TESIS
OLEH
FIRMANSYAH PUTRA
NIM: 147041010
TESIS
OLEH
FIRMANSYAH PUTRA
NIM: 147041010
Pembimbing I Pembimbing II
dr. Dhirajaya Dharma Kadar, Sp.U Dr. dr. Syah Mirsya Warli, Sp.U(K)
NIP. 19691221 200212 2 001 NIP. 19650505 199503 1 001
Diketahui Oleh :
Plt. Ketua Departemen Ilmu Bedah Plt. Ketua Program Studi Ilmu Bedah
Fakultas Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara Universitas Sumatera Utara
Dr. dr. Adi Muradi, Sp.B-KBD dr. Edwin Saleh Siregar, Sp.B-KBD
NIP. 19671207200012 1 001 NIP. 19790325200912 1 004
i
Universitas Sumatera Utara
SURAT KETERANGAN
ii
Universitas Sumatera Utara
SURAT KETERANGAN
iii
Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis ini adalah hasil karya penulis sendiri, dan semua sumber baik yang dikutip
maupun dirujuk telah penulis nyatakan dengan benar.
Penulis,
Firmansyah Putra
147041010
iv
Universitas Sumatera Utara
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI
KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Sebagai sivitas akademik Universitas Sumatera Utara, Saya yang bertanda tangan
di bawah ini:
Dibuat di : Medan
Pada Tanggal :
Yang Menyatakan,
Firmansyah Putra
v
Universitas Sumatera Utara
ABSTRAK
Fournier’s gangrene merupakan suatu penyakit yang dapat berakibat fatal ditandai
dengan necrotizing fasciitis dari regio perineal dan genitalia akibat dari infeksi
polimikroba (Atakan, 2002). Seringkali menyerang laki-laki dengan rentang usia
dekade ketiga hingga keenam, akan tetapi tetap dapat ditemukan pada kelompok
usia berapapun. Di Amerika Serikat, didapatkan daat insidensi 1,6/100.000 laki-
laki, dengan puncak usia adalah 50 hingga 79 tahun. Penyakit ini dapat
disebabkan oleh idiopatik, atau sekunder dari infeksi di anorektal, urogenital, serta
penyakit kulit termasuk yang diakibatkan oleh trauma atau prosedur pembedahan
lainnya FG tergolong penyakit yang berpotensi fatal dengan angka mortalitas
tinggi dan termasuk dalam kasus kegawatdaruratan dalam bidang urologi.
Intervensi dini dan agresif sangat penting, karena kondisi ini terkait dengan
tingkat mortalitas dan morbiditas yang tinggi.
Beberapa penelitian terakhir berupaya untuk mengembangkan suatu metode untuk
memperkirakan prognosis pasien dengan FG. Salah satu metode yang dapat
digunakan adalah sistem skoring yang dikenal sebagai Fournier's Gangrene
Severity Index (FGSI) dan Simplified Fournier's Gangrene Severity Index
(SFGSI). FGSI dan SFGSI merupakan suatu metode kuantitatif yang digunakan
sebagai parameter prognostik pada pasien FG, untuk melihat prediksi mortalitas
pasien.
Pada penelitian ini, kami mendapatkan rata-rata usia pasien adalah 60,71 tahun (±
6,79) dengan usia paling muda adalah 45 tahun dan yang paling tua adalah 72
tahun. beberapa penelitian sebelumnya menemukan rerata yang cukup serupa
dengan penelitian ini. Lama rawatan merupakan variabel lain yang dinilai pada
penelitian ini, dimana didapatkan rerata lama rawatan pasien yang hidup adalah
23,42 hari berbanding pasien yang meninggal, yaitu 6,30 hari. Temperatur tubuh
pada penelitian ini antara yang hidup dan yang meninggal tidak memiliki
perbedaan yang bermakna secara statistic.
vi
Universitas Sumatera Utara
ABSTRACT
vii
Universitas Sumatera Utara
KATA PENGANTAR
viii
Universitas Sumatera Utara
membantu, membimbing, memberi dorongan dan membentuk penulis
menjadi dokter Spesialis Bedah yang berbudi luhur serta siap mengabdi pada
nusa dan bangsa.
5. Khusus mengenai karya tulis ini, penulis mengucapkan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada dr. Dhirajaya Dharma Kadar, Sp.U, Dr. dr. Syah
Mirsya Warli, Sp.U(K), selaku pembimbing tesis, yang telah memberikan
bimbingan dan kemudahan bagi penulis selama melaksanakan penelitian, juga
telah banyak meluangkan waktu dan dengan kesabaran membimbing penulis
sampai selesainya karya tulis ini. Terima kasih yang tak terhingga penulis
ucapkan.
6. Guru Besar: Prof. dr. Bachtiar Surya, SPB-KBD yang telah memberikan
bimbingan dan teladan selama penulis menjalani pendidikan.
7. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu Bedah FK USU, para guru penulis
serta para guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang
dengan kesabaran dan perhatiannya senantiasa membimbing penulis selama
mengikuti pendidikan. Penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang
tak terhingga.
8. Abang, kakak, dan adik-adik peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis
Ilmu Bedah FK-USU yang telah banyak membantu penulis selama menjalani
pendidikan.
9. Seluruh perawat/ paramedis di berbagai tempat di mana penulis pernah
bertugas selama pendidikan, terima kasih atas bantuan dan kerjasama yang
baik selama ini.
ix
Universitas Sumatera Utara
Penulis menyadari sepenuhnya tulisan ini masih jauh dari sempurna,
namun besar harapan penulis kiranya tesis ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak. Demikian pula atas bantuan dan kebaikan yang telah diberikan
kepada penulis mendapat balasan yang setimpal dari Allah SWT, agar selalu
dilimpahkan kebaikan, kesehatan, kesejahteraan dan rezeki yang melimpah
kepada kita semua.
Medan,
Penulis
x
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR ISI
xi
Universitas Sumatera Utara
BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA ................................................................. 24
3.1. Desain Penelitian .................................................................... 24
3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian .................................................. 24
3.3. Populasi dan Sampel Penelitian................................................... 24
3.3.1. Populasi............................................................................ 24
3.3.2. Sampel ............................................................................. 24
3.4. Proses Pengumpulan Data ...................................................... 25
3.5. Kerangka Konsep .................................................................... 26
3.6. Alur Penelitian ........................................................................ 27
3.7. Definisi Operasional ............................................................... 28
3.8. Analisa Data ............................................................................ 28
xii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR TABEL
xiii
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR GAMBAR
xiv
Universitas Sumatera Utara
BAB 1
PENDAHULUAN
Fournier Gangren (FG) pertama kali diidentifikasi pada tahun 1883, ketika
pada pria muda yang sebelumnya sehat kemudian menderita gangren progresif
dari penis dan skrotum tanpa penyebab yang jelas. FG merupakan penyakit yang
relatif jarang ditemui, dengan angka kejadian penyakit 1.6 kasus per 100.000
pasien laki-laki dengan case fatality rate sebesar 7,5%. (Sorensen, 2009)
yang merupakan rumah sakit umum terbesar di Los Angeles, Amerika pada tahun
merupakan gabungan antara bakteri aerob dan anaerob. Berbeda dengan deskripsi
awal, penyakit ini tidak terbatas pada orang muda atau pada laki-laki, dan
Intervensi dini dan agresif sangat penting, karena kondisi ini terkait dengan
metode untuk memperkirakan prognosis pasien dengan FG. Salah satu metode
yang dapat digunakan adalah sistem skoring yang dikenal sebagai Fournier's
1
Universitas Sumatera Utara
2
Index (SFGSI). FGSI dan SFGSI merupakan suatu metode kuantitatif yang
digunakan sebagai parameter prognostik pada pasien FG, untuk melihat prediksi
mortalitas pasien. (Satyajeet, 2012). FGSI diperkenalkan pertama kali pada tahun
1995 oleh Laor dkk dengan tujuan untuk memprediksi prognosis pasien dengan
gangrene dalam kurun waktu 15 tahun dan memodifikasi the acute physiology
and chronic health evaluation II severity score (Laor, 1995). Dalam praktek klinis,
sistem penilaian yang sederhana dan terpercaya akan lebih mudah diterima oleh
klinisi dan akademisi. Berangkat dari hal tersebut, Lin dkk mengembangkan skor
SFGSI pada tahun 2014 dengan menyederhanakan variabel yang ada pada FGSI
(Lin, 2014).
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menilai penggunaan FGSI dan
Gangren.
Sebagai informasi awal dalam penerapan FGSI dan SFGSI sebagai faktor
terhadap pasien Fournier Gangren yang dirawat di RSUP H. Adam Malik Medan.
Malik Medan.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
infeksius dan fatal. FG merupakan suatu kondisi akut dan progresif serta
2.2. Epidemiologi
FG adalah kondisi yang relatif jarang, hanya sekitar 0,2% kasus rawat inap
meningkat dengan umur populasi yang semakin menua dan prevalensi yang tinggi
kejadian adalah 1,6 kasus per 100.000 laki-laki/ tahun dan menunjukkan puncak
insidensi melewati umur 50 tahun adalah 3,3 kasus setiap 100.000 laki-laki per
tahunnya.
2.3. Etiologi
5
Universitas Sumatera Utara
6
nekrotikans yang berujung pada FG merupakan suatu bentuk lanjutan dari infeksi
yang lebih ringan. Infeksi tersebut antara lain berasal dari regio anorektal (30-
50%), urogenital (20-40%) dan infeksi pada kulit genital (20%). FG juga dapat
disebabkan oleh trauma pada daerah tersebut, karena baik trauma yang bersifat
urogenital antara lain trauma, striktur uretra dengan ekstravasasi urin, kateterisasi
infeksi saluran kemih kronis. Infeksi pada kulit genitalia yang dapat menjadi
prekursor terjadinya FG antara lain furunkel skrotum, trauma tumpul pada daerah
Secara umum, dari hasil biakan kuman lesi FG, penyebab tersering FG
adalah bakteri, baik gram positif, gram negatif, maupun anaerob. Kuman yang
sering ditemukan antara lain E. coli, Klebsiella sp, Proteus sp, Stapylococcus sp,
Streptococcus sp, dan lainnya. Perhatian khusus perlu diberikan kepada hasil
FG, maka manifestasi klinis yang muncul cenderung lebih berat. (Schaeffer,
2016)
2.4. Patofisiologi
dan virulensi dari bakteri penyebab. Faktor etiologi diatas yang mejadi jalur
masuk bakteri ke daerah perineum. Daya tahan tubuh yang rendah akan menjadi
terjadinya infeksi pada FG, dimana akan diproduksi beberapa enzim yang
menyebabkan infeksi pada daerah perineal dan genital antara lain Clostridium,
dan trombosis pada pembuluh-pembuluh darah kecil. Hal ini akan menyebabkan
aliran darah pada daerah tersebut akan menurun. Nutrisi dan oksigenasi yang
collagenase akan merusak fasia dan memerluas infeksi yang terjadi. (Singh, 2016)
akan menimbulkan iskemia dan proliferasi bakteri lanjutan. Infeksi dari fasia
bagian superfisial (Fasia Colles) akan menyebar ke penis dan skrotum melalui
Fasia Buck dan Fasia Dartos dan menyebar ke dinding abdomen melalui Fasia
Scarpa. (Tahmaz, 2006). Infeksi berat yang berlanjut dari lapisan fasia akan
menyerang daerah otot atau mionekrosis, meskipun hal ini jarang ditemukan.
Keterlibatan testis juga jarang ditemukan karena testis memiliki aliran darah
dengan kondisi seperti diabetes mellitus, alkoholisme, hipertensi, usia tua, HIV,
Beberapa faktor komorbid terjadinya FG antara lain obesitas, gagal ginjal kronik,
penyakit hati kronik, dan malignansi. Seluruh faktor resiko diatas memiliki prinsip
kemampuan tubuh dalam melindungi diri dari infeksi. Malnutrisi dan rendahnya
status sosio ekonomi juga merupakan faktor yang berhubungan dengan terjadinya
(Ferretti, 2017)
panjang, striktur uretra, dan gangguan daerah perianal. Pada pria, angka kejadian
menyebabkan penyebaran bakteri dari regio anorektal disertai trauma tumpul pada
area tersebut. Pada wanita, resiko FG meningkat pada kasus abortus septik, paska
histerektomi dan episiotomi, serta abses pada kelenjar bartholin dan vulva. Pada
hiperglikemia pada pasien memiliki efek detrimental pada kondisi imunitas host
dan berakibat pada terganggunya adherensi sel, proses kemotaksis dan fagositosis.
faktor komorbid terjadinya FG adalah HIV. Pada pasien HIV, retrovirus akan
2.6. Diagnosis
mendadak pada daerah skrotum, disertai demam diatas 380. Pada fase awal, hanya
Gejala lain yang dapat muncul antara lain bau yang berasal dari daerah
tempat infeksi, pembengkakan pada skrotum dengan eritema dan disertai dengan
purulensi atau discharge yang muncul dari luka, krepitasi dan fluktuasi. Penelitian
Rata-rata pasien muncul pada hari ke-3 sampai ke-5 setelah mengalami
gejala. Keterlibatan skrotum terjadi pada 93% kasus, sementara keterlibatan penis
terjadi pada 46.5% kasus. Krepitasi pada jaringan merupakan hal yang umum
Gambar 2.2. Edema skrotum dan eritema disertai batas tidak tegas pada
area inguinal kiri
antara lain:
2. Elektrolit, ureum, kreatinin, dan kadar gula darah untuk menunjukkan kondisi
yang disebut The Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis (LRINEC).
nekrotikans pada pasien dan skor diatas 8 merupakan prediktor kuat terjadinya
dijadikan indikator antara lain tingginya kadar serum kreatinin, laktat, kalsium
dan rendahnya kadar bikarbonat. Meningkatnya kadar kalsium dalam darah dapat
Tabel 2.1. The Laboratory Risk Indicator for Necrotizing Fasciitis (LRINEC)
Variabel Skor
pasien tertentu. Pemeriksaan seperti foto polos, CT dan MRI dapat membantu
perineum dan genitalia eksterna sampai ke daerah inguinal, paha dan bagian
ditandai adanya daerah dengan artefak echogenitas pada skrotum dan perineum.
Gambaran lain yang mungkin terlihat adalah dinding skrotum yang menebal dam
edema. USG dapat menjadi pilihan dalam membantu diagnosis karena memiliki
jaringan yang sakit dan sehat. Gambaran CT-Scan yang dapat terlihat antara lain
fasia. Peran utama dari CT-scan pada infeksi nekrosis jaringan lunak adalah untuk
ketersediaannya yang terbatas, serta waktu scanning yang lama. Namun pada
pandang yang lebih luas, memungkinkan penyebaran infeksi dapat diperiksa. (Lin,
2014)
2.7. Penatalaksanaan
drainase pus dan terapi antimikroba serta stabilisasi hemodinamik. Pasien dengan
(Roughmann, 2012)
mencegah penyebaran yang lebih lanjut dan menurunkan efek sistemik dari
antibiotik intraselular. Hal yang juga penting adalah memberikan terapi pada
gram negatif dan bakteri anaerob. Kombinasi antibiotik dapat dilakukan untuk
dianjurkan sebelum hasil kultur spesifik didapatkan. Kombinasi lain yang dapat
aminoglikosida. Pada kasus yang disebabkan oleh MSRA, antibiotik pilihan yang
daptomycine dan tigesiklin juga berguna pada kasus rawat inap yang sebelumnya
lebih baru ini memiliki distribusi yang lebih besar dan efek toksik pada ginjal
tripel terapi dapat digantikan pada kondisi tertentu dengan penggunaan antibiotik
Tindakan debridemen pada lesi dan drainase harus dilakukan segera dan
agresif, serta membuang sebanyak mungkin jaringan nekrosis yang ada. Apabila
jaringan nekrotik masih tersisa setelah operasi, hal ini akan menyebabkan nekrosis
yang lebih luas dan berbahaya. Pembedahan secara radikal akan membuang
Pada beberapa pasien, tindakan debridemen perlu dilakukan lebih dari satu
kali. Skor FGSI juga berhubungan dengan jumlah tindakan pembedahan yang
diperlukan. Rata-rata pada FG yang luas perlu dilakukan 3-4 kali tindakan
aspek kosmesis pasien dan menimbulkan masalah disfungsi seksual sehingga pelu
2011)
menggunakan kulit skrotum untuk mengganti perineum yang rusak. Daerah yang
dapat digunakan adalah sekitar 96 cm2. Semakin besar daerah defek, maka
semakin besar stress dan traksi pada jaringan, dan dapat menimbulkan komplikasi
pada graft. Traksi pada jaringan yang besar juga dapat menimbulkan nekrosis
pada tepi flap dan kegagalan flap. Apabila berhasil, teknik ini dapat memberikan
rekonstruksi skrotum dan perineal. Flap jaringan tersebut memiliki area yang luas
dan dapat digunakan apabila skin graft jumlahnya tidak adekuat. Literatur
menunjukkan flap tipe ini juga memiliki superioritas dalam hal fungsi dan
2003)
dengan cedera sfingter yang luas, dan pasien yang membutuhkan debridemen
menurunkan angka kolostomi dan graft, terutama pada kasus yang melibatkan
pasien yang tidak membutuhkan stoma adalah 7%, tetapi 38% pada pasien yang
membutuhkan stoma. Alat diversi rektum The flexi-weal fecal management system
adalah sebuah silikon kateter didesain untuk mengalihkan feses pada pasien
dengan diare, luka bakar, ataupun ulkus kulit. Alat ini melindungi luka dari
kontaminasi feses dan mengurangi dengan cara yang sama dengan kolostomi baik
itu resiko dari rusaknya kulit dan inokulasi berulang dengan flora usus besar.
Kontraindikasi formal adalah neoplasma rektal, cedera penetrasi rektum atau fistul.
(Unalt, 2008)
Madu memiliki pH yang rendah 3,6 dan mengandung enzim yang merusak
phenolic. Perubahan ini terjadi dalam 1 minggu setelah menggunakan madu pada
luka. Namun sayangnya belum ada studi yang mendukung efektifitas penggunaan
terapi lokal lain yang juga berguna. Penggunaan lem fibrin telah terbukti berguna
pada darah arteri dan jaringan dan terbukti berguna meliputi oksigenasi adekuat
bergantung pada oksigen. Beberapa efek samping, telah dijelaskan seperti reaksi
toksik pada susunan saraf pusat dan cedera barotrauma pada telinga tengah
(Korkut, 2003).
yang baik. Terapi hiperbarik oksigen sebagai terapi adjuvant dapat digunakan
dalam fase akut dan dapat mempercepat kesembuhan dari FG. (Mindrup, 2005).
defek kulit dan mempercepat penyembuhan luka. Hal ini bekerja dengan
pasca operasi serta memperbaiki luaran klinis. Meskipiun begitu, penelitian lebih
flap axial kaki, dan flap miokutaneous. Split thickness skin graft (STSG)
tampaknya merupakan terapi pilihan untuk mengobati defek perineal dan kulit
yang rentan terhadap infeksi gangrenosa, meskipun hal tersebut jarang terjadi. FG
dan keadaaan tersebut terjadi pada pasien dengan hipersensitifitas vaskulitis dan
yang didapatkan dari biopsi. Penting untuk membedakan pasien dengan vaskulitis
METODE PENELITIAN
lintang, retrospektif dengan melihat data sekunder dari rekam medis. Departemen
Penelitian ini dilakukan di RSUP Haji Adam Malik Medan dari 1 Januari
3.3.1. Populasi
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh pasien RSUP
Haji Adam Malik Medan yang di diagnosis dengan Fournier Gangren dari tanggal
3.3.2. Sampel
semua pasien yang di diagnosis dengan Fournier Gangren di IGD RSUP HAM.
24
Universitas Sumatera Utara
25
Keterangan :
N : Jumlah populasi
Q : 1-P
Dari rumus tersebut, didapatkan jumlah sampel yang diambil dalam penelitian ini
sebanyak 34 pasien.
3.3.2.1.Kriteria Inklusi
2. Data rekam medik yang lengkap meliputi identitas pasien, kondisi pasien saat
3.3.2.2.Kriteria Eksklusi
Kriteria Inklusi
Pasien Fournier Gangren di IGD RSUP
HAM pada periode tahun 1 Januari 2013
s.d. 31 Desember 2017
Data rekam medik yang lengkap
Kriteria Eksklusi
Subjek penelitian
Data yang diperoleh dari hasil rekapitulasi data rekam medis akan
dimasukkan kedalam tabel FGSI dan SFGSI dan diolah dengan menggunakan
3. Tabulasi, yaitu jawaban yang telah diberi kategori data kemudian dimasukkan
ke dalam tabel.
Operator Curve (ROC) untuk mendapatkan cut-off nilai skoring FGSI dan SFGSI.
Area Under the Curve (AUC) akan menunjukkan nilai-nilai optimal berdasarkan
HASIL PENELITIAN
menjadi sampel pada penelitian ini. Seluruh pasien berjenis kelamin laki-laki.
Penelitian ini mendapatkan rerata usia pada kelompok yang hidup adalah
60,4 (± 6,80) tahun sedangkan pada kelompok yang meninggal adalah 61,5
(±7,04) tahun Untuk lama rawatan, pada kelompok yang meninggal rerata lama
rawatannya adalah 6,3 (± 1,95) hari dan pada kelompok yang tetap hidup lama
menikah pada kedua kelompok (23.5% dan 52.9%), dengan komorbid infeksi
30
Universitas Sumatera Utara
31
Menderita Kematian
Dari data variabel yang terdapat pada tabel 4.3., dibedakan berdasarkan
yang hidup dan mengalami kematian, tidak terdapat perbedaan secara statistik.
Untuk temperatur, didapatkan rerata pada kelompok yang hidup adalah 37,85 (±
0,62) sedangkan pada kelompok yang meninggal adalah 37,87 (± 0,99) dengan
nilai P adalah 0,955. Selanjutnya adalah variabel denyut nadi dan frekuensi napas
secara berurutan nilai rerata dari kedua variabel pada kelompok yang hidup dan
kelompok yang meninggal adalah 89,38 (± 9,82) dan 89,40 (± 10,37); 25,17 (±
2,35) dan 26,20 (± 5,85) dan nilai P masing-masing secara berurutan adalah 0,995
dan 0,600. Untuk variabel serum natrium didapatkan rerata pada pasien yang
hidup adalah 134,38 (± 5,46) dan pasien yang meninggal adalah 134,90 (± 8,84)
dan tidak memiliki perbedaan secara statistik, ditandai dengan nilai P = 0,834.
Selanjutnya pada variabel serum kalium, rerata pada pasien yang hidup adalah
4,24 (± 0,66) dan pada pasien yang meninggal adalah 4,91 (± 1,01) serta dengan
nilai P = 0,077.
Serum kreatinin pada pasien yang hidup dan pasien yang meninggal secara
berturut-turut adalah 0,88 (0,61-2,20) dan 1,21 (0,46-7,00) dengan nilai P = 0,167.
Selanjutnya adalah serum hematokrit, dimana nilai pada pasien yang hidup adalah
29,20 (23,1-41,5) dan pada pasien yang meninggal adalah 26,1 (18,0-47,0) dan
didapatkan nilai P = 0,334. Untuk dua variabel terakhir yang dinilai pada
penelitian ini adalah serum sel darah putih dan serum bikarbonat. Untuk nilai
serum leukosit, secara berurutan antara kelompok yang hidup dan kelompok yang
serta didapatkan nilai P = 0,804. Pada variabel serum bikarbonat, kelompok yang
hidup memiliki rerata 25,32 (± 6,10) dan kelompok yang meninggal adalah 22,36
(± 11,60) dan tidak didapatkan perbedaan bermakna secara statistik dengan hasil
nilai P = 0,623.
4.3. Hubungan antara Nilai Fournier’s Gangrene Severity Index (FGSI) dan
Kematian
Pada penelitian ini mencoba untuk membandingkan nilai FGSI dan SFGSI
(FGSI) dan Simplified Fournier’s Gangrene Severity Index (SFGSI) dapat dilihat
Pada penelitian ini, didapatkan hasil nilai tengah dari FGSI adalah 4
dengan nilai paling rendah dari 0 hingga yang paling tinggi adalah 15, sedangkan
untuk nilai tengah SFGSI adalah 2 dengan nilai paling rendah adalah 0 dan yang
Severity Index (SFGSI), dimana nilai Area Under Curve (AUC) dari FGSI adalah
98,5% berbanding 92,5% pada SFGSI. Dari data penelitian ini, untuk skoring
FGSI, kami mendapatkan cut-off > 9 sehingga diperoleh nilai sensitivitas 90% dan
nilai spesifisitas 95,8%. Sedangkan pada skoring SFGSI, kami memperoleh cut-
off > 2 dan didapatkan nilai sensitivitas yang lebih rendah dibandingkan FGSI,
Gambar 4.1. Kurva ROC untuk FGSI dan SFGSI terhadap mortalitas
Terdapat hubungan yang bermakna antara skor FGSI dengan nilai cut-off
sebesar > 9 terhadap ≤ 9. Dimana terdapat 1 orang yang hidup berbanding 9 orang
yang meninggal pada kelompok dengan skor > 9. Sedangkan pada kelompok
dengan skor ≤ 9 adalah 23 orang yang hidup dan 1 orang yang meninggal.
skor SFGSI, didapatkan nilai cut-off sebesar > 2 terhadap ≤ 2. Terdapat 2 orang
yang hidup pada skor SFGSI sebesar > 2 berbanding 8 orang yang meninggal.
PEMBAHASAN
ditandai dengan necrotizing fasciitis dari regio perineal dan genitalia akibat dari
rentang usia dekade ketiga hingga keenam, akan tetapi tetap dapat ditemukan pada
2009). Penyakit ini dapat disebabkan oleh idiopatik, atau sekunder dari infeksi di
anorektal, urogenital, serta penyakit kulit termasuk yang diakibatkan oleh trauma
atau prosedur pembedahan lainnya (Eke, 2000). Beberapa faktor risiko yang
menurunkan daya tahan atau imunitas tubuh seperti keganasan atau infeksi HIV
emergensi untuk membuang jaringan yang sudah tidak vital, pemberian antibiotik
monitoring ketat secara klinis (Aridogan, 2012; Martinschek, 2012). Akan tetapi,
meskipun dengan prinsip tersebut, angka mortalitas dari penyakit ini tetaplah
tinggi, bervariasi yang terbanyak adalah antara 20% hingga 40% (Ecker, 2008;
36
Universitas Sumatera Utara
37
Pada penelitian ini, kami mendapatkan rata-rata usia pasien adalah 60,71
tahun (± 6,79) dengan usia paling muda adalah 45 tahun dan yang paling tua
serupa dengan penelitian ini. Pada penelitian Laor di tahun 1995 mendapatkan
nilai median usia adalah 61 tahun dengan usia paling muda 23 tahun dan yang
paling tua 90 tahun. Sedangkan penelitian dari Atakan di tahun 2002 mendapatkan
rerata usia lebih muda, yaitu 50,33 tahun (20-78). Untuk penelitian dari Aridogan,
nilai rerata yang didapatkan adalah 61,3 tahun bervariasi mulai 36 hingga 92
tahun. Dari beberapa studi ini, didapatkan bahwa Fournier’s Gangrene memiliki
sebaran usia penderita yang cukup luas, mulai dari 20 tahun hingga usia 92 tahun
Lama rawatan merupakan variabel lain yang dinilai pada penelitian ini,
dimana didapatkan rerata lama rawatan pasien yang hidup adalah 23,42 hari
menunjukkan hasil yang serupa. Ersay melaporkan bahwa lama rawatan pasien
yang hidup adalah 28 hari, sedangkan pasien yang meninggal adalah 8 hari. Uluğ
melaporkan lama rawatan pasien yang hidup lebih panjang, yaitu 31,54 hari;
sedangkan pasien yang meninggal adalah 12,8 hari. Penelitian lainnya melaporkan
lama rawatan pasien yang hidup adalah 29,6 hari berbanding 6,7 hari pada pasien
Temperatur tubuh pada penelitian ini antara yang hidup dan yang
juga ditemukan pada penelitian dari Lin et al pada tahun 2019. Pada penelitian
tersebut, rerata temperatur pasien yang hidup pada pasien dengan Fournier’s
adalah 37,3 (± 0,8) °C (Lin, 2019). Hasil yang sebanding didapatkan dari
penelitian ini, dimana pasien yang hidup memiliki rerata temperatur 37,85 (±
0,62) °C dan pada kelompok yang meninggal adalah 37,87 (± 0,99) °C. Hasil
serupa juga didapatkan pada penelitian Lin et al tahun 2014 (Lin, 2014).
perbedaan antara pasien yang memiliki luaran berupa kematian dan yang tetap
hidup secara berurutan 89,40 (± 10,37) x/menit dan 89,38 (± 9,82) x/menit. Hal
ini juga didapatkan pada penelitian lain (Lin, 2014; Lin, 2019). Demikian juga
untuk frekuensi napas, dimana pada penelitian ini didapatkan pada pasien yang
hidup memiliki rerata frekuensi napas 25,17 (± 2,35) x/menit sedangkan pada
pasien yang meninggal didapatkan frekuensi napas 26,20 (± 5,85) x/menit (Lin,
Untuk kadar elektrolit, pada penelitian ini mengukur serum natrium dan
kalium dimana tidak terdapat perbedaan antara kedua variabel ini. Serum natrium
dan serum kalium pada pasien yang meninggal memiliki nilai rata-rata sebesar
134,90 (± 8,84) mmol/L dan 4,91 (± 1,01) mmol/L secara berurutan. Sedangkan
untuk serum natrium dan serum kalium pada pasien yang hidup, didapatkan nilai
rata-rata 134,38 (± 5,46) mmol/L dan 4,24 (± 0,66) mmol/L. Penelitian Lin pada
tahun 2014 dan 2019 mendukung penemuan ini, dimana tidak terdapat perbedaan
bermakna dari kedua variabel elektrolit ini di dalam pasien yang meninggal dan
yang hidup pada kasus Fournier’s Gangrene (Lin, 2014; Lin, 2019). Sedangkan
Tenório pada 2018 menemukan perbedaan bermakna dari serum kalium antara
pasien yang meninggal dengan yang hidup, dimana pasien yang hidup memiliki
Akan tetapi, pada komponen serum kreatinin, pada penelitian ini tidak
mengalami luaran berupa kematian dan yang tetap hidup. Sedangkan pada
kreatinin pada pasien yang meninggal dengan yang hidup dimana pasien yang
meninggal memiliki rerata serum kreatinin yang lebih tinggi dibandingkan dengan
pasien yang hidup. Pada penelitian tersebut, rerata serum kreatinin pasien yang
meninggal adalah 1,72 (± 1,16) mg/dL dan pada penelitian ini didapatkan nilai
median 1,21 (0,46-7,00) mg/dL. Tenório menemukan pada pasien yang hidup,
memiliki rerata serum kreatinin sebesar 0,95 (± 0,55) mg/dL sedangkan pada
penelitian kami, didapatkan nilai median 0,88 (0,61-2,20) mg/dL. Nilai P pada
penelitian Tenório untuk variabel ini adalah 0,001 sedangkan pada penelitan kami
adalah 0,167 (Tenório, 2018). Hasil yang serupa dengan penelitian kami
ditemukan pada penelitian dari Lin di tahun 2019 dimana rerata pasien yang
meninggal dan pasien yang hidup secara berurutan adalah 3,5 ± 3,3 dan 4,1 ± 2,4
mg/dL dengan nilai P = 0,208 (Lin, 2019). Sedangkan pada penelitian sebelumnya
di tahun 2014, Lin mendapatkan perbedaan bermakna antara serum kreatinin pada
pasien yang hidup adalah 1,4 ± 0,9 mg/dL dan pada pasien yang meninggal adalah
menemukan perbedaan yang tidak signifikan antara kadar hematokrit pada pasien
yang meninggal dengan yang tetap hidup dengan nilai rerata masing-masing
adalah 29,2 (± 7,5) % dan 32,6 (± 7,5) % secara berturut-turut dengan nilai P =
0,198 (Lin, 2019). Hal yang sama ditemukan pada penelitian kami, dimana nilai
tengah pada pasien yang hidup adalah 29,20 (23,1-41,5) % dan pada yang
bertentangan didapatkan pada penelitian dari Tenório pada tahun 2018 dan Lin
pada tahun 2014. Pada kedua penelitian tersebut, mendapatkan perbedaan yang
bermakna secara statistik pada variabel serum hematokrit dengan nilai P keduanya
tetap hidup dan yang meninggal pada penelitian ini adalah 13.024,92 (± 5.233,55)
/mm3 dan 13.507,00 (± 4.829,84) /mm3 serta nilai P = 0,804 sehingga tidak
bermakna secara statistik. Hal yang sama didapatkan pada penelitian Lin di tahun
2014 dan di tahun 2018. Pada penelitian Lin di tahun 2014, memiliki nilai rerata
pada pasien yang hidup adalah 18,0 (± 10,2) /mm 3 berbanding 17,3 (± 9,3) /mm3
dengan nilai P = 0,822. Untuk penelitian Lin di tahun 2019, pada pasien yang
hidup memiliki rerata 19,4 (± 8,1) /mm3 dan yang meninggal 17,2 (± 5,8) /mm3
Severity Index (FGSI) adalah serum bikarbonat. Pada penelitian kami didapatkan
nilai bikarbonat pasien yang hidup adalah 25,32 (± 6,10) mEq/L berbanding
pasien yang meninggal 22,36 (± 11,60) mEq/L dan nilai P = 0,623. Hal ini
didukung oleh penelitian Lin 2014 dan 2019, dimana pada kedua penelitian
studi mendapatkan nilai cut-off > 9 dengan nilai sensitivitas dan spesifisitas
berkisar antara 71-88 % dan 78-90% secara berurutan (Corcoran, 2008; Laor,
1995; Yeniyol, 2004). Sedangkan pada studi dari Yilmazlar pada tahun 2010
memiliki nilai cut-off > 10 dan mendapatkan nilai sensitivitas dan spesifisitas 65%
dan 100%. Satu studi lain dari Roghmann pada tahun 2012 mendapatkan nilai
batas > 3 serta mendapatkan sensitivitas 77% dan spesifisitas 70% (Roghmann,
2012). Pada penelitian kami, didapatkan nilai cut-off sebesar > 9 dan mendapatkan
penelitian ini didapatkan nilai cut-off sebesar > 2 dengan nilai sensitivitas 80%
dan nilai spesifisitas 91,7%. Penelitian dari Lin pada tahun 2014 juga memiliki
nilai cut-off >2 dan mendapatkan sensitivitas 87% dan spesifisitas 77% (Lin,
penelitian selanjutnya untuk menguji nilai sensitivitas dan spesifisitas pada pasien
6.1. Kesimpulan
umumnya lebih lama pada pasien yang hidup dibandingkan dengan pasien
yang meninggal.
3. Hasil Fournier Gangrene Severity Index (FGSI) yang lebih tinggi (>9)
prognosis lain dalam kasus Fournier gangrene dan memiliki hasil yang cukup
baik, yaitu dengan sensitivitas sebesar 80% dan spesifisitas sebesar 91,7%.
6.2. Saran
penggunaan FGSI dan SFGSI sebagai faktor prognostic pada kasus Fournier
gangrene.
43
Universitas Sumatera Utara
DAFTAR PUSTAKA
CemEray, I., Alabaz, O., Akcam, A.T., Ulku, A. et al. Comparison of Diverting
Colostomy and Bowel Management Catheter Application in Fournier
Gangrene Requiring Fecal Diversion. Indian J Surg. 2005. Springer.
Chen SY, Fu JP, Chen TM, Chen SG. Reconstruction of scrotal and perineal
defects in Fournier's gangrene. J Plast Reconstr Aesthet Surg, 2011; 64:528-
34.
Czymek, R., Schmidt, A., Eckmann, C., et al. Fournier Gangrene : Vacuum-
Assisted Closure vs Conventional Dressing. The Americal Journal of
Surgery. 2009. Elsevier.
Ferretti, M., Saji, A. A., Phillips, J., Fournier’s Gangrene: A Review and Outcome
Comparison from 2009 to 2016. Wound Healing Society. 2017.
Laor E, Palmer LS, Tolia BM, Reid RE, Winter HI. Outcome prediction in
patients with Fournier's gangrene. J Urol. 1995 Jul;154(1):89-92.
44
Universitas Sumatera Utara
45
Lin TY, Ou CH, Tzai TS, Tong YC, Chang CC, Cheng HL, et al. Validation and
simplication of Fournier’s gangrene severity index. Int J Urol. 2014;21:696-
701.
Maguina P, Palmieri TL, Greenhalgh DG. Split thickness skin grafting for
recreation of the scrotum following Fournier's gangrene. Burns. 2003;
29:857-62.
Nisbet AA, Thompson IM. Impact of diabetes mellitus on the presentation and
outcomes of Fournier's gangrene. Urology. 2002; 60:775-9.
Tenario, C. E. L., Lima, S. V. C., Risk factors for mortality in fournier’s gangrene
in a general hospital: use of simplifed founier gangrene severe index. Int
Braz J urol. 2018; 44: 95-101.
Tuncel, A., Aydin, O., Tekdogan, O., Nalcacioglu, V., Capar, V., Atan, A., .
Fournier’s Gangrene: Three Years of Experience with 20 Patients and
Validity of the Fournier’s Gangrene Severity Index Score. European
Association of Urology. 2006.
Wong CH, Khin LW, Heng KS, et al. The LRINEC (Laboratory Risk Indicator
for Necrotizing Fasciitis) score: a tool for distinguish- ing necrotizing
fasciitis from other soft tissue infections. Crit Care Med. 2004; 32:1535-41.
Wroblewska, M., Kuzaka, B., Borkowski, T., Kuzaka, P., Kawecki, D.. Fournier’s
Gangrene – Current Concepts. Polish Journal of Microbiology. 2014.