Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL ( ISOS )


Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Praktek Belajar Klinik ( PBK ) Keperawatan jiwa

Dosen Pembimbing : Junaedi,ners.,m.kep

Disusun oleh :

FUTRI SIFA KHOERUN NISSA

19017

Tingkat 2A

Kelompok 6

Jl.walet No.21,Kertawinangun,Kedawung Cirebon,Jawa Barat 45153

STIKES AHMAD DAHLAN CIREBON


1. Masalah utama
Isolasi Sosial
A. Definisi
 Pengertian
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan sama
sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti, 2012).
Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011). Isolasi sosial juga merupakan
kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang
lain sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I dalam Damaiyanti,
2012).
Isolasi sosial merupakan suatu gangguan interpersonal yang terjadi akibat adanya
kepribadian yang tidak fleksibel menimbulkan perilaku maladaptif dan mengganggu
fungsi seseorang dalam hubungan sosial (DepKes, 2000 dalam Direja, 2011). Isolasi
sosial merupakan upaya Klien untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain maupun komunikasi dengan orang lain
(Trimelia, 2011).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa isolasi sosial merupakan keaadaan seseorang yang
mengalami penurunan bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
karena mungkin merasa ditolak, kesepian dan tidak mampu menjalin hubungan yang
baik antar sesama.

 Tanda Dan Gejala


Menurut Yosep (2009) tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari dua cara
yaitu secara objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien dengan isolasi sosial:
a. Gejala subjektif
1. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
2. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
3. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
4. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
5. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
6. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
7. Klien merasa tidak berguna.
b. Gejala objektif
1. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
2. Tidak mengikuti kegiatan.
3. Klien berdiam diri di kamar.

4. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
5. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
6. Kontak mata kurang.
7. Kurang spontan.
8. Apatis
9. Ekspresi wajah kurang berseri.
10. Mengisolasi diri
11. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
12. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya rendah, segera
timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila tidak dilakukan intervensi
lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan persepsi sensori: halusinasi dan resiko
mencederai diri, orang lain, bahkan lingkungan (Herman Ade, 2011).

 Tingkatan
1. Bayi
Bayi sangat tergantung pada orang lain dalam memenuhi kebutuhan biologis
dan psikologisnya. Bayi umumnya menggunakan komunikasi yang sangat
sederhana dalam menyampaikan kebutuhannya, misalnya menangis untuk
semua kebutuhan. Konsisten ibu dan anak seperti stimulus sentuhan, kontak
mata, komunikasi yang hangat merupakan aspek penting yang harus di bina
sejak dini karena akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang
mendasar. Kegagalan pemenuhan kebutuhan bayi melalui ketergantungan pada
orang lain kan mengakibatkan rasa tidak percaya diri sendiri dan orang lain
serta menarik diri(Abdul Muhith,2015).
2. Prasekolah
Materson menamakan masa antara usia 18 bulan – 3 tahun yang merupakan
taraf masa pemisahan pribadi. Anak prasekolah mulai memperluas hubungan
sosialnya di luar lingkungan keluarga,khususnya ibu (pengasuh). Anak
menggunakan kemampuan berhubungan yang telah di miliki untuk
berhubungan dengan lingkungan di luar keluarga. Dalam hal ini,anak
membutuhkan dukungan dan bantuan dari keluarga khususnya pemberian
pengakuan yang positif terhadap perilaku yang adaptif. Hal ini merupakan
dasar otonomi anak yang berguna untuk mengembangkan kemampuan
hubungan interdependen. Kegagalan anak dalam berhubungan dengan
lingkungannya disertai respon keluarga yang negatif akan mengakibatkan anak
menjadi tidak mampu mengontrol diri ,tidak mandiri, ragu, menarik diri dari
lingkungan, kurang percaya diri, pesimis, takut perilakunya salah(Abdul
Muhith,2015)
3. Anak anak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri dan mulai
mengenal lingkungan lebih luas,dimana anak mulai membina hubungan
dengan teman temanny. Pada usia ini anak mulai mengenal kerjasama,
kompetisi, dan kompromi. Konflik sering terjadi dengan orang tua karena
pembatasan dan dukungan yang tidak konsisten. Teman dengan orang dewasa
di luar keluarga (guru,orang tua teman) merupakan sumber pendukung yang
penting bagi anak. Kegagalan dalam membina hubungan dengan teman di
sekolah, kurangnya dukungan guru dan pembatasan serta dukungan yang tidak
konsisten dari orang tua mengakibatkan frustasi terhadap kemampuannya ,
putus asa,merasa tidak mampu, dan menarik diri dari lingkungan(Abdul
muhith,2015)
4. Remaja
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan orang
tua dan teman sebaya. Individu belajar mengalami keputusan dengan
mempertahatikan saran dan pendapat orang lain seperti memilih
pekerjaan,memilih karier,dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan individu
menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain, dan putus asa akan karier.
5. Dewasa Muda
Pada usia ini, individu mempertahankan hubungan interdependen dengan orang
tua dan teman sebaya. Individu belajar mengambil keputusan dengan
mempertahatikan saran dan pendapat orang lain, seperti memilih
pekerjaan,memilih karier, dan melangsungkan pernikahan. Kegagalan individu
dalam melanjutkan sekolah,pekerjaan,pernikahan mengakibatkan individu
menghindari hubungan intim,menjauhi orang lain,dan putus asa akan karier.
6. Dewasa Tengah
Individu pada usia dewasa tengah umumnya telah pisah tempat tinggal dengan
orang tua, khususnya individu telah menikah. Jika ia telah menikah,maka peran
menjadi orang tua dan mempunyai hubungan antar orang dewasa merupakan
situasi tempat menguji kemampuan hubungan interdependen. Kegagalan pisah
tempat tinggal dengan orang tua,membina hubungan yang baru dan tidak
mendapatkan dukungan dari orang dewasa lain akan mengakibatkan perhatian
hanya tertuju pada diri sendiri,produktivitas dan kreativitas berkurang, dan
perhatian pada orang lain berkurang.
7. Dewasa Lanjut
Pada masa ini, individu akan mengalami kehilangan,baik kehilangan fungsi
fisik, kegiatan, pekerjaan, teman hidup (teman sebaya dan pasangan), anggota
keluarga(kematian orang tua). Individu tetap memerlukan hubungan yang
memuaskan dengan orang lain. Individu yang mempunyai perkembangan yang
baik dapat menerima kehilangan yang terjadi dalam kehidupannya dan
mengakui bahwa dukungan orang lain dapat membantu dalam menghadapi
kehilangannya. Kegagalan dalam masa ini dapat menyebabkan individu merasa
tidak berguna,tidak di hargai, dan hal lain dapat membuat individu menarik diri
dan rendah diri(Abdul muhith,2015)
 Klasifikasi
Terdapat banyak klasifikasi gangguan kejiwaan dengan tingkatan tertentu yang
memerlukan penanganan. Salah satunya adalah Isolasi sosial. Ada 5 tahap.
Pada tahap pengkajian, data yang dikumpulkan berupa data biologis, psikologis, sosial
dan spiritual. Data subjektif yang mungkin muncul adalah rasa malas berinteraksi,
penolakan dari orang lain dan perasaan tidak berguna. Pada data objektif yang
mungkin timbul adalah keenggaan dan kurangnya insiatif untuk membangun sebuah
percakapan dengan orang lain, mondar-mandir tanpa tujuan, afek tumpul dan kontak
mata kurang. Berdasarkan data-data tersebut dapat dibentuk pohon masalah (Dalami et
al., 2009).
Diagnosa keperawatan menyangkut respons perilaku terhadap stress yang disebabkan
dari hubungan sosial misalnya pada pasien isolasi sosial. Pada tahap perencanaan,
perawat membuat tujuan baik umum maupun khusus dan rencana tindakan yang akan
diberikan (Riyadi & Purwanto, 2009).
Pada tahap implementasi, tindakan dikelompokan untuk individu dan keluarga
misalnya dengan memberikan terapi sosialisasi untuk pasien isolasi sosial dan terapi
social skill training (SST) dan terapi suportif untuk pasien skizofrenia (Harkomah, Arif
& Basmanelly, 2018, hlm. 66). Begitupula yang dilakukan pada tahap evaluasi.
B. Rentang Respon

Menurut Stuart Sundeen dalam Sutejo tentang respon klien ditinjau dari interaksinya
dengan lingkungan sosial merupakan suatu kontinum yang terbentang antara respon adaptif
dengan maladaptive sebagai berikut:
Adaptif Maladaptif

Manipulasi,
Menyendiri, Otonomi, Kesepian, menarik
diri, impulsif,
kebersamaan, saling
ketergantungan narsisme
ketergantungan

Skema 2.1 Rentang respon isolasi sosial

(sumber: Sutejo, 2017)

a. Respon Adaptif

Menurut Sutejo (2017) respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh
norma-norma sosial dan kebudayan secara umum yang berlaku. Dengan kata lain individu
tersebut masih dalam batas normal ketika menyelesaikan masalah. Berikut adalah sikap yang
termasuk respon adaptif:

1. Menyendiri, respon yang dibutuhkan seseorang untuk merenungkan apa yang


telah terjadi di lingkungan sosialnya.
2. Otonomi, kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide,
pikiran, dan perasaan dalam hubungan sosial.
3. Kebersamaan, kemampuan individu dalam hubungan interpersonal yang saling
membutuhkan satu sama lain.
4. Saling ketergantungan (Interdependen), suatu hubungan saling ketergantungan
antara individu dengan orang lain
b. Respon Maladaptif
Menurut Sutejo (2017) respon maladaptif adalah respon yang menyimpang dari norma
sosial dan kehidupan di suatu tempat. Berikut ini adalah perilaku yang termasuk respon
maladaptif:
1. Manipulasi, kondisi dimana individu cenderung berorientasi pada diri sendiri.
2. Impulsif merupakan respon sosial yang ditandai dengan individu sebagai subjek
yang tidak dapat diduga, tidak dapat dipercaya dan tidak mampu melakukan
penilaian secara objektif.
3. Narsisisme, kondisi dimana individu merasa harga diri rapuh, dan mudah marah.
C. Faktor Predisposisi
Predisposisi adalah ada juga faktor presipitasi yang menjadi penyebab antara lain adanya
stressor sosial budaya serta stressor psikologis yang dapat menyebabkan klien mengalami
kecemasan (Arisandy, 2017).
a. Aspek Biologis
Sebagian besar faktor predisposisi pada klien yang diberikan terapi latihan ketrampilan
sosial adalah adanya riwayat genetik yaitu sebanyak 66,7%. Faktor genetik memiliki peran
terjadinya gangguan jiwa pada klien yang menderita skizofrenia
b. Aspek Psikologis
Faktor predisposisi pada aspek psikologis sebagian besar akibat adanya riwayat
kegagalan/kehilangan (77,8%). Pengalaman kehilangan dan kegagalan akan mempengaruhi
respon individu dalam mengatasi stresornya
c. Aspek sosial budaya
Dimana pada klien kelolaan didapatkan aspek sosial budaya sebagian besar adalah
pendidikan menengah dan sosial ekonomi rendah masing-masing

D. Faktor Presipitasi
Menurut Herman Ade (2011) terjadinya gangguan hubungan sosial juga dipengaruhi oleh
faktor internal dan eksternal seseorang. Faktor stressor presipitasi dapat dikelompokan
sebagai berikut:
1. Stressor Sosial Budaya
Stress dapat ditimbulkan oleh beberapa faktor antara faktor lain dan faktor keluarga
seperti menurunnya stabilitas unit keluarga dan berpisah dari orang yang berarti
dalam kehidupannya, misalnya karena dirawat dirumah sakit.
2. Stressor Psikologi
Tingkat kecemasan berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan dengan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang dekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhan ketergantungan
dapat menimbulkan kecemasan tingkat tinggi.

E. Mekanisme Koping
Mekanisme koping digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Mekanisme koping yang sering digunakan
adalah proyeksi, splitting (memisah) dan isolasi. Proyeksi merupakan keinginan yang tidak
mampu ditoleransi dan klien mencurahkan emosi kepada orang lain karena kesalahan
sendiri. Splitting merupakan kegagalan individu dalam menginterpretasikan dirinya dalam
menilai baik buruk. Sementara itu, isolasi adalah perilaku mengasingkan diri dari orang
lain maupun lingkungan (Sutejo, 2017).

I. Pohon Masalah

Resiko Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi (effect)

ISOLASI SOSIAL

(core problem)

Gangguan konsep diri: Harga diri rendah (causa)

Skema 2.2 Pohon Masalah Diagnosa Isolasi Sosial

(Sumber: Sutejo, 2017)

II. Analisa Data Dan Data Fokus Pengkajian


a. Identitas
Identitas klien meliputi : nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, status
mental, suku bangsa, alamat, nomor rekam medis, ruang rawat, tanggal masuk rumah sakit,
tanggal pengkajian, diagnosis medis.Identitas penanggung jawab : nama, umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien, alamat.
b. Alasan Masuk
1. Apa penyebab klien datang ke RSJ?
2. Apa yang sudah dilakukan keluarga?
3. Bagaimana hasilnya?
c. Faktor Predisposisi
Kehilangan, perpisahan, penolakan orangtua, harapan orang tua yang tidak realistis,
kegagalan/frustasi berulang, tekanan dari kelompok sebaya; perubahan struktur sosial.
Terjadi trauma yang tiba-tiba misalnya harus dioperasi, kecelakaan dicerai suami, putus
sekolah, PHK, perasaan malu karena sesuatu yang terjadi (korban perkosaan, dituduh
KKN, dipenjara tiba-tiba) perlakuan orang lain yang tidak menghargai Klien/perasaan
negatif terhadap diri sendiri yang berlangsung lama.
d. Fisik
Pemeriksaan fisik mencakup semua sistem yang ada hubungannya dengan klien depresi
berat didapatkan pada sistem integumen klien tampak kotor, kulit lengket di karenakan
kurang perhatian terhadap perawatan dirinya bahkan gangguan aspek dan kondisi klien .
e. Psikososial
Konsep Diri:
1) Gambaran Diri : Menolak melihat dan menyentuh bagian tubuh yang berubah atau
tidak menerima perubahan tubuh yang telah terjadi atau yang akan terjadi. Menolak
penjelasan perubahan tubuh, persepsi negatif tentang tubuh. Preokupasi dengan
bagian tubuh yang hilang, mengungkapkan keputus asaan, mengungkapkan
ketakutan.
2) Ideal Diri : Mengungkapkan keputus asaan karena penyakitnya: mengungkapkan
keinginan yang terlalu tinggi.
3) Harga Diri : Perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, mencederai diri, dan kurang
percaya diri.
4) Penampilan Peran : Berubah atau berhenti fungsi peran yang disebabkan penyakit,
proses menua, putus sekolah, PHK.
5) Identitas Personal : Ketidakpastian memandang diri, sukar menetapkan keinginan dan
tidak mampu mengambil keputusan.
f. Hubungan Sosial
Klien mempunyai gangguan / hambatan dalam melakukan hubungan sosial dengan orang
lain terdekat dalam kehidupan, kelompok yang diikuti dalam masyarakat.
g. Spiritual
Nilai dan keyakinan klien, pandangan dan keyakian klien terhadapap gangguan jiwa sesuai
dengan norma dan agama yang dianut pandangan masyarakat setempat tentang gangguan
jiwa. Kegiatan ibadah : kegiatan di rumah secara individu atau kelompok.
h. Status Mental
Kontak mata klien kurang/tidak dapat mepertahankan kontak mata, kurang dapat memulai
pembicaraan, klien suka menyendiri dan kurang mampu berhubungan dengan orang lain,
adanya perasaan keputusasaan dan kurang berharga dalam hidup.
1) Penampilan
Biasanya pada Klien menarik diriklien tidak terlalu memperhatikan penampilan,
biasanya penampilan tidak rapi, cara berpakaian tidak seperti biasanya (tidak tepat).
2) Pembicaraan
Cara berpakaian biasanya di gambarkan dalam frekuensi, volume dan karakteristik.
Frekuansi merujuk pada kecepatan Klien berbicara dan volume di ukur dengan
berapa keras klien berbicara. Observasi frekuensi cepat atau lambat, volume keras
atau lambat, jumlah sedikit, membisu, dan di tekan, karakteristik gagap atau kata-
kata bersambungan.
3) Aktifitas Motorik
Aktifitas motorik berkenaan dengan gerakan fisik klien. Tingkat aktifitas : letargik,
tegang, gelisah atau agitasi. Jenis aktifitas : seringai atau tremor. Gerakan tubuh
yang berlebihan mungkin ada hubunganya dengan ansietas, mania atau
penyalahgunaan stimulan. Gerakan motorik yang berulang atau kompulsif bisa
merupakan kelainan obsesif kompulsif.
4) Alam Perasaan
Alam perasaan merupakan laporan diri klien tentang status emosional dan cerminan
situasi kehidupan klien. Alam perasaan dapat di evaluasi dengan menanyakan
pertanyaan yang sederhana dan
hari ini” apakah klien menjawab bahwa ia merasa sedih, takut, putus asa, sangat
gembira atau ansietas.
5) Afek
Afek adalah nada emosi yang kuat pada klien yang dapat di observasi oleh perawat
selama wawancara. Afek dapat digambarkan dalam istilah sebagai berikut :
batasan, durasi, intensitas, dan ketepatan. Afek yang labil sering terlihat pada
mania, dan afek yang datar,tidak selaras sering tampak pada skizofrenia.
6) Persepsi
Ada dua jenis utama masalah perseptual : halusinasi dan ilusi. Halusinasi di
definisikan sebagai kesan atau pengalaman sensori yang salah. Ilusi adalah persepsi
atau respon yang salah terhadap stimulus sensori. Halusinasi perintah adalah yang
menyuruh klien melakukan sesuatu seperti membunuh dirinya sendiri, dan melukai
diri sendiri.
7) Interaksi Selama Wawancara
Interaksi menguraikan bagaimana klien berhubungan dengan perawat. Apakah
klien bersikap bermusuhan,tidak kooperatif, mudah tersinggung, berhati-hati,
apatis, defensive,curiga atau sedatif.
8) Proses Pikir
Proses pikir merujuk “ bagaimana” ekspresi diri klien proses diri klien diobservasi
melalui kemampuan berbicaranya. Pengkajian dilakukan lebih pada pola atas
bentuk verbalisasi dari pada isinya.
9) Isi Pikir
Isi pikir mengacu pada arti spesifik yang diekspresikan dalam komunikasi klien.
Merujuk pada apa yang dipikirkan klien walaupun klien mungkin berbicara
mengenai berbagai subjek selama wawancara, beberapa area isi harus dicatat dalam
pemeriksaan status mental. Mungkin bersifat kompleks dan sering disembunyikan
oleh klien.
10) Tingkat Kesadaran
Pemeriksaan status mental secara rutin mengkaji orientasi klien terhadap situasi
terakhir. Berbagai istilah dapat digunakan untuk menguraikan tingkat kesadaran
klien seperti bingung, tersedasi atau stupor.
11) Memori
Pemeriksaan status mental dapat memberikan saringan yang cepat tehadap
masalah-masalah memori yang potensial tetapi bukan merupakan jawaban definitif
apakah terdapat kerusakan yang spesifik. Pengkajian neurologis diperlukan untuk
menguraikan sifat dan keparahan kerusakan memori. Memori didefinisikan sebagai
kemampuan untuk mengingat pengalaman lalu.
12) Tingkat Konsentrasi Dan Kalkulasi
Konsentrasi adalah kemampuan klien untuk memperhatikan selama jalannya
wawancara. Kalkulasi adalah kemampuan klien untuk mengerjakan hitungan
sederhana.
13) Penilaian
Penilaian melibatkan perbuatan keputusan yang konstruktif dan adaptif termasuk
kemampuan untuk mengerti fakta dan menarik kesimpulan dari hubungan.
14) Daya Titik Diri
Penting bagi perawat untuk menetapkan apakahklien menerima atau mengingkari
penyakitnya.
i. Kebutuhan Persiapan Pulang
Pengkajian diarahkan pada klien dan keluarga klien tentang persiapan keluarga, lingkungan
dalam menerima kepulangan klien. Untuk menjaga klien tidak kambuh kembali diperlukan
adanya penjelasan atau pemberian pengetahuan terhadap keluarga yang mendukung
pengobatan secara rutin dan teratur.

ANALISA DATA

Data Masalah Keperawatan


DS: Gangguan isolasi sosial
Klien hanya diam saja tidak mau
berinteraksi dengan orang lain
DO:
1. Klien tampak diam, tidak mau
bersosialisasi dengan orang lain
2. Pasien tampak menyendiri
3. Pasien tampak tidak kooperatif

III. Diagnosa Keperawatan


Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan
gejala isolasi sosial yang ditemukan. Jika hasil pengkajian menunjukkan tanda dan gejala
isolasi sosial, maka diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:

a. Isolasi sosial
b. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
c. Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

IV. Rencana Tindakan keperawatan

A. Diagnosa I : Isolasi sosial


Tum : klien dapat berinteraksi dengan orang lain. Tuk I
:klien dapat membina hubungan saling percaya
Intervensi :
 Beri salam terapeutik

 Perkenalkan nama, nama panggilan perawat, dan tujuan perawat


berkenalan

 Tanyakan dan panggil nama kesukaan klien


 Tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap berinteraksi

 Tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien

 Buat kontak interaksi yang jelas

Tuk II : klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri


Intervensi :
 Mengkaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri

 Memberi kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan


perasaan yang menyebabkan klien tidak mau bergaul.
 Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan
perasaannya

Tuk III : klien dapat menyebutkan keuntungan berinteraksi dengan orang lain
dan kerugian berinteraksi dengan orang lain
Intervensi :
 Mengkaji pengetahuan klien tentang keuntungan memiliki teman

 Memberi kesempatan klien untuk berinteraksi dengan orang lain

 Mendiskusikan dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang


lain
 Memberi pujian terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang
keuntungan berinteraksi dengan orang lain tentan kerugian apabila tidak
 Mengkaji pengetahuan klien berinteraksi dengan orang lain

Tuk IV : Klien Dapat Melaksanakan Interaksi Sosial secara bertahap.


Intervensi :
 Mengkaji kemapuan klien membina hubungan dengan orang lain
 Memperagakan cara berhubungan atau berinteraksi dengan orang lain
 Mendorong klien untuk berinteraksi dengan orang lain

 Memberi pujian klien terhadap keberhasilan yang telah dicapai

 Membantu klien mengevaluasi keuntungan menjalin hubungan sosial


 Mendiskusikan jadwal harian dapat dilakukan bersama klien dalam mengisi
waktu, yaitu berinteraksi dengan orang lain

Tuk V :Klien Dapat Mengungkapkan Perasaannya setelah berinteraksi dengan


orang lain.
Intervensi :

 Mendorong klien mengungkapkan perasaannya bila berinteraksi dengan


orang lain
 Mendiskusikan bersama klien tentang perasaannya setelah
berinteraksi dengan orang lain
 Memberi pujian atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan
keuntungan berinteraksi dengan orang lain

Tuk VI : Klien dapat menggunakan system pendukung atau keluarga.


Intervensi :
 Membina hubungan saling percaya kepada keluarga

 Mendiskusikan tentang :

a. Perilaku menarik diri

b. Penebab perilaku menarik diri

c. Akibat yang terjadi apabila perilaku menarik diri tidak


ditanggapi
d. Cara keluarga menghadapi perilaku menarik diri

e. Mendorong anggota keluarga untuk memberi dukungan kepada


klien dalam berkomunikasi dengan orang lain

Diagnosa 2 : Gangguan konsep diri: Harga Diri Rendah

Tum :Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal dan mampu
meningkatkan harga dirinya.
Tuk I : klien dapat membina hubungan saling percaya.
Intervensi :
 Bersalaman panggil nama

 Menyebutkan nama perawat sambil berjabat tangan

 Menjelaskan maksud hubungan interaksi

 Menjelaskan kontrak yang akan dibahas

 Melakukan kontak singkat tapi sering

Tuk II : Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Intervensi :

 Mendiskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien

 Setiap bertemu hindarkan diri memberi penilaian negatif

 Mengutamakan memberi pujian positif

Tuk III :Kklien dapat menilai kemampuan yang dapat digunakan.


Intervensi :
 Mendiskusikan dengan klien kemampuan yang masih dimiliki dapat
digunakan sebelum sakit
 Mendiskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan     penggunaannya
Tuk IV :Klien dapat menetapkan, merencanakan kegiatan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki
Intervensi :

 Merencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari


sesuai dengan kemampuan
 Mengingatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien

 Memberi contoh pelaksanaan kegiatan yang boleh dilakukan

Tuk V :Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi klien dan kemampuannya.
Intervensi :

 Merencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari


sesuai dengan kemampuan
 Memberi kesempatan pada klien untuk melakukan kegiatan yang
direncanakan.
 Memberi pujian atas keberhasilan klien

Tuk V I : Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada.


Intervensi :
 Mendiskusikan mengenai tanda-tanda harga diri rendah

 Menganjurkan keluarga klien mengenal tanda-tanda dan cara menghargai


klien
 Keluarga tidak membedakan dengan anggota keluarga yang lain

Diagnosa 3 : Gangguan persepsi sensori :Halusinasi

Tum :Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi.
Tuk :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya

2. Klien dapat mengenal halusinasinya

3. Klien dapat mengontrol halusinasi

4. Klien memiliki cara mengatasi seperti yang telah didiskusi

5. Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasi

6. Klien dapat memanfaatkan obat dengan baik


Intervensi :
 Membina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan prinsip
komunikasi terapeutik
 Menyapa dengan ramah klien

 mempererkenalkan diri dengan sopan

 Bertanya nama lengkap klien

 Menjelaskan tujuan pertemuan

 Jujur dan tepat janji

 Menunjunjukkan sikap empati

 Memberi perhatian pada klien

 Membantu antu klien mengenal halusinasi

 Mendiiskusikan dengan klien situasi yang menimbulkan halusinasi

 Mengidentifikasi bersama klien cara tindakan yang dilakukan jika terjadi


halusinasi
 Memberi beri pujian pada klien
 Mendiiskusikan cara lain untuk memutus halusinasi

V. DAFTAR PUSTAKA

Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika, Yogyakarta.
Erlinafsiah. 2010. Modal Perawat Dalam Praktik Keperawayan Jiwa. Trans Info Media, Jakarta.
Fitria, Nita. Dkk. 2013. Laporan Pendahuluan Tentang Masalah Psikososial. Salemba Medika,
Jakarta.
Fitria, Nita. 2009. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahukuan dan Stratrgi
Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Salemba Medika, Jakarta.
http://www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat/detail.php.id=2254
Keliat, Budu Anna. 2011. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. EGC, Jakarta.
Keliat, Budu Anna. 2004. Keperawatan Jiwa Terapi Aktifitas Kelompok. EGC, Jakarta.
Keliat , Budu Anna. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. EGC. Jakarta.3
Kusuma, Farida dan Hartono, Yudi. 2010. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Salemba Medika,
Jakarta.
Nanda, 2012. Diagnosa Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi 2012-2014. Buku Kedokteran
:EGC.
Nurjannah. I. 2004. Pedoman Pada Gangguan Jiwa. MocoMedia. Yogyakarta. Rekam Medik,
Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta.2013.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. PT. Refika Aditama, Bandung.

Anda mungkin juga menyukai