
ke jalur tersebut. Sebaiknya berada pada jalur transit moda transportasi atau
rute kendaraan umum dengan waktu transit (frekuensi perjalanan) 10 menit.
2. Lokasi perhentian transit. Lokasi perhentian transit terletak pada jalur transit
utama yang direncanakan atau pada lokasi yang dilewati feeder bus dalam
jarak 10 menit dari halte ke jalan utama. Jaringan jalan utama yang dilewati
oleh sistem transit cepat lainnya seperti kereta api ekspress, bus ekspress
dengan tenggang waktu pelayanan antara 15 menit dari setiap
pemberangkatannya. Harus tersedia ROW yang resmi dari masing-masing
jenis alat transportasi dengan tujuan memastikan waktu pemberangkatan dan
jalur transit yang bebas hambatan.
3. Fasilitas perhentian transit. Berupa tempat untuk transit yang berfungsi
mengakomodasi pelayanan naik turunnya penumpang, kedatangan dan
keberangkatan moda, tempat tejadinya transfer penumpang dari satu moda ke
moda lainnya, serta tempat pertemuan intermoda (angkot, kendaraan pribadi,
ojek, becak, pejalan kaki). Kebutuhan kawasan permukiman di sekitarnya
dilayani oleh fasilitas pada skala pelayanan stasiun seperti fungsi sirkulasi dan
parkir, fasilitas umum, serta fasilitas sosial. Perhentian transit harus
menyediakan halte untuk pedestrian, fasilitas untuk penumpang, dan fasilitas
yang diperlukan oleh pengantar jemput.
4. Akses menuju perhentian transit. Jalan-jalan menuju ke perhentian transit
harus direncanakan agar fasilitas pedestrian yang menyebrangi jalan menuju
perhentian transit menjadi aman dan nyaman. Area parkir dan area turunnya
penumpang dari mobil dan bus berdekatan dengan stasiun dan pedestrian.
Dalam merencanakan jaringan jalan, aksesibilitas ke perhentian transit harus
menjadi prioritas utama untuk meningkatkan kuantitas masyarakat yang
memakai fasilitas transit. Penempatan persimpangan jalan dan tanda-tanda
harus mudah dikenali untuk mempercepat akses ke perhentian transit.
5. Jalan dan sistem sirkulasi. Lebar jalan, kecepatan kendaraan dan banyaknya
jalur jalan harus diminimkan dengan tetap memikirkan faktor keselamatan.
Jalannya didesain dengan kecepatan 15 mil/jam atau lebih kurang 37 km/jam.
Halaman | 2-25
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Lebar jalur yang direkomendasikan adalah sekitar 24m yang terdiri dari jalan
mobil, pedestrian, dan jalur sepeda dengan penghijauan. Mempersempit lebar
jalan akan memperlambat arus kendaraan sehingga diharapkan pengemudi
akan lebih berhati-hati dan tingkat kecelakaan dapat ditekan seminim
mungkin. Pemakaian lahan untuk jalan yang lebih minim akan membantu lebih
tersedianya lahan untuk landscaping, jalan sepeda, dan parkir di jalan
c. Urban Sustainability
Konteks sustainability atau berkelanjutan pada suatu kota merupakan arah yang
diupayakan untuk menyokong kebutuhan manusia dan mendorong pemenuhan
kebutuhan secara kontinu pada level yang lebih baik, dimana lingkungan binaan
mendukung pengembangan personal dan lingkungan (Hill, 1992). Selain itu,
pemahaman lain akan keberlanjutan adalah sebuah evolusi lingkungan, ekonomi
dan sosial yang kontinu. Perkotaan dalam pembangunan yang berkelanjutan
merupakan hal yang signifikan karena kota merupakan satu-satunya tempat
dimana penduduk, modal, dan sumber daya berada dalam sinergi yang dinamis.
Terkait dengannya, integrasi dan keseimbangan kebijakan merupakan hal krusial
yang membutuhkan dukungan dari penduduknya (Mega, 2008).
Konsep kota berkelanjutan memiliki prinsip-prinsip tertentu yang dapat digunakan
untuk melihat pembangunan kota yang menunjukkan ciri-ciri keberlanjutan.
Terkait dengan bentuk kota, kota yang kompak (compact city) di negara-negara
maju dianggap sebagai suatu ciri kota yang berkelanjutan yang ditunjukkan dengan
intensifikasi aktivitas di pusat kota, pembangunan dengan penambahan pada
struktur yang telah ada, kombinasi fungsi-fungsi setiap bagian wilayah kota,
penyediaan dan penyebaran fasilitas, dan pembangunan dengan kepadatan tinggi.
Oleh sebab itu, urban compactness dapat dijadikan salah satu indikator
keberlanjutan kota. Selain itu, urban compactness ini tidak lepas dari hubungannya
terhadap transportasi.
Menurut Mountain Association for Community Economic Development (MACED), isu
sustainabilitas terbatas pada tiga aspek, yaitu:
1. Ekonomi - ketahanan ekonomi suatu kota dalam menghadapi permasalahan
ekonomi masa kini dan masa depan, dimana manajemen kota harus
menyediakan lapangan kerja bagi masyarakat dan melakukan pembiayaan
keberlangsungan kotanya menggunakan pendapatan dari kotanya sendiri.
2. Ekologi - perlunya melestarikan aset-aset alam untuk dapat dirasakan
manfaatnya secara menerus.
3. Ekuitas - perlunya ketersediaan kesempatan yang memadai bagi berbagai
elemen masyarakat untuk berpartisipasi mengembangkan kotanya, baik dari
kesempatan berekonomi, ataupun membuat kebijakan sosial.
Halaman | 2-26
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-27
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Makna tempat (sense of place) merupakan kekuatan non fisik yang mampu
membentuk kesan dalam sebuah tempat (Garnham,1985). Makna tempat tersebut
dapat timbul oleh atribut-atribut sebagai berikut:
1. Aspek lingkungan alamiah dan buatan seperti bentuk lahan dan topografi,
vegetasi, iklim dan air;
2. Ekspresi budaya (misal benteng, istana, masjid), wujud-wujud akibat sejarah
sosial dan tempat sebagai artefak budaya; dan
3. Pengalaman sensoris, utamanya visual yang dihasilkan oleh interaksi budaya
dengan bentang alam eksisting.
Aspek lokal menjadi sesuatu yang sangat menonjol, apalagi jika mengandung
keunikan yang tidak ada duanya di tempat lain. Place dapat berbentuk apa saja,
antara lain berupa jalan (street), plaza (square), taman (park), pinggiran sungai
(riverfront), jalan setapak (foothpath), trotoar (pedestrian). Karena ruang-ruang ini
dimiliki oleh komunitas yang lebih luas, maka dinamakan Public Place atau ruang
publik. Konsep place memberikan penekanan pada pentingnya sense of belonging
atau rasa kepemilikan yang memunculkan ikatan emosional antara manusia
terhadap tempat tersebut. Inilah kemudian yang memunculkan adanya sense of
identity atau sense of belonging terhadap kawasan. Menurut Crang, (1998) place
menghadirkan pengalaman orang-orang pada masa lalu yang berlangsung terus-
menerus sepanjang waktu. Rasa kepemilikan terhadap suatu tempat kemudian
diekspresikan dalam bentuk perbedaan fisik atau keunikan yang hadir saat
memasuki area tertentu.
Sense of place yang diimplementasikan pada sebuah tempat akan menghadirkan
kenyamanan, menjawab kebutuhan sosial serta terdapatnya arsitektur yang
menarik. Menghadirkan sense of place pada suatu kawasan tidak cukup dengan
menghadirkan karakter fisik pada kawasan tersebut, namun juga memperhatikan
apakah lingkungan sekitar memiliki keunikan dan identitas yang khas, sesuatu yang
merekatkan kita (manusia) dengan tempat sehingga muncul perasaan seolah kita
sedang berada di rumah. Berikut adalah faktor yang turut berperan dalam
menciptakan sense of place, antara lain:
1. Keistimewaan fisik dan tampilan, seperti struktur dan keindahan penampilan
bangunan serta lingkungan.
2. Aktifitas dan fungsi lokal yang unik, menyangkut pula bagaimana interaksi
antara manusia dan tempat, bangunan dan lingkungan, juga budaya
masyarakat.
3. Makna atau simbolisme, yang menyangkut banyak aspek dan sangat kompleks,
seperti wujud bangunan atau lingkungan yang muncul karena interaksinya
dengan masyarakat atau karena aspek fungsional.
Halaman | 2-28
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-29
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Gambar 2-4 Prinsip Perancangan berdasarkan Konsep Place Sumber: Project for Public
Places, 2003
Halaman | 2-30
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-31
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-32
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-33
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-34
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-35
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Halaman | 2-36
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
akan semakin meningkatnya jumlah kendaraan yang melintas, polusi udara yang
semakin tinggi dari kawasan pabrik yang berdekatan dengan kawasan perumahan dan
lain sebagainya.
Keterbatasan kemampuan pengelolaan pembangunan dan penataan ruang wilayah
provinsi tersebut, memerlukan upaya lebih dari seluruh pemangku kepentingan.
Pemerintah daerah selaku regulator dan fasilitator dalam pembangunan wilayahnya
untuk dan bertujuan kepada kesejahteraan masyarakat berkewajiban untuk
menyusun sebuah pembangunan dan perencanaan yang baik dan implementatif
sehingga permasalahan dan tantangan tersebut minimal dapat dieliminasi atau di
kurangi.
Dalam konteks perencanaan wilayah/kota yang efektif, guna menghindari
permasalahan tersebut diatas, maka akan terjadi beberapa hal antara lain (Soegijoko,
1994):
a. Perkembangan wilayah provinsi secara acak yang pada gilirannya menimbulkan
kesemrawutan;
b. Penyediaan fasilitas pelayanan dan infrastruktur yang mahal dan tidak efisien;
dan
c. Spekulasi tanah yang dapat mengakibatkan pelipatgandaan biaya pembangunan.
Halaman | 2-37
NASKAH AKADEMIK
PENYUSUNAN RTR KAWASAN STRATEGIS SERANG UTARA TERPADU
DI PROVINSI BANTEN
Tujuan penataan ruang Kawasan Strategis Provinsi Serang Utara Terpadu adalah
Mewujudkan Kawasan Strategis Serang Utara sebagai Pusat Kegiatan Industri,
Perikanan, Pertanian, dan Pariwisata yang memperhatikan Keseimbangan Antar
Bagian Kawasan yang Berkelanjutan.
Hal ini berarti, RTR Kawasan Strategis Provinsi Serang Utara Terpadu sebagai tolak
ukur dalam mencapai suatu perencanaan yang telah ditetapkan dalam RTRW Provinsi
Banten yang lebih makro.
Pemerintah daerah sendiri akan mudah mengendalikan pembangunan wilayahnya
termasuk pengalokasian pembiayaan, karena akan efisien dan lebih efektif arah
perencanaan pembangunannya.
Upaya pelaksanaan perencanaan penataan ruang yang bijaksana adalah kunci dalam
pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks
penguasaan negara atas dasar sumber daya alam.
Halaman | 2-38