Anda di halaman 1dari 6

104

TERAPI SUPORTIF UNTUK MENURUNKAN DEPERSONALISASI PADA PASIEN


SKIZOFRENIA HEBEFRENIK DI RSJRW LAWANG MALANG
Ghiyats Mihmidaty
Program Studi Magister Profesi Psikolog, Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya
gmihmidaty@gmail.com

Abstrak
Dalam skizifrernia hebefrenik, terdapat gejala-gejala yang mencolok yang salah satunya adalah
Depersonalisasi, atau yang biasa dikenal sebagai hilangnya rasa memiliki identitas pribadi.
Depersonalisasi ini akan menjadikan penderita skizofrenia hebefrenik kehilangan energi dan
motivasi, menutup dan menarik diri dari kehidupan sosial. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui
pengaruh terapi suportif untuk menurunkan depersonalisasi pada penderita skizofrenia hebefrenik.
Metode penelitian yang digunakan yaitu single case design. Pengumpulan data yang digunakan
adalah observasi, wawancara, autoanamnesa yang dilakukan pada Subjek (saat di Rumah Sakit
Jiwa) dan alloanamnesa pada orang terdekat Subjek (saat Home Visit) dan tes psikologi berupa
WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale), Tes WWQ (Woodworth‘s Character Questionare), Tes
SSCT (Sacks Sentence Completion Test), Tes Grafis (BAUM, DAP, dan HTP), dan Tes Wartegg.
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang pasien laki-laki skizofrenia hebefrenik dengan usia 34
tahun yang merupakan salah satu pasien di Ruang Jalak Ruang Rawat Inap Dewasa Laki-laki, di
RSJ Radjiman Wediodiningrat, Lawang-Malang. Setelah dilakukan terapi suportif, menunjukkan
hasil bahwa Subjek dapat mengidentifikasi kemampuan positif yang dimiliki, Subjek mampu
menilai kemampuan yang dimiliki dapat dikembangkan, kemudian Subjek dapat memilih kegiatan
yang sesuai dengan kemampuannya.
Kata Kunci: skizofrenia hebefrenik, terapi suportif, deperasonalisasi

Abstract
In Hebefrenic schizophrenia, there are striking symptoms, one of them is Depersonalization, or
commonly known as the loss of feeling of personal identity. This depersonalization will make
Hebefrenic schizophrenics lose energy and motivation, close and withdraw from social life. The
purpose of this study was to determine the effect of supportive therapy to reduce depersonalization
in Hebefrenic schizophrenics. The research method used was a single case design. The data
collection used was observation, an interview called the autoanamnesia which was done on the
subject (at Mental Hospital) and the alloanamnesia to the closest person of the subject (home visit)
and the psychological test which is in the form of WAIS (Wechsler Adult Intelligence Scale),
WWQ test (Woodworth‘s Character Questionare), SSCT test (Sacks Sentence Completion Test),
Graphic test (BAUM, DAP, and HTP), and Wartegg test. The subject in this study was a 34-year-
old male patient with relapsing-remitting of Hebefrenic schizophrenic; he was one of the patients
in Jalak Room for Male Adult Inpatient Room, at Radjiman Wediodiningrat Hospital, Lawang-
Malang. After getting supportive therapy, the results show that the subject could identify the
positive abilities possessed, the subject was able to assess the capabilities that could be developed,
and then the subject could choose activities which were appropriate to his abilities.
Keywords: hebefrenic, schizophrenia, supportive therapy, deperasonalization

Kondisi kesehatan mental di Indonesia masih menjadi seribu penduduk. Kementerian Kesehatan (Kemenkes)
salah satu isu yang dikesampingkan. Padahal, secara melaporkan 7 dari 1.000 rumah tangga di Indonesia
jumlah, penderita gangguan mental terus memiliki anggota dengan gangguan skizofrenia,
meningkat. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) merujuk data Riset Kesehatan Dasar 2018. Angka ini
2013 menunjukkan prevalensi gangguan mental melonjak tiga kali lipat dibandingkan dengan tahun
emosional dengan gejala gejala depresi dan kecemasan 2013. Skizofrenia merupakan bentuk gangguan
pada usia 15 tahun mencapai 14 juta orang. Angka ini psikosis paling berat, dan menimbulkan disorganisasi
setara dengan 6 persen jumlah penduduk Indonesia. personalitas yang terbesar. Dalam kasus berat, Subjek
Sementara itu, prevalensi gangguan jiwa berat seperti tidak mempunyai kontak dengan realitas, sehingga
skizofrenia mencapai 400 ribu atau sebanyak 1,7 per pemikiran dan perilakunya abnormal. Perjalanan

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019


PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
105

penyakit ini secara bertahap akan menuju arah phrases). Proses pikir mengalami disorganisasi dan
kronistis, tetapi sekali-kali bisa timbul serangan. pembicaraan tak menentu (rambling) serta inkoheren.
Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Selain gejala perilaku, skizofrenia hebefrenik juga
Gangguan Jiwa-III (Depkes RI 1993), gangguan ditandai dengan adanya disorganisasi konseptual, yaitu
skizofrenia umumnya ditandai oleh distorsi pikiran dan misalnya menjawab yang tidak sesuai dengan
persepsi yang mendasar dan khas, dan oleh afek yang pertanyaan yang diberikan, irelevan atau inkoheren,
tidak wajar (inappropriate) atau tumpul (blunted). menjauh dari topik bahasan yang didiskusikan,
Kesadaran yang jernih dan kemampuan intelektual mengguanakan neologisme, atau mengulang-ulang
biasanya tetap dipertahankan, walaupun defisit kognitif beberapa kata atau frase. Juga terjadi disorientasi, yaitu
tertentu dapat berkembang kemudian. gangguan pengenalan tempat, waktu, usia, atau
Skizofrenia adalah salah satu gangguan jiwa berat yang seseorang (Stahl, 2013).
dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, dan perilaku Skizofrenia hebefrenik, mulainya biasanya pada akhir
individu. Skizofrenia adalah bagian dari gangguan belasan tahun. Gejala yang mencolok adalah gangguan
psikosis yang terutama ditandai dengan kehilangan proses berpikir, gangguan kemauan dan adanya
pemahaman terhadap realitas dan hilangnya daya tarik depersonalisasi atau double personality. Menurut
diri (Insight) (Sadock et al., 2014). Pada ganggua Semiun (2007) gangguan depersonalisasi adalah suatu
psikosis, termasuk juga skizofrenia, dapat ditemukan kehilangan atau dostorsi diri yang sifatnya sementara
gejala gangguan jiwa berat seperti halusinasi, waham, dan ahanya terjadi sekali-kali. Pengalaman
perilaku kacau, dan pembicaraan yang kacau, serta depersonalisasi mungkin dapat digambarkan dengan
gejala negatid. (Stahl, 2013). Pada PPDGJ-III terdapat baik sebagai suatu pengalaman ―seolah-olah‖ (as if)
beberapa subtipe skizofrenia, yaitu skizofrenia berkenaan dengan diri. Maksudnya, individu-individu
paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, dengan gangguan ini merasa seolah-olah ukuran kaki
skizofrenia tak terinci, skizofrenia residual, dan dan tangan mereka berubah, seolah-olah mereka
skizofrenia simpleks, serta depresi pasca skizofrenia bertindak secara mekanik, seolah-olah mereka berada
(Depkes RI, 1993). dalam mimpi, atau seolah-olah mereka keluar dari
Di dalam pedoman Penggolongan dan Diagnosis tubuh mereka dan melihat diri mereka dari kejauhan
Gangguan Jiwa-III (PPDGJ-III), Skizofrenia (Semium, 2006). Secara mekanis, pasien dapat merasa
hebefrenik adalah suatu bentuk skizofrenia dengan terpisah dari pikiran, emosi, dan identitas diri mereka.
perubahan afektif yang tampak jelas, dan secara umum Walaupun banyak orang mengalami fenomena ini
juga dijumpai waham dan halusinasi yang bersifat sementara dengan bentuk yang ringan, orang yang
mengambang serta terputus-putus (Fragmentary), mendapatkan diagnosis klinis gangguan ini, bentknya
perilaku yang tak bertangggung jawab dan tidak dapat lebih berat dan berulang. Sebuah episode biasanya
diramalkan, serta umumnya mannerisme. Suasana muncul mendadak (sering ketika relaksasi setelah
perasaan (mood) Subjek dangkal dan tidak wajar mengalami stres).
(inappropiate), sering disertai oleh cekikikan Penanganan secara medis tidaklah cukup untuk
(giggling) atau perasaan puas diri (self-satisfied), membantu proses pemulihan. Penanganan lain yang
senyum sendiri (self-absorbed smiling), atau oleh sikap dapat menunjang proses pemulihan adalah terapi secara
yang angkuh/ agung (lofty manner), tertawa psikologis. Cara ini dimaksudkan agar dapat
menyeringai (grimaces), mannerisme, mengibuli secara mengembangkan ketrampilan sosial yang lebih baik
bersendau gurau (pranks), keluhan yang hipokondrik, dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
dan ungkapan kata yang diulang-ulang (reiterated masyarakat. Kebanyakan pasien
skizofrenia tidak memiliki keterampilan sosial yang ketrampilan bekerja dan bersosial untuk membantu
baik dalam menyesuaikan diri sehingga pada saat pasien dalam mempelajari bagaimana menempatkan
berhadapan dengan lingkungan, mereka kurang mampu diri saat setelah keluar dari Rumah Sakit Jiwa.
menempatkan fungsinya sebagaimana yang diharapkan Secara umum gambaran subjek penelitian adalah
oleh komunitasnya. Pasien skizofrenia biasanya gagal seorang laki-laki berusia 34 tahun, pendidikan terakhir
dalam menjalankan peran sosial maupun pekerjaan. SMA, agama Islam, suku Jawa, tinggal di Mojokerto,
Hal inilah yang membatasi pasien dalam bersosialisasi status belum menikah, tidak bekerja, diantar ke unit
lebih leluasa dengan lingkungan sekitar. Sehingga gawat darurat (UGD) Rumah Sakit Jiwa Radjiman
Rumah Sakit Jiwa Radjiman Wediodiningrat Wediodiningrat (RSJRW) Lawang, Malang pada
menggunakan pendekatan pelatihan ketrampilan sosial tanggal 25 September 2018 oleh kakak Subjek dengan
dengan memberikan bekal pengetahuan mengenai keluhan mengamuk saat akan diberikan obat, dan

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019


PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
106

melukai keluarga jika memaksa minum obat sehingga Pasien dengan gangguan ini mengalami periode dengan
terlambat minum obat, dan faktor lain yaitu terlambat perasaan tidak menyenangkan yang kuat bahwa diri
kontrol karena jarak yang jauh dari rumah dan RSJRW. mereka tidak nyata (depersonalisasi), sering disertai
Keluhan tersebut sudah dirasakan selama seminggu perasaan, lingkungan juga menjadi tidak nyata
sejak Subjek tidak mau minum obat. Selain itu terlihat (derealisasi). Secara mekanis, pasien dapat merasa
bingung, diam dengan ekspresi wajah tegang dan terpisah dari pikiran, emosi, dan identitas diri mereka.
gampang marah, dan juga kegiatan menurun. Walaupun banyak orang mengalami fenomena ini
Menurut keluarga Subjek Pertama kali Subjek lulus smeentara dengan bentuk yang ringan, orang yang
sekolah SMA, Subjek pernah menyukai teman mendapatkan diagnosis klinis gangguan ini, bentknya
perempuan di sekolahnya. Namun, temannya tersebut lebih berat dan berulang. Karakteristik utama dari
sudah dipinang lelaki lain sehingga membuat Subjek gangguan depersonalisasi adalah adanya perasaan
patah hati. Saat itu pertama kali Subjek murung. pemisahan dan sesuatu hal menjadi tidak nyata. Proses
Setelah itu Subjek meminta untuk tinggal di pondok dalam tubuh individu dan peristiwa di lingkungan
pesantren untuk menghafal Al Qur‘an. Belum sempat sekitar sebenarnya berlangsung seperti biasa dan tidak
pada tahapan menghafal AL Quran, Subjek diminta ada perubahan berarti, namun mereka merasakan
pulang untuk menemani orang tua di rumah yang adanya perbedaan. Mereka merasakan bahwa beberapa
hanya tinggal berdua. Dan diminta keluarga ketika pagi bagian tubuhnya berubah dan menjadi asing bagi
hari membantu keluarga, sedangkan sore baru mereka, misalnya menjadi lebih besar atau lebih kecil
berangkat ngaji di pondok. Saat itu Subjek mulai dari pada sebelumnya (hidungnya menjadi leih besar,
terlihat bingung dan marah. Subjek mengatakan ingin tangannya menjadi lebih panjang). Selain itu, mereka
―jika kerja ya hanya kerja, dan jika ngaji ya hanya juga dapat merasa bahwa sebagian tubuh mereka tidak
ngaji‖, dari situ Subjek dari orang yang pendiam ada dan tidak nyata. Secara mekanis, pasien dapat
menjadi semakin diam dan lebih suka memendam. merasa terpisah dari pikiran, emosi, dan identitas diri
Ketika Subjek sudah bekerja, Subjek justru diminta mereka. Walaupun banyak orang mengalami fenomena
Ayah berhenti bekerja karena menurut Ayah, pekerjaan ini sementara dengan bentuk yang ringan, orang yang
yang dilakukan Subjek terlalu berat dan Ayah merasa mendapatkan diagnosis klinis gangguan ini, bentknya
kasihan dan hanya diminta bekerja membantu lebih berat dan berulang. Sebuah episode biasanya
pekerjaan rumah. Setelah itu, Subjek pun suka tiba-tiba muncul mendadak (sering ketika relaksasi setelah
marah-marah terhadap keluarga meskipun tidak ada mengalami stres). depersonalisasi mungkin dipicu oleh
sebab yang mendasar. stres atau trauma, dan hal tersebut sering terjadi
Melihat Subjek seperti orang frustasi, Kakak Subjek bersama dengan kondisi kesehatan mental seperti
pun mengajak Subjek bekerja di pabrik. Di pabrik kecemasan, depresi, atau skizofrenia. Dalam beberapa
Subjek menyukai seorang perempuan. Perempuan kasus, hal tersebut dimulai tiba-tiba tanpa sebab yang
tersebut membalas perasaan Subjek namun dianggap jelas. Sedangkan penyebab pasti gangguan
tidak serius. Setelah Subjek sangat mencintainya, depersonalisasi belum pasti. Namun, tampaknya dapat
perempuan tersebut tiba-tiba pergi tanpa kabar. Subjek dihubungkan dengan ketidakseimbangan pembawa
pun kebingungan mencari kesana kemari. Setelah itu, pesan kimia otak tertentu (neurotransmitter) seperti
Subjek pun sering murung, melamun, dan semakin yang terjadi pada Subjek dengan gangguan skizofrenia
suka marah-marah tanpa alasan. Subjek pun semakin hebefrenik ini merasa dirinya tidak berharga, dan
menarik diri dari kegiatan di luar rumah. sering minder merasa begitu banyak kekurangan dalam dirinya.
saat bertemu dnegan orang lain. Dari keadaan tersebut, Dengan adanya depersonalisasi pada subjek maka perlu
Subjek pun memperlihatkan jika Ia terkena gangguan. diberikan psikoterapi untuk menguranginya.
Subjek penelitian penelitian yang diteliti juga Psikoterapi yang diberikan pada penelitian ini adalah
menggambarkan kemampuan fungsi sosial yang kurang psikoterapi supportif. Kaplan, Sadock & Grebb, 1997
baik dan cukup bermasalah dengan lingkungan sosial. menjelaskan bahwa psikoterapi suportif (atau biasa
Selain itu, subjek merasa bahwa dirinya hanyalah robot disebut juga psikoterapi berorientasi hubungan)
yang sedang menjalani hidup tidak nyata sebagai orang menawarkan dukungan kepada Subjek oleh seorang
lain atas perintah seseorang. Subjek juga seringkali terapis selama periode penyakit, kekacauan atau
tidak dapat menegndalikan tindakan, termasuk saat dekompensasi sementara. Pendekatan ini juga memiliki
marah dan berbicara. Ia juga menganggap dirinya tujuan untuk memulihkan dan memperkuat pertahanan
memiliki tubuh yang tidak normal layaknya orang lain. pasien serta mengintegrasikan kapasitas yang telah
terganggu. Cara ini memberikan suatu periode

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019


PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
107

penerimaan dan ketergantungan yang membutuhkan mengatasi atau menghadapi stressor tersebut dan
bantuan untuk menghadapi rasa bersalah, malu dan menganjurkan untuk berobat teratur.
kecemasan serta dalam menghadapi frustasi atau Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan
tekanan eksternal yang mungkin terlalu kuat untuk dengan cara mengobservasi respon depersonalisasi
dihadapi. pada pasien dengan. Observasi pertama dilakukan pada
intrevensi pertama tanpa didahului pemberian terapi
METODE suportif. Sedangkan observasi kedua dilakukan dengan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif didahului tindakan intervensi.
Single Case Design (desain satu kasus) yang
merupakan sebuah desain penelitian untuk HASIL DAN PEMBAHASAN
mengevaluasi efek suatu perlakuan dengan kasus Pelaksanaan penerapan terapi supportif untuk
tunggal. Menurut Phares, (dalam Suprapti S. Markam, menurunkan depersonalisasi pada pasien skizofrenia
2003), menjelaskan bahwa desain satu kasus dilakukan dalam 9 sesi pertemuan. Dengan pertemuan
merupakan perwujudan dari pendekatan perilaku pertama yaitu katarsis yang dilakukan oleh Subjek.
(behavioral opproach) yang mengutamakan Kemudian pertemuan kedua yaitu review dari katarsis
pengukuran perilaku nyata seperti yang dianjurkan yang dilakukan Subjek, sesi ini adalah saat untuk
dalam belajar operan. Desain penelitian yang mereview ungkapan-ungkapan yang telah
digunakan dalam desain kasus tunggal (single-case diekspresikan oleh Subjek. Pertemuan ketiga sampai
design) yaitu menggunakan format A-B-A sehingga dengan pertemuan kelima yaitu sesi konseling.
tahap awal yaitu fase baseline (A) adalah menentukan Pertemuan ini menjelaskan kepada Subjek bahwa apa
target yaitu tahap awal dalam intervensi sebagai aspek yang terjadi pada dirinya merupakan efek dari depresi,
perilaku yang akan di inervensi. Kemudian, tahap cemas, dan tidak mampunya Subjek menghadapi
kedua fase intervensi (B) yaitu, pemberian treatment permasalahan yang dialaminya. Selain itu, Subjek juga
dimana penerapan tehnik intervensi dilakukan. Setelah tidak menerima apa yang terjadi pada dirinya, sehingga
diberikan treatment, tahap terakhir yaitu fase baseline Ia sering merasa bahwa dirinya bukanlah dirinya yang
(A) evaluasi yang merupakan tindak lanjut dari tehnik sebenarnya. Ia merupakan robot yang hanya menjalani
intervensi. Tahap evaluasi ini untuk mengetahui apakah kehidupan yang tidak nyata. Ia melihat dirinya
subjek dapat mempertahankan perilaku yang sudah memerankan figur lain dalam tubuhnya. Pada
diintervensi dengan baik. pertemuan tahap konseling ini, mengajak Subjek untuk
Subjek dalam penelitian ini adalah salah satu pasien membuka pikirannya bahwa apa yang terjadi pada
skizofrenia dengan tipe hebefrenik dimana sesuai dirinya hanyalah akibat dari trauma yang pernah
dengan ketentuan dari PPDGJ-III, yang merupakan dialami oleh Subjek pada perempuan, trauma ini juga
suatu bentuk skizofrenia dengan gangguan proses didukung oelh ketidak mampuan Subjek dalam
berfikir, gangguan kemauan dan adanya menyampaikan dan mengekspresikan pendapat dan isi
depersonalisasi dan sering terdapat, waham, halusinasi dari pikirannya. Pada pertemuan terakhir, tahap
serta menarik diri. evaluasi. Tahap dimana mengetahui perubahan perilaku
Teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti dari sebelum adanya perlakuan atau intervensi dan
dalam penelitian ini adalah metode wawancara sesudah diberikannya intervensi pada Subjek.
(autoanamnesa dan alloanamnesa), observasi dan tes Subjek adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun,
psikologi. Tes psikologi yang digunakan adalah WAIS Subjek merupakan individu dengan kapasitas
(Wechsler Adult Intelligence Scale), Tes WWQ kecerdasan dibawah rata-rata. Ia merupakan anak
(Woodworth‘s Character Questionare), Tes SSCT terakhir dari delapan bersaudara. Dari masa kanak-
(Sacks Sentence Completion Test), Tes Grafis kanak hingga usia dewasa, Subjek tinggal bersama
(BAUM, DAP, dan HTP), dan Tes Wartegg. orang tua dan ke-enam saudaranya. Subjek merupakan
Jenis intervensi terapi yang diberikan adalah individu yang pendiam, sehingga keluarga khususnya
pendekatan dari terapi supprotif. Terapi supportif yang orang tua memberi perlakuan dan perhatian khusus.
digunakan adalah ventilasi/ katarsis yaitu memberikan Kedua orang tua dan saudara-saudara Subjek
kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan memperlakukan Subjek dengan kasih sayang yang
perasaan dan keluhannya sehingga pasien merasa lega. berlebihan, Subjek dilarang bekerja jiak orang tuanya
Terapi supportif yang kedua yaitu konseling untuk menganggap pekerjaan tersebut begitu berat. Subjek
membantu pasien memahami penyakitnya, membantu juga diminta tetap diruamh saat Subjek ingin
melanjutkan pendidikan di pesantren. Subjek pun kerap

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019


PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
108

kali tidak mampu menyampaikan pendapatnya 1. Manfaat Teoritis


sehingga Subjek merasa tidak bebas dan tidak mampu a. Sebagai dasar informasi ilmiah dibidang ilmu
mengutarakan pendapat-pendapatnya. Saat itu pertama psikologi perkembangan maupun klinis untuk
kali subjek merasa dikendalikan seperti robot karena mengkaji lebih lanjut terapi gerak sebagai salah
hanya mengikuti perkataan orang lain,terlebih orang satu media terapi alternatif untuk menurunkan
yang dianggapnya lebh tua. Subjek tidak begitu banyak stres anak terdampak banjir ditinjau dari usia.
memiliki teman seumuran, hal tersebut membuat 2. Manfaat Praktis
Subjek menjadi pribadi yang mudah tergantung dengan a. Klien
orang lain dan kurang mandiri, dan menjadikan Subjek Klien diharapakan mau menceritakan beban dan
tidak mampu mengambil keputusan dengan wajar isi pikiram yang dirasakan dengan orang
sesuai dengan kebutuhannya. terdekat.\en diharapkan mampu memanfaatkan
Saat duduk di bangku sekolah menengah keatas, terapi bernafas yang diberikan untuk
Subjek menyukai seorang teman perempuannya namun mengendalikan emosinya.
cintanya ditolak. Dan saat Subjek bekerja, Subjek b. Keluarga
menyukai dan menjalin hubungan dengan rekan kerja Keluarga diharapkan tidak mengucilkan/
perempuan di tempat Ia bekerja. Namun, tanpa kabar mengasingkan Klien, sehingga Klien merasa
perempuan tersebut pergi meninggalkannya. Subjek nyaman di rumah dan tidak mudah kambuh lagi.
depresi, merasa dirinya tidak berharga, dan merasa Selain itu, diharapan bagi keluarga juga
begitu banyak kekurangan dalam dirinya. Hal tersebut diharapkan memahami kondisi kejiwaan Klien
membuat Subjek tidak menerima apa yang terjadi pada dan meminimalisir faktor-faktor yang memicu
dirinya, dan merasa apa yang menimpa pada dirinya depresi. Selain itu keluarga juga diharapkan
tidak nyata dan Ia hanyalah robot yang sedang membimbing Klien untuk melakukan kegiatan
menjalani hidup yang tidak nyata sebagai orang lain sesuai dengan kemampuan dan keinginannya,
atas perintah seseorang. Subjek juga seringkali tidak mengajak Klien untuk melakukan kegiatan
dapat menegndalikan tindakan, termasuk saat marah sehari-hari di rumah. Jangan memberikan tugas
dan berbicara. Ia juga menganggap dirinya memiliki yang sudah diketahui dimana tidak dapat
tubuh yang tidak normal layaknya orang lain sehingga diselesaikan. Tidak lupa untuk memonitor
menjadikannya menarik diri dari sosial dan tidak minum setiap minum obat setiap hari serta
memiliki tujuan dalam hidupnya. membnatu kontrol rutin ke pelayanan kesehatan.
Hasil terapi supportif yang diberikan, dengan adanya c. Rumah Sakit
perubahan perilaku menuju arah yang lebih baik Rumah sakit jiwa merupakan tempat pemberian
ditandai dengan berkurangnya depresi pada Subjek, bantuan kepada Klien, diharapkan seluruh
menjadi tidak muah putus asa, dan mampu menerima petugas kesehatan baik perawat, dokter,
keberadaan dirinya. psikolog mampu memberikan contoh positif
kepada Klien, dan senantiasa mengingatkannya
PENUTUP untuk meminum obat secara secara teratur.
Simpulan
Berdasarkan hasil pengumpulan data dan
pemeberian intervensi yang dilakukan oleh peneliti
selama penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa 1) DAFTAR PUSTAKA
gambaran klinis pasien skizofrenia hebefrenik dengan
Alwisol. (2014). Psikologi Kepribadian. Malang:
depersonalisasi, ditandai dengan depresi, merasa tidak
UMM Press.
berharga, dan tidak mampu mampu menerima
keberadaan dirinya; 2) hasil penerapan terapi supportif Kaplan, H. I., Sadock, B. J., & Grebb, J. A. (2010).
untuk menurunkan depersonalisasi pada Subjek Sinopsis Psikiatri Jilid Dua. Tangerang:
berdampak posistif, karena ada perubahan ada Binarupa Aksara.
perubahan perilaku kearah yang lebih baik ditandai
dengan depresi yang berkurang, tidak putus asa, dan Maslim, R. (2013). Buku Saku Diagnosis Gangguan
mampu menerima keberadaan dirinya, mampu Jiwa PPDGJ III. Jakarta: Bagian Ilmu
bersosialisasi, dan mampu mengidentifikasi tujuan Kedokteran Jiwa FK-Unika Atmajaya.
hidupnya.
Saran Sadarjoen, S. S. (2011). Aplikasi Paradigma
Psikopatologi Pada Kasus Klinis di Indonesia.

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019


PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019
109

Bandung: BKU Magister Profesional Semium, Y. (2010). Teori Kepribadian & Terapi
psikologi. Psikoanalitik Freud. Yogyakarta: Kanisius.

Semium, Y. (2006). Kesehatan Mental 2. Yogyakarta: Tomb., D. A. (2004). Psikiatri. Jakarta: Buku
Kanisius. Kedokteran EGC.

Semium, Y. (2006). Kesehatan Mental 3. Yogyakarta: Yudhantara, S., & Istiqomah, R. (2018). Sinopsis
Kanisius. Skizofrenia Untuk Mahasiswa Kedokteran.
Malang: UB Press.

Prosiding Seminar Nasional & Call Paper Psikologi Sosial 2019


PSIKOLOGI SOSIAL DI ERA REVOLUSI INDUSTRI 4.0:
PELUANG & TANTANGAN
Fakultas pendidikan Psikologi, Aula C1, 4 Mei 2019

Anda mungkin juga menyukai