Anda di halaman 1dari 9

Dakwah Pencerahan untuk Keluarga Dhu’afa

Pengantar

Sebelum kita bicara banyak mengenai tema ini, agar


terlihat jelas hubungan antara pembahasan ini dengan
pembahasan sebelumnya, penting untuk saya kutip
sedikit kesimpulan penting yang ada pada pembahasan
sebelumnya yang berjudul, “Kiai Dahlan dan
Pemberdayaan Kaum Dhuafa”.

Poin penting pada pembahasan terdahulu adalah


sedang memahami apa visi utama dan ciri khas
Muhammadiyah dalam mengamalkan agama. Inilah kesimpulan utamanya: “Kiai Dahlan
hendak menghadirkan ajaran Islam sebagai penggerak perubahan sosial. Sebuah ajaran
yang dapat mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik.

Nah, untuk mewujudkan visi ini maka ditempuhlah satu model dakwah yang disebut dengan
“dakwah pencerahan”. Dakwah pencerahan adalah konsep dakwah yang selaras dengan visi
di atas. Dakwah pencerahan adalah sebuah istilah khusus yang membedakan diri dengan
model dakwah lain.

Memangnya ada dakwah yang tidak mencerahkan? Baik, mari saya jelaskan secara sederhana
kenapa muncul istilah ini dan apa ciri khas serta bedanya dengan yang lain, ya.

Kalau kita lihat di masyarakat banyak sekali cara berdakwah. Masing-masing mempunyai
titik tekan tertentu. Kita dapat melihat ada yang beragama, termasuk dakwahnya menekankan
pada hal-hal yang bersifat keakhiratan. Beragama seolah-olah hanya untuk kepentingan
akhirat. Yang terpenting adalah rajin ibadah. Sederhananya barangkali biar saja miskin yang
penting masuk surga.

Ajaran agama seolah-oleh tidak nyambung dengan kehidupan sehari-hari. Umat barangkali
sangat tekun beribadah. Tapi kehidupannya sangat memperihatinkan. Sudah tau umat miskin
semua, tapi selalu saja isi ceramahnya adalah untuk terus menerus bersedekah.

Nah, dakwah yang seperti ini dalam perspektif Muhammadiyah tidak mencerahkan. Dakwah
seperti ini mengalienasi/mengasingkan manusia dari kehidupan nyata. Bahkan dalam banyak
hal terkadang menimbulkan permasalahan baru. Cara ini tidak bisa menghadirkan ajaran
Islam sebagai penggerak perubahan sosial sebagaimana disebutkan di atas.

Karena itulah demi mewujudkan ajara islam sebagai ajaran yang dapat
mentransformasikan kehidupan ke arah yang lebih baik, maka harus ada corak lain dalam
berdakwah. Sebuah dakwah yang erat dan berhubungan dengan realitas dan problematika
umat. Dakwah yang mampu menggugah umat untuk bangkit merubah keadaan. Dakwah yang
disamping meningkatkan semangat keimanan juga menghadirkan solusi hidup. Inilah dakwah
pencerahan yang akan kita bahas lebih detail pada pembahasan selanjutnya.
Lalu kenapa mesti bicara keluarga dhu’afa? Karena sasaran utama dakwah adalah kaum
dhu’afa, selaras dengan pesan moral surat al-Ma’un yang telah kita bahas sebelumnya. Surat
yang menjadi spirit dasar untuk visi dan corak gerakan Muhammadiyah.

Bicara kaum dhu’afa sebenarnya tidak selalu keluarga. Keluarga dijadikan sasaran utama
karena ia merupakan institusi sosial terkecil. Keluargalah tempat penyemaian pertama
kehidupan manusia. Dengan kata lain, berbagai fenomena termasuk kemiskinan indung
semangnya adalah keluarga. Dengan demikian, perubahan yang terjadi pada ranah keluarga
akan menjadi jembatan utama pada perubahan masyarakat yang lebih luas.

Karena itulah keluarga dijadikan sasaran utama dalam dakwah pencerahan, terutama pada
mata kuliah ini. Secara teknis, nantinya para mahasiswa yang mengikuti perkuliahan ini akan
melakukan aksi nyata untuk menolong sesama dengan sasaran keluarga dhu’afa.

Muhammadiyah dan Konsep Dakwah Pencerahan

Pencerahan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya proses, cara, atau perbuatan
mencerahkan. Kata pencerahan mengandung arti menjadikan atau menyebabkan cerah (tidak
suram). Kata cerah semakna dengan kata terang, sinar, dan jernih, sebagai lawan dari gelap,
keruh, dan suram. (Nashir, 2018: 267). Dalam bahasa Arab sepadan dengan kata “an-nuur
(cahaya)” dan “at-tanwiir (mencerahkan)” yang merujuk pada surat al-Baqarah ayat 257:

ِ ‫ظلُ َٰ َم‬
‫ت إِلَى ٱلنُّو ِر‬ ۟ ُ‫ين َءا َمن‬
ُّ ‫وا يُ ْخ ِر ُج ُهم ِّم َن ٱل‬ َ ‫ٱَّللُ َولِ ُّى ٱله ِذ‬
‫ه‬
Artinya: Allah Pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari
kegelapan kepada cahaya. (QS. Al-Baqarah [2]: 257).

Secara konseptual, dakwah pencerahan terdapat dalam Pernyataan Pikiran Muhammadiyah


Abad Kedua hasil Muktamar ke-46 tahun 2010 di Yogyakarta. Pada aline kedua
disebutakan,”Gerakan pencerahan adalah praksis Islam yang berkemajuan untuk
membebaskan, memberdayakan, dan memajukan kehidupan. Gerakan pencerahan dihadirkan
untuk memberikan jawaban atas problem-problem kemanusiaan berupa kemiskinan,
kebodohan, ketertinggalan, dan persoalan-persoalan lainnya yang bersifat structural dan
kultural. Gerakan pencerahan menampilkan Islam yang menjawab kekeringan rohani, krisis
moral, kekerasan, terorisme, konflik, korupsi, kerusakan ekologis dan bentuk-bentuk
kejahatan kemanusiaan. Gerakan pencerahan berkomitmen untuk mengembangkan relasi
sosial yang berkeadilan tanpa diskriminasi, memuliakan martabat manusia laki-laki dan
perempuan, menjunjung tinggi toleransi dan kemajemukan, dan membangun pranata sosial
yang utama.” (Nashir, 2018: 269).

Terus terang alinea di atas cukup panjang. Jika tidak cermat dalam memahaminya bisa-bisa
malah gagal paham dan tidak mengerti identitas utama gerakan pencerahan. Semua hal baik
dimasukkan di situ. Lalu orang bertanya, jika demikian apa bedanya dengan yang lain?
Padahal “gerakan pencerahan” dimaksudkan sebagai istilah khas model dakwah
Muhammadiyah yang tentunya mempunya titik beda dengan yang lain.

Kerana itu saya ingin jelaskan pada bagian intinya. Bagian inti ini terdapat pada kalimat
awal: ”Gerakan pencerahan adalah praksis Islam yang berkemajuan untuk membebaskan,
memberdayakan, dan memajukan kehidupan…” Inilah titik sentral dari dakwah
pencerahan. Yaitu dakwah yang menghadirkan praksis Islam, Islam yang aktual, Islam yang
dekat dan menyapa realitas kehidupan, Islam yang tidak hanya bicara soal kehidupan alam
akhirat, tapi Islam yang dapat memajukan kehidupan.

Gerakan pencerahan ingin mengajarkan iman yang disinari dengan ilmu pengetahuan. Bukan
iman yang dipenuhi dengan mitos-mitos dan hal-hal tahayul lain yang irasional. Ketika iman
bertemu ilmu maka di situlah ada jalan pencerahan. Di situlah kemudian akan berdampak
pula pada kehidupan yang berkemajuan.

Prof. Dr. Abdul Mu’thi, salah seorang Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah dalam sebuah
pelatihan dai yang penulis menjadi salah satu pesertanya pernah menyatakan bahwa dakwah
pencerahan mempunyai tiga prinsip utama yang disingkat menjadi 3E, yaitu: enlaighting
(mencerahkan), empowering (memberdayakan), dan entertaining (menggembirakan).

Maksud enlaighting (mencerahkan) adalah mengeluarkan manusia dari tahayul kepada iman
yang diterangi ilmu pengatahuan. Selanjutnya empowering (memberdayakan) maksudnya
membuat manusia berdaya, dapat bangkit kemudian mampu mengubah keadaan secara
mandiri. Kemudian entertaining (menggembirakan) adalah menghadirkan solusi-solusi hidup
sehingga menyenangkan karena kompatibel dengan realitas kehidupan dan problematika
yang dihadapi manusia.

Nah, karena itulah gaya dan pendekatan dakwah pencerahan berbeda dengan “dakwah
tradisional”. Diantara beberapa perbedaan mendasar antara keduanya dapat dilihat pada tabel
berikut:

ASPEK
DAKWAH TRADISIONAL DAKWAH PENCERAHAN
NO DAKWAH
Satu arah, ada jarak antara dai
dan mad’u. Dakwah didominasi Interaktif dan egaliter. Ada
Hubungan antara
1 oleh dai, sedangkan mad’u kedekatan antara dai dan mad’u.
dai dan mad’u
biasanya diposisikan sebagai Mad’u adalah peserta aktif
pendengar pasif.
Bottom up, pilihan materi dan
Top down, pilihan materi ataupun
Pengemasan dan program dakwah dirancang dari
program dakwah didikte oleh dai
2 pilihan materi bawah dengan terlebih dahulu
sesuai dengan pandangan dan
dakwah melihat kondisi dan kebutuhan
pilihan dai
mad’u
Lebih banyak dakwah dengan
Lebih banyak dakwah dengan aksi nyata melalui program
3 Bentuk dakwah
ceramah (dakwah bi al-lisaan) pemberdayaan (dakwa bi al-
haal)
Tumpuan
Bertumpu pada kapasitas dan Bertumpu pada sistem yang
4 keberlangsungan
kharisma dai dibangun
dakwah
Lebih cenderung pada ranah
Orientasi Mempertemukan spirit keimanan
eskatologis, hal-hal yang
5 materi/program dan ibadah dengan problematika
berkenaan dengan ritual
dakwah kehidupan sehari-hari
peribadatan dan kehidupan di
alam akhirat

Konsep Keluarga Ideal menurut Islam

Sasaran strategis dakwah pencerahan adalah keluarga, tepatnya keluarga dhuafa. Karena
itulah kita harus memahami terlebih dahulu apa itu keluarga. Sebelum membahas keluarga
dhuafa, penting bagi kita untuk memahami terlebih dahulu bagaimana keluarga yang ideal
atau keluarga harmonis menurut Islam.

Keluarga yang harmonis dalam Islam disebut dengan istilah keluarga sakinah. Inilah sasaran
utama dibentuknya keluarga. Atau lengkapnya adalah keluarga
sakinah, mawaddah, warahmah (SAMARA). Konsep ini berdasarkan atas firman Allah
SWT:

ً‫س ُكنُوا إِلَ ْي َها َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َم َو هدة‬ ً ‫س ُك ْم أَ ْز َو‬


ْ َ‫اجا لِت‬ ِ ُ‫ق لَ ُك ْم ِمنْ أَ ْنف‬
َ َ‫َو ِمنْ آيَاتِ ِه أَنْ َخل‬
َ ‫ت لِقَ ْو ٍم يَتَفَ هك ُر‬
‫ون‬ ٍ ‫َو َر ْح َمةً إِنه فِي َذلِ َك آليَا‬
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya
di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS Ar-Rum/30:21).

Sakinah artinya tenang. Mawaddah artinya cinta. Rahmah artinya kasih sayang. Dengan
demikian keluarga sakinah bisa diartikan sebagai keluarga yang tenang dan bahagi yang
diliputi dengan rasa cinta dan kasih sayang.

Mawaddah dan rahmah sebenarnya satu paket yang artinya mirip yaitu cinta kasih. Seperti
kasih-sayang, sopan santun. Tapi kalau mau dibeda-bedakan, rahmah itu lebih dalam
dari mawaddah.

Mawaddah cinta yang didasarkan atas naluri biologis, cinta yang punya pamrih. Kalau
menurut Fromm disebut cinta erotik. Orang sekarang menyebut jatuh cinta (falling in love).

Rahmah itu cinta sejati. Dia mencintai dengan segenap penghayatan. Bukan hanya karena
tertarik secara fisik, bukan hanya tuntutan biologis. Tapi ada rasa cinta yang melampaui
semua itu. Dapat menerima satu paket antara kekuarangan dan kelebihannya. Cinta yang
mampu bertahan dalam derita dan ujian. Fromm menyebutnya cinta yang stabil (standing in
love).

Hal ini selaras dengan penjelasan pakar tafsir Indonesia, M. Quraish Shihab. Menurutnya
untuk menuju kemantapan cinta ini menurut M. Quraish Shihab, sepasang suami istri akan
melewati beberapa tahap (catatan: penjelasan masing-masing tahap adalah kesimpulan
pemahaman saya sendiri):
1. Tahap bulan madu

Inilah tahap awal dimana sepasang suami istri baru saja menikah. Mereka sedang dilanda
mabuk kepayang satu sama lain. Namun pada tahap ini cinta mereka sebenarnya masih
banyak didominasi oleh syahwat, cinta erotik.

2. Tahap gejolak

Pada tahap ini satu sama lain mulai mulai marasa bosan. Ada rasa ketidakpuasan satu sama
lain. Beberapa hal yang tidak disukai yang awalnya tidak diketahui di sini mulai muncul.
Maka timbullah konflik.

3. Tahap negosiasi

Inilah tahap dimana masing-masing diuji bagaimana menyelesaikan persoalan yang ada.
Inilah ujian pertama untuk rumah tangga mereka. Di sini pula niat awal menikah dan prinsip-
prinsip agama menjadi sangat penting. Orang yang menikah hanya karena tuntutan hawa
nafsu, hanya karena cinta yang erotik tadi cenderung tak bisa menghadapi masalah. Namun
orang yang niat nikahnya karena Allah maka dia dapat mengantisipasi persoalan itu dengan
baik.

4. Tahap penyesuaian

Pada tahap ini masing-masing saling introspeksi. Masing-masing kemudian melakukan


pembenahan atas diri mereka masing-masing. Mereka telah keluar dari ujian pertama. Kini
keduanya telah menemukan arah hidup yang stabil.

5. Tahap peningkatan kasih sayang

Di sinilah mulai timbul rasa kasih sayang yang baru. Cinta dan kasih sayang yang tidak lagi
hanya didasarkan pada syahwat biologis. Tapi cinta yang stabil. Cinta yang dilandasi atas
komitmen dan tanggungjawab untuk terus bersama mengarungi bahtera rumah tangga.

6. Tahap kemantapan (inilah tahap cinta yang mantap/rahmah)

Inilah tahap dimana keduanya telah sampai pada cinta yang benar-benar mapan. Ini adalah
tahap klimaks dari tahapan kelima di atas. Cinta yang bersandar pada komitmen di hadapan
Allah. Cinta yang kemudian merajut komitmen hidup bersama untuk saling tolong menolong
dalam kebaikan. Cinta yang mengarahkan keduanya tidak hanya pada visi hidup di dunia.
Tapi juga akhirat.

Penjelasan di atas adalah penjelasan definisi keluarga sakinah dari aspek bahasa (etimologi).
Selanjutnya yuk kita bahas definisi keluarga sakinah secara istilah (terminologi):

Kita dapat menjumai beberapa definisi sebagai berikut:

Keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang dan tentram, rukun dan damai. Dalam
keluarga itu terjalin hubungan mesra dan harmonis, diantara semua anggota keluarga dengan
penuh kelembutan dan kasih sayang. (Hasan Basri, Membina Keluarga Sakinah, cet. IV,
(Jakarta: Pustaka Antara, 1996), h. 16.
Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi
hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara
anggota keluarga dan lingkungannya dengan selaras, serasi, serta mampu mengamalkan,
menghayati dan memperdalam nilai nilai keimanan, ketakwaan dan akhlak. (Keputusan
Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji Nomor: D/7/1999 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Pembinaan Gerakan Keluarga Sakinah Bab III Pasal 3).

Kalau kita perhatikan, definisi kedua ini lebih lengkap dan memadai. Tapi dari definis kedua
ini, kalau terasa kepanjangan, esensinya sebenarnya dapat disingkat lagi:

Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu memenuhi
hajat spiritual dan material secara layak dan seimbang, diliputi suasana kasih sayang antara
anggota keluarga dan lingkungannya.

Definisi ini sudah selaras dengan ajaran Islam dan dapat diturunkan menjadi indikator yang
dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Tapi untuk memudahkan, tanpa mengurangi esensi definis di atas, saya akan menyingkat
kembali menjadi:

Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu
memenuhi hajat spiritual, material, dan sosial secara layak dan seimbang.

Definisi ini telah menggambarkan indikator yang mengarah pada terwujudnya keluarga
sakinah yaitu meliputi beberapa aspek: (1) aspek hukum/legalitas pernikahan, (2) aspek
spiritual, (3) aspek material, (4) aspek sosial.

Penjelasan masing-masing adalah sebagai berikut:

Aspek-Aspek Keluarga Sakinah

Saya ulangi lagi sedikit, ya. Keluarga sakinah adalah keluarga yang tenang, keluarga yang
harmonis, keluarga bahagia atau apapun istilah yang Anda pakai. Sekarang pertanyaan
pentingnya adalah apa syarat keluarga sakinah? Unsur-unsur/aspek apa saja yang harus
dipenuhi agar keluarga sakinah terwujud?

Agar lebih clear, sekarang saya mau tanyakan sebaliknya: apa saja masalah-masalah yang
sering terjadi dalam rumah tangga, coba?

Perselingkuhan karena pasangan merasa tak cinta lagi atau hal-hal lain yang menyangkut
komitmen hidup bersama. Betul, ya? Kemiskinan, tidak bisa mencukupi kebutuhan papan,
sandang, pangan. Betul? Berantem sama tetangga. Betul, ya?

Nah, oleh karena itu definisi di atas memuat 4 aspek dasar yang merupakan antisipasi dari
masalah-masalah pokok tersebut sehingga definisi keluarga sakinah menjadi agak panjang,
yaitu: Keluarga sakinah adalah keluarga yang dibina atas perkawinan yang sah, mampu
memenuhi hajat spiritual, material, dan sosial secara layak dan seimbang.

Sekali lagi diulang, 4 aspek tersebut adalah:


1. Pernikahan yang sah.
2. Dapat memenuhi kebutuhan spiritual.
3. Dapat memenuhi kebutuhan material.
4. Dapat memenuhi kebutuhan sosial.

Inilah keempat aspek yang harus dipenuhi. Untuk lebih jelasnya, mari kita bahas satu per
satu.

Pertama, pernikahan yang sah.

Keluarga sakinah harus dibangun melalui pernikahan yang sah menurut hukum Islam. Jadi
tidak ada istilah keluarga kumpul kebo disebut sakinah. Meskipun mungkin secara materi
berkecukupan. Sah nya pernikahan sesuai dengan hukum Islam ini sebenarnya bukan semata-
mata pemenuhan aspek hukum/legal yang bersifat formal.

Tapi merupakan langkah awal untuk memulai pernikahan dengan prinsip-prinsip yang
diajarkan Allah. Menikah bukan hanya mengambil tanggungjawab antara kedua pasangan
dan keluarganya. Tapi berikrar di hadapan Allah SWT. Lurusnya niat inilah yang akan
menjadi titik awal terbentuknya keluarga sakinah.

Kedua, dapat memenuhi kebutuhan spiritual.

Keluarga sakinah pertama-tama harus mempunyai komitmen yang kuat terhadap ajaran
agama. Hal ini ditunjukkan dengan ketaatan dalam menjalankan ajaran agama. Kalau mau
disingkat keluarga ini menjalankan rukun Islam dengan baik.

Inilah fondasi utama keluarga sakinah. Melalui hal ini sebuah keluarga telah menyiapkan
fondasi yang kokoh dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Masalah boleh berdatangan.
Tapi dengan kekuatan spiritual keluarga ini mampu menangkalnya sehingga ketenangan dan
keharmonisan keluarga tetap terjaga.

Ketiga, dapat memenuhi kebutuhan material.

Berkeluarga, bahkan hidup ini tentunya membutuhkan materi. Suami dibantu istri harus
berusaha bersama-sama untuk terpenuhinya kebutuhan ini. Mulai dari kebutuhan primer,
sekunder, maupun tersier. Mencari nafkah adalah kewajiban yang bernilai ibadah.

Keempat, dapat memenuhi kebutuhan sosial.

Keluarga adalah institusi masyarakat terkecil. Karena itulah keluarga muslim tidak boleh
hidup individualis. Kita tidak bisa hidup sendiri.Keluarga muslim harus membangun
pergaulan yang baik dengan tetangga sekitar dan masyarakat secara umum.

Berdasarkan aspek-aspek di atas, maka tingkatan keluarga sakinah dapat diperinci sebagai
berikut:

Keluarga Sakinah Tingkat Pertama

1. Mampu memenuhi kebutuhan spiritual.


2. Mampu memenuhi kebutuhan dasar ekonomi
Keluarga Sakinah Tingkat Kedua

1. Mampu memenuhi kebutuhan spiritual.


2. Mampu memenuhi kebutuhan dasar ekonomi.
3. Aktif berinteraksi dan berkontribusi dalam kehidupan sosial.

Keluarga Sakinah Tingkat Tiga

1. Mampu memenuhi kebutuhan spiritual.


2. Mampu memenuhi kebutuhan dasar ekonomi.
3. Aktif berinteraksi dan berkontribusi dalam kehidupan sosial.
4. Menjadi penggerak/teladan sosial.

Keluarga Dhu’afa dan Cirinya

Sekarang sampailah kita pada keluarga dhu’afa. Keluarga yang akan menjadi sasaran utama
dalam mengamalkan surat al-Ma’un sebagai wujud dari dakwah pencerahan. Jika kita melihat
pembahasan tentang keluarga sakinah di situ ada bebarapa aspek yang menjadi syarat
terwujudnya keluarga sakinah. Salah satu aspeknya adalah ketercukupan ekonomi.

Nah, pada bagian ini kita akan membahas terutama pada aspek ini. Bicara keluarga dhu’afa
dalam pembahasan kita di sini adalah bicara tentang keluarga yang mengalami kekurangan
dalam aspek ekonomi.

Dalam literatur Islam keluarga orang yang masuk kriteria du’afa terdiri dari dua jenis: fakir
dan miskin (QS. At Taubah: 60). Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah fakir itu lebih
parah dari miskin. Alasan mereka karena dalam ayat ini Allah menyebut fakir lebih dulu
dahulu setelah itu menyebut miskin.

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin memberikan gambaran perbedaan antara fakir
dan miskin bahwa ketika sesorang mempunyai pendapatan yang tidak mampu untuk
memenuhi setidaknya setengah dari kebutuhan pokoknya maka itu disebut fakir. Dalam hal
ini termasuk orang yang tidak punya pekerjaan. Kalau seseorang mempunyai pendapatan
setidaknya mencukupi setengah dari kebutuhan pokoknya maka itu disebut miskin.
(www.muslim.or.id).

Keluarga dhu’afa adalah keluarga yang masuk kategori keluarga fakir atau keluarga miskin.
Namun dalam pengertian yang kita pakai sehari hari di negara kita biasanya hanya mengenal
istilah miskin yang dalam pengertiannya bisa mencakup keduanya.

Untuk mengukur suatu keluarga apakah termasuk keluarga miskin atau tidak, Badan Pusat
Statistik (BPS) menetapkan 14 kriteria keluarga miskin yaitu:

1. Luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8m2 per orang.
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/ rumbia/ kayu berkualitas rendah/tembok
tanpa diplester.
4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/ bersama-sama dengan rumah tangga lain.
5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik.
6. Sumber air minum berasal dari sumur/ mata air tidak terlindung/ sungai/ air hujan.
7. Bahan bakar untuk memasak sehari-hari adalah kayu bakar/ arang/ minyak tanah.
8. Hanya mengkonsumsi daging/ susu/ ayam dalam satu kali seminggu.
9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun.
10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/ dua kali dalam sehari.
11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/ poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500m2,
buruh tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya
dengan pendapatan dibawah Rp. 600.000,- per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/ tidak tamat SD/ tamat SD.
14. Tidak memiliki tabungan/ barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,-
seperti sepeda motor kredit/ non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal
lainnya.[]

DAFTAR PUSTAKA

Tim Penulis Dosen AIKA, Kemuhammadiyahan, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018),

Tim Penulis Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP


Muhammadiyah, Al Islam dan Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi
Muhammadiyah, (Yogyakarta: Majelis Pendidikan Tinggi Penelitian dan Pengembangan PP
Muhammadiyah, Al Islam dan Kemuhammadiyahan untuk Perguruan Tinggi
Muhammadiyah, 2016).

Haedar Nashir, Kuliah Kemuhammadiyahan 2, (Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2018).

Anda mungkin juga menyukai