Anda di halaman 1dari 62

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO D BLOK 17 TAHUN 2019

Tutor:
dr. Henry Sugiharto, Sp.S
Disusun Oleh:

Winni Indah Putri 04011181722011


Ahmad Sutri Rizal 04011181722021
Lia Wulandari 04011181722027
Meytri Widya Pangesti 04011181722033
Siti Nurhayati Utami 04011181722053
Zamratul Zakiyah 04011281722061
Muhammad Bibit Bagus Rama Pasca 04011281722083
Yaser Mahendra 04011281722099
Carissa Delania 04011281722105

Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya


Program Studi Pendidikan Dokter
2019
KATA PENGANTAR

Puji Syukur selalu kami curahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat
dan rahmatnya kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul “Laporan Tutorial
Skenario D Blok 17 Tahun 2019” ini dengan baik sebagai tugas kelompok.
Terima kasih juga kami ucapkan kepada tutor yang telah membimbing kami selama
tutorial, semua teman sekelompok, dan semua pihak yang terkait dalam penyelesaian
laporan tutorial ini.
Kami menyadari bahwa dalam laporan ini terdapat banyak kekurangan. Karena
itulah kami mengharapkan kritik dan saran dari tutor maupun pembaca lain yang bersifat
membangun supaya ke depannya laporan tutorial ini dapat menjadi lebih baik lagi, baik
dari segi sistematika, penulisan, ataupun yang lain-lain.
Semoga Tuhan Yang Maha Esa memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini
bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan untuk membuka wawasan yang
lebih luas lagi. Semoga kita selalu dalam perlindungan Tuhan Yang Maha Esa. Amin.

Palembang,

Kelompok B1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar..……………………………………………………….………………….. 2

Daftar Isi .......………………………………………………….………………….. .…… 3

Skenario...…………………………………………………………………………………4

I. Klarifikasi Istilah
…………………………………………………………………
II. Identifikasi Masalah ……………………………………….….………….......…
III. Analisis Masalah
………………………………………………….…………….
IV. Learning Issues…………………………………………………...…....……….
V. Sintesis …………………………………………………………………………
VI. Kerangka Konsep …………………………………………………………...….
VII. Kesimpulan ……………………………………………………………..….......

Daftar Pustaka
………………………………………………………………………………
Skenario D Blok 17 Tahun 2019

Seorang anak laki laki, usia 3 tahun datang dengan kejang yang disertai demam.
Sekitar tiga jam yang lalu, terjadi satu kali bangkitan berupa seluruh badan kaku,
mata mendelik ke atas, pasien tidak sadar, berlangsung kurang lebih 20 menit,
berhenti setelah diberi diazepam rektal 10 mg di unit gawat darurat.
Dari anamnesis terhadap ibu penderita, sekitar enam jam yang lalu, pasien mulai
demam tinggi, suhu diukur oleh ibu pasien sesaat sebelum kejang 39,5o C. Pasien
mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah, makan dan minum tidak
ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel. Sebelumnya pasien sudah pernah dua
kali mengalami bangkitan serupa yang disertai demam, yaitu 5 bulan dan 2 bulan
yang lalu, masing-masing satu kali dengan lamanya kurang dari 5 menit. Pasien
berobat ke dokter, dikatakan kejang demam, tidak diberi obat kejang oral namun
diberi bekal diazepam rektal 10 mg dan diinstruksikan untuk diberi saat kejang. Saat
episode ini orang tua pasien tidak memberi diazepam rektal karena alasan takut salah.
Tidak terdapat riwayat kejang di keluarga. Orang tua pasien menanyakan apakah
dibutuhkan pemeriksaan rekam otak (elektroensefalografi) atau CT scan kepala,
apakah perlu mendapat obat untuk kejangnya dan adakah kemungkinan efek samping
obat, bagaimana kemungkinan epilepsi dan pengaruh kejang terhadap kecerdasan
anak.
Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3000
gram. Riwayat perkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini bicara pasien
sudah sepenuhnya dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar +),
DPT-Hepatitis B-HiB 4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah
makan makanan keluarga.
Pemeriksaan Fisis Umum:
Berat badan 15 kg, tinggi badan 97 cm. Kesadaran: GCS pediatrik 15, sedikit
rewel, makan minum masih mau, suhu aksila 38,3o C, nadi 100x/menit, frekuensi
nafas 28x/menit. Kepala: lingkar kepala 50 cm, ubun-ubun besar menutup,
konjungtiva tidak pucat, nampak faring hiperemis, tonsil T2-T2 hiperemis, ada
eksudat di faring dan tonsil. Jantung, paru, abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
Pemeriksaan Neurologis:
Nervi craniales tidak nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas,
tidak nampak ada paresis otot. Refleks tendon dalam batas normal. Tidak ada refleks
patologis atau klonus. Kaku kuduk tidak ada, tanda Brudzinsky I dan II negatif,
Kernig negatif.

I. Klarifikasi Istilah
No Istilah Arti

1. Kejang Ditandai dengan hilangnya pemikiran atau aktivitas


secara sesaat disertai timbulnya aktivitas gelombang
dan lonjakan yang simetris pada ensefalogram.
2. Bangkitan Serangan mendadak atau kekambuhan kejang.

3. Mendelik Mata yang terbuka lebar seperti melotot.

4. Demam (pireksia) Peningkatan tempreatur tubuh diatas normal (37oC).

5. Diazepam Benzodiazepim yang digunakan sebagai agen


antiasietas, sedative, agen anti panik, agen anti tremor,
relaksan otot rangka, anti konulsan dan dalam
penatalaksaan gejala gejala akibat penghentian
pemakaian alcohol.

Elektroensefalografi Perekaman perubahan potensial listrik di berbagai


daerah otak dengan menggunakan elektroda yang
diletakkan pada kulit kepala atau pada atau di otak
sendiri.

6. Kejang demam Bangkitan kejang yang terjadi, ada kenaikan suhu


(suhu rectal lebih dari 38ºC) akibat proses
ekstrakranial.

7. Epilepsi Setiap kelompok sindrom yang ditandai oleh gangguan


fungsi otak sementara bersifat paroksismal yang dapat
bermannifestasi berupa gangguan atau penurunan
kesadaran yang episodik, fenomena motoric abnormal,
gangguan psikis atau sensorik atau system saraf
otonom.

8. BCG Vaksin hidup yang berisi bakteri atau kuman tbc yang
dilemahkan untuk memberi sedikit perlindungan
terhadap TBC.

9. DPT Vaksin yang digunakan untuk pencegahan terhadap


difteri, tetanus, dan perkusis.

10. Campak Vaksin yang diberikan untuk mencegah penyakit


campak.

11. Eksudat Cairan tinggi protein dan debris sel yang keluar dari
pembuluh darah serta diendapkan di sebuah jaringan,
biasanya merupakan hasil peradangan.
12. Paresis Paralisis ringan atau tak lengkap.

13. Tonus Kontraksi otot yang ringan yang terus menerus yang
pada otot rangka membantu dalam mempertahankan
postur dan pengembalian darah ke jantung.

14. Klonus Kontraksi otot involunter yang disebabkan oleh lesi


permanen pada neuron descending motoric.

15. Kaku kuduk Ketidakmampuan untuk fleksi secara pasif karena


kekakuan otot leher.

16. Brudzinsky I dan II Tanda Brudzinski I: tes rangsangan meningeal dengan


cara kepala difleksikan ke dada positif apabila kedua
tungkai bawah terangkat (fleksi).
Tanda Brudzinski II: brudzinski contralateral leg sign
adalah tes rangsang meningeal dengan cara pasien
berbaring terlentang kemudian salah satu tungkai
difleksikan pada sendi lutut. Positif bila tungkai yang
lain ikut terfleksi.

17. Kernig Tes rangsang meningeal dengan cara pasien


dibaringkan dan memfleksikan lutut 90 derajat setelah
itu di ekstensikan secara perlahan positif bila terdapat
nyeri.

II. Identifikasi Masalah


No Masalah

1. Seorang anak laki laki, usia 3 tahun datang dengan kejang yang disertai
demam. Sekitar tiga jam yang lalu, terjadi satu kali bangkitan berupa seluruh
badan kaku, mata mendelik ke atas, pasien tidak sadar, berlangsung kurang lebih
20 menit, berhenti setelah diberi diazepam rektal 10 mg di unit gawat darurat.

2. Dari anamnesis terhadap ibu penderita, sekitar enam jam yang lalu, pasien
mulai demam tinggi, suhu diukur oleh ibu pasien sesaat sebelum kejang 39,5o C.
Pasien mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah, makan dan
minum tidak ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel. Sebelumnya pasien
sudah pernah dua kali mengalami bangkitan serupa yang disertai demam, yaitu 5
bulan dan 2 bulan yang lalu, masing-masing satu kali dengan lamanya kurang dari
5 menit. Pasien berobat ke dokter, dikatakan kejang demam, tidak diberi obat
kejang oral namun diberi bekal diazepam rektal 10 mg dan diinstruksikan untuk
diberi saat kejang. Saat episode ini orang tua pasien tidak memberi diazepam
rektal karena alasan takut salah. Tidak terdapat riwayat kejang di keluarga.

3. Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3000
gram. Riwayat perkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini bicara pasien
sudah sepenuhnya dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar
+), DPT-Hepatitis B-HiB 4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah
makan makanan keluarga.

4. Pemeriksaan Fisis Umum:


Berat badan 15 kg, tinggi badan 97 cm. Kesadaran: GCS pediatric 15, sedikit
rewel, makan minum masih mau, suhu aksila 38,3o C, nadi 100x/menit, frekuensi
nafas 28x/menit. Kepala: lingkar kepala 50 cm, ubun-ubun besar menutup,
konjungtiva tidak pucat, Nampak faring hiperemis, tonsil T2-T2 hiperemis, ada
eksudat di faring dan tonsil. Jantung, paru, abdomen, ekstremitas dalam batas
normal

5. Pemeriksaan Neurologis:
Nervi craniales tidak nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas,
tidak nampak ada paresis otot. Reflex tendon dalam batas normal. Tidak ada reflex
patologis atau klonus. Kaku kuduk tidak ada, tanda Brudzinsky I dan II negatif,
Kernig negatif.

III. Analisis Masalah


1. Seorang anak laki laki, usia 3 tahun datang dengan kejang yang disertai demam.
Sekitar tiga jam yang lalu, terjadi satu kali bangkitan berupa seluruh badan kaku,
mata mendelik ke atas, pasien tidak sadar, berlangsung kurang lebih 20 menit,
berhenti setelah diberi diazepam rektal 10 mg di unit gawat darurat.
a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan yang dialami pasien?
Dari data yang diambil pada penelitian di RSUD dr. Pringadi Medan,
didapatkan beberapa karakteristik penderita kejang demam pada balita, baik
berdasarkan umur, jenis kelamin dan status gizi. Menurut data penelitian, diketahui
bahwa proporsi penderita kejang demam pada balita berdasarkan umur tertinggi
pada kelompok umur 1-3 tahun yaitu 63 penderita (57,3%) dan terendah pada
kelompok umur 3-5 tahun yaitu 21 penderita (19,1%). Hal ini kemungkinan ada
kaitannya dengan tingkat kematangan otak. Pada saat usia <2 tahun keadaan otak
belum matang dimana kadar Corticotropin releasing hormon di hipokampus tinggi
sehingga berpotensi untuk terjadi bangkitan kejang apabila terpicu oleh demam.
Pada otak belum matang neural Na+ /K+ATP ase masih kurang sehingga regulasi
ion Na+, K +, dan Ca++ belum sempurna. Eksitabilitas neural juga lebih tinggi pada
otak yang belum matang dibandingkan otak yang sudah matang. Pada masa ini
disebut sebagai developmental window dan rentan terhadap bangkitan kejang.

b. Apa dampak kejang yang berlangsung kurang lebih 20 menit?


Kejang demam yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan
apneu, meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot skeletal
yang mengakibatkan hipoksemia, hiperkapneu, dan asidosis laktat. Hipotensi
arterial disertai dengan aritmia jantung dan kenaikan suhu tubuh disebabkan
meningkatnya aktivitas berakibat meningkatnya metabolisme otak.

c. Apa saja penyebab kejang?


 Faktor perinatal, kelainan yang timbul akibat gangguan pada proses kehamilan.
(Malformasi serebral, infeksi Intrauterin, hipoksik-iskemik, trauma dan
perdarahan)
 Penyakit infeksi seperti ensefalitis dan meningitis
 Gangguan metabolism (Hipoglikemia, hiponatremia, hipokalesemia,
hipomagnesemia, hiponatremia, hipernatremia, storage disease,sindrom reye,
penyakit neurodegeneratif, porfiria, ketergantungan dan defisiensi piridoksin)
 Toksin/keracunan (Timbal, kokain, Toksisitas obat, putus obat)
 Sindrom Neurokutan
 Penyakit Sistemik
 Penyakit/kondisi penyebab lain (Trauma kepala, Tumor Otak, demam, idiopatik
dan familial)

d. Bagaimana mekanisme terjadinya kejang demam?


Pada keadaan demam kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10%-15% dan kebutuhan oksigen akan meningkat 20%. Pada
anak berumur 3 tahun sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh dibandingkan
orang dewasa yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi
perubahan keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu yang singkat
terjadi difusi ion kalium maupun ion natrium melalui membran tadi, dengan akibat
terjadinya lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran sel tetangganya dengan bantuan
bahan yang disebut neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak mempunyai
ambang kejang yang berbeda tergantung dari tinggi rendahnya ambang kejang
seseorang anak yang menderita kejang demam pada kenaikan suhu tertentu. Pada
anak dengan ambang kejang yang rendah, kejang terjadi pada suhu 38°C sedangkan
anak dengan ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau
lebih.

e. Apa saja sign and symptom dari kejang demam?


1) Umur anak saat kejang antara 6 bulan sampai 4 tahun.
2) Kejang hanya berlangsung tidak lebih dari 15 menit.
3) Kejang bersifat umum (tidak pada satu bagian tubuh seperti pada otot rahang
saja).
4) Kejang timbul 16 jam pertama setelah timbulnya demam.
5) Pemeriksaan sistem persarafan sebelum dan setelah kejang tidak ada kelainan.
6) Pemeriksaan elektro Enchephalography dalam kurun waktu 1 minggu atau lebih
setelah suhu normal tidak dijumpai kelainan
7) Frekuensi kejang dalam waktu 1 tahun tidak lebih dari 4 kali.

f. Apa perbedaan kejang tanpa demam dengan kejang disertai demam?


Kejang tanpa demam biasanya disebabkan oleh lesi intrakranial sehingga
terdapat defisit neurologis, sedangkan kejang disertai demam dapat disebabkan oleh
demam di atas 38oC.

g. Bagaimana farmakokinetik dan farmakodinamik dari diazepam sehingga


kejang yang dialami berhenti?

Mechanism Description: Diazepam is a long-acting benzodiazepine that exerts


of Action anxiolytic, sedative, anticonvulsant, muscle relaxant and amnestic
effect. It binds to stereospecific benzodiazepine receptors on the
postsynaptic gamma-aminobutyric acid (GABA) neuron in different
regions of the central nervous system, e.g. brain and spinal cord
thereby, increasing the inhibitory effects of GABA which is
involved in sleep induction, control of hypnosis, memory, anxiety,
epilepsy and neuronal excitability.
Onset: Status epilepticus: 1-3 mins (IV); 2-10 mins (rectal).
Duration: Status epilepticus: 15-30 mins.
Pharmacokinetics:
Absorption: Readily and completely absorbed from the
gastrointestinal tract or after rectal administration. Delayed and
decreased absorption with a moderate fat meal. Bioavailability:
>90%. Time to peak plasma concentrations: Approx 30-90 minutes
(oral); approx 10-30 minutes (rectal). approx 1 min (IV); 0.25-2
hours (IM).
Distribution: Crosses the blood-brain barrier and placental barrier;
redistributed into fat depots and tissues. Enters breast milk. Volume
of distribution: 1.1 L/kg (oral); 1.2 L/kg (IV); 1 L/kg (rectal).
Plasma protein binding: 98% (oral); 95-98% (rectal).
Metabolism: Metabolised in the liver via N-demethylation by
CYP3A4 and CYP2C19 to N¬-desmethyldiazepam, hydroxylation
by CYP3A4 to temazepam and further metabolised to oxazepam.
Excretion: Via urine (mainly as glucuronide conjugates).
Elimination half-life: 44-48 hours (oral); 33-45 hours (IV); approx
60-72 hours (IM); 45-46 hours (rectal).

2. Dari anamnesis terhadap ibu penderita, sekitar enam jam yang lalu, pasien mulai
demam tinggi, suhu diukur oleh ibu pasien sesaat sebelum kejang 39,5oC. Pasien
mengalami pilek tapi tidak batuk. Tidak ada muntah-muntah, makan dan minum
tidak ada keluhan, anak sadar namun sedikit rewel. Sebelumnya pasien sudah
pernah dua kali mengalami bangkitan serupa yang disertai demam, yaitu 5 bulan
dan 2 bulan yang lalu, masing-masing satu kali dengan lamanya kurang dari 5
menit. Pasien berobat ke dokter, dikatakan kejang demam, tidak diberi obat kejang
oral namun diberi bekal diazepam rektal 10 mg dan diinstruksikan untuk diberi saat
kejang. Saat episode ini orang tua pasien tidak memberi diazepam rektal karena
alasan takut salah. Tidak terdapat riwayat kejang di keluarga.
a. Bagaimana anamnesis pada penderita kejang?
 Frekuensi dan lama kejang
 Kapan terjadinya
 Pertama kali atau sudah pernah
 Bila sudah pernah, saat umur berapa?
 Sifat kejang
 Gejala penyerta (muntah, lumpuh, kemunduran fungsi kognitif)
 Kesadaran waktu kejang dan pasca kejang
 Demam: timbul mendadak dan lamanya, menggigil, mengigau,
 Gejala penyakit penyerta: Mencret, muntah, sesak nafas, dll

b. Bagaimana tatalaksana awal dari kejang demam?


1) Tetap tenang dan tidak panik.
2) Longgarkan pakaian yang ketat terutama di sekitar leher.
3) Bila anak tidak sadar, posisikan anak miring. Bila terdapat muntah, bersihkan
muntahan atau lendir di mulut atau hidung.
4) Walaupun terdapat kemungkinan (yang sesungguhnya sangat kecil) lidah
tergigit, jangan memasukkan sesuatu kedalam mulut.
5) Ukur suhu, observasi, dan catat bentuk dan lama kejang.
6) Tetap bersama anak selama dan sesudah kejang.
7) Berikan diazepam rektal bila kejang masih berlangsung lebih dari 5 menit.
Jangan berikan bila kejang telah berhenti. Diazepam rektal hanya boleh
diberikan satu kali oleh orangtua.
8) Bawa ke dokter atau rumah sakit bila kejang berlangsung 5 menit atau lebih, suhu
tubuh lebih dari 40 derajat Celsius, kejang tidak berhenti dengan diazepam rektal,
kejang fokal, setelah kejang anak tidak sadar, atau terdapat kelumpuhan.

c. Apa indikasi diberikannya rumatan?


Indikasi pengobatan rumat:
 Kejang fokal
 Kejang lama >15 menit
 Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

d. Mengapa kejang pada 5 dan 2 bulan yang lalu lamanya kurang dari 5 menit
sedangkan saat ini kurang lebih 20 menit?
Kejang sebelumnya merupakan kejang demam simpleks, lalu bertambah berat
sehingga durasi kejang bertambah.

e. Apa hubungan kejang 5 bulan dan 2 bulan yang lalu terhadap kejang saat ini?
Ini menunjukkan bahwa pasien menderita kejang demam dikarenakan kejang
yang dialami pada 5 bulan dan 2 bulan lalu pun merupakan kejang demam.

f. Apakah tatalaksana dari kejang sebelumnya sudah rasional?


Berdasarkan Konsensus Kejang Demam oleh IDAI, dosis diazepam rektal
adalah 10 mg untuk berat badan lebih dari 12 kg sehingga tatalaksana dari kejang
sebelumnya sudah rasional.

g. Apa makna tidak terdapat riwayat kejang dalam keluarga?


Penelitian terhadap keluarga dan saudara kembar menunjukan faktor genetik
memainkan peran penting dalam terjadinya kejang demam. Kira-kira sepertiga anak
yang mengalami kejang demam positif terdapat riwayat kejang pada keluarga.
Risiko kejang demam pada anak kira-kira 20% jika terdapat saudara kandung yang
memiliki riwayat kejang dan kira-kira 30% jika memiliki orang tua dengan riwayat
kejang. Pada saudara kembar monozygotic sekitar 35-69% dan saudara kembar
dizygotic 14-20%.
Kejang demam cenderung terjadi pada keluarga. Risiko kejang demam pada
anak sekitar 10% jika saudara kadung memiliki riwayat kejang dan hampir 50% jika
salah satu orang tua memiliki riwayat kejang demam.

h. Apakah dibutuhkan pemeriksaan rekam otak (elektroensefalografi) atau CT


scan kepala?
Indikasi elektroensefalografi (EEG): Hanya dilakukan untuk menentukan
adanya fokus kejang diotak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut
Indikasi CT Scan: jika terdapat kelainan neurologis fokal menetap misalnya
hemiparese atau paresis nervus kranialis
Pada skenario pasien mengalami kejang demam, yaitu adanya bangkitan kejang
karena peningkatan suhu tubuh dan tidak melibatkan proses intrakranial serta tidak
ada kelainan neurologis. Sehingga pemeriksaan rekam otak seperti EEG atau CT
Scan tidak perlu dilakukan.

i. Apakah perlu mendapat obat untuk kejangnya dan adakah kemungkinan efek
samping obat?
Perlu diberikan rumatan kontinyu karena pasien telah memenuhi salah satu
indikasi diberikannya rumatan, yaitu mengalami kejang > 15 menit. Ada dua jenis
obat yang dapat diberikan sebagai rumatan, yaitu asam valproat dan fenobarbital.
Efek samping dari asam valproat adalah nafsu makan bertambah,
trombositopenia, dan hepatotoksisitas (terutama pada anak < 2 tahun). Efek
samping dari fenobarbital adalah gangguan belajar, gangguan perilaku, dan sedasi.
Setelah menimbang dari efek samping masing-masing obat, rumatan kontinyu yang
dipilih adalah asam valproat.

j. Bagaimana kemungkinan epilepsi dan pengaruh kejang terhadap kecerdasan


anak?
Tidak pernah ada bukti bahwa kejang demam akan dapat menurunkan
kecerdasan anak. Anak yang pernah kejang demam sewaktu kecil sama cerdasnya
dengan mereka yang tidak pernah kejang demam. Lain halnya kalau ternyata
seorang pernah kejang disertai demam dan penyebabnya diketahui sebagai infeksi
otak (ensefalitis, meningoensefalitis) yang dapat menimbulkan kerusakan permanen
pada otak dan akhirnya mempengaruhi perkembangan anak termasuk
kecerdasannya.

3. Riwayat kelahiran pasien lahir spontan, langsung menangis, berat lahir 3000 gram.
Riwayat perkembangan dapat berjalan usia 13 bulan. Saat ini bicara pasien sudah
sepenuhnya dapat dimengerti orang lain. Riwayat imunisasi BCG 1x (scar +), DPT-
Hepatitis B-HiB 4x, PCV 4x, OPV 4x, campak 1x, MR 1x. Saat ini sudah makan
makanan keluarga.
a. Bagaimana perkembangan normal anak usia 3 tahun?
Tahap Perkembangan Anak 2-3 Tahun
1) Perkembangan Motorik
Masa ini disebut sebagai masa sangat aktif dari seluruh masa kehidupannya,
karena tingkat aktivitasnya dan perkembangan otot besar mereka sedang tumbuh.
Demikian halnya dengan kemampuan motorik halus anak, sudah mulai meningkat.
Dengan demikian masa ini disebut juga sebagai masa belajar berbagai kemampuan
dan keterampilan, dengan berbekal rasa ingin tahu yang cukup kuat dengan
seringnya anak mencoba hal-hal baru dan seringnya pengurangan menyebabkan
masa ini menjadi masa yang tepat untuk mempelajari keterampilan baru.
Kemampuan motorik yang dimiliki anak sbb;
Tabel. Aspek perkembangan motorik anak usia 2-3 tahun
Usia Motorik Kasar Motorik Halus
24-36 Mulai dapat memanjat dan Melakukan kegiatan dengan satu
bulan melompat lengan, seperti mencorat-coret
(2-3 dengan alat tulis
tahun)
Mulai kenal irama dan mulai Menggunakan sendok dan garpu
membuat gerakan-gerakan yang tanpa menumpahkan makanan
berkaitan dengan menari
Melompat dengan 2 kaki Melepas kancing jepret
Berdiri dengan satu kaki selama Membuka halaman buku
beberapa saat berukuran besar satu persatu
Naik turun 4-6 anak tangga tanpa Memegang gunting dan mulai
bantuan dan biasanya tidak jatuh memotong kertas
Menaiki dan mendorong benda Memakai dan melepas sepatu
keras seperti meja, kursi, dan berperekat/tanpa tali
lain-lain

Bermain dengan bola (melempar, Melepas celana dan baju


menangkap dan menggulirkan) sederhana
Dapat berjalan jinjit, berjingkat- Memegang pensil/krayon besar
jingkat mengambil objek dari
lantai tanpa terjatuh
Melempar bola dengan kedua Menyikat gigi dan menyisir
tangan di atas kepala rambut sendiri

2) Perkembangan Bicara dan Bahasa


Bertambahnya kematangan otak dikombinasikan dengan peluang-peluang untuk
menjelajahi dunia sekelilingnya dan sebagai penyumbang terbesar untuk lahirnya
kemampuan kognitif anak. Sejumlah kemampuan anak, seperti belajar membaca
adalah berkaitan dengan masukan dari mata anak yang ditransmisikan ke otak anak,
kemudian melalui sistem yang ada di otak, menterjemahkannya kedalam kode
huruf-huruf, kata-kata dan asosiasinya. Akhirnya akan dikeluarkan dalam bentuk
bicara. Bakat bicara anak karena system otak diorganisasikan sedemikian rupa
sehingga memungkinkan anak memproses sebagai bahasa.
Anak mulai pandai berbicara, sejalan dengan perkembangannya memahami
sesuatu. Biasanya anak mulai berbicara sendiri, kemudian berkembang menjadi
kemampuan untuk bertindak tanpa harus mengucapkannya. Dalam hal ini anak
telah menginternalisasikan pembicaraan yang egosentris dalam bentuk berbicara
sendiri menjadi pemikiran anak. Hal ini merupakan suatu transisi awal untuk dapat
lebih berkomunikasi secara sosial.
Tabel. Aspek perkembangan bicara dan bahasa anak usia 2-3 tahun
Usia Kemampuan Bicara dan Bahasa

24-36 Bahasa yang dipergunakan dapat dimengerti orang lain, meskipun


bulan masih sering membuat kesalahan
(2-3 tahun)
Menyebutkan tiga buah angka yang berurutan

Umumnya kalimat terdiri dari 4 sampai 5 kata

Menggunakan kata aku atau saya untuk menunjuk dirinya

Dapat menyebutkan namanya sendiri

Kosa kata berjumlah lebih dari 1000 kata

Memberi jawaban yang relevan jika ditanya

Dapat melakukan 2 sampai 4 kegiatan dengan instruksi yang


berhubungan

Mengerti arti hubungan jika menggunakan kata “kalau……”,


”kemudian……” dan “karena…..”

Mengerti konsep besar dan kecil, panjang dan pendek

Mulai mengerti kata yang menerangkan waktu seperti : “Besok kita


akan ke rumah nenek”

3) Perilaku Sosial dan Kemandirian


Dasar-dasar sosialisasi yang sudah diletakkan pada masa bayi, maka pada masa
ini mulai berkembang. Dalam hal ini hubungan keluarga, orangtua-anak, antar
saudara dan hubungan dengan sanak keluarga cukup berperan. Pengasuhan pada
tahun pertama berpusat pada perawatan, berubah ke arah kegiatan-kegiatan seperti
permainan, pembicaraan dan pemberian disiplin, akhirnya mengajak anak untuk
menalar terhadap sesuatu. Pada masa ini sebagai masa bermain, anak mulai
melibatkan teman sebayanya, melalui bermain, meski interaksi yang dibangun
dalam permainan bukan bersifat sosial, namun sebagai kegiatan untuk
menyenangkan dan dilaksanakan untuk kegiatan itu sendiri. Jenis permainan yang
dilakukan bisa berbentuk konstruktif, permainan pura-pura, permainan sensori
motorik, permainan sosial atau melibatkan orang lain, games atau berkompetisi.
Tabel. Aspek perkembangan perilaku sosial dan kemandirian anak usia 2-3 tahun
Usia Kemampuan Bersosialisasi Kemampuan Kemandirian
24-36 Dapat mematuhi perintah Makan sendiri tanpa banyak
bulan sederhana bantuan
(2-3 Sudah mulai memperlihatkan Menuangkan air/pasir dari teko
tahun) rasa cemburu/iri terhadap (botol) ke dalam
saudaranya gekas/cangkir/wadah lainnya
Merasa sulit untuk berbagi Mencuci tangan tanpa bantuan
dengan orang lain dan
menunjukkan perasaan bersaing
Mencoba memaksakan Menggunakan toilet sendiri
kehendaknya pada orang lain (namun masih memerlukan
bantuan untuk membersihkan dan
memakai baju kembali)
Ingin mandiri (mengerjakan Bermain dengan anak lain,
segala sesuatunya sendiri) tapi melakukan interaksi
masih mencari peneguhan
orang dewasa
Dapat mematuhi perintah yang Menunggu giliran dan berbagi
rumit dengan dorongan dari orang lain

Minat bermain ditunjukkan Berusaha untuk membantu


dengan cara memperhatikan mengerjakan pekerjaan di rumah
temannya ketika bermain dan seperti menyapu
segera bergabung bila tertarik

Sikap kemandirian semakin Memulai permainan sandiwara


jelas dengan lebih banyak (drama) & melakukan tingkah
berbuat untuk diri sendiri tanpa laku menurut peranannya seperti
memperdulikan apakah mengurus bayi
temannya memperhatikan atau
justru membelakanginya

Dapat bekerja sama dengan Menyisir rambut sendiri


orang dewasa dalam sejumlah
aktivitas sederhana

b. Bagaimana jadwal imunisasi anak sampai umur 3 tahun?


4. Pemeriksaan Fisis Umum:
Berat badan 15 kg, tinggi badan 97 cm. Kesadaran: GCS pediatric 15, sedikit rewel,
makan minum masih mau, suhu aksila 38,3oC, nadi 100x/menit, frekuensi nafas
28x/menit. Kepala: lingkar kepala 50 cm, ubun-ubun besar menutup, konjungtiva
tidak pucat, nampak faring hiperemis, tonsil T2-T2 hiperemis, ada eksudat di faring
dan tonsil. Jantung, paru, abdomen, ekstremitas dalam batas normal.
a. Bagaimana nilai normal dan interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik?
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal Interpretasi

GCS pediatric 15 13-15 Normal

Temperature 38,3oC <38oC Demam

Nadi 100x/menit 90-140x/menit Normal

Frekuensi Nafas 28x/menit 20-30x/menit Normal


Faring dan tonsil Faring Faringitis
hiperemis, streptokokus
Tonsil T2-T2 biasanya
hiperemis, menyebabkan
Terdapat lidah stroberi,
eksudat di eksudat putih
faring dan atau kuning di
tonsil tonsil atau faring
posterior, uvula
merah daging dan
petekie di
palatum.
Tonsilitis dapat
disebabkan oleh
bakteri misalnya
Streptococcus,
atau virus. Suara
“batu di mulut”
disertai dengan
pembesaran tonsil
dan eksudat.

b. Bagaimana grafik pertumbuhan pada anak berumur 3 tahun?


Kurva Tinggi Badan
Kurva Berat Badan

c. Bagaimana penilaian GCS pada pediatrik?


Pediatric Coma Scale adalah setara dengan Glasgow Coma Scale digunakan
pada anak-anak. Terdiri dari tiga tes: respon membuka mata, respon verbal dan
respon motorik. Ketiganya dinilai secara terpisah serta jumlah mereka
dipertimbangkan. PCS serendah mungkin (jumlahnya) adalah 3 (koma atau
kematian) sedangkan tertinggi adalah 15 (sepenuhnya terjaga dan sadar orang).
Modified Glasgow Coma Scale for Infants and Children
Area Infants Children Score*
Assessed
Respon Open spontaneously Open spontaneously 4
Membuka
Open in response to Open in response to 3
Mata
verbal stimuli verbal stimuli
Open in response to pain Open in response to pain 2
only only
No response No response 1
Respon Coos and babbles Oriented, appropriate 5
Verbal
Irritable cries Confused 4
Cries in response to pain Inappropriate words 3
Moans in response to pain Incomprehensible words 2
or nonspecific sounds
No response No response 1
Respon Moves spontaneously and Obeys commands 6
Motorik** purposefully
Withdraws to touch Localizes painful 5
stimulus
Withdraws in response to Withdraws in response to 4
pain pain
Responds to pain with Responds to pain with 3
decorticate posturing flexion
(abnormal flexion)
Responds to pain with Responds to pain with 2
decerebrate posturing extension
(abnormal extension)
No response No response 1

*Score:
12 suggests a severe head injury.
8 suggests need for intubation and ventilation.
6 suggests need for intracranial pressure monitoring.
**If the patient is intubated, unconscious, or preverbal, the most important part
of this scale is motor response. This section should be carefully evaluated.

Interpretasi PCS Scores:


3-8: Koma
9-12: Lethargy
13-14: Butuh Observasi
15: Kesadaran Penuh

5. Pemeriksaan Neurologis:
Nervi craniales tidak nampak ada paresis. Tonus otot normal, pergerakan luas, tidak
nampak ada paresis otot. Refleks tendon dalam batas normal. Tidak ada refleks
patologis atau klonus. Kaku kuduk tidak ada, tanda Bruzinsky I dan II negatif,
Kernig negatif.
a. Bagaimana interpretasi dan nilai normal dari pemeriksaan neurologis?
Pemeriksaan Hasil pemeriksaan Interpretasi

Nervi Kranialis Tidak ada paresis Normal

Tonus otot Normal Normal


Pergerakan luas
Tidak tampak ada paresis otot
Refleks tendon Dbn Normal

Refleks patologis atau Tidak ada Normal


klonus
Kaku Kuduk Tidak ada Normal

Brudzinski I & II (-) Normal

Kernig sign (-) Normal

b. Apa saja pemeriksaan neurologis yang dapat dilakukan untuk membantu


diagnosis kejang demam?
Dalam kejang demam, pemeriksaan neurologis diperlukan untuk membantu
menyingkirkan diagnosis banding dan mengetahui kondisi kesehatan serabut saraf
yang dilakukan pemeriksaan sehingga dapat memberikan gambaran saraf nama
yang bermasalah. Dalam kejang demam dapat dilakukan pemeriksaan neurologis
berupa pemeriksaan nervi cranialis, reflex tendon, tonus klonus, kaku kuduk,
bruzinski 1 dan 2, serta kernig sign.

c. Apa makna kaku kuduk, tanda Brudzinski I&II, dan Kernig negatif?
Pemeriksaan kaku kuduk, kernig sign, dan brudzinsky sign 1 dan 2 merupakan
pemeriksaan rangsang meninges, sehingga hasil negatif mengindikasikan
berdasarkan hasil pemeriksaan tidak ditemukan tanda-tanda meningitis. Hal ini
bertujuan untuk menyingkirkan diagnosis banding, terutama diketahui bahwa pasien
juga mengalami demam.

d. Bagaimana prosedur dari pemeriksaan tonus klonus?


TONUS OTOT
1) Mintalah klien berbaring dengan santai
2) Alihkanlah perhatian klien dengan mengajaknya berbicara.
3) Gunakan kedua tangan untuk menggerakkan lengan bawah klien di sendi siku
secara pasif, lakukan berulang kali secara perlahan dan kemudian secara cepat
4) Nilai tahanan yang dirasakan sewaktu menekukkan dan meluruskan tangan
5) Lakukanlah pemeriksaan juga pada sendi lutut, pada anggota gerak kanan dan
kiri
Cara pemeriksaan lain: Lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku, lutut,
pergelangan tangan dan kaki.

e. Bagaimana prosedur dari pemeriksaan kaku kuduk?


f. Bagaimana prosedur dari pemeriksaan Brudzinsky I dan II?

g. Bagaimana prosedur dari pemeriksaan Kernig?


Hipotesis: Seorang anak laki-laki, 3 tahun, mengalami kejang demam kompleks
disertai tonsilofaringitis.

a. Apa saja diagnosis banding pada kasus ini?


 Epilepsi

 Terpapar toksin


 Emboli sepsis


 Sindroma hemolitik-uremika Ensefalopati akut


 Malaria


 Syncope


 Menggigil waktu demam


Kejang disertai demam adalah hal yang sering terjadi pada anak. Banyak
diantaranya disebabkan proses intrakranium yang berbahaya ataupun proses
sistemik. Kondisi-kondisi ini harus dapat dibedakan segera dari kejang demam.
Kejang demam khas ditandai adanya peningkatan suhu tubuh secara cepat diikuti
oleh kejang. Sementara pada proses infeksi intrakranial, demam terjadi bersamaan
atau setelah kejang.
Pada anak <1 tahun, diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah meningitis.
Pada meningitis bayi tampak letargi, ubun-ubun besar tampak menonjol, dan
pemeriksaan darah tepi menunjukkan leukositosis. Pada keadaan ini pemeriksaan
pungsi lumbal sangat dianjurkan.
Kejang disertai demam juga terjadi pada diagnosis differensial lain yang
berbahaya, seperti infeksi sistem saraf pusat (SSP). Oleh karena itu, diagnosis selain
kejang demam harus dipikirkan bila ditemukan:
 Kecurigaan atau bukti proses intrakranial, baik infeksi, radang, massa, dan
proses lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, maupun penunjang;
 Terdapat gangguan elektrolit;
 Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya;
 Terjadi pada bayi <1 bulan;
 Bila terjadi pada anak <6 bulan atau >5 tahun, maka harus dipikirkan penyebab
lain yang lebih sering, yaitu infeksi SSP.

b. Apa diagnosis kerja dari penyakit pada kasus ini?


Kejang demam kompleks disertai tonsilofaringitis.

c. Apa definisi dari penyakit pada kasus ini?


Menurut konsensus penanganan kejang demam, kejang demam adalah suatu
bangkitan kejang yang terjadi karena kenaikan suhu tubuh (suhu rektal di atas 38oC)
yang disebabkan oleh suatu proses ekstrakranium biasanya terjadi pada anak umur 6
bulan-5 tahun.
Faktor yang penting pada kejang demam ialah umur, genetik, prenatal dan
perinatal. Demam sering disebabkan infeksi saluran pernafasan atas, otitis media,
pneumonia, gastroenteritis dan infeksi saluran kemih. Kejang tidak selalu timbul
pada suhu yang tinggi kadang-kadang demam yang tidak begitu tinggi sudah dapat
menyebabkan kejang. Bila kejang telah terjadi pada demam yang tidak tinggi, anak
mempunyai resiko tinggi untuk berulangnya kejang.

d. Bagaimana etiologi dari penyakit pada kasus ini?


Ada beberapa faktor yang mungkin berperan dalam menyebabkan kejang
demam, misalnya:
1) Demam
2) Efek produk toksik daripada mikroorganisme (kuman dan virus) terhadap otak
3) Respon alergik atau keadaan imun yang abnormal oleh infeksi
4) Perubahan keseimbangan cairan atau elektrolit
5) Ensefalitis viral (radang otak akibat virus) yang ringan yang tidak diketahui atau
ensefalopati toksik sepintas
6) Gabungan semua faktor tersebut di atas
Infeksi viral paling sering ditemukan pada kejang demam. Hal ini mungkin
disebabkan karena infeksi viral memang lebih sering menyerang pada anak, dan
mungkin bukan merupakan sesuatu hal yang khusus. Demam yang disebabkan oleh
imunisasi juga dapat memprovokasi kejang demam. Anak yang mengalami kejang
setelah imunisasi selalu terjadi waktu anak sedang demam. Kejang setelah
imunisasi terutama didapatkan setelah imunisasi pertusis (DPT) dan morbili
(campak).

e. Bagaimana epidemiologi dari penyakit pada kasus ini?


Kejadian kejang demam diperkirakan 2-4% di Amerika Serikat, Amerika
Selatan dan Eropa Barat. Di Asia dilaporkan lebih tinggi. Kira-kira 20% kasus
merupakan kejang demam yang kompleks. Umumnya kejang demam timbul pada
tahun kehidupan (17-23 bulan). Kejang demam sedikit lebih sering terjadi pada
anak laki-laki. Sedikit lebih banyak terjadi pada laki-laki dibanding perempuan
dengan perbandingan 1,2 : 1. Kejang sangat tergantung kepada umur, 85% kejang
pertama sebelum berumur 4 tahun yaitu terbanyak di antara umur 17-23 bulan.
Hanya sedikit yang mengalami kejang demam pertama sebelum berumur 5-6 bulan
atau setelah berumur 5-8 tahun. Biasanya setelah berumur 6 tahun pasien tidak
kejang demam lagi/ namun, beberapa pasien masih dapat mengalami kejang demam
sampai umur lebih dari 5-6 tahun. Angka kematian hanya 0,64% - 0,75%. Sebagian
besar penderita kejang demam sembuh sempurna, sebagian berkembang menjadi
epilepsi sebanyak 2-7%.

f. Apa saja faktor resiko dari penyakit pada kasus ini?


Faktor risiko untuk kejang demam adalah sebagai berikut:
1) Riwayat keluarga kejang demam;
2) Suhu tinggi;
3) Laporan orang tua tentang keterlambatan perkembangan;
4) Kepulangan neonatal pada usia lebih dari 28 hari (menunjukkan penyakit
perinatal yang membutuhkan rawat inap);
5) Asupan alkohol ibu dan merokok selama kehamilan - Peningkatan risiko dua
kali lipat.
Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak
dengan riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat
jarang. Suatu studi kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait
vaksin (vaccine-associated febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam
tidak terkait vaksin (non vaccine-associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27
sampai 2,11). Angka kejadian kejang demam pasca vaksinasi DPT adalah 6-9 kasus
per 100.000 anak yang divaksinasi, sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34
kasus per 100.000 anak. Pada keadaan tersebut, dianjurkan pemberian diazepam
intermiten dan parasetamol profilaksis.

g. Bagaimana patofisiologi dari penyakit pada kasus ini?


Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion
Kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya,
kecuali oleh ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan
konsentrasi Na+ rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya.
Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka
terdapat perbedaan potensial yang disebut potensial membran neuron. Untuk
menjaga keseimbangan potensial membran ini diperlukan energi dan bantuan enzim
Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel. Keseimbangan potensial
membran tadi dapat berubah karena adanya: perubahan konsentrasi ion di ruang
ekstraseluler, rangsangan yang datang mendadak seperti rangsangan mekanis,
kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan patofisiologi dari
membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan
metabolisme basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%.
Pada seorang anak usia 3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi
tubuh, dibandingkan dengan orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu
tubuh pada seorang anak dapat mengubah keseimbangan membran sel neuron dan
dalam waktu singkat terjadi difusi ion Kalium dan ion Natrium melalui membran
tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya lepas muatan listrik. Lepasnya muatan
listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke seluruh sel maupun ke membran
sel lain yang ada didekatnya dengan perantaraan neurotransmitter sehingga
terjadilah kejang.

h. Bagaimana manifestasi klinis penyakit pada kasus ini?


1) Demam diatas 380C
2) Jenis kejang menyentak atau kaku otot
3) Gerakan mata abnormal (mata dapat berputar keatas)
4) Suara pernafasan yang kasar terdengar saat kejang
5) Penurunan kesadaran
6) Kehilangan kontrol kandung kemih dan pergerakan usus
7) Muntah
8) Dapat menyebabkan mengantuk atau kebingungan setelah kejang dalam waktu
yang singkat

i. Apa saja pemeriksaan penunjang penyakit pada kasus ini?


1) Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah (level of evidence 2, derajat rekomendasi B).
2) Pungsi Lumbal
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau
menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru,
saat ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak
berusia <12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan
umum baik.
Indikasi pungsi lumbal (level of evidence 2, derajat rekomendasi B):
a) Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal;
b) Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis.
Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang
sebelumnya telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat
mengaburkan tanda dan gejala meningitis.
3) Elektroensefalografi (EEG)
Indikasi pemeriksaan EEG:
Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI apabila
bangkitan bersifat fokal.
Keterangan:
EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya fokus
kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
4) Pencitraan
Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan
pada anak dengan kejang demam sederhana (level of evidence 2, derajat
rekomendasi B). Pemeriksaan tersebut dilakukan bila terdapat indikasi, seperti
kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya hemiparesis atau paresis
nervus kranialis.

j. Bagaimana tatalaksana dari penyakit pada kasus ini?


Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rata-rata 4 menit) dan pada waktu
pasien datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan
kejang, obat yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam
intravena. Dosis diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan
kecepatan 2 mg/menit atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg.
Secara umum, penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada
umumnya.
Obat yang praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital)
adalah diazepam rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau
diazepam rektal 5 mg untuk anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10
mg untuk berat badan lebih dari 12 kg.
Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang
lagi dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2
kali pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di
rumah sakit dapat diberikan diazepam intravena. Jika kejang masih berlanjut, lihat
algoritme tatalaksana status epileptikus.
Pemberian obat pada saat demam
1) Antipiretik
Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko
terjadinya kejang demam (level of evidence 1, derajat rekomendasi A).
Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat bahwa
antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-
15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali
sehari.
2) Antikonvulsan
a) Pemberian obat antikonvulsan intermiten
Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat
antikonvulsan yang diberikan hanya pada saat demam. Profilaksis intermiten
diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di bawah ini:
 Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
 Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
 Usia <6 bulan
 Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius

Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat dengan
cepat.

b) Pemberian obat antikonvulsan rumat


Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan
penggunaan obat dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka
pengobatan rumat hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka
pendek (level of evidence 3, derajat rekomendasi D).
Indikasi pengobatan rumat:
i. Kejang fokal
ii. Kejang lama >15 menit
iii. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah
kejang, misalnya palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.
c) Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang (level of evidence 1, derajat rekomendasi
B).
Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat menimbulkan gangguan
perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat pilihan saat ini
adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang berumur
kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.
d) Lama pengobatan rumat
Pengobatan diberikan selama 1 tahun, penghentian pengobatan rumat
untuk kejang demam tidak membutuhkan tapering off, namun dilakukan
pada saat anak tidak sedang demam.

k. Bagaimana edukasi dari penyakit pada kasus ini?


Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat
kejang, sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal.
Kecemasan tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:
1) Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis
baik.
2) Memberitahukan cara penanganan kejang.
3) Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4) Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.

l. Bagaimana komplikasi dari penyakit pada kasus ini?


Komplikasi yang dapat terjadi akibat dari kejang demam anak antara lain:
1) Kejang Demam Berulang
Kejang demam berulang adalah kejang demam yang timbul pada lebih dari satu
episode demam. Beberapa hal yang merupakan faktor risiko berulangnya kejang
demam yaitu:
a. Usia anak < 15 bulan pada saat kejang demam pertama;
b. Riwayat kejang demam dalam keluarga;
c. Kejang demam terjadi segera setelah mulai demam;
d. Riwayat demam yang sering;
e. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
2) Kerusakan Neuron Otak
Kejang yang berlangsung lama (>15 menit) biasanya disertai dengan apnea,
meningkatnya kebutuhan oksigen dan energi untuk kontraksi otot yang akhirnya
menyebabkan hipoksemia, hiperkapnia, asidosis laktat karena metabolisme
anaerobik, hipotensi arterial, denyut jantung yang tak teratur, serta suhu tubuh yang
makin meningkat sejalan dengan meningkatnya aktivitas otot sehingga
meningkatkan metabolisme otak. Proses di atas merupakan faktor penyebab
terjadinya kerusakan neuron otak selama berlangsung kejang lama.
3) Retardasi Mental
Terjadi akibat kerusakan otak yang parah dan tidak mendapatkan pengobatan
yang adekuat.
4) Epilepsi
Terjadi karena kerusakan pada daerah medial lobus temporalis setelah mendapat
serangan kejang yang berlangsung lama. Ada 3 faktor risiko yang menyebabkan
kejang demam menjadi epilepsi dikemudian hari, yaitu:
a. Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung;
b. Kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang demam
pertama;
c. Kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
5) Status epileptikus

m. Bagaimana prognosis dari penyakit pada kasus ini?


Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan
sebagai komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan
mental dan neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya
normal. Kelainan neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau kejang
berulang, baik umum maupun fokal. Suatu studi melaporkan terdapat gangguan
recognition memory pada anak yang mengalami kejang lama. Hal tersebut
menegaskan pentingnya terminasi kejang demam yang berpotensi menjadi
kejang lama.
Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko
berulangnya kejang demam adalah:
a) Riwayat kejang demam atau epilepsi dalam keluarga;
b) Usia kurang dari 12 bulan;
c) Suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius saat kejang;
d) Interval waktu yang singkat antara awitan demam dengan terjadinya kejang;
e) Apabila kejang demam pertama merupakan kejang demam kompleks.
Bila seluruh faktor tersebut di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang
demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan
berulangnya kejang demam hanya 10-15%. Kemungkinan berulangnya kejang
demam paling besar pada tahun pertama.
Faktor risiko menjadi epilepsi di kemudian hari adalah:
a) Terdapat kelainan neurologis atau perkembangan yang jelas sebelum kejang
demam pertama;
b) Kejang demam kompleks;
c) Riwayat epilepsi pada orangtua atau saudara kandung;
d) Kejang demam sederhana yang berulang 4episode atau lebih dalam satu
tahun.
Masing-masing faktor risiko meningkatkan kemungkinan kejadian epilepsi
sampai 4-6%, kombinasi dari faktor risiko tersebut akan meningkatkan
kemungkinan epilepsi menjadi 10-49%. Kemungkinan menjadi epilepsi tidak
dapat dicegah dengan pemberian obat rumatan pada kejang demam.

n. Apa SKDI dari penyakit pada kasus ini?

Tingkat Kemampuan 4: mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara


mandiri dan tuntas Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan
melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan tuntas.
4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter.

IV. Learning Issue


1. Kejang demam
2. Pemeriksaan Fisik
3. Pemeriksaan Neurologis
4. Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

V. Sintesis
Kejang Demam
Definisi
Kejang demam adalah bangkitan kejang yang terjadi karena peningkatan suhu tubuh
dengan cepat hingga >38oC, dan kenaikan suhu tersebut diakibatkan oleh proses
ekstrakranial. Perlu diperhatikan bahwa demam harus terjadi lebih dulu daripada kejang.
Umumnya terjadi pada anak usia 6 bulan-5 tahun, puncaknya pada usia 14-18 bulan.
Kejang demam merupakan penyebab kejang tersering pada anak.

Klasifikasi
Secara klinis, klasifikasi kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu kejang demam
simpleks/sederhana dan kompleks. Keduanya memiliki perbedaan prognosis dan
kemungkinan rekurensi.

1. Kejang demam simpleks/sederhana (simple febrile seizure)


i. Kejang umum tonik, klonik, atau tonik-klonik, anak dapat terlihat
mengantuk setelah kejang;
ii. Berlangsung singkat <15 menit;
iii. Tidak berulang dalam 24 jam;
iv. Tanpa kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang.
2. Kejang demam kompleks (complex febrile seizure)
i. Kejang fokal/parsial, atau kejang fokal menjadi umum;
ii. Berlangsung >15 menit;
iii. Berulang >1 kali dalam 24 jam;
iv. Ada kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang.

Kejang demam simpleks paling banyak ditemukan dan memiliki prognosis baik
sedangkan kejang demam kompleks memiliki risiko lebih tinggi terjadinya kejang demam
berulang dan epilepsi dikemudian hari.

Keterangan:

1. Kejang lama adalah kejang yang berlangsung lebih dari 15 menit atau kejang
berulang lebih dari 2 kali dan di antara bangkitan kejang anak tidak sadar. Kejang
lama terjadi pada 8% kejang demam.
2. Kejang fokal adalah kejang parsial satu sisi, atau kejang umum yang didahului
kejang parsial.
3. Kejang berulang adalah kejang 2 kali atau lebih dalam 1 hari, dan di antara 2
bangkitan kejang anak sadar. Kejang berulang terjadi pada 16% anak yang
mengalami kejang demam.
Etiologi
Beberapa teori menyebutkan mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua
diantaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-beta), atau hiperventilasi yang
menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak sehingga terjadilah kejang.

Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi neuron terjadi lebih
mudah. Pola penurunan genetic masih belum jelas, namun beberapa penelitian
menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13-21, sementara
penelitian lain menunjukkan pola autosomal dominan.

Demam yang memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling sering
disebabkan karena infeksi saluran napas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran
kemih, dan infeksi saluran cerna.
Infeksi respiratori akut terdiri dari infeksi respiratori atas akut (IRAA) dan infeksi
respiratori bawah akut (IRBA). Disebut akut jika infeksi berlangsung ≤14 hari. IRAA
meliputi rhinitis, faringitis, tonsilitis, rhinosinusitis, termasuk otitis media. IRAA
disebabkan oleh bakteri, umumnya Streptococcus. Namun, untuk mengetahui pasti perlu
dilakukan kultur. IRBA meliputi epiglottitis, laringotrakeobronkitis, bronkitis,
bronkiolotis, dan pneumonia.

Tonsilofaringitis bakterial (Streptococcus sp.) ditandai dengan nyeri tenggorokan yang


mendadak dan demam tinggi. Pada pemeriksaan fisis ditemukan faring hiperemis, tonsil
bengkak dengan eksudasi, uvula bengkak dan hiperemis, ruam scarlatina (ruam kemerahan
seperti rasa gatal, muncul pada wajah dan leher, menyebar ke dada dan punggung,
kemudian ke seluruh tubuh).

Epidemiologi
Insidens di negara-negara barat berkisar antara 3-5%. Di Asia berkisar antara 4,47% di
Singapura, sampai 9,9% di Jepang, sedangkan di Indonesia belum ada data pasti secara
nasional. Sekitar 80% diantaranya adalah kejang demam simpleks. Sedikit lebih banyak
terjadi pada laki-laki dibanding perempuan dengan perbandingan 1,2 : 1.

Faktor Risiko
Faktor risiko untuk kejang demam adalah sebagai berikut:

1. Riwayat keluarga kejang demam;


2. Suhu tinggi;
3. Laporan orang tua tentang keterlambatan perkembangan;
4. Kepulangan neonatal pada usia lebih dari 28 hari (menunjukkan penyakit perinatal
yang membutuhkan rawat inap);
5. Asupan alkohol ibu dan merokok selama kehamilan - Peningkatan risiko dua kali
lipat.

Sampai saat ini tidak ada kontraindikasi untuk melakukan vaksinasi pada anak dengan
riwayat kejang demam. Kejang setelah demam karena vaksinasi sangat jarang. Suatu studi
kohort menunjukkan bahwa risiko relatif kejang demam terkait vaksin (vaccine-associated
febrile seizure) dibandingkan dengan kejang demam tidak terkait vaksin (non vaccine-
associated febrile seizure) adalah 1,6 (IK95% 1,27 sampai 2,11). Angka kejadian kejang
demam pascavaksinasi DPT adalah 6-9 kasus per 100.000 anak yang divaksinasi,
sedangkan setelah vaksin MMR adalah 25-34 kasus per 100.000 anak. Pada keadaan
tersebut, dianjurkan pemberian diazepam intermiten dan parasetamol profilaksis.
Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau otak diperlukan energi yang
didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang terpenting adalah
glukosa dan melalui suatu proses oksidasi. Dalam proses oksidasi tersebut diperlukan
oksigen yang disediakan melalui perantaraan paru-paru. Oksigen dari paru-paru ini
diteruskan ke otak melalui sistem kardiovaskular. Suatu sel, khususnya sel otak atau neuron
dalam hal ini, dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari membran permukaan dalam
dan membran permukaan luar. Membran permukaan dalam bersifat lipoid, sedangkan
membran permukaan luar bersifat ionik.

Dalam keadaan normal membran sel neuron dapat dengan mudah dilalui ion Kalium
(K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion Natrium (Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali oleh
ion Klorida (Cl-). Akibatnya konsentrasi K+ dalam neuron tinggi dan konsentrasi Na+
rendah, sedangkan di luar neuron terdapat keadaan sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan
konsentrasi ion di dalam dan di luar neuron, maka terdapat perbedaan potensial yang
disebut potensial membran neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K-ATPase yang terdapat pada permukaan sel.
Keseimbangan potensial membran tadi dapat berubah karena adanya: perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraseluler, rangsangan yang datang mendadak seperti
rangsangan mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya, dan perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.

Pada keadaan demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme
basal 10-15% dan meningkatnya kebutuhan oksigen sebesar 20%. Pada seorang anak usia
3 tahun, sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh sirkulasi tubuh, dibandingkan dengan
orang dewasa yang hanya 15%. Jadi kenaikan suhu tubuh pada seorang anak dapat
mengubah keseimbangan membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi ion
Kalium dan ion Natrium melalui membran tersebut sehingga mengakibatkan terjadinya
lepas muatan listrik. Lepasnya muatan listrik ini demikian besar sehingga dapat meluas ke
seluruh sel maupun ke membran sel lain yang ada didekatnya dengan perantaraan
neurotransmitter sehingga terjadilah kejang.

Diagnosis Banding
Kejang disertai demam adalah hal yang sering terjadi pada anak. Banyak diantaranya
disebabkan proses intrakranium yang berbahaya ataupun proses sistemik. Kondisi-kondisi
ini harus dapat dibedakan segera dari kejang demam. Kejang demam khas ditandai adanya
peningkatan suhu tubuh secara cepat diikuti oleh kejang. Sementara pada proses infeksi
intrakranial, demam terjadi bersamaan atau setelah kejang.

Pada anak <1 tahun, diagnosis banding yang harus dipikirkan adalah meningitis. Pada
meningitis bayi tampak letargi, ubun-ubun besar tampak menonjol, dan pemeriksaan darah
tepi menunjukkan leukositosis. Pada keadaan ini pemeriksaan pungsi lumbal sangat
dianjurkan.

Kejang disertai demam juga terjadi pada diagnosis differensial lain yang berbahaya,
seperti infeksi sistem saraf pusat (SSP). Oleh karena itu, diagnosis selain kejang demam
harus dipikirkan bila ditemukan:

 Kecurigaan atau bukti proses intrakranial, baik infeksi, radang, massa, dan proses
lainnya melalui anamnesis, pemeriksaan fisis, maupun penunjang;
 Terdapat gangguan elektrolit;
 Riwayat kejang tanpa demam sebelumnya;
 Terjadi pada bayi <1 bulan;
 Bila terjadi pada anak <6 bulan atau >5 tahun, maka harus dipikirkan penyebab lain
yang lebih sering, yaitu infeksi SSP.

Diagnosis Kerja
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun, mengalami kejang demam kompleks disertai
tonsilofaringitis.

Manifestasi Klinis

Menurut, Riyadi, Sujono & Sukarmin (2009), manifestasi klinik yang muncul
pada penderita kejang demam:
1. Suhu tubuh anak (suhu rektal) lebih dari 38°C.
2. Timbulnya kejang yang bersifat tonik-klonik, tonik, klonik, fokal atau
kinetik. Beberapa detik setelah kejang berhenti anak tidak memberikan
reaksi apapun tetapi beberapa saat kemudian anak akan tersadar kembali
tanpa ada kelainan persarafan.
3. Saat kejang anak tidak berespon terhadap rangsangan seperti panggilan,
cahaya (penurunan kesadaran)

Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang demam,
tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi penyebab demam.
Pemeriksaan laboratorium yang dapat dikerjakan atas indikasi misalnya darah
perifer, elektrolit, dan gula darah.
2. Pungsi lumbal

Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menegakkan atau


menyingkirkan kemungkinan meningitis. Berdasarkan bukti-bukti terbaru, saat
ini pemeriksaan pungsi lumbal tidak dilakukan secara rutin pada anak berusia
<12 bulan yang mengalami kejang demam sederhana dengan keadaan umum
baik.
Indikasi pungsi lumbal:

1. Terdapat tanda dan gejala rangsang meningeal


2. Terdapat kecurigaan adanya infeksi SSP berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis
3. Dipertimbangkan pada anak dengan kejang disertai demam yang sebelumnya
telah mendapat antibiotik dan pemberian antibiotik tersebut dapat mengaburkan
tanda dan gejala meningitis.

3. Elektroensefalografi (EEG)

Indikasi pemeriksaan EEG:


Pemeriksaan EEG tidak diperlukan untuk kejang demam, KECUALI apabila
bangkitan bersifat fokal.

Keterangan: EEG hanya dilakukan pada kejang fokal untuk menentukan adanya
fokus kejang di otak yang membutuhkan evaluasi lebih lanjut.
4. Pencitraan

Pemeriksaan neuroimaging (CT scan atau MRI kepala) tidak rutin dilakukan pada
anak dengan kejang demam sederhana. Pemeriksaan tersebut dilakukan bila
terdapat indikasi, seperti kelainan neurologis fokal yang menetap, misalnya
hemiparesis atau paresis nervus kranialis.

Tatalaksana

Tujuan pengobatan kejang demam pada anak adalah untuk,


• Mencegah kejang demam berulang
• Mencegah status epilepsi
• Mencegah epilepsi dan / atau mental retardasi
• Normalisasi kehidupan anak dan keluarga.

Tatalaksana saat kejang

Pada umumnya kejang berlangsung singkat (rerata 4 menit) dan pada waktu pasien
datang, kejang sudah berhenti. Apabila saat pasien datang dalam keadaan kejang, obat
yang paling cepat untuk menghentikan kejang adalah diazepam intravena. Dosis
diazepam intravena adalah 0,2-0,5 mg/kg perlahan-lahan dengan kecepatan 2 mg/menit
atau dalam waktu 3-5 menit, dengan dosis maksimal 10 mg. Secara umum,
penatalaksanaan kejang akut mengikuti algoritma kejang pada umumnya. Obat yang
praktis dan dapat diberikan oleh orangtua di rumah (prehospital) adalah diazepam
rektal. Dosis diazepam rektal adalah 0,5-0,75 mg/kg atau diazepam rektal 5 mg untuk
anak dengan berat badan kurang dari 12 kg dan 10 mg untuk berat badan lebih dari
12 kg.

Bila setelah pemberian diazepam rektal kejang belum berhenti, dapat diulang lagi
dengan cara dan dosis yang sama dengan interval waktu 5 menit. Bila setelah 2 kali
pemberian diazepam rektal masih tetap kejang, dianjurkan ke rumah sakit. Di rumah
sakit dapat diberikan diazepam intravena.
Jika kejang masih berlanjut, lihat algoritme tatalaksana status epileptikus.

Bila kejang telah berhenti, pemberian obat selanjutnya tergantung dari indikasi terapi
antikonvulsan profilaksis.
Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang
Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga
dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap.
Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu:
• Profilaksis intermittent pada waktu demam
• Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.
1. Profilaksis intermiten antipiretik pada waktu demam

Tidak ditemukan bukti bahwa penggunaan antipiretik mengurangi risiko terjadinya


kejang demam. Meskipun demikian, dokter neurologi anak di Indonesia sepakat
bahwa antipiretik tetap dapat diberikan. Dosis parasetamol yang digunakan adalah 10-
15 mg/kg/kali diberikan tiap 4-6 jam. Dosis ibuprofen 5-10 mg/kg/kali, 3-4 kali sehari.

2. Profilaksis intermiten antikonvulsan pada waktu demam

Yang dimaksud dengan obat antikonvulsan intermiten adalah obat antikonvulsan


yang diberikan hanya pada saat demam.
Profilaksis intermiten diberikan pada kejang demam dengan salah satu faktor risiko di
bawah ini:
• Kelainan neurologis berat, misalnya palsi serebral
• Berulang 4 kali atau lebih dalam setahun
• Usia <6 bulan
• Bila kejang terjadi pada suhu tubuh kurang dari 39 derajat Celsius
• Apabila pada episode kejang demam sebelumnya, suhu tubuh meningkat
dengan cepat.

Obat yang digunakan adalah diazepam oral 0,3 mg/kg/kali per oral atau rektal 0,5
mg/kg/kali (5 mg untuk berat badan <12 kg dan 10 mg untuk berat badan >12 kg),
sebanyak 3 kali sehari, dengan dosis maksimum diazepam 7,5 mg/kali. Diazepam
intermiten diberikan selama 48 jam pertama demam. Perlu diinformasikan pada
orangtua bahwa dosis tersebut cukup tinggi dan dapat menyebabkan ataksia,
iritabilitas, serta sedasi.
Pemberian obat antikonvulsan rumat

Berdasarkan bukti ilmiah bahwa kejang demam tidak berbahaya dan penggunaan obat
dapat menyebabkan efek samping yang tidak diinginkan, maka pengobatan rumat
hanya diberikan terhadap kasus selektif dan dalam jangka.
Indikasi pengobatan rumat:
1. Kejang fokal
2. Kejang lama >15 menit
3. Terdapat kelainan neurologis yang nyata sebelum atau sesudah kejang, misalnya
palsi serebral, hidrosefalus, hemiparesis.

Keterangan:
 Kelainan neurologis tidak nyata, misalnya keterlambatan perkembangan,
BUKAN merupakan indikasi pengobatan rumat.
 Kejang fokal atau fokal menjadi umum menunjukkan bahwa anak mempunyai
fokus organik yang bersifat fokal.
 Pada anak dengan kelainan neurologis berat dapat diberikan edukasi untuk
pemberian terapi profilaksis intermiten terlebih dahulu, jika tidak
berhasil/orangtua khawatir dapat diberikan terapi antikonvulsan rumat.
Jenis antikonvulsan untuk pengobatan rumat
Pemberian obat fenobarbital atau asam valproat setiap hari efektif dalam
menurunkan risiko berulangnya kejang. Pemakaian fenobarbital setiap hari dapat
menimbulkan gangguan perilaku dan kesulitan belajar pada 40-50% kasus. Obat
pilihan saat ini adalah asam valproat. Pada sebagian kecil kasus, terutama yang
berumur kurang dari 2 tahun, asam valproat dapat menyebabkan gangguan fungsi
hati. Dosis asam valproat adalah 15-40 mg/kg/hari dibagi dalam 2 dosis, dan
fenobarbital 3-4 mg/kg/hari dalam 1-2 dosis.

Lama pengobatan rumat


Pengobatan diberikan selama 1 tahun bebas kejang.

Edukasi

Kejang merupakan peristiwa yang menakutkan bagi setiap orangtua. Pada saat kejang,
sebagian besar orangtua beranggapan bahwa anaknya akan meninggal. Kecemasan
tersebut harus dikurangi dengan cara diantaranya:

1. Meyakinkan orangtua bahwa kejang demam umumya mempunyai prognosis


baik.
2. Memberitahukan cara penanganan kejang.
3. Memberikan informasi mengenai kemungkinan kejang kembali.
4. Pemberian obat profilaksis untuk mencegah berulangnya kejang memang
efektif, tetapi harus diingat adanya efek samping obat.
Komplikasi

Komplikasi pada kejang demam anak menurut Garna & Nataprawira (2005)
1. Status Epileptikus
2. Epilepsi
3. Kerusakan jaringan otak
4. Retardasi mental
5. Aspirasi

6. Asfiksia
Prognosis

Prognosis kejang demam secara umum sangat baik. Kejadian kecacatan sebagai
komplikasi kejang demam tidak pernah dilaporkan. Perkembangan mental dan
neurologis umumnya tetap normal pada pasien yang sebelumnya normal. Kelainan
neurologis dapat terjadi pada kasus kejang lama atau berulang, baik umum maupun
fokal.

SKDI

4A. Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter. Lulusan dokter mampu membuat
diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit tersebut secara mandiri dan
tuntas.

Pemeriksaan Neurologis

Adanya penyakit yang menyebabkan iritasi pada meninges akan menyebabkan


timbulnya tanda rangsang meninges. Pemeriksaan tanda rangsang meninges yang diajarkan
pada manual ini antara lain: pemeriksaan kaku kuduk, Kernig’s sign, Brudzinski I, II, III,
dan IV. Proses iritasi meninges yang menimbulkan gambaran meningismus (kaku kuduk)
terjadi akibat refleks spasme otot-otot paravertebral. Posisi medulla spinalis yang terletak
di bagian belakang vertebra membuat medulla
spinalismeregangapabilaterjadigerakanfleksi. Oleh karena batang otak relative terfiksir,
menyebabkan hanya medulla spinalis dan menginges yang inflamasi semakin tertarik
keatas.
Regangan maksimal terjadi pada struktur paling bawah dari vertebra, seperti nervus
femoralis dan nervus sciatik yang melalui cauda ekuina. Pada pasien dengan inflamasi dan
iritasi meninges, peregangan pada struktur yang mengalami inflamasi memberikan
stimulasi pada radiks nervus afferent dan kemudian pada pusat refleks intraspinal.
Stimulasi ini mengakibatkan impuls tonik pada muskulus aksialis posterior yang
menimbulkan spasme muskulus ekstensor sebagai mekanisme protektif. Manifestasi klinis
dari spasme otot inilah yang disebut kaku kuduk, oleh karena manuver yang meregangkan
elemen neural dan meninges pada canalis spinalis memberikan mekanisme protektif untuk
meminimalisir tekanan pada struktur yang terinflamasi.
Sebagai contoh, spasme otot servikal menimbulkan kaku kuduk, dan spasme otot-
otot lumbal bermanifestasi sebagai Kernig’s sign. Meskipun meningeal sign sangat indikasi
untuk mendiagnosis meningitis, tetapi hal tersebut tidaklah patognomonik. Meningitis
bacterial mempunyai kontribusi sekitar 30% dari kasus dengan tanda meningeal, virus
13%, pneumonia 8%, infeksi bakteri lain 2% dan infeksi saluran napas atas dan penyakit
autoimun 46% dari kasus yang ada. Adanya rangsang meningeal menandakan adanya
gejala iritasi mengingeal.
Pemeriksaan Refleks Patologis
Refleks patologik adalah refleks-refleks yang tidak dapat dibangkitkan pada orang-
rang yang sehat, kecuali pada bayi dan anak kecil. Kebanyakan merupakan gerakan
reflektorik defendif atau postural yang pada orang dewasa yang sehat terkelola dan ditekan
oleh akifitas susunan piramidalis. Anak kecil umur antara 4 – 6 tahun masih belum
memiliki susunan piramidal yang sudah bermielinisasi penuh, sehingga aktifitas susunan
piramidalnya masih belum sepmpirna. Maka dari itu gerakan reflektorik yang dinilai
sebagai refleks patologik pada orang dewasa tidak selamanya patologik jika dijumpai pada
anakanak kecil, tetapi pada orang dewasa refleks patologikselalu merupakan tanda lesi
UMN.
Refleks-refleks patologik itu sebagian bersifat refleks dalam dan sebagian lainnya
bersifat refleks superfisialis. Reaksi yang diperlihatkan oleh refleks patologik itu sebagian
besar adalah sama, akan tetapi mendapatkan julukan yang bermacam-macam karena cara
membangkitkannya berbeda-beda. Adapun refleks-refleks patologik yang sering diperiksa
di dalam klinik antara lain refleks Hoffmann, refleks Tromner dan ekstensor plantar
response atau tanda Babinski.
Tonus Otot
Cara pemeriksaan lain:
Lakukan fleksi dan ekstensi pada sendi siku, lutut,pergelangan tangan dan kaki.

Pertumbuhan dan Perkembangan Anak


Definisi perkembangan
Banyak ahli yang memberikan definisi yang berbeda tentang perkembangan namun
intinya sama. Ikatan dokter Anak Indonesia memberikan pengertian perkembangan
adalah bertambahnya kemampuan dan struktur/ fungsi tubuh yang lebih kompleks dalam
pola yang teratur, dapat diperkirakan dan diramalkan sebagai hasil dari proses
diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ dan sistemnya terorganisasi (IDAI, 2002).

Tahapan perkembangan
Tahapan perkembangan khususnya tahap batita merupakan tahapan perkembangan
penting karena pada tahap ini perkembangan mencapai kecepatan yang optimal.
Berdasarkan panduan yang digunakan di Indonesia, terdapat tahapan perkembangan
anak menurut usia dikelompokkan menjadi beberapa tahapan usia, yaitu :

Tabel 2. Tahapan perkembangan anak menurut usia6

No Usia Tahapan Perkembangan yang dicapai


1. 0-3 bulan  Mengangkat kepala setinggi 45 derajat
 Menggerakkan kepala dari kiri/kanan ke tengah
 Melihat dan menatap wajah anda
 Mengoceh spontan atau bereaksi dengan mengoceh
 Suka tertawa keras
 Bereaksi terkejut terhadap suara keras
 Membalas tersenyum ketika diajak bicara/tersenyum
 Mengenal ibu dengan penglihatan, penciuman,
pendengaran, kontak
2. 3-6 bulan  Berbalik dari telungkup ke telentang
 Mengangkat kepala setinggi 90 derajat
 Mempertahankan posisi kepala tetap tegak dan stabil
 Menggenggam pensil
 Meraih benda yang ada dalam jangkauannya
 Memegang tangannya sendiri
 Berusaha memperluas pandangan
 Mengarahkan matanya pada benda-benda kecil
 Mengeluarkan suara gembira benada tinggi atau
memekik
 Tersenyum ketika melihat mainan/gambar yang
menarik saat bermain sendiri
3. 6-9 bulan  Duduk (sikap tripoid-sendiri)
 Belajar berdiri, kedua kakinya menyangga sebagian
berat badan
 Merangkak meraih mainan atau mendekati seseorang
 Memindahkan benda dari satu tangan ke tangan lainnya
 Memungut 2 benda, masing-masing tangan pegang 1
benda pada saat yang bersamaan
 Memungut benda sebesar kacang dengan cara meraup
 Bersuara tanpa arti, seperti mamama, babababa,
dadadada, tatatata
 Mencari mainan/benda yang dijatuhkan
 Bermain tepuk tangan/ciluk ba
 Bergembira dengan melempar bola
 Makan kue sendiri

Tabel 2. Tahapan perkembangan anak menurut usia

No Usia Tahapan Perkembangan yang dicapai


4. 9-12  Mengangkat badannya ke posisi tegak
bulan  Belajar berdiri selama 30 detik atau berpegangan
dengan kursi
 Dapat berjalan dengan dituntun
 Mengulurkan lengan/badan untuk meraih mainan yang
diinginkan
 Menggenggam erat pensil
 Memasukkan benda ke mulut
 Mengulang menirukan bunyi yang didengar
 Menyebut 2-3 suku kata yang sama tanpa arti
 Mengeksplorasi sekitar, ingin tahu, ingin menyentuh
apa saja
 Bereaksi terhadap suara yang perlahan atau bisikan
 Senang diajak bermain "CILUK BA"
 Mengenal anggota keluarga, takut pada orang yang
belum dikenal
5. 12-18  Berdiri sendiri tanpa berpegangan
bulan  Membungkuk memungut mainan kemudian berdiri
kembali
 Berjalan mundur 5 langkah
 Memanggil ayah dengan kata "papa", memanggil ibu
dengan kata "mama"
 Menumpuk 2 kubus
 Memasukkan kubus ke kotak
 Menunjuk apa yang diinginkan tanpa
menangis/merengek, anak bisa mengeluarkan suara
yang menyenangkan atau menarik tangan ibu
 Memperhatikan rasa cemburu atau bersaing
6. 18-24  Berdiri sendiri tanpa berpegangan 30 detik
bulan  Berjalan tanpa terhuyung-huyung
 Bertepuk tangan , melambai-lambai
 Menumpuk 4 buah kubus
 Memungut benda kecil dengan ibu jari dan jari telunjuk
 Menggelindingakan bola ke arah sasaran
 Menyebut 3-6 kata yang mempunyai arti
 Membantu/menirukan pekerjaan rumah tangga

Tabel 2. Tahapan perkembangan anak menurut usia

No Usia Tahapan Perkembangan yang dicapai


 Memegang cangkir sendiri, belajar makan-minum
Sendiri
7. 24-36  Jalan naik tangga sendiri
bulan  Dapat bermain dengan menendang bola kecil
 Mencoret-coret pensil pada kertas
 Bicara dengan baik menggunakan dua kata
 Dapat menunjuk 1 atau lebih bagian tubuhnya ketika
diminta
 Membantu memungut mainannya sendiri atau
membantu
 Melihat gambar dan dapat menyebut dengan benar
nama 2 benda atau lebih
 Makan nasi sendiri tanpa banyak tumpah
 Melepas pakaiannya sendiri
8. 36-48  Berdiri 1 kaki selama 2 detik
bulan  Melompat kedua kaki diangkat
 Mengayuh sepeda roda tiga
 Menggambar garis lurus
 Menumpuk 8 buah kubus
 Mengenal 2-4 warna
 Menyebut nama, usia dan tempat
 Mengerti arti kata di atas, di bawah, di depan
 Mendengarkan cerita
 Bermain bersama teman, mengikuti aturan permainan
 Mengenakan sepatu sendiri
 Mengenakan pakaian sendiri
9. 48-60  Berdiri 1 kaki 6 detik
bulan  Melompat-lompat dengan kaki satu
 Menari
 Menggambar tanda silang
 Menggambar lingkaran
 Menggambar orang dengan 3 bagian tubuh
 Mengancing baju atau pakaian boneka
 Menyebut nama lengkap tanpa di bantu
 Senang menyebut kata-kata baru
Tabel 2. Tahapan perkembangan anak menurut usia

No Usia Tahapan Perkembangan yang dicapai


 Senang bertanya tentang sesuatu
 Menjawab pertanyaan dengan kata-kata yang benar
 Bicaranya mudah dimengerti
 Bisa membandingkan/membedakan sesuatu dari ukuran
dan bentuknya
 Menyebut angka, menghitung jari
 Menyebut nama-nama hari
 Berpakaian sendiri tanpa dibantu
 Menggosok gigi tanpa dibantu
 Bereaksi tenang dan tidak rewel ketika ditinggal ibu
10. 60-72  Berjalan lurus
bulan  Berdiri dengan 1 kaki selama 11 detik
 Menggambar dengan enam bagian, menggambar orang
lengkap
 Menangkap bola kecil dengan kedua tangan
 Menggambar segi empat
 Mengerti arti lawan kata
 Menjawab pertanyaan tentang benda terbuat dari apa
dan kegunaannya
 Mengenal angka, bisa menghitung angka 5-10
 Mengenal warna-warni
 Mengikuti aturan permainan
 Berpakaian sendiri tanpa dibantu
Cara membaca kolom usia : misal berarti usia 2 bulan (60 hari) s.d. 2 bulan 29 hari (89 hari)
Kolom warna:
Hijau: imunisasi untuk perlindungan optimal
Kuning: melengkapi imunisasi yang belum lengkap
Biru: booster
Pink: daerah endemis
1. Vaksin hepatitis B (HB)
Vaksin HB pertama (monovalen) paling baik diberikan dalam waktu 12 jam setelah lahir
dan didahului pemberian suntikan vitamin K1 minimal 30 menit sebelumnya.
Jadwal pemberian vaksin HB monova- len adalah usia 0,1, dan 6 bulan. Bayi lahir dari
ibu HBsAg positif, diberikan vaksin HB dan imunoglobulin hepatitis B (HBIg) pada
ekstremitas yang berbeda. Apabila diberikan HB kombinasi dengan DTPw, maka jadwal
pemberian pada usia 2, 3, dan 4 bulan. Apabila vaksin HB kombinasi dengan DTPa,
maka jadwal pemberian pada usia 2, 4, dan 6 bulan.
2. Vaksin polio
Apabila lahir di rumah segera berikan OPV-0. Apabila lahir di sarana kesehatan, OPV-0
diberikan saat bayi dipulangkan. Selanjutnya, untuk polio-1, polio-2, polio-3, dan polio
booster diberikan OPV atau IPV. Paling sedikit harus mendapat satu dosis vaksin IPV
bersamaan dengan pemberian OPV-3.

55
3. Vaksin BCG
Pemberian vaksin BCG dianjurkan sebelum usia 3 bulan, optimal usia 2 bulan. Apabila
diberikan pada usia 3 bulan atau lebih, perlu dilakukan uji tuberkulin terlebih dahulu.
4. Vaksin DTP
Vaksin DTP pertama diberikan paling cepat pada usia 6 minggu. Dapat diberikan vaksin
DTPw atau DTPa atau kombinasi dengan vaksin lain. Apabila diberikan vaksin DTPa
maka interval mengikuti rekomendasi vaksin tersebut yaitu usia 2, 4, dan 6 bulan.
Untuk anak usia lebih dari 7 tahun diberikan vaksin Td atau Tdap. Untuk DTP 6 dapat
diberikan Td/Tdap pada usia 10-12 tahun dan booster Td diberikan setiap 10 tahun.
5. Vaksin pneumokokus (PCV)
Apabila diberikan pada usia 7-12 bulan, PCV diberikan 2 kali dengan interval 2 bulan;
dan pada usia lebih dari 1 tahun diberikan 1 kali. Keduanya perlu booster pada usia lebih
dari 12 bulan atau minimal 2 bulan setelah dosis terakhir. Pada anak usia di atas 2 tahun
PCV diberikan cukup satu kali.
6. Vaksin MMR/MR
Apabila sudah mendapatkan vaksin campak pada usia 9 bulan, maka vaksin MMR/MR
diberikan pada usia 15 bulan (minimal interval 6 bulan). Apabila pada usia 12 bulan
belum mendapatkan vaksin campak, maka dapat diberikan vaksin MMR/MR.
7. Vaksin rotavirus
Vaksin rotavirus monovalen diberikan 2 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu
(dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis ke-2 diberikan dengan
interval minimal 4 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 24 minggu.
Vaksin rotavirus pentavalen diberikan 3 kali, dosis pertama diberikan usia 6-14 minggu
(dosis pertama tidak diberikan pada usia > 15 minggu), dosis kedua dan ketiga diberikan
dengan interval 4-10 minggu. Batas akhir pemberian pada usia 32 minggu.
*a Vaksin rotavirus monovalen tidak perlu dosis ke-3
8. Vaksin influenza
Vaksin influenza diberikan pada usia lebih dari 6 bulan, diulang setiap tahun. Untuk
imunisasi pertama kali (primary immunization) pada anak usia kurang dari 9 tahun diberi
dua kali dengan interval minimal 4 minggu. Untuk anak 6-36 bulan, dosis 0,25 mL.
Untuk anak usia 36 bulan atau lebih, dosis 0,5 mL.
9. Vaksin campak
Vaksin campak kedua (18 bulan) tidak perlu diberikan apabila sudah mendapatkan MMR.

56
10. Vaksin varisela
Vaksin varisela diberikan setelah usia 12 bulan, terbaik pada usia sebelum masuk
sekolah dasar. Apabila diberikan pada usia lebih dari 13 tahun, perlu 2 dosis dengan
interval minimal 4 minggu.
11. Vaksin human papiloma virus (HPV)
Vaksin HPV diberikan mulai usia 10 tahun. Vaksin HPV bivalen diberikan tiga kali
dengan jadwal 0, 1, 6 bulan; vaksin HPV tetravalen dengan jadwal 0,2,6 bulan. Apabila
diberikan pada remaja
usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis dengan interval 6-12 bulan; respons
antibodi setara dengan 3 dosis.
*b HPV: Apabila diberikan pada remaja usia 10-13 tahun, pemberian cukup 2 dosis
dengan interval 6-12 bulan; respons antibodi setara dengan 3 dosis
12. Vaksin Japanese encephalitis (JE)
Vaksin JE diberikan mulai usia 12 bulan pada daerah endemis atau turis yang akan
bepergian ke daerah endemis tersebut. Untuk perlindungan jangka panjang dapat
diberikan booster 1-2 tahun berikutnya.
13. Vaksin dengue
Diberikan pada usia 9-16 tahun dengan jadwal 0, 6, dan 12 bulan.

57
Gambar. Kurva Berat Badan-Panjang Badan Standar WHO Anak Laki-laki

Gambar. Kurva Berat Badan-Usia dan Tinggi Badan Anak Laki-laki Usia 2-20 Tahun
Standar CDC

58
Pengukuran lingkar kepala

Lingkar kepala diukur dengan menggunakan alat pengukur yang dilingkarkan di kepala
dan melewati dahi, menutupi alis mata, di atas kedua telinga, dan dibagian belakang kepala
yang menonjol, tarik agak kencang. Dilakukan 3 kali pengukuran dan hasil yang diambil adalah
rata-rata dari 3 hasil pengukuran tersebut.

Lingkar kepala diukur setiap tiga bulan pada usia 0-11 bulan dan setiap enam bulan pada
usia 12-72 bulan. Kurva yang digunakan adalah kurva Nelhaus dengan interpretasi sebagai
berikut:

1. Normal apabila lingkar kepala berdasarkan usia jatuh pada +2 s.d. -2


2. Makrosefal apabila lingkar kepala berdasarkan usia jatuh diatas +2
3. Mikrosefal apabila lingkar kepala berdasarkan usia jatuh dibawah -2

Gambar. Kurva WHO untuk Lingkar Kepala Anak Laki-laki Usia 0-5 Tahun

59
Gambar. Kurva Nelhaus untuk Lingkar Kepala Anak Laki-laki Usia 0-18 Tahun

60
VI. Kerangka Konsep
Seorang anak laki-laki, usia 3 tahun
mengalami tonsilofaringitis

Proses inflamasi

↑ suhu tubuh (demam)

Metabolisme ↑ kebutuhan O2
basal ↑ 10-15% 20%

Perubahan
keseimbangan
membran sel

Difusi ion K+ dan Na+ melalui membran sel

↑ Pelepasan muatan
listrik

Eksitatori > inhibitori

Kejang 3 kali Kompleks

Mata mendelik Badan kaku Tatalaksana:


rumatan
kontinu,
antipiretik,
antibiotik

VII. Kesimpulan
Seorang anak, 3 tahun, mengalami kejang demam disertai tonsilofaringitis.

61
Daftar Pustaka
Christensen, B. (2018). Glasgow Coma Scale-Pediatric. Medscape, 1-3.
Lumbantobing, SM. 2003. Penatalaksanaan Muthakhir Kejang Pada Anak. Jakarta: FKUI
Nelson KB. Febrile seizures. Dalam: Dodson WE, Pellock JM, Penyunting. Pediatric
epilepsy: diagnosis and therapy. New York: Demos, 1993. h. 129-33.
Soetomenggalo TS. Kejang demam. Dalam: Soetomenggalo, TS, Ismael S. Buku ajar
neurologi anak. Jakarta: IDAI; 1999. h. 244-51.
Szilagyi, P. G. (2015). Memeriksa Anak: Bayi hingga Remaja. In L. S. Bickley, Buku Ajar
Pemeriksaan Fisisk dan Riwayat Kesehatan Edisi 11 (pp. 850-851). Jakarta: EGC.
Theresa, A. &. (2018). Febrile Seizure. NCBI, 1-18.
Unit Kerja Koordinasi Neurologi Ikatan Dokter Anak Indonesia. (2016). Rekomendasi
Penatalaksanaan Kejang Demam. Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia.
Widodo DP. Konsensus tatalaksana kejang demam. Dalam Gunardi H, Tehuteru ES, Kurniati
N, Advani N, Setyanto Db, Wulandari HF, et al, Penyunting. Kumpulan tips pediatri.
Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2011. h. 193-203.
Widodo DP. Kejang pada anak. Dalam: Ramli M, Umbas R. kedaruratan non bedah dan
bedah. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2002. h. 106-17.

62

Anda mungkin juga menyukai