Anda di halaman 1dari 21

MAKALAH KRIMINOLOGI

“PERKEMBANGAN KRIMINOLOGI”

Disusun Oleh :

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
tuntunanNya, sehingga kita semua dapat dikuatkan untuk menjalani hari – hari hidup kita dan
melaksanakan segala aktivitas kita semua dengan baik serta dengan tubuh, sehat serta
diberkati. Walaupun kegiatan serta perkuliahan sedikit terhambat dikarenakan Pandemi virus
Covid-19, Penulis bersyukur karena aktivitas perkuliahan dapat dilaksanakan secara Online.
Penulis bersyukur karena dapat menyelesaikan penulisan tugas makalah mata kuliah
Kriminologi dengan baik. Penulis menyampaikan terima kasih kepada seluruh pihak yang
membantu dalam penyelesaian makalah ini
Penulis menyadari bahwa makalah ini belum dapat dikatakan sempurna, dikarenakan
materi – materi yang terdapat dalam makalah ini berdasarkan kajian – kajian yang dibaca dari
berbagai sumber yang perlu disempurnakan, namun penulis berharap makalah ini sudah bisa
menjadi dasar – dasar pemahaman dan sebagai pengantar materi pada mata kuliah
Kriminologi sebelum mempelajari lebih jauh lagi tentang mata kuliah ini.
Kritik dan saran sangatlah dibutuhkan oleh penulis, bilamana ditemukan pada materi
ini sebuah kesalahan kata, atau apapun itu yang mungkin kurang berkenan di mata pembaca,
penulis meminta maaf dengan sepenuh hati dan akan segera memperbaiki makalah ini
sebagaimana mestinya sesuai petunjuk yang diharapkan. Terima Kasih

Cirebon, 18 Oktober 2021


Penulis,

Ibnu Khairull Hikam

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................................. i

DAFTAR ISI ........................................................................................................................... ii

BAB I: PENDAHULUAN .......................................................................................................

A. Latar Belakang ........................................................................................................


B. Rumusan Masalah ....................................................................................................

BAB II: PEMBAHASAN .........................................................................................................

A. Perspektif Klasik .....................................................................................................


B. Prespektif di Abad ke 19.........................................................................................
C. Sociological Criminology ........................................................................................
D. Pandangan The Chicago School..............................................................................
E. Perspektif Konflik ...................................................................................................
F. Perspektif Kontemporer .........................................................................................

BAB III: PENUTUP ..................................................................................................................


Kesimpulan ..................................................................................................................................

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................

BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Di masa globalisasi ini dan dalam perkembangan teknologi dan komunikasi ini, telah
menyebabkan perubahan dalam masyarakat. Begitu juga dengan ilmu Kriminologi yang
adalah bagian yang tidak dapat terpisahkan dari hukum pidana mengalami perkembangan
dalam masyarakat dan telus menerus mengalami perkembangan yang cukup signifikan
seiring berkembangnya masyarakat. Adapun faktor yang mempengaruhi terjadinya
perkembangan ilmu ini adalah pengaruh kehudupan sosial ekonomi dalam masyarakat,
terlebih pada masa krisis seperti ini akibat pandemi covid-19 yang menyebabkan orang –
orang sulit untuk melakukan perkerjaan sehari – hari sehingga dalam rangka memenuhi
kebutuhan hidup mereka yang sudah tidak mendapatkan gaji atau penghasilan tetap berusaha
untuk berjuang mempertahankan hidup dengan cara apapun, termasuk juga melakukan
tindakan pidana yaitu kejahatan yang pada masa ini sedang marak – maraknya terjadi.
Meskipun dengan motif dan tindakan kejahatan yang berbeda – beda, tapi oleh karena
pandemi covid – 19 ini maka menjadi salah satu pematik terjadinya berbagai macam
tindakan kejahatan.

Kriminologi sebagai ilmu sosial terus mengalami perkembangan dan peningkatan.


Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus
mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya
serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain
sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami
perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-
permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.

Berkembangnya studi yang dilakukan secara ilmiah mengenai tingkah laku manusia
memberikan dampak kepada berkurangnya perhatian para pakar kriminologi terhadap
hubungan antara hukum dan organisasi kemasyarakatan. Kemunculan aliran positif
mengarahkan para pakar kriminologi untuk lebih menaruh perhatian kepada pemahaman
tentang pelaku kejahatan (penjahat) daripada sifat dan karakteristik kejahatan, asal mula
hukum serta dampak-dampaknya. Perhatian terhadap hubungan hukum dengan organisasi
kemasyarakat muncul kembali pada pertengahan abad 20, karena hukum mulai dianggap
memiliki peranan penting dalam menentukan sifat dan karaktersitik suatu kejahatan. Para
pakar kriminologi berkeyakinan bahwa pandangan atau perspektif seseorang terhadap
hubungan antara hukum dan masyarakat memberikan pengaruh yang penting dalam
penyelidikan-penyelidikan yang bersifat kriminologis.

B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut
1. Perkembangan Kriminologi dalam Perspektif Klasik
2. Perkembangan Kriminologi dalam Prespektif di Abad 19
3. Perkembangan Kriminologi dalam Perspektif Sociological Criminology
4. Perkembangan Kriminologi dalam Pandangan The Chicago School
5. Perkembangan Kriminologi dalam Perspektif Konflik
6. Perkembangan Kriminologi dalam Perspektif Kontemporer
BAB II
PEMBAHASAN

1. Perkembangan Kriminologi Dalam Perspektif Klasik


Aliran ini, dengan Doctrine of free will nya, mendasarkan pada filsafat hedonistis yang
memandang bahwa manusia mempunyai kebebasan memilih perbuatan yang dapat
memberikan kebahagiaan dan menghindari perbuatan-perbuatan yang akan memberikan
penderitaan. Menurut Beccaria, setiap orang yang melanggar hukum telah memperhitungkan
rasa sakit yang diperoleh dari perbuatan tersebut. Beccaria, dalam kritiknya, pada intinya
adalah menentang terhadap hukum pidana, hukum acara pidana dan sistem penghukuman.
Landasan dari Aliran Kriminologi Klasik ini adalah bahwa individu dilahirkan bebas dengan
kehendak bebas (free will). Aliran Klasik berpandangan bahwa setiap orang yang melanggar
undang-undang tertentu harus menerima hukuman yang sama tanpa mengingat umur,
kesehatan jiwa, kaya, miskin, posisi sosial atau keadaan lainnya. Hukuman harus dijatuhkan
secara berat, akan tetapi proporsional, serta untuk atau dimaksudkan memperbaiki pribadi si
penjahat. Berdasarkan pemikiran di atas, Beccaria menuntut adanya persamaan di depan
hukum bagi semua orang dan keadilan dalam menerapkan sanksi.

Aliran klasik merupakan label umum untuk kelompok pemikir tentang kejahatan dan
hukuman pada abad 18 dan awal abad 19. Anggota paling menonjol dari kelompok pemikir
tersebut antara lain Cesare Beccaria dan Jeremy Bentham. Dua pemikir ini mempunyai
gagasan yang sama, bahwa perilaku kriminal bersumber dari sifat dasar manusia sebagai
mahkluk hedonistic sekaligus rasional. Hedonistik, karena manusia cenderung bertindak demi
kepentingan diri sendiri. Sedangkan rasional, karena mampu memperhitungkan untung rugi
dari perbuatan tersebut bagi dirinya menurut aliran klasik ini, seorang individu tidak hanya
hedonis tetapi juga rasional, dan dengan demikian selalu mengkalkulasi untung rugi dari
setiap perbuatannya termasuk jika melakukan kejahatan. Kemampuan ini memberikan
mereka tingkat kebebasan tertentudalam memilih tindakan yang akan diambil apakah
melakukan kejahatan atau tidak. Sementara itu, Jeremy Bentham melihat suatu prindip baru
yaitu utilitarian yang menyatakan bahwa suatu perbuatan tidak dinilai dengan sustem
irrasional yang absolute, akan tetapi melalui prinsip-prinsip yang dapat di ukur. Bentham
menyatakan bahwa hukum pidana jangan dijadikan sarana pembalasan tetapi untuk mencegah
kejahatan.

Aliran pemikiran ini mendasarkan pada pandangan bahwa intelegensi dan rasionalitas
merupakan ciri fundamental manusia dan menjadi dasar bagi penjelasan perilaku manusia,
baik yang bersifat perorangan maupun yang bersifat kelompok. Intelegensi membuat manusia
mampu mengarahkan dirinya sendiri, dalam arti dia adalah penguasa dari nasibnya,
pemimpin dari jiwanya, makhluk yang mampu memahami dirinya dan berindak untuk
mencapai kepentingan dan kehendaknya. Ini merupakan kerangka pemikiran dari semua
pemikiran klasik seperti dalam filsafat, pesikologi, politik, hukum dan ekonomi. dalam
konsep yang demikian maka masyarakat dibentuk sebagaimana adanya sesuai dengan pola
yang dikehendakinya. Kunci kemajuan menurut pemikiran ini adalah kemampuan kecerdasan
atau akal yang dapat ditingkatkan melalui latihan dan pendidikan, sehingga manusia mampu
mengontrol dirinya sendiri baik sebagai individu maupun sebagai suatu masyarakat. Di dalam
kerangka pemikiran ini, lazimnya kejahatan dan penjahat dilfliat dari semata - mata dari
batasan undang-undang. Kejahatan didefinisikan sebagai setiap pelanggaran terhadap
perbuatan yang dilarang undang-undang pidana, penjahat adalah setiap orang yang
melakukan kejahatan. Kejahatan dipandang sebagai hasil pilihan bebas dari individu dalam
menilai untung ruginya melakukan kejahatan. Oleh karena itu secara rasional tanggapan yang
diberikan oleh masyarakat terhadap hal ini adalah dengan meningkatkan kerugian yang harus
dibayar dan menurunkan keuntungan yang diperoleh dari kejahatan agar orang-orang tidak
memilih untuk melakukan kejahatan. Dalam hubungan ini maka tugas kriminologi adalah
untuk membuat pola dan menguji sistem hukuman yang dapat meminimalkan terjadinya
kejahatan.

Dengan demikian mengarahkan pada persoalan penjeraan, baik yang bersifat teoritis
maupun yang bersifat studi empirik dalam mengukur seberapa jauh perbedaan dalam isi
undang-undang atau pelaksanaan hukuman mempengaruhi terjadinya kejahatan. Termasuk
dalam lingkup ini adalah penologi. Dalam leteratur kriminologi, pemikiran klasik (dan neo
klasik) maupun positive dan mencoba berbuat sesuatu terhadap kejahatan. Nama yang sangat
terkenal yang dihubungkan dengan mashab klasik adalah Cesare Beccaria (1738 --1794).

2. Perkembangan Kriminologi dalam Perspeketif Abad 19


Aliran modern atau aliran positif mucul pada abad ke-19 yang bertitik tolak pada faham
determinisme tentang manusia. Faham ini menggantikan doktrin kebebasan berkehendak (the
doctrine of free will). Bagi aliran positif, manusia dipandang tidak mempunyai kebebasan
berkehendak, tetapi dipengaruhi oleh kondisi internal dan eksternal manusia itu sendiri. Ada
tiga segmen teori dalam aliran positif. Pertama, segemen yang bersifat biologis pemikiran
Lambrosian mengenai cirri fisik penjahat. Kedua, segmen yang bersifat psikologis antara lain
tentang psychological factors antara lain neuroticism, psychoticism, psychopathic yang
menyebabkan seseorang cendrung melakukan kejahatan. Ketiga, segmen social positivism
sperti terdapat pada pemikiran Adolphe Quetelet, Rawson, Henry Mayhew, dan Durkheim
mengenai societal factors antara lain proverti, membership of subcultures, low level of
education, crowded cities, distribution of wealth sebagai factor pendorong terjadinya
kejahatan. Mengenai penghukuman, aliran ini menganjurkan agar pelaku tidak perlu
dihukum, sebab ia hanyalah korban keadaan yang berada diluar kontrolnya sebagai individu.
Langkah yang lebih strategis adalah, melakukan pembenahan sistem lingkungan (social,
ekonomi, budaya, politik) secara holistic. Di samping itu, melakukan terapi khusus terhadap
pelaku yang bermasalah terhadap psikologis dan biologis. Pelopor aliran positivitis adalah
Cesare Lmbrosso (1835-1909), yaitu seorang dokter dari italia yang mendapat julukan bapak
kriminologi modern melalui teorinya yang terkenal yaitu Born Criminal. Teori Born
Criminal dilandasi oleh teori evolusi dari Darwin. Dengan teorinya tersebut Lambrosso
membantah mengenai “free will” yang menjadi dasar aliran klasik dan mengajukan konsep
determinisme. Inti dari ajaran Lambrosso (Indah Sri Utami 2012:67) yaitu;
3. 1) penjahat adalah orang yang memiliki bakat jahat;
4. 2) bakat jahat tersebut diperoleh dari kelahiran (born criminal);
5. 3) bakat jahat dapat dilihat dari cirri-ciri biologis (atavistic stigmata);
6. Lanjut Lambrosso (Indah Sri Utami 2012: 67) mengemukakan bahwa:
7. Seperti dahi yang sempit dan melengkung kebelakang, rahang yang besar dan gigi
taring tajam, berbadan tegap, tangan lebih panjang; bibir tebal, hidung tidak mancung,
dan lain sebagainya.

3. Perspektif Sosiologis Kriminologi


Dalam kriminologi ajaran yang paling banak melahirkan variasi – variasi dan perbedaan analisa dari
sebab musabab kejahatan. Pokok pangkal dari ajaran ini adalah bahwa kelakuan – kelakuan jahat
daihasilkan dan proses – proses yang sama dengan kelakuan – kelakuan sosial lainnya. Pada
umumnya analisa proses yang menghubungkan kejahatan dan perilaku sosial ada 2 bentuk yaitu :
7. Annalisa yang menghubungkan kejahatan dengan organisasi sosial yang termasuk
didalamnya pada sistem – sistem institusi yang lebih luas.
8. Analisa yang menghubungkan proses – proses seperti social learning dan
menggunakan konsep – konsep seperti imitasi,altitude value, differential assosiation,
kompensasi dan frustasi aggression.
Aliran sosiologis sebenarnya merupakan pengembangan dari ajaran Enrico Ferri, yang mengatakan
bahwa setiap kejahatan adalah hasil dari unsur-unsur yang terdapat dalam individu, masyarakat, dan
keadaan fisik. Aliran ini berpendapat bahwa “Crime as a function of social environtment ... That
criminal behavior results from the same processes as other social behaviour”. Maka dengan demikian
menurut aliran ini, proses terjadinya tingkah laku jahat tidaklah berbeda dengan tingkah laku lainnya,
termasuk tingkah laku yang baik.

4. Perkembangan Kriminologi dalam Pandangan The Chicago School


Pada dasarnya, teori kontrol berusaha mencari jawaban mengapa orang melakukan
kejahatan. Berbeda dengan teori lain, teori kontrol tidak lagi mempertanyakan mengapa
orang melakukan kejahatan tetapi berorientasi kepada pertanyaan mengapa tidak semua orang
melanggar hukum atau mengapa orang taat kepada hukum. Ditinjau dari akibatnya,
pemunculan teori kontrol disebabkan tiga ragam perkembangan dalam kriminologi. Pertama,
adanya reaksi terhadap orientasi labeling dan konflik yang kembali menyelidiki tingkah laku
kriminal. Kriminologi konservatif
(sebagaimana teori ini berpijak) kucang menyukai “kriminologi baru” atau “new
criminology” dan hendak kembali kepada subyek semula, yaitu penjahat (criminal). Kedua,
munculnya studi tentang “criminal justice” dimana sebagai suatu ilmu baru telah
mempengaruhi kriminologi menjadi lebih pragmatis dan berorientasi pada sistem. Ketiga,
teori kontrol social telah dikaitkan dengan suatu teknik penelitian baru, khususnya bagi
tingkah laku anak/remaja, yakni selfreport survey. Perkembangan berikutnya, selama tahun
1950-an beberapa teorisi mempergunakan pendekatan teori kontrol terhadap kenakalan
remaja.
Pada tahun 1951, Albert J. Reiss, Jr menggabungkan konsep kepribadian dan sosialisasi
dengan hasil penelitian dari aliran Chicago dan menghasilkan teori kontrol sosial. Menurut
Reiss, terdapat tiga komponen kontrol social dalam menjelaskan kenakalan remaja, yaitu :
1. A lack of proper internal controls developed during childhood
(kurangnya kontrol internal yang memadai selama masa anak-anak).
2. A breakdown of those internal controls (hilangnya kontrol internal).
3. An absence of or conflict in social rules provided by important social
group (the family, close other, the school) (tidak adanya norma-norma sosial atau konflik
antara norma-norma dimaksud di keluarga, lingkungan dekat, sekolah).
Selanjutnya, Albert J. Reiss, Jr membedakan dua macam kontrol, yaitu personal control dan
sosial control. Personal control adalah kemampuan seseorang untuk menahan diri agar tidak
mencapai kebutuhannya dengan cara melanggar norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Sedangkan social control adalah kemampuan kelompok social atau lembaga-lembaga di
masyarakat melaksanakan norma-norma atau peraturan-peraturan menjadi efektif. Pada tahun
1957, Jackson Toby memperkenalkan pengertian “Commitment” individu sebagai kekuatan
yang sangat menentukan dalam membentuk sikap kontrol sosial. Kemudian, Scot Briar dan
Irvine Piliavian menyatakan bahwa peningkatan komitmen individu dan adaptasi/
penyesuaian diri memegang peranan dalam mengurangi penyimpangan. Pendekatan lain
digunakan Walter Reckless (1961) dengan bantuan rekannya Simon Dinitz. Walter Walter
Reckless menyampaikan Contaiment Theory yang menjelaskan bahwa kenakalan remaja
merupakan hasil (akibat) dari interelasi antara dua bentuk kontrol,
yaitu internal (inner) dan eksternal (outer). Menurut Walter Reckless, contaiment internal
dan eksternal memiliki posisi netral, berada dalam tarikan sosial (social pull) lingkungan dan
dorongan dari dalam individu. F. Ivan Nye dalam tulisannya yang berjudul Family
Relationsip and Delinquent Behavior (1958),28 mengemukakan teori kontrol tidak sebagai
suatu penjelasan umum tentang kejahatan melainkan penjelasan yang bersifat kasuistis. F.
Ivan Nye pada hakikatnya tidak menolak adanya unsur-unsur psikologis, di samping unsur
subkultur dalam proses
terjadinya kejahatan. Sebagian kasus delinkuen, menurut F. Ivan Nye disebabkan gabungan
antara hasil proses belajar dan kontrol sosial yang tidak efektif.
Kejahatan atau delinkuen dilakukan oleh keluarga, karena keluarga merupakan tempat
terjadinya pembentukan kepribadian, internalisasi, orang belajar baik dan buruk dari
keluarga. “Apabila internal dan eksternal kontrol lemah, alternatif untuk mencapai tujuan
terbatas, maka terjadilah delinkuen,” hal ini merupakan sesuatu yang jarang terjadi. Menurut
F. Ivan Nye manusia diberi kendali supaya tidak melakukan pelanggaran, karena itu proses
sosialisasi yang adequat (memadai) akan mengurangi terjadinya delinkuensi. Sebab, di
sinilah dilakukan proses pendidikan
terhadap seseorang yang diajari untuk melakukan pengekangan keinginan (impulse). Di
samping itu, faktor internal dan eksternal kontrol harus kuat, juga dengan ketaatan terhadap
hukum (law-abiding). Asumsi teori kontrol yang dikemukakan F. Ivan Nye terdiri dari :
a. harus ada kontrol internal maupun eksternal;
b. manusia diberikan kaidah-kaidah supaya tidak melakukan pelanggaran ;
c. pentingnya proses sosialisasi bahwa ada sosialisasi yang adequat
(memadai), akan mengurangi terjadinya delinkuen, karena di situlah
dilakukan proses pendidikan terhadap seseorang ; dan
d. diharapkan remaja mentaati hukum (law abiding). Menurut F. Ivan Nye terdapat empat
tipe kontrol sosial, yaitu :
a. direct control imposed from without by means of restriction and punishment (kontrol
langsung yang diberikan tanpa mempergunakan alat pembatas dan hukum) ;
b. internalized control exercised from within through conscience (kontrol internalisasi yang
dilakukan dari dalam diri secara sadar) ;
c. indirect control related to affectional identification with parent and
other non-criminal persons, (kontrol tidak langunsung yang berhubungan dengan pengenalan
(identifikasi) yang berpengaruh dengan orang tua dan orang-orang yang bukan pelaku
kriminal lainnya) ; dan
d. availability of alternative to goal and values (ketersediaan saranasarana
dan nilai-nilai alternatif untuk mencapai tujuan).
Konsep kontrol eksternal menjadi dominan setelah David Matza dan Gresham Sykes
melakukan kritik terhadap teori subkultur dari Albert Cohen. Kritik tersebut menegaskan
bahwa kenakalan remaja, sekalipun dilakukan oleh mereka yang berasal dari strata sosial
rendah, terikat pada sistem-sistem nilai dominan di dalam masyarakat. Kemudian, David
Matza dan Gresham Sykes mengemukakan konsep atau teori yang dikenal dengan
technique of netralization, yaitu suatu teknik yang memberikan kesempatan bagi seorang
individu untuk melonggarkan keterikatannya dengan sistem nilai-nilai yang dominan
sehingga bebas untuk melakukan kenakalan.
Teknik netralisasi ini dirinci David Matza dan Gresham Sykes, sebagai berikut :
1. Teknik yang disebut denial of responsibility, menunjuk pada suatu
anggapan di kalangan remaja nakal yang menyatakan bahwa dirinya

merupakan korban dari orang tua yang tidak kasih, lingkungan pergaulan yang buruk atau
berasal dari tempat tinggal kumuh (slum).
2. Teknik denial of injury, menunjuk kepada suatu alasan di kalangan remaja nakal bahwa
tingkah laku mereka sesungguhnya tidak merupakan suatu bahaya yang besar/berarti.
Sehingga, mereka beranggapan bahwa vandalisme merupakan kelalaian semata-mata dan
mencuri mobil sesungguhnya meminjam mobil, perkelahian antara gang merupakan
pertengkaran biasa.
3. Teknik denial of the victim, menunjuk kepada suatu keyakinan diri pada remaja nakal
bahwa mereka adalah pahlawan sedangkan korban justru dipandang sebagai mereka yang
melakukan kejahatan.
4. Teknik yang disebut condemnation of the comdemners, menunjuk kepada suatu anggapan
bahwa polisi sebagai hipokrit, munafik atau pelaku kejahatan terselubung yang melakukan
kesalahan atau memiliki perasaan tidak senang pada mereka. Pengaruh teknik ini adalah
mengubah subyek yang menjadi pusat perhatian, berpaling dari perbuatan-perbuatan
kejahatan yang telah dilakukannya.
5. Teknik appeal to higher loyalties, menunjuk pada suatu anggapan di kalangan remaja
nakal bahwa mereka tertangkap di antara tuntutan masyarakat, hukum dan kehendak
kelompok mereka. Kelima teknik netralisasi di atas menurut David Matza (1964), yang
kemudian ditegaskan sebagai penyimpangan atas apa yang disebut
sebagai bond to moral order, mengakibatkan seseorang terjerumus dalam keadaan dimana
kenakalan remaja atau penyimpangan tingkah laku sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Versi
teori sosial yang paling andal dan sangat populer dikemukakan Travis Hirschi (1969).
Hirschi, dengan keahlian merevisi teori-teori sebelumnya tentang kontrol sosial, telah
memberikan suatu gambaran jelas mengenai konsep social bond. Travis Hirschi sependapat
dengan Durkheim dan yakin bahwa tingkah laku seseorang mencerminkan pelbagai ragam
pandangan tentang kesusilaan/morality. Travis Hirschi berpendapat bahwa seseorang bebas
untuk melakukan kejahatan atau penyimpangan tingkah lakunya. Selain menggunakan teknik
netralisasi untuk menjelaskan tingkah laku dimaksud, Travis Travis Hirschi juga
menegaskan bahwa tingkah laku tersebut diakibatkan oleh tidak adanya keterikatan atau
kurangnya keterikatan (moral) pelaku terhadap masyarakat. Teori kontrol atau sering juga
disebut dengan Teori Kontrol Sosial berangkat dari suatu asumsi atau
anggapan bahwa individu di masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama
kemungkinannya, menjadi “baik” atau “jahat”. Baik jahatnya seseorang sepenuhnya
tergantung pada masyarakatnya. Ia menjadi baik kalau masyarakatnya membuatnya
demikian, pun ia menjadi jahat apabila masyarakat membuatnya begitu. Pertanyaan dasar
yang dilontarkan paham ini berkaitan dengan unsur-unsur pencegah yang mampu menangkal
timbulnya perilaku delinkuen di kalangan anggota masyarakat, utamanya para remaja,
“mengapa kita patuh dan taat pada norma-norma masyarakat”
atau “mengapa kita tidak melakukan penyimpangan?” Menurut Travis Hirschi, terdapat
empat elemen ikatan sosial (social bond) dalam setiap masyarakat. Pertama, Attachment
adalah kemampuan manusia untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Kalau attachment
ini sudah terbentuk, maka orang tersebut akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak
orang lain. Kaitan attachment dengan penyimpangan adalah sejauh mana orang tersebut peka
terhadap pikiran, perasaan dan kehendak orang lain sehingga ia dapat dengan bebas
melakukan penyimpangan. Attachment sering diartikan secara bebas dengan keterikatan.
Ikatan pertama yaitu keterikatan dengan orang tua, keterikatan dengan sekolah (guru) dan
keterikatan dengan teman sebaya. Kedua, Commitment adalah keterikatan seseorang pada
subsistem konvensional seperti sekolah, pekerjaan, organisasi dan sebagainya. Komitmen
merupakan aspek rasional yang ada dalam ikatan sosial. Segala
kegiatan yang dilakukan seseorang seperti sekolah, pekerjaan, kegiatan dalam organisasi akan
mendatangkan manfaat bagi orang tersebut. Manfaat tersebut dapat berupa harta benda,
reputasi, masa depan, dan sebagainya. Ketiga, Involvement merupakan aktivitas seseorang
dalam subsistem. Jika seseorang berperan aktif dalam organisasi maka kecil
kecenderungannya untuk melakukan penyimpangan. Logika pengertian ini adalah bila orang
aktif di segala kegiatan maka ia akan menghabiskan waktu dan tenaganya dalam kegiatan
tersebut. Sehingga, ia tidak sempat lagi memikirkan hal-hal yang bertentangan dengan
hukum. Dengan
demikian, segala aktivitas yang dapat memberi manfaat akan mencegah orang itu melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Keempat, Belief merupakan aspek moral yang
terdapat dalam ikatan social dan tentunya berbeda dengan ketiga aspek di atas. Belief
merupakan kepercayaan seseorang pada nilai-nilai moral yang ada. Kepercayaan seseorang
terhadap norma-norma yang ada menimbulkan kepatuhan terhadap norma tersebut.
Kepatuhan terhadap norma tersebut tentunya
akan mengurangi hasrat untuk melanggar. Tetapi, bila orang tidak mematuhi norma-norma
maka lebih besar kemungkinan melakukan pelanggaran.

5. Perspektif Konflik

Aliran kritis juga dikenal dengan istilah “Critical Criminology” atau “kriminologi baru”.
Aliran kritis sesungguhnya memusatkan perhatian pada kritik tentang kami terhadap
intervensi kekuasaan dalam menentukan suatu perbuatan sebagai kejahatan. Itulah sebabnya,
aliran ini menggugat eksistensi hukum pidana. Pendukung aliran menganggap bahwa pihak-
pihak yang membuat hukum pidana hanyalah sekelompok kecil dari anggota masyarakat
yang kebetulan memiliki kekuasaan untuk membuat dan membentuk hukum pidana tersebut.
Jadi, hal yang dikatakan sebagai kejahatan dalam hukum pidana dapat saja dianggap oleh
masyarakat (umum) sebagai hal yang bukan tindak kejahatan (tidak jahat). Dan tentunya, hal
tersebut terjadi jika persepsi para pembuat hukum pidana berbeda dengan persepsi luas pada
umumnya.

Pendekatan yang cukup dominan dalam aliran yang kritis ini adalah pendekatan konflik
(Romli Atmasista, 2011:72). Pendekatan ini beranggapan bahwa hukum dibuat dan
ditegakkan bukan untuk melindungi masyarakat tetapi untuk nilai dan kepentingan kelompok
yang berkuasa. Dengan demikian, pendekatan konflik memusatkan perhatiannya pada
masalah kekuasaan dalam pendefinisian kejahatan. Pendekatan konflik beranggapan bahwa
orang-orang dalam suatu masyarakat mempunyai tingkat kekuasaan yang berbeda untuk
mempengaruhi pembuatan dan penegakan hukum. Pada umumnya, orang-orang atau
kelompok yang memiliki kekuasaan yang lebih besar akan mempunyai kesempatan dan
kemampuan untuk menentukan perbuatan yang bertentangan dengan nilai dan kepentingan
mereka sebagai kejahatan. Pada saat yang sama , mereka juga memiliki kemampuan untuk
menghindari pendefinisian perbuatan mereka sebagai kejahatan, walaupun perbuatan mereka
tersebut bertentangan dengan nilai dan kepentingan orang atau pihak lain yang tentunya
memiliki kekuasaan yang lebih rendah. Pendekatan konflik dengan demikian menghendaki
suatu suatu hukum yang bersifat emansipatif atau hukum yang melindungi masyarakat
sehingga dapat mengangkat harkat dan martabat masyarakat kelas bawah.

Pemikiran kritis yang dikenal dalam berbagai disiplin ilmu seperti politik, ekonomi, sosiologi
dan filsafat, mucul pada beberapa dasawarsa terakhir ini. aliran pemikiran kritis tidak
berusaha menjawab pertanyaan apakah perilaku manusia itu bebas atau ditentukan, akan
tetapi lebih mengarahkan pada mempelajari proses-proses manusia dalam ( membangun
dunianya dimana dia hidup. Kriminologi kritis misalnya berpendapat bahwa fenomena
kejahatan sebagai konstruksi sosial, artinya manakala masyarakat mendefinisikan tindakan
tertentu sebagai kejahatan, maka orang-orang tertentu dan tindakan-tindakan mungkin pada
waktu tertentu memenuhi batasan sebagai kejahatan. Ini berarti bahwa kejahatan dan penjahat
bukanlah fenomena yang berdiri sendiri yang dapat diidentifikasikan dan dipelajari secara
obyektifoleh ilmuwan sosial, sebab dia ada hanya karena hal itu dinyatakan sebagai demikian
oleh "masyarakat". Oleh karenanya krimmologi kritis mempelajari proses-proses dimana
kumpulan tertentu dari orang-orang dan tindakan-tindakan ditunjuk sebagai kriminal pada
waktu dan tempat tertentu. kriminologi kritis bukan sekedar mempelajari perilaku dari orang-
orang yang didefinisikan sebagai kejahatan, akan tetapi juga dari perilaku dari agen-agen
kontrol sosial (aparat penegak hukum), disamping mempertanyakan dijadikannya tindakan-
tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Menurut kriminologi kritis maka tingkat kejahatan dan ciri-ciri pelaku terutama ditentukan
oleh bagaimana undang-undang disusun dan dijalankan. Misalnya apabila sebagaian besar
pelaku kejahatan adalah orang-orang yang miskin, maka bukan kemiskinan yang merupakan
"sebab" kejahatan, akan tetapi kerena bentuk-bentuk tindakan yang dilakukan oleh orang-
orang miskin lebih banyak ditunjuk oleh undang-undang sebagai kejahatan dan dalam
bekerjanya hukum maka undang-undang macam beginilah lebih banyak dijalankan. Ini
berarti bahwa kita dapat memahami kejahatan semata-mata dengan mempelajari penjahat
("resmi"), akan tetapi harus dilihat dalam konteks keseluruhan proses kriminalisasi, yakni
proses yang mendefinisikan orang dan tindakan tertentu sebagai kejahatan.
Sehubungan dengan itu, maka tugas kriminologi kritis adalah menganalisis proses-proses
bagaimana cap jahat tersebut diterapkan terhadap tindakan dan orang-orang tertentu.
Pendekatan kritis ini secara relatif dapat dibedakan antara pendekatan "interaksionis" dan
"konflik". Pendekatan interaksionis berusaha untuk menentukan mengapa tindakan-tindakan
dan orang-orang tertentu didefinisikan sebagai kriminal dimasyarakat tertentu dengan cara
mempelajari "persepsi" makna kejahatan yang dimiliki masyarakat yang bersangkutan.
Mereka juga mempelajari makna kejahatan yang dimiliki agen kontrol sosial dan orang-orang
yang diberi batasan sebagai penjahat. Disamping itu juga dipelajari makna proses sosial yang
dimiliki kelompok bersangkutan dalam mendefiniskan seseorang sebagai penjahat. Dengan
demikian untuk dapat memahami kejahatan, perlu dipelajari seluruh proses kriminalisasi,
dalam arti baik proses-proses yang mempengaruhi pembentukan undang-undang yakni yang
dijadikan orang (orang) tertentu sebagai penjahat.
Hubungan antara kejahatan dan proses kriminalisasi secara umum dinyatakan dengan
digunakannya konsep "penyimpangan" (deviance) dan reaksi sosial. Kejahatan dipandang
sebagai bagian dari "penyimpangan sosial" dalam arti bahwa tindakan yang bersangkuatan
"berbeda" dari tindakan - tindakan yang dipandang sebagai normal atau "biasa" dimasyarakat,
dan terhadap "tindakan menyimpang" tersebut diberikan reaksi sosial yang negatif, dalam arti
secara umum masyarakat memperlakukan orang - orang tersebut sebagai "berbeda" dan
"jahat".
Dengan demikian siapa yang dipandang menyimpang dari masyarakat tertentu tergantung
pada masyarakat itu sendiri. Kadang -kadang kondisi yang mempengaruhi pemberian batasan
itu tidak begitu jelas, sehingga pada akhirnya banyak sekali tergantung dari sikap polisi, jaksa
dan hakim. (Misalnya pada kasus-kasus "perkosaan", khususnya tentang batas - batas
"godaan" yang boleh dilakukan pria). Dalam arti luas, kejahatan (penyimpangan) seperti
halnya kecantikan, ada di mata yang memandangnya. Dengan demikian penyimpangan dan
dan reaksi sosial merupakan hubungan timbal balik yang hanya dapat dipahan-u dalam
hubungan satu dengan yang lain. Dasar pemikiran interaksionis ini bersumber pada
"symbolic interactionism" yang dikemukakan oleh Mead (1863-1931) yang menekankan
bahwa "sumber" perilaku manusia tidak hanya ditentukan oleh peranan kondisi - kondisi
sosial akan tetapijuga peranan individu dalam menangani, menafsirkan dan berinteraksi
dengan kondisi - kondisi yang bersangkutan. Menurutnya manusia sebagai pencipta dan
sekaligus sebagai produk dari lingkungannya. Sebaliknya pendekatan konflik lebih
memfokuskan studinya dalam mempertanyakan "kekuasaan" dalam mendifinisikan
kejahatan.
Menurut kriminologi konflik, orang berbeda karena memiliki perbedaan kekuasaan dalam
mempengaruhi perbuatannya dan bekerjanya hukum Secara umum dikatakan bahwa mereka
yang mempunyai tingkat kekuasaan yang lebih besar mempunyai kedudukan yang lebih baik
(menguntungkan) dalam mendefinisikan perbuatan - perbuatan yang bertentangan dengan
nilai - nilai dan kepentingannya sebagai kejahatan. Bersamaan dengan itu, mereka dapat
mencegah dijadikannya tindakan - tindakan tersebut bertentangan dengan nilai - nilai dan
kepentingan masyarakat yang lebih kecil kekuasaannya.
Secara umum dapat dikatakan bahwa kejahatan merupakan kebalikan dari kekuasaan:
semakin besar kekuasaan yang dimiliki seseorang atau kelompok orang - orang, semakin
kecil kemungkinannya untuk dijadikan sebagai kejahatan dan begitu sebaliknya. Orientasi
sosio - psikologis teori konflik terletak pada teori - teori interaksi sosial mengenai
pembentukan kepribadian dan konsep "proses sosial" dari perilaku kolektif.
Pandangan mi mengasumsikan bahwa manusia selalu merupakan mahkluk yang "terlibat"
dengan kelompoknya, dalam arti hidupnya merupakan bagian dan produk dari kelompok
kumpulan - kumpulannya. Pandangan ini juga beranggapan bahwa masyarakat merupakan
kumpulan kelompok - kelompok yang bersama - sama memikul perubahan, namun mampu
menjaga keseimbangan dalam menghadapi kepentingan - kepentingan dan usaha-usaha dari
kelompok yang bertentangan. Kontinuitas interaksi kelompok-kelompok ini, serangkaian
langkah atau tindakan dan peralawanannya yang berlangsung secara terus menerus, tindak
pengawasan yang bersifat timbal balik, merupakan unsur penting dari konsep proses sosial.
Pengaruh timbal balik yang berlangsung secara terus menerus didalam menjaga
keseimbangan (stabilitas) yang segera dan dinairds memberi arti penting bagi ciri "perilaku
kolektif yang berbeda dengan ide perilaku individual yang stimulan. Arus yang berubah ubah
dari tindakan kolektif ini memberi kesempatan terhadap kemungkinan terjadinya pergeseran
posisi secara terus menerus, dalam arti kemungkman mendapatkan status atau sebaliknya
akan kehilangan. Akibatnya ada kebutuhan untuk menjaga dalam mempertahankan posisinya,
disamping untuk selalu berusaha memperoleh kesempatan dalam memperbaiki status didalam
hubungan dengan kelompok-kelompok yang ada Dengan demikian, menurut aliran pemikiran
ini, konflik dipandang sebagai sesuatu yang penting dan mendasar dari proses sosial dimana
kelangsungan sosial bergantung.
Pada tahun 1970-an muncul apa yang disebut sebagai "kriminologi Marxis" mengenai istilah
"Kriminologi Marxis" terdapat beberapa penulis yang menentangnya. Menurut Paul Q.
Harist, tidak ada teori Marxis tentang kejahatan baik dalam eksistensinya, maupun yang dapat
dikembangkan dari marxisme yang ortodoks. Uraian mengenai pandangan Hirst mi dapat
dibaca dalam Taylor et. al. (1987). Begitu juga dalam nada yang sama diajukan oleh
Denisoff& McQuarie (1975). Di Amerika, Kriminologi Mands dikembangkan dari teori
konflik yang antara lain diajukan oleh Quinney, sementara di Inggris berkembang dari
perspektif interaksionis yang antara lain dapat ditemukan pada karya Taylor, Walton &
Young (1973 dan 1978).
Tanpa bermaksud untuk memasuki lebih dalam pembicaraan tentang Kriminologi Marxis,
namun perlu dicatat bahwa teori konflik tidak sama dengan teori Marxis. Lebih-lebih jika ada
anggapan bahwa aliran kritis sama dengan aliran Marxis, perlu dipertanyakan. Teori
Kriminologi Mands hanyalah merupakan salah satu usaha "mengembangkan" teori konflik
yang juga dipertanyakan kebenaran istilah tersebut sebagaimana disebutkan diatas
-disamping terdapat teori non Marxis, yang sangat berbeda. Selain itujuga perlu dicatat
bahwa beberapa penulis bahkan mencampur adukkan antara teori konflik yang Marxis
dengan yang non Marxis, seperti Reid dan Alien. Reid misalnya, menyatakan bahwa teori
konflik berdasarkan pada 3 hal: (1) bahwa perbedaan bekerjanya hukum mencerminkan
kepentingan rulling class (2) bahwa perbuatan kejahatan akibat dari cara produksi dalam
masyarakat, dan (3) bahwa hukum pidana dibuat untuk mencapai kepentingan ekonomi dan
rulling class. Apa yang disebut oleh Raid tersebut adalah tentang Kriminologi Marxis, bukan
teori konflik yang non Mands. Misalnya konsep rulling class tidak digunakan oleh
pendukung teori konflik yang non Marxis seperti Sellin, Void, Turk.
Secara umum teori konflik non Marxis menunjukkan hubungan kekuasaan yang tidak
seimbang mendasari terjadinya kriminalisasi atas perflaku tertentu dibandingkan dengan yang
lainnya dan tentu saja dapat mengarah pada keinginan untuk mengubah hubungan tersebut.
Hal ini membawa analisis "obyektif proses kriminalisasi ke arah usaha yang bersifat politis
dalam membantu kelompok yang lemah dalam perjuangan menghadapi kelompok yang
sangat kuat. Satu perbedaan yang mendasar antara kriminologi Marxis dengan yang non
Marxis adalah pandangannya apakah kejahatan dianggap sebegai patologis. Pada perspektif
konflik yang non Marxis maka kej ahatan dipandang sebagai tindakan yang normal dan orang
- orang yang normal yang tidak memiliki kekuasaan cukup untuk mengontrol proses
kriminalisasi, dan dalam perspektif perilaku menyimpang, kejahatan dipandang sebagai
perwujudan dari kebutuhan masyarakat untuk mengkriminalisasikan perbedaan. Pendukung
kedua perspektif kerenanya menolak ide bahwa kejahatan bersifat patologis dengan
mengajukan argumentasi bahwa keduanya, yaitu perbuatan dan kriminalisasi terhadap
perbuatan adalah normal. Sebaliknya bagi kriminologi Mands, dia kembali pada ide para
positivis yakni bahwa kejahatan bersifat patologis, yang didasarkan pada konsep Marx bahwa
orang yang menjadi "demoralized" dan subyek dari segala bentuk kejahatan dan perbuatan
yang tidak senonoh apabila dimasyarakat mereka ditolak peranannya sebagai "produktif.
Perilaku yang patologis tersebut berupa "batasan alamiah" sebagai "perbuatan" yang
merugika masyarakat atau "tindakan - tindakan yang memperkosa hak - hak asasi manusia",
dan dapat meliputi kejahatan - kejahatan lapis bawah, dimana orang - orang miskin
merupakan sasarannya diantara mereka sendiri danjuga yang lainnya, maupun kejahatan -
kejahatan lapisatas, seperti pencemaran, perang dan ekploitasi terhadap pekerja.
Sebab - sebab dari perilaku yang bersangkutan dianalisis dan ditemukan melekat pada sistem
ekonomi kapitalistik dan untuk mengobatinya adalah melalui pembangunan masyarakat
sosialis. Dengan demikian struktur argumentasinya — batasan alamiah tentang kejahatan,
mencari sebab - sebab dan carta pengobatannya- identik dengan positivisme, akan tetapi
sangat berbeda dengan perspektif teori konflik yang non Marxis dan teori interaksionis yang
menganalisis proses - proses kriminalisasi. Bagi kriminologi Marxis maka "tindakan yang
merugikan masyarakat" yang "memperkosa hak -hak asasi manusia" tidak dilihat sebagai
normal akan tetapi merupakan produk yang bersifat patologis dari sistem ekonomi yang
patologis.

Disamping itu negara - negara komunis seperti Uni Sovyet dan Jerman Timur (sebelum
berantakan karena pengaruh glosnut dan perestroika pada tahun 1980-an) karena dipengaruhi
oleh kondisi politik dan idelogi marxis yang dianut oleh negaranya, maka perkembangan
kriminologinya selalu berorientasi pada kepentingan praktis melalui keputusan - keputusan
partai— dan akan tetap menjadi bagian dari hukum pidana, dalam arti membantu pihak
penguasa dalam melaksanakan hukum pidana, dalam arti membantu pihak penguasa dalam
melaksanakan hukum pidana dan mencarikan bentuk - bentuk penghukuman dan tindakan
yang dipandang efektif. (bandingkan dengan kriminologi klasik dan positive). Sedangkan
studi kriminologi yang mempertanyakan kebijaksanaan dan tindakan penguasa seperti dalam
pembuatan undang-undang maupun pelaksanaannya, dan karenanya juga mempertanyakan
proses – proses kriminalisasi, dianggap bertentangan dengan penguasa dan dilarang. Ini
berarti bahwa negara - negara komunis tidak dikenal aliran pemikiran kritis maupun konflik
dalam kriminologi. Akhimya, perlu dicatat bahwa konflik yang non Marxis adalah
pandangannya bahwasanya di dalam setiap masyarakat, apakah itu masyarakat kapitalis,
komunis, fasis, demokratis atau apasaja, selalu terdapat konflik nilai - nilai dan kepentingan -
kepentingan diantara bagian - bagian di dalam masyarakat, dan penyelesaian dari
pertentangan dan konflik tersebut akan dipengaruhi oleh kekuasaan (power) dari kelompok-
kelompok yang bertentangan. Sesuai dengan tuntutan masyarakat modern, maka cara-cara
penyelesaian konflik ini terutama dilakukan melalui hukum, baik melalui pembuatan
perundang -undangan maupun melalui bekerjanya hukuman.
6. Perkembangan Kriminologi Kontemporer

Keamanan dan ketertiban adalah merupakan kebutuhan yang sangat mendasar karena tanpa
keamanan manusia sulit untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Sejarah umat manusia
menerangkan betapa pentingnya arti dari keamanan , Manusia mencegah berbagai bentuk
ancaman dengan cara membentuk kelompok-kelompok sosial dengan  menciptakan berbagai
cara dan metode untuk dapat mengaantisipasi perkembangan Kejahatan itu sendiri dalam
rangka menyelamatkan harta, benda dan eksistensi peradaban manusia

Sejarah klasik menunjukan  masyarakat  Yunani   saat itu telah membentuk  sebuah lembaga
untuk menangani masalah yang ada dan berkembang  dalam masyarat  dimana badan yang
dibentuk  mereka namakan  POLIS, yang terdiri dari beberapa unsur masyarakat untuk
mengelola kelanggengan peradaban yang dimiliki masyarakat Yunani dari ancaman baying
baying peradaban yang dimiliki masyarakat Yunani itu sendiri. Pada tahun 1829 Sir Robert
Peel membentuk organisasi Kepolisian modern guna penanggulangan kejahatan di London
masa itu, bentuk organisasi kepolisian modern di kepolisian di Inggris akhirnya menjadi
contoh  berbagai negara didunia dalam rangka menciptakan badan kepolisiannya untuk
mencegah dan mengantisipasi perkembangan kejahatan di tiap tiap Negara, tentunya dengan
berbagai modifikasi dan penyesuaian system menurut tata pemerintahan dan dinamika
masing masing Negara.

Perkembangan kejahatan sendiri merupakan study yang menarik , hal ini disebabkan karena
mempelajari perkembangan kejahatan adalah merupakan bentuk pembelajaran lain dari hasil
pencapaian suatu peradaban manusia , manakala diketahui bahwa  manifestasi  kejahatan
senantiasa  berubah seiring perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia, tidak heran
suatu bentuk kejahatan dimasa lalu berpeluang mengalami perubahan penerimaan dan
persepsi masyarakat seiring perubahan persepsi masyarakat terhadap perbuatan yang
dianggap sebagai kejahatan atau bukan kejahatan

kejahatan selalu berkembang dan tidak pernah statis mengikuti peradaban masyarakat “
Crime is the shadow of civilization “ kejahatan adalah bayang peradaban  sehingga
masyarakat juga senantiasa menghendaki organ pengendali kejahatan berupa Kepolisian 
melalui kegiatan pemolisian dalam  kaitan  misi/tugas sebagai  crime Hunter dan Law
enforcement dapat mengatasi dan mengendalikan kejahatan  agar tidak merusak dan
menghancurkan peradaban.

Upaya yang dilakukan oleh Polisi untuk mengenali fenomena kejahatan sebagai suatu
fenomena yang selalu berubah menuntut Polisi dapat mengidentifikasi elemen penyebab
suatu kejahatan dapat terjadi, secara dinamis terdapat elemen yang berubah namun
terkandung makna bahwa terdapat juga elemen  kejahatan yang senantiasa Universal menjadi
batasan kejahatan dari masa ke masa. Walaupun  kejahatan senantiasa berkembang , semakin
kompleks dan mengglobal, namun setiap kejahatan senantiasa terdapat AKTOR- AKTOR
KEJAHATAN , yang  menyebabkan kejahatan sebagai proses yang tidak berkesudahan 
dimana  Aktor  Aktor Kejahatan hadir dari proses hulu ke hilir. Adanya actor –aktor
kejahatan dapat dijelaskan dalam pendekatan Teori pilihan rasional memusatkan perhatian
pada actor/ pelaku kejahatan, dimana aktor dipandang sebagai manusia yang mempunyai
tujuan atau mempunyai maksud ,artinya aktor mempunyai tujuan dan tindakan tertuju pada
upaya untuk mencapai tujuan tersebut, aktorpun dipandang mempunyai pilihan atau nilai
serta keperluan.

Teori pilihan rasional tidak menghiraukan apa yang menjadi pilihan atau apa yang menjadi
sumber pilihan aktor, yang penting adalah kenyataan bahwa tindakan dilakukan untuk
mencapai tujuan yang sesuai dengan tingkatan pilihan actor. Pelaku merupakan pembuat
keputusan dimana individu memilih antara aktivitas kriminal dan aktivitas nonkriminal
(legal) dengan dasar ekspektasi manfaat (utility) atas setiap aktivitas-aktivitas itu. Dapat
diasumsikan bahwa keterlibatan dalam aktivitas kriminal adalah hasil dari perilaku
optimalisasi individu terhadap insentif-insentif. . Dengan menetapkan sebuah persamaan
untuk meraih insentif dalam keputusan untuk melakukan kejahatan adalah suatu langkah awal
yang natural dalam analisis atas kejahatan sebagai suatu model Yang paling penting dari ini
semua adalah ganjaran (reward) yang relatif dari aktivitas kriminal dan aktivitas legal.
Sebagai contoh, pelaku kejahatan melakukan aksi kriminal jika ekspektasi keuntungan dari
aktivitas kriminal melebihi keuntungan dari aktivitas legal, pada umumnya bekerja.

Di antara segala faktor yang mempengaruhi keputusan individu untuk terlibat dalam aktivitas
kriminal adalah (1) ekspektasi keuntungan dari kejahatan dan gaji dari suatu pekerjaan (legal
work); (2) kemungkinan (risiko) tertangkap dan dituntut; (3) panjangnya hukuman; dan (4)
kesempatan dalam aktivitas legalKeputusan berbuat untuk melakukan kejahatan menurut
Rational Choice Theory / Teori Pilihan Nasional dari Gary Becker ( 1968 ) adalah terletak
dari pelaku kejahatan itu sendiri. pilihan-pilihan langsung serta keputusan-keputusan yang
dibuat relatif oleh para pelaku tindak pidana bagi yang terdapat baginya. Pilihan rasional
berarti pertimbangan-pertimbangan yang rasional dalam menentukan pilihan perilaku yang
kriminal atau non kriminal, dengan kesadaran bahwa ada ancaman pidana apabila
perbuatannya yang kriminal diketahui dan dirinya diprotes dalam peradilan pidana.
Senantiasa terdapat MODUS OPERANDI / cara melakukan kejahatan , kaitan  kekekalan
cara  bukan menunjuk kepada bagaimana kejahatan dilakukan  tetapi  kejahatan terjadi bila
ada hal yang harus dilakukan oleh actor kejahatan untuk memulai dan melakukan kejahatan.

Unsur –unsur yang membentuk terjadinya suatu  kejahatan adalah  mempunyai akibat-akibat
atau kerugian nyata, adanya  akibat atau kerugian tersebut adalah sesuatu yang  dilarang 
dalam undang undang, terdapat perbuatan nyata dengan mens rea sebagai maksud jahat untuk
mendorong suatu perbuatan menjadi memiliki hubungan dengan perbuatan atau kejadaian
yang bisa menjelaskan kausalitas  hubungan perbuataan dengan kerugian serta adanya Sanksi
sebagai bentuk pembalasan terhadap pelanggaran  undang undang.

Perkembangan kejahatan tidak terlepas dari perkembangan zaman yang juga akan melahirkan
kemajuan teknologi. Manusia  tidak akan cepat merasa puas dengan apa yang telah diperoleh
sehingga tetap saja melakukan kejahatan. Munculnya teknologi canggih sangat memudahkan
terciptanya jenis kejahatan baru pula sehingga kejahatan yang kita kenal tidak hanya berupa
kejahatan yang konvensional saja.

Selain memiliki demensi lokal, nasional dan regional kejahatan juga dapat menjadi masalah
internasional, karena seiring dengan kemajuan teknologi transportasi, informasi dan
komunikasi yang canggih, modus operandi kejahatan masa kini dalam waktu yang singkat
dan dengan mobilitas yang cepat dapat melintasi batas-batas negara (borderless countries).
Inilah yang dikenal sebagai kejahatan yang berdimensi transnasional / lintas Negara.
Sebagai contoh misalnya terjadinya tindak pidana perbankan Tindak pidana tersebut bahkan
tidak hanya melibatkan masyarakat golongan ekonomi lemah. Kebanyakan jenis kejahatan
baru yang muncul tersebut hanya mungkin dilakukan oleh orang yang berintelek tinggi.

Persepsi masyarakat terhadap suatu perbuatan yang memiliki dampak terhadap masyarakat
itu sendiri dinilai dari apakah perbuatan tersebut memiliki  akibat yang diinginkan atau tidak
diinginkan , dijelaskan dalam TEORI LABELLING oleh MICHOLOWSKY, bahwa 
kejahatan merupakan kualitas dari reaksi atau tanggapan masyarakat terhadap tingkah laku
seseorang bukan merupakan kualitas dari tingkah laku seseorang. Sehingga apabila
masyarakat  menilai suatu perbuatan menimbulkan  suatu penderitaan maka saat itulah
perbuatan tadi dianggap sebagai kejahatan.

Reaksi masyarakat terhadap suatu kejahatan yang dilakukan seseorang  menyebabkan reaksi
seseorang itu sebagai suatu kejahatan dengan  pelaku / Aktor perbuatan mendapat CAP / label
penjahat , sehingga dengan adanya CAP / label penjahat  menyebabkan masyarakat
memperlakukan AKTOR kejahatan seperti seharusnya memperlakukan pelaku kejahatan dari
masa kemasa dengan memberikan hukuman  maupun perlakuan khusus berbeda dengan
masyarakat secara luas.Umumnya tingkah laku seseorang yang dicap jahat menyebabkan
pelaku kejahatan  diperlakukan sebagai penjahat sebagaimana mestinya dalam proses interaks
social , interaksi dapat diartikan hubungan timbal balik antara individu, antar kelompok serta
antar individu dengan kelompok.

Kelompok selalu mengawasi dan berusaha untuk menyeimbangkan perilaku individu-


individunya sehingga menjadi suatu perilaku yang kolektif. Dalam perkembangan lebih lanjut
aliran ini melahirkan teori “kriminologi Marxis” dengan dasar 3 hal utama yaitu; (1) bahwa
perbedaan bekerjanya hukum merupakan pencerminan dari kepentingan rulling class (2)
kejahatan merupakan akibat dari proses produksi dalam masyarakat, dan (3) hukum pidana
dibuat untuk mencapai kepentingan ekonomi dari rulling class

Sebagai akibat perlakuan khusus dalam pola interaksi terhadap pelaku kejahatan melahirkan 
kecendrungan di mana seseorang atau kelompok yang dicap sebagai penjahat akan
menyesuaikan diri dengan cap yang disandangnya.Tidaklah salah kiranya, bahwa pada
akhirnya masyarakatlah yang menentukan tingkah laku yang bagaimana yang tidak dapat
dibenarkan serta perlu mendapat sanksi pidana

Akibat yang dirasakan sebagi suatu penderitaan merupakan representasi dari Universalitas
hasrat pribadi manusia untuk tidak mau menjadi korban perbuatan yang menimbulkan
penderitaan walaupun sesungguhnya  kejahatan merupakan wajah PROTAGONIS PRIBADI
manusia yang ingin ditutupi, disembunyikan dan dihilangkan dalam peradaban , senantiasa
terjadi perlawanan dalam berbagai eskalasi terhadap eksistensi kejahatan , perang terhadap
kejahatan  merupakan perang yang tidak pernah berhenti sesuai eksistensi kejahatan yang
senantiasa langgeng sebagai bayang bayang  peradaban.

Individu dan kelompok dalam masyarakat seperti itu harus menyesuaikan diri dan beberapa
bentuk penyesuaian diri itu bisa jadi sebuah penyimpangan. Sebagian besar orang menganut
norma-norma masyarakat dalam waktu yang lama, sementara orang atau kelompok lainnya
melakukan penyimpangan. Kelompok yang mengalami lebih banyak ketegangan karena
ketidakseimbangan ini (misalnya orang-orang kelas bawah) lebih cenderung mengadaptasi
penyimpangan daripada kelompok lainnya.
Teori anomi menempatkan ketidakseimbangan nilai dan norma dalam masyarakat sebagai
penyebab penyimpangan, di mana tujuan-tujuan budaya lebih ditekankan daripada cara-cara
yang tersedia untuk mencapai tujuan-tujuan budaya dalam masyarakat.

Merton mengemukakan saat masyarakat  ingin mengatasi kondisi  Anomie  akibat eksistensi
kejahatan sebagai wajah protagonist peradaban manusia, adalah dengan melakukan
Konformitas di mana masyarakat bisa  menerima tujuan mengapa kejahatan dilakukan  dan 
bagaimana mengijinkan sarana yang boleh digunakan pelaku kejahatan yang terdapat dalam
masyarakat karena adanya tekanan kondisi dalam masyarakat itu sendiri, sebagai ilustrasi
adalah ketika masyarakat  menilai bahwa hak untuk membentuk keluarga kecil dengan sedikit
anak akhirnya masyarakat sendiri yang melegalkan upaya pembatasan kehamilan melalui 
program  kontrasepsi melalaui prosedur dan metode  yang dilegalkan.

Bentuk reaksi masyarakat terkait upaya penghindaran diri sebagai korban kejahatan 
berikutnya adalah dengan mengadakan pembaharuan / INOVASI sebagai bentuk penyesuaian
di mana masyarakat mengakui bahwa kejahatan dilakukan dengan tujuan tertentu  sehingga
untuk mencegah eksistensi tercapai suatu tujuan jahat , masyarakat berinisiatif mengubah
sarana-sarana yang dipergunakan untuk mencapai tujuan tersebut atau setidaknya
mempersulit  pelaku kejahatan mewujudkan tujuan melakukan suatu kejahatan yang ingin
dicapai, implementasi  reaksi ini kemudian berkembang dalam ilmu pencegahan kejahatan
dengan konsep Primary, Secondary dan  tertiary Crime Prevention.

Ritualism  dikenal sebagai bentuk penyesuaian masyarakat atas kondisi anomie yang terjadi
melalui penyesuaian diri dengan norma-norma yang mengatur sarana-sarana sah dalam upaya
mencegah diri sebagai korban kejahatan, meski demikian mereka meredakan ketegangan /
tekanan mereka dengan menurunkan skala aspirasi-aspirasi masyarakat terhadap rasa aman
dan terbebas dari ketakutan terhadap kejahatan  sampai di titik yang dapat dicapai dengan
mudah. Praktek penggunaan sarana Transportasi umum bisa menjelaskan konsep Ritualisme
dalam mengaantisipasi kemungkinan menjadi korban kejahatan , masyarakat memahami
bahwa  angkutan umum bukan merupakan sarana  yang nyaman dan aman sehingga
penggunaan sarana angkutan umum tadi dilakukan secara  beramai-ramai dan hanya pada jam
jam tertentu saja.

Ketika kondisi masyarakat makin tertekan oleh harapan-harapan sosial yang ditunjukan oleh
gaya hidup konvensional, masyarakat berusaha melepaskan kesetiaan baik kepada cultural
succes goal maupun legitimate means, Retreatisme  sebagai wujud cara masyarakat untuk
keluar dari masalah dengan melarikan diri dari syarat-syarat masyarakat dengan berbagai cara
yang menyimpang. Bunuh diri merupakan penarikan diri yang paling puncak.

Eksistensi real yang paling keras terkait dengan upaya menghindarkan diri menderita akibat
suatau kejahatan dalam masyarakat adalah dengan Rebellion : suatu adaptasi di mana tujuan
dan sarana-sarana yang terdapat dalam masyarakat di tolak dan berusaha untuk mengganti /
mengubah seluruhnya.Fenomena  anarkhisme  ormas ormas beridentitas agama terhadap 
tempat hiburan malam di Jakarta merupakan  sebuah rebellion  kulminasi ketidak percayaan
masyarakat terhadap tujuan dan cara otoritas Negara dalam memberikan persepsi atas tempat
hiburan  malam.

Kejahatan  selalu berada  di titik puncak Gunung es dalam dinamika peradaban manusia , titik
puncak gunung es  sebagai resultan atas permasalahan hubungan antar dan  inter manusia
dalam masyarakat. Eksistensi Konflik  dalam masyarakat dapat dijelaskan melalui
pendekatan Teori konflik. Bahwa penyimpangan yang paling banyak diaplikasikan kepada
kejahatan, walaupun banyak juga digunakan dalam bentuk-bentuk penyimpangan lainnya.
teori penjelasan norma, peraturan dan hukum daripada penjelasan perilaku yang dianggap
melanggar peraturan. Peraturan datang dari individu dan kelompok yang mempunyai
kekuasaan yang mempengaruhi dan memotong kebijakan publik melalui hukum.

Kelompok-kelompok elit menggunakan pengaruhnya terhadap isi hukum dan proses


pelaksanaan sistem peradilan pidana. Norma sosial lainnya mengikuti pola berikut ini.
Beberapa kelompok yang sangat berkuasa membuat norma mereka menjadi dominan,
misalnya norma yang menganjurkan hubungan heteroseksual, tidak kecanduan minuman
keras, menghindari bunuh diri karena alasan moral dan agama.

Selain akibat adanya  Konflik dalam masyarakat yang menyebabkan masyarakat menjadi
dinamis untuk kemudian menimbulkan pertentangan kepentingan antara kelompok dalam
manifestisasi berkembang menjadi suatu kejahatan  terdapat  hubungan social yang
mengalami pasang surut , hunbungan social yang pasat surut didasarkan kepada pemikiran
control social antar individu dan  masyarakat dengan individu.

Perspektif control social  terbatas untuk memberikan penjelasan terhadap  suatu delinkuensi
dan suatu kejahatan  kejahatan. Teori ini meletakkan penyebab kejahatan pada lemahnya
ikatan individu atau ikatan sosial dengan masyarakat, atau macetnya integrasi sosial.

Kelompk-kelompok yang lemah ikatan sosialnya (misalnya kelas bawah) cenderung


melanggar hukum karena merasa sedikit terikat dengan peraturan konvensional. Jika
seseorang merasa dekat dengan kelompok konvensional, sedikit sekali kecenderungan
menyimpang dari aturan-aturan kelompoknya. Tapi jika ada jarak sosial sebagai hasil dari
putusnya ikatan, seseorang merasa lebih bebas untuk menyimpang dan melakukan kejahatan.

Pada intinya memandang bahwa masyarakat penuh dengan konflik, kelompok yang dominan
yaitu kelompok yang menguasai agen-agen pemerintahan dan perangkat hukumnya walaupun
mereka minoritas; mereka merumuskan dan menerapkan aturan hukum untuk melindungi.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Kriminologi sebagai ilmu sosial yang terus mengalami perkembangan dan peningkatan.
Perkembangan dan peningkatan ini disebabkan pola kehidupan sosial masyarakat yang terus
mengalami perubahan-perubahan dan berbeda antara tempat yang satu dengan yang lainnya
serta berbeda pula dari suatu waktu atau jaman tertentu dengan waktu atau jaman yang lain
sehingga studi terhadap masalah kejahatan dan penyimpangan juga mengalami
perkembangan dan peningkatan dalam melihat, memahami, dan mengkaji permasalahan-
permasalahan sosial yang ada di masyarakat dan substansi di dalamnya.
Berbicara tentang teori kriminologi merupakan suatu usaha dalam memahami dan
mengungkapkan pelbagai permasalahan tentang kejahatan dan penyimpangan yang ada di
dalam masyarakat. Teori-teori kriminologi ini menjadi landasan yang  menunjukkan arah
kepada pengamat atau peneliti dalam menentukan masalah apa yang akan diteliti dan dicari
korelasi-korelasi dalam tindak kriminal dalam masyarakat serta solusinya. Saat ini tindak
pidana kesusilaan merupakan  kejahatan yang cukup mendapat perhatian dikalangan
masyarakat. Sering dikoran atau majalah diberitakan terjadi tindak pidana perkosaan. Jika
mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak pidana ini sudah ada sejak dulu atau dapat
dikatakan sebagai suatu bentuk kejahatan klasik yang akan selalu mengikuti perkembangan
kebudayaan manusia itu sendiri, ia akan selalu ada dan berkembang setiap saat walaupun
maungkin tidak terlalu berbeda jauh dengan sebelumnya. Tindak pidana kesusilaan ini tidak
hanya terjadi di kota-kota besar yang relative lebih maju kebudayaan dan kesadaran atau
pengetahuan hukumnya, tapi juga terjadi di pedesaan yang relative masih memegang nilai
tradisi dan adat istiadat. Sebagaimana telah diketahui bahwa dalam perkembangan sosial
dewasa ini, banyak terjadi kejahatan perkosaan terutama di kalangan masyarakat ekonomi
lemah. Dalam suatu tindak kriminalisasi kejahatan yang semakin marak pada akhir-akhir ini
terutama di bidang kesusilaan, munculah suatu korelasi kejahatan. Korelasi adalah salah satu
teknik statistik yang digunakan utnuk mencari hubungan antara dua variable atau lebih yang
bersifat kuantitatif. Hubungan dua variable tersebut dapat terjadi karena adanya hubungan
sebab-akibat dapat juga karena kebetulan saja.

DAFTAR PUSTAKA

http://handarsubhandi.blogspot.com/2015/08/aliran-aliran-dalam-kriminologi.html

https://www.academia.edu/search?utf8=makalah+perkembangan+kriminologi

https://jurnalsrigunting.com/2011/09/21/perkembangan-kejahatan-sebagai-bagian-dari-
peradaban-manusia/

https://dosensosiologi.com/sosiologi-kriminalitas/

Kriminologi : Topo Santoso, Eva Achjani Zulfa – ed 1 --- 10,--- jakarta: Rajawali Pers, 2010

Kriminologi Suatu Pengantar : Prof.Dr. A.S. Alam, SH,MH & Dr.Amir Ilyas, SH.MH.
Jakarta, Kencana , 2010.

Anda mungkin juga menyukai