Anda di halaman 1dari 8

Lagu Cinta dan Lain-Lain

(Drama Satu Babak)

Diterjemahkan dan disadur sejadinya dari

Cerpen “Lagu Cinta Jeung Sajabana” karya Nazarudin Azhar

Oleh: Zaky Mubarok

Setting, ruangan keluarga. Ada meja, kursi dan beberapa hiasan ruangan. Senja.

Lelaki Tua : Mih, Kira-kira siapa saja yang akan mengantarkan kita ke pemakaman, kalau nanti kita

Sudah waktunya dikubur?

Wanita Tua : -------

LT : Maksudku selain Kardiman.

WT : Ya…Munking ada tetangga. Lagi pula tak perlu dirancang,

kita kan belum tentu mati bersama.

LT : Iya. Maksudku kalau salah seorang di antara kita mati.

WT : Masa tidak ada yang mengurus, Pih. Setidaknya ada Pak RT, ada Pak Ustadz,

ada tetangga, ada teman kantor papih dulu… lagi pula, tak baik memikirkan

hal yang begitu, tak ada manfaatnya.

LT : Terus kalau kita sudah tua, siapa yang akan mendatangi kita selain Kardiman?

WT : Sudah tua bagaimana? Sekarang kita sudah tua, memangnya mau hidup

berapa ratus tahun?

(LK menyelonjorkan kakinya ke atas meja)

WT : Meja bukan untuk kaki!

(Lk manyun. Dengan kaki selonjoran di atas meja)

WT : Bagaimana kalau tiba-tiba ada tamu, nanti kita dikira tidak punya sonpan santun

dan tatakrama.
(LK menggerutu sambil sambil menurunkan kaki)

WT : Apa?

LT : Di rumah sendiri saja seperti di jalana raya, banyak aturannya. Lagi pula siapa

yang akan bertamu di senjahari?

WT : Siapa yang tahu. Cuma tak sopan saja kaki diselonjorkan di atas meja.

LT : Kan tidak setiap waktu. Cerewet.

WT : Siapa yang cerewet?, mamih hanya mengingatkan jangan menyelonjorkan

kaki di atas meja. Apa susahnya sih pindah ke ruang tengah kalau mau selonjoran,

sekalian kalau mau gulingan atau salto-salto juga bisa.

Begitu saja disebut cerewet.

LT : Segitu saja cemberut. Memangnya siapa yang akan datang? Kardiman tidak pulang

hari ini kan. Di suratnya jelas, dia bilang mau datang lusa, ya kan? Pas libur kuliah.
(hening) Hari apa sekarang? (melihat kalender)...hari rabu…

WT : Sekarang hari selasa

LT : Selasa?, rabu?...Ah tanggal enambelas, rabu tuh…

WT : Selasa. Kemarin Senin. Sekarang selasa, tanggal limabelas.

LT : Selasa? Hmmm aku kira hari rabu. Kardiman datangnya hari apa?

WT : Sabtu. Masih lama.

(Hening)

LT : Mih…

WT : (diam)

LT : Mih…

WT : Hmmm

LT : Nyetel musik ya…? Keroncong, pop, bosas, atau….apa saja.

WT : (diam)

LT : Dangdut?...sepi nih…
WT : Sepi juga musik, kalau tidak dirusak sama suara papih.

LT : Waduh, mamih kayak penyair saja. Di mana enaknya mendengarkan sepi?

tak ada syairnya, tak ada iramanya.

WT : ada…, papih nya saja tidak punya jiwa seni, tidak punya kepekaan.

LT : Walah, tambah tinggi saja si mamih… (memegang paha istrinya)

WT : Ih…

LT : Atau…cianjuran…

(hening)

LT : Mendengarkan euis komariah pasti cocok jam segini. Suara suling, kecapi…

(hening)

LT : Yang album, “panyileukan” itu lho…coba…wah…pasti pas, enak mendengar suaranya…

WT : Tambah mencurigakan saja…

LT : Mencurigakan? mencurigakan sebelah mananya? Kan kita sering memutar kasetnya.

WT : Kita? Yang suka muter kasetnya itu siapa? Kan Cuma papih saja. Bukan kita.

Mamih juga tau maksud papih…

LT : Masih cemburu juga? Ya tuhan, sudah berapa puluh tahun mih, belum berubah juga…

WT : Papih jelek

(hening)

LT : “Mamih juga tahu maksud papih”. Mih, papih Cuma ingin mendengarkan

musik. Itu saja. Kalau mamih tak mau mendengarkan cianjuran,…ya apa saja…yang
penting bisa didengarkan…biar tak sepi seperti kuburan. Apa salahnya? Coba, apa
maksud mamih, “mamih juga tahu maksud papih?

WT : Mamih tahu apa yang ada di pikiran papih kalau papih sedang mendengarkan lagu

ciajuran yang itu…

LT : Apa coba?

WT : malah bertannya? Ya…mungkin papih merasa betah, masih bisa bernostalgia,


mengenang masa lalu sama si dia.

LT : Si Euis?... mamih, Mamih. Kayak anak remaja saja. Papih tidak punya pikiran apa-apa

kalau sedang mendengarkan cianjuran. Selain mendengarkan lagunya. Iramanya


membuat papih tenang dan hati menjadi terasa damai.

WT : Tetap saja, kalau yang didengarkan cuma kaset yang itu.

LT : Jadi masih juga curiga?

WT : Mau tidak curiga bagaimana. Papih membeli kaset itu setelah bertemu

Si Euis di supermarket waktu itu kan?

LT : Setahun yang lalu? Ah…mamih, papih kan membeli kasetnya baru bulan kemarin.

Niatnya juga mau menambah koleksi…

WT : Nambah koleksi? Tapi yang dibeli cuma Euis Komariah. Ga ada bosenya apa.

Siang, malam, pagi, sore yang diputer itu saja…seperti tak punya kaset yang lain saja.

LT : Mamih ini gimana sih. Papih kan dari dulu juga sukanya sama suara Euis Komariah,

bukan yang lain. Apa salahnya papih muter kasetnya. Hak asasi mih. Ini hanya masalah
selera. Bukan artinya papih muter kaset itu karena ingat sama Euis Komalasari.

WT : Masih ingat ternyata nama lengkapnya.

LT : Astagfirullah…mamih…

(Hening)

WT : Ya sudah, sana putar…

LT : Tak berselera lagi.

WT : Kok mempermasalahkan selera, ini masalah rasa kan?

LT : Ya tuhan…apa lagi sih?

WT : Memangnya mamih tak tau kelakuan papih kalau lagi mendengarkan kaset itu?

Beuh…Seperti yang sedang mendengarkan suara bidadari saja. Mata terpejam,


senyam-senyum sendiri. Malah sambil mengusap dada sendiri sambil menarik nafas
panjang seperti habis mendapat kebahagiaan.

LT : Terus mamih kira papi sedang memabayangkan Euis Komalasari, begitu?


WT : Apa lagi kalau bukan itu?

LT : Gustii…terus yang ada dipikiran mamih siapa? kalau mamih sedang berdendang

di dapur, di kamar mandi, di halaman rumah, di kamar, di mana-mana?

WT : Maksud papih apa? Mamih tidak pernah membayangkan siapa-siapa,

mamih spontan aja…

LT : Spontan? Wekks…menyanyikan lagu yang sudah berpuluh tahun spontan?

“untukmmu kuserahkan bungaku, oh kekasihku, kudambakan dirimu selalu…”

lagu murahan…

WT : Iya, lagu mamih memang murahan. Tapi, mamih tidak pernah

menyanyikan lagu yang sama. Memangnya lagu cuma satu…

LT : Memang tak cuma satu, tapi semua lagu terdengar sama, pake oh kekasihku,

kalau tidak kudambakan, kuharapkan, atau kurindukan….apa bedannya?

WT : Papih masih cemburu sama kang Saepul?

LT : Cemburu? Cemburu dari mana sama pimpinan orkes melayu? Hmm tak ada waktu ye…

untuk cemburu sama orang seperti dia. Papih cuma penasaran, pengen tau, kenapa
mamih menyanyikan lagu yang itu-itu saja…kayak anak remaja yang dilanda asmara
saja.

WT : o…ceritannya ngebales nih? Perkataan mami yang tadi nembak ya…karena papih

merasa sedang rindu-rindunya sama Euis. Lagi ingat sama sinden yang selalu
ditungguin setiap kali dia manggung, yang selalu papih sawer dulu, selalu terbayang
siang dan malam, eh dikawin orang… memangnya mamih tidak tahu. Sejak euis
Komalasari dikawin sama Bandar kayu orang Bantarkalong, papih terus sakit menahan
kecewa, sakit hati sampai bertahun-tahun tak mau mendengar cianjuran. Semua kaset
yang ada dibuang seperti sampah…sebelum akhirnya papih bertemu lagi sama Euis
yang sekarang menjanda. Terus sekarang papih nyebut-nyebut kang Saepul…

LT : Yey…siapa yang nyebut nama si ‘’Kumis Lele’’? yang nyebut namanya kan mamih?

Mih, seumur-umur belum pernah menyebut nama si ‘’Kumis Lele’’ pimpinan orkes
melayu yang suka nganter mamih dulu, yang suka memanjakan mamih dengan honor
yang banyak lebih dari penyanyi yang lain….
WT : Dia begitu karena mamih bintang panggung!! Dari mana papih tahu mamih

dapet honor banyak…???

LT : Suci, Nenden, Iceu…semuanya bicara sama.

WT : Ooo….orang-orang sirik itu….?

LT : Dari mereka papih juga tahu, bahwa dulu mamih pacaran sama Si Sae…eh si Kumis
Lele!!!

WT : Mamih ga pacara sama…

LT : Wihhh….weks…ga pacaran? Lalu apa di belakang panggung mamih dipeluk-peluk

sama si Kumis Lele…terus mamih diam saja menikmati. Masih kelihatan mih…masih
jelas!! Waktu orkes di alun-alaun dulu, maih digandeng kemudian dipeluk. Itu didepan
umum, apalagi kalau di tempat sepi? Papih tak minjam mata tak minjam telinga, tak
sekedar mendengar gossip, tapi papi melihat dengan mata kepala sendiri. Jelas sekali
betapa lengketnya mamih sama si ontohod. Rambut mamih dibelai-belai, terus pipi
mamih dicium. Yang dibelainya… diam saja…malah ketawa-ketawa seperti suka, apa
lagi waktu tangannya meraba pundak mami, terus kepunggung, terus mamih malah
sengaja membiarkan tangan si Kumis Lele terus turun, terus turun, terus turun, terus
megang pan…

WT : Ya alloh…papi…

LK : Mau beralasan apa? Hah..hah…segitu jelasnya! Kelakuan seperti itu mamih masih

bisa berkata “mamih ga pacaran sama si Kumis Lele…?

WT : Jadi Papih masih cemburu sama orang yang sudah tidak ada di dunia?

LK : Tapi kan si Kumis Lele masih hidup dalam pikiran mamih.

WT : Terus selama ini apa yang selalu ada dalam pikiran papih?

LK : (Diam)

WT : Jelas-jelas dia masih ada. Janda pula.

(hening)

Hayoh…mau ngeles apa?

(hening)
Kalau masih penasarana, mau besok, lusa silahkan dijemput. Malah kalau mau
sekarang, juga silahkan… masih apal kan alamat sinden Euis Komalasarinya?

LK : (diam)

WT : Memangnya mamih, kalau tiba-tiba teringat sama kang Saepul almarhum

karena mendengar sebuah lagu yang dulu suka mamih nyanyikan, mamih cuma bisa
membayangkan saja. Orangnya sudah tidak ada. Mamih tidak akan menutup-nutupi
bahwa kang Saepul yang membuat hidup mamih mapan. Kang saepul yang
mengajarkan mamih bisa seperti seperti dulu. Mamih bisa manggung, bisa dapat uang
untuk membatu orang tua, apa lagi mamih anak satu-satunya.

LK : (diam)

WT : Malah kalau papih tau, kang Saepul adalah orang yang pertama kali setuju agar

mamih menerima lamaran papih dulu. Kang Saepul mengijinkan mamih menikah,
karena yang ngelamar adalah Drs. Hadi Suwarna, pegawai Pemda. "Heh upit, mau
mencari laki-laki yang gimana lagi?," kata kang Saepul dulu. Kalau kang Saepul nggak
ngomong kaya begitu, belum tentu mamih bisa nerima papih…mamih juga pengen jadi
penyanyi terkenal…pengen rekaman…

(hening)

LK : Mih…

WT : Hmm…

LK : Papih juga sama. Walau pun euis masih ada. Janda pula. Tapi bukan berarti papih

bakal inget sama dia terus. Memang,…dulu pernah jadi pacar papih…kan papi udah
cerita…zaman sudah berubah, kehidupan kita juga sudah berubah. Sudah puluhan
tahun kita hidup bersama. Papi merasa bahagia bisa hidup sama mami. Apa lagi papi
semakin tua, sudah bau tanah. Kalaupun sekarang papi suka mendengarkan cianjuran,
semata-mata hanya karena lagunya mebuat tentram…bikin papi merasa tenang…

WT : Ya sama aja…mamih juga menyanyikan lagu itu, karena Cuma lagu

itu yang apal…lagu-lagu yang sering mami nyanyiin dulu. Sekedar mengobati sunyi…

(hening)

LT : Iya…kita tak pernah bisa menghidari rasa sunyi…kita tidak punya anak…

WT : Kita kan punya kardiman…sabtu besok datang…

LT : Tapi dia tetap milik orang tuanya. Apa lagi setiap pulang ke sini…
suka ziarah ke makam si Kumis Lele…

WT : Cemburu lagi ya?

LT : (ketawa kecil, gusar, dan geli)

Mih…sepertinya kardiman sama seperti kita, merasa kesepian juga?

WT : Memangnya kenapa?

LT : Ya….karena kalau sedang di rumah suka muter lagu rock…

(beraksi seperti menyanyikan lagu rock)

Anda mungkin juga menyukai