Anda di halaman 1dari 34

MAKALAH KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

PROGRAM PEMERINTAH DALAM PENANGGULANGAN PENYAKIT DHF, TYPOID,


&FILARASIS COVID-19, HIV-AIDS

Disusun oleh

kelompok 2:

Ermia Citra 202013004

Fitriyana 202013005

Jelina Jini 202013006

Dosen Pembimbing : Mawar Eka Putri S.Kep, Ns, M.Kep

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HANG TUAH

PROGRAM STUDI D-3 KEPERAWATAN

TANJUNG PINANG

TAHUN 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan
rahmat serta karunia –Nya kepada saya sehingga penulis berhasil menyelesaikan makalah ini
tepat waktunya yang berjudul “PROGRAM PEMERINTAH DALAM
PENANGGULANGAN PENYAKIT DHF, TYPOID, &FILARIASIS, COVID-19, HIV-
AIDS”. Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Keperawatan Medikal Bedah di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Hang Tuah Tanjung Pinang.

Dalam Penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:

1. Wiwiek Liestyaningrum, S.Kep, M.Kep Kolonel Laut (Purn) selaku Ketua Stikes
Hang Tuah Tanjungpinang.
2. Komala Sari, S.Kep,Ns,M.Kep selaku Ka.Prodi D-3 Keperawatan Sekolah Tinggi
Ilmu Kesehatan Hang Tuah Tanjungpinang
3. Mawar Eka Putri S.Kep, Ns, M.Kep selaku koordianator mata kuliah Keperawatan
Medikal Bedah

Kami menyadari makalah ini masih banyak kekurangan baik pada penulisan maupun
materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki.Untuk itu penulis mengharapkan,
kritik dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Tanjungpinang, 29 September 2021

Kelompok 1

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................................................i
DAFTAR ISI..............................................................................................................................ii
BAB I.........................................................................................................................................1
PENDAHULUAN......................................................................................................................1
A. Latar Belakang................................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...........................................................................................................2
C. Tujuan Penulisan.............................................................................................................2
BAB II.......................................................................................................................................3
PEMBAHASAN.......................................................................................................................3
A. Definisi............................................................................................................................3
B. Etiologi............................................................................................................................3
C. Klasifikasi.......................................................................................................................4
D. Manifestasi Klinis...........................................................................................................5
D. Komplikasi......................................................................................................................6
E. Patofisiologi....................................................................................................................7
F. Pathway...........................................................................................................................9
G. Penatalaksanaan.........................................................................................................10
H. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus HIV AIDS..............................................14
I. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul..........................................................16
J. Perencanaan Keperawatan............................................................................................17
K. Strategi Pemerintah Menanggulangi Penyebaran HIV/AIDS...................................23
BAB III....................................................................................................................................28
PENUTUP...............................................................................................................................28
A. Kesimpulan..................................................................................................................28
B. Saran.............................................................................................................................29
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................30

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

HIV adalah penyakit menular pembunuh nomor satu di dunia. Menurut data
dari World Health Organization (WHO) tahun 2017 menyatakan bahwa 940.000
orang meninggal karena HIV. Ada sekitar 36,9 juta orang yang hidup dengan HIV
pada akhir tahun 2017 dengan 1,8 juta orang menjadi terinfeksi baru pada tahun 2017
secara global. Lebih dari 30% dari semua infeksi HIV baru secara global diperkirakan
terjadi di kalangan remaja usia 15 hingga 25 tahun. Diikuti dengan anak-anak yang
terinfeksi saat lahir tumbuh menjadi remaja yang harus berurusan dengan status HIV
positif mereka. Menggabungkan keduanya, ada 5 juta remaja yang hidup dengan HIV
(WHO, 2017). Pada tahun 2017, angka kejadian Infeksi HIV dan AIDS baru pada
remaja di ASIA dan Pasifik menunjukkan bahwa terdapat 250.000 remaja yang
menderita HIV dan AIDS. Infeksi HIV baru telah mengalami penurunan sebesar 14%
sejak tahun 2010. Ada penurunan 39% orang meninggal karena HIV & AIDS
(UNAIDS, 2017).
Menurut data Direktorat Jenderal Pengendalian dan Pencegahan Penyakit
Kemenkes RI menyatakan bahwa jumlah kasusu HIV dari tahun 2005 sampai dengan
tahun 2017 mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kasus HIV 2 di Indonesia pada
tahun 2016 tercatat 41.250 kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat
48.300 kasus. Sedangkan kasus AIDS di Indonesia pada tahun 2016 tercatat 10.146
kasus dan data terakhir hingga Desember 2017 tercatat 9.280 kasus. Presentase infeksi
HIV tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (69,2%), diikuti kelompok
umur 20-24 tahun (16,7%), kelompok umur ≥50 tahun (7,6%), kelompok umur 15-19
tahun sebesar 4%, dan umur.
Daerah Istimewa Yogyakarta menempati urutan ke-9 sebagai provinsi dengan
penderita HIV dan AIDS terbanyak. Jumlah kasus HIV dan AIDS di DIY pada tahun
2017 meningkat menjadi 2676 pada laki-laki dan 1261 pada perempuan, sedangkan
yang sudah positif AIDS adalah 985 pada laki-laki dan 490 pada perempuan. Kasus
HIV paling banyak ditemukan pada penduduk usia 20-29 tahun sebanyak 180 dan
pada usia 15-19 tahun sebanyak 27 orang, 7 diantaranya sudah masuk AIDS. Faktor
risiko HIV dan AIDS yang paling banyak ditemukan di DIY adalah heteroseksual
sebanyak 48%, IDU’s (Injecting Drug User’s) 12%, homoseks 6%, biseksual 1%,
perinatal 3%, 3 transfusi 7%, serta 23% lainnya tidak diketahui penyebabnya (Dinas
Kesehatan DIY, 2017).
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DIY, sampai pada triwulan kedua tahun
2018, sudah ditemukan 315 penderita HIV baru dengan 39 di antaranya sudah masuk
ke AIDS. Pada tahun 2018 penderita HIV didominasi kalangan mahasiswa. Penderita

1
HIV dari kalangan mahasiswa sebanyak 739 dan kalangan swasta berada di angka
667. Penderita HIV rentang usia 20 - 29 berjumlah 1402 orang. Kabupaten dengan
jumlah penderita terbanyak yaitu Kota Yogyakarta, kedua di Kabupaten Sleman dan
ketiga di Kabupaten Bantul (Dinas Kesehatan DIY, 2018). Berdasarkan hasil studi
pendahuluan yang dilakukan oleh peneliti pada tanggal 1 November 2018 di Dinas
Kabupaten Kota Yogyakarta dari tahun 2004-2018 jumlah penderita sebanyak 1133
dan sebanyak 263 sudah masuk AIDS. Angka kejadian HIV sampai dengan tahun
2018 di Kota Yogyakarta pada remaja usia 15-19 tahun sebanyak 22 orang,
sedangkan remaja usia 20-29 tahun sebanyak 386 orang.

B. Rumusan Masalah

1. Apa definisi dari HIV/AIDS ?


2. Bagaimana etiologi penyakit HIVV/AIDS ?
3. Bagaimana klasifikasi penyakit HIV/AIDS ?
4. Bagaimana komplikasi penyakit HIV/AIDS ?
5. Bagaimana patofisiologi penyakit HIV/AIDS ?
6. Bagaimana manifestasi klinis penyakit HIV/AIDS ?
7. Bagaimana komplikasi penyakit HIV/AIDS ?
8. Bagaimana cara pemerintah dalam menanggulangi penyakit HIV/AIDS

C. Tujuan Penulisan

1. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui definisi dari HIV/AIDS


2. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui etiologi dari HIIV/AIDS
3. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi penyaki HIV/AIDS
4. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui komlikasi penyakit HIV/AIDS
5. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui patofisiologi penyakit HIV/AIDS
6. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui manifestasi klinis penyakit HIV/AIDS
7. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui komplikasi dari penyakit HIV//AIDS
8. Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui cara pemerintah dalam menanggulangi
penyakit HIIV/AIDS

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi
AIDS adalah kependekan dari ‘Acquired Immune Deficiency
Syndrome’. Acquired berarti didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem
kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Syndrome atau sindrom berarti
penyakit dengan kumpulan gejala, bukan gejala tertentu. Jadi AIDS berarti kumpulan
gejala akibat kekurangan atau kelemahan sistem kekebalan tubuh yang dibentuk
setelah kita lahir.
AIDS disebabkan oleh virus yang disebut HIV atau Human Immunodeficiency
Virus. Bila kita terinfeksi HIV, tubuh kita akan mencoba menyerang infeksi. Sistem
kekebalan kita akan membuat ‘antibodi’, molekul khusus yang menyerang HIV itu.
Tes darah untuk HIV mencari antibodi tersebut. Jika ditemukan antibodi tersebut di
darah kita, berarti kita terinfeksi HIV. Orang yang mempunyai antibodi terhadap HIV
disebut ‘HIV-positif’ atau terinfeksi HIV. Lihat Lembaran Informasi (LI) 102 untuk
informasi lebih lanjut tentang tes HIV.
Menjadi terinfeksi HIV bukan berarti kita AIDS. Banyak orang terinfeksi HIV
tidak menjadi sakit selama bertahun-tahun. Semakin lama kita terinfeksi HIV,
semakin rusak sistem kekebalan tubuh kita. Virus, parasit, jamur dan bakteri yang
biasanya tidak menimbulkan masalah bagi kita dapat menyebabkan penyakit jika
sistem kekebalan tubuh rusak. Penyakit ini disebut ‘infeksi oportunistik (IO)’.
Lihat LI 500 untuk informasi tentang IO.

B. Etiologi
Melemahnya system imun akibat HIV menyebabkan timbulnya gejala AIDS.
HIV tergolong pada kelompok retrovirus dengan materi genetic dalam Rebonukleat
Acid (RNA), menyebabkan AIDS dan menyerang sel khususnya yang memiliki
antigen permukaan CD4 terutama sel limfosit T4 yang mempunyai peran penting
dalam mengatur dan mempertahankan sistem kekebalan tubuh. Virus HIV juga bisa
menginfeksi sel monosit dan magrofag, sel lagerhands pada kulit, sel dendrit pada
kelenjar linfa, makrofag pada alveoli paru, sel retina, dan sel serviks uteri. Lalu
kemudian virus HIV akan masuk kedalam limfosit T4 dan menggandakan dirinya
selanjutnya akan menghancurkan sel limfosit itu sendiri. Ketika sistem kekebalan
tubuh yang tidak mempunyai kemampuan untuk menyerang maka virus ini akan
menyebabkan seseorang mengalami keganasan dan infeksi oportunistik (Suliso, 2006
dalam Fauzan 2015). 5 fase transmisiinfeksi HIV dan AIDS yaitu:

1. Window Periode/Periode Jendela Kondisi dimana seseorang sudah terinfeksi HIV


tapi tubuhnya belum memproduksi antibodi HIV, jika dites HIV akan
menunjukan non-reaktif/negative, tapi sebenarnya sudah terinfeksi, HIV ini tidak

3
langsung memperlihatkan gejala tertentu, sebagian menunjukan gejala – gejala
yang tidak khas seperti infeksi akut
Sekitar 3 – 6 minggu setelah terkena virus HIV.Contoh : ruam, pusing, demam,
nyeri tenggorokan, tidak enak badan seperti orang flu biasa.

2. Stadium 1/Asimtomatik (Tanpa Gejala) Disini antibody HIV sudah terbentuk


artinya walaupun tidak ada gejala HIV tapi jika di tes HIV hasilnya sudah
positif/re-aktif atau kadang hanya sedikit pembengkakan pada kelenjar getah
bening. Periode ini bisa bertahan berfariasi setiap orang ada yang 8-10 tahun, ada
yang jauh lebih cepat berprogresif ada yang sampai 15 tahun. Setelah di stadium
1 jika tidak ketahuan dan tidak dobati akan berlanjut ke HIV stadium 2.

3. Stadium 2: BB turun 10%, diare >1 bulan, demam >1 bulan jadi seperti demam
yang tidak berhenti walaupun sedah diberikan obat penurun panas setelah efeknya
hilang dan muncul lagi, kandidiasis oral/jamur dimulut bahkan sampai muncul
gejala TB paru ini semua adalah penyakit disebabkan karena turunnya system
pertahannan tubuh/system imun. Kemudian jika tidak juga diobati maka akan
menuju HIV stadium 4.

4. Stadium 3 BB turun >10%, diare >1 bulan, demam >1 bulan jadi seperti demam
yang tidak berhenti walaupun sedah diberikan obat penurun panas setelah efeknya
hilang dan muncul lagi, kandidiasis 10 oral/jamur dimulut bahkan sampai muncul
gejala TB paru ini semua adalah penyakit disebabkan karena turunnya system
pertahannan tubuh/system imun. Kemudian jika tidak juga diobati maka akan
menuju HIV stadium 4.

5. Stadium 4: HIV Wasting Syndrome-AIDS Tahap ini sudah masuk pada AIDS
gejala yang dialami sudah semakin parah, badan sudah sangat kurus, kulit
berjamur, mulut berjamur, kuku berjamur. Wasting syndrome artinya hanya
tinggal kulit dan tulang.

C. Klasifikasi
HIV menunjukan banyak gambaran khas fisikokimia dan familinya terdapat
dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan HIV-2.Kedua tipe
dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik (evolusioner)
dengan lentivirus primate lainnya. Perbedaan juga terletak dari gen vpr, kemudian
pada HIV – 2 terdapat gen vpx yang merupakan homolog dari gen vpu pada HIV-1.
Perbedaan yang lain adalah HIV-2 progresifnya lebih lambat dan banyak meyerang
susunan syaraf pusat Fauzan 2015.

4
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis infeksi HIV terdiri dari tiga fase tergantung perjalanan
infeksi HIV itu sendiri, yaitu: Serokonversi, Penyakit HIV asimtomatik, Infeksi HIV
simtomatik atau AIDS
1. Serokonversi Pertama kali saat tubuh terinfeksi virus HIV misalnya setelah
melakukan hubungan seks dengan pekerja seks komersial yang menderita HIV
dan beberapa minggu kemudian menderita penyakit yang gejalanya mirip seperti
flu masa ini disebut tahap serokonfersi. Jadi gejalannya seperti tenggorokan sakit,
demam, muncul ruam – ruam kemerahan pada kulit, pembengkakan kelenjar,
penurunan berat badan, diare, kelelahan, nyeri persendian, nyeri otot, biasanya
gejala – gejala ini akan bertahan 1 minggu/2 bulan. Pada tahap ini dimana tanda –
tanda tubuh berusaha melawan infeksi HIV.
2. Penyakit HIV Asimtomatis Tahap ke 2 ini adalah masa inkubasi/masa laten itu
adalah waktu ketika gejala – gejala flu tadi mulai mereda dan tidak menimbulkan
gejala apapun pada tubuh. Dan pada waktu ini virus HIV akan menyebar dan
merusak system kekebalan tubuh seseorang. Pada tahap ini tubuh akan merasa
sehat dan tidak akan memiliki masalah apapun oleh karena itu tahap ini bisa
berlangsung antara 1 tahun sampai 10 tahun Nasrodin (2013).
3. Infeksi HIV Simtomatik atau AIDS. Ketika system kekebalan tubuh sudah
terserang sepenuhnya oleh virus HIV/hilangnya imunitas seluler yang
menyebabkan hancurnya limfosit T-hepar CD4+ dengan kondisi ini jelas karena
seseorang sudah tidak punya kekebalan tubuh maka akan sangat rentan dan
sangat mudah sekali terkena penyakit apapun atau disebut infeksi oportunistik
dan sudah masuk pada tahap AIDS (Price & Wislon; Ameltzer & Bare, 2014)

penyakit yang menandai HIV/AIDS


a) Kandidiasis : esophageal, trakeal, atau bronchial
b) Kriptokosis, ekstraulmoner
c) Kanker serviks, infasif
d) Kriptosporidosis, intestinal kronik (>1bulan)
e) Enselopati HIV
f) Herpes smpleks dengan ulkus mukokuteneus >1bulan, bronkilis, bronchitis atau
pneumonia
g) Hitoplasmosis : tersebar atau ekstrapulmoner
h) Isosporiasis, kronik >1bulan
i) Kaposi sarcoma
j) Limfoma : burkit, imunoblastik, khususnya di otak
k) Pneumonia pneumosistis carinii
l) Leokoense palopati multifocal
m) Bakteremia salmonella
n) Toksoplasmosis, serebral
o) Wasting syndrome HIV

5
Definisi ini mencerminkan peningkatan kecenderungan timbulnya masalah yang
berkaitan dengan HIV yang menyertai rendahnya jumlah sel CD4+ secara progresif.
Setelah AIDS terjadi, maka sistem imun sudah sedemikian terkompensasi sehingga
pasien tidak mampu lagi mengontrol infeksi oleh patogen oportunis yang pada
kondisi normal tidak berproliferasi, serta menjadi rentan terhadap terjadinya
beberapa keganasan. Pasien dengan AIDS yang

D. Komplikasi
Menurut Budhy, 2017 komplikasi yang disebabkan karena infeksi HIV
memperlemah system kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan penderita banyak
terserang infeksi dan juga kanker tertentu. Infeksi umum terjadi pada HIV/AIDS
antara lain:

1. Tuberculosis (TB)
Tuberkulosi pada pasien HIV sering ditemukan. Jika dilihat dari
manifestasi klinis atau gejala maka sama antara pasien normal dan penderita
HIV namun perlu penekanan bahwah pada pasien HIV seringkali tidak
menemukan gejala batuk. Juga tidak ditemukan adanya kuman BTA pada
pasien – pasien yang HIV positif karena adanya penekanan imun sehingga
dengan CD4 yang rendah membuat tubuh tidak mampu untuk membentuk
adanya granuloma/ suatu proses infeksi didalam paru yang kemudian tidak
bermanifes dan tidak menyebabkan adanya dahak. Namun penderita HIV yang
yang memiliki kuman TB sangat berisiko sepuluh kali untuk terkena
Tuberculosis terutama pada pendrita HIV/AIDS yang memiliki sel CD4
dibawah 200.

2. Masalah di Otak
Pasien HIV seringkali mengalami masalah diotak. Masalah diotak yang
sering dijumpai pada pasien HIV dibagi menjadi 2 :
a) Infeksi Oportunistik di Otak Disebabkan oleh berbagai macam kuman
misalnya Toksoplasma yaitu suatu parasit atau oleh jamur meningitis
criptococus, infeksi Tuberculosis (TB).
b) Dimensia HIV/lupa atau gangguan memori pada pasien HIV
Disebabkan oleh proses infeksi HIV itu sendiri didalam otak yang
menimbulkan berbagai reaksi peradangan diotak sehingga
manifestasinya adalah pasien mengeluh sering lupa dan mengalami
kesulitan untuk melakukan ativitas harian akibat memori jangka
pendeknya terganggu. Deminsia HIV merupakan suatu keadaan yang
harus didiagnosis karena penyakit ini jika terjadi pada seorang pasien
HIV dapat mengganggu pengobatan, pasien akan lupa untuk minum
obat.

6
3. Meningitis
Pasien dengan gejala meningitis paling sering dengan 4 tanda dan
keluhan nyeri kepala, panas badan, kemudian penurunan kesadaran dan juga
adanya kaku kuduk.

4. Hepatitis C
Pasien HIV dengan hepatitis C biasanya terjadi pada pasien HIV akibat
Injection Drug User (IDU). Gejala awal yang dirasakan yaitu mudah lelah,
tidak nafsu makan dan bisa tibul mata yang kuning lalu kemudian perut
membuncit, kaki bengkak dan gangguan kesadaran. Pasien HIV dengan
hepatitis kemungkinan lebih besar untuk terjadi penyakit kronik/hepatitis
kronik jka tidak diobati maka akan terjadi serosis hati, setelah itu bisa menjadi
kanker hati yang akan menimbulkan kematian.

5. Koinfeksi sifilis dan HIV


Biasanya terjadi pada pasien Male Sex Male (MSM) yang terinfeksi
HIV, sifilis adalah suatu infeksi menular seksual yang disebabkan oleh karena
bakteri Treponemapalidum.Bakteri ini dapat meyerang sistemik, awalnya
melakukan infeksi lokal pada tempat kontak seksual bisa di oral, genetal
ataupun di anus dan kemudian berkembang menimbulkan gejala ulkus
kelamin. Koinfeksi HIV menyebabkan manifestasi klinis sifilis menjadi lebih
berat yang disebut Sifilis Maligna, meyebar luas ke seluruh badan sampai ke
mukosa.

E. Patofisiologi
Menurut Robbins, Dkk (2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami
dengan menggunakan kaidah saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun. Ada
tiga tahap yang dikenali yang mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan
penjamu. (1) fase akut pada tahap awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3)
fase krisis, pada tahap akhir.

Fase akut menggambarkan respon awal seseorang dewasa yang


imunokompeten terhadap infeksi HIV. Secara klinis, hal yang secara khas merupakan
penyakit yang sembuh sendiri yang terjadi pada 50% hingga 70% dari orang deawasa
selama 3-6 minggu setelah infeksi; fase ini ditandai dengan gejala nonspesifik yaitu
nyeri tenggorokan, mialgia, demam, ruam, dan kadang-kadang meningitis aseptik.
Fase ini juga ditandai dengan produksi virus dalam jumlah yang besar, viremia dan
persemaian yang luas pada jaringan limfoid perifer, yang secara khas disertai dengan
berkurangnya sel T CD4+. Namum segera setelah hal itu terjadi, akan muncul respon
imun yang spesifik terhadap virus, yang dibuktikan melalui serokonversi (biasanya
dalam rentang waktu 3 hingga 17 minggu etelah pejanan) dan muali munculnya sel T
sitoksik CD8+ yang spesifik terhadap virus. Setelah viremia mereda, sel T CD4+
kembali mendekati jumlah normal. Namun, berkurangnya virus dalam plasma bukan

7
merupakan penanda berakhirnya replikasi virus, yang akan terus berlanjut di dalam
makrofag dan sel T CD 4+ jaringan.

Fase kronis, pada tahap menengah, menunjukkan tahap penahanan relatif


virus. Pada fase ini, sebagian besar sistem imun masih utuh, tetapi replikasi virus
berlanjut hingga beberapa tahun. Pada pasien tidak menunjukkan gejala ataupun
menderita limfadenopati persisten, dan banyak penderita yang mengalami infeksi
oportunistik “ringan” seperti ariawan (Candida) atau harpes zoster selama fase ini
replikasi virus dalam jaringan limfoid terus berlanjut. Pergantian virus yang meluas
akan disertai dengan kehilangan sel CD4+ yang berlanjut. Namun, karena
kemampuan regenerasi sistem imun besar, sel CD4+ akan tergantikan dalam jumlah
yang besar. Oleh karena itu penurunan sel Poltekkes Kemenkes Padang CD4+ dalam
darah perifer hanyalah hal yang sederhana. Setelah melewati periode yang panjang
dan beragam, pertahanan penjamu mulai berkurang, jumlah sel CD4+ mulai menurun,
dan jumlah sel CD4+ hidup yang terinfeksi oleh HIV semakin meningkat.
Limfadenopati persisten yang disertai dengan kemunculan gejala konstitusional yang
bermakna (demam, ruam, mudah lelah) mencerminkan onset adanya dekompensasi
sistem imun, peningkatan replikasi virus, dan onset fase “krisis”.

Tahap terakhir, fase krisis, ditandai dengan kehancuran ppertahanan penjamu


yang sangat merugikan peningkatan viremia yang nyata, serta penyakit klinis. Para
pasien khasnya akan mengalami demam lebih dari 1 bulan, mudah lelah, penurunan
berat badan, dan diare. Jumlah sel CD4+ menurun dibawah 500 sel/μL. Setelah
adanya interval yang berubah-ubah, para pasien mengalami infeksi oportunistik yang
serius, neoplasma sekunder, dan atau manifestasi neurologis (disebut dengan kondisi
yang menentukan AIDS), dan pasien yang bersangkutan dikatakan telah menderita
AIDS yang sesungguhnya. Bahkan jika kondisi lazim yang menentukan AIDS tidak
muncul, pedoman CDC yang digunakan saat ini menentukan bahwa seseorang yang
terinfeksi HIV dengan jumlah sel CD4+ kurang atau sama dengan 200/μL sebagai
pengidap AIDS.

8
F. Pathway

9
G. Penatalaksanaan

10
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi
beberapa cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan
dengan HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat
antivirus, dan penguatan serta pemulihan sistem imun melalui pengguanaan preparat
immunomodulator. Perawatan suportif merupakan tindakan yang penting karena efek
infeksi HIV dan penyakit AIDS yang sangat menurunkan keadaan umum pasien; efek
tersebut mencangkup malnutrisi, kerusakan kulit, kelemahan dan imobilisasi dan
perubahan status mental. Penatalaksanaan HIV AIDS sebegai berikut :

1. Obat-obat untuk infeksi yang berhubungan dengan HIV infeksi


Infeksi umum trimetroprime-sulfametokazol, yang disebut pula
TMPSMZ (Bactrim,septra), merupakan preparat antibakteri untuk mengatasi
berbagai mikroorganisme yang menyebabkan infeksi. Pemberian secara IV
kepada pasien-pasien dengan fungsi gastrointerstinal yang normal tidak
memberikan keuntungan apapun. Penderita AIDS yang diobati dengan TMP-
SMZ dapat mengalami efekyang merugikan dengan insiden tinggi yang tidak
lazim terjadi, seperti demam, ruam, leukopenia, trombositopenia dengan
ganggua fungsi renal. Pentamidin, suatu obat anti protozoa, digunakan sebagai
preparat alternatif untuk melawan PCP. Jika terjadi efek yang merugikan atau
jika pasien tidak memperlihatkan perbaikan klinis ketika diobati dengan TMP-
SMZ, petugas kesehatan dapat merekomendasikan pentamidin. Poltekkes
Kemenkes Padang Kompleks Mycobacterium avium, terapi kompleks
Mycobacterium avium complex (MAC) masih belum ditentukan dengan jelas
dan meliputi penggunaan lebih dari satu macam obat selam periode waktu
yang lama. Meningitis, Terpi primer yang muthakhir untuk meningitis
kriptokokus adalah amfoterisin B IV dengan atau tanpa flusitosin atau
flukonazol (Diflucan). Keadaan pasien harus dipantau untuk endeteksi efek
yang potensial merugikan dan serius dari amfoterisin B yang mencangkup
reaksi anafilaksik, gangguan renal serta hepar, gangguan keseimbangan
elektrolit, anemia, panas dan menggigil. Retinitis Sitomegalovirus, Retinitis
yang disebabkan oleh sitomegalovirus (CMV;cytomegalovirus) merupan
penyebab utama kebutaan pada penderita penyakit AIDS. Foskarnet
(Foscavir), yaitu peparat lain yang digunakan mengobati retinitis CMV,
disuntikkan intravena setiap 8 jam sekali selama 2 hingga 3 minggu. Reaksi
merugikan yang lazim terjadi pada pemberian foskarnet adalah nefrotoksisitas
yang mencangkup gagal ginjal akut dan gangguan keseimbangan elektrolit
yang mencangkup hipokalasemia, hiperfosfatemia serta hipomagnesemia.
Semua keadaan ini dapat membawa kematian. Efek merugikan lainnya yang
lazim dijumpai adaah serangan kejang-kejang, gangguan gastrointerstinal,
anemia, flebitis, pada tempat infus dan nyeri punggung bawah. Keadaan lain,
Asiklovir dan foskarnat kini digunakan untuk mengobati infeksi ensefalitis
yang disebabkan oleh harpes simpleks atau harpes zoster. Pirimetamin
(Daraprim) dan Sulfadiazin atau klindamisin (Cleosin HCL) digunakan untuk
pengobatan maupun terapi supresif seumur hidup bagiinfeksi Toxoplasmosis

11
gondi. Infeksi kronis yang membandel oleh kondendidasi (trush) atau lesi
esofagus diobati dengan Ketokonazol atau flukonazol

2. Penatalaksanaan Diare Kronik


Terapi dengan oktreotid asetat (sandostain), yaitu suatu analog sintetik
somatostatin, ternyata efektif untuk mengatasi diare yang berat dan kronik.
Konsentrasi reseptor somatosin yang tinggi ditemukan dalam traktus
gastrointerstinal maupun jaringan lainnya. Somatostain akan menghambat
banyak fungsi fisologis yang mencangkup motalisis gastrointerstinal dan
sekresi-interstinal air serta elektrolit.

3. Penatalaksanaan Sindrom
Pelisutan Penatalaksanaan sindrom pelisutan mencangkup penanganan
penyebab yang mendasari infeksi oportunitis sistematik maupun
gastrointerstinal. Malnutrsi sendiri akan memperbesar resiko infeksi dan dapat
pula meningkatkan insiden infeksi oportunistis. Terapi nutrisi bisa dilakukan
mulai dari diet oral dan pemberian makan lewat sonde (terapi nutriasi
enternal) hingga dukungan nutrisi parenteral jika diperlukan.

4. Penanganan keganasan
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi biasanya sulit karena sangat
beragamnya gejala dan sistem organ yang terkena.Tujuan terapinya adalah
untuk mengurangi gejala dengan memperkecil ukuranlesi pada kulit,
mengurangi gangguan rasa nyaman yang berkaitan dengan edema serta
ulserasi, dan mengendalikan gejala yang berhubungan dengan lesi mukosa
serta organ viseral. Hinngga saat ini, kemoterapi yang paling efektif
tampaknya berupa ABV (Adriamisin, Bleomisin, dan Vinkristin).

5. Terapi Antiretrovirus
Saat ini terdapat empat preparat antiretrovirus yang sudah disetujui
oleh FDA untuk pengobatan HIV, keempat preparat tersebut adalah;
Zidovudin, Dideoksinosin , dideoksisitidin dan Stavudin. Semua obat ini
menghambat kerja enzim reserve transcriptase virus dan mencegah virus
reproduksi virus HIV dengan cara meniru salah satu substansi molekuler yang
digunakan Poltekkes Kemenkes Padang virus tersebut untuk membangun
DNA bagi partikel-partikel virus baru. Dengan mengubah komponen
struktural rantai DNA, produksi virus yang baru akan dihambat.

6. Perawatan pendukung
Paien yang menjadi lemah dan memiliki keadaan umum yang menurun
sebagai akibat dari sakit kronik yang berkaitan dengan HIV memerlukan
banyak macam perawatan suportif. Dukungan nutrisi mungkin merupakan
tindakan sederhana seperti membantu pasien dalam mendapatkan atau
mempersiapkan makanannya. Untuk pasien dengan gangguan nutrisi yang

12
lanjut karena penurunan asupan makanan, sindrome perlisutan atau
malabsobsi saluran cerna yang berkaitan dengan diare, mungkin diperlukan
dalam pemberian makan lewat pembuluh darah seperti nutrisi parenteral total.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit yang terjadiakibat mual,
Vomitus dan diare hebat kerapkali memerlukan terapi pengganti yang berupa
infus cairan serta elektrolit. Lesi pada kulit yang berkaitan dengan sarkoma
kaposi, ekskoriasi kulit perianal dan imobilisasi ditangani dengan perawatan
kulit yang seksama dan rajin; perawatan ini mencangkup tindakan
membalikkan tubuh pasien secara teratur, membersihkan dan mengoleskan
salep obat serta menutup lesi dengan kasa steril. Gejala paru seperti dispnea
dan napas pendek mungkin berhubungan dengan infeksi, sarkoma kaporsi
serta keadaan mudah letih. Pasien-pasien ini mungkin memerlukan terapi
oksigen, pelatihan relaksasi dan teknik menghemat tenaga. Pasien dengan
ganggguan fungsi pernafasan yang berat Poltekkes Kemenkes Padang
pernafasan yang berat dapat membutuhkan tindakan ventilasi mekanis. Rasa
nyeri yang menyertai lesi kulit, kram perut, neuropati perifer atau sarkoma
kaposi dapat diatasi dengan preparat analgetik yang diberikan secara teratur
selama 24 jam. Teknik relaksasi dan guded imagery (terapi psikologi dengan
cara imajinasi yang terarah) dapat membantu mengurangi rasa nyeri dan
kecemasan pada sebagian pasien.

7. Terapi nutrisi
Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan
pasien HIV AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi
sistem imun, meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan
menjaga orang yang hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif.
Defisiensi vitamin dan mineral bisa dijumpai pada orang dengan HIV, dan
defisiensi sudah terjadi sejak stadium dini walaupun pada ODHA
mengonsumsi makanan dengan gizi berimbang. Defisiensi terjadi karena HIV
menyebabkan hilangnya nafsu makan dan gangguan absorbsi szat gizi. Untuk
mengatasi masalah nutrisi pada pasien HIV AIDS, mereka harus diberikan
makanan tinggi kalori, tinggi protein, kaya vitamin dan mineral serta cukup
air.

8. Manfaat konseling dan VCT pada pasien HIV


Menurut Nursalam (2011) konseling HIV/AIDS merupakan dialog
antara seseorang (klien) dengan pelayanan kesehatan (konselor) yang bersifat
rahasia, sehingga memungkinkan orang tersebut mampu menyesuaikan atau
mengadaptasi diri dengan stres dan sanggup membuat keputusan bertindak
berkaitan dengan HIV/AIDS. Konseling HIV berbeda dengan konseling
lainnya, walaupun keterampilan dasar yang dibutuhkan adalah sama.
Konseling HIV menjadi hal yang unik karena : Poltekkes Kemenkes Padang

13
a) Membutuhkan pengetahuan yang luas tentang infeksi menular seksual
(IMS) dan HIV/AIDS
b) Membutuhkan mengenai praktik seks yang bersifat pribadi
c) Membutuhkan pembahasan tentang keamatian atau proses kematian
d) Membutuhkan kepekaan konselor dalam menghadapi perbedaan
pendapat dan nilai yang mungkin sangat bertentangan dengan nilai
yang dianut oleh konselor itu sendiri.
e) Membutuhkan keterampilan pada saat memberikan hasil HIV positif
f) Membutuhkan keterampilan dalam menghadapi kebutuhan pasangan
maupun anggota keluarga klien

Menurut Nursalam (2011) tujuan konseling HIV yaitu :

a) Mencegah penularan HIVdengan cara mengubah prilaku. Untuk


mengubah prilaku ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS) tidak hanya
membutuhkan informasi belaka, tetapi jauh lebih penting adalah
pemberian dukungan yang dapat menumbuhkan motivasi mereka,
misalnya dalam prilaku seks aman, tidak berganti-ganti jarum suntik,
dan lain-lain.
b) Meningkatkan kualitas hidup ODHA dalam segala aspek baik medis,
psikologis, sosial, dan ekonomi. Dalam hal ini konseling bertujuan
untuk memberikan dukungan kepada ODHA agar mampu hidup secara
positif.

Voluntary Conseling Testing atau VCT adalah suatu pembinaan dua arah atau
dialog yang berlangsung tak terputus antara konselor dan kliennya
dengantujuan untuk mencegah penurlaran HIV, memberikan dukungan moral,
informasi, serta dukungan lainnya kepada ODHA, keluarga, dan
lingkungannya (Nursalam, 2011).

Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk


mengurangi kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka
Poltekkes Kemenkes Padang tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang
terinfeksi HIV, dan upaya pengembangan perubahan prilaku, sehingga secara
dini mengarahkan menuju ke program pelayanan dan dukungan termasuk
akses terapi antiretroviral, serta membantu mengurangi stigma dalam
masyarakat (Nursalam, 2011)

14
H. Konsep Asuhan Keperawatan Pada Kasus HIV AIDS
1. Pengkajian
a) Identitas Klien Meliputi : nama, tempat/ tanggal lahir, jenis kelamin,
status kawin, agama, pendidikan, pekerjaan, alamat, diagnosa medis,
No. MR
b) Keluhan utama Dapat ditemukan pada pasien AIDS dengan
manifestasi respiratori ditemui keluhan utama sesak nafas. Keluhan
utama lainnya ditemui pada pasien HIV AIDS yaitu, demam yang
berkepanjangan (lebih dari 3 bulan), diare kronis lebih dari satu bulan
berulang maupun terus menerus, penurunan berat badan lebih dari
10%, batuk kronis lebih dari 1 bulan, infeksi pada mulut dan
tenggorokan disebabkan oleh jamur Candida Albicans, pembengkakan
kelenjer getah bening diseluruh tubuh, munculnya Harpes zoster
berulang dan bercak-bercak gatal diseluruh tubuh. Poltekkes
Kemenkes Padang
c) Riwayat kesehatan sekarang Dapat ditemukan keluhan yang biasanya
disampaikan pasien HIV AIDS adalah : pasien akan mengeluhkan
napas sesak (dispnea) bagi pasien yang memiliki manifestasi
respiratori, batuk-batuk, nyeri dada dan demam, pasien akan
mengeluhkan mual, dan diare serta penurunan berat badan drastis.
d) Riwayat kesehatan dahulu Biasanya pasien pernah dirawat karena
penyakit yang sama. Adanya riwayat penggunaan narkotika suntik,
hubungan seks bebas atau berhubungan seks dengan penderita
HIV/AIDS, terkena cairan tubuh penderita HIV/AIDS.
e) Riwayat kesehatan keluarga Biasanya pada pasien HIV AIDS adanya
anggota keluarga yang menderita penyakit HIV/AIDS. Kemungkinan
dengan adanya orang tua yang terinfeksi HIV. Pengkajian lebih lanjut
juga dilakukan pada riwayat pekerjaan keluarga, adanya keluarga
bekerja di tempat hiburan malam, bekerja sebagai PSK (Pekerja Seks
Komersial).
2. Pola aktivitas sehari-hari (ADL)
a) Pola presepsi dan tata laksanaan hidup sehat Biasanya pada pasien
HIV/AIDS akan menglami perubahan atau gangguan pada personal
hygiene, misalnya kebiasaan mandi, ganti pakaian, BAB dan BAK
dikarenakan kondisi tubuh yang lemah, pasien kesulitan melakukan
kegiatan tersebut dan pasien biasanya cenderung dibantu oleh keluarga
atau perawat. Poltekkes Kemenkes Padang
b) Pola Nutrisi Biasanya pasien dengan HIV/AIDS mengalami penurunan
nafsu makan, mual, muntah, nyeri menelan, dan juga pasien akan
mengalami penurunan BB yang cukup drastis dalam waktu singkat
(terkadang lebih dari 10% BB).
c) Pola Eliminasi Biasanya pasien mengalami diare, fases encer, disertai
mucus berdarah.

15
d) Pola Istirahat dan tidur Biasanya pasien dengan HIV/AIDS pola
istirahat dan tidur mengalami gangguan karena adanya gejala seperi
demam dan keringat pada malam hari yang berulang. Selain itu juga
didukung oleh perasaan cemas dan depresi pasien terhadap
penyakitnya.
e) Pola aktivitas dan latihan Biasanya pada pasien HIV/AIDS aktivitas
dan latihan mengalami perubahan. Ada beberapa orang tidak dapat
melakukan aktifitasnya seperti bekerja. Hal ini disebabkan mereka
yang menarik diri dari lingkungan masyarakat maupun lingkungan
kerja, karena depresi terkait penyakitnya ataupun karena kondisi tubuh
yang lemah.
f) Pola presepsi dan konsep diri Pada pasien HIV/AIDS biasanya
mengalami perasaan marah, cemas, depresi, dan stres.
g) Pola sensori kognitif Pada pasien HIV/AIDS biasanya mengalami
penurunan pengecapan, dan gangguan penglihatan. Pasien juga
biasanya mengalami penurunan daya ingat, kesulitan berkonsentrasi,
kesulitan dalam respon verbal. Gangguan kognitif lain yang terganggu
yaitu bisa mengalami halusinasi.
h) Pola hubungan peran Biasanya pada pasien HIV/AIDS akan terjadi
perubahan peran yang dapat mengganggu hubungan interpersonal yaitu
pasien merasa malu atau harga diri rendah.
i) Pola penanggulangan stres Pada pasien HIV AIDS biasanya pasien
akan mengalami cemas, gelisah dan depresi karena penyakit yang
dideritanya. Lamanya waktu perawatan, perjalanan penyakit, yang
kronik, perasaan tidak berdaya karena ketergantungan menyebabkan
reaksi psikologis yang negatif berupa marah, kecemasan, mudah
tersinggung dan lain-lain, dapat menyebabkan penderita tidak mampu
menggunakan mekanisme koping yang kontruksif dan adaptif.
j) Pola reproduksi seksual Pada pasaaien HIV AIDS pola reproduksi
seksualitas nya terganggu karena penyebab utama penularan penyakit
adalah melalui hubungan seksual.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan Pada pasien HIV AIDS tata nilai
keyakinan pasien awal nya akan berubah, karena mereka menggap hal
menimpa mereka sebagai balasan akan perbuatan mereka. Adanya
perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh mempengaruhi
nilai dan kepercayaan pasien dalam kehidupan pasien, dan agama
merupakan hal penting dalam hidup pasien
3. Pemeriksaan Fisik
a) Gambaran Umum : ditemukan pasien tampak lemah.
b) Kesadaran pasien : Compos mentis cooperatif, sampai terjadi
penurunan tingkat kesadaran, apatis, samnolen, stupor bahkan coma.
c) Vital sign : TD : Biasanya ditemukan dalam batas normal Nadi :
Terkadang ditemukan frekuensi nadi meningkat Pernafasan :Biasanya

16
ditemukan frekuensi pernafasan meningkat Suhu :Biasanya ditemukan
Suhu tubuh menigkat karena demam.
d) BB : Biasanya mengalami penurunan (bahkan hingga 10% BB) TB :
Biasanya tidak mengalami peningkatan (tinggi badan tetap)
e) Kepala : Biasanya ditemukan kulit kepala kering karena dermatitis
seboreika
f) Mata : Biasanya ditemukan konjungtiva anemis, sclera tidak ikhterik,
pupil isokor, reflek pupil terganggu,
g) Hidung : Biasanya ditemukan adanya pernafasan cuping hidung.
h) Gigi dan Mulut: Biasanya ditemukan ulserasi dan adanya bercak-
bercak putih seperti krim yang menunjukkan kandidiasi.
i) Leher : kaku kuduk ( penyebab kelainan neurologic karena infeksi
jamur Cryptococcus neoformans), biasanya ada pembesaran kelenjer
getah bening,
j) Jantung : Biasanya tidak ditemukan kelainan
k) Paru-paru : Biasanya terdapat yeri dada, terdapat retraksi dinding dada
pada pasien AIDS yang disertai dengan TB, Napas pendek (cusmaul),
sesak nafas (dipsnea).
l) Abdomen : Biasanya terdengar bising usus yang Hiperaktif
m) Kulit : Biasanya ditemukan turgor kulit jelek, terdapatnya tanda-tanda
lesi (lesi sarkoma kaposi). Poltekkes Kemenkes Padang
n) Ekstremitas : Biasanya terjadi kelemahan otot, tonus otot menurun,
akral dingin.

I. Diagnosis Keperawatan Yang Mungkin Muncul


1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit paru
obstruksi kronis
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan kerusakan neorologis, ansietas,
nyeri, keletihan
3. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan cairan aktif

17
J. Perencanaan Keperawatan
Perencanaa keperawatan atau intervensi yang di temukan pada pasien dengan HIV
AIDS sebagai berikut.

NO DIAGNOSA Kriteria Hasil (NOC) Intervensi (NIC)


KEPERAWATAN
1. Ketidakefektifan Setelah dilakukan Menajemen jalan nafas
bersihan jalan nafas tindakan keperawatan a) Posisikan pasien
Definisi : ketidak diharapkan status untuk
mampuan untuk pernafasan tidak memaksimalkan
membersihkan sekresi terganggu dengan ventilasi
atau obstruksi dari kriteria hasil : b) Buang secret
saluran nafas untuk a) Deviasi ringan dengan
mempertahankan dari kisaran memotivasi
bersihan jalan nafas normal frekuensi pasien untuk
Batasan Karakteristik : pernafasan melakukan batuk
a) Suara nafas b) Deviasi ringan atau menyedot
tambahan dari kisaran lendir
b) Perubahan normal Irama c) Motifasi pasien
frekuensi pernafasan untuk bernafas
nafasan c) Deviasi ringan pelan, dalam,
c) Perubahan dari kisaran berputar dan
iraman nafas normal suara batuk
d) Penurunan auskultasi nafas d) Instruksikan
bunyi nafas d) Deviasi ringan bagaimana agar
e) Sputum dalam dari kisaran bisa melakukan
jumlah normal kepatenan batuk efektif
berlebihan jalan nafas e) Auskultasi suara
f) Batuk tidak e) Deviasi ringan nafas, catat area
efektif dari kisaran yang ventilasinya
normal saturasi menurun
oksigen atautidak dan
f) Tidak ada retraksi adanya suara
dinding dada nafas tambahan
Monitor status
pernafasan dan
oksigenisasi
sebagaimana
mestinya
Fisioterapi dada
a) Jelaskan tujuan
dan prosedur
fisioterapi dada
kepada pasien
b) Monitor status
respirasi dan
kardioloogi
(misalnya,
denyut dan suara
irama nadi, suara

18
dan kedalaman
nafas
c) Monitor jumlah
dan karakteristik
sputum
d) Instruksikan
pasien untuk
mengeluarkan
nafas dengan
teknik nafas
dalam
Terapi Oksigen
a) Bersihkan mulut,
hidung dan
sekresi trakea
dengan tepat
b) Siapkan
peralatan oksigen
dan berikan
melalui sistem
hemodifier
c) Monitor aliran
oksigen
d) Monitor
efektifitas terapi
oksigen
e) Pastikan
penggantian
masker oksigen/
kanul nasal
setiap kali
pernagkat diganti
Monitor Pernafasan
a) Monitor pola
nafas (misalnya,
bradipneu)
b) Palpasi
kesimetrisan
ekspansi paru
c) Auskultasi suara
nafas
d) Kaji perlunya
penyedotan pada
jalan nafas
dengan
auskultasi suara
nafas ronci di
paru
e) Auskultasi suara
nafas setelah

19
tindakan, untuk
dicatat
f) Monitor
kemampuan
batuk efektif
pasien
2. Ketidakefektifan pola Setelah dilakukan Menajemen Jalan
nafas berhubungan asuhan keperawatan Nafas :
dengan kerusakan diharapkan status 1) Posisikan pasien
neorologis, ansietas, pernafasan tidak untuk
nyeri, keletihan terganggu dengan memaksimalkan
Definisi : Inspirasi dan
kriteria hasil : ventilasi
atau ekspirasi yang 1) Frekuensi 2) Lakukan
tidak memberi ventilasi pernafasan Tidak fisioterapi dada,
adekuat Faktor Resiko : ada deviasi dari sebagimana
1) Perubahan kisaran normal semestinya
kedalamam 2) Irama pernafasan 3) Buang secret
pernafasan Tidak ada deviasi dengan
2) Bradipneu dari kisaran memotivasi klien
3) Dipsnea normal untuk melakukan
4) Pernafasan 3) Suara Auskultasi batuk atau
cuping hidung nafas Tidak ada menyedot lendir
5) Takipnea deviasi dari 4) Motivasi pasien
kisaran normal untuk bernafas
Faktor yang 4) Saturasi oksigen pelan, dalam,
berhubungan : Tidak ada deviasi berputar dan
1) Kerusakan dari kisaran batuk.
Neurologis normal 5) Auskutasi suara
2) Imunitas 5) Tidak ada retraksi nafas, catat area
Neurologis dinding dada yang ventilasinya
6) Tidak ada suara menurun atau
nafas tambahan tidak ada dan
7) Tidak ada adanya suara
pernafasan cuping nafas tambahan
hidung 6) Kelola nebulizer
ultrasonik,
sebgaimana
mestinya
7) Posisikan untuk
meringankan
sesak nafas
8) Monito status
pernafasan dan
oksigen,
sebagaimana
mestinya
Pemberian Obat :
1) Pertahankan
aturan dan
prosedur yang

20
sesuai dengan
keakuratan dan
keamanan
pemberian obat-
obatan
2) Ikuti prosedur
limabenar dalam
pemberian obat
3) Beritahu klien
mengenai jenis
obat, alasan
pemberian obat,
hasil yang
diharapkan, dan
efek lanjutan
yang akan terjadi
sebelum
pemberian obat.
4) Bantu klien
dalam pemberian
obat

Terapi Oksigen :
1) Bersihkan mulut,
hidung, dan
sekresi trakea
dengan tepat
2) Berikan oksigen
tambahan seperti
yang
diperintahkan
3) Monitor aliran
oksigen
4) Periksa
perangkat (alat)
pemberian
oksigen secara
berkala untuk
mmastikan
bahwa
konsentrasi (yang
telah) ditentukan
sedang diberikan

Monitor Pernafasan :

1) Monitor
kecepatan, irama,
kedalaman dan
kesulitan

21
bernafas
2) Catat pergerakan
dada, catat
ketidaksimetrisan
, penggunaan
otot-otot bantu
nafas
3) Palpasi
kesimetrisan
ekstensi paru
4) Auskultasi suara
nafas, catat area
dimana
terjadinya
penurunan atau
tidak adanya
ventilasi dan
keberadaan suara
nafas tambahan
5) Auskultasi suara
nafas setelah
tindakan untuk
dicatat
6) Monitor sekresi
pernafasan
pasien
7) Berikan bantuan
terapi nafas jika
diperlukan
(misalnya
nebulizer)
Monitor tanda-tanda
vital :

1) Monitor tekanan
darah, Nadi,
Suhu, dan status
pernafasan
dengan tepat
2) Monitor suara
paru-paru
3) Monitor warna
kulit, suhu dan
kelembaban
3. Kekurangan Volume Setelah dilakukan Menajemen Cairan :
Cairan tindakan keperawatan
Definisi : peurunan diharapkan 1) Timbang berat
cairan intravaskuler, keseimbangan cairan badan setiap hari
interstisial, dan/atau tidak terganggu dengan dan monitor
intra seluler. Ini kriteria hasil : status pasien

22
mengacu pada 1) Tekanan darah 2) Jaga Intake/
dehidrasi, kehilangan tidak terganggu asupan yang
cairan saja tampa 2) Keseimbangan akurat dan catat
perubahan pada natrium intake dan output output pasien
dalam 24 jam 3) Monitor status
Batasan Karakteristik tidak terganggu hidrasi
: 3) Berat badan stabil (misalmya,
1) Penurunan tidak terganggu membran
tekanan darah 4) Turgor kulit tidak mukosa lembab,
2) Penurunan terganggu denyut nadi
tekanan nadi Setelah dilakukan adekuat, dan
3) Penurunan tindakan keperawatan tekanan darah
turgor kulit diharapkan hidrasi ortostatik)
4) Kulit kering tidak terganggu dengan 4) Monitor hasil
5) Penurunan kriteria hasil : laboratorium
frekuensi nadi 1) Turgor kulit tidak yang relevan
6) Penurnan berat terganggu dengan retensi
badan tiba-tiba 2) Membran mukosa cairan (misalnya,
7) Kelemahan lembab tidak peningkatan
terganggu berat jenis,
Faktor yang 3) Intake cairan tidak peningkatan
berhubungan : terganggu BUN, penurunan
1) Kehilangan 4) Output cairan hematokrit, dan
cairan aktif tidak terganggu peningkatan
5) Perfusi Jaringan kadar osmolitas
tidak terganggu urin)
6) Tidak ada nadi 5) Monitor status
cepat dan lemah hemodinamika
7) Tidak ada CVP, MAP,
kehilangan berat PAP, dan PCWP,
badan jika ada)
6) Monitor tanda-
tanda vital
7) Beri terapi IV,
seperti yang
ditentukan
8) Berikan cairan
dengan tepat
9) Berikan diuretik
yang diresepkan
10) Distribusi asupan
cairan selama 24
jam
Monitor Cairan :
1) Tentukan jumlah
dan jenis
Intake/asupan
cairan serta
kebiasaan
eliminasi

23
2) Tentukan faktor-
faktor yang
menyebabkan
ketidakseimbang
an cairan
3) Periksa isi
kulang kapiler
4) Periksa turgor
kulit
5) Monitor berat
badan
6) Monitor nilai
kadar serum dan
elektrolit urin
7) Monitor kadar
serum albumin
dan protein total
8) Monitor tekanan
darah, denyut
jantung, dan
status pernafasan
Poltekkes
Kemenkes
Padang
9) Monitor
membran
mukosa, turgor
kulit, dan respon
haus

K. Strategi Pemerintah Menanggulangi Penyebaran HIV/AIDS


Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013
tentang Penanggulangan HIV dan AIDS (“Permenkes 21/2013”) menyatakan
bahwa strategi yang dipergunakan dalam melakukan kegiatan penanggulangan HIV
dan AIDS meliputi:
1. meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan
AIDS melalui kerja sama nasional, regional, dan global dalam aspek legal,
organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya
manusia;
2. memprioritaskan komitmen nasional dan internasional;
3. meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;
4. meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata, terjangkau,
bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan mengutamakan pada
upaya preventif dan promotif;

24
5. meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko
tinggi, daerah tertinggal, terpencil, perbatasan dan kepulauan serta bermasalah
kesehatan;
6. meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS;
7. meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia yang
merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
8. meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan
penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan mutu
sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan HIV dan
AIDS; dan
9. meningkatkan manajemen penanggulangan HIV dan AIDS yang akuntabel,
transparan, berdaya guna dan berhasil guna.

Tingginya kasus HIV dan AIDS saat ini adalah karena, salah satunya,
ketidakpedulian masyarakat dalam penanggulangan HIV dan AIDS selama ini.
Peningkatan kasus ini bisa dicermati dari beberapa sudut pandang. Salah satunya, dari
sudut pandang kesehatan. Infeksi HIV dan AIDS melewati perjalanan infeksi tanpa
gejala berkisar 7 – 10 tahun. Mereka yang terinfeksi terlihat seperti orang sehat,
padahal dalam tubuhnya sudah ada HIV yang bisa menular kepada orang lain dan
kepada mereka yang belum memiliki gejala dari penyakit tersebut.
Sehingga bagi mereka yang berperilaku berisiko, tanpa menyadari, mereka telah
menularkan virus tersebut pada orang lain, termasuk pasangannya.

Maka dalam hal ini, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan untuk
menanggulangi HIV sebagai penyakit menular melalui Pasal 11 ayat (1) Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan Penyakit
Menular:
Upaya pencegahan, pengendalian, dan pemberantasan dalam Penanggulangan
Penyakit Menular dilakukan melalui kegiatan:

1. promosi kesehatan;
2. surveilans kesehatan;
3. pengendalian faktor risiko;
4. penemuan kasus;
5. penanganan kasus;
6. pemberian kekebalan (imunisasi)
7. pemberian obat pencegahan secara massal; dan
8. kegiatan lainnya yang ditetapkan oleh Menteri.

Selain itu, jumlah perempuan yang terinfeksi HIV dari tahun ke tahun semakin
meningkat, seiring dengan meningkatnya jumlah laki-laki yang melakukan hubungan
seksual secara tidak aman, yang menularkan pada pasangan seksualnya.

Secara khusus, infeksi HIV pada ibu hamil dapat mengancam kehidupan ibu
serta bayinya. Lebih dari 90% kasus anak terinfeksi HIV, ditularkan melalui proses
penularan dari ibu ke anak atau Mother to Child HIV Transmission.

25
Hal ini sebagaimana kami kutip dari artikel Turunkan Risiko Penularan
HIV dari Ibu ke Bayi, Dinkes Riau Adakan Kegiatan Pertemuan Penanganan
Persalinan ARV Dokter Spesialis Anak dan Kepala Kamar Operasi dari laman
Dinas Kesehatan Provinsi Riau.

HIV dapat ditularkan dari ibu yang terinfeksi HIV kepada anaknya selama
kehamilan, saat persalinan dan saat menyusui. Maka, berdasarkan Pasal 2 ayat
(2) Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak:

Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak dilakukan melalui 4 (empat)


prong/kegiatan, sebagai berikut:

1. pencegahan penularan HIV pada perempuan usia reproduksi;


2. pencegahan kehamilan yang tidak direncanakan pada ibu HIV positif;
3. pencegahan penularan HIV dari ibu hamil HIV positif ke bayi yang dikandung;
dan
4. pemberian dukungan psikologis, sosial dan perawatan kepada ibu HIV positif
beserta anak dan keluarganya.

Sistem kesehatan nasional yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 jo. Pasal 4 ayat
(1) Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan
Nasional sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009
tentang Kesehatan menegaskan bahwa pengelolaan kesehatan diselenggarakan oleh
semua komponen bangsa Indonesia secara terpadu dan saling mendukung guna
menjamin tercapainya derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya serta
dilaksanakan secara berjenjang dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan
masyarakat.

Tanggung jawab pemerintah pusat juga telah dituangkan dalam Pasal 6 huruf


a – c Permenkes 21/2013:

Tugas dan tanggung jawab Pemerintah dalam penanggulangan HIV dan AIDS
meliputi:

1. membuat kebijakan dan pedoman dalam pelayanan promotif, preventif, diagnosis,


pengobatan/perawatan, dukungan, dan rehabilitasi;
2. bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam mengimplementasikan
kebijakan serta memonitor dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan;
3. menjamin ketersediaan obat dan alat kesehatan yang diperlukan dalam
penanggulangan HIV dan AIDS secara nasional.

Strategi di Tingkat Daerah

Kemudian, sesuai dengan semangat desentralisasi yang dinyatakan


dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (“UU 23/2014”) dan perubahannya, maka pemerintah daerah memiliki ruang
kebijakan yang luas untuk mengatasi berbagai masalah, termasuk masalah kesehatan
yang dihadapi oleh masyarakat melalui pembentukan peratuan daerah yang
disesuaikan dengan aspirasi yang berkembang.

26
Berdasarkan UU 23/2014 dan perubahannya, maka Perda diakui sebagai salah
satu sarana percepatan keberhasilan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat di
daerah.

Selain itu, terkait keterlibatan pemerintah daerah juga tertuang dalam Pasal


2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman
Umum Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan
Masyarakat dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di
Daerah (“Permendagri 20/2007”) yang menyatakan bahwa:

1. Dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi dibentuk Komisi


Penanggulangan AIDS Provinsi.
2. Dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS di Kabupaten/Kota dibentuk
Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota.
3. Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.
4. Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) ditetapkan dengan Keputusan Bupati/Walikota.

Misalnya di tingkat provinsi, Pasal 5 Permendagri 20/2007 menerangkan bahwa:

Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2


ayat (1) mempunyai tugas:

1. mengkoordinasikan perumusan penyusunan kebijakan, strategi, dan langkah-


langkah yang diperlukan dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS sesuai
kebijakan, strategi, dan pedoman yang ditetapkan oleh Komisi Penanggulangan
AIDS Nasional;
2. memimpin, mengelola, mengendalikan, memantau, dan mengevaluasi
pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS di Provinsi;
3. menghimpun, menggerakkan, menyediakan, dan memanfaatkan sumber daya
yang berasal dari pusat, daerah, masyarakat, dan bantuan luar negeri secara
efektif dan efisien untuk kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS;
4. mengkoordinasikan pelaksanaan tugas dan fungsi masing-masing instansi yang
tergabunG dalam keanggotaan Komisi Penanggulangan AIDS Provinsi;
5. mengadakan kerjasama regional dalam rangka penanggulangan HIV dan AIDS;
6. menyebarluaskan informasi mengenai upaya penanggulangan HIV dan AIDS
kepada aparat dan masyarakat;
7. memfasilitasi Komisi Penanggulangan AIDS Kabupaten/Kota;
8. mendorong terbentuknya LSM/kelompok Peduli HIV dan AIDS; dan
9. melakukan monitoring dan evaluasi pelaksanaan penanggulangan HIV dan AIDS
serta menyampaikan laporan secara berkala dan berjenjang kepada Komisi
Penanggulangan AIDS Nasional.

Kami simpulkan bahwa sebenarnya kebijakan yang mendukung


penanggulangan HIV/AIDS banyak bersumber dari sinergi antara pemerintah pusat

27
dan daerah, komunitas, dan masyarakat sipil. Misalnya, sinergi antara komunitas dan
dinas sosial di tingkat pemerintah daerah yang menghasilkan kebijakan yang
mempermudah populasi kunci dalam mengakses layanan kesehatan.

Dasar Hukum:

1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;


2. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah sebagaimana yang telah diubah pertama kali dengan Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah
ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang sebagaimana yang telah
diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah;
3. Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional;
4. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pedoman Umum
Pembentukan Komisi Penanggulangan AIDS dan Pemberdayaan Masyarakat
dalam Rangka Penanggulangan HIV dan AIDS di Daerah;
5. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 tahun 2013 tentang Penanggulangan HIV
dan AIDS;
6. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2013 tentang Pedoman
Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Anak;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Penanggulangan
Penyakit Menular.

28
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
AIDS adalah kependekan dari ‘Acquired Immune Deficiency
Syndrome’. Acquired berarti didapat, bukan keturunan. Immune terkait dengan sistem
kekebalan tubuh kita. Deficiency berarti kekurangan. Melemahnya system imun
akibat HIV menyebabkan timbulnya gejala AIDS. HIV tergolong pada kelompok
retrovirus dengan materi genetic dalam Rebonukleat Acid (RNA), menyebabkan
AIDS dan menyerang sel khususnya yang memiliki antigen permukaan CD4 terutama
sel limfosit T4 yang mempunyai peran penting dalam mengatur dan mempertahankan
sistem kekebalan tubuhHIV menunjukan banyak gambaran khas fisikokimia dan
familinya terdapat dua tipe yang berbeda dari virus AIDS manusia, yaitu HIV-1 dan
HIV-2.Kedua tipe dibedakan berdasarkan susunan genom dan hubungan filogenetik
(evolusioner) dengan lentivirus primate lainnya. Perbedaan juga terletak dari gen vpr,
kemudian pada HIV – 2 terdapat gen vpx yang merupakan homolog dari gen vpu pada
HIV-1. Manifestasi klinis infeksi HIV terdiri dari tiga fase tergantung perjalanan
infeksi HIV itu sendiri, yaitu: Serokonversi, Penyakit HIV asimtomatik, Infeksi HIV
simtomatik atau AIDS
Menurut Budhy, 2017 komplikasi yang disebabkan karena infeksi HIV memperlemah
system kekebalan tubuh, yang dapat menyebabkan penderita banyak terserang infeksi
dan juga kanker tertentu. Infeksi umum terjadi pada HIV/AIDSMenurut Robbins, Dkk
(2011) Perjalanan infeksi HIV paling baik dipahami dengan menggunakan kaidah
saling memengaruhi antara HIV dan sistem imun. Ada tiga tahap yang dikenali yang
mencerminkan dinamika interaksi antara virus dan penjamu. (1) fase akut pada tahap
awal; (2) fase kronis pada tahap menengah; dan (3) fase krisis, pada tahap akhir.
Menurut Burnnner dan Suddarth (2013) Upaya penanganan medis meliputi beberapa
cara pendekatan yang mencangkup penanganan infeksi yang berhubungan dengan
HIV serta malignansi, penghentian replikasi virus HIV lewar preparat antivirus, dan
penguatan serta pemulihan sistem imun melalui pengguanaan preparat
immunomodulatorStrategi Pemerintah Menanggulangi Penyebaran HIV/AIDS
Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 21 Tahun 2013 tentang
Penanggulangan HIV dan AIDS (“Permenkes 21/2013”) menyatakan bahwa strategi
yang dipergunakan dalam melakukan kegiatan penanggulangan HIV dan AIDS
meliputi:
Terapi nutrisi Menurut Nursalam (2011) nutrisi yang sehat dan seimbang diperlukan
pasien HIV AIDS untuk mempertahankan kekuatan, meningkatkan fungsi sistem
imun, meningkatkan kemampuan tubuh, utuk memerangi infeksi, dan menjaga orang
yang hidup dengan infeksi HIV AIDS tetap aktif dan produktif.
Tujuan VCT yaitu sebagai upaya pencegahan HIV/AIDS, upaya untuk mengurangi
kegelisahan, meningkatkan presepsi/ pengetahuan mereka Poltekkes Kemenkes
Padang

29
tentang faktor-faktor resiko penyebab seseorang terinfeksi HIV, dan upaya
pengembangan perubahan prilaku, sehingga secara dini mengarahkan menuju ke
program pelayanan dan dukungan termasuk akses terapi antiretroviral, serta
membantu mengurangi stigma dalam masyarakat (Nursalam, 2011)

B. Saran
1. Pembaca diharapkan dapat memahami cara pemerintah dalam menanggulangi
dan dapat memahami penaykit HIV/AIDS
2. Makanlah makanan yang sehat serta tetap menjaga pergaulan dan kebersihan di
lingkungan sekitar

30
DAFTAR PUSTAKA
http://spiritia.or.id/artikel/detail/3

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIV/AIDS. (2017).


KTI_FAUZIAH_ISWANDI_PDF.pdf, 01-192.

AMINAH, D. (2020). Konsep Penyakit HIV/AIDS. BAB 2 DEWI AMINAH 17613107., 07-
48.

Hukumonline.com. (2021). Strategi Pemerintah Menanggulangi Penyebaran HIV/AIDS.


BBKH Fakultas Hukum Universitas Pasundan.

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN HIV/AIDS. (2017).


KTI_FAUZIAH_ISWANDI_PDF.pdf, 01-192.

AMINAH, D. (2020). Konsep Penyakit HIV/AIDS. BAB 2 DEWI AMINAH 17613107., 07-
48.

31

Anda mungkin juga menyukai