Anda di halaman 1dari 63

FOURNIER GANRENE SEVERITY INDEX (FGSI) DAN SIMPLIFIED

FOURNIER GANGRENE SEVERITY INDEX (SFGSI) SEBAGAI


FAKTOR PREDIKSI TERHADAP MORTALITAS
PADA PASIEN FOURNIER GANGRENE
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

OLEH
FIRMANSYAH PUTRA
NIM: 147041010

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


FOURNIER GANRENE SEVERITY INDEX (FGSI) DAN SIMPLIFIED
FOURNIER GANGRENE SEVERITY INDEX (SFGSI) SEBAGAI
FAKTOR PREDIKSI TERHADAP MORTALITAS
PADA PASIEN FOURNIER GANGRENE
DI RSUP H. ADAM MALIK MEDAN

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister


Kedokteran Klinik Pada Program Studi Ilmu Bedah Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

OLEH
FIRMANSYAH PUTRA
NIM: 147041010

PROGRAM STUDI MAGISTER KEDOKTERAN KLINIK


DEPARTEMEN ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

Universitas Sumatera Utara


LEMBAR PENGESAHAN

Judul Penelitian : Fournier Ganrene Severity Index (FGSI) dan Simplified


Fournier Gangrene Severity Index (SFGSI) Sebagai
Faktor Prediksi Terhadap Mortalitas Pada Pasien
Fournier Gangrene di RSUP H. Adam Malik Medan
Nama Peneliti : Firmansyah Putra
NIM : 147041010
Program Studi : Kedokteran / Ilmu Bedah
Kategori : Urologi

Hasil Penelitian Magister Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah ini


telah diperiksa dan disetujui oleh:

Pembimbing I Pembimbing II

dr. Dhirajaya Dharma Kadar, Sp.U Dr. dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U(K)
NIP. 19691221 200212 2 001 NIP. 19650505 199503 1 001

Diketahui Oleh :

Plt. Ketua Departemen Ilmu Bedah Plt. Ketua Program Studi Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara

Dr. dr. Adi Muradi, Sp.B-KBD dr. Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD
NIP. 19671207200012 1 001 NIP. 19790325200912 1 004

i
Universitas Sumatera Utara
SURAT KETERANGAN

Sudah diperiksa Penelitian Akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah

Judul Penelitian : Fournier Ganrene Severity Index (FGSI) dan Simplified


Fournier Gangrene Severity Index (SFGSI) Sebagai
Faktor Prediksi Terhadap Mortalitas Pada Pasien
Fournier Gangrene di RSUP H. Adam Malik Medan
Nama Peneliti : Firmansyah Putra
NIM : 147041010
Program Studi : Kedokteran / Ilmu Bedah
Kategori : Urologi
Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, Juni 2019


Seksi Ilmiah Program Studi Pendidikan
Ilmu Bedah Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

dr. Utama Abdi Tarigan, Sp. BP-RE


NIP. 19710616 200212 1 004

ii
Universitas Sumatera Utara
SURAT KETERANGAN

Sudah diperiksa Penelitian Akhir Program Pendidikan Dokter Spesialis Bedah


Judul Penelitian : Fournier Ganrene Severity Index (FGSI) dan Simplified
Fournier Gangrene Severity Index (SFGSI) Sebagai
Faktor Prediksi Terhadap Mortalitas Pada Pasien
Fournier Gangrene di RSUP H. Adam Malik Medan
Nama Peneliti : Firmansyah Putra
NIM : 147041010
Program Studi : Kedokteran / Ilmu Bedah
Kategori : Urologi
Institusi : Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Medan, Juni 2019


Konsultan Metodologi Penelitian
Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara

Prof. dr. H. Aznan Lelo, PhD, Sp.FK


NIP. 195112021979021001

iii
Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.

Nama : Firmansyah Putra


NIM : 147041010
Tanda Tangan :

Penulis,

Firmansyah Putra
147041010

iv
Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, Saya yang bertanda tangan
di bawah ini:

Nama : Firmansyah Putra


NIM : 147041010
Program Studi : Magister Kedokteran Klinik
Konsentrasi : Ilmu Bedah
Jenis Karya : Tesis

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Sumatera Utara Hak Bebas Royalti Non-ekslusif (Non-exclusive
Royalty Free Right) atas tesis saya yang berjudul: “Fournier Ganrene Severity
Index (FGSI) dan Simplified Fournier Gangrene Severity Index (SFGSI)
Sebagai Faktor Prediksi Terhadap Mortalitas Pada Pasien Fournier
Gangrene di RSUP H. Adam Malik Medan” beserta perangkat yang ada (jika
diperlukan). Dengan Hak Bebas Royalti Non-ekslusif ini, Universitas Sumatera
Utara berhak menyimpan, mengalih media/ formatkan, mengelola dalam bentuk
database, merawat dan mempublikasikan tesis saya tanpa meminta izin dari saya
selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis dan sebagai pemilik hak
cipta.
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Medan
Pada Tanggal :
Yang Menyatakan,

Firmansyah Putra

v
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK

Fournier’s gangrene merupakan suatu penyakit yang dapat berakibat fatal ditandai
dengan necrotizing fasciitis dari regio perineal dan genitalia akibat dari infeksi
polimikroba (Atakan, 2002). Seringkali menyerang laki-laki dengan rentang usia
dekade ketiga hingga keenam, akan tetapi tetap dapat ditemukan pada kelompok
usia berapapun. Di Amerika Serikat, didapatkan daat insidensi 1,6/100.000 laki-
laki, dengan puncak usia adalah 50 hingga 79 tahun. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh idiopatik, atau sekunder dari infeksi di anorektal, urogenital, serta
penyakit kulit termasuk yang diakibatkan oleh trauma atau prosedur pembedahan
lainnya FG tergolong penyakit yang berpotensi fatal dengan angka mortalitas
tinggi dan termasuk dalam kasus kegawatdaruratan dalam bidang urologi.
Intervensi dini dan agresif sangat penting, karena kondisi ini terkait dengan
tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Beberapa penelitian terakhir berupaya untuk mengembangkan suatu metode untuk
memperkirakan prognosis pasien dengan FG. Salah satu metode yang dapat
digunakan adalah sistem skoring yang dikenal sebagai Fournier's Gangrene
Severity Index (FGSI) dan Simplified Fournier's Gangrene Severity Index
(SFGSI). FGSI dan SFGSI merupakan suatu metode kuantitatif yang digunakan
sebagai parameter prognostik pada pasien FG, untuk melihat prediksi mortalitas
pasien.
Pada penelitian ini, kami mendapatkan rata-rata usia pasien adalah 60,71 tahun (±
6,79) dengan usia paling muda adalah 45 tahun dan yang paling tua adalah 72
tahun. beberapa penelitian sebelumnya menemukan rerata yang cukup serupa
dengan penelitian ini. Lama rawatan merupakan variabel lain yang dinilai pada
penelitian ini, dimana didapatkan rerata lama rawatan pasien yang hidup adalah
23,42 hari berbanding pasien yang meninggal, yaitu 6,30 hari. Temperatur tubuh
pada penelitian ini antara yang hidup dan yang meninggal tidak memiliki
perbedaan yang bermakna secara statistic.

Kata kunci: Fournier Gangrene, necrotizing fasciitis, FGSI, SFGSI

vi
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT

Fournier gangrene is a disease that can be fatal characterized by necrotizing


fasciitis from the perineal region and genitalia due to polymicrobial infections
(Atakan, 2002). Often attacks men with an age range of up to six, will still be
found in any age group. In the United States, an incidence of 1.6 / 100,000 men is
obtained, with a peak age of 50 to 79 years. This disease can be caused by
idiopathic, or secondary to infection in anorectal, urogenital, and also skin
diseases including those caused by trauma or other surgical procedures. FG is
classified as a fatal disease with a high mortality rate and is included in
emergency cases in the field of urology. Early and aggressive intervention is very
important, because it is associated with high mortality and morbidity.
Recent studies have been approved to develop a method for estimating the
prognosis of patients with FG. One method that can be used is a scoring system
known as the Fournier Gangrene Severity Index (FGSI) and the Simple Fournier
Gangren Severity Index (SFGSI). FGSI and SFGSI are quantitative methods that
are used as prognostic parameters in FG patients, to see predictions of patient
mortality.
In this study, we found that the average age of patients was 60.71 years (± 6.79)
with the youngest age being 45 years and the oldest was 72 years. Previous
studies have found a fairly popular average with this study. Length of stay was
another variable that was approved in this study, where the average length of stay
of patients who lived was 23.42 days compared to patients received, which was
6.30 days. Research statistics about the living and the dead do not have different
statistics.

Keywords: Fournier Gangrene, necrotizing fasciitis, FGSI, SFGSI

vii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan sampaikan kehadirat Allah SWT karena hanya


dengan berkat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini
dengan judul “Fournier Ganrene Severity Index (FGSI) dan Simplified Fournier
Gangrene Severity Index (SFGSI) Sebagai Faktor Prediksi Terhadap Mortalitas
Pada Pasien Fournier Gangrene di RSUP H. Adam Malik Medan”. Penulisan tesis
ini merupakan salah satu persyaratan untuk memperoleh gelar Magister
Kedoktean (M.Ked.) Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dalam penulisan tesis ini banyak pihak yang telah memberikan bantuan
dorongan moril berupa masukan dan saran, sehingga penulisan tesis dapat
diselesaikan. Oleh karena itu perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih
hormat yang tiada terhingga kepada semua pihak yang telah membantu penulis
dalam menyelesaikan tesis ini, baik secara langsung maupun tidak langsung. Rasa
hormat, penghargaan dan ucapan terima kasih sebesar-besarnya penulis
sampaikan kepada :
1. Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Dekan Fakultas Kedokteran USU,
Ketua TKP-PPDS FK-USU, dan Ketua Program Studi Magister Kedokteran
FK-USU yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti
Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Bedah dan Magister Kedokteran
Klinis di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Direktur RSUP Haji Adam Malik, RSUD dr. Pirngadi, dan RS Universitas
Sumatera Utara yang telah memberikan begitu banyak kemudahan dan izin
dalam menjalani pendidikan dan penelitian.
3. dr. Adi Muradi Muhar, SpB-KBD selaku Kepala Departemen Ilmu Bedah
FK-USU dan dr. Doddy Prabisma Pohan, SpB-TKV, selaku Sekretaris
Departemen Ilmu Bedah FK-USU yang telah memberikan kesempatan
kepada penulis untuk mengikuti pendidikan serta senantiasa membimbing,
memberi dorongan dan kemudahan selama penulis menjalani pendidikan.
4. dr. Edwin Saleh Siregar, SpB-KBD sebagai Ketua Program studi Ilmu
Bedah FK-USU dan dr. Dedy Hermansyah, SpB(K)Onk sebagai Sekretaris
Program Studi Ilmu Bedah FK-USU yang telah dengan sungguh-sungguh

viii
Universitas Sumatera Utara
membantu, membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis
menjadi dokter Spesialis Bedah yang berbudi luhur serta siap mengabdi pada
nusa dan bangsa.
5. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Dhirajaya Dharma Kadar, Sp.U, Dr. dr. Syah
Mirsya Warli, Sp.U(K), selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan
bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga
telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis
sampai selesainya karya tulis ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis
ucapkan.
6. Guru Besar: Prof. dr. Bachtiar Surya, SPB-KBD yang telah memberikan
bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.
7. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Bedah FK USU, para guru penulis
serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama
mengikuti pendidikan. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang
tak terhingga.
8. Abang, kakak, dan adik-adik peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Bedah FK-USU yang telah banyak membantu penulis selama menjalani
pendidikan.
9. Seluruh perawat/ paramedis di berbagai tempat di mana penulis pernah
bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang
baik selama ini.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati, penulis sampaikan terima kasih


yang setulus-tulusnya kepada semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu
persatu, yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung
selama pendidikan maupun dalam penyelesaian tesis ini.

ix
Universitas Sumatera Utara
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah
kepada kita semua.

Medan,
Penulis

dr. Firmansyah Putra

x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN .............................................................................. i


SURAT KETERANGAN.................................................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS............................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI...................... v
ABSTRAK ......................................................................................................... vi
ABSTRACT ....................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi
DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... xiv

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................... 1


1.1. Latar Belakang ........................................................................ 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................... 2
1.3. Tujuan Penlitian ...................................................................... 3
1.3.1. Tujuan Umum ............................................................. 3
1.3.2. Tujuan Khusus ............................................................ 3
1.4. Manfaat Penelitian .................................................................. 3
1.4.1. Institusi Pendidikan..................................................... 3
1.4.2. Institusi Kesehatan ...................................................... 3
1.4.3. Bidang Pengembangan Penelitian .............................. 3
1.5. Hipotesis Penelitian ................................................................ 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 5


2.1. Definisi.................................................................................... 5
2.2. Epidemiologi ........................................................................... 5
2.3. Etiologi.................................................................................... 5
2.4. Patofisiologi ............................................................................ 7
2.5. Faktor Resiko .......................................................................... 8
2.6. Diagnosis ................................................................................ 10
2.6.1. Gejala Klinis ............................................................... 10
2.6.2. Pemeriksaan Penunjang .............................................. 11
2.7. Penatalaksanaan ...................................................................... 15
2.7.1. Terapi Antibiotik......................................................... 16
2.7.2. Terapi Pembedahan..................................................... 17
2.7.3. Diversi fekal dan urin.................................................. 18
2.7.4. Terapi topical .............................................................. 20
2.7.5. Terapi Oksigen Hiperbarik ......................................... 20
2.7.6. Vacuum-Assisted Closure (VAC)............................... 21
2.7.7. Rekonstruksi plastic .................................................... 22

xi
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 24
3.1. Desain Penelitian .................................................................... 24
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 24
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian................................................... 24
3.3.1. Populasi............................................................................ 24
3.3.2. Sampel ............................................................................. 24
3.4. Proses Pengumpulan Data ...................................................... 25
3.5. Kerangka Konsep .................................................................... 26
3.6. Alur Penelitian ........................................................................ 27
3.7. Definisi Operasional ............................................................... 28
3.8. Analisa Data ............................................................................ 28

BAB 4 HASIL PENELITIAN.................................................................... 30


4.1. Karakteristik Sampel............................................................... 30
4.2. Perbandingan Karakteristik Pasien pada Kelompok yang Hidup
dan Menderita Kematian......................................................... 31
4.3. Hubungan antara Nilai Fournier’s Gangrene Severity Index
(FGSI) dan Simplified Fournier’s Gangrene Severity Index
(SFGSI) dengan Kematian ...................................................... 32

BAB 5 PEMBAHASAN ............................................................................. 36

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................... 43


6.1. Kesimpulan ............................................................................. 43
6.2. Saran ....................................................................................... 43

DAFTRA PUSTAKA ........................................................................................ 44

xii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. The Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis


(LRINEC) ......................................................................................... 12
Tabel 2.2. Fournier Gangrene Severity Index (FGSI) ....................................... 13
Tabel 2.3. Simplified Fournier Gangrene Severity Index (SFGSI) ................... 13
Tabel 3.1. Definisi Operasional ......................................................................... 28
Tabel 4.1. Karakteristik Demografis ................................................................. 30
Tabel 4.2. Karakteristik Pasien Hidup dan Meninggal ..................................... 31
Tabel 4.3. Nilai FGSI dan SFGSI...................................................................... 33
Tabel 4.4. Perbandingan nilai prognostik dari Fournier’s Gangrene Severity
Index (FGSI) dan Simplified Fournier's Gangrene Severity Index
(SFGSI) ............................................................................................ 33
Tabel 4.5. Analisis Prognosis Berdasarkan Skor FGSI dan SFGSI .................. 34
Tabel 5.1. Perbandingan nilai cut-off penelitian................................................ 41

xiii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Ketidakseimbangan antara pertahanan host dan virulensi


mikroorganisme ........................................................................... 8
Gambar 2.2. Edema skrotum dan eritema disertai batas tidak tegas pada area
inguinal kiri ................................................................................. 11
Gambar 2.3. Fournier gangrene pada laki-laki 61 tahun dengan bengkak pada
skrotum, nyeri, dan kemerahan disertai dengan keluhan
nyeri perut. ................................................................................... 15
Gambar 2.4. Prinsip Penatalaksanaan Fournier’s Gangrene ............................ 16
Gambar 2.5. Flexi Seal Fecal Management System ......................................... 20
Gambar 4.1. Kurva ROC untuk FGSI dan SFGSI terhadap mortalitas ............ 34

xiv
Universitas Sumatera Utara
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Fournier Gangren (FG) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1883, ketika

venereologist Perancis Jean Alfred Fournier menggambarkan serangkaian kasus

pada pria muda yang sebelumnya sehat kemudian menderita gangren progresif

dari penis dan skrotum tanpa penyebab yang jelas. FG merupakan penyakit yang

relatif jarang ditemui, dengan angka kejadian penyakit 1.6 kasus per 100.000

pasien laki-laki dengan case fatality rate sebesar 7,5%. (Sorensen, 2009)

Pada penelitian di Amerika yang dilakukan tahun 2017 secara retrospektif

didapati 54 pasien dirawat dengan diagnosis FG di LAC+USC Medical Centre,

yang merupakan rumah sakit umum terbesar di Los Angeles, Amerika pada tahun

2010-2016. FG merupakan fascitis nekrotikans yang progresif pada daerah penis,

skrotum, dan perineum. Infeksi yang terjadi bersifat polimikrobial, yang

merupakan gabungan antara bakteri aerob dan anaerob. Berbeda dengan deskripsi

awal, penyakit ini tidak terbatas pada orang muda atau pada laki-laki, dan

penyebabnya sekarang umumnya dapat diidentifikasi. (Ghodoussipour, 2017)

FG tergolong penyakit yang berpotensi fatal dengan angka mortalitas

tinggi dan termasuk dalam kasus kegawatdaruratan dalam bidang urologi.

Intervensi dini dan agresif sangat penting, karena kondisi ini terkait dengan

tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi. (Singh, 2016)

Beberapa penelitian terakhir berupaya untuk mengembangkan suatu

metode untuk memperkirakan prognosis pasien dengan FG. Salah satu metode

yang dapat digunakan adalah sistem skoring yang dikenal sebagai Fournier's

1
Universitas Sumatera Utara
2

Gangrene Severity Index (FGSI) dan Simplified Fournier's Gangrene Severity

Index (SFGSI). FGSI dan SFGSI merupakan suatu metode kuantitatif yang

digunakan sebagai parameter prognostik pada pasien FG, untuk melihat prediksi

mortalitas pasien. (Satyajeet, 2012). FGSI diperkenalkan pertama kali pada tahun

1995 oleh Laor dkk dengan tujuan untuk memprediksi prognosis pasien dengan

fournier gangrene. Laor dkk melakukan penelitian pada 30 pasien fournier

gangrene dalam kurun waktu 15 tahun dan memodifikasi the acute physiology

and chronic health evaluation II severity score (Laor, 1995). Dalam praktek klinis,

sistem penilaian yang sederhana dan terpercaya akan lebih mudah diterima oleh

klinisi dan akademisi. Berangkat dari hal tersebut, Lin dkk mengembangkan skor

SFGSI pada tahun 2014 dengan menyederhanakan variabel yang ada pada FGSI

menjadi hanya 3 variabel, namun tanpa kehilangan sensitivitas dan spesifisitasnya

(Lin, 2014).

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan performa FGSI dan SFGSI

sebagai prediktor mortalitas pada pasien dengan Fournier Gangren di RSUP H.

Adam Malik Medan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan suatu penelitian untuk

menjawab pertanyaan Bagaimana penggunaan FGSI dan SFGSI sebagai prediktor

mortalitas pada pasien Fournier Gangren di RSUP. H. Adam Malik Medan”.

Universitas Sumatera Utara


3

1.3. Tujuan Penelitian

1.3.1. Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menilai penggunaan FGSI dan

SFGSI sebagai prediktor mortalitas pada pasien Fournier Gangren di RSUP. H.

Adam Malik Medan?

1.3.2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus penelitian ini adalah:

1. Mengetahui karakteristik pasien-pasien penderita Fournier Gangren

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas pasien Fournier

Gangren.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Institusi Pendidikan

Sebagai informasi awal dalam penerapan FGSI dan SFGSI sebagai faktor

prediksi terhadap mortalitas pasien Fournier Gangren yang dirawat di RSUP H.

Adam Malik Medan.

1.4.2. Institusi Kesehatan

Sebagai informasi dalam memberikan edukasi dan inform consent

terhadap pasien Fournier Gangren yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.

1.4.3. Bidang Pengembangan Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan dasar untuk dilakukan

penelitian lebih lanjut.

Universitas Sumatera Utara


4

1.5. Hipotesis Penelitian

Terdapat perbedaan antara FGSI dan SFGSI sebagai faktor prediksi

terhadap mortalitas pasien Fournier Gangren yang dirawat di RSUP H. Adam

Malik Medan.

Universitas Sumatera Utara


BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi

Fournier gangren (FG) merupakan jenis fasciitis nekrotikans tipe I, yang

menyerang daerah perineal, perianal dan daerah sekitar genitalia. Fournier

gangrene juga umum dikenal sebagai Streptococcus gangrene, necrotizing

cellulitis, phagadena, dan peri-urethral phlegmon, yang merupakan suatu kondisi

infeksius dan fatal. FG merupakan suatu kondisi akut dan progresif serta

mengancam jiwa yang umumnya terjadi pada pria. (Sorensen, 2009)

2.2. Epidemiologi

FG adalah kondisi yang relatif jarang, hanya sekitar 0,2% kasus rawat inap

di rumah sakit menurut studi epidemiologis terbaru, namun angka insidensinya

meningkat dengan umur populasi yang semakin menua dan prevalensi yang tinggi

pada diabetes. (Satyajeet, 2016). Sorensen et al mengatakan bahwa tingkat

kejadian adalah 1,6 kasus per 100.000 laki-laki/ tahun dan menunjukkan puncak

insidensi melewati umur 50 tahun adalah 3,3 kasus setiap 100.000 laki-laki per

tahunnya.

2.3. Etiologi

Saat diutarakan oleh pertama kali oleh J. A. Fournier tahun 1883, FG

dianggap merupakan suatu kondisi idiopatik. Seiring berjalannya waktu dan

observasi yang mendalam, beberapa teori mengenai etiologi FG muncul. Fasciitis

5
Universitas Sumatera Utara
6

nekrotikans yang berujung pada FG merupakan suatu bentuk lanjutan dari infeksi

yang lebih ringan. Infeksi tersebut antara lain berasal dari regio anorektal (30-

50%), urogenital (20-40%) dan infeksi pada kulit genital (20%). FG juga dapat

disebabkan oleh trauma pada daerah tersebut, karena baik trauma yang bersifat

mayor maupun minor dapat menjadi sumber infeksi. (Mallikarjuna, 2012)

Penyebab terjadinya FG dari region anorektal seperi trauma, abses baik

yang muncul di region ischiorektal, perirektal, maupun perianal, appendisitis,

divertikulitis, perforasi kolon, fistulostomi perianal, biopsi perianal, biopsi rektal,

hemorroidektomi, dan kanker kolon. Sementara beberapa etiologi dari regio

urogenital antara lain trauma, striktur uretra dengan ekstravasasi urin, kateterisasi

dan instrumentasi, pemasangan implan penis, infeksi periurethra, orchitis, dan

infeksi saluran kemih kronis. Infeksi pada kulit genitalia yang dapat menjadi

prekursor terjadinya FG antara lain furunkel skrotum, trauma tumpul pada daerah

perineal, dan piercing. (Malikarjuna, 2012)

Secara umum, dari hasil biakan kuman lesi FG, penyebab tersering FG

adalah bakteri, baik gram positif, gram negatif, maupun anaerob. Kuman yang

sering ditemukan antara lain E. coli, Klebsiella sp, Proteus sp, Stapylococcus sp,

Streptococcus sp, dan lainnya. Perhatian khusus perlu diberikan kepada hasil

biakan yang menunjukkan hasil Community Associated Methicillin-Resistant

Staphylococcus Aureus (CA-MRSA). Apabila CA-MRSA menjadi etiologi dari

FG, maka manifestasi klinis yang muncul cenderung lebih berat. (Schaeffer,

2016)

Universitas Sumatera Utara


7

2.4. Patofisiologi

Infeksi yang terjadi, menunjukkan ketidakseimbangan antara imunitas host

dan virulensi dari bakteri penyebab. Faktor etiologi diatas yang mejadi jalur

masuk bakteri ke daerah perineum. Daya tahan tubuh yang rendah akan menjadi

faktor penyebab terjadinya infeksi dan virulensi bakteri akan menyebabkan

penyebaran penyakit semakin cepat. (Schaeffer, 2016)

Beberapa penelitian menunjukkan infeksi polimikroba menjadi penyebab

terjadinya infeksi pada FG, dimana akan diproduksi beberapa enzim yang

mempengaruhi multiplikasi kuman dan penyebaran infeksi. Beberapa bakteri yang

menyebabkan infeksi pada daerah perineal dan genital antara lain Clostridium,

Klebsiella, Streptococcus, dan Staphylococcus. (Schaeffer, 2016)

Secara karakterisktik, FG terjadi akibat sinergisme dari beberapa bakteri.

Sebuah mikroorganisme akan memproduksi enzim yang menyebabkan koagulasi

dan trombosis pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal ini akan menyebabkan

aliran darah pada daerah tersebut akan menurun. Nutrisi dan oksigenasi yang

menurun pada daerah tersebut akan menyebabkan terjadinya metabolism anaerob

pada jaringan, Enzim yang dihasilkan mikroorganisme seperti lecithinase dan

collagenase akan merusak fasia dan memerluas infeksi yang terjadi. (Singh, 2016)

Kerusakan pada arteri yang menyebar menyebabkan kerusakan pada kulit

akan menimbulkan iskemia dan proliferasi bakteri lanjutan. Infeksi dari fasia

bagian superfisial (Fasia Colles) akan menyebar ke penis dan skrotum melalui

Fasia Buck dan Fasia Dartos dan menyebar ke dinding abdomen melalui Fasia

Scarpa. (Tahmaz, 2006). Infeksi berat yang berlanjut dari lapisan fasia akan

menyerang daerah otot atau mionekrosis, meskipun hal ini jarang ditemukan.

Universitas Sumatera Utara


8

Keterlibatan testis juga jarang ditemukan karena testis memiliki aliran darah

khusus. (Ferrtti, 2017)

Gambar 2.1. Ketidakseimbangan antara pertahanan host dan virulensi


mikroorganisme

2.5. Faktor Resiko

Beberapa studi menunjukkan bahwa FG memiliki hubungan yang erat

dengan kondisi seperti diabetes mellitus, alkoholisme, hipertensi, usia tua, HIV,

penyakit-penyakit limfoproliferatif, penggunaan steroid jangka panjang serta

penggunaan obat-obatan sitotoksik dan immunosupresan. (Wrowblewska, 2014).

Beberapa faktor komorbid terjadinya FG antara lain obesitas, gagal ginjal kronik,

penyakit hati kronik, dan malignansi. Seluruh faktor resiko diatas memiliki prinsip

Universitas Sumatera Utara


9

yang sama dalam menyebabkan terjadinya FG, yaitu dengan menekan

kemampuan tubuh dalam melindungi diri dari infeksi. Malnutrisi dan rendahnya

status sosio ekonomi juga merupakan faktor yang berhubungan dengan terjadinya

FG karena malnutrisi menyebabkan daya tahan tubuh yang kurang baik,

rendahnya status sosio-ekonomi berhubungan dengan rendahnya higienitas.

(Ferretti, 2017)

FG juga ditemukan pada pasien dengan riwayat kateterisasi dalam jangka

panjang, striktur uretra, dan gangguan daerah perianal. Pada pria, angka kejadian

FG meningkat seiring meningkatnya kejadian hubungan seksual secara anal yang

menyebabkan penyebaran bakteri dari regio anorektal disertai trauma tumpul pada

area tersebut. Pada wanita, resiko FG meningkat pada kasus abortus septik, paska

histerektomi dan episiotomi, serta abses pada kelenjar bartholin dan vulva. Pada

anak, resiko terjadinya FG meningkat pada anak dengan hernia inguinal

strangulata, omphalitis, dan gigitan serangga. (Nisbet, 2002)

Diabetes merupakan salah satu faktor komorbid tersering dalam terjadinya

FG, sekitar 56% pasien FG memiliki riwayat diabetes melitus. Keadaan

hiperglikemia pada pasien memiliki efek detrimental pada kondisi imunitas host

dan berakibat pada terganggunya adherensi sel, proses kemotaksis dan fagositosis.

Diabetes mellitus sendiri merupakan faktor predisposisi terjadinya FG, dengan

persentase 32-66%. (Sehmi, 2011). Kondisi immunosupresif lain yang menjadi

faktor komorbid terjadinya FG adalah HIV. Pada pasien HIV, retrovirus akan

menghancurkan fungsi CD4+, yang merupakan bagian dari pertahanan tubuh,

sehingga pasien lebih rentan untuk infeksi oportunistik. (Sehmi, 2011)

Universitas Sumatera Utara


10

2.6. Diagnosis

2.6.1. Gejala Klinis

Manifestasi klinis yang umumnnya muncul pada FG adalah nyeri

mendadak pada daerah skrotum, disertai demam diatas 380. Pada fase awal, hanya

daerah skrotum yang terlihat mengalami gangguan, tetapi apabila tidak

terdiagnosis dengan baik, selulitis akan menyebar ke seluruh jaringan skrotum,

kecuali testis. (Schaeffer, 2016)

Gejala lain yang dapat muncul antara lain bau yang berasal dari daerah

tempat infeksi, pembengkakan pada skrotum dengan eritema dan disertai dengan

purulensi atau discharge yang muncul dari luka, krepitasi dan fluktuasi. Penelitian

lain menunjukkan manifestasi klinis yang paling sering muncul adalah

pembengkakan pada skrotum, demam dan nyeri. (Yanar, 2006)

Rata-rata pasien muncul pada hari ke-3 sampai ke-5 setelah mengalami

gejala. Keterlibatan skrotum terjadi pada 93% kasus, sementara keterlibatan penis

terjadi pada 46.5% kasus. Krepitasi pada jaringan merupakan hal yang umum

terjadi karena bakteri penyebab memproduksi gas. Inflamasi subkutan yang

memburuk akan menimbulkan daerah-daerah nekrosis pada kulit yang semakin

meluas. Perluasan infeksi dapat terjadi sampai ke dinding abdomen anterior

sampai batas klavikula. (Wong, 2004).

Universitas Sumatera Utara


11

Gambar 2.2. Edema skrotum dan eritema disertai batas tidak tegas pada
area inguinal kiri

2.6.2. Pemeriksaan Penunjang

2.6.2.1 Pemeriksaan Laboratorium dan Sistem Skoring

Beberapa pemeriksaan laboratorium yang dianjurkan pada pasien FG,

antara lain:

1. Pemeriksaan darah lengkap dengan hitung differensial sel darah putih

2. Elektrolit, ureum, kreatinin, dan kadar gula darah untuk menunjukkan kondisi

hiperglikemia atau hipoglikemia

3. Analisa gas darah

4. Status koagulasi (DIC) untuk memantau adanya sepsis

5. Kultur darah dan kultur urin

6. Kultur discharge dari gangrene

Dalam pemeriksaan laboratorium FG terdapat suatu sistem skoring khusus

yang disebut The Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis (LRINEC).

LRINEC merupakan suatu sistem skoring yang digunakan untuk membantu

Universitas Sumatera Utara


12

diagnosis terjadinya fasciitis nekrotikans termasuk FG pada fase awal. Skor

LRINEC diatas 6 menunjukkan resiko sedang sampai tinggi terjadinya fasciitis

nekrotikans pada pasien dan skor diatas 8 merupakan prediktor kuat terjadinya

penyakit. Dalam penelitian lain, beberapa parameter laboratorium yang dapat

dijadikan indikator antara lain tingginya kadar serum kreatinin, laktat, kalsium

dan rendahnya kadar bikarbonat. Meningkatnya kadar kalsium dalam darah dapat

menunjukkan status gangguan ginjal dan bakteremia. (Shashireka, 2016)

Tabel 2.1. The Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis (LRINEC)
Variabel Skor

C-Reactive Protein (mg/L)


<150 0
>150 4
Sel Darah Putih Total (x103 per mm3)
<15 0
15-25 1
>25 2
Haemoglobin (g/dL)
>13.5 0
11-13.5 1
<11 2
Natrium darah (mmol/L)
>135 0
<135 2
Kreatinin (μ
 mol/L)
<141 0
>141 2
Glukosa (mmol/L)
<10 0
>10 1

Selain LRINEC, sistem skoring yang dapat digunakan adalah Fournier

Gangrene Severity Index (FGSI). FGSI menggunakan 9 parameter yang terdiri

dari kombinasi temuan klinis dan hasil laboratorium. (Corcoran, 2008)

Universitas Sumatera Utara


13

Tabel 2.2. Fournier Gangrene Severity Index (FGSI)


High Abnormal Value Normal Low Abnormal Value
Variabel
+4 +3 +2 +1 0 +1 +2 +3 +4
>41 39- - 38.5- 36-38.4 34- 32- 30- <29.9
Temperature
40.9 38.9 35.9 33.9 31.9
>180 140- 110- - 70-109 - 55- 40- <39
Heart rate
179 139 69 54
Respiratory >50 35- - 25-34 12-24 10- 6-9 - <5
Rate 49 11
Serum >7 6-6.9 - 5.5- 3.5-5.4 3-3.4 2.5- - <2.5
potassium 5.9 2.9
Serum >180 160- 155- 150- 130- - 120- 110- <110
Sodium 179 159 154 149 129 119
Serum >3.5 2-3.4 1.5- - 0.6-1.4 - <0.6 - -
Creatinine 1.9
>60 - 50- 46-49 30-45 - 20- - <20
Hematocrit
59 29
>40 - 20- 15- 3-14.9 - 1-2.9 - <1
WBC
39.9 19.9
>52 41- - 32-40 22-31 - 18- 15- <15
Bicarbonate
51 21 17

Dikarenakan parameter pada FGSI cenderung kompleks, oleh karena itu

diciptakan sistem skoring FGSI yang sudah disederhanakan yang disebut

Simplified Fournier Gangrene Severity Index (SFGSI) yang terdiri dari 3

parameter dengan skoring 0-2. (Erol, 2010)

Tabel 2.3. Simplified Fournier Gangrene Severity Index (SFGSI)


High Abnormal Value Normal Low Abnormal Value
Variabel
+4 +3 +2 +1 0 +1 +2 +3 +4
Serum >7 6-6.9 - 5.5- 3.5-5.4 3-3.4 2.5- - <2.5
potassium 5.9 2.9
Serum >3.5 2-3.4 1.5- - 0.6-1.4 - <0.6 - -
Creatinine 1.9
>60 - 50- 46-49 30-45 - 20- - <20
Hematocrit
59 29

2.6.2.2 Pemeriksaan Radiologis

Pada kasus-kasus infeksi pada jaringan lunak yang membutuhkan

eksplorasi pembedahan yang segera, pemeriksaan radiografi dibutuhkan pada

pasien tertentu. Pemeriksaan seperti foto polos, CT dan MRI dapat membantu

Universitas Sumatera Utara


14

menentukan sejauh mana kerusakan anatomis yang telah terjadi. Tetapi

pemeriksaan radiologi ini tidak boleh menunda tindakan pembedahan apabila

segera dibutuhkan. (Kabay, 2008)

Gambaran foto polos dapat menunjukkan emfisema subkutan pada daerah

perineum dan genitalia eksterna sampai ke daerah inguinal, paha dan bagian

abdomen anterior. Gambaran emfisema subkutan tersebut meningkatkan

kecurigaan terhadap terjadinya infeksi. (Lin, 2014)

Gambaran USG yang dapat muncul adalah emfisema subkutan, yang

ditandai adanya daerah dengan artefak echogenitas pada skrotum dan perineum.

Gambaran lain yang mungkin terlihat adalah dinding skrotum yang menebal dam

edema. USG dapat menjadi pilihan dalam membantu diagnosis karena memiliki

sensitivitas yang tinggi. CT-scan dapat membantu diagnosis FG dengan

menentukan daerah-daerah yang terkena imbas dan menentukan batas-batas

jaringan yang sakit dan sehat. Gambaran CT-Scan yang dapat terlihat antara lain

penebalan jaringan lunak disertai peradangan, emfisema subkutan, dan kerusakan

fasia. Peran utama dari CT-scan pada infeksi nekrosis jaringan lunak adalah untuk

mengidentifikasi asal infeksi dan mengukur ekstensi penyakit. Hanya beberapa

kasus yang ditemukan pada literatur mengggunakan MRI sebagai modalitas

diagnostik untuk FG. Alasan penggunaan yang terbatas mungkin dikarenakan

ketersediaannya yang terbatas, serta waktu scanning yang lama. Namun pada

beberapa kasus, MRI untuk mendiagnosis FG menunjukan emfisema subkutis,

penebalan dinding skrotal dan akumulasi cairan, MRI memungkinkan lapangan

pandang yang lebih luas, memungkinkan penyebaran infeksi dapat diperiksa. (Lin,

2014)

Universitas Sumatera Utara


15

Gambar 2.3. Fournier gangrene pada laki-laki 61 tahun dengan bengkak


pada skrotum, nyeri, dan kemerahan disertai dengan keluhan
nyeri perut. CT-scan dengan kontras menunjukkan (a)
pembesaran kantung skrotum yang mengandung fokal udara,
yang menyebar ke kranial ke arah perineum dan jaringan
subkutis Pada gluteus medius kanan melewati fasia koles (b)

2.7. Penatalaksanaan

Fournier Gangren merupakan suatu kegawatdaruratan dalam bidang

urologi, sehingga dibutuhkan penatalaksanaan yang segera. Prinsip

penatalaksanaan yang perlu dilakukan adalah debridemen jaringan nekrotik,

drainase pus dan terapi antimikroba serta stabilisasi hemodinamik. Pasien dengan

FG harus diberikan terapi secara agresif untuk menurunkan angka mortalitas.

(Roughmann, 2012)

Selain pembedahan dan pemberian antibiotik, pemberian oksigen

hiperbarik (HBO) direkomendasikan sebagai terapi tambahan, walaupun

pembedahan tetap utama untuk dilakukan. Terapi oksigen hiperbarik tersebut

dipercatat dapat menghambat pertumbuhan bakteri anaerob pada jaringan,

mencegah penyebaran yang lebih lanjut dan menurunkan efek sistemik dari

infeksi. Efek lain adalah perbaikan pada fungsi neutrofil, mempercepat

Universitas Sumatera Utara


16

angiogenesis dan fibroblast, mengurangi edema, dan meningkatkan kadar

antibiotik intraselular. Hal yang juga penting adalah memberikan terapi pada

kondisi komorbid yang menyertai FG. (Tuncel, 2006)

Gambar 2.4. Prinsip Penatalaksanaan Fournier’s Gangrene

2.7.1. Terapi Antibiotik

Penggunaan antibiotik spektrum luas dianjurkan dan harus diberikan sejak

awal. Pemberiannya diindikasikan untuk Staphylococcus, Streptococcus, bakteri

gram negatif dan bakteri anaerob. Kombinasi antibiotik dapat dilakukan untuk

memberikan efek lebih pada pasien dengan FG. (Gurdal, 2003)

Pemberian penisillin spektrum luas atau sefalosporin generasi ketiga dan

aminoglikosida yang dikombinasi dengan metronidazole atau klindamisin

dianjurkan sebelum hasil kultur spesifik didapatkan. Kombinasi lain yang dapat

diberikan adalah quinolone dengan klindamisin atau beta-laktam dengan

aminoglikosida. Pada kasus yang disebabkan oleh MSRA, antibiotik pilihan yang

Universitas Sumatera Utara


17

dapat digunakan adalah vancomycin. (Gurdal, 2003) Klindamisin juga dapat

digunakan untuk menekan produksi dari sitokin. Penggunaan linezolide,

daptomycine dan tigesiklin juga berguna pada kasus rawat inap yang sebelumnya

menggunakan antibiotik jangka panjang yang mungkin mengarah pada resistensi

bakteroides. Guideline terbaru merekomendasikan penggunaan karbapenem

(imipenem, meropenem, ertapenem) atau piperazilin-tazobactam. Obat-obat yang

lebih baru ini memiliki distribusi yang lebih besar dan efek toksik pada ginjal

lebih kecil dibandingkan dengan aminoglikosida. Trend baru ini menunjukkan

tripel terapi dapat digantikan pada kondisi tertentu dengan penggunaan antibiotik

generasi yang baru. (Thwaini, 2006)

2.7.2. Terapi Pembedahan

Tindakan debridemen pada lesi dan drainase harus dilakukan segera dan

agresif, serta membuang sebanyak mungkin jaringan nekrosis yang ada. Apabila

jaringan nekrotik masih tersisa setelah operasi, hal ini akan menyebabkan nekrosis

yang lebih luas dan berbahaya. Pembedahan secara radikal akan membuang

seluruh jaringan nekrotik yang ada. (Chen, 2010)

Pada beberapa pasien, tindakan debridemen perlu dilakukan lebih dari satu

kali. Skor FGSI juga berhubungan dengan jumlah tindakan pembedahan yang

diperlukan. Rata-rata pada FG yang luas perlu dilakukan 3-4 kali tindakan

debridemen. (Chaula, 2003)

Selain tindakan debridemen, tindakan pembedahan lain yang mungkin

dilakukan bergantung pada keparahan penyakit. Tindakan tersebut antara lain

orchidectomi, kolostomi, dan sistostomi suprapubik, meskipun tindakan-tindakan

ini jarang dilakukan. Tindakan pembedahan pada pasien dapat mempengaruhi

Universitas Sumatera Utara


18

aspek kosmesis pasien dan menimbulkan masalah disfungsi seksual sehingga pelu

dipertimbangkan tindakan pembedahan rekonstruktif daerah genitalia. (Chen,

2011)

Beberapa tindakan pembedahan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki

aspek kosmetik tersebut antara lain scrotal advancement flap, STSG,

fasciocutaneous flap, dan muscle flap. (Chen, 2011)

Pada tindakan scrotal advancement flap, prinsip yang digunakan adalah

menggunakan kulit skrotum untuk mengganti perineum yang rusak. Daerah yang

dapat digunakan adalah sekitar 96 cm2. Semakin besar daerah defek, maka

semakin besar stress dan traksi pada jaringan, dan dapat menimbulkan komplikasi

pada graft. Traksi pada jaringan yang besar juga dapat menimbulkan nekrosis

pada tepi flap dan kegagalan flap. Apabila berhasil, teknik ini dapat memberikan

efek klinis dan estetis yang baik. (Maguina, 2003)

Penggunaan flap fasciokutan dapat menjadi salah satu alternatif pada

rekonstruksi skrotum dan perineal. Flap jaringan tersebut memiliki area yang luas

dan dapat digunakan apabila skin graft jumlahnya tidak adekuat. Literatur

menunjukkan flap tipe ini juga memiliki superioritas dalam hal fungsi dan

kosmetik dibandingkan STSG, karena mengurangi resiko kontraktur. (Korkut,

2003)

2.7.3. Diversi fekal dan urin

Kolostomi sudah digunakan untuk diversi fekal pada kasus FG yang

melibatkan perineal. Diversi rektum yang rasional meliputi pengurangan dari

jumlah kuman pada area perineum sehingga mempercepat penyembuhan luka.

Universitas Sumatera Utara


19

Beberapa pertimbangan untuk pembuatan kolostomi meliputi sphingter anus,

inkontinensi feses atau kontaminasi feses pada tepi luka.

Kolostomi merupakan pilihan sementara yang dapat dilakukan pada kasus

yang membutuhkan debridemen luas. Kolostomi dapat dilakukan pada kasus

dengan cedera sfingter yang luas, dan pasien yang membutuhkan debridemen

perianal. Menurut literatur, beberapa studi menunjukkan manajemen usus

menggunakan kateter dapat mencegah terjadinya kontaminasi tepi luka. Pada

kasus dengan keterlibatan rectum pada FG, diperlukan intervensi yang

komprehensif seperti reseksi abdominoperineal. Diversi fekal menggunakan

teknik Bowel Management Catheter (BMC) dianggap efektik dan dapat

menurunkan angka kolostomi dan graft, terutama pada kasus yang melibatkan

region perianal dan sekitarnya. (CemEray, 2012)

Korkut et al, melaporkan 45 kasus FG menunjukkan mortalitas pada

pasien yang tidak membutuhkan stoma adalah 7%, tetapi 38% pada pasien yang

membutuhkan stoma. Alat diversi rektum The flexi-weal fecal management system

adalah sebuah silikon kateter didesain untuk mengalihkan feses pada pasien

dengan diare, luka bakar, ataupun ulkus kulit. Alat ini melindungi luka dari

kontaminasi feses dan mengurangi dengan cara yang sama dengan kolostomi baik

itu resiko dari rusaknya kulit dan inokulasi berulang dengan flora usus besar.

Kontraindikasi formal adalah neoplasma rektal, cedera penetrasi rektum atau fistul.

(Unalt, 2008)

Universitas Sumatera Utara


20

Gambar 2.5. Flexi Seal Fecal Management System

2.7.4. Terapi topikal

Telah dilaporkan penggunaan madu untuk membantu penyembuhan luka.

Madu memiliki pH yang rendah 3,6 dan mengandung enzim yang merusak

jaringan nekrotik yang juga mempunyai efek antibakterial dikarenakan asam

phenolic. Perubahan ini terjadi dalam 1 minggu setelah menggunakan madu pada

luka. Namun sayangnya belum ada studi yang mendukung efektifitas penggunaan

madu ini. Debridemen enzimatik dengan aplikasi kolagenase lipofilik adalah

terapi lokal lain yang juga berguna. Penggunaan lem fibrin telah terbukti berguna

pada defek kulit tanpa adanya infeksi aktif.

2.7.5. Terapi Oksigen Hiperbarik

Terapi oksigen hiperbarik menempatkan pasien pada lingkungan dengan

tekanan pada lingkungan sekitar 100%, menghasilkan peningkatan oksigenasi

Universitas Sumatera Utara


21

pada darah arteri dan jaringan dan terbukti berguna meliputi oksigenasi adekuat

untuk optimalisasi fungsi fagositik neutrofil, inhibisi pertumbuhan anaerob,

peningkatan proliferasi fibroblast dan angiogenesis, pengurangan bengkak dengan

vasokonstriksi dan peningkatan transportasi antibiotik intrasel. (Chaula, 2003)

Hipoksia juga mengurangi efektifitas dari beberapa antibiotik (vancomycin,

ciprofloxacin), sebaliknya hiperoksia dapat membantu. Sebagai contoh,

aminoglikosida menembus membran sel mikroorganisme dengan pompa yang

bergantung pada oksigen. Beberapa efek samping, telah dijelaskan seperti reaksi

toksik pada susunan saraf pusat dan cedera barotrauma pada telinga tengah

(Korkut, 2003).

Terapi oksigen hiperbarik membutuhkan perawatan kegawatdaruratan

paska tindakan. Pemindahan dan pemantauan paska tindakan juga memerlukan

perhatian khusus. Beberapa literatur menunjukkan bahwa pengobatan dengan

mengkombinasikan terapi hiperbarik oksigen dalam tatalaksana FG memiliki hasil

yang baik. Terapi hiperbarik oksigen sebagai terapi adjuvant dapat digunakan

dalam fase akut dan dapat mempercepat kesembuhan dari FG. (Mindrup, 2005).

2.7.6. Vacuum-Assisted Closure (VAC)

Dengan adanya VAC, terdapat kemajuan yang pesat dalam mengurangi

defek kulit dan mempercepat penyembuhan luka. Hal ini bekerja dengan

mengekspos luka pada tekanan subatmosfer pada periode tertentu untuk

membantu debridemen dan penyembuhan luka.(Chen, 2010)

FG merupakan penyakit yang diperantarai oleh flora yang berukuran

mikroskopis. Dengan penggunaan VAC, diharapkan dapat mencegah

perkembangbiakan bakteri aerob dan aerob dalam bermanifestasi dan mencegah

Universitas Sumatera Utara


22

terjadinya nekrosis. Pemasangan VAC akan mencegah necrosis akibat bakteri.

Penggunaan VAC sebagai alternatif terapi dapat mempercepat masa perawatan

pasca operasi serta memperbaiki luaran klinis. Meskipiun begitu, penelitian lebih

lanjut masih dilakukan untuk membandingkan VAC dengan perawatan

konvensional. (Czymek et al, 2009)

2.7.7. Rekonstruksi plastik

Beberapa pekerja sudah menggunakan teknik yang berbeda untuk

membantu penutupan luka meliputi transplantasi testis, transplantasi kulit bebas,

flap axial kaki, dan flap miokutaneous. Split thickness skin graft (STSG)

tampaknya merupakan terapi pilihan untuk mengobati defek perineal dan kulit

skrotum. (Chen, 2011)

2.8. Diagnosis banding

Diagnosis banding dari FG dapat meliputi kelainan skrotal, perineal,

kelainan intraabdomen dan sistemik yaitu skrotal cellulitis, hernia strangulata,

torsio testis, abses/hematom testis, gonococcal balantis, epididymis akuta,

vaskulitis, polyarteritis nodosum. Skrotum dan penis memiliki konstruksi jaringan

yang rentan terhadap infeksi gangrenosa, meskipun hal tersebut jarang terjadi. FG

memiliki presentasi klinis yang jelas karena FG merupakan kombinasi infeksi

thromboarteritis dan oklusi vaskular.

Gangren pada penis umumnya ditemukan pada pasien dengan diabetes

mellitus. Gangren pada skrotum umumnya merupakan komplikasi dari vaskulitis

dan keadaaan tersebut terjadi pada pasien dengan hipersensitifitas vaskulitis dan

polyarteritis nodosa. Kasus lain juga menunjukkan terjadinya immunovasculitis

Universitas Sumatera Utara


23

yang didapatkan dari biopsi. Penting untuk membedakan pasien dengan vaskulitis

dan pioderma gangrenosum karena memiliki terapi yang berbeda. Meskipun FG

merupakan penyakit yang cenderung jarang ditemukan, vaskulitis pada genitalia

dan pioderma gangrenosum lebih langka. (Smith, 2001)

Universitas Sumatera Utara


BAB 3

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan pendekatan potong

lintang, retrospektif dengan melihat data sekunder dari rekam medis. Departemen

Ilmu Bedah Divisi Urologi RSUP Haji Adam Malik.

3.1. Desain Penelitian

Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini bersifat analisis

dengan pendekatan potong lintang retrospektif

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan dari 1 Januari

2013 s.d. 31 Desember 2017.

3.3. Populasi dan Sampel

3.3.1. Populasi

Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pasien RSUP

Haji Adam Malik Medan yang di diagnosis dengan Fournier Gangren dari tanggal

1 Januari 2013 s.d. 31 Desember 2017.

3.3.2. Sampel

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah total sampling, yaitu

semua pasien yang di diagnosis dengan Fournier Gangren di IGD RSUP HAM.

Periode pengambilan sampel 1 Januari 2013 s.d. 31 Desember 2017.

24
Universitas Sumatera Utara
25

Sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus:

Keterangan :

N : Jumlah populasi

Zα : Tingkat kematangan (1.96, CI 95%)

P : Proporsi pasien Fournier Gangrene dari tinjauan pustaka(10)

Q : 1-P

D : Tingkat kematangan absolut (10%)

Dari rumus tersebut, didapatkan jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini

sebanyak 34 pasien.

3.3.2.1.Kriteria Inklusi

1. Pasien yang di diagnosis dengan Fournier Gangren di IGD RSUP HAM

periode 1 Januari 2013 s.d. 31 Desember 2017.

2. Data rekam medik yang lengkap meliputi identitas pasien, kondisi pasien saat

masuk, pemeriksaan laboratorium, dan follow up pasien paska debridemen.

3.3.2.2.Kriteria Eksklusi

Data rekam medis tidak lengkap

3.4. Proses Pengumpulan Data

Proses pengumpulan data dilakukan melalui rekam medis pasien.

Universitas Sumatera Utara


26

3.5. Kerangka Konsep

Pasien dengan diagnosis


Fournier Gangren di RSUP
HAM

Dilakukan penilaian Dilakukan penilaian


berdasarkan kriteria berdasarkan kriteria
FGSI SFGSI

Stratifikasi prognosis Stratifikasi prognosis


dengan cut-off point 9 dengan cut-off point 2

Perbandingan dan analisis

Didapatkan scoring system yang lebih superior

Universitas Sumatera Utara


27

3.6. Alur Penelitian

Pasien dengan diagnosis


Fournier Gangren di RSUP
HAM

Kriteria Inklusi
Pasien Fournier Gangren di IGD RSUP
HAM pada periode tahun 1 Januari 2013
s.d. 31 Desember 2017
Data rekam medik yang lengkap

Kriteria Eksklusi

Subjek penelitian

Data rekam medis

Data usia, suhu tubuh, nadi, perapasan,


kadar kalium serum, kadar natrium
serum, kadar kreatinin serum, kadar
hematokrit, jumlah leukosit, kadar
bikarbonat serum dan mortalitas

Penilaian skor FGSI


dan SFGSI

Analisis serta perbandingan dan


penulisan laporan

Universitas Sumatera Utara


28

3.7. Definisi Operasional


Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Cara pengukuran Skala/
Nilai
normal
Simplified Sistem skoring yang dipakai Skoring SFGSI terdiri
Fournier untuk memprediksi kejadian atas 3 parameter, yang
Gangrene mortalitas pada pasien dinilai berdasarkan
Severity Index fournier gangrene yang kondisi klinis pasien,
(SFGSI) disederhanakan dari FGSI yaitu :
- Kadar kalium serum
- Kadar kreatinin
serum
- Nilai hematokrit
Kadar kalium Hasil pemeriksaan kadar Data didapatkan dari Numerik
serum kalium dalam darah rekam medis.
Nilai normal: 3.5-5.0
mmol/L
Kadar Hasil pemeriksaan kadar Data didapatkan dari Numerik
kreatinin kreatinin dalam darah rekam medis.
serum Nilai normal: 0.6-1.3
mg/dL
Nilai Hasil pemeriksaan kadar Data didapatkan dari Numerik
hematokrit hematokrit dalam darah rekam medis.
Nilai normal: 35-47%

3.8. Analisa Data

Data yang diperoleh dari hasil rekapitulasi data rekam medis akan

dimasukkan kedalam tabel FGSI dan SFGSI dan diolah dengan menggunakan

komputer dengan langkah-langkah sebagai berikut:

1. Editing atau memeriksa, yaitu mengecek kelengkapan data rekam medis.

2. Coding atau memberi tanda, yaitu mengklasifikasikan data-data ke dalam

kategori-kategori dan diklasifikasikan dengan cara memberi tanda atau kode

untuk mempermudah melakukan tabulasi dan analisa data.

3. Tabulasi, yaitu jawaban yang telah diberi kategori data kemudian dimasukkan

ke dalam tabel.

Universitas Sumatera Utara


29

Data yang didapatkan, kemudian dianalisis menggunakan Receiving

Operator Curve (ROC) untuk mendapatkan cut-off nilai skoring FGSI dan SFGSI.

Area Under the Curve (AUC) akan menunjukkan nilai-nilai optimal berdasarkan

sensitivitas dan 1-spefisitas. Nilai cut-off yang didapatkan selanjutkan dijadikan

nilai prediktif terhadap kejadian mortalitas.

Universitas Sumatera Utara


BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1. Karakteristik Sampel

Berdasarkan rumus perhitungan sampel, didapatkan 34 pasien yang

menjadi sampel pada penelitian ini. Seluruh pasien berjenis kelamin laki-laki.

Deksripsi karakterisitk sampel dinyatakan dalam tabel 4.1.

Tabel 4.1. Karakteristik Demografis


Karakteristik Hidup Meninggal
Usia (tahun) (mean ±SD) 60,4 (± 6,80) 61,5 (±7,04)
Lama Rawatan (hari) (mean ±SD) 23,42 (±3,59) 6,30 (±1,95)
Pekerjaan (n, %)
Guru 6 (17,6) 1 (2,9)
Petani 5 (14,7) 4 (11,8)
Buruh 6 (17,6) 2 (5,9)
Karyawan 5 (14,7) 1 (2,9)
Wiraswasta 2 (5,9) 2 (5,9)
Pendidikan (n, %)
SD 7 (20,6) 4 (11,8)
SMP 12 (35,3) 4 (11,8)
SMA 5 (14,7) 0 (0,0)
Perguruan Tinggi 0 (0,0) 2 (5,9)
Riwayat Menikah (n, %)
Ya 8 (23,5) 18 (52,9)
Tidak 2 (5,9) 6 (17,6)
Riwayat Infeksi Saluran Kemih (n, %)
Ya 5 (14,7) 10 (29,4)
Tidak 5 (14,7) 14 (41,2)

Penelitian ini mendapatkan rerata usia pada kelompok yang hidup adalah

60,4 (± 6,80) tahun sedangkan pada kelompok yang meninggal adalah 61,5

(±7,04) tahun Untuk lama rawatan, pada kelompok yang meninggal rerata lama

rawatannya adalah 6,3 (± 1,95) hari dan pada kelompok yang tetap hidup lama

rawatannya adalah 23,42 (± 3,59) hari. Mayoritas sampel tergolong sudah

menikah pada kedua kelompok (23.5% dan 52.9%), dengan komorbid infeksi

saluran kemih ditemukan pada kedua kelompok.

30
Universitas Sumatera Utara
31

4.2. Perbandingan Karakteristik Pasien pada Kelompok yang Hidup dan

Menderita Kematian

Dari data variabel yang terdapat pada tabel 4.3., dibedakan berdasarkan

luaran yang terjadi, antara yang hidup dan menderita kematian.

Tabel 4.2. Karakteristik Pasien Hidup dan Meninggal


Karakteristik Hidup Meninggal Nilai P
Temperatur (°C) 37,85 (± 0,62) 37,87 (± 0,99) 0,955a
Denyut Nadi (x/menit) 89,38 (± 9,82) 89,40 (± 10,37) 0,995a
Frekuensi Napas (x/menit) 25,17 (± 2,35) 26,20 (± 5,85) 0,600a
Serum Natrium (mmol/L) 134,38 (± 5,46) 134,90 (± 8,84) 0,834a
Serum Kalium (mmol/L) 4,24 (± 0,66) 4,91 (± 1,01) 0,077a
Serum Kreatinin (mg/dL) 0,88 (0,61-2,20) 1,21 (0,46-7,00) 0,167b
Serum Hematokrit (%) 29,20 (23,1-41,5) 26,1 (18,0-47,0) 0,334b
Serum Leukosit (/mm3) 13.024,92 (±
13.507,00 (± 4.829,84) 0,804a
5.233,55)
Serum Bikarbonat (mEq/L) 25,32 (± 6,10) 22,36 (± 11,60) 0,623a
a
Dengan uji T-independen (nilai P <0,05 dianggap signifikan)
b
Dengan uji Mann-Whitney (nilai P <0,05 dianggap signifikan)

Berdasarkan uji statistik terhadap karakteristik pasien antara kelompok

yang hidup dan mengalami kematian, tidak terdapat perbedaan secara statistik.

Untuk temperatur, didapatkan rerata pada kelompok yang hidup adalah 37,85 (±

0,62) sedangkan pada kelompok yang meninggal adalah 37,87 (± 0,99) dengan

nilai P adalah 0,955. Selanjutnya adalah variabel denyut nadi dan frekuensi napas

secara berurutan nilai rerata dari kedua variabel pada kelompok yang hidup dan

kelompok yang meninggal adalah 89,38 (± 9,82) dan 89,40 (± 10,37); 25,17 (±

2,35) dan 26,20 (± 5,85) dan nilai P masing-masing secara berurutan adalah 0,995

dan 0,600. Untuk variabel serum natrium didapatkan rerata pada pasien yang

hidup adalah 134,38 (± 5,46) dan pasien yang meninggal adalah 134,90 (± 8,84)

dan tidak memiliki perbedaan secara statistik, ditandai dengan nilai P = 0,834.

Selanjutnya pada variabel serum kalium, rerata pada pasien yang hidup adalah

Universitas Sumatera Utara


32

4,24 (± 0,66) dan pada pasien yang meninggal adalah 4,91 (± 1,01) serta dengan

nilai P = 0,077.

Untuk serum kreatinin dan serum hematokrit, data terdistribusi tidak

normal, sehingga data disajikan dalam bentuk median (minimum-maksimum).

Serum kreatinin pada pasien yang hidup dan pasien yang meninggal secara

berturut-turut adalah 0,88 (0,61-2,20) dan 1,21 (0,46-7,00) dengan nilai P = 0,167.

Selanjutnya adalah serum hematokrit, dimana nilai pada pasien yang hidup adalah

29,20 (23,1-41,5) dan pada pasien yang meninggal adalah 26,1 (18,0-47,0) dan

didapatkan nilai P = 0,334. Untuk dua variabel terakhir yang dinilai pada

penelitian ini adalah serum sel darah putih dan serum bikarbonat. Untuk nilai

serum leukosit, secara berurutan antara kelompok yang hidup dan kelompok yang

mengalami kematian adalah 13.024,92 (± 5.233,55) dan 13.507,00 (± 4.829,84)

serta didapatkan nilai P = 0,804. Pada variabel serum bikarbonat, kelompok yang

hidup memiliki rerata 25,32 (± 6,10) dan kelompok yang meninggal adalah 22,36

(± 11,60) dan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik dengan hasil

nilai P = 0,623.

4.3. Hubungan antara Nilai Fournier’s Gangrene Severity Index (FGSI) dan

Simplified Fournier’s Gangrene Severity Index (SFGSI) dengan

Kematian

Pada penelitian ini mencoba untuk membandingkan nilai FGSI dan SFGSI

terhadap luaran kematian/mortalitas. Nilai Fournier’s Gangrene Severity Index

(FGSI) dan Simplified Fournier’s Gangrene Severity Index (SFGSI) dapat dilihat

pada tabel 4.4.

Universitas Sumatera Utara


33

Tabel 4.3. Nilai FGSI dan SFGSI

Karakteristik Median (Min-Max)


FGSI 4 (0-15)
SFGSI 2 (0-11)

Pada penelitian ini, didapatkan hasil nilai tengah dari FGSI adalah 4

dengan nilai paling rendah dari 0 hingga yang paling tinggi adalah 15, sedangkan

untuk nilai tengah SFGSI adalah 2 dengan nilai paling rendah adalah 0 dan yang

paling tinggi adalah 11.

Tabel 4.4 Perbandingan nilai prognostik dari Fournier’s Gangrene Severity


Index (FGSI) dan Simplified Fournier's Gangrene Severity Index
(SFGSI)
Variabel Sensitivitas Spesifisitas
FGSI 90% 95.8%
SFGSI 80% 91.7%

Berdasarkan tabel 4.6, dapat dilihat perbandingan nilai prognostik dari

Fournier’s Gangrene Severity Index (FGSI) dan Simplified Fournier's Gangrene

Severity Index (SFGSI), dimana nilai Area Under Curve (AUC) dari FGSI adalah

98,5% berbanding 92,5% pada SFGSI. Dari data penelitian ini, untuk skoring

FGSI, kami mendapatkan cut-off > 9 sehingga diperoleh nilai sensitivitas 90% dan

nilai spesifisitas 95,8%. Sedangkan pada skoring SFGSI, kami memperoleh cut-

off > 2 dan didapatkan nilai sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan FGSI,

yaitu 80% serta nilai spesifisitas 91,7%.

Universitas Sumatera Utara


34

Gambar 4.1. Kurva ROC untuk FGSI dan SFGSI terhadap mortalitas

Tabel 4.5. Analisis Prognosis Berdasarkan Skor FGSI dan SFGSI


Variabel Hidup Meninggal Total Nilai P
Skor FGSI ≤ 9 23 1 24 <0,001a
Skor FGSI > 9 1 9 10
Skor SFGSI ≤ 2 22 2 24 <0,001a
Skor SFGSI > 2 2 8 10
a
Dengan uji Fisher’s Exact (nilai P <0,05 dianggap signifikan)

Terdapat hubungan yang bermakna antara skor FGSI dengan nilai cut-off

sebesar > 9 terhadap ≤ 9. Dimana terdapat 1 orang yang hidup berbanding 9 orang

yang meninggal pada kelompok dengan skor > 9. Sedangkan pada kelompok

dengan skor ≤ 9 adalah 23 orang yang hidup dan 1 orang yang meninggal.

Analisis statistik menunjukkan kemaknaan dengan nilai P sebesar <0,001. Untuk

skor SFGSI, didapatkan nilai cut-off sebesar > 2 terhadap ≤ 2. Terdapat 2 orang

yang hidup pada skor SFGSI sebesar > 2 berbanding 8 orang yang meninggal.

Sedangkan pada skor SFGSI ≤ 2, terdapat 22 pasien yang hidup berbanding

Universitas Sumatera Utara


35

dengan 2 orang pasien yang meninggal. Analisis statistik menunjukkan

kemaknaan dengan nilai P sebesar < 0,001.

Universitas Sumatera Utara


BAB 5

PEMBAHASAN

Fournier’s gangrene merupakan suatu penyakit yang dapat berakibat fatal

ditandai dengan necrotizing fasciitis dari regio perineal dan genitalia akibat dari

infeksi polimikroba (Atakan, 2002). Seringkali menyerang laki-laki dengan

rentang usia dekade ketiga hingga keenam, akan tetapi tetap dapat ditemukan pada

kelompok usia berapapun. Di Amerika Serikat, didapatkan daat insidensi

1,6/100.000 laki-laki, dengan puncak usia adalah 50 hingga 79 tahun (Sorensen,

2009). Penyakit ini dapat disebabkan oleh idiopatik, atau sekunder dari infeksi di

anorektal, urogenital, serta penyakit kulit termasuk yang diakibatkan oleh trauma

atau prosedur pembedahan lainnya (Eke, 2000). Beberapa faktor risiko yang

dianggap berhubungan dengan Fournier’s gangrene adalah diabetes melitus,

konsumsi alkohol, hipertensi, merokok, serta penyakit-penyakit yang dapat

menurunkan daya tahan atau imunitas tubuh seperti keganasan atau infeksi HIV

(Morpurgo, 2002; Eskitaşcıoğlu, 2014).

Meskipun disebutkan dapat disebabkan oleh infeksi berbagai macam

mikroorganisme, akan tetapi prinsip tata laksananya tetap dengan operasi

emergensi untuk membuang jaringan yang sudah tidak vital, pemberian antibiotik

spektrum luas secara intravena, serta perawatan terhadap hemodinamik dan

monitoring ketat secara klinis (Aridogan, 2012; Martinschek, 2012). Akan tetapi,

meskipun dengan prinsip tersebut, angka mortalitas dari penyakit ini tetaplah

tinggi, bervariasi yang terbanyak adalah antara 20% hingga 40% (Ecker, 2008;

36
Universitas Sumatera Utara
37

Sorensen, 2009; Tenório, 2018). Pada penelitian ini, didapatkan angka

mortalitasnya adalah 29,4% atau sesuai dengan penelitian sebelumnya.

Pada penelitian ini, kami mendapatkan rata-rata usia pasien adalah 60,71

tahun (± 6,79) dengan usia paling muda adalah 45 tahun dan yang paling tua

adalah 72 tahun. beberapa penelitian sebelumnya menemukan rerata yang cukup

serupa dengan penelitian ini. Pada penelitian Laor di tahun 1995 mendapatkan

nilai median usia adalah 61 tahun dengan usia paling muda 23 tahun dan yang

paling tua 90 tahun. Sedangkan penelitian dari Atakan di tahun 2002 mendapatkan

rerata usia lebih muda, yaitu 50,33 tahun (20-78). Untuk penelitian dari Aridogan,

nilai rerata yang didapatkan adalah 61,3 tahun bervariasi mulai 36 hingga 92

tahun. Dari beberapa studi ini, didapatkan bahwa Fournier’s Gangrene memiliki

sebaran usia penderita yang cukup luas, mulai dari 20 tahun hingga usia 92 tahun

(Laor, 1995; Atakan, 2002; Aridogan, 2012).

Lama rawatan merupakan variabel lain yang dinilai pada penelitian ini,

dimana didapatkan rerata lama rawatan pasien yang hidup adalah 23,42 hari

berbanding pasien yang meninggal, yaitu 6,30 hari. Penelitian sebelumnya

menunjukkan hasil yang serupa. Ersay melaporkan bahwa lama rawatan pasien

yang hidup adalah 28 hari, sedangkan pasien yang meninggal adalah 8 hari. Uluğ

melaporkan lama rawatan pasien yang hidup lebih panjang, yaitu 31,54 hari;

sedangkan pasien yang meninggal adalah 12,8 hari. Penelitian lainnya melaporkan

lama rawatan pasien yang hidup adalah 29,6 hari berbanding 6,7 hari pada pasien

yang meninggal (Ersay, 2007; Uluğ,2009; Erlan, 2015).

Temperatur tubuh pada penelitian ini antara yang hidup dan yang

meninggal tidak memiliki perbedaan yang bermakna secara statistik, demikian

Universitas Sumatera Utara


38

juga ditemukan pada penelitian dari Lin et al pada tahun 2019. Pada penelitian

tersebut, rerata temperatur pasien yang hidup pada pasien dengan Fournier’s

Gangrene adalah 37,0 (± 0,8) °C sedangkan pada kelompok yang meninggal

adalah 37,3 (± 0,8) °C (Lin, 2019). Hasil yang sebanding didapatkan dari

penelitian ini, dimana pasien yang hidup memiliki rerata temperatur 37,85 (±

0,62) °C dan pada kelompok yang meninggal adalah 37,87 (± 0,99) °C. Hasil

serupa juga didapatkan pada penelitian Lin et al tahun 2014 (Lin, 2014).

Pada penelitian ini, untuk variabel denyut jantung, tidak dijumpai

perbedaan antara pasien yang memiliki luaran berupa kematian dan yang tetap

hidup secara berurutan 89,40 (± 10,37) x/menit dan 89,38 (± 9,82) x/menit. Hal

ini juga didapatkan pada penelitian lain (Lin, 2014; Lin, 2019). Demikian juga

untuk frekuensi napas, dimana pada penelitian ini didapatkan pada pasien yang

hidup memiliki rerata frekuensi napas 25,17 (± 2,35) x/menit sedangkan pada

pasien yang meninggal didapatkan frekuensi napas 26,20 (± 5,85) x/menit (Lin,

2014; Lin, 2019).

Untuk kadar elektrolit, pada penelitian ini mengukur serum natrium dan

kalium dimana tidak terdapat perbedaan antara kedua variabel ini. Serum natrium

dan serum kalium pada pasien yang meninggal memiliki nilai rata-rata sebesar

134,90 (± 8,84) mmol/L dan 4,91 (± 1,01) mmol/L secara berurutan. Sedangkan

untuk serum natrium dan serum kalium pada pasien yang hidup, didapatkan nilai

rata-rata 134,38 (± 5,46) mmol/L dan 4,24 (± 0,66) mmol/L. Penelitian Lin pada

tahun 2014 dan 2019 mendukung penemuan ini, dimana tidak terdapat perbedaan

bermakna dari kedua variabel elektrolit ini di dalam pasien yang meninggal dan

yang hidup pada kasus Fournier’s Gangrene (Lin, 2014; Lin, 2019). Sedangkan

Universitas Sumatera Utara


39

Tenório pada 2018 menemukan perbedaan bermakna dari serum kalium antara

pasien yang meninggal dengan yang hidup, dimana pasien yang hidup memiliki

serum kalium yang lebih rendah (Tenório, 2018).

Akan tetapi, pada komponen serum kreatinin, pada penelitian ini tidak

mendapatkan perbedaan serum antara pasien Fournier’s Gangrene yang

mengalami luaran berupa kematian dan yang tetap hidup. Sedangkan pada

penelitian Tenório di tahun 2018, menemukan terdapat perbedaan kadar serum

kreatinin pada pasien yang meninggal dengan yang hidup dimana pasien yang

meninggal memiliki rerata serum kreatinin yang lebih tinggi dibandingkan dengan

pasien yang hidup. Pada penelitian tersebut, rerata serum kreatinin pasien yang

meninggal adalah 1,72 (± 1,16) mg/dL dan pada penelitian ini didapatkan nilai

median 1,21 (0,46-7,00) mg/dL. Tenório menemukan pada pasien yang hidup,

memiliki rerata serum kreatinin sebesar 0,95 (± 0,55) mg/dL sedangkan pada

penelitian kami, didapatkan nilai median 0,88 (0,61-2,20) mg/dL. Nilai P pada

penelitian Tenório untuk variabel ini adalah 0,001 sedangkan pada penelitan kami

adalah 0,167 (Tenório, 2018). Hasil yang serupa dengan penelitian kami

ditemukan pada penelitian dari Lin di tahun 2019 dimana rerata pasien yang

meninggal dan pasien yang hidup secara berurutan adalah 3,5 ± 3,3 dan 4,1 ± 2,4

mg/dL dengan nilai P = 0,208 (Lin, 2019). Sedangkan pada penelitian sebelumnya

di tahun 2014, Lin mendapatkan perbedaan bermakna antara serum kreatinin pada

pasien yang hidup adalah 1,4 ± 0,9 mg/dL dan pada pasien yang meninggal adalah

3,7 ± 2,6 mg/dL (P <0,0001) (Lin, 2014).

Untuk variabel serum hematokrit, penelitian Lin di tahun 2019 juga

menemukan perbedaan yang tidak signifikan antara kadar hematokrit pada pasien

Universitas Sumatera Utara


40

yang meninggal dengan yang tetap hidup dengan nilai rerata masing-masing

adalah 29,2 (± 7,5) % dan 32,6 (± 7,5) % secara berturut-turut dengan nilai P =

0,198 (Lin, 2019). Hal yang sama ditemukan pada penelitian kami, dimana nilai

tengah pada pasien yang hidup adalah 29,20 (23,1-41,5) % dan pada yang

meninggal adalah 26,1 (18,0-47,0) % dengan nilai P = 0,334. Hasil yang

bertentangan didapatkan pada penelitian dari Tenório pada tahun 2018 dan Lin

pada tahun 2014. Pada kedua penelitian tersebut, mendapatkan perbedaan yang

bermakna secara statistik pada variabel serum hematokrit dengan nilai P keduanya

adalah 0,0001 (Tenório, 2018; Lin, 2014).

Leukosit yang didapatkan pada pasien dengan Fournier’s Gangrene yang

tetap hidup dan yang meninggal pada penelitian ini adalah 13.024,92 (± 5.233,55)

/mm3 dan 13.507,00 (± 4.829,84) /mm3 serta nilai P = 0,804 sehingga tidak

bermakna secara statistik. Hal yang sama didapatkan pada penelitian Lin di tahun

2014 dan di tahun 2018. Pada penelitian Lin di tahun 2014, memiliki nilai rerata

pada pasien yang hidup adalah 18,0 (± 10,2) /mm 3 berbanding 17,3 (± 9,3) /mm3

dengan nilai P = 0,822. Untuk penelitian Lin di tahun 2019, pada pasien yang

hidup memiliki rerata 19,4 (± 8,1) /mm3 dan yang meninggal 17,2 (± 5,8) /mm3

(Lin 2014; Lin 2019).

Komponen terakhir yang dinilai dari skoring Fournier’s Gangrene

Severity Index (FGSI) adalah serum bikarbonat. Pada penelitian kami didapatkan

nilai bikarbonat pasien yang hidup adalah 25,32 (± 6,10) mEq/L berbanding

pasien yang meninggal 22,36 (± 11,60) mEq/L dan nilai P = 0,623. Hal ini

didukung oleh penelitian Lin 2014 dan 2019, dimana pada kedua penelitian

tersebut memiliki nilai P = 0,410 dan P = 0,732.

Universitas Sumatera Utara


41

Beberapa penelitian sebelumnya mencoba untuk melihat FGSI sebagai

faktor prediktor dari mortalitas pasien dengan Fournier’s Gangrene. Mayoritas

studi mendapatkan nilai cut-off > 9 dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas

berkisar antara 71-88 % dan 78-90% secara berurutan (Corcoran, 2008; Laor,

1995; Yeniyol, 2004). Sedangkan pada studi dari Yilmazlar pada tahun 2010

memiliki nilai cut-off > 10 dan mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas 65%

dan 100%. Satu studi lain dari Roghmann pada tahun 2012 mendapatkan nilai

batas > 3 serta mendapatkan sensitivitas 77% dan spesifisitas 70% (Roghmann,

2012). Pada penelitian kami, didapatkan nilai cut-off sebesar > 9 dan mendapatkan

sensitivitas 90% serta spesifisitas 95,8%.

Tabel 5.1. Perbandingan nilai cut-off penelitian

Jumlah Indeks Mortalitas Nilai Sensitivitas Spesifisitas


Penulis Pasien Skor (%) cut- (%) (%)
off
Corcoran, 2008 68 FGSI 10 >9 71 90
Laor, 1995 30 FGSI 43 >9 75 78
Yeniyol, 2004 25 FGSI 32 >9 88 88
Yilmazlar, 2010 80 FGSI 21 > 10 65 100
Roghmann, 44 FGSI 30 >3 77 70
2012
Studi ini 34 FGSI 29,4 >9 90 95,8
Lin, 2014 85 SFGSI 19 >2 87 77
Studi ini 34 SFGSI 29,4 >3 80 91,7

Untuk nilai Simplified Fournier’s Gangrene Severity Index (SFGSI) pada

penelitian ini didapatkan nilai cut-off sebesar > 2 dengan nilai sensitivitas 80%

dan nilai spesifisitas 91,7%. Penelitian dari Lin pada tahun 2014 juga memiliki

nilai cut-off >2 dan mendapatkan sensitivitas 87% dan spesifisitas 77% (Lin,

2014). Pada penelitian tersebut memiliki jumlah sampel sebesar 85 pasien,

sedangkan pada penelitian ini dengan 34 pasien. Terdapat perbedaan nilai

Universitas Sumatera Utara


42

sensitivitas dan spesifisitas dengan penelitian tersebut, sehingga diperlukan

penelitian selanjutnya untuk menguji nilai sensitivitas dan spesifisitas pada pasien

dengan Fournier’s Gangrene.

Universitas Sumatera Utara


BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Fournier gangrene merupakan suatu kegawatdaruratan di bidang urologi

dengan angka mortalitas yang cukup tinggi.

2. Waktu yang diperlukan untuk perawatan pada kasus Fournier gangrene

umumnya lebih lama pada pasien yang hidup dibandingkan dengan pasien

yang meninggal.

3. Hasil Fournier Gangrene Severity Index (FGSI) yang lebih tinggi (>9)

menjadi suatu faktor prognostik yang dapat digunakan untuk menentukan

luaran dari suatu kondisi Fournier gangrene dengan sensitivitas dan

spesifisitas sebesar 90% dan 93,8% secara berurutan.

4. Selain menggunakan sistem penilaian FGSI, dikembangkan juga suatu

penilaian yang disederhanakan yaitu Simplified Fournier Gangrene Severity

Index (SFGSI), dimana berdasarkan skoring ini, dapat menjadi faktor

prognosis lain dalam kasus Fournier gangrene dan memiliki hasil yang cukup

baik, yaitu dengan sensitivitas sebesar 80% dan spesifisitas sebesar 91,7%.

6.2. Saran

1. Studi dengan desain prospektif dengan randomisasi diperlukan untuk menilai

penggunaan FGSI dan SFGSI sebagai faktor prognostic pada kasus Fournier

gangrene.

43
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA

B. Erol, A. Tuncel, V. Hanci et al., “Fournier’s gangrene: 
overview of prognostic


factors and definition of new prognostic parameter,” Urology, vol. 75, no. 5,
pp. 1193–1198, 2010.

Chawla SN, Gallop C, Mydlo JH. Fournier’s gangrene: an analysis of repeated


surgical debridement. Eur Urol 2003;43:572–5.

CemEray, I., Alabaz, O., Akcam, A.T., Ulku, A. et al. Comparison of Diverting
Colostomy and Bowel Management Catheter Application in Fournier
Gangrene Requiring Fecal Diversion. Indian J Surg. 2005. Springer.

Chen SY, Fu JP, Chen TM, Chen SG. Reconstruction of scrotal and perineal
defects in Fournier's gangrene. J Plast Reconstr Aesthet Surg, 2011; 64:528-
34.

Corcoran, A. T., Smaldone, M.,Gibbons, E.P., Walsh,T.J., and Davies, B. J.,


“Validation of the Fournier’s gangrene severity index in a large
contemporary series,” Journal of Urology, vol.180, no. 3, pp. 944–948,
2008.

Czymek, R., Schmidt, A., Eckmann, C., et al. Fournier Gangrene : Vacuum-
Assisted Closure vs Conventional Dressing. The Americal Journal of
Surgery. 2009. Elsevier.

Ferretti, M., Saji, A. A., Phillips, J., Fournier’s Gangrene: A Review and Outcome
Comparison from 2009 to 2016. Wound Healing Society. 2017.

Ghodousssipour B Saum, Gould Daniel, Lifton Jacob, et al. Surviving Fournier


Gangrene: Multivariable analysis and a nover scoring system to predict
length of stay. Journal of Plastic, Reconstructive & Aestetic Surgery (2018)
71, 712-718. Elsevier.

Gurdal M,YucebasE,TekinA,BeyselM,AslanR,SengorF. Predisposing factors and


treatment outcome in Fournier’s gangrene. Urol Int 2003;70:286–90.

Korkut M, Içöz G, Dayangaç M, Akgün E, Yeniay L, Erdo an O, et al. Outcome


analysis in patients with Fournier’s gangrene: report of 45 cases. Dis Colon
Rectum. 2003;46:649-52.

Laor E, Palmer LS, Tolia BM, Reid RE, Winter HI. Outcome prediction in
patients with Fournier's gangrene. J Urol. 1995 Jul;154(1):89-92.

44
Universitas Sumatera Utara
45

Lin TY, Ou CH, Tzai TS, Tong YC, Chang CC, Cheng HL, et al. Validation and
simplication of Fournier’s gangrene severity index. Int J Urol. 2014;21:696-
701.

M. N. Mallikarjuna, Abhishek Vijayakumar, Vijayraj S. Patil, and B. S.


Shivswamy. Fournier’s Gangrene: Current Practices. nternational Scholarly
Research Network. 2012.

Maguina P, Palmieri TL, Greenhalgh DG. Split thickness skin grafting for
recreation of the scrotum following Fournier's gangrene. Burns. 2003;
29:857-62.

Mindrup, S. R., Kealey, G. P. Fallon, B. Hyperbaric Oxygen for the Treatment of


Fournier Gangrene. The Journal of Urology. 2005. AUA.

Ndubuisi E, Raphael JE. Fournier’s gangrene. http://cdn.inte- chopen.com/pdfs-


wm/18914.pdf.

Nisbet AA, Thompson IM. Impact of diabetes mellitus on the presentation and
outcomes of Fournier's gangrene. Urology. 2002; 60:775-9.

Roghmann F, von Bodman C, Löppenberg B, Hinkel A, Palisaar J, Noldus J. Is


there a need for the Fournier’s gangrene severity index? Comparison of
scoring systems for outcome prediction in patients with Fournier’s gangrene.
BJU Int. 2012;110:1359-65.

S. Kabay, M. Yucel, F. Yaylak et al., “The clinical features of Fournier’s


gangrene and the predictivity of the Fournier’s Gangrene Severity Index on
the outcomes,” International 
Urology and Nephrology, vol. 40, no. 4, pp.
997–1004, 2008.

S.Y.Chen,J.P.Fu,C.H.Wang,T.P.Lee,andS.G.Chen,“F ournier gangrene: a review


of 41 patients and strategies for reconstruction,” Annals of Plastic Surgery,
vol. 64, no. 6, pp. 765–769, 2010.

Saber A, Bajwa TM (2014) A Simplified Prognostic Scoring System for


Fournier’s Gangrene. Urol Nephrol Open Access J 1(3): 00018. DOI:
10.15406/unoaj.2014.01.00018.

Sehmi S, Osaghae S. Type II diabetes mellitus: new presentation manifesting as


Fournier’s gangrene. JRSM 2011; 2:651.

Shashirekha CA, Pramod T, Nagaraj KN, Harish Kumar, Rakesh N. Evaluation of


Fournier’s gangrene severity index in the management of Fournier’s
gangrene: a retrospective study. Int Surg J 2016;3:169-72.

Smith, G. L., Bunker, C. B., Dinnenn, M. D. Fournier Gangrene. British Journal


of Urology. 2001.

Universitas Sumatera Utara


46

Sorensen M.D, Krieger J.N, et al. Fournier’s Gangrene: Population Based


Epidemiology and Outcomes. J Urol. 2009; 181(5): 2210-2126. DOI:
10.1016/j.juro.2009.01.034.

Tahmaz L, et al. Fournier's gangrene: report of thirty-three cases and a review of


the literature. Int J Urol. 2006; 13:960-7.

Tarchouli M, Bounaim A, Essarghini M, Ratbi MB, Belhamidi MS, Bensal A, et


al. Analysis of prognostic factors affecting mortality in Fournier’s gangrene:
A study of 72 cases. Can Urol Assoc J. 2015;9:E800-4.

Tenario, C. E. L., Lima, S. V. C., Risk factors for mortality in fournier’s gangrene
in a general hospital: use of simplifed founier gangrene severe index. Int
Braz J urol. 2018; 44: 95-101.

Thwaini A, Khan A, Malik A, et al. Fournier's gangrene and its emergency


management. Postgrad Med J. 2006; 82:516-9.

Tuncel, A., Aydin, O., Tekdogan, O., Nalcacioglu, V., Capar, V., Atan, A., .
Fournier’s Gangrene: Three Years of Experience with 20 Patients and
Validity of the Fournier’s Gangrene Severity Index Score. European
Association of Urology. 2006.

Unalp HR, Kamer E, Derici H, Atahan K, Balci U, Demirdoven C, et al.


Fournier’s gangrene: evaluation of 68 patients and analysis of prognostic
variables. J Postgrad Med. 2008;54:102-5.

V Satyajeet, S Ashutosh, et al. Evaluation of the Utility of the Fournier's


Gangrene Severity Index in the Management of Fournier's Gangrene in
North India: A Multicentre Retrospective Study. J Cutan Aesthet Surg.
2012; 5(4): 273-276. DOI: 10.4103/0974-2077.104916.

Wong CH, Khin LW, Heng KS, et al. The LRINEC (Laboratory Risk Indicator
for Necrotizing Fasciitis) score: a tool for distinguish- ing necrotizing
fasciitis from other soft tissue infections. Crit Care Med. 2004; 32:1535-41.

Wroblewska, M., Kuzaka, B., Borkowski, T., Kuzaka, P., Kawecki, D.. Fournier’s
Gangrene – Current Concepts. Polish Journal of Microbiology. 2014.

Yanar H, Taviloglu K, Ertekin C, Guloglu R, Zorba U, Cabioglu N, et al.


Fournier’s gangrene: risk factors and strategies for management. World J
Surg. 2006;30:1750-4.

Universitas Sumatera Utara


Universitas Sumatera Utara

Anda mungkin juga menyukai