Anda di halaman 1dari 23

A.

EPIDEMIOLOGI
Skleroderma adalah penyakit dengan distribusi yang luas diseluruh dunia dan
menyerang semua ras. Skleroderma hanya terbatas pada ekstremitas distal dan muka yang
disebut dengan sindroma CREST (calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily,
teleangiectasis). Prevalensi penyakit ini relatif rendah karena banyaknya kasus yang tidak
dilaporkan, apalagi pada kasus yang tidak disertai kelainan kulit. Penelitian pada
masyarakat umum di Carolina Selatan Amerika Serikat, mendapatkan prevalensi sebesar
19-75 kasus per 100.000 penduduk dengan perbandingan wanita dan laki-laki 1,9-4 : 1.
Pada penelitian di Tennesee Amerika Serikat , ternyata jumlah pasien skleroderma pada
wanita usia reproduksi (20-44 tahun) sebesar 15 kali jumlah pasien laki-laki pada usia
yang sama, sedangkan pada wanita usai 45 tahun atau lebih frekuensinya hanya 1,8 kali
laki-laki pada usia yang sama. Penelitian di Inggris, Australia dan Jepang menunjukkan
insiden yang lebih rendah dibandingkan di Amerika Serikat.
Hubungan penyakit ini dengan ras tidak jelas, walaupun skleroderma pada ras
kulit berwarna lebih banyak dibandingkan kulit putih. Selain itu beberapa beberapa faktor
lingkungan mungkin berhubungan dengan timbulnya skleroderma misalnya debu silica
dan implantasi silikon. Beberapa bahan kimia seperti vinilklorida, epoksin-resin,
trikoloroetilen serta obat-obatan seperti bleomisin, pentazosin dan L-triptofan juga
diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma. Pajanan terhadap vinilklorida
diketahui berhubungan dengan timbulnya skleroderma yang disertai fenomena Raynaud,
akroosteolisis dan fibrosis paru. Sedangkan pemakaian bleomisin pada kanker testis
terutama bila dikombinasi dengan sisplatinum ternyata berhubungan dengan timbulnya
skleroderma, fenomena Raynaud dan fibrosis paru.
Prevalensi di Inggris tahun 2004 ditemukan frekuensi yang lebih tinggi yaitu 12
diantara 100.000 penduduk, serupa dengan penelitian di Amerika utara tahun 2003 dan
penelitian tahun 2001 di Australia.
Kesimpulan dari studi demografik didapatkan bahwa penyakit ini jarang terjadi
pada anak-anak dan insidennya meningkat sesuai dengan penambahan usia. Insiden yang
jarang ini menunjukkan bahwa faktor genetik dan lingkungan berperan penting dalam
kerentanan yang terjadi pada populasi.
B. DEFINISI
Sklerosis Sistemik (Skleroderma) adalah penyakit sistemik kronis yang ditandai dengan
penebalan dan fibrosis kulit (skleroderma) dengan keterlibatan organ internal yang luas
terutama paru, saluran cerna, jantung dan ginjal. Fibrosis adalah pembentukan struktur
seperti skar yang halus yang menyebabkan jaringan mengeras dan mengurangi aliran
cairan melalui jaringan-jaringan. Stadium dini dari penyakit ini berhubungan dengan
gambaran inflamasi yang menonjol, diikuti dengan perubahan struktural dan fungsional
yang menyeluruh pada mikrovaskular dan disfungsi organ yang progresif akibat dari
proses fibrosis.

Klasifikasi:
Dua varian utama skleroderma adalah kutaneus difus (20% kasus) dan kutaneus terbatas
(80% kasus).
1. Tipe difus yang lebih sedikit ini ditandai dengan penebalan kulit pada ekstremitas
bagian distal dan proksimal serta batang tubuh dan sering melibatkan ginjal, paru dan
jantung. Tipe difus adalah jenis yang progresif dan sering merusak banyak organ
dalam, tidak hanya kulit saja.
2. Tipe terbatas menonjolkan sindrom CREST (kalsinosis, fenomena Raynaud, disfungsi
esofagus, sklerodaktili dan teleangiektasia), perubahan pada kulit hanya terbatas pada
wajah, jari jemari dan bagian distal ekstremitas.

Varian ketiga yang jarang didapatkan adalah overlap syndrome; sindrom ini terdiri
dari skleroderma yang terasosiasi dengan penyakit jaringan ikat lainnya, misalnya lupus
sistemik (SLE), artritis rheumatoid, polimiositis dan sindrom Sjögren

Berdasarkan pola distribusi dan luasnya keterlibatan kulit, Skleroderma dapat


dibagi menjadi dua kelompok yaitu:
1. Skleroderma Lokal
Yaitu beberapa bentuk skleroderma yang mengenai kulit secara lokal tanpa disertai
kelainan sistemik. Termasuk dalam kelompok ini adalah :
a. Plaque Morphea : Perubahan setempat yang dapat ditemukan dibagian tubuh
mana saja, fenomena raynaud sangat jarang ditemukan. Fenomena Raynaud
adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem) yang dicetuskan
oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional. Perubahan spesifik umumnya
terjadi pada jari tangan, dapat juga mengenai jari kaki, daun telinga, lidah dan
hidung.
b. Linear Sclerosis : Terdapat pada anak-anak, ditandai perubahan skleroderma pada
kulit dalam bentuk garis-garis dan umumnya disertai atrofi otot dan tulang
dibawahnya
c. Scleroderma en coup de sabr : Merupakan varian skleroderma linier, dimana garis
yang sklerotik terdapat pada ekstremitas atas atau bawah atau daerah
frontoparietal yang mengakibatkan deformitas muka dan kelainan tulang.
2. Sklerosis sistemik
a. Sklerosis sitemik difusa : Dimana penebalan kulit terdapat di ekstremitas, muka
dan seluruh tubuh.
b. Sklerosis sistemik terbatas : Penebalan kulit terbatas pada distal siku dan lutut
tetapi dapat juga mengenai muka dan leher. Sinonimnya adalah sindroma CREST
(calcinosis, esophageal dysmotility, sclerodactily, teleangiectasis).
c. Sklerosis sistemik sine skleroderma : secara klinis tidak didapatkan kelainan kulit
walaupun terdapat kelainan organ dan gambaran serologis yang khas untuk
sklerosis sistemik.
d. Sklerosis sistemik pada overlap syndrome : Arthritis rheumatoid atau penyakit
otot inflamasi
e. Penyakit jaringan ikat yang tidak terdiferensiasi : bila didapatkan fenomena
Raynaud dengan gambaran klinis atau laboratorik sesuai dengan sklerosis sitemik

Faktor yang mempengaruhi timbulnya scleroderma:

a. Faktor Genetik
Sekitar 1,6% pasien skleroderma memiliki resiko relatif sebesar 13 yang
menunjukkan pentingnya faktor genetik. Resiko penyakit autoimun lain termasuk
systemic lupus erythematosus (SLE) dan rheumatoid arthritis (RA) juga meningkat
pada keturunan pertama pasien skleroderma. Penelitian genetik saat ini difokuskan
pada polimorfisme gen kandidat, terutama gen yang berhubungan dengan regulasi
imunitas, inflamasi, fungsi vaskuler dan homeostasis jarigan ikat. Hubungan yang
lemah antara single nucleotide polymorphisms (SNPs) dengan skleroderma telah
dilaporkan pada gen yang mengkode angiotensin-converting enzyme (ACE),
endothelin 1, nitric oxide synthase, B-cell markers (CD19), kemokin (monocyte
chemoattractantprotein 1) dan reseptor kemokin, sitotokin (interleukin (IL)-1 alpha,
IL-4, dan tumor necrosis factor (TNF)-alpha), growth factors dan reseptornya
(connective tissue growth factor [CTGF] and transforming growth factor beta [TGF-
beta]) dan protein matriks ekstraseluler (fibronectin, fibrillin, and SPARC).
b. Faktor Lingkungan
Resiko relatif faktor genetik yang rendah pada skleroderma menunjukkan pentingnya
faktor lingkungan pada kerentanan penyakit ini. Agen infeksius terutama virus,
paparan toksin lingkungan dan pekerjaan serta obat-obatan telah dicurigai dapat
mencetuskan skleroderma. Pada pasien dengan skleroderma ditemukan peningkatan
antibodi terhadap human cytomegalovirus (hCMV) dan antitopoisomerase I
autoantibodies yang dapat memicu terjadinya apoptosis dan aktifasi fibroblast kulit.
Beberapa peneliti melaporkan terjadinya peningkatan insiden skleroderma pada
pekerja yang terpapar silika. Paparan kerja lainnya yang mungkin berhubungan
dengan skleroderma adalah polyvinyl chloride, epoxy resins dan aromatic
hydrocarbons (toluene, trichloroethylene).

C. PATOFISIOLOGI

Patofisiologi scleroderma dapat terjadi melalui 3 mekanisme yaitu : proses


vaskulopati, aktivasi respon imun seluler dan humoral, serta progresivitas fibrosis organ
multiple.
Gambar 1: skema pathogenesis kompleks sklerogenesis sistemik

1. Vaskulopati

Terjadi fenomena Raynaund sebagai manifestasi awal penyakit yang ditandai dengan
perubahan respon aliran darah pada suhu dingin. Perubahan ini awalnya bersifat reversible,
terjadi sebagai akibat dari penurunan sistim syaraf otonom dan perifer karena berkurangnya
produksi neuropeptida seperti calcitonin gen-related peptide dari aferen saraf sensoris, dan
peningkatan sensitivitas reseptor alpha 2-adrenergik pada sel otot polos vaskuler.
Fenomena Raynaud adalah perubahan warna yang episodik (palor, sianosis, eritem)
yang dicetuskan oleh lingkungan yang dingin atau stres emosional. Perubahan spesifik
umumnya terjadi pada jari tangan, dapat juga terjadi pada jari kaki, daun telinga, lidah dan
hidung. Pada fase palor dan sianosis pasien akan merasa nyeri sedangkan pada fase hiperemis
pasien biasanya akan merasa terbakar. Fenomena Raynaud pada slerosis sistemik dapat
dijumpai sebanyak 95%.
Vaskulopati (gangguan vaskuler) mempengaruhi pembuluh darah kapiler, arteriole,
bahkan pembuluh darah besar pada berbagai organ. Sel miointimal yang menyerupai sel otot
polos mengalami proliferasi (fase sel saat mengalami pengulangan siklus sel), membran basal
menebal, reduplikasi, serta terjadi perkembangan fibrosis adventitia (mempengaruhi
hipoksia). Angiogrom tangan dan ginjal pasien Skleroderma stadium lanjut menunjukkan
hilangnya gambaran vaskuler.
Kerusakan endotel menyebabkan agregasi trombosit, pelepasan vasokonstriktor
(tromboksan) dan platelete derived growth factor (PDGF). Kerusakan vaskuler ini kemudian
diikuti dengan gangguan fibrinolisis. Stress oksidatif akibat iskemia(penyumbatan
pembuluh darah) berhubungan dengan terbentuknya radikal bebas yang selanjutnya akan
menyebabkan kerusakan endotel lebih lanjut melalui peroksidasi lipid membran. Sebaliknya,
proses revaskularisasi yang seharusnya dapat mempertahankan aliran darah pada jaringan
yang iskemik tampaknya tidak terjadi pada kasus Skleroderma. Pada pasien Skleroderma,
jumlah progenitor (sel yang spesifik, sel pada tahap diantra sel induk dan sel fungsional
yang matang) sel CD34+ dan CD133+ dari sumsum tulang yang beredar dalam sirkuklasi
jumlahnya menurun. Penelitian in vitro menunjukan diferensiasinya menjadi sel endotel
mature terganggu. Oleh karena itu vaskulopati obliteratif substansi yang telah rusak) dan
kegagalan perbaikan pembuluh darah adalah pertanda dari Skleroderma.
ECM = Extracelular matrix contohnya kolagen, elastin, proteoglikan.

2. Autoimunitas Seluler dan Humoral


Pada stadium dini penyakit, sel T dan monosit/makrofag yang teraktifasi akan
terakumulasi di dalam lesi di kulit, paru dan organ lain yang terkena. Sel T yang
menginfiltrasi, mengekspresikan penanda aktivasi seperti CD3, CD4, CD45 dan HLA-DR
serta menampakkan restriksi reseptor yang mengindikasikan ekspansi oligoclonal sebagai
respon terhadap antigen yang tidak diketahui. Sel T CD4+ yang bersirkulasi juga
meningkatkan reseptor kemokin dan mengekspresikan molekul adhesi alpha 1 integrin yang
berfungsi meningkatkan kemampuan untuk mengikat endotel dan fibroblast.

Sel endotel mengekspresikan ICAM-1 dan molekul adhesi lain yang memfasilitasi
diapedesis leukosit. Makrofag dan sel T yang teraktivasi menunjukkan respon, Th2
terpolarisasi dan mensekresi Interlukin (IL) 4 dan IL 13. Kedua sitokin Th2 ini dapat
menginduksi TGF-beta yang merupakan modulator regulasi imun dan akumulasi matriks.
TGF-beta dapat menginduksi produksi dirinya sendiri serta sitokin lain karena mempunyai
aktifitas autokrin/parakrin untuk mengaktifasi fibroblast dan sel efektor lain.
Gambar 2: Mediator terlarut pengaktivasi fibroblast yang kadarnya meningkat pada skelroderma

Penelitian DNA mengenai ekspresi sel T CD8+ pada lavase cairan bronchial
menunjukkan pola ekspresi gen Th2 terktivasi yang dicirikan dengan peningkatan kadar IL-4
dan IL-13 serta penurunan produksi interferon gamma (IFN-gamma). Sitokin Th2 merangsang
sintesis kolagen dan respon profibrosis lain. IFN-gamma menghambat sintesis kolagen dan
memblok aktivasi fibroblast yang dimediasi sitokin.
Autoantibodi yang bersirkulasi terdeteksi pada pasien skleroderma. Autoantibodi ini
spesifisitasnya tinggi terhadap scleroderma. Kadar autoantibodi berhubungan dengan
keparahan penyakit, dan titernya berfluktuasi sesuai aktifitas penyakit. Autoantibodi spesifik
Skleroderma adalah antinuklear dan menyerang langsung protein mitosis seperti
topoisomerase I dan RNA polymerase. Autoantibodi lain langsung menyerang antigen
permukaan atau protein yang disekresi. Autoantibodi Topoisomerase I pada Skleroderma
dapat secara langsung mengikat fibroblast demikian juga autoantibodi terhadap fibroblast, sel
endotel, fibrillin-1 serta enzim matriks metalloproteinase. Beberapa autoantibodi ini mungkin
mempunyai peran patogenik langsung sebagai mediator kerusakan jaringan.
Penelitian terbaru menunjukkan bahwa sel B berperan baik dalam autoimunitas dan
fibrosis pada scleroderma. Selain menghasilkan antibodi, Sel B dpat berperan sebagai antigen
presenting cell (APC), menghasilkan sitokin seperti IL-6 dan TGF-beta, serta memodulasi
fungsi sel T dan sel dendritik. Sel B pada pasien skleroderma menunjukkan abormalitas
intrinsik dengan peningkatan ekspresi reseptor sel B CD19, ekspansi sel B naif dan
menurunkan jumlah sel B memori serta sel plasma.
3. Komponen Seluler dan Molekuler Fibrosis
Fibrosis yang terjadi pada berbagai organ adalah penanda utama Skleroderma yang
membedakan Skleroderma dengan penyakit jaringan ikat lain. Fibrosis merupakan
konsekuensi dari autoimunitas dan kerusakan vaskuler. Proses ini ditandai dengan
penggantian tekstur jaringan normal dengan jaringan ikat aseluler yang progresif yang
menyebabkan peningkatan morbiditas dan mortalitas scleroderma.
Fibroblast dan sel mesenkim normalnya bertanggungjawab terhadap integritas
fungsional dan struktural jaringan ikat parenkim organ. Ketika Fibroblast diaktivasi oleh
TGF-beta dan sitokin lain, fibroblast mengalami proliferasi, migrasi, relaborasi dengan
kolagen dan matriks makromolekul lain, mensekresi growth factor dan sitokin, mengekspresi
reseptor permukaan untuk sitokin-sitokin tersebut dan berdiferensiasi menjadi miofibroblast
(sel yang mnegalami perubahan). Respon fibroblast ini memfasilitasi perbaikan cedera
jaringan yang efektif. Pada kondisi fisiologis, program perbaikan fibroblast akan berhenti
dengan sendirinya setelah penyembuhan terjadi.
Pada respon fibrosis yang patologis, aktivasi fibroblast terjadi secara terus-menerus
dan berkembang semakin besar dan menjadikan perubahan matriks dan pembentukan jaringan
parut. Aktivasi fibroblast yang berlebihan ini serta akumulasi matriks adalah perubahan
patologis utama yang mendasari terjadinya fibrosis pada scleroderma.
Selain aktivasi fibroblast jaringan ikat lokal, sel progenitor mesenkimal dari sumsum
tulang yang beredar juga berperan dalam fibrogenesis. Sel mononuklear yang
mengekspresikan CD14 dan CD34 berdiferensiasi memproduksi kolagen alpha-smooth
muscle actin-positive fibrocytes pada penelitian in vitro. Proses ini diperkuat oleh TGF-beta.
Gambar 3 : Aktivasi fibroblast pada scleroderma

Faktor-faktor yang meregulasi produksi progenitor sel mesenkim di sumsum tulang,


perjalananannya dari dalam sirkulasi ke tempat lesi, dan meningkatnya diferensiasinya
menjadi matriks adesif dan fibrosit yang kontraktil belum sepenuhnya diketahui. Transisi sel
epitel menjadi sel mesenkim adalah proses yang terjadi dalam berkembangnya fibrosis di
paru dan ginjal serta organ lain.
Fibroblast dapat berdiferensiasi menjadi miofibroblast yang mirip otot polos. Baik
proses transisi epitel dan diferensiasi miofibroblast dimediasi oleh TGF-beta. Miofibroblast
bertahan di dalam jaringan terjadi karena adanya resistensi terhadap apoptosis (kematian
sel). Miofibroblast berkontribusi terhadap pembentukan skar (luka) melalui kemampuannya
dalam memproduksi kolagen dan TGF-beta, memperbesar kekuatan kontraktil pada matriks
di sekitar dan mengubahnya menjadi skar yang rapat.
Dari fibroblast pasien scleroderma, ditemukan peningkatan kecepatan transkripsi gen
kolagen tipe I. Didapatkan juga peningkatan sintesis berbagai molekul matriks ekstraseluler,
ekspresi reseptor kemokin dan molekul adhesi permukaan, sekresi PDGF, resitensi tehadap
apoptosis dan sinyal autokrin TGF-beta. Aktivasi sinyal transduksi TGf-beta intraseluler
yang tidak benar melalui Smad3 phosphorylation dan kegagalan loop umpan balik negative
Smad-7 tamapak pada Skleroderma. Protein koaktivator inti p300 memfasilitasi transkripsi
yang dimediasi Smad dan merupakan lokus yang penting dalam integrasi sinyal ekstraseluler
yang memodulasi fungsi fibroblast. Abnormalitas ekspresi, fungsi dan interaksi antara Smad,
p300 dan protein seluler lain mempengaruhi meneta dan progresifitas proses fibrogenik
scleroderma dengan cara memodulasi transkripsi gen.

Gambar 4. Perubahan lesi pada berbagai stadium Skleroderma

Gambaran Patologi Skleroderma pada Organ

1. Patologi Kulit
Fibrosis pada kulit dan organ lainnya, termasuk pembuluh darah, merupakan
gambaran patologis yang paling sering ditemukan pada sklerosis sistemik. Peningkatan
matriks ekstraselular pada dermis, terutapa kolagen tipe I dan III, yang disertai penipisan
epidermis dan hilangnya rete pegs merupakan gambaran patologis yang khas pada
skleroderma. Hal ini meyebabkan penegangan kulit yang khas pada skleroderma. Pada
stadium awal, tampak infiltrasi sel radang mononuklear di dalam dermis, terutama limfosist
T dan Mast sel. Sel-sel ini banyak ditemukan mengelilingi pembuluh darah dermis. Pada
stadium akhir (fase atrofik), kulit relative aselular.
Lesi Vaskuler pada kulit menunjukkan gambaran yang sama dengan lesi pada organ
lainnya. Tunika intima arteri dan arteriola tampak berproliferasi sehingga lumennya menjadi
sempit. Dengan tekhik nailfold capilaroscopy, akan tampak kerusakan dan hilangnya kapiler
yang makan lama makin banyak. Pada pembuluh darah besar, akan tampak hiperplasi tunika
intima, sehingga lumennya menyempit dan akhirnya berobliterasi.

2. Patologi Paru-paru
Pada paru-paru, dapat ditemukan 2 gambaran patologik, yaitu fibrosis paru dan
kelainan vaskuler. Walaupun kedua keadaan ini sering bersamaan, tetapi pada wanita dengan
scleroderma yang terbatas sering hanya didapatkan kelainan pembuluh darah paru, yaitu
penebalan tunika media, sehingga terjadi penyempitan lumen dan timbul hipertensi pulmonal
yang dapat berakhir sebagai gagal jantung kanan.

Gambar 5: Gambaran fibrosis paru-paru pada resolusi tinggi

3. Patologi Jantung
Sklerosis sistemik dapat menyerang perikardium dan miokardium. Kelainan pada
perikardium ditandai oleh fibrosis dan penebalan perikardium parietal dan viseral yang
akhirnya dapat berkembang menjadi perikarditis konstruktif. Pada miokardium, tammpak
proliferasi intima dan penyempitan pembuluh darah koroner. Di sekeliling pembuluh darah
koroner, ditemukan banyak jaringan fibrosa. Akhirnya dapat timbul vasospasme dan infark
miokard.
4. Patologi Saluran Cerna
Pada saluran cerna, lesi terbanyak terdapat pada esofagus, walaupun gaster, usus halus
proksimal dan kolon juga dapat terserang. Secara histologis, tampak gambaran fibrosis pada
tunika propria dan submukosa, serta peningkatan sel radang pada tunika muskularis. Akibat
fibrosis, peristaltis usus akan berkurang. Selain itu atrofi lapisan otot dan berkurangnya
peristaltis akan menimbulkan divertikel di kolon dengan mulut yang lebar.

5. Patologi Ginjal
Akan tampak lesi arteriol yang berupa proliferasi intima, penipisan tunika media dan
reduplikasi lamina elastika. Membaran basal glomeruli mengalami duplikasi, tetapi tidak ada
tanda-tanda glomerulonefritis. Gambaran sklerotik pada glomeruli mmerupakan tanda khas
infark kortek ginjal dan stradium akhir skleroderma. Pada sklerosis sitemik yang disertai
kelainan ginjal, sering didapatkan hemolisis mikroangiopatik akibat kerusakan fisis eritrosit yang
beredar pada gangguan sirkulasi renal yang berat.

6. Patologi Sistem Muskoloskletal


Pada otot rangka, akan tampak jaringan fibrosis perivaskular yang menyebabkan
penurunan kekuatan otot dan peingkatan ringan enzim otot dalam serum. Selain itu dapat juga
terjadi kelainan seperti tampak pada poli dan dermatomiositis, yaitu infiltrasi limfositik
perivaskular, nekrosis, degenerasi dan regenerasi jaringan otot. Secara klinis akan tampak
kelemahan otot proksimal dan peningkatan enzim otot serum yang bermakna. Pada tendon akan
tampak deposisi fibrin dalam sarung tendon, sehingga gerak tendon terbatas dan akhirnya dapat
timbul kontraktur fleksi, teutama pada jari-jari.

D. GEJALA DAN TANDA


Gajala Klinis:
Secara umum Skleroderma mempengaruhi jaringan ikat, terutama pada kulit dan
dinding pembuluh darah, dan, pada tingkat yang lebih rendah, dapat mempengaruhi hati
saluran pencernaan, paru-paru dan ginjal.

Cutaneous symptoms (Gejala pada Kulit):


Gejala yang timbu pada kulit, sering dikaitkan atau didahului dengan fenomena
Raynaud dan arthralgias pada jari, hal ini biasanya menjadi tanda-tanda awal perjalanan
penyakit scleroderma. Oleh karena itu gejala awal ini dapat membantu untuk
menegakkan diagnosis dan memulai terapi.
Tanda:
 akumulasi jaringan ikat yang berlebihan
 fibrosis
 pembentukan autoantibodi terhadap sejumlah antigen seluler
 dan perubahan degeneratif pada kulit, otot rangka, sinovium, pembuluh darah,
saluran pencernaan, ginjal, paru dan jantung.

Tampilan Sklerosis sistemik terbatas Sklerosis sistemik difus


Kulit yang terlibat Terbatas pada jari, lengan Difus: jari-jari, ekstremitas,
distal, wajah, progresifitas wajah, badan, progreifitas
lambat cepat
Fenomena Raynaud Mendahului keterlibatan kulit, Sejalan dengan keterlibatan
berhubungan dengan iskemia kulit
Fibrosis pulmonal Mungkin terjadi, moderat Sering, awal dan berat
Hipertensi arteri Sering, lambat, mungkin Dapat terjadi, berhubungan
pulmonal terisolasi dengan fibrosis pulmonal
Krisis renal scleroderma Sangat jarang 15% terjadi, diawal
Kalsinosis kultis Sering, menonjol Dapat terjadi, ringan
Karakteristik Antisentomer Antitopoisomerase
autoantibody
E. DIAGNOSIS
Diagnosis Skleroderma dapat ditegakkan berdasarkan gambaran klinis dan pemeriksaan
penunjang.

Gambaran Klinis
Secara klinis agak sulit menegakkan diagnosis sklerosis sistemik sebelum timbul
kelainan kulit yang khas. Tetapi kemungkinan sklerosis sistemik harus dipikirkan bila
ditemukan gambaran fenomena Raynaud pada wanita umur 20-50 tahun.

Tahun 1980, American Rheumatism Association (ARA) mengajukan kriteria sklerosis


sistemik dengan sensitifitas 97 % dan spesifisitas 98 %., yaitu bila terdapat:

 Satu kriteria mayor, atau


 2 dari 3 kriteria Minor
Kriteria Mayor :
Skleroderma proksimal : penebalan, penegangan dan pengerasan kulit yang simetrik pada
kulit jari dan kulit proksimal terhadap sendi metakarpofalangeal atau metatarsofalangeal.
Perubahan ini dapat mengenai seluruh ekstremitas, muka, leher dan batang tubuh (toraks dan
abdomen)
(a) (b)
Gambar 7: (a) Penebalan dan Peregangan kulit pada wajah, (b) Sclerodactyly dengan ulserasi
digital; hilangnya lipatan kulit dan kontraktur sendi, rambut jarang.

Kriteria Minor
 Sklerodaktili : perubahan kulit seperti tersebut di atas tetapi hanya terbatas pada jari
 Pencekungan jari atau hilangnya substansi jari. Hal ini terjadi akibat iskemia.
 Fibrosis basal kedua paru. Gambaran linier atau lineonodular yang retikular terutama di
bagian basal kedua paru, tampak pada gambaran foto thorak standar.

Gambar 8. (A) Hiperkeratosis pada lipatan kuku pasien pada fase edema pasien
skleroderma terbatas. (B) Ulserasi jari pada pasien scleroderma terbatas.

F. PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah autoantibodi antitopo-I (Scl 70) dan
antisentromer, karena memiliki spesifisitas yang baik pada sklerosis sistemik. Selain itu,
evaluasi terhadap berbagai organ yang mungkin terkena juga harus dilakukan. Bila keadaan
meragukan dapat dilakukan biopsi kulit.

Gambar 9. (C.) Infiltrasi limfosit disekitar pembuluh darah paa specimen kulit pasien
scleroderma. (D) Deposisi matriks kolagen yang melewati dermis dan meluas ke jaringan lemak
subkutan. (E) Penebalan tunika intima dan media arteri interlobar dari biopsi ginjal pasien
skleroderma.

Terdapat beberapa tes laboratorium yang dapat digunakan untuk mengkonfirmasi


diagnosis atau mengevaluasi keparahan organ-organ tertentu yang dicurigai terkena. Tes-tes
laboratorium yang dapat dilakukan antara lain:
1. Blood test-Sejumlah tes darah dapat menunjuk kea rah scleroderma, pemeriksaan yang
dapat dilakukan antara lain :
 Rheumatoid factor (Rematoid factor)
 Erythrocyte sedimentation rate (Laju sedimentasi eritrosit)
 Antinuclear antibody (Antinuklear Antibodi)
 Scleroderma antibody (Skleroderma Antibodi)
 Anticentromere antibody (Anticentromere Antibodi)
2. Imaging Test- Tes ini dapat memvisualisasikan organ-organ internal untuk melihat
bagaimana penyakit tersebut dapat mempengaruhi organ. Pada area tertentu dapat
dilakukan pemeriksaan menggunkan imaging-test yang dapat dipilih berdasarkan gejala
yang ditimbulkan. Yang termasuk dalam imaging test antara lain :
 Sinar-X :tes yang menggunakan radiasi untuk mengambil gambar dari struktur di
dalam tubuh.
 CT Scan :tipe dari x-ray yang menggunakan komputer untuk membuat gambar
dari struktur di dalam tubuh.
 MRI Scan :tes yang menggunakan gelombang magnetik untuk membuat gambar
dari struktur di dalam tubuh.
 Nailfold capillaroscopy : tes ini memungkinkan kita melihat gambaran dari
nailfold yang diperbesar untuk memeriksa kapiler.
3. Skin Biopsi : Sebuah sampel kecil dari kulit bisa dihapus dan diperiksa di laboratorium
untuk karakteristik tertentu yang menunjukkan skleroderma

G. PENATALAKSANAAN TERAPI
Sampai saat ini belum ada terapi yang dapat menyembuhan scleroderma. Obat-obat yang
tersedia hanya untuk menyembuhkan atau mengobati gejala.

penatalaksanaan skleroderma terbatas dan difusa sesuai keterlibatan organ


(CTGF : connective tissue growth factor; GAVE : gastric antral venous ectasia; GERD :
gastroesophageal reflux disease; MCP-1 : macrophage chemoattractant protein 1; MMF,
mycophenylate mofetil; MTX : methotrexate; NTG, nitroglycerin; OT/PT : occupational
therapy/physical therapy; PAH : pulmonary arterialhypertension; PDE-5 : type 5 phosphodiesterase;
RP : Raynaud’s pheno menon;SRC:scleroderma renal crisis; SSRI, specifi c serotonin receptor uptake
inhibitor; Stem cell Tx, stem cell transplantation; TGF-β, transforming growth factor beta.)

1. Non farmakologi
 Makan makanan yang mudah dikunyah dan berprotein tinggi dan banyak
mengandung vitamin. Nikotin harus dihilangkan karena efek vasoconstrictoriy
nya.
 "Menjaga tubuh tetap hangat" oleh pakaian pelindung seperti celana hangat,
sarung tangan, kaus kaki dan sepatu. Pemanasan tangan selama lima menit setiap
empat jam dalam bak air hangat menyebabkan perbaikan klinis yang signifikan.
 Menghindari paparan zat berbahaya lingkungan seperti silika, ethylens
terklorinasi, pelarut, monomer dari plastik atau obat-obatan tertentu untuk
menghentikan efek mereka pathogenetically progresif.
2. Farmakologi
Terapi ini diarahkan pada:
a. Vaskular sistem
 PAH (Pulmonary Arterial Hypertension)
Disfungsi endothel pada PAH menyebabkan peningkatan endothelin dan
penurunan nitric oxide dan prostasiklin. Pemberian Continuous intravenous
epoprostenol (Flolan) dan subcutaneous atau intravenous treprostinil
(Remodulin) yang sudah disahkan oleh US Food and Drug Administration (FDA)
dipakai sebagai terapi lini pertama penatalaksanaan PAH fs NYHA IV. Efek
prostasiklin yang selektif pada pembuluh darah pulmonal, memberikan tempat
untuk pemberiannya dengan cara inhalasi untuk menghindari efek sitemiknya.
Pemberian Iloprost (Ventavis) tampaknya memberikan perbaikan fungsi dan
hemodinamik serta menurunkan kecepatan progresifitas penyakit.

 Scleroderma Renal Crisis (SCR)


Definisi SCR adalah terjadinya hipertensi maligna dan anemia hemolitik
mikroangiopati pada pasien scleroderma. Penatalaksanaan SCR adalah dengan
ACE inhibitor (kaptopril, 75-150 mg per hari secara oral). Obat ini tetap dapat
diberikan walaupun fungsi ginjal menurun dengan drastis. Jika diperlukan dapat
dilakukan dialysis. Pada kelainan ginjal pemberian steroid dan plasmafaresis tidak
ada gunanya.
 Raynaud’s Phenomenon (RP)
Terapi utama RP adalah menghangatkan badan. Pemakaian sarung tangan,
penghangat tangan dan penghangat ekstremitas lain dapat dipakai. Calcium-
channel blockers seperti amlodipine, nifedipine atau felodipine, adalah terapi
medikal pertama pada RP. Kalsium channel blockers menghambat penyerapan
kalsium intraseluler dan akibatnya kontraksi sel otot polos pada dinding
pembuluh, yang dimediasi oleh protein kinase tergantung kalsium. Tiga dosis 10
mg nifedipin atau nicardipin dapat mengurangi frekuensi dan keparahan serangan
Raynaud. Dosis rendah selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs) juga
digunakan karena dapat menhambat efek agregasi dan aktivasi trombosit.
Diantara SSRI, fluoxetine (Prozac, Symbyax, Sarafem) responnya baik dalam
beberapa penelitian. ACE inhibitor dan ARB tidak efektif untuk RP. Iskemi dan
ulserasi jari ditatalaksana dengan pemberian Iloprost secara intermiten serta obat-
obatan lain yang dipakai pada PAH.
b. Sistem kekebalan tubuh (radang, immunmodulation, autoimunitas)
 Cyclophosphamide
Cyclophosphamide (CYC) telah digunakan sebagai terapi utama untuk penyakit
paru interstisial skleroderma. Dalam uji coba terkontrol baru-baru ini,
cyclophosphamide meningkatkan kapasitas vital paksa (FVC) sebesar 2,9%
dibandingkan dengan placebo
 Transplantasi Stem Cell autologous
Immunoablasi dengan imun rekonstitusi dengan menggunakan stem cell perifer
autologous telah dipertimbangkan untuk scleroderma. Berbagai studi terus
menerus dilakukan untuk membandingkan anatara transplantasi sel induk dengan
CYC dalam penatalaksanaan scleroderma
 Methotrexate
Percobaan acak terkontrol mengevaluasi efisiensi dari metotreksat dalam
scleroderma dalam mengontrol stabilitas penyakit yang lebih besar dibandingkan
dengan plasebo. Methotrexate digunakan untuk kasus awal scleroderma dengan
scleroderma terbatas pada kulit dan muskuloskeletal sistem, termasuk myositis.
 Mofetil Mycophenolate
Belum ada penelitian acak buta ganda untuk Mofetil mycophenolate dalam
penatalaksanaan skleroderma. Bukti yang ada sekarang menunjukkan Mofetil
mycophenolate mungkin efektif pada skleroderma.
 Corticosteroids
Prednisolon (awalnya: 40-100 mg / hari, dosis pemeliharaan: 10-15 mg / hari)
atau metilprednisolon pada umumnya menghambat peradangan tetapi juga
memberikan suatu efek katabolik pada sintesis kolagen (atrofi). Metil prednisolon
diindikasikan dalam pengobatan inflamasi dari SSC, sclerodermatomyositis,
khususnya pada arthritis, miositis alveolitis, dan vaskulitis. Namun, ada bukti
bahwa kortikosteroid (> 15 mg / hari prednisolon) meningkatkan risiko memicu
krisis SSC ginjal. Selain itu, berbagai signifikan efek samping karena pengobatan
jangka panjang pemeliharaan seperti hipertensi hiperglikemia, osteoporosis ,
ulserasi peptik, atrofi otot.

c. Fibrosis
Terlepas dari kenyataan bahwa fibrosis merupakan komponen utama dalam
patofisiologi skleroderma, sampai saat ini belum ada obat anti fibrosis yang terbukti
efektif untuk saat ini. Agen nonspecifik, termasuk D-penicillamine dan rekombinan
relaksin manusia, telah gagal dalam uji klinis. Pentingnya ekspresi faktor
pertumbuhan transformasi beta (TGF-beta) dalam patogenesis skleroderma telah
mendorong evaluasi agen yang dapat menghambat TGF-beta. Meskipun penggunaan
anti- antibodi TGF-beta telah diusulkan dalam studi-studi awal aman, namun bukti
klinis masih harus diamati. Terapi antisitokin lain belum berhasil pada scleroderma.

Therapeutic recommendations
vasoactive substances
calcium channel Nifedipin 3 x 10 mg/d
blockers
ACE-inhibitors Captopril 12,5 - 100 mg/d
Enalapril 5 - 15 mg/d
prostacyclin analogs Iloprost 0,5 - 2 ng/kg/min
for 6 h i.v.; 5-10
days
antiinflammatory and immunesuppressive substances
Glucocorticoids Methylprednisolone initially 60-80
mg/d; reduction to
maintenance dose
Azathioprine 1,5 - 3 mg/d
Cyclophosphamide 2,0 - 2,5 mg/kg/d
p.o. or 0,5 - 1
g/m_/month i.v.
antifibrotic substances
D-Penicillamin 150 - 300 - (750)
mg/d slow dose
increase
Penicillin G 10 Mega IE i.v. (30
min) for 10 - 14
days
PUVA
gastroenterologics
proton pump Omeprazol 20 - 40 mg/d
inhibitor
H2-receptor blocker Ranitidin 150 - 300 mg/d
gastroprocinetics Metoclopramid 3 x 10 mg/d p.o.
H. DAFTAR PUSTAKA
Anonim , 2011, http://emedicine.medscape.com/article/331864-overview#a0104, diakses
27 April 2012
Denton CP., 2006, Systemic Sclerosis, Scleroderma, In The Autoimmune Disease, 4th ed,
Elsevier, London
Gabrielli A, Avvedimento E, Krieg T, 2009, Scleroderma. The New England Journal of
Medicine, Massachusetts Medical Society
Haustein UF. 2002. Systemic sclerosis – scleroderma. Dermatol Online J 8(1):3
[http://dermatology.cdlib.org/DOJvol8num1/reviews/scleroderma/haustein.html].
Mayes MD., 2008, Systemic Sclerosis, In Primer on the Rheumatic Diseases. 13th
edition, Springer Science Business Media, London
Sardana K, Garg VK, 2008, Therapeutic trial for systemic sclerosis : an update, Indian
Journal Dermatology Venerology
Setiyohadi B., 2006, Sklerosis Sistemik, Buku ajar ilmu penyakit dalam, 1239-1244,
Pusat penerbitan departemen ilmu penyakit dalam, Jakarta
Varga J., 2008, Systemic Sclerosis (Scleroderma), Harrison’s Principles of internal
medicine, Mc Grwa Hill Medical, New York
MAKALAH FARMAKOTERAPI I

SKLERODERMA

Disusun oleh:
Indah Kertawati (098114039)
E. Raras Pramudita R (09811040)

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2012

Anda mungkin juga menyukai