Anda di halaman 1dari 6

PEMBAHASAN

1.1 Kasus

Kasus transplantasi ginjal antara dua pasien di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang
bermula dari seorang pendonor ginjal bernama ibu Ita yang terlilit hutang karena bisnisnya terpuruk
dan memiliki sejumlah hutang di koperasi. Lalu dia menawarkan untuk mendonorkan ginjalnya di
RSSA kepada seorang perawat disana. Perawat itu kemudian meminta nomor telepon Ita dan
memberikan nomor telepon itu kepada dr. Rifai selaku salah satu tim dokter transplantasi. dr. Rifai
lalu menghubungi Ita dan mengatakan bahwa ada seseorang yang membutuhkan donor ginjalnya
yaitu Erwin Susilo. Pada awalnya, Erwin merupakan pasien yang menjalani cuci darah selama tujuh
bulan di Rumah Sakit Persada Hospital dan RKZ di Kota Malang. Kemudian, Erwin berobat di RSSA
Malang dan bertemu dengan dr. Rifai yang sebelumnya menghubungi Ita dan dr. Atma selaku ketua
tim dokter transplantasi ginjal. dr. Rifai menawarkan kepada Erwin untuk melakukan transplantasi
ginjal dan mempertemukan Erwin dengan Ita. Pada pertemuan itu, Ita akhirnya bersedia untuk
mendonorkan ginjalnya kepada Erwin. Pada awalnya Erwin sempat ragu untuk menjalani
transplantasi tersebut dikarenakan Ia takut untuk dioperasi, namun setelah berpikir panjang
akhirnya Erwin bersedia untuk melakukan transplantasi ginjal.

Melalui beberapa prosedur yang diberikan oleh RSSA, Erwin dan Ita lalu menandatangani
beberapa dokumen yang telah dipersiapkan oleh pihak rumah sakit atas sepengetahuan tim dokter
di rumah sakit tersebut. Namun, ternyata Ita dan Erwin mempunyai kesepakatan lain di luar
ketentuan rumah sakit, dimana Ita menawarkan ginjalnya seharga Rp. 350 juta kepada Erwin sesuai
dengan jumlah hutangnya, akan tetapi kesepakatan itu diadakan tanpa adanya persetujuan di atas
kertas. Transplantasi dilakukan pada tanggal 1 Maret 2017 di RSSA Malang. Seusai operasi dan
sebelum pendonor pulang, hak pendonor sudah terpenuhi, dimana Erwin sudah menyerahkan uang
sebesar Rp. 70 juta kepada Ita dengan rincian Rp. 45 juta sebagai biaya hidup selama tiga bulan, Rp5
juta untuk BPJS, dan Rp20 juta sebagai tali asih. Pada kasus ini, Ita merasa dirugikan karena tidak
dibayarkan sesuai perjanjian dengan Erwin yaitu Rp. 350 juta dan hanya dibayarkan Rp. 70 juta. Oleh
karena itu, Ita meminta kekurangan pembayaran kepada Erwin. Akan tetapi, Ita malah mendapatkan
makian, sehingga Ia merasa dirugikan dan membawa kasus ini ke ranah hukum.

Menurut kuasa hukum Ita yaitu Yassiro Ardhana Rahman, adanya praktik transplantasi ilegal
dalam kasus kliennya. Bahkan menyebut adanya dugaan keterlibatan dua dokter senior dalam
transplantasi tersebut. Dugaan itu didasarkan pada pengakuan Ita yang tidak dimintai persetujuan
dalam proses transplantasi tersebut. Ita hanya diminta tanda tangan satu kali menjelang dilakukan
operasi transplantasi dan tidak ada persetujuan dari pihak keluarganya. Pada kasus ini juga dokter
tidak meminta persetujuan dari keluarga Ita sebagai pendonor. Dasar lain adalah adanya
kesepakatan sebesar Rp. 350 Juta, tetapi dibayarkan oleh Erwin Rp. 70 juta yang menunjukkan
bahwa transplantasi tersebut bermotif ekonomi dan bukan lagi dilandasi kemanusiaan sebagaimana
ketentuan yang berlaku.

Pihak rumah sakit RSSA lalu menanggapi adanya berita mengenai kasus jual beli organ tubuh
dan praktek transplantasi ilegal tersebut. Hal tersebut tampak saat konferensi pers di ruang
Majapahit. Menemui awak media, Wakil Direktur Bidang Pelayanan Medik dan Keperawatan RSSA
Hanief Noersjahdu, Ketua Komite Medik RSSA Istan Irmansyah, serta ketua tim transplantasi ginjal
yaitu dr Atma Gunawan. Selain itu, hadir pula dokter-dokter yang terlibat dalam operasi, termasuk
dr Rifai. Dari hasil konferensi, pihak rumah sakit menyatakan bahwa transplantasi sudah dilakukan
secara institusional dan tidak dilakukan secara pribadi, dimana proses ini melibatkan 20 orang dokter
dan proses transplantasi yang dilakukan sudah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku di Indonesia, yaitu Permenkes 38 tahun 2016. Pihak RSSA juga menekankan bahwa pada
proses ini tidak ada unsur jual beli organ atau menawar, kemudian dilakukan secara sukarela oleh
pendonor maupun penerima.

Dalam konferensi, dr. Atma Gunawan menyatakan bahwa dalam proses transplantasi tidak
ada perjanjian di luar perjanjian yang disepakati oleh pihak rumah sakit. Beliau juga menyatakan
bahwa pihak rumah sakit awalnya tidak mengetahui tentang perjanjian antara Ita dan Erwin
mengenai pembayaran sebesar Rp. 350 juta. Sesuai dengan perjanjian yang dipegang oleh pihak
rumah sakit, diterangkan bahwa tidak boleh ada tuntut-menuntut pasca tindakan, baik antara
pendonor dengan penerima atau dengan pihak rumah sakit. Jika ada perjanjian antara pendonor dan
penerima, hal itu bukan merupakan tanggung jawab pihak rumah sakit.

Pada tanggal 18 Januari 2018, Ita Diana mengaku sudah berdamai dengan pihak RSSA dan
juga Erwin. Ita bertemu dengan pihak RSSA dan membicarakan prihal perdamaiannya di RSSA. Ita
mengaku sudah menandatangani surat perdamaiannya dengan pihak rumah sakit lantara Ia sudah
lelah dalam menghadapi kasusnya tersebut, sehingga Ia memutuskan untuk berdamai.

1.2 Bioetika dan Hukum Kedokteran

1.3 Hal-hal yang di langgar

1. Ita dan Erwin mempunyai kesepakatan lain di luar ketentuan rumah sakit. Ita menawarkan
ginjalnya seharga Rp. 350.000.000 kepada Erwin. Kesepakatan itu diadakan tanpa adanya
persetujuan di atas kertas.

Norma terkait Hukum yang dilanggar:

· Pada UU No. 23 tahun 1992 pasal 33 dijelaskan bahwa “Transplantasi organ dan atau jaringan
tubuh serta transfusi darah dilakukan hanya untuk tujuan kemanusiaan dan dilarang untuk tujuan
komersial”

· Dilanjutkan penjelasan Undang- undang Nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan dalam Pasal
64 ayat (3) dijelaskan bahwa “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjual-belikan dengan dalih
apapun”.

· Permenkes No. 38 tahun 2016 pasal 13 ayat 1 dijelaskan bahwa “Setiap orang dapat menjadi
Pendonor secara sukarela tanpa meminta imbalan”

· Permenkes No. 38 Tahun 2016 Pasal 19 Ayat 1 (g) dijelaskan bahwa "salah satu persyaratan
administratif yaitu membuat pernyataan tidak melakukan penjualan Organ ataupun perjanjian
khusus lain dengan pihak Resipien".
· Permenkes No. 38 Tahun 2016 Pasal 24 Ayat 1 (d) dijelaskan bahwa "untuk dapat terdaftar
sebagai calon Resipien harus memenuhi salah satu persyaratan yaitu menyerahkan pernyataan
tertulis tidak membeli Organ tubuh dari calon Pendonor atau melakukan perjanjian khusus dengan
calon Pendonor, yang dituangkan dalam bentuk akte notaris atau pernyataan tertulis yang disahkan
oleh notaris".

· Dalam Peraturan Pemerintah No. 18 tahun 1981 tentang bedah mayat klinis, pasal 1c
dijelaskan bahwa “Transplantasi adalah rangkaian tindakan kedokteran untuk pemindahan dan atau
jaringan tubuh manusia yang berasal dari tubuh orang lain dalam rangka pengobatan untuk
menggantikan alat dan atau jaringan tubuh yang tidak berfungsi dengan baik” Pada kasus ini terlihat
jelas bahwa alasan ibu Ita mendonorkan ginjalnya bukan untuk mengobati atau menggantikan
jaringan tubuh yg rusak melainkan ada alasan terselubung yaitu untuk menutupi kebutuhan
ekonomi ibu Ita yang terlilit hutang.

Kode Etik Kedokteran yang dilanggar :

· Kode Etik Kedokteran Indonesia

Pasal 5 : Perbuatan Melemahkan Psikis maupun Fisik.

"Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik,
wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan
kebaikan pasien tersebut."

Disebutkan bahwa pada kasus ini tidak ada keterangan mengenai persetujuan yang jelas maupun
persetujuan yang jelas diatas kertas terkait memperjual belikan ginjal ibu Ita, dan tidak ada
keterangan pasti atas persetujuan keluarga.

· Pasal 9

“Seorang dokter wajib bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan sejawatnya, dan
berupaya untuk mengingatkan sejawatnya pada saat menangani pasien dia ketahui memiliki
kekurangan dalam karakter atau kompetensi, atau yang melakukan penipuan atau penggelapan.”

Jika yang salah adalah dokter yang bertugas maka kesalahannya adalah tidak memastikan bahwa
terdapat transaksi jual beli organ yang terjadi antara resipien dan pendonor, yaitu terlihat bahwa
saat konferensi pers, dokter dari pihak RS menjelaskan tidak tahu menahu mengenai transaksi jual
beli organ yang dilakukan, mereka hanya menjalankan prosedur atau protokol medis yang ada.
2. Ita tidak dimintai persetujuan dalam proses transplantasi tersebut. Ita hanya diminta tanda
tangan satu kali menjelang dilakukan operasi transplantasi dan tidak ada persetujuan dari pihak
keluarganya.

Norma yang dilanggar:

· Dalam Undang - Undang No.23 Tahun 1992 Pasal 34 Ayat 2 dijelaskan bahwa "Pengambilan
organ dan atau jaringan tubuh dari seorang donor harus memperhatikan kesehatan donor yang
bersangkutan dan ada persetujuan ahli waris atau keluarganya".

· Dalam Permenkes No. 38 Tahun 2016 Pasal 19 Ayat 1 (e) dijelaskan bahwa "salah satu
persyaratan administratif yaitu mendapat persetujuan suami/istri, anak yang sudah dewasa, orang
tua kandung, atau saudara kandung Pendonor".

· Kode Etik Kedokteran Indonesia

Pasal 5 : Perbuatan Melemahkan Psikis maupun Fisik.

"Tiap perbuatan atau nasihat dokter yang mungkin melemahkan daya tahan psikis maupun fisik,
wajib memperoleh persetujuan pasien/ keluarganya dan hanya diberikan untuk kepentingan dan
kebaikan pasien tersebut.

Anda mungkin juga menyukai