Laporan Tutorial Skenario D Blok 17 Tahun 2019 Tutor DR Henry Sugiharto Sps Disusun Oleh PDF Free
Laporan Tutorial Skenario D Blok 17 Tahun 2019 Tutor DR Henry Sugiharto Sps Disusun Oleh PDF Free
Tutor:
dr. Henry Sugiharto, Sp.S
Disusun Oleh:
Puji Syukur selalu kami curahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial
Skenario D Blok 17 Tahun 2019” ini dengan baik sebagai tugas kelompok.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada tutor yang telah membimbing kami selama
tutorial, semua teman sekelompok, dan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian
laporan tutorial ini.
Kami menyadari bahwa dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan. Karena
itulah kami mengharapkan kritik dan saran dari tutor maupun pembaca lain yang bersifat
membangun supaya ke depannya laporan tutorial ini dapat menjadi lebih baik lagi, baik
dari segi sistematika, penulisan, ataupun yang lain-lain.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk membuka wawasan yang
lebih luas lagi. Semoga kita selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.
Palembang,
Kelompok B1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar..……………………………………………………….………………….. 2
Skenario...…………………………………………………………………………………4
I. Klarifikasi Istilah
…………………………………………………………………
II. Identifikasi Masalah ……………………………………….….………….......…
III. Analisis Masalah
………………………………………………….…………….
IV. Learning Issues…………………………………………………...…....……….
V. Sintesis …………………………………………………………………………
VI. Kerangka Konsep …………………………………………………………...….
VII. Kesimpulan ……………………………………………………………..….......
Daftar Pustaka
………………………………………………………………………………
Skenario D Blok 17 Tahun 2019
Seorang anak laki laki, usia 3 tahun datang dengan kejang yang disertai demam.
Sekitar tiga jam yang lalu, terjadi satu kali bangkitan berupa seluruh badan kaku,
mata mendelik ke atas, pasien tidak sadar, berlangsung kurang lebih 20 menit,
berhenti setelah diberi diazepam rektal 10 mg di unit gawat darurat.
Dari anamnesis terhadap ibu penderita, sekitar enam jam yang lalu, pasien mulai
demam tinggi, suhu diukur oleh ibu pasien sesaat sebelum kejang 39,5o C. Pasien
mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah, makan dan minum tidak
ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel. Sebelumnya pasien sudah pernah dua
kali mengalami bangkitan serupa yang disertai demam, yaitu 5 bulan dan 2 bulan
yang lalu, masing-masing satu kali dengan lamanya kurang dari 5 menit. Pasien
berobat ke dokter, dikatakan kejang demam, tidak diberi obat kejang oral namun
diberi bekal diazepam rektal 10 mg dan diinstruksikan untuk diberi saat kejang. Saat
episode ini orang tua pasien tidak memberi diazepam rektal karena alasan takut salah.
Tidak terdapat riwayat kejang di keluarga. Orang tua pasien menanyakan apakah
dibutuhkan pemeriksaan rekam otak (elektroensefalografi) atau CT scan kepala,
apakah perlu mendapat obat untuk kejangnya dan adakah kemungkinan efek samping
obat, bagaimana kemungkinan epilepsi dan pengaruh kejang terhadap kecerdasan
anak.
Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3000
gram. Riwayat perkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini bicara pasien
sudah sepenuhnya dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar +),
DPT-Hepatitis B-HiB 4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah
makan makanan keluarga.
Pemeriksaan Fisis Umum:
Berat badan 15 kg, tinggi badan 97 cm. Kesadaran: GCS pediatrik 15, sedikit
rewel, makan minum masih mau, suhu aksila 38,3o C, nadi 100x/menit, frekuensi
nafas 28x/menit. Kepala: lingkar kepala 50 cm, ubun-ubun besar menutup,
konjungtiva tidak pucat, nampak faring hiperemis, tonsil T2-T2 hiperemis, ada
eksudat di faring dan tonsil. Jantung, paru, abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
Pemeriksaan Neurologis:
Nervi craniales tidak nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas,
tidak nampak ada paresis otot. Refleks tendon dalam batas normal. Tidak ada refleks
patologis atau klonus. Kaku kuduk tidak ada, tanda Brudzinsky I dan II negatif,
Kernig negatif.
I. Klarifikasi Istilah
No Istilah Arti
8. BCG Vaksin hidup yang berisi bakteri atau kuman tbc yang
dilemahkan untuk memberi sedikit perlindungan
terhadap TBC.
11. Eksudat Cairan tinggi protein dan debris sel yang keluar dari
pembuluh darah serta diendapkan di sebuah jaringan,
biasanya merupakan hasil peradangan.
12. Paresis Paralisis ringan atau tak lengkap.
13. Tonus Kontraksi otot yang ringan yang terus menerus yang
pada otot rangka membantu dalam mempertahankan
postur dan pengembalian darah ke jantung.
1. Seorang anak laki laki, usia 3 tahun datang dengan kejang yang disertai
demam. Sekitar tiga jam yang lalu, terjadi satu kali bangkitan berupa seluruh
badan kaku, mata mendelik ke atas, pasien tidak sadar, berlangsung kurang lebih
20 menit, berhenti setelah diberi diazepam rektal 10 mg di unit gawat darurat.
2. Dari anamnesis terhadap ibu penderita, sekitar enam jam yang lalu, pasien
mulai demam tinggi, suhu diukur oleh ibu pasien sesaat sebelum kejang 39,5o C.
Pasien mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah, makan dan
minum tidak ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel. Sebelumnya pasien
sudah pernah dua kali mengalami bangkitan serupa yang disertai demam, yaitu 5
bulan dan 2 bulan yang lalu, masing-masing satu kali dengan lamanya kurang dari
5 menit. Pasien berobat ke dokter, dikatakan kejang demam, tidak diberi obat
kejang oral namun diberi bekal diazepam rektal 10 mg dan diinstruksikan untuk
diberi saat kejang. Saat episode ini orang tua pasien tidak memberi diazepam
rektal karena alasan takut salah. Tidak terdapat riwayat kejang di keluarga.
3. Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3000
gram. Riwayat perkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini bicara pasien
sudah sepenuhnya dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar
+), DPT-Hepatitis B-HiB 4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah
makan makanan keluarga.
5. Pemeriksaan Neurologis:
Nervi craniales tidak nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas,
tidak nampak ada paresis otot. Reflex tendon dalam batas normal. Tidak ada reflex
patologis atau klonus. Kaku kuduk tidak ada, tanda Brudzinsky I dan II negatif,
Kernig negatif.
2. Dari anamnesis terhadap ibu penderita, sekitar enam jam yang lalu, pasien mulai
demam tinggi, suhu diukur oleh ibu pasien sesaat sebelum kejang 39,5oC. Pasien
mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah, makan dan minum
tidak ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel. Sebelumnya pasien sudah
pernah dua kali mengalami bangkitan serupa yang disertai demam, yaitu 5 bulan
dan 2 bulan yang lalu, masing-masing satu kali dengan lamanya kurang dari 5
menit. Pasien berobat ke dokter, dikatakan kejang demam, tidak diberi obat kejang
oral namun diberi bekal diazepam rektal 10 mg dan diinstruksikan untuk diberi saat
kejang. Saat episode ini orang tua pasien tidak memberi diazepam rektal karena
alasan takut salah. Tidak terdapat riwayat kejang di keluarga.
a. Bagaimana anamnesis pada penderita kejang?
Frekuensi dan lama kejang
Kapan terjadinya
Pertama kali atau sudah pernah
Bila sudah pernah, saat umur berapa?
Sifat kejang
Gejala penyerta (muntah, lumpuh, kemunduran fungsi kognitif)
Kesadaran waktu kejang dan pasca kejang
Demam: timbul mendadak dan lamanya, menggigil, mengigau,
Gejala penyakit penyerta: Mencret, muntah, sesak nafas, dll
d. Mengapa kejang pada 5 dan 2 bulan yang lalu lamanya kurang dari 5 menit
sedangkan saat ini kurang lebih 20 menit?
Kejang sebelumnya merupakan kejang demam simpleks, lalu bertambah berat
sehingga durasi kejang bertambah.
e. Apa hubungan kejang 5 bulan dan 2 bulan yang lalu terhadap kejang saat ini?
Ini menunjukkan bahwa pasien menderita kejang demam dikarenakan kejang
yang dialami pada 5 bulan dan 2 bulan lalu pun merupakan kejang demam.
i. Apakah perlu mendapat obat untuk kejangnya dan adakah kemungkinan efek
samping obat?
Perlu diberikan rumatan kontinyu karena pasien telah memenuhi salah satu
indikasi diberikannya rumatan, yaitu mengalami kejang > 15 menit. Ada dua jenis
obat yang dapat diberikan sebagai rumatan, yaitu asam valproat dan fenobarbital.
Efek samping dari asam valproat adalah nafsu makan bertambah,
trombositopenia, dan hepatotoksisitas (terutama pada anak < 2 tahun). Efek
samping dari fenobarbital adalah gangguan belajar, gangguan perilaku, dan sedasi.
Setelah menimbang dari efek samping masing-masing obat, rumatan kontinyu yang
dipilih adalah asam valproat.
3. Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3000 gram.
Riwayat perkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini bicara pasien sudah
sepenuhnya dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar +), DPT-
Hepatitis B-HiB 4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah makan
makanan keluarga.
a. Bagaimana perkembangan normal anak usia 3 tahun?
Tahap Perkembangan Anak 2-3 Tahun
1) Perkembangan Motorik
Masa ini disebut sebagai masa sangat aktif dari seluruh masa kehidupannya,
karena tingkat aktivitasnya dan perkembangan otot besar mereka sedang tumbuh.
Demikian halnya dengan kemampuan motorik halus anak, sudah mulai meningkat.
Dengan demikian masa ini disebut juga sebagai masa belajar berbagai kemampuan
dan keterampilan, dengan berbekal rasa ingin tahu yang cukup kuat dengan
seringnya anak mencoba hal-hal baru dan seringnya pengurangan menyebabkan
masa ini menjadi masa yang tepat untuk mempelajari keterampilan baru.
Kemampuan motorik yang dimiliki anak sbb;
Tabel. Aspek perkembangan motorik anak usia 2-3 tahun
Usia Motorik Kasar Motorik Halus
24-36 Mulai dapat memanjat dan Melakukan kegiatan dengan satu
bulan melompat lengan, seperti mencorat-coret
(2-3 dengan alat tulis
tahun)
Mulai kenal irama dan mulai Menggunakan sendok dan garpu
membuat gerakan-gerakan yang tanpa menumpahkan makanan
berkaitan dengan menari
Melompat dengan 2 kaki Melepas kancing jepret
Berdiri dengan satu kaki selama Membuka halaman buku
beberapa saat berukuran besar satu persatu
Naik turun 4-6 anak tangga tanpa Memegang gunting dan mulai
bantuan dan biasanya tidak jatuh memotong kertas
Menaiki dan mendorong benda Memakai dan melepas sepatu
keras seperti meja, kursi, dan berperekat/tanpa tali
lain-lain
*Score:
12 suggests a severe head injury.
8 suggests need for intubation and ventilation.
6 suggests need for intracranial pressure monitoring.
**If the patient is intubated, unconscious, or preverbal, the most important part
of this scale is motor response. This section should be carefully evaluated.
5. Pemeriksaan Neurologis:
Nervi craniales tidak nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas, tidak
nampak ada paresis otot. Refleks tendon dalam batas normal. Tidak ada refleks
patologis atau klonus. Kaku kuduk tidak ada, tanda Bruzinsky I dan II negatif,
Kernig negatif.
a. Bagaimana interpretasi dan nilai normal dari pemeriksaan neurologis?
Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Interpretasi
c. Apa makna kaku kuduk, tanda Brudzinski I&II, dan Kernig negatif?
Pemeriksaan kaku kuduk, kernig sign, dan brudzinsky sign 1 dan 2 merupakan
pemeriksaan rangsang meninges, sehingga hasil negatif mengindikasikan
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda meningitis. Hal ini
bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis banding, terutama diketahui bahwa pasien
juga mengalami demam.
Terpapar toksin
Emboli sepsis
Malaria
Syncope
Kejang disertai demam adalah hal yang sering terjadi pada anak. Banyak
diantaranya disebabkan proses intrakranium yang berbahaya ataupun proses
sistemik. Kondisi-kondisi ini harus dapat dibedakan segera dari kejang demam.
Kejang demam khas ditandai adanya peningkatan suhu tubuh secara cepat diikuti
oleh kejang. Sementara pada proses infeksi intrakranial, demam terjadi bersamaan
atau setelah kejang.
Pada anak <1 tahun, diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah meningitis.
Pada meningitis bayi tampak letargi, ubun-ubun besar tampak menonjol, dan
pemeriksaan darah tepi menunjukkan leukositosis. Pada keadaan ini pemeriksaan
pungsi lumbal sangat dianjurkan.
Kejang disertai demam juga terjadi pada diagnosis differensial lain yang
berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat (SSP). Oleh karena itu, diagnosis selain
kejang demam harus dipikirkan bila ditemukan:
Kecurigaan atau bukti proses intrakranial, baik infeksi, radang, massa, dan
proses lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, maupun penunjang;
Terdapat gangguan elektrolit;
Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya;
Terjadi pada bayi <1 bulan;
Bila terjadi pada anak <6 bulan atau >5 tahun, maka harus dipikirkan penyebab
lain yang lebih sering, yaitu infeksi SSP.
Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan
cepat.
V. Sintesis
Kejang Demam
Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh
dengan cepat hingga >38oC, dan kenaikan suhu tersebut diakibatkan oleh proses
ekstrakranial. Perlu diperhatikan bahwa demam harus terjadi lebih dulu daripada kejang.
Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun, puncaknya pada usia 14-18 bulan.
Kejang demam merupakan penyebab kejang tersering pada anak.
Klasifikasi
Secara klinis, klasifikasi kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam
simpleks/sederhana dan kompleks. Keduanya memiliki perbedaan prognosis dan
kemungkinan rekurensi.
Kejang demam simpleks paling banyak ditemukan dan memiliki prognosis baik
sedangkan kejang demam kompleks memiliki risiko lebih tinggi terjadinya kejang demam
berulang dan epilepsi dikemudian hari.
Keterangan:
1. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam.
2. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial.
3. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang
mengalami kejang demam.
Etiologi
Beberapa teori menyebutkan mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua
diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-beta), atau hiperventilasi yang
menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak sehingga terjadilah kejang.
Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi neuron terjadi lebih
mudah. Pola penurunan genetic masih belum jelas, namun beberapa penelitian
menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13-21, sementara
penelitian lain menunjukkan pola autosomal dominan.
Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling sering
disebabkan karena infeksi saluran napas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran
kemih, dan infeksi saluran cerna.
Infeksi respiratori akut terdiri dari infeksi respiratori atas akut (IRAA) dan infeksi
respiratori bawah akut (IRBA). Disebut akut jika infeksi berlangsung ≤14 hari. IRAA
meliputi rhinitis, faringitis, tonsilitis, rhinosinusitis, termasuk otitis media. IRAA
disebabkan oleh bakteri, umumnya Streptococcus. Namun, untuk mengetahui pasti perlu
dilakukan kultur. IRBA meliputi epiglottitis, laringotrakeobronkitis, bronkitis,
bronkiolotis, dan pneumonia.
Epidemiologi
Insidens di negara-negara barat berkisar antara 3-5%. Di Asia berkisar antara 4,47% di
Singapura, sampai 9,9% di Jepang, sedangkan di Indonesia belum ada data pasti secara
nasional. Sekitar 80% diantaranya adalah kejang demam simpleks. Sedikit lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 1,2 : 1.
Faktor Risiko
Faktor risiko untuk kejang demam adalah sebagai berikut:
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak dengan
riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Suatu studi
kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait vaksin (vaccine-associated
febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-
associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang
demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada keadaan
tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan parasetamol profilaksis.
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa dan melalui suatu proses oksidasi. Dalam proses oksidasi tersebut diperlukan
oksigen yang disediakan melalui perantaraan paru-paru. Oksigen dari paru-paru ini
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron
dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari membran permukaan dalam
dan membran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan
membran permukaan luar bersifat ionik.
Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh
ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang
disebut potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah karena adanya: perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datang mendadak seperti
rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia
3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan
orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat
mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion
Kalium dan ion Natrium melalui membran tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya
lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel lain yang ada didekatnya dengan perantaraan
neurotransmitter sehingga terjadilah kejang.
Diagnosis Banding
Kejang disertai demam adalah hal yang sering terjadi pada anak. Banyak diantaranya
disebabkan proses intrakranium yang berbahaya ataupun proses sistemik. Kondisi-kondisi
ini harus dapat dibedakan segera dari kejang demam. Kejang demam khas ditandai adanya
peningkatan suhu tubuh secara cepat diikuti oleh kejang. Sementara pada proses infeksi
intrakranial, demam terjadi bersamaan atau setelah kejang.
Pada anak <1 tahun, diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah meningitis. Pada
meningitis bayi tampak letargi, ubun-ubun besar tampak menonjol, dan pemeriksaan darah
tepi menunjukkan leukositosis. Pada keadaan ini pemeriksaan pungsi lumbal sangat
dianjurkan.
Kejang disertai demam juga terjadi pada diagnosis differensial lain yang berbahaya,
seperti infeksi sistem saraf pusat (SSP). Oleh karena itu, diagnosis selain kejang demam
harus dipikirkan bila ditemukan:
Kecurigaan atau bukti proses intrakranial, baik infeksi, radang, massa, dan proses
lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, maupun penunjang;
Terdapat gangguan elektrolit;
Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya;
Terjadi pada bayi <1 bulan;
Bila terjadi pada anak <6 bulan atau >5 tahun, maka harus dipikirkan penyebab lain
yang lebih sering, yaitu infeksi SSP.
Diagnosis Kerja
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, mengalami kejang demam kompleks disertai
tonsilofaringitis.
Manifestasi Klinis
Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul
pada penderita kejang demam:
1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
kinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan
reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali
tanpa ada kelainan persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan,
cahaya (penurunan kesadaran)
Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah.
2. Pungsi lumbal
3. Elektroensefalografi (EEG)
Keterangan: EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya
fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
4. Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada
anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis.
Tatalaksana
Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit
atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum,
penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari
12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena.
Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.
Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis.
Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga
dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap.
Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
• Profilaksis intermittent pada waktu demam
• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
1. Profilaksis intermiten antipiretik pada waktu demam
Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,
iritabilitas, serta sedasi.
Pemberian obat antikonvulsan rumat
Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka.
Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
Keterangan:
Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,
BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.
Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik yang bersifat fokal.
Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
Edukasi
Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat kejang,
sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan
tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
Komplikasi pada kejang demam anak menurut Garna & Nataprawira (2005)
1. Status Epileptikus
2. Epilepsi
3. Kerusakan jaringan otak
4. Retardasi mental
5. Aspirasi
6. Asfiksia
Prognosis
Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan
neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau berulang, baik umum maupun
fokal.
SKDI
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan
tuntas.
Pemeriksaan Neurologis
Tahapan perkembangan
Tahapan perkembangan khususnya tahap batita merupakan tahapan perkembangan
penting karena pada tahap ini perkembangan mencapai kecepatan yang optimal.
Berdasarkan panduan yang digunakan di Indonesia, terdapat tahapan perkembangan
anak menurut usia dikelompokkan menjadi beberapa tahapan usia, yaitu :
55
3. Vaksin BCG
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila
diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
4. Vaksin DTP
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin
DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa
maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat
diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
5. Vaksin pneumokokus (PCV)
Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih
dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun
PCV diberikan cukup satu kali.
6. Vaksin MMR/MR
Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR
diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan
belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin MMR/MR.
7. Vaksin rotavirus
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu
(dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan
interval minimal 4 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 24 minggu.
Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu
(dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan
dengan interval 4-10 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
*a Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3
8. Vaksin influenza
Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi
dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL.
Untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL.
9. Vaksin campak
Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.
56
10. Vaksin varisela
Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk
sekolah dasar. Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu.
11. Vaksin human papiloma virus (HPV)
Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali
dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila
diberikan pada remaja
usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons
antibodi setara dengan 3 dosis.
*b HPV: Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis
dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis
12. Vaksin Japanese encephalitis (JE)
Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang akan
bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat
diberikan booster 1-2 tahun berikutnya.
13. Vaksin dengue
Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.
57
Gambar. Kurva Berat Badan-Panjang Badan Standar WHO Anak Laki-laki
Gambar. Kurva Berat Badan-Usia dan Tinggi Badan Anak Laki-laki Usia 2-20 Tahun
Standar CDC
58
Pengukuran lingkar kepala
Lingkar kepala diukur dengan menggunakan alat pengukur yang dilingkarkan di kepala
dan melewati dahi, menutupi alis mata, di atas kedua telinga, dan dibagian belakang kepala
yang menonjol, tarik agak kencang. Dilakukan 3 kali pengukuran dan hasil yang diambil adalah
rata-rata dari 3 hasil pengukuran tersebut.
Lingkar kepala diukur setiap tiga bulan pada usia 0-11 bulan dan setiap enam bulan pada
usia 12-72 bulan. Kurva yang digunakan adalah kurva Nelhaus dengan interpretasi sebagai
berikut:
Gambar. Kurva WHO untuk Lingkar Kepala Anak Laki-laki Usia 0-5 Tahun
59
Gambar. Kurva Nelhaus untuk Lingkar Kepala Anak Laki-laki Usia 0-18 Tahun
60
VI. Kerangka Konsep
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun
mengalami tonsilofaringitis
Proses inflamasi
Metabolisme ↑ kebutuhan O2
basal ↑ 10-15% 20%
Perubahan
keseimbangan
membran sel
↑ Pelepasan muatan
listrik
VII. Kesimpulan
Seorang anak, 3 tahun, mengalami kejang demam disertai tonsilofaringitis.
61
Daftar Pustaka
Christensen, B. (2018). Glasgow Coma Scale-Pediatric. Medscape, 1-3.
Lumbantobing, SM. 2003. Penatalaksanaan Muthakhir Kejang Pada Anak. Jakarta: FKUI
Nelson KB. Febrile seizures. Dalam: Dodson WE, Pellock JM, Penyunting. Pediatric
epilepsy: diagnosis and therapy. New York: Demos, 1993. h. 129-33.
Soetomenggalo TS. Kejang demam. Dalam: Soetomenggalo, TS, Ismael S. Buku ajar
neurologi anak. Jakarta: IDAI; 1999. h. 244-51.
Szilagyi, P. G. (2015). Memeriksa Anak: Bayi hingga Remaja. In L. S. Bickley, Buku Ajar
Pemeriksaan Fisisk dan Riwayat Kesehatan Edisi 11 (pp. 850-851). Jakarta: EGC.
Theresa, A. &. (2018). Febrile Seizure. NCBI, 1-18.
Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2016). Rekomendasi
Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Widodo DP. Konsensus tatalaksana kejang demam. Dalam Gunardi H, Tehuteru ES, Kurniati
N, Advani N, Setyanto Db, Wulandari HF, et al, Penyunting. Kumpulan tips pediatri.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. h. 193-203.
Widodo DP. Kejang pada anak. Dalam: Ramli M, Umbas R. kedaruratan non bedah dan
bedah. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. h. 106-17.
62