BAB 2
Tujuan, Kebijakan dan Strategi Penataan Ruang
Wilayah KAPET DAS KAKAB
Kebijakan penataan ruang wilayah KAPET DAS KAKAB merupakan upaya perwujudan
ruang KAPET DAS KAKAB. Kebijakan tersebut dijabarkan sebagai berikut:
Pengembangan Ekonomi wilayah yang Diarahkan oleh Bentukan Pengembangan
Komoditi Unggulan Utama (skala nasional dan regional) dan Bentukan
Pengembangan Komoditi Unggulan Lokal (Provinsi dan Kabupaten) dalam kerangka
pengembangan komoditas yang terpadu (hulu sampai hilir).
Pengembangan Wilayah yang Diarahkan oleh Bentukan Struktur Ruang melalui
Pengembangan Pusat-pusat Pelayanan dan Prasarana Wilayah
Pengaturan Pemanfaatan Ruang yang Diarahkan dengan oleh Bentukan Pola Ruang
melalui Pemantapan Kawasan Lindung, Pengembangan Kawasan Budidaya, dan
Pengembangan Kawasan Strategis
Masing-masing kebijakan selanjutnya akan dijabarkan kedalam strategi penataan ruang
yang merupakan arahan strategis pelaksanaan kebijakan sebagaimana dimaksud.
a. Kehutanan
Menetapkan batas dan fungsi hutan secara tegas pada tiap kecamatan dengan
mengacu tata ruang kawasan hutan.
Menetapkan kawasan hutan yang perlu di konservasi (hutan lindung, kawasan
lahan gambut, kawasan rawan bencana (longsor, banjir, abrasi), kawasan sekitar
sumber mata air.
Mempertahankan keberadaan hutan lindung untuk konservasi sumberdaya alam.
Memberikan ijin pemanfaatan hutan secara terbatas diluar kawasan hutan lindung
untuk pengembangan sektor kehutanan dan non hutan (pariwisata, pertambangan).
Memberikan insentif bagi pihak yang memberikan kontribusi dalam menjaga dan
mengawasi kelestarian hutan.
Mengawasi pengelolaan sumberdaya hutan secara berkala/periodik dengan
melibatkan partisipasi masyarakat
Mengkaji dan mengevaluasi kembali kebijakan perijinan pemanfaatan kawasan
hutan.
Menertibkan kegiatan pemanfaatan ruang yang berpotensi menimbulkan degradasi
lingkungan baik didalam maupun diluar kawasan hutan lindung.
Usaha budidaya di kawasan hutan yang berdekatan dengan kawasan gambut atau
yang berada pada daerah gambut tipis direkomendasikan pengembangan usaha
dalam bentuk Hutan Tanaman Industri (HTI) terutama karet yang menjadi komoditi
unggulan utama
b. Perkebunan
Menumbuhkan komoditas unggulan utama perkebunan yaitu kelapa sawit dalam
dalam kerangka pengembangan agribisnis dalam pengembangan hilir sampai hulu.
“Re-Investment” yaitu penyusunan ulang izin-izin pemanfaatan lahan yang sudah
dikeluarkan oleh pemerintah provinsi dan Kabupaten pada lahan konservasi
gambut
Melakukan “Deregulasi” yaitu merevisi izin yang tidak memenuhi syarat
pemanfaatan lahan pada lokasi-lokasi yang tumpang tindih terutama dengan
kawsan konservasi gambut.
c. Pertambangan
Melanjutkan mekanisme sistem pinjam pakai dari kawasan hutan dalam
pengembangan kawasan pertambangan tertuma untuk komoditas batubara,
pasirkuarsa dan zirkon.
Melakukan “Deregulasi” yaitu merevisi izin yang tidak memenuhi syarat
pemanfaatan lahan pada lokasi-lokasi yang tumpang tindih terutama dengan
kawsan konservasi.
d. Pertanian
Mengamankan fungsi lahan pertanian pada daerah aliran sungai (diluar
sempadan sungai) untuk pengembangan budidaya pertanian
Rehabilitasi, peningkatan dan pembangunan baru prasarana dan sarana irigasi
2.3.2 Konsep Supply & Demand dalam Penataan Ruang Wilayah KAPET
DAS KAKAB
Berdasarkan pada karakteristik lingkungan dan aktivitas yang berbeda tersebut, maka
pada dasarnya penanganan dalam persoalan lingkungan dapat didekati melalui
pendekatan permintaan dan penyediaan sebagaimana dalam penentuan harga pasar
dalam ilmu ekonomi. Dalam hal ini proses lingkungan yang dilihat dari ketersediaan
sumber daya alam merupakan permintaan, sedangkan pertumbuhan penduduk dan
ekonomi merupakan permintaan yang direpresentasikan dalam bentuk kebutuhan.
Dalam konteks ini, lingkungan dipandang sebagai bagian dari penyediaan yang sifatnya
tetap, yang berarti bahwa pada kondisi permintaan berapa pun sumber daya yang
disediakan oleh lingkungan tetap sama, sedangkan pertumbuhan penduduk dan
perkembangan ekonomi yang membangkitkan adanya kebutuhan akan sumber daya
alam dilihat sebagai suatu permintaan yang semakin bertambah dari waktu ke waktu.
Kedua karakteristik tersebut akan saling mencari titik temu sampai dicapai suatu “titik
keseimbangan” ekosistem. Titik keseimbangan inilah yang pada dasarnya merupakan titik
optimum dalam pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan yang berarti juga batas
ambang lingkungan. Dari sisi teknis, titik ini menunjukkan daya dukung lingkungan
(carrying capacity) dalam mendukung meningkatnya pertumbuhan penduduk dan
perkembangan aktivitas ekonomi.
Gambar 2.2 Pertimbangan Keseimbangan Ekosistem dalam Perencanaan
Ruang
Pertumbuhan
Penduduk dan
PENYEDIAAN
Ekonomi
PERMINTAAN = KEBUTUHAN
Q (tetap) Lingkungan
(Ketersediaan
Sumber Daya Alam)
adanya degradasi lingkungan yang pada akhirnya pada tidak adanya keberlanjutan
pembangunan.
Persoalan lingkungan akan muncul pada saat permintaan lebih besar dari penyediaan
atau dalam artian bahwa perkembangan aktivitas yang ada sudah melebihi ambang batas
lingkungan untuk mentoleransi. Oleh karena itu dalam proses penanganan persoalan
lingkungan perlu dilihat titik batas ambang lingkungan, dimana dengan diketahuinya titik
ambang tersebut segala aktivitas yang berkembang perlu diarahkan dan dikendalikan
agar tidak melebihi titik batas ambang tersebut.
Gambar 2.3 Terlampauinya Titik Keseimbangan Ekosistem yang Berakibat
Pada Munculnya Persoalan Lingkungan
Pertumbuhan
Penduduk dan
PENYEDIAAN
Ekonomi
PERMINTAAN = KEBUTUHAN
PERSOALAN LINGKUNGAN
Q (tetap) Lingkungan
(Ketersediaan
Sumber Daya Alam)
yaitu transparan, partisipasi, akuntabel, dan sebagainya mulai diakomodir. Selain itu,
dalam peraturan perundangan yang baru tersebut penataan ruang tidak lagi dipandang
sebagai suatu bentuk penyusunan dokumen perencanaan tata ruang saja, tetapi
mencakup semua aspek meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan, dan pengawasan
yang melibatkan semua pemangku kepentingan. Pergeseran ini mensyaratkan
konsekuensi logis dalam penyelenggaraan penataan ruang, yaitu berupa
penyelenggaraan penataan ruang yang lebih sesuai dengan kebutuhan setempat,
mengembangkan inovasi-inovasi spesifik, serta memberikan pilihan prosedur, standar
dan norma yang sesuai. Untuk itu diperlukan peningkatan capacity building bagi aparat
pemerintah daerah agar mampu menangani perencanaan tata ruang secara spesifik bagi
daerahnya.
Terkait dengan hal ini, terdapat beberapa isu penting dan resiko yang dihadapi
pemerintah daerah dan masyarakat, meliputi :
Pemda mungkin memerlukan waktu dalam menyesuaikan diri
dengan tugas dan paradigma baru dalam perencanaan tata ruang.
Masih kurangnya perangkat baru yang mendukung pembangunan
wilayah yang lebih efesien dan efektif (mis. sistem insentif, kemitraan, dsb).
Belum terdapat kemampuan yang mencukupi untuk menerapkan
pendekatan participatory planning dalam penyusunan rencana tata ruang
kota/kabupaten.
Rencana tata ruang umumnya kurang tanggap terhadap dinamika
perkotaan dan wilayah.
Berdasarkan Technical Assistance ADB TA No. 3326 - INO yang disusun untuk
memberikan arahan-arahan terhadap agenda reformasi pembangunan kota, termasuk
perencanaan pemanfaatan ruang, dirumuskan hal-hal sebagai berikut :
Agenda Kebijakan Perkotaan Nasional; Agenda kebijakan nasional
perkotaan yang diusulkan pada Proyek ADB TA No. 3326 – INO memformulasikan
perlunya proses strategi perkotaan nasional yang berkesinambungan (seperti NUDS)
dan formulasi kebijakan. Untuk itu harus tersedia data penunjang pengambilan
keputusan yang bersifat kontinyu. Sasaran kebijakan perkotaan nasional adalah :
o Memastikan bahwa sasaran pembangunan nasional diacu dalam
penyusunan sasaran pembangunan perkotaan di tingkat propinsi, kabupaten dan
kota.
o Memastikan konsolidasi otonomi daerah dalam pengembangan perkotaan
di tingkat kota / kabupaten.
o Mengembangkan budaya perencanaan dan manajemen perkotaan yag
akuntabel secara sosial – politik.
Agenda Kebijakan Perkotaan Propinsi; Pada tingkat propinsi,
kebutuhan akan agenda Kebijakan Perkotaan dilandasi oleh dua alasan. Pertama,