Anda di halaman 1dari 20

TUGAS KELOMPOK

ASUHAN INFEKSI OPORTUNISTIK PADA ANAK DENGAN HIV/AIDS


Mata Kuliah Asuhan Kebidanan ODHA
Dosen Pengampu : GA Marhaeni, SKM., M.Biomed

OLEH
KELAS A (KELOMPOK 3):
NI MADE SRI SARTINI (23)
IDA AYU MADE DEWI UTARI (24)
I GUSTI AYU HADI DAMAYANTI (25)
NI MADE AYU KARTINI DEVI (26)
KADEK DIAN YUSTIANA (27)
PUTU PILA INGGAR CAHAYANI (28)
KETUT YULIANA WIDIASARI (29)
NI PUTU NUSRANI (30)
NI KETUT ASTARIANI (31)
NI KADEK SUDIARI (32)
NI KOMANG JULIANI (33)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES DENPASAR


PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN
JURUSAN KEBIDANAN ALIH JENJANG
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena
atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan “Asuhan Infeksi Oportunistik Pada
Anak Dengan Hiv/Aids”.
Pada kesempatan ini perkenankan kami mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, dukungan,
semangat, bimbingan dan saran kepada saya dalam menyusun laporan ini, pihak-
pihak tersebut yaitu:
1. Dr. Ni Nyoman Budiani, S.Si.T., M. Biomed sebagai Ketua Jurusan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Denpasar
2. Ni Ketut Somoyani, SST., M.Biomed sebagai Sekretaris Jurusan Kebidanan
Poltekkes Kemenkes Denpasar
3. Ni Wayan Armini, SST., M.Keb sebagai Ketua Program Studi Sarjana
Terapan Kebidanan Poltekkes Kemenkes Denpasar
4. GA Marhaeni, SKM., M.Biomed dosen pengampu mata kuliah Asuhan
Kebidanan Orang dengan HIV/Aids (ODHA)
5. Pihak-pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Laporan ini akan lebih baik jika menerima saran dan kritik yang bersifat
membangun yang nantinya dapat dipergunakan untuk menyempurnakan laporan
selanjutnya.

Badung, Oktober 2022

Penulis

ii
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................1
a Latar Belakang.....................................................................................................3
b Rumusan Masalah................................................................................................3
c Tujuan...................................................................................................................3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................4


2.1. Asuhan Anak Yang Terinfeksi HIV/AIDS.........................................................4
2.2 Pencegahan Terinveksi HIV/AIDS.....................................................................6
2.3. Konsep Dasar Manajemen Kebidanan pada Anak HIV/AIDS.........................7
2.4. Infeksi Opertunitis Pada Anak HIV/AIDS.......................................................12
2.5. Penatalaksanaan Infeksi Opertunitis................................................................13

BAB IV PENUTUP........................................................................................................16
1. Kesimpulan.........................................................................................................16

DAFTAR PUSTAKA.....................................................................................................17

iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Persoalan penularan HIV1 /AIDS 2 di Indonesia saat ini telah menjadi isu
prioritas penanganan masalah kesehatan di Indonesia. Salah satu yang menarik
untuk dikaji dalam persoalan ini adalah penularan HIV/AIDS pada kelompok
anak, baik yang ditularkan melalui ibu ke bayi yang dikandungnya atau yang
dikenal dengan istilah penularan vertikal, maupun melalui proses penularan
horizontal atau ditularkan antar individu akibat perilaku beresiko seperti
hubungan seksual, melalui jarum suntik yang tidak steril dan transfusi
darahyangmengandung virus. Penanganan kasus HIV/AIDS pada anak berbeda
dengan penanganan kasus HIV/AIDS pada individu dewasa. Jika menggunakan
asumsi perlindungan anak, maka anak-anak pengidap HIV/AIDS dalam undang-
undang dimasukkan ke dalam dikategorikan kelompok anak yang mendapatkan
perlindungan khusus (Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
PerlindunganAnak), oleh karena itu dibutuhkan pula upaya-upaya yang secara
khusus, sistematis dan komprehensif dalam menangani permasalahan ini.

Sejak ditemukan pada tahun 1981, jumlah penderita HIV di dunia


meningkat pesat. Pada tahun 2018 diperkirakan sebanyak 37,9 juta orang di
dunia mengidap HIV. Dimana sebanyak 1,7 juta merupakan anak yang berusia
dibawah 15 tahun (Melkamu et al. 2020). Di Amerika pada tahun 2020
diperkirakan sejumlah 1444 orang anak berusia dibawah 13 tahun terinfeksi HIV
(Populations and White, 2020). Berdasarkan data dalam buku Profil Kesehatan
Kota Padang tahun 2018 ditemukan kasus HIV sebanyak 447 kasus (352 orang
laki-laki dan 95 orang perempuan), jumlah ini meningkat dari tahun 2017 (370
orang). Kasus AIDS ditemukan sebanyak 103 kasus (79 orang laki laki dan 24
orang perempuan), jumlah ini meningkat dari tahun 2017 yaitu sebanyak 93
kasus.

1
Penularan HIV dari ibu yang terinfeksi HIV ke bayinya juga cenderung
meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah perempuan HIV positif yang
tertular baik dari pasangan maupun akibat perilaku yang berisiko. Meskipun
angka prevalensi dan penularan HIV dari ibu ke bayi masih terbatas, jumlah ibu
hamil yang terinfeksi HIV cenderung meningkat. Profil Kesehatan
Indonesia(2017) menyatakan prevalensi HIV pada ibu hamil berdasarkan tahun
2017, secara nasional diproyeksikan meningkat dari 0,38% (2012) menjadi
0,49%(2016), dan jumlah ibu hamil HIV positif yang memerlukan layanan
PPIA3 secara otomatis juga akan meningkat.

Penularan HIV kepada anak yang secara teori dikontribusikan dari proses
penularan dari ibu ke anak, berhubungan dengan berbagai fenomena perilaku
beresiko yang ada pada hari ini antara lain adanya hubungan dengan
meningkatnya kasus pengguna narkoba suntik termasuk kelompok dengan status
telah menikah. Untuk diketahui, efektivitas penularan HIV dari ibu bayi adalah
sebesar 10-30%. Sebagian besar penularan terjadi sewaktu proses melahirkan,
dan sebagian kecil melalui plasenta selama kehamilan dan Sebagian lagi melalui
air susu ibu 4 . Kondisi ini tentu tidak berdiri sendiri, terdapat fakta bahwa
penularan HIV dari ibu ke anak ternyata terlebih dahulu ditularkan oleh sang
bapak kepada ibu dengan berbagai perilaku beresiko tinggi.

Presentasi klinis HIV umumnya terlihat pada anak-anak adalah


hepatosplenomegali, generalisata limfadenopati dan gagal tumbuh. Infeksi
oportunistik yang umum terjadi adalah tuberkulosis (TB), herpes, zoster dan
simpleks, pneumonia berulang, kronis diare, dan sariawan. Pneumonia sering
terjadi pada bayi. Infeksi oportunistik (IO) adalah penyebab kematian anak
dengan HIV/AIDS. Infeksi ini disebut “oportunistik” karena terjadi akibat sistem
kekebalan yang melemah dan dapat menyebabkan penyakit yang mematikan. OI
adalah tanda dari menurunnya sistem kekebalan tubuh. IO pada anak HIV
biasanya terlihat pada anak-anak dengan depresi berat jumlah CD4 (K. R.,
Praharaj and Agarwalla, 2017).

Keluarga secara sosiologis adalah institusi sosial yang memiliki fungsi


perlindungan. Perlindungan maksimal utamanya harus diberikan kepada

2
anggotakeluarga yang rentan seperti anak-anak, anggota keluarga yang
disabilitas, anggota keluarga yang sakit serta anggota keluarga yang lanjut usia.
Dibutuhkan perawatan dan pengasuhan yang bersifat holistik pada anakpengidap
HIV/AIDS. Holistik dalam hal ini berarti peran atau bantuan yang bersifat utuh,
mencakup bantuan pada pemenuhan kebutuhan aspek biologis, psikologis,
sosiokultural, dan spiritual dengan segala sifatnya yang hakiki (Potter dan Perry,
2010:208). Mengembangkan dukungan yang holistik tidaklah mudah dalam hal
HIV/AIDS karena masih terdapat stigmatisasi dalam persoalan ini.

Petugas kesehatan yang memberikan perawatan untuk bayi dan anak


dengan HIV harus memiliki kesadaran akan keunikan karakteristik populasi ini,
mengintegrasikan perawatan primer khusus anak, dan peka terhadap aspek sosial
dan perkembangan yang terlibat dalam perawatan anak yang hidup dengan HIV.
Anak-anak yang hidup dengan HIV menghadapi tantangan unik yang
memerlukan pertimbangan perawatan klinis khusus. Meskipun sebagian besar
prinsip dan konsep yang terkait dengan diagnosis dan pengelolaan HIV serupa
pada orang dewasa, berikut adalah beberapa aspek kunci dari perawatan HIV
pediatrik: membuat diagnosis HIV pada bayi baru lahir, interpretasi nilai jumlah
CD4 pada anak memerlukan penyesuaian berdasarkan kriteria usia tertentu,
inisiasi terapi antiretroviral untuk bayi yang terinfeksi HIV karena mereka
berisiko untuk perkembangan penyakit yang cepat dan kematian. Obat
antiretroviral memiliki dosis yang berbeda. Anak-anak menghadirkan tantangan
khusus dalam hal kepatuhan terhadap terapi antiretroviral(Populations and
White, 2020)

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimana asuhan infeksi oportunistik pada anak dengan HIV positif?

1.3 Tujuan
Untuk mengetahui bagaimana asuhan infeksi oportunistik pada anak dengan
HIV positif.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Asuhan pada anak yang terinfeksi HIV antara lain:

a. Pengobatan antiretroviral
Sampai sekarang belum ada obat antiretroviral yang dapat menyembuhkan
infeksi HIV, obat yang ada hanya dapat memperpanjang kehidupan. Obat

antiretroviral yang dipakai pada bayi/anak adalah Zidovudine22,23 Obat tersebut


diberikan bila sudah terdapat gejala seperti infeksi oportunistik, sepsis, gagal tumbuh,
ensefalopati progresif, jumlah trombosit <75.000 / mm3 selama 2 minggu, atau
terdapat penurunan status imunologis. Pemantauan status imunologis yang
dipakai adalah jumlah sel CD4 atau kadar imunoglobulin < 250 mg/mm3. Jumlah
sel CD4 untuk umur <1 tahun,1-2, 3-6,dan >6 tahun berturut- turut adalah < 1750,
<1000, <750/mm3., dan < 500/ mm3. Pengobatan diberikan seumur hidup. Dosis
pada bayi < 4 minggu adalah 3 mg/kg BB per oral setiap 6 jam, untuk anak lebih
besar 180 mg/m2; dosis dikurangi menjadi 90-120 mg/m2 setiap 6 jam apabila
terdapat tanda-tanda efek samping atau intoleransi seperti kadar Hemoglobin dan
jumlah leukosit menurun, atau adanya gejala mual.
Untuk pencegahan terhadap kemungkinan terjadi infeksi Pneumocystis carinii
diberikan trimethropin- sulfamethoxazole dengan dosis 150 mg/m2 dibagi dalam
2 dosis selama 3 hari berturut setiap minggu.Bila terdapat hipogammaglobulinemia
(IgG<250 mg/dl) atau adanya infeksi berulang diberikan Imunoglobulin intravena
dengan dosis 400 mg/kg BB per 4 minggu. Pengobatan sebaiknya oleh dokter
anak yang telah memperdalam tentang pengobatan AIDS pada anak.
b. Pemberian Makanan
Telah diketahui bahwa ASI mengandung virus HIV dan transmisi melalui
ASI adalah sebanyak 15 %. Kemungkinan transmisi vertikal intrapartum dapat
diturunkan sampai 2-4% dengan menggunakan cara pencegahan seperti
pemberian antiretrovirus, per- salinan secara seksio sesaria, maka sebaiknya bayi tidak
mendapat ASI. Namun perlu dipertimbangkan bahwa pemberian pengganti ASI

4
jangan berdampak lebih buruk. Analisis dari data yang diperoleh membuktikan
bahwa di negara yang angka kematian pasca neonatal adalah 90 per seribu,
bila penggunaan susu formula mencapai 10% akan terjadi kenaikan 13% pada
angka kematian bayi dan apabila penggunaan susu formula mencapai 100%

angka kematian bayi naik sebanyak 59%24. Penelitian lain menunjukkan bahwa di
daerah dengan higiene yang buruk, angka kematian karena diare pada anak usia 8
hari sampai 12 bulan adalah 14 kali pada mereka yang tidak mendapatkan ASI
dibandingkan yang mendapat ASI. Lagipula pada masyarakat yang kebiasaan
menyusui itu lumrah, maka ibu yang tidak menyusui bayinya akan ketahuan bahwa
ia menderita sesuatu sehingga tidak dibokehkan menyusui. Perlu dipertimbangkan
juga biaya pengadaan makanan pengganti ini. Bila bayi tidak mendapat ASI maka
susu formula yang dibutuhkan adalah: untuk 6 bulan pertama bayi membutuhkan
sekitar 92 liter atau 20 kg susu. Pada usia antara 6 –12 bulan apabila makanan
bayi masih 1/2 diperoleh dari susu dan pada usia 12-24 bulan masih 1/3 diperoleh
dari susu maka antara 6-24 bulan susu formula yang dibutuhkan adalah 255 liter
atau 43 kg. Jadi dari 0 sampai 24 bulan dibutuhkan sekitar 63 kg susu formula. Biaya
tersebut cukup besar. Belum lagi biaya untuk air bersih dan bahan bakar dan biaya
untuk perawatan kesehatan oleh karena bayi yang tidak mendapat ASI lebih sering
sakit. Makanan yang dibuat sendiri akan lebih murah seperti yang dilaksanakan di
Bangladesh biaya formula yang dibuat di rumah hanya 60% dari biaya susu kaleng
.Maka apabila ibu bukan pengidap HIV/AIDS atau statusnya tidak diketahui
maka ibu tetap dianjurkan untuk memberikan ASI.Apabila ibu diketahui
mengidap HIV/AIDS terdapat beberapa alternatif yang dapat diberikan dan setiap
keputusan ibu setelah mendapat penjelasan perlu didukung. Bila ibu memilih tidak
memberikan ASI maka ibu diajarkan memberikan makanan alternatif yang baik
dengan cara yang benar, misalnya pemberian dengan cangkir jauh lebih baik
dibandingkan dengan pemberian melalui botol. Di negara berkembang
sewajarnya makanan alternatif ini disediakan secara cuma-cuma untuk paling kurang
6 bulan. Bila ibu memilih memberikan ASI walaupun sudah dijelaskan
kemungkinan yang terjadi, maka dianjurkan untuk memberikan ASI secara eksklusif
selama 3-4 bulan kemudian menghentikan ASI dan bayi diberikan makanan
alternatif. Perlu diusahakan agar puting jangan sampai luka karena virus HIV dapat

5
menular melalui luka. Jangan pula diberikan ASI bersama susu formula karena
susu formula akan menyebabkan luka di dinding usus yang menyebabkan virus
dalam ASI lebih mudah masuk.
c. Imunisasi
Beberapa peneliti menyatakan bahwa bayi yang tertular HIV melalui
transmisi vertikal masih mempunyai kemampuan untuk memberi respons imun
terhadap vaksinasi sampai umur 1-2 tahun. Oleh karena itu di negara-negara
berkembang tetap dianjurkan untuk memberikan vaksinasi rutin pada bayi yang
terinfeksi HIV melalui transmisi vertikal. Namun dianjurakan untuk tidak
memberikan imunisasi dengan vaksin hidup misalnya BCG, polio, campak. Untuk
imunisasi polio OPV (oral polio vaccine) dapat digantikan dengan IPV (inactivated
polio vaccine) yang bukan merupakan vaksin hidup. Imunisasi Campak juga masih
dianjurkan oleh karena akibat yang ditimbulkan oleh infeksi alamiah pada pasien
ini lebih besar daripada efek samping yang ditimbulkan oleh vaksin campak.
d. Dukungan Psikologis
Selain pemberian nutrisi yang baik bayi memerlukan kasih sayang yang
kadang-kadang kurang bila bayi tidak disusukan ibunya. Perawatan anak seperti
pada anak lain. Hindari jangan sampai terluka. Bilamana sampai terluka rawat
lukanya sedemikian dengan mengusahakan agar si penolong terhindar dari
penularan melalui darah. Pakai sarung tangan dari latex dan tutup luka dengan
menggunakan verban. Darah yang tercecer di lantai dapat dibersihkan dengan
larutan desinfektans. Popok dapat direndam dengan deterjen. Perlu mendapat
dukungan ibu, sebab ibu dapat mengalami stres karena penyakitnya sendiri
maupun infeksi berulang yang diderita anaknya.
2.2 Pencegahan Menurut Rampengan TH, Laurentz IR, (2008), Penularan HIV
dari ibu ke bayi dapat dicegah melalui :

a) Saat hamil. Penggunaan antiretroviral selama kehamilan yang bertujuan agar


vital load rendah sehingga jumlah virus yang ada di dalam darah dan cairan tubuh
kurang efektif untuk menularkan HIV.

b) Saat melahirkan. Penggunaan antiretroviral (Nevirapine) saat persalinan dan


bayi baru dilahirkan dan persalinan sebaiknya 25 dilakukan dengan metode sectio
caesar karena terbukti mengurangi resiko penularan sebanyak 80%.
6
c) Setelah lahir. Informasi yang lengkap kepada ibu tentang resiko dan manfaat
ASI.

2.3 Konsep Dasar Manajemen Kebidanan pada Anak HIV/AIDS

Langkah 1. Pengkajian

A. Data subyektif

Seperti disebutkan, konstruksi rencana asuhan mulai dengan pengumpulan data


(pengkajian). Pengkajian data dasar terdiri dari informasi subjektif dan objektif
mencakup berbagai masalah. Data subjektif yang dilaporkan oleh klien dan orang
terdekat. Data objektif ini diobervasi (secara kuantitatif dan kualitatif) dan dapat
diuji oleh orang lain. Dalam tahap ini data atau fakta yang dikumpulkan adalah
data subyektif dan data obyektif dari pasien. Langkah ini dilakukan dengan
melakukan pengkajian melalui proses pengumpulan data yang diperlukan untuk
mengevaluasi keadaan bayi secara lengkap (Doenges, Marilynn E. 2001).

1. Biodata Nama
Untuk mengenal dan menghindari terjadinya kekeliruan, umur untuk
mengantisipasi diagnose dan terapi yang diberikan pada pasien, jenis kelamin
untuk 26 mencocokan jenis kelamin sesuai nama anak, anak keberapa untuk
mengetahui paritas dari orang tua . Sedangkan biodata orang tua, nama: untuk
mengenal/ memanggil klien serta sebagai penanggung jawab terhadap anak, umur
untuk mengetahui umur dari ibu serta suami, umur ibu sangat berpengaruh dalam
kesehatan janin, suku: untuk mengetahui dari suku mana ibu berasal dan
menentukan cara pendekatan serta pemberi asuha terhadap anak, pendidikan:
tingkat pendidikan sangat berpengaruh dalam asuhan yang diberikan, pekerjaan:
jenis pekerjaan dapat menunjukan keadaan ekonomi keluarga dan mempengaruhi
kesehatan, penghasilan: untuk mengetahui taraf hidup ekonomi dan berkaitan
dengan status gizi pada ibu saat kehamilan, alamat: untuk mempermudah
hubungan bila keadaan mendesak dan mudah melakukan kunjungan rumah
(Pantiawati, 2010).

2. Keluhan utama

7
Dapat berupa demam dan diare yang berkepanjangan, tachipnae, batuk, sesak
napas, hipoksia, kemudian diikuti dengan adanya perubahan berat badan dan
tinggi badan yang tidak naik, mulut dan faring 27 dijumapai bercak putih, limfa
denopati yang menyeluruh, infeksi yang berulang, dermatitis yang menyeluruh
(wong dona, Dkk, 2009).

3. Riwayat kesehatan yang lalu

Data ini diperlukan untuk menegetahui kemungkinan adanya riwayat tranfusi


darah dari orang yang terinfeksi HIV/AIDS pada ibu, ayah atau hubungan seksual.
Riwayat kesehatan keluarga Khusus untuk kasus HIV AIDS pada anak, paling
besar karena faktor perinatal. Dimana ibu sudah menderita AIDS sebelumnya,
entah itu karena didapat dari suami atau yang lainnya. Kemungkinan yang lain
adalah karena faktor kecelakaan dirumah sakit (klien mungkin terkena jarum
suntik yang sudah terinfeksi virus HIV atau bisa karena tranfusi darah yang juga
mengandung virus HIV) (Ridha, Nabiel 2014).

B. Data obyektif

Didapatkan dari pemeriksaan umum, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan


laboratorium.

1. Pemeriksaan Umum

Keadaan umum: menilai keadaan bayi apakah Baik, sedang dan lemah
Kesadaran: pemeriksaan ini dilakukan untuk menilai status kesadaran anak,
status kesadaran ini dilakukan dengan dua penilaian yaitu penilaian secara
kualitatif dan penilaian secara kuantitatif, secara kualitatif dapat nilai antara lain :
composmentis mempunyai arti anak mengalami kesadaran penuh dengan
memberikan respon yang cukup terhadap stimulus yang diberikan, apatis: anak
mengalami acuh tak acuh terhadap keadaan sekitarnya, samnolen, anak memiliki
kesadaran yang lebih rendah dengan ditandai dengan anak tampak mengantuk,
selalu ingin tidur, tidak responsif terhadap rangsangan ringan dan masih
memberikan respon terhadap rangsangan yang kuat, spoor mempunyai arti bahwa
anak tidak memberikan respon ringan maupun sedang tetapi masih memberikan

8
respon sedikit terhadap rangsangan yang kaut dengan adanya refleks pupil
terhadap cahaya yang masih positif.

TTV: suhu normal yaitu 36,5oC-37,5oC biasanya pada anak HIV/AIDS


meningkat lebih dari normal. Pemeriksaan ini dapat dilakukan melalui rectal,
axial, dan oral yang digunakan untuk menilai keseimbangan suhu tubuh yang
dapat digunakan untuk membantu menentukan diagnosis dini suatu penyakit.
Frekuensi pernapasan normal yaitu 40-60 x/menit, dan frekuensi jantung yang
normal yaitu 120-160x/menit. Pemeriksaan lainnya yaitu berat badan sebelum
sakit: untuk mengetahui perkembangan berat badan sebelum sakit dan sesudah
sakit,

2. Pemeriksaan Fisik
a) Pemeriksaan mata

Adanya cotton wool spot (bercak katun wol) pada retina, infeksi pada tepi
kelopak mata, mata merah, perih, gatal, berair dan banyak secret.

b) Pemeriksaan mulut

Adanya stomatitis gangrenosa, peridontitis, sarcoma Kaposi pada mulut dimulai


sebagai bercak merah datar kemudian menjadi biru.

c) Pemeriksaan telinga Adanya otitis media, adanya nyeri, kehilangan


pendengaran.

d) System pernafasan Adanya batuk yang lama dengan atau tanpa sputum, sesak
napas, tachipnea, hipoksia, nyeri dada, napas pendek waktu istirahat, gagal napas.

e) Pemeriksaan system pencernaan. Berat badan menurun, anoreksia, nyeri pada


saat menelan, kesulitan menelan, bercak putih kekuningan pada mukosa mulut,
selaput lender kering, mual dan muntah, pemebesaran limfa.

f) Pemeriksaan system kardiovaskular Suhu tubuh meningkat, nadi cepat, tekanan


darah meningkat, gejalah gagal jantung kongestiv sekuder akibat kardiomiopati
karena HIV.

9
g) Pemeriksaan system integument Adanya lesi yang sangat luas vesikel yang
besar, haemorargie, dan nyeri panas.

h) Pemeriksaan system perkemihan Didapatkan air seni yang berkurang, annuria,


proteiuria, adanya pembesarn kelenjar parotis.

i) Pemeriksaan system neurologi Adanya sakit kepala, samnolen, sukar


berkonsentrasi, perubahan perilaku, nyeri otot, kejang-kejang, gangguan
psikomotor, penurunan kesaadarn, meningitis.

j) Pemeriksaan muskuluskeletal k) Nyeri persendian, letih, gangguan bergerak dan


nyeri otot.

3. Pemeriksaan laboratorium

Kemudian pada pemeriksaan diagnostic atau laboratorium didapatkan adanya


anemia, leukositopenia, trombositopenia, jumlah sel T4 menurun bila T4 dibawah
200, fase AIDS normal 1000-2000 permikrositer. Tes anti body anti-HIV (tes
ELISA) menunjukan terinfeksi HIV atau tidak atau dengan menguji antibody anti
HIV. Tes ini meliputi tes ELISA, lateks, agglutination dan wastern blot, penilaian
elisa dan lateks menunjukan orang terinfeksi HIV atau tidak apabila dikatakan
positif harus dibuktikan denga tes wastern blot (www.jurnal.pemeriksaanfisik
pada bayi hiv/aids.com).

Langkah 2 interprestasi data dasar

Interprestasi data dasar yang akan dilakukan adalah Menurut hidayat. HIV dapat
terjadi melalui dua jalur, diantaranya adalah sebagai berikut melaui ibu yang
terinfeksi HIV kepada janin yang dikandungannya atau kepada bayi yang
disusukannya (AIDS pada anak). Sebagian besar anak yang terinfeksi HIV/AIDS
berasal dari keluarga dengan salah satu atau kedua orangtuanya terinfeksi HIV.
Bayi yang lahir dari ibu HIV positif harus melakukan uji PCR DNA HIV pada 48
jam kehidupannya, pada usia 1 sampai 2 bulan dan selanjutnya pada usia 3 sampai
6 bulan.

Langkah 3 Antisipasi Masalah Potensial

10
Masalah potensial yang mungkin terjadi adalahoral lesi, neurologic,
gastrointestinal, respirasi, dermatologic, sensorik.

Langkah 4 Tindakan Segera

Pada kasus bayi dengan Ibu HIV/AIDS ini tindakan segera yang dilakukan
pada masa perawatan yaitu lakukan kolaborasi dengan dokter untuk pemberian
terapi dan tidakan selanjutnya, monitor kesadaran, tanda-tanda vital (Jitowiyono
dkk, 2010).

Langkah 5 Perencanaan

Perencanaan yang dilakukan pada kasus HIV/AIDS yaitu Suportif dengan


cara mengusahakan agar gizi cukup, hidup sehat dan mencegah kemungkinan
terjadi infeksi, ajarkan pada orang tua untuk menghubungi tim kesehatan bila
terdapat tanda-tanda infeksi, ajarkan pada orang tua untuk mengamati respon
terhadap pengobatan dan memberitahu dokter tentang adanya efek samping,
observasi keadaan umum dan kesadaran (Ridha nabila, 2014).

Langkah 6 Pelaksanaan

Pelaksanaan yang dilakukan pada pasien HIV/AIDS adalah melaksanakan


semua asuhan yang telah direncanakan yaitu sesuai dengan keadaan pasien
dengan memberikan Obat 33 antiretrovirus digunakan untuk mengendalikan
berkembangnya penyakit. Penatalaksanaan AIDS dimulai dengan evaluasi
penentuan derajat untuk menentukan perkembangan penyakit dan pengobatan
yang tepat). Pada langkah ini, rencana asuhan yang menyeluruh harus
dilaksanakan secara efisien dan aman. Perencanaan ini bisa dilakukan seluruhnya
oleh bidan atau sebagian dilakukan oleh bidan, sebagian lagi oleh klien atau
anggota tim kesehatan lainnya. Jika bidan tidak melakukannya sendiri ia tetap
memikul tanggung jawab untuk mengarahkan pelaksanaannya, memastikan
langkah-langkah tersebut benar-benar terlaksana. Mengarahkan atau
melaksanakan rencana asuhan secara efektif dan aman. Bidan bekerja sama
dengan dokter dan pasien untuk melaksanakan rencana asuhan yang menyeluruh
dan kolaborasi (Varney, 1997).

11
Langkah 7 Evaluasi

Dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang sudah diberikan meliputi


pemenuhan kebutuhan akan bantuan apakah benar-benar telah terpenuhi sesuai
dengan kebutuhan sebagaimana telah diidentifikasi didalam masalah dan
diagnosis. Rencana tersebut dapat dianggap efektif jika memang benar efektif
dalam pelaksanaannya. Ada kemungkinan bahwa 34 sebagian rencana tersebut
lebih efektif sedang sebagian belum efektif (Muslihatun dkk, 2009). Langkah-
langkah proses manajemen pada umumnya merupakan pengkajian yang
memperjelas proses pemikiran yang mempengaruhi tindakan serta berorientasi
pada proses klinis. Karena proses manajemen tersebut berlangsung didalam situasi
dan dua langkah yang terakhir tergantung pada klien dan situasi klinik, maka tidak
mungkin proses manajemen ini dievaluasi dalam tulisan saja .

2.4 Infeksi oportunis pada anak dengan HIV

Infeksi oportunistik (IO) adalah penyebab paling umum kematian anak


dengan HIV/AIDS. Infeksi ini disebut “oportunistik” karena terjadi akibat sistem
kekebalan yang melemah dan mereka dapat menyebabkan penyakit yang
mematikan. OI adalah tanda dari menurunnya sistem kekebalan tubuh. IO pada
anak HIV biasanya terlihat pada anak-anak dengan depresi berat jumlah CD4
(Ravichandra K. R. 2017).

Infeksi oportunis yang paling sering terjadi pada anak adalah sebagai berikut
(Ravichandra K. R. 2017):
a. Mycobacteria
• Tuberculosis
• Mycobacterium Avium complex (MAC)
b. Infeksi Bacteri
• Jamur Invasive dan recurrent
• Pneumocystis Carnii Pneumonia
• Candida, Cryptococcus, Histoplasmosis
c. Protozoa
•Toxoplasmosis
• Cryptosporidiosi
12
d. Virus
• Cytomegalovirus
• Herpes simplex virus
• Varicella zoster virus
• Molluscum Contagiosum
2.5 Penatalaksanaan Infeksi Oportunis yang paling sering Terjadi di Indonesia
a. Infeksi Bakteri

Infeksi bakteri yang paling sering pada penderita HIV adalah pneumonia,
bakterimia, infeksi saluran kencing, abses serta artiritis. Gejala klinis IO
akibat bakteri tergantung dari tipe bakteri yang menginfeksi. Secara klinis
gejala infeksi bakteri yang menginfeksi. Secara klinis gejala infeksi bakteri
sama dengan penderita tanpa HIV, namun dengan derajat klinis yang lebih
berat. Pengobatan infeksi bakteri pada penderita HIV dan non HIV sama
yaitu berdasarkan hasil kultur specimen. Meskipun pada kasus infeksi serius
terapi dapat diberikan tanpa menunggu hasil kultur dengan menggunakan
antibiotic spektrum luas (Opportunistic et al., 2021).

b. Kandida

Sariawan serta diaper dermatitis terjadi pada hampir 50% sampai 85%
penderita HIV pada anak. Oral candida merupakan infeksi oportunis paling
sering pada anak dengan HIV. Sariawan muncul sebagai bercak putih krem,
seperti dadih dengan mukosa yang meradang di bawahnya yang terbuka
setelah eksudat dikeluarkan dan dapat ditemukan pada mukosa orofaringeal,
langit-langit mulut, dan amandel. OPC eritematosa ditandai dengan lesi
eritematosa datar pada permukaan mukosa. Kandidiasis hiperplastik muncul
sebagai plak putih yang menonjol pada permukaan bawah lidah, langit-langit
mulut dan mukosa bukal, dan tidak dapat dihilangkan. Cheilitis sudut muncul
sebagai lesi pecah-pecah merah di sudut mulut. Pengobatan dapat dengan
clotrimazole troches atau oral nystatin suspension untuk 7 to 14 hari. Oral
fluconazole lebih efektif dibandingkan nystatin suspension untuk terapi OPC
pada bayi, lebih mudah diberikan dibandingkan terapi topical, dan terapi yang
direkomendasikan saat pemberian terapi sistemik (Opportunistic et al., 2021).

13
c. Tuberkulosis

Metode diagnostik untuk infeksi tuberkulosis (TB) laten termasuk tes kulit
tuberkulin (TST), yang dilakukan dengan metode Mantoux dengan turunan
protein murni yang disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA), atau
tes pelepasan gamma interferon Pada anak usia kurang 5 tahun metode TST
dapat memberikan hasil yang lebih baik.

TST dan IGRA namun boleh digunakan untuk menyingkirkan penyakit dan
tidak dapat menggantikan skrining reguler untuk paparan TB. Karena anak
dengan HIV merupakan kelompok risiko tinggi terpapar TB maka skrining
dpat mulai dilakukan pada usia 3 sampai 5 bulan.

Karena tantangan pengumpulan spesimen dan hasil bakteriologis yang buruk


pada anak-anak termasuk mereka yang terinfeksi HIV, faktor risiko
epidemiologis dan riwayat pajanan TB merupakan penentu penting untuk
membuat diagnosis. Dalam praktik klinis, diagnosis sering didasarkan pada tes
tidak langsung untuk infeksi TB (hasil positif dari TST atau IGRA) bersama
dengan gejala dan temuan radiografi dada yang menunjukkan penyakit aktif.
Stadium HIV mempengaruhi frekuensi gejala dan tanda-tanda radiologi dan
kinerja karakteristik tes tidak langsung untuk infeksi seperti TST, serta
kemungkinan diagnosis alternatif (seperti pneumonitis interstitial limfoid
kronis atau infeksi bakteri berulang) (Opportunistic et al., 2021).

Pemberian OAT pada TB-HIV pada dasarnya sama dengan pengobatan


TB tanpa HIV/AIDS yaitu kombinasi beberapa jenis obat dengan dosis dan
waktu yang tepat. 24 Rejimen OAT diberikan selama 6 bulan, terdiri dari
isoniazid (INH) 300 mg PO, rifampin (RIF) 450 mg atau rifabutin PO,
pyrazinamide (PZA) 3x500 15 mg PO dan ethambutol (EMB) 3x250 mg PO
setiap hari selama 2 bulan fase inisial, dilanjutkan dengan INH 600 mg PO dan
RIF 450 mg PO 3 kali seminggu selama 4 bulan fase lanjutan. 6 Rejimen ART
yang direkomendasikan pada koinfeksi TB-HIV adalah rejimen dengan
efavirenz 600 mg PO sebagai pilihan Non-Nucleoside Reverse Transcriptase
Inhibitor (NNRTI). 8 Nevirapin tidak dipilih sebagai NNRTI karena rifampisin
dalam OAT dapat menurunkan kadar nevirapin dalam darah. Terapi
14
antiretroviral yang dapat digunakan adalah zidovudin atau tenofovir +
lamivudin + efavirenz. Setelah OAT selesai, efavirenz dapat diganti dengan
nevirapine (Elviana, 2015).

15
BAB III

PENUTUP

3.1 Simpulan

Penatalaksanaan kasus HIV pada anak, tidak hanya pengaturan ART,


namun juga faktor pemberian makanan (nutrisi) harus diperhatikan mengingat
anak-anak masih dalam fase pertumbuhan. Selain itu factor dukungan psikologis
juga penting dalam mengasuh anak dengan HIV positif.

16
DAFTAR PUSTAKA

Elviana, P.A. (2015) ‘Penatalaksanaan dan Pencegahan Infeksi Oportunistik yang


Tersering pada Penderita HIV di Indonesia’, Fakultas Kedokteran UNUD,
pp. 1–28.

Opportunistic, P. et al. (2021) ‘Guidelines for the Prevention and Treatment of


Opportunistic Infections in HIV-Exposed and HIV-Infected Children’,
Pediatric Clinical Practice Guidelines & Policies, pp. 1100–1100.
Available at: https://doi.org/10.1542/9781581108613-part06-
guidelines_prevention.

R., R., Praharaj, B.R. and Agarwalla, S. (2017) ‘Opportunistic infections in HIV
infected children and its correlation with CD4 count’, International Journal
of Contemporary Pediatrics, 4(5), p. 1743. Available at:
https://doi.org/10.18203/2349-3291.ijcp20173777.

Populations, K. and White, R. (2020) ‘HIV in Infants and Children’, (4), pp. 1–34.

17

Anda mungkin juga menyukai