Ahmad Afdhal FSH
Ahmad Afdhal FSH
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh :
Ahmad Afdhal
NIM. 11140440000089
SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1439 H/2018 M
iii
ABSTRAK
iv
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.
1. Prof. Dr. Dede Rosada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syaariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III fakultas Syariah dan Hukum
3. Dr. H. Abdul Halim, MA. selaku Ketua Progam Studi Hukum Keluarga
beserta Sekretaris Prodi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI.,MH yang
senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
4. Dr. Hj. Azizah, M.A., Dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar
dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
5. Masyrofah, S, Ag., M,Si., Dosen penasehat akademik penulis, yang telah
sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam
merumuskan desain judul skripsi ini dan seluruh Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan
v
membimbing penulis selama masa perkuliahan, yang tidak bisa penulis sebut
semuanya satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat penulis.
6. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staf Perpustakaan Ajungan TMII
yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada Wali Nagari Tanjung Barulak dan Kerapatan Adat Nagari (KAN)
Nagari Tanjung Barulak penulis ucapkan terima kasih telah bersedia
memberikan informasi dan data penelitian bagi penulis.
8. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-
data terkait penelitian ini, Angku Dt. Mangada’i, Hj Siti Aisyah, Angku Dt.
Rajo Bukik, Angku Dt. Rajo Lelo , Angku Dt. Rajo Mangkuto yang telah
berkenan memberikan informasi tentang materi dalam penulisan skripsi ini
9. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan sayangi.
Ayahanda tercinta M. Nur dan Ibunda tercinta Asniar (Almh) juga Kakek
Bahtiar (Almh) dan Nenek Jawanis yang selalu mendo’akan dan memberikan
semangat kepada ananda untuk menyelesaikan skripsi ini, serta telah
mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendidik, membahagiakan dan
membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan pernah mustahil penulis
mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang tua
selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan dan
menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada kakak dan adik tercinta Dian Hidayah, Rusda Ulfha, Fachrur Rozi,
dan Riri Chairiah yang selalu memberi semangat dan mendo’akan penulis
dalam setiap perjalanan studi penulis dan selalu menjadi saudara yang terbaik
bagi penulis.
11. Kepada Kakek Hasymi Noor, Kakek Naswir Nawawi, Nenek Sanawati
Zainul, Nenek Nuraini, abang Mukhlis Monday, abang Ikrar Saputra, abang
Muhammad Iqbal dan sanak famili lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu. Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan karena sudah
vi
membantu penulis baik moril maupun materil sehingga penulis dapat
memperoleh gelar Strata Satu.
12. Teman-teman seperjuangan penulis Fajri Ilhami, M Ilham Ramadhan, Irsyad,
Ahmad Dzakiyuudin Mukhtar, Riyadh Assomady, Nida Sriwiyanty, Isti
Qomah, Muhammad Sidik, Herman Ardi, yang senantiasa meluangkan waktu
berdiskusi.
13. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya
angkatan 2014, yang telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan penulis.
Semoga ilmu yang kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.
14. Teman-teman KMM (Keluarga Mahasiswa Minangkabau) Ciputat khususnya
angkatan 2014, sertaa teman-teman KKN Elips, dan teman-teman Pondos
yang telah berbagi ilmu dan selalu ,mendoakan penulis sehingga selesainya
skripsi ini.
15. Kanda-kanda dari Ikatan Keluarga Alumni Thawalib Putra Padang Panjang
yang telah memberikan ilmu dan saling bertukar pikiran yang selalu membuat
semangat bagi penulis.
16. Terimakasih kepada abang Ferly Ovanda dana bang Alven Putra yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan
kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya
khususnya untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.
Ahmad Afdhal
vii
DAFTAR ISI
BAB I : PENDAHULUAN
viii
C. Hukum Adat yang Berkembang di Nagari Tanjung Barulak ..........56
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan .....................................................................................72
B. Saran-saran ......................................................................................73
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Tabel I
Penghulu Nagari Tanjung Barulak .............................................................................48
Tabel II
Panungkek Nagari Tanjung Barulak ..........................................................................49
Tabel III
Jumlah Penduduk Nagari Tanjung Barulak ...............................................................51
Tabel IV
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencarian ..............................................................52
Tabel V
Jumlah Sarana dan Prasana Ibadah ............................................................................54
Tabel VI
Jumlah Wilayah Pendidikan Umum Nagari Tanjung Barulak ...................................55
Table VII
Penggolongan Penduduk Nagari Tanjung Barulak Menurut Tingkat Pendidikan .....56
x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa. Setiap suku bangsa
mempunyai adat istiadat yang satu sama yang lain mempunyai corak yang
berbeda, seperti kata pepatah “lain padang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya”. Keberagaman yang dimiliki tersebut merupakan suatu potensi yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai warisan dari leluhur yang memberikan
aturan-aturan atau norma-norma sebagai pedoman dan patokan dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari.
Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia ialah Minangkabau yang
merupakan salah satu suku bangsa yang menganut sistem matrilineal. Secara
sederhana kata Matrinilinial dapat kita artikan sabagai struktur masyarakat yang
diatur menurut garis keturunan Ibu.1 Sistem kekerabatan matrilineal termasuk
dalam sistem kekerabatan yang bersifat “unilineal” atau “unilateral”, yaitu suatu
sistem yang dalam menghitung keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua
saja sebagai penghubung keturunan. Dalam hal ini hanya memakai “ibu”.
Meskipun masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan
matrilineal, tetapi adat Minangkabau tidak mengingkari nasab dari keturunan
bapak, buktinya tidak ada orang Minangkabau yang menyambung nama
belakangnya dengan nama ibunya. Prinsip matrilineal berlaku umum dan alami.
Hal ini berarti, secara alami anak lebih dekat kepada ibunya dibanding dengan
ayah.
Masalah suku selalu dikaitkan dengan sako, bahwa orang Minangkabau itu
basuku-basako, basosok-bajurami, bapandam-pakuburan , artinya identitas suku
di tandai dengan, gelar kebesaran, memiliki wilayah, dan tanah pakuburan.
Maksudnya ialah:
1
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat
Minagkabau, (Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 2.
1
2
2
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat
Minagkabau, (Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 12.
3
A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Jakarta: PT Pustaka Grafitipers), h, 158-159
4
Ibid, hlam 160
5
Ibid, hlm 161.
3
Sako itu sangat erat hubungannya dengan pemilikan harta pusaka tinggi dari
suatu Kaum Oleh sebab itu secara tradisional selalu dibela dan dipertahankan
sebagaimana membela atau mempertahankan harta pusaka tinggi. Oleh sebab itu
sako yang sudah menjadi milik satu jurai tidak akan dipakai jurai yang lainnya
didalam satu nagari, bahkan jurai dari lain Indu pun tidak boleh memakainya,
kalau masih berada dalam satu Nagari yang sama. Tetapi sako yang sama boleh
dipakai oleh suku yang sama di Nagari yang berjahuan.6
Berdirinya Sako karena Pusako demikian fatwa Adat yang berarti bahwa
Sako akan berdiri bila ada Pusako, dengan kata lain bahwa hubungan antara Sako
dengan Pusako erat hubungannya, sehingga pemilikan sako akan berarti juga
sebagai pemilikan atas harta pusaka kaum yang bersangkutan. Sako itu bisa di
katakan haya sekedar gelar, namun di pertanggungjawabkan dengan tugas dan
tanggung jawab dari sako tersebut
Pusako (harta waris) atau harta pusaka adalah segala kekayaan berwujud
(materiil), yang diwariskan nantiknya kepada anak kemenakan perempuan dan
tidak dapat diturunkan kepada seorang bapak kepada anaknya. Yang termasuk
pusaka di sini adalah: sawah-ladang, kolam ikan, rumah gadang, pandam
pakuburan, tanah ulayat, balai, masjid atau langgar (surau), dan peralatan atau
perlengkapan penghulu itu sendiri. Harta pusaka ini tidak boleh di jual, namun
harta ini boleh di pindah tangankan sementara dalam bentuk sewa atau di
gadaikan, kalau pun harta pusaka tinggi tersebut akan digadaikan haruslah
memenuhi beberapa persyaratan dengan syarat harta tersebut tidak dipindah
tangankan kecuali ada alasan-alasan lain seperti :
1. Untuk biaya perkawinan anak gadis (gadih gadang indak balaki).
2. Ongkos penguburan mayat (maik tabujua ditangah rumah).
3. Memperbaiki rumah adat (rumah gadang katirisan).
4. Pembayar hutang kaum (Pambangkik batang tarandam).7
6
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat Minagkabau,
(Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 12.
7
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Rineka
Cipta Jakarta), 1997, hal. 94.
4
Harta Pusaka gelar hanya untuk laki-laki dari keturunan ibu dan pusaka
harta berupa benda juga diberikan kepada perempuan, tetapi keselamatan dan
pemeliharaannya di jaga oleh mamak kepala waris.
Mamak kepala waris adalah pemimpin informal dalam kaum yang
mangurusi dan mengatur peruntukan harta pusaka dalam suatu kaum. Biasanya
yang menjadi mamak kepala waris adalah laki-laki tertua dalam kaum tersebut,
namun faktor usia bukanlah syarat mutlak, karena di samping itu dibutuhkan
kecapakan yang mana untuk menjadi mamak kepala waris ditentukan oleh dua
factor, yaitu factor hukum waris dan factor kecerdasan. Mamak kepala waris
diangkat berdasarkan kesepakatan anggota kaumnya, baik secara tegas maupun
secara diam-diam.8
Mamak kepala waris mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap
kaumnya, baik memelihara harta pusaka untuk masing-masing anggota kaum juga
mempertahankannya dari saling sengketa dengan pihak luar yang mengusiknya.
Harta pusaka tersebut diatur penggunaannya oleh mamak kepala kaum ( Angku
Datuak ), namun pada sebahagian temuan, harta pusaka tersebut dikuasai oleh
pihak lain di luar anggota kaum seperti suami atau istrinya.
Mamak kepala waris juga berperan sebagai hakim apabila terjadinya
sengketa di antara anggota kaumnya, termasuk persengketaan di bidang kewarisan
dan harta pusaka. Penyelesaian sengketa dilakukan oleh mamak kepala waris
melalui kerapatan kaum, yang dihadiri oleh mamak kepala kaum (Angku Datuak).
Segala sengketa yang timbul diusahakan penyelesaiannya secara musyawarah
mufakat.
Pengawasan penggunaan harta itu berada ditangan mamak kepala waris, bila
mamak kepala wariss sudah tiada maka beralih kepada kemenakan yang laki-laki,
bila kemenakan laki-laki belum cukup umur (dewasa) maka ada beberapa
kemungkinan untuk menjalankan fungsi dari mamak kepala waris, yang pertama
para ahli waris perempuan secara bersama-sama bertindak menjadi mamak kepala
waris, kalau dalam kaum tersebut tidak ada anggota kaum yang dewasa maka
8
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Multimedia), h, 307.
5
9
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Multimedia), h, 308.
10
Tambilang ialah alat untuk menggali tanah, tambilang basi artinya harta yang diperoleh
dari usaha sendiri, umpamanya dengan cara manaruko sawah atau membuka hutan untuk
perladangan cancang latiah (cencang letih) yang artinya dengan tenaga sendiri.
11
Dt.B.Nurdin Yakup, Minangkabau tanah pusaka, (Bukittinggi: Pustaka Indonesia), h,
33.
12
Syofyan Thalib, Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau,
(Pusat Penelitian Unand Padang), hal. 17.
6
Untuk proses gadai menggadai ini maka haruslah ada izin dari mamak kaum
(mamak kepala waris) dan mamak kepala kaum (Angku Datuak). Namun dewasa
ini, keempat alasan menggadai atau menjual di atas mulai bertambah karena
makin berkembangnya zaman dan semakin beragamnya akan kebutuhan yang
harus dipebuhi, saat ini gadai dapat dilakukan dengan alasan sebangai berikut :
a. Pembayar hutang kehormatan.
b. Pembayar ongkos irigasi persawahan kaum.
c. Pembayar iyuran yang dibebankan kepada kaum oleh nigari.
d. Pembayaran hutang darah.
e. Penutupan kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan.
f. Untuk membayar hutang yang dibuat bersama ( kaum ).
g. Untuk ongkos ( tambahan ) naik haji.
h. Untuk tambahan biaya pendidikan anggota kaum.
i. Biaya pernikahan kemenakan.13
Fenomena ini merupakan salah satu indikasi terjadinya perubahan-
perubahan dalam dinamika kehidupan masyarakat adat Minangkabau diantaranya
fungsi dan peranan mamak kepala waris terhadap harta pusaka tinggi yang pada
saat sekarang ini telah mengalami pula pergeseran pergeseran.14
Sekarang ini, karena aturan tidak berjalan sebagaimana mestinya bayak
sudah harta pusaka tinggi yang menjual dan digadaikan, sehingga bayak kaum di
Nagari Tanjung Barulak sudah tidak memiliki harta kebesaran dalam kaum karena
terjadilah bayak kebutuhan-kebutuhan kaum atau suku yang mana tidak bisa lagi
dibayar dengan uang atau emas. Namun, dari sekian bayak harta yang sudah
saling digadaikan ke kaum lain, bayak juga Harta Pusako Tinggi yang tidak
terurus dari Mamak Kepala Waris kaum tersebut. Penyebabnya karena Mamak
Kepala Waris sudah bayak yang menjadi PNS dan pergi merantau, sehingga harta
Pusako kaum tidak terurus lagi bahkan diserahkan pengelolahannya kepada sanak
kaum dan ada juga ke kaum lainnya.
13
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Multimedia), h, 314
14
Firman Hasan, Suatu Pengantar Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, (Pusat
Penelitian Unand Padang), hal. 9.
7
Secara umum peranan seorang Mamak Kepala Waris dalam suatu suku atau
nagari di Nagari Tanjung Barulak adalah sama dengan suku-suku atau nagari-
nagari lainnya di Minangkabau. Khususnya dalam bidang keluarga peranan
Mamak Mamak Kepala Waris itu diantaranya ialah: menyelesaikan permasalahan
yang terjadi dalam rumah tangga kemenakannya, menyelesaikan persengketaan
kemenakannya dengan orang lain, menjaga dan mengembangkan harta pusaka
kaumnya, serta berperan penting dalam kematian anggota kaumnya
Peranan mamak kepala waris sangat berpengaruh terhadap menjaga harta
pusaka tinggi kaum yang mana mengigat kelangsungan hidup kaumnya, namun
bayak juga mamak kepala waris yang tidak acuh akan peran dan tanggung
jawabnya dalam penjagaan harta pusaka, bahkan ada juga yang membuat malu
kaumnya sehingga digantikan dengan mamak kepala waris yang baru. Hal ini
dalam jangka panjang akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu kaum dan
eksistensi dari masyarakat hukum adat Minangkabau secara umum, mengingat
pentingnya tanggung jawab mamak kepala waris yang sangat besar, terutama
berhubungan dengan harta pusaka tinggi kaum.
Untuk menjaga kelangsungan generasi dan selanjutnya di minangkabau
keberada sako dan pusako harus di pelihara dari generasi ke generasi, namun dari
apa yang terjadi khususnya di Nagari Tanjung Barulak, bahwasannya dari
identitas suku ini dalam hal ini sako sudah tidak terjaga sebagaimana mestinya.
Karena itu penulis ingin menulis lebih jahuh mengenai harta pusaka tinggi dalam
pengawasan mamak kepala waris, penulis tertarik mengkaji ”Peran Mamak
Kepala Waris dalam Menjaga Harta Pusako Tinggi Kaum di Nagari
Tanjung Barulak Kecamatan Batipuh”
B. Identifikasi Masalah.
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam latar
belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu:
1. Kedudukan Mamak Kepala Waris di Nagari Tanjung Barulak.
2. Tanggung jawab Mamak Kepala Waris terhadap keluarga kaumnya di
Nagari Tanjung Barulak.
8
F. Kerangka Teori.
Sumatra Barat ialah satu-satunya wilayah Indonesia yang masyarakatnya
menganut system kekerebatan Matrilinial. Matrilineal dapat kita artikan sebagai
struktur masyarakat yang diatur menurut garis keturunan ibu yang dipakai oleh
suku bangsa Minangkabau. Didalam system kekerabatan matrilineal terdapat tiga
unsur yang paling dominan, yaitu: pertama: garis keturunan “menurut garis
ibu”,kedua: perkawinan harus dengan kelompok lain “suku lain”, ketiga: ibu
memengang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan
kesejahteraan keluarga. Semuanya terikat pada darah (keturunan), adat, dan tanah
(sako dan pusako)
11
Salah satu unsur kekerabatan matrilineal ialah hukum waris. Warisan adat
Minangkabau tidak dapat diberikan kepada seorang bapak kepada anaknya,
hukum waris Minangkabau ada harta pusako, harta pusako terbagi dua: pertama,
harta pusako tinggi, ialah segala harta pusaka yang diwariskan secara turun-
temurun, “dari niniek ke gaek, dari gaek turun ke mande, dari mande ke nan
puan” (dari ninik (moyang) ke nenek, dari nenek ke ibu, dari ibu kepada yang
perempuan).15 Dalam harta pusaka tinggi diwariskan kepada perempuan atau
bundo kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang, kaum wanita mempunai
hak waris atas harta pusako tinggi, namun hak ini bukanlah hak milik, tetapi hak
pakai secara bersama dan bergilir diantara semua warga kaumnya. Kedua, harta
pusako randah, ialah segala harta hasil pencarian dari bapak dan ibu (orang tua)
selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak (paman) dan
tungganai (mamak kepala waris) dari hasil pencarian mereka sendiri.
Kemudian dalam menjaga keutuhan harta pusako tinggi ini ada peran
mamak kepala warisn. Mamak kepala waris ini ialah mamak nan saparuik, mamak
kepala waris disebut juga dengan tungganai, kewajibannya ialah menyelamatkan
harta yang menjadi warisan turun temurun, mamak kepala waris bertanggung
jawab untuk mengembangkan warisan itu sehingga dapat memelihara keutuhan,
kebersamaan dan kesejahteraan kemenakan.
Peranan mamak kepala waris juga dalam hal penentuan besarnya bagian
yang akan diolah oleh seorang anggota kaum, yang akan dijadikan sebagai
ganggam bauntuak oleh anggota kaumnya yang seperinbuan (seibu atau
separuik). Penentuan bagian yang dapat disusahakan atau diolah oleh masing-
masing anggota kaum biasnya dilakukan pada saat anggota kaum tersebut
menikah. Setelah melangsungkan pernikahan, mamak kepala waris menunjukkan
bagian dari harta pusaka yang akan dijadikan oleh kemenakannya itu untuk
menunjang kehidupan keluarganya.
Pada dasarnya, harta pusaka yang dikuasai oleh mamak kepala waris
tersebut tidak dapat dipindah tangankan, baik digadaikan apalagi dijual,
15
Amir M.S, Adat Minangkabau ”Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang
Minang”, (Jakarta pusat:PT. Mutiara Sumber Widya), h, 94.
12
sebagaimana pepatah adat: dijual tidak makan beli, digadai tidak makan sando
(agunan).
G. Metode Penelitian.
Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.16 Untuk itu maka penulis dalam hal ini
menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian.
Pendekatan yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan etnografi. Kajian etnografi memfokuskan telaah fenomena
budaya dan mempunyai karakteristik ataupun ciri yang berbeda
berdasarkan paradigma, pendekatan, dan model-model yang khas.
2. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif lebih khususnya dengan menggunakan penelitian
lapangan (field research). Penelitian lapangan ini adalah penelitian yang
sumber datanya terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau
komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.17 Penentuan
informan bukan berdasarkan banyaknya informan di lapangan.
Penelitian ini harus menggambarkan sebuah fakta berdasarkan
penglihatan secara langsung yang bersumber dari subjek. Di samping itu
peneliti juga menggunakan instrument penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian dengan menelaah buku-buku ilmiah, meneliti buku-buku para
tokoh adat dan faktor penunjang yang melandasi dasar-dasar teoritis.
3. Sumber Penelitian.
Adapun sumber penelitian antara laian:
a. Data Primer.
Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat. Data
ini meliputi wawancara (interview) dengan pemuka adat, tokoh agama,
16
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet. Ke-3, h.
17.
17
Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, Buku Ajar, 2010), h.
32.
13
18
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), Cet. Ke-XII, h. 106.
19
Ibid, hlam. 118.
14
20
Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, Buku Ajar, 2010), h.
32.
15
syarat dari peran mamak kepala waris dan harta-harta adat serta harta
pusaka tinggi
Bab tiga: Memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian, yang meliputi,
setting social berkaitan dengan letak geografis, keadaan alam, keadaan
penduduk, potensi ekonomi, pendidikan, karakteristik informan/penelitian,
dan lokasi penelitian.
Bab empat: dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan yang berisikan pergeseran peran mamak kepala waris terhadap
harta pusaka tinggi, yang mana akan dibahas faktor penyebab pergeseran
peran mamak kepala waris serta akibat yang timbul dari pergeseran peran
mamak kepala waris dalam menjaga harta pusaka tinggi dan analisis penulis
Bab lima: Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II
Mewarisi disini dengan arti menggantikan dan meneruskan segala hak dan
kepunyaan yang diperoleh, dikembangkan dan ditinggalkan oleh seseorang yang
terdahulu yang mewarisi harta ini. Waris, ialah keturunan orang yang patut
menerima warisan. Keturunan ini asli yaitu keturunan garis ibu. Menurut hukum
adat asli yang dapat dianggap melaksanakan adalah lelaki yang tertua, yang
biasanya menjadi Mamak Kepala Waris dalam peruik, saudara laki-laki yang
tertua dari ibu.2
Mamak adalah sebutan saudara laki-laki dari ibu yang akan berfungsi
sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keberadaan keluarga matrilineal
dan menjaga serta menambah harta pusaka. Apabila ibu mempunyai saudara laki-
1
A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru .Jakarta: PT Pustaka Grafitipers, h, 193
2
Iskandar Kemal, Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisara Matrlineal ke Bilateral di
Minangkabau, dalam Mukhtar Naim (ed) Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di
Minangkabau. Center for Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal. 154.
18
19
laki lebih dari satu orang, maka yang akan bertanggung jawab adalah yang tertua
dibantu oleh yang lebih muda. Apabila ibu tidak mempunyai saudara laki-laki
namun mempunyai anak laki-laki, maka yang akan berfungsi sebagai mamak
adalah anak laki-laki tersebut.3
3
Sri Sudaryatmi, Sukirno, T.H. Sri Kartini, Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 2000, hal. 14.
4
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat Minagkabau,
Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang, h, 7
20
bermamak berkemenakan ini hanya merupakan konsekuensi saja dari tata susunan
masyarakat Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal.
5
N.M. Rangkoto, Dt. Bandaro, Hubungan Mamak dengan Kemenakan Dahulu dan
Sekarang serta Pasambahan Adat, Bukittinggi, 1984, hal. 7.
6
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat Minagkabau,
(Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 8
21
b. Kemenakan bertali sutera, yaitu kemenakan jurai yang lain tapi masih
berhubungan darah dengan jurai mamak.
c. Kemenakan bertali emas, yaitu kemenakan di bawah lutut, orang yang
bekerja pada kita dengan diberi mas (uang) dan dengan persetujuannya
dijadikan kemenakan.
d. Kemenakan bertali budi, yaitu orang-orang yang hidup, mencengkam
terbang menumpu terjadi dari orang-orang yang pindah dari tempat
asalnya ke tempat baru dan di tempat yang baru mencari mamak baru.7
Peran mamak kanduang ialah sama halnya yang disebutkan diatas namun
mamak tungganai dan mamak kepala Waris lebih bayak atau lebih luas tugasnya
dari mamak kanduang. Mamak tunggani atau biasa disebut mamak rumah, yaitu
seorang laki-laki tertua dalam satu jurai atau yang dituakan dengan pangkat atau
gelar Datuak Tungganai. Mamak tunggai terikat secara struktur pada ibunya,
saudara ibunya, saudarannya laki-laki dan perempuan, bahkan dia terikat dengan
semua warga yang satu niniak. Tetapi diluar sukunya dia seorang laki-laki hanya
terikat pada istri dan anak-anaknya.9
7
Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Rineka
Cipta Jakarta, 1997, hal. 87
8
N.M. Rangkoto, Dt. Bandaro, Hubungan Mamak dengan Kemenakan Dahulu dan
Sekarang serta Pasambahan Adat, Bukittinggi, 1984, hal. 6
9
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat Minagkabau,
(Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 4
22
Secara singkat dapat dikatakan mamak kepala waris adalah laki-laki tertua
dalam satu kaum, dia bertanggung jawab mempertahankan keutuhan kaumnya
keluar dan kedalam dan juga bertanggung jawab dalam mengawasi dan menjaga
harta pusaka kaumnya baik keluar atau kedalam kaumnya. Namun dalam berbuat
dan beritikad terutama menyangkut harta pusaka kaum mamak kepala waris harus
meminta persetujuan terlebih dahulu dari seluruh anggota kaum, harus bermufakat
lebih dahulu dengan anggota kaum baik laki-laki atau yang perempuan, sekalipun
dalam kehidupan berkaum itu kekuasaan mamak kepala waris lebih tinggi dari
anggota kaumnya, namun itu berasal dan datang dari anggota kaum tadi.
Berbicara menganai pengakuan terhadap tanah, maka kita tidak lepas dari
subjek dan objek yang harus diakui dan ada pihak yang mengakui. Subjek yang
harus diakui sudah tentu adalah pihak-pihak yang menjadi pendukung hak dan
kewajiban atas tanah ulayat, sedangkan objeknya sendiri adalah tanah ulayat.
Pihak yang akan mengakui dapat dilihat dari dua sisi yanitu pemerintah dan
masyarakat. Pemerintan dalam mengakui keberadaan subjek dan objek tidak lepas
dari khasanah peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif),
sedangkan masyarakat mengakui subjek dan objek hak juga tidak lepas dari
hukum yang hidup berkembang dan dipahami serta diakaui oleh masyarakat itu
sendiri, dimana hukum adat senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang
nyata, cara hidup dan pandangan hidup.10
10
Muhammad Bushar, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Pradinya Paramita.
Jakarta.1985. hal, 42
23
dipindah tangankan dari satu suku ke suku lain dan yang berhak mewarisi tidak
pernah terputus dan selalu dilakukan secara turun temurun dari mamak kepada
kemenakan, harta pusaka tinggi ini merupakan hak bersama seluruh anggota
kaum, masing-masing anggota kaum tidak dapat memilikinya secara hak
pribadi.11
Tanah pusaka ini diawasi oleh mamak kepala waris dan dipelihara oleh
penghulu. Harta pusaka rendah adalah harta yang dipusakai seseorang atau
kelompok yang dapat diketahui secara pasti asal usulnya harta itu. Ini dapat terjadi
bila harta itu diterimanya dari satu angkatan diatasnya seperti ayah atau
mamaknya, begitu pula dua tingkat diatasnya yang masih dapat dikenalnya seperti
ninik atau mamak, harta itu didapatkan melalui usaha sendiri (cancan latiah dan
taruko).12
Mamak kepala waris dalam kaum adalah sebagai pemimpin kaum yang
bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anggota kaum, dan
sebagai hakim penyelesaian pertikaian baik pribadi ataupun masalah harta dalam
kaum serta sebagai pengelola harta pusaka tinggi tersebut.
Pada masa dahulu kaum itu pada mulanya terdiri dari keturunan seibu yang
mendiami rumah asal yang disebut rumah gadang, bila anak perempuan dari
keturunan itu telah dewasa kemudian dikawinkan, maka untuk itu diberikan satu
11
Van Dijk. Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur Bandung, 1960, hal. 115
12
Ibid, hlm 45
24
kamar dari rumah gadang itu begitulah seterusnya jika ibu mempunyai beberapa
anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki biasanya tidur di surau yang dimiliki
oleh kaum itu. Seorang laki-laki tertua dari ibu tadi disebut mamak atau
tungganai.
Mamak kepala waris adalah seorang laki-laki tertua dalam suatu kaum yang
memimpin dan bertanggung jawab terhadap harta pusaka kaumnya. Di samping
itu, mamak kepala waris juga bertindak sebagai hakim bagi kaumnya dalam hal
menangani bila terjadi perselisihan dan persengketaaan mengenai harta pusaka.
Mamak kepala waris juga mewakili kepentingan kaumnya dalam urusan-urusan
yang menyangkut harta kaumnya.
13
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Media, 2010), h. 309
14
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Media, 2010), h. 311
25
senang dengan tiada merasa iri hati satu sama yang lainnya dalam hal ini
menguasai atau memakai harta pusaka.
Adanya larangan ini pada hakikatnya adalah untuk menjaga agar jangan
sampai harta pusaka itu berpindah keluar dari kekuasaan kaum dan menjadi milik
orang lain yang sama sekali tidak ada hubunganya dengan kaum tersebut. Namun
dalam beberapa kasus mamak kepala waris dapat menggadaikan atau menjual
harta pusaka, dengan syarat dilakukan dengan persetujuan atau paling tidak
diketahui oleh seluruh anggota kaum. Sabagaimana dalam penelitian yang
dilakukan oleh Syahmunir AM :15
Di samping itu harta pusaka dapat digadikan atau dijual dengan terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari seluruh anggota kaum, dengan syarat apabila :
15
Ibid, hlm 211-212
16
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Media, 2010), h. 311-312
26
17
Ibid, hlm 312-313
18
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Media, 2010), h. 315
19
Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Rineka
Cipta Jakarta.1997. hal, 93
27
Mamak kepala waris adalah pemimpin dari sebuah kaum, biasnya yang
menjadi mamak kepala waris adalah laki-laki tertua dari kaum tersebut. Namun
demikian, faktor usia bukanlah syarat mutlak, karena di samping itu juga
dibutuhkan kecakapa. Sebagaimana juga yang dinyatakan oleh Iskandar Kemal,
bahwa untuk dapat menjadi mamak kepala waris ditentukan oleh dua faktor yaitu,
yang pertama adalah faktor hukum waris dan yang kedua faktor kecerdasan.20
Faktor hukum waris di sini dimaksud bahwa untuk menjadi mamak kepala
waris, seseorang itu haruslah merupakan anggota dari kaum yang bersangkutan
dan dia juga merupakan laki-laki yang tertua. Sedangkan daktor kecerdasan
diperlukan karena seseorang mamak kepala waris mempunyai tanggung jawab
yang besar, baik untuk memimpin angota kaumnya maupun untuk memelihara
harta pusaka yang mereka miliki.21
Namun yang tidak kalah penting dari semua hal ini adalah bahwa mamak
kepala waris itu harus diangkat berdasarkan kesepakatan anggota kaumnya, baik
secara tegas maupun secara diam-diam. Di samping itu keberadaannya yang terus
menerus di kampung halamanjuga menjadi dasar perhitungan yang cukup penting
pula.22
20
Iskandar Kemal, Sekitar Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangnnya.
Percetakan Daerah, padang. 1961, hal. 39
21
Edison dan Nasrun, hlm 307
22
Edison dan Nasrun. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.
Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2010. Hal, 307-308
28
Mengigat tanggung jawab mamak kepala waris yang besar, terutama yang
berhubungan dengan harta pusaka, maka jika sebuah kaum tidak mempunyai
mamak kepala waris lagi dan kemenakan laki-laki yang ada pun belum dewasa,
maka ada beberapa kemungkinan untuk melaksanakan fungsi dari mamak kepala
waris tersebut. Kemungkinan pertama adalah para ahli waris yang perempuan
secara bersama-sama dapat bertindak sebagai mamak kepala waris. Namun jika
anggota kaum yang tinggak hanya seorang perempuan saja, maka dialah yang
mempunyai hak dan kewajiban sebagai mamak kepala waris. Selanjutnya kalau
dalam kaum tersebut tidak ada anggota yang dewasa, maka penghulu sukunya
yang harus bertindak untuk kepantingan kaum tersebut. Kemngkinan terakhir, jika
hal-hal yang telah disebut di atas tidak ada juga, maka kaum tersebut dapat
bersandar pada penghulu suku yang terdekat, yang merupakan belahan mereka. 23
Bila seseorang yang menurut ketentuan adat berhak menjadi mamak kepala
waris tetapi dia tidak melengkapi syarat-syarat seperti diatas, maka rapat anggota
kaum menentukan atau memilih anggota kaum yang lain yang akan menjadi
mamak kepala waris di dalam kaum tadi, dalam lingkungan waris bertali darah.
23
Iskandar Kemal, Sekitar Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangnnya.
Percetakan Daerah, padang. 1961, hal. 41
24
Hasil wawancara bersama Angku Datuak Mangada’I ketua KAN Nagari Tanjung
Barulak, pada tanggal 9 Februari tahun 2018
29
Biasanya yang menjadi mamak kepala waris itu adalah laki-laki yang tertua
dalam kaum dan turun temurun, tetapi di sebagian nagari ketentuan ini bukanlah
menjadi ukuran/kriteria di dalam memangku jabatan mamak kepala waris, karena
pengangkatan mamak kepala waris adalah berdasarkan pemilihan atau mufakat
kaum.
25
Edison dan Nasrun. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.
Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2010. Hal, 308
26
Edison dan Nasrun. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.
Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2010. Hal, 309
30
Harta warisan menurut hukum waris adat, yang tidak merupakan kesatuan
yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi- bagi
atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta
warisan adat terdiri dari :
Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta warisan adalah semua
harta yang ditinggalkan pewaris, baik harta yang telah diwariskan pada waktu
hidupnya pewaris maupun harta yang ditinggalkan pada waktu pewaris meninggal
dunia, setelah dikurangi dengan biaya penguburan, biaya selamatan, hutang-
hutang, hutang keagamaan.
Proses pemindahan harta warisan ini telah dimulai pada waktu pewaris
masih hidup, yaitu dengan jalan pemberian-pemberian (hibah) oleh pewaris
kepada mereka yang sedianya mewaris. Pemberian pemberian (hibah)
diperhitungkan sebagai bagian pewarisan bila jumlahnya dibandingkan ahli waris
adalah seimbang. Pewarisan pada waktu hidupnya pewaris ini biasanya dilakukan
27
Ibid, hlm 309
31
Proses pewarisan semasa hidup atau pada saat pewaris meninggal dunia,
berbeda dengan proses pewarisan secara hibah wasiat. Adakalanya seorang
pewaris di hadapan para ahli warisnya menyatakan bahwa bahagian tertentu dari
harta peninggalan itu diperuntukkan bagi ahli waris tertentu.
Secara umum, harta warisan dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar,
yaitu :
Untuk harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi, adalah suatu pertanda
khas dalam hukum adat yang mana tetap bertahan karena pengaruh cara berfikir
yang komunalistik, yang menghendaki bahwa harta benda yang ditinggalkan itu
merupakan harta turun temurun, tidak mungkin dimiliki oleh seorang, karena
memang merupakan milik bersama/kolektif.
Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi berdasarkan atas alasan oleh
Surojo Wignjodipuro dibagi atas : ”Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-
bagi, dapat dibedakan-bedakan sebagai berikut :
30
Djaren Singgih, Pengatar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982. Hal. 65
31
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta CV. Haji
Masagung.1994 h. 225
33
32
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta CV. Haji
Masagung.1994. hal. 222-223
34
dalam bentuk keseluruhan ataupun bagian dari pada harta kekayaan semasa
pemilikannya masih hidup.
“Adapun dasar pokok ataupun motif dari pada penghibahan ini adalah tidak
berbeda-beda dengan motif dari pada tidak memperolehkan membagi-bagi harta
peninggalan kepada para ahli waris yang berhak, yaitu kekayaan somah yang
merupakan dasar kehidupan meteriil yang disediakan bagi warga somah yang
bersangkutan seberta keturunannya.33
Harta warisan adalah barang asal atau pusaka nenek moyang yang turunkan
kepada garis keturunannya. Biasanya harta warisan tetap menjadi milik dari pihak
yang memperolehnya, sehingga harta ini tidak jatuh menjadi harta bersama dari
keluarga. Hasil penjualan dari harta pusaka atau harta yang diperoleh sebelum
perkawinan merupakan milik dari pihak asal, sedangkan harta yang diperoleh dari
hasil jerih payah suami istri selama hidup dipersoalkan, apabila salah satunya
meninggal dunia maka pihak yang hidup (suami-istri) dalam pertalian parental
janda atau duda akan mewaris harta tersebut.
Adapun jenis-jenis harta menurut hukum adat terdiri dari harta yang peroleh
sendiri, harta peninggalan, harta yang diperoleh suami istri pada waktu
perkawinan.
a. Harta yang diperoleh sendiri Jenis harta ini biasanya diperoleh suami
atau istri sebelum berumah tangga atau hanya diberikan oleh orang tua
sebelum berumah tangga.Harta ini dapat diturunkan kepada generasi
selanjutnya berupa harta bawaan.
b. Harta warisan atau harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia,
dapat berupa:
1. Harta kekayaan yang berwujud yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih (aktiva).
33
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta CV. Haji
Masagung.1994. hal. 225
35
Menurut hukum adat dan hukum Islam, harta peninggalan yang beralih pada
hakekatnya hanya sisa dari harta warisan setelah dikurangi dengan hutang-hutang
dari peninggal warisan, sedangkan menurut hukum perdata yang beralih adalah
semua warisan yang meliputi juga hutang-hutang dari peninggal warisan.
34
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
1992. Hal. 144
37
Adalah dikenal sebagai harta garapan nenek moyang yang diwarisi turun
temurun dari mamak turun kepada kemenakan dari suatu kaum sehingga
merupakan harta pusaka tinggi dari suatu kaum tersebut.
Harta pusaka rendah adalah harta yang diturunkan dari satu generasi, yang
mana diterima kemenakan dari mamak kandung, yang berasal dari hasil pekerjaan
yang diuntukan buat kemenakannya. Harta pusaka rendah diamksudkan untuk
harta yang pewarisnya hanya sedikit, sehingga tidak membutuhkan persetujuan
kaum untuk menggunakannyan. Namun, bila harta ini diwariskan lagi dan
pewarisnya telah bayak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi.
Harta pusaka rendah boleh diperjual belikan, namun harus ada kesepakatan
antara mamak dan kemenakan. Apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan harta
pusaka rendah ini, kemudian diwariskan lagi kepada ahli waris berikutnya,
sehingga tidak mudah lagi mengatur kesepakatan dalam pengelolaannya, maka
harta ini diagkat menjadi harta pusaka tinggi.
Contoh harta pusaka rendah adalah tanah, sawah, dan ladang yang ditaruko/
diolah oleh seorang mamak, lalu diwariskan kepada kemenakannya. Mengenai
harta pusaka rendah dapat dibedakan dalam beberapa macam harta kekayaan
berupa :
a. Harta terpaan
Harta terpaan adalah harta yang diperoleh oleh orang tua dari hasil
pencahariannya, harta ini biasanya telah ada di rumah istri sebelum
berlangsungnya perkawinan.
b. Harta bawaan.
38
Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh suami kedalam rurnah istrinya
pada waktu perkawinan, harta bawaan ini dapat berupa harta pemberian (hibah),
harta pencaharian sewaktu belum perkawinaan, harta kaum dalam bentuk
ganggam bauntuk (hak pakai).
c. Harta pencaharian.
Harta pencarian adalah harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau
taruko (menggarap tanah mati), misalnya dengan menggarap sawah atau ladang,
berdangang, pangwai, buruh dan sebagainya. Sangat jelas bahwa harat pencarian
adalah harta yang didapatkan seseorang dari hasil usahanya sendiri, baik bekerja
dikampung halamannya maupun dari hasil ia merantau. Namun harta ini pada
umumnya tidak banyak brkaitan dengan harta pusaka di kampung halamannya.
Orang yang berhak mendapatkan atas harta pencarian adalah orang yang
mendapatkan harta tersebut, bila pemiliknya meninggal dunia harta pencahariam
ini jatuh kepada pihak keluarganya atau bisa juga diserahkan kepada jurainya
sebagai harta pusaka rendah.
d. Harta suarang.
Harta suarang adalah keseluruhan harta benda yang didapat secara bersama
sama oleh suami istri selama masa perkawinan, yang dikecualikan dari padanya
adalah segala harta bawaan dansegala harta terpaan istrti yang telah ada sebelum
dilangsungkan perkawinan itu. Dikenal pula sebutan lain untuk harta suarang ini,
yaitu:
1. Harta Pasuarangan.
2. Harta basarikatan.
3. Harta kaduo-duo.
4. Harta salamo barumah tanggo. 35
35
Hermayulis, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan
Kekerabatan Pada Sisitem Kekerabatan Matrilineal Minagkabau di Sumatera Barat, Disertasi,
1999, UI, Jakarta, hal. 159-173
39
Harta pusako tinggi ini adalah warisan dari nenek moyang kaum pemegang
harta tersebut yang mana pada dasarnya harta tersebut tidak untuk diperjual-
belikan dan hanya boleh digadaikan dengan 4 (empat) syarat, yaitu :
36
Amir M.S. Adat Minangkabau “Pola dan Tujuan Hidup OrangMinang”,2003. Pusat: PT.
Mustika Sumber Widya. Jakarta.hal. 93
40
Harta pusako tinggi ini berguna untuk pemersatu dalam jurai, kaum, suku
dan bagi masyarakat Minang pada umumnya, sekaligus untuk mengetahui nan sa
asa sakaturunan37 menurut jalur adat. Harta tersebut juga harta cadangan bagi
suatu kaum, jika ada salah seorang anak kemenakan yang hidupnya agak susah
maka uruslah harta tersebut.
H. Abdul Malik Karim Abdullah yang melihat harta pusako tinggi ini itu
sama keadaanya dengan wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan
Umar bin Khattab atas harta yang didpatkannya di khaybar yang telah dibekukan
tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan
harta pusako tinggi ini dengan harta wakaf tersebut walau masih ada
perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat
diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan maka terhindarlah harta tersebut dari
kelompok harta yang harus diwariskan menurut hukum faraidh; artinya tidak salah
kalau padanya tidak berlaku hukum faraidh. Pendapat beliau ini diikuti oleh ulama
lain diantaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli.38
Mengenai tentang sistem pewarisan adat atas harta pusako tinggi ini harta
tersebut dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan
untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada ditangan
mamak rumah, bila mamak rumah sudah tiada maka beralih kepada kemenakan
yang laki-laki. Bila perempuan tertua dirumah itu sudah tiada, maka peranan
penguasaan dan pengurusan beralih kepada perempuan yang lebih muda. Dalam
hal ini tidak ada peralihan harta.
37
Satu asal satu keturunan
38
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau. H.
278
41
dalam hukum Islam yang berarti peralihan dari yang sudah tiada ke yang masih
hidup.
Ciri khas dari dari harta pusako tinggi ini adalah harta tersebut bukan milik
perorangan dan bukan milik siapa-siapa secara pasti, yang memiliki harta itu ialah
nenek moyang yang mula-mula memperoleh harta itu secara memancang melatah.
Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya dalam bentuk yang
tidak terbagi-bagi. Setiap anggota dalam kaum dapat memanfaatkannya tetapi
tidak dapat memilikinya.39
Harta pusaka tinggi juga hak bersama seluruh anggota kaum masing-masing
anggota kaum pada prinsipnya tidak dapat memilikinya secara hak pribadi tetapi
masing-masing dapat mengambil manfaat dari padanya secara hak pakai yang
pemakaiannya diatur oleh mamak kepala waris dari kaum itu.
Berbicara masalah perkembangan harta pusaka tinggi kaum ini. Maka kita
tidak akan terlepas dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh adat
Minangkabau yaitu sistim Matrilinial, karena sistim ini dengan sendirinya akan
menentukan bentuk hubungan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan sistim
Matrilinial ini yang memegang harta pusaka adalah perempuan, sedangkan laki-
laki adalah sebagai penjaga menjamin hidup anak kemenakan. Harta pusaka tidak
boleh dijual bahkan kalau dapat ditambah oleh anak kemenakan tadi. Sebab bagi
harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat sebagai berikut :
juga, padahal hidup kita sendiri sudah berubah dari zaman ke zaman. Penduduk
kian hari kian bertambah juga sedangkan harta pusaka tinggi kaum sudah
mengalami perubahan dalam bentuk penyusutan. Nilai-nilai yang ada dalam
hukum adat dewasa ini mengalami pergeseran dan perkembangan di tengah-
tengah masyarakat hukum adat itu sendiri, khususnya dalam adat harta pusaka
tinggi (tanah kaum).
BAB III
KONDISI OBJEKTIF NAGARI TANJUNG BARULAK
Nagari adalah nama suatu wilayah pemukiman yang dihuni oleh suatu
masyarakat hukum adat. Nagari merupakan perkumpulan dari korong-korong
yang setiap nagari setidaknya ada empat suku.1Dalam tambo alam Minangkabau,
nagari merupakan susunan masyarakat yang sudah sangat lengkap perangkat
pemerintahannya dan bersifat otonom dalam artian tiap nagari punya kemandirian
dalam mengelola nagarinya masing-masing.2
1
Dt. Rajo Indo, Seluk Beluk Hukum Adat Minangkabau, Batusangkar, 2010, h. 167.
2
Tambo berasal dari kata sanskerta tambaz atau tambe yang artinya bermula. Tambo
merupakan salah satu warisan kebudayaan Minangkabau yang penting. Ia merupakan kisah yang
disampaikan secara lisan oleh tukang kaba. Tambo ada dua jenis yaitu pertama, tambo adat yang
mengisahkan adat atau sistem dan aturan pemerintahan Minangkabau pada masa lalu. Kedua,
tambo alam yang mengisahkan asal usul nenek moyang serta bangunnya kerajaan Minagkabau.
Tambo diwariskan secra lisan karena itu antara tambo satu dengan tambo yang lainnya tidak ada
yang sama persis isi dan kisahnya. Lihat A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Gratifi Pers, 1986), h. 45.
3
Menurut A.A Navis urutan syarat kelengkapan Nagari tersebut dalam beberapa buku
tambo berbeda, namun yang sama adalah letak syarat “babalai-bamusajik”(berbalai-bermasjid)
berada pada urutan yang pertama. Lihat A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Gratifi Pers, 1986), h. 91-92.
4
Ibid, hlm 92-94
44
45
5
Hukum Adat Minangkabau, diakses jam 20.00 hari selasa tanggal 01 Mai tahun 2018,
http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/fole/53.RITAGANI_unisba.pdf
46
6
A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru, Jakarta: Pustaka Gratifipers, 1984, h. 94
7
Monografi Nagari Tanjung Batulak pada tahun 2016.
47
8
Penghulu merupakan sebutan bagi seorang pemimpin kaum di Minangkabu
9
Kasua papan artinya kayu papan yang ditarok dibawah Kasur mempelai, kayu papan
yang ditarok sebayak tingkatan atau jabatan marapulai (mempelai laki-laki) menurut ketentuan
adat salingkah nagari.
10
Panungkek merupakan sebutan bagi seorang wakil pemimpin kaum di Minangkabau
48
Nagari Tanjung Barulak terletak tidak jahuh dari danau singkarak dengan
topografi daerah berbukit, sehingga mempunyai panorama yang indah, nagari ini
tidak terlalu besar, dimana masyarakat masih memengang teguh adat dan agama.
Nagari Tanjung Barulak merupak sala satu nagari nan termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat,
Indonesia. Nagari ini terletak di jalan lintas Sumatra KM 14 tepatnya jalan raya
Padang Panjang – Solok. Sebuah Nagari yang secara geografis terlatak berdekatan
dengan Danau Singkarak.11 Jarak Nagari Tanjung Barulak ke pemerintahan
Kecamatan Batipuh lebih kurang 8 km, jaraknya dengan pusat pemerintahan
11
Nagari Tanjung Barulak, diakses jam 18.10 hari selasa tanggal 01 Mai 2018
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tanjung_Barulak,_Batipuh,_Tanah,_Datar.
50
Kabupaten Tanah Datar lebih kurang 25 km, sedangkan dari ibu kota propinsi
Sumatera Barat berjarak lebih kurang 86 km.
Nagari Tanjung Barulak memiliki luas lebih kurang 45,81 Ha/m2 dengan
letak 100º 30º5’ Bujur Timur dan 0º 30º44’ Lintang Selatan pada ketinggian rata-
rata 1.403 Meter dari permukaan laut dengan memiliki suhu udara berkisar antara
24ºC sampai 28ºC dan curah hujan 4.320 mm, dan tingkat kesuburan tanah, sangat
subur 35 %, subur 48 %, lain-lain 17 %, yang berbatasan dengan wilayah sebagai
berikut :
1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Nagari Bungo Tanjung.
2. Sebelah Selatan : berbatasan denag Nagari Batu Taba dan Nagari
Sumpur
Batas dengan Batu Taba yaitu Sawah milik Tanjung
Barulak dan gurun milik Batu Taba
3. Sebelah Barat : berbatasan dengan Nagari Sumpur dan Bunga Tanjung
Batas dengan Sumpur yaitu gurun milik Nagari
Sumpur sawah milik Nagari Tanjung Barulak
4. Sebelah Timur : berbatasan dengan Nagari Batu Basa dan Nagari Tigo
Koto
Dibagi dengan bukit, nan tagolek arah ka tabik mato
hari jadi milik Tigo Koto dan yang jatuh arah mato
ari tabanam jadu milik Tanjung Barulak.
Nagari Tanjung Barulak memiliki sebelas jorong terdiri dari, yaitu:
1. Kapuah
2. Koto
3. Baliak Baringin
4. Padang Langgo
5. Tabuah Tabuah
6. Guguak Tinggi
7. Guguak Tapuang
8. Kapalo Koto
9. Pulai
51
10. Kucabuak
11. Palembaian
Berdasarkan data dasar profil Nagari Tanjung Barulak menunjukkan bahwa
jumlah penduduk yang ada di Nagari Tanjung Barulak seluruhnya pada tahun
2016 adalah 4.445 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 1371 jiwa dan perempuan 1703
jiwa. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dari tabel di bawah ini :
Table III
Jumlah penduduk Nagari Tanjung Barulak
No Nama Jorong Jeneis Kelamin Jumlah
Laki-laki Perempuan
01 Jorong Kapalo Koto 351 364 715
02 Jorong Palambaiyan 111 119 230
03 Jorong Tabuah-Tabuah 221 109 430
04 Jorong Pulai 167 162 329
05 Jorong Guguk Tinggi 130 137 267
06 Jorong Guguak Tapung 66 73 139
07 Jorong Baliak Baringin 186 196 382
08 Jorong Koto 103 97 200
09 Jorong Padang Langgo 383 395 778
10 Jorong Kapuah 231 277 508
11 Jorong Kucabuak 117 119 236
Jumlah 4.214
Sumber Data : monografi Kenagarian Tanjung Barulak Tahun 2016
Berdasarkan tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah penduduk
yang ada d Nagari Tanjung Barulak Lebih Banyak Perempuan dari pada Laki-laki
di karena kan banyak warga Nagari Tanjung Barulak yang Pergi Merantau ke luar
daerah dan berdomisili di tempat perantauannya dan sekaligus berkeluarga disana.
Dibidang ekonomi Nagari Tanjung Barulak mempunyai Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), dimana saham mayoritas dipengang oleh pemerintah Nagari
Tanjung Barulak. BPR atau Bank Perkreditan Rakyat yang ada di Nagari Tanjung
52
Barulak bisa dibilang bank nagari yang masih bertahan sampai sekarang,
walaupun banknya belum besar namun nasabahnya sampai nagari-nagari sebelah.
Potensi Nagari Tanjung Barulak pada umumnya masyarakat yang tinggal
atau berdomisili di pedesaan hidupnya dari hasil pertanian, baik sawah, ladang,
punya ternak dan lain sebagainya. Hanya sedikit yang bermata pencarian lain
seperti petani, berdagang dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Table IV
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencarian
No. Mata Pencarian Jumlah (Orang)
01 Petani 764
02 PNS 146
03 TNI/POLRI 6
04 Wiraswastawan 245
05 Pensiunan 58
06 Buruh Tani 137
07 Pertukangan 95
08 Pedagang 143
09 Honorer 124
Jumlah 1.718
Sumber Data : Monografi Kenagarian Tanjung Barulak tahun 2011
wirid pengajian dan acara didikan subuh bagi murid TPA di adakan oleh nagari
yang dilakukan sekali dalam satu bulan dan lain-lainnya. Sedangkan mushala
(surau) selain tempat ibadah juga digunakan untuk belajar mengaji al-Qur’an bagi
murid TPA, untuk melakukan musyawarah masyarakat jorong dan juga untuk
melaksanakan acara didikan subuh di TPA sekali seminggu.
Surau atau mushollah sanggat bayak di Nagari Tanjung Barulak, hampir tiap
Datuak Tungganai mempunyai surau, dimana surau ini tidak hanya semata
fungsinya untuk beribadah tapi juga dipakai sebagai tempat bermusyawarah untuk
menyelesaikan masalah anak kemenakan. Untuk lebih jelasnya berapa banyak
sarana dan prasarana ibadah di Nagari Tanjung Barulak dapat dilihat dari tabel di
bawah ini :
Table V
Sarana dan prasana Ibadah
Tabel VII
Penggolongan Penduduk Nagari Tanjung Barulak Menurut Tingkat
Pendidikan
No Pendidikan Jumlah (Orang)
01 Belum Sekolah 729
02 Tidak tamat SD 658
03 SD 884
04 SMP 941
05 SMA 816
06 D II 45
07 D III 54
08 S1 131
09 S2 8
10 S3 -
Sumber Data : Demografi Nagari Tanjung Barulak Tahun 2017
Dari tabel di atas jelas terlihat bahwa penduduk Nagari Tanjung Barulak
pada umumnya banyak yang tamat dan banyak juga yang tidak tamat SD.
Sedangkan yang melanjutkan pendidikan kepada tingkat yang paling tinggi tidak
begitu banyak jumlahnya dari daerah lain. Di sini terlihat bahwa pendidikan di
Nagari Tanjung Barulak masih rendah karena sarana dan prasarana yang tidak
memadai dan juga karena kekurangan biaya untuk melanjutkan pendidikan
kejenjang yang lebih tinggi.
56
Penduduk suatu nagari bukan saja merupakan satu kesatuan sosial, tetapi
mereka juga diikat oleh kehendak ingin hidup bersama dengan rukun. Mereka
juga patuh kepada norma-norma pergaulan hidup bersama.
Setelah hidup bersama dalam suatu nagari, orang-orang yang berasal dari
berbagai suku itu akhirnya satu berkauman territorial dan mempunyai
kepentingan-kepentingan yang sama. Hal ini menimbulkan semangat gotong-
royong, saling tolong menolong dan ingin menciptakan kedamaian sesama
masyarakat nagari. Segala permasalahan baik dan buruk semuanya dilaksanakan
secara musyawarah.
Hukum adat banagari ini tertuang dalam ikatan kekeluargaan dalam nagari
nan ampek
1. Sakaum sakaturunan.
Walaupun di Minangkabau ada anggapan orang yang sesuku juga bertali
darah, namun bila diperhatikan betul asal usul keturunannya agak sulit
dibuktikan, lain halnya dengan orang yang sekaum. Walaupun orang yang
sekaum itu sudah puluhan orang dan bahkan sampai ratusan, namun untuk
membuktikan mereka sekuturunan masih bisa di cari.
Untuk mengujinya liyat ranji atau silsilah keturunan mereka. Dari ranji ini
dapat dilihat generasi mereka sebulumnya dan sampai sekarang, yang ditarik
dari garis keturunan wanita. Faktor keturunan sangat erat hubungannya
dengan harta pusaka dari kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak
ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum
dan juga mengenai sako.12
2. Sahina semalu
Anggota yang berbuat melangar adat akan mencemarkan nama seluruh
anggota kaum, yang paling terpukul adalah mamak kaum dan mamak kepala
waris yang diangkat sebagai pemimpin kaumnya. Karena perasaan sehina
semalu cukup mendalam, maka seluruh anggota kaum selalu mangajak agar
12
Ibrahin Dt. Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau (tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang). Bukittinggi. Kristal Multimedia.2009. hal. 92-93
57
jangan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dari anggota kaumnya. Rasa
sehina semalu ini adat mengatakan :
Malu tak dapek dibagi. Malu tak dapat dibagi
Suku tak dapek dianjak. Suku tak dapat dibagi
Artinya, malu seorang malu bersama. Mamak atau wanita-wanita yang
sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya dan sanak kaumnya agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Sepandam sapekuburan
Untuk menunjukkan orang yang sekaum maka sebuah kaum mempunyai
pandam tempat berkubur khusus bagi anggota kaum-kaumnya. Untuk
mangatakan seseorang itu sekaum merupakan orang asal dalam kampung
itu, kaum kelurganya dapat menunjukkan pandamnya. Di dalam adat
dikatakan orang yang sekaum itu sepandam sepekuburan dengan pengertian
satu pandam tempat berkubur.
4. Seberat saringan.
Orang yang sekaum seberat seringan sesakit sesanang sebagian yang
dikemukakan dalam pepatah adat sebagai berikut :
Kaba baik baimbauan kabar baik dihimbaukan
Kaba buruak bahambaun kabar buruk berhamburan
Artinya, bila ada sesuatu yang baik untuk dilaksanakan seperti perkawinan,
berdoa dan lain-lain maka kepada sanak saudara hendaklah diberitahukan
agar mereka datang untuk menghadiri acara yang akan dilaksanakan. Tetapi
sebaliknya semua sanak famili akan berdatangan, jika mendengarkan kabar
buruk salah seorang anggota keluarganya tampa di himbaukan. Sebagai
contohnya seperti ada kematian atau malapetaka lainya yang meninpa.
5. Seharta sepusaka.
Menurut adat Minangkabau tidak dikenal harta perseorangan, harta
merupakan warisan dari anggota kaum secara turun temurun. Harta pusaka
yang bayak dari sebuah kaum menunjukkan juga bahwa nenek moyangnya
merupakan orang asal kampung itu sebgai panaruko (menggarap) pertama
58
di nagari, dan kaum yang sedikit mempunyai harta pusaka bisa dianggap
orang yang datang kemudian.
Oleh sebab itu dalam sebuaha adat berkaum yang bayak memiliki harta
tetapi hasil tambilang emas atau dengan cara membeli, maka statusnya
dalam masyarakat adat tidak sama sekali dengan orang yang mempunyai
harta pusaka tinggi. Malahan orang yang seperti ini disebut sebagai orang
pendatang.
Harta pusaka kaum merupakan kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu
dan tetap berpengang kepada prinsip, seperti pepatah adat mengatakan :
Harato salingka kaum, adat salingkar nagari ‘Harta salingkar kaumAdat
salingkar nagari’.13
13
Ibrahin Dt. Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau (tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang). Bukittinggi. Kristal Multimedia.2009. hal. 94
BAB IV
Pergeseran fungs dan peranan Mamak Kepala Waris dalam mengawasi harta
pusaka tinggi pada kaum di Nagari Tanjung Barulak merupakan perubahan-
perubahan yang terjadi disebabkan oleh pergeseran tanggung jawab seorang laki-
laki (mamak) ke rumah anak dan istrinya. Hal ini bertitik tolak dari system
perkawinan yang dilaksanakan masyarakat dewasa ini sudah menjurus kepada
bentuk perkawinan sumando1 menetap yang sebelumnya dikenal dengan bentuk
perkawinan sumando bertandang.
1
Sumando dalam Bahasa Indonesia adalah suami
2
Firman Hasan, SH. Suatu Pengantar Dinamika Masyakat dan Adat Minangkabau, Pusat
Penelitian Unand Padang. 1987/1998, hal. 9
3
Syafyan Thalib, SH. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau.
Pusat Penelitian Unand Padang, 1987/1998, hal. 17
4
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Firman Tekad, Jakarta,1963, hal, 34
60
61
ayah. Namun demikian bagi sebagian kecil masyarakat peran suku tidak kuat lagi
dipengang, sebagian telah terjadi perkawinan antar Minangkabau dengan suku
bangsa lain atau bahkan dengan bangsa asing sehingga kesukusan tidak menjadi
suatu yang teramat penting.
Matrilocal marriage kata De Jong juga merupakan salah satu ciri masyarakat
Mianangkabau yang matrilineal, dimanan suai pindah kerumah istri.5 Namun pada
perkembangan dewasa ini sudah terjadi pergeseran yang cukup berarti. Dimana
timbul kecenderungan baru bahwa sekitar 52% laki-laki Minangkabau yang
ditanyai menolak anggapan yang diutarakan Dejong diatas, yang ternyata tidak
lagi menjadi ciri orang Minangkabau.6 Bergeserlah domisili keluarga dari rumah
istri ketempat lain berakibat lanjut dan meninggalkan sedikit hak bagi si ayah,
nampak mulai ditinggalkan. Hal ini dapat kita liyat pada kenyataan sekarang ini
yang mana peranan ayah dalam keluarga sudah dominan.
Dengan demikian peranan ayah sebagai kepala rumah tangga semakin besar
bahkan kelak bisa diramalkan bahwa ayah yang akan berkuasa dan menentukn
dalam urusan rumah tangga dan Mamak Kepala Waris akan berperan sabagai
pihak yang ditinggalkan hanya memberikan restu persetujuan saja atas
kebijaksanaan yang telah diambil oleh ayah dan ibu.
Juga telah ditemukan kenyataan sekarang ini bahwa ayah dan ibunya sudah
mulai mengambil peranan penting dalam kekuasaan-kekusaan yang tadi dimiliki
mamak kepala waris dalam rumah tangga anak kemenakan, sudah mulai beralih
pada keluarga itu sendiri yaitu suami dengan istri.
2. Pusaka.
Pusaka dalam Minangkabau dikategorikan kedalam dua kelompok yaitu
pusaka tinggi dan pusaka rendah. Pusaka tinggi adalah semua harta yang
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang
dimiliki oleh seluruh anggota kaum yang penguasaanya ada ditangan Mamak
Kepaka Waris. Harta pusaka itu tidak boleh digadaikan apa lagi dijual, kecuali ada
empat hal, yaitu :
5
Syafyan Thalib, SH. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau.
Pusat Penelitian Unand Padang, 1987/1998, hal. 18
6
Hamka, hlm 34
62
7
Syafyan Thalib, SH. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau.
Pusat Penelitian Unand Padang, 1987/1998, hal. 17
8
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Firman Tekad, Jakarta,1963, hal, 33
63
untuk memperolah pendidikan yang lebih luas bagi generasi muda Minangkabau
yang dididik orang tua mereka sendiri.
Peranan Mamak Kepala Waris yang secara konseptual telah digariskan oleh
adat Minangkabau dalam prakteknya dewasa ini mengalami beberapa pergeseran-
pergeseran. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat dikemukakan akibat
yang timbul dari terjadinya pergeseran nilai secara aktual dari peranan mamak
kepala waris dalam kaumnya, yaitu :
Harta pusaka tinggi (tanah) yang telah diperuntukan tersebut secara turun
temurun dan berlanjut melalui garis keturunan ibu. (matrilineal), sehingga
pengolahan tanah selama bertahun-tahun mengakibatkan rasa kepemilikan secara
pribadi semakin kuat, yang mana hasil harta pusaka tidak boleh dibawak kerumah
istri namun hasil dari harta pusaka tinggi dibawak ke kaumnya.
Pergeseran peran seorang mamak kepala waris dewasa ini tentunya
memerlukan pemikiran yang bijak dari berbagai unsur di dalam masyarakat baik
dari kalangan ninik mamak, cerdik pandai maupun alim ulama agar perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai bagian perubahan global tidak
membawa dampak pengikisan terhadap nilai-nilai adat yang telah tumbuh dan
berkembang sejak zaman dahulu.
Untuk itu menurut penulis diperlukan peran aktif kerapatan adat nagari
(KAN) dalam mencermati dan mengambil langkah-langkah prefentif terhadap
berbagai persoalan adat dan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat dalam
reaktualisasi peran mamak kepala waris dewasa ini agar kelestarian adat
Minangkabau termasuk di dalamnya harta pusaka tinggi yang merupakan ciri khas
keberadaan sistem matrilineal dapat terjaga dengan baik
C. Analisis Penulis.
9
Hardi Putra Wirman, “Dinamika Perubahan Adat Salingka Nagari (Studi Analisis tentang
Pewarisan Nilai-Nilai Adat di Kenagarian Pagadih Kabupaten Agam Sumatera Barat)”, Islam dan
Realitas Sosial, VI, 2, (Juli 2013), h. 41.
67
10
Angku Datuak. Mangada’i, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Tanjung Barulak,
Interview Pribadi, Tanjung Barulak, 09 Februari 2018.
68
11
Angku Datuak. Rajo Mangkuto, ketua suku kaum guci di Tanjung Barulak, Interview
Pribadi, Tanjung Barulak, 06 Februari 2018.
69
Kepala Warisnya itu sendiri lebih mementingkan keluarga batih daripada keluarga
kaumnya.
H. Abdul Malik Karim Abdullah yang melihat harta pusako tinggi ini itu
sama keadaanya dengan wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan
Umar bin Khattab atas harta yang didpatkannya di khaybar yang telah dibekukan
tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan
harta pusako tinggi ini dengan harta wakaf tersebut walau masih ada
perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat
diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan maka terhindarlah harta tersebut dari
kelompok harta yang harus diwariskan menurut hukum faraidh; artinya tidak salah
kalau padanya tidak berlaku hukum faraidh. Pendapat beliau ini diikuti oleh ulama
lain diantaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli.12
Secara umum tidak terdapat ayat Al-Qur‟an yang menerangkan konsep
wakaf secara jelas. Karena wakaf termasuk infak fi sabilillah, maka dasar yang
digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada
keutamaan ayat-ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang infak fi sabilillah. Di
antaranya ayat-ayat tersebut antara lain:
(Q.S. Al-Baqarah ayat 267)
خزَجْنَا َّلكُمْ مِنَ اّلَْؤرْضِ ۖ َوّلَا جَ َّيّمَّمُىا
ْ َيَا أَ ُيهَا اّلَذِينَ آمَنُىا أَنْفِقُىا مِنْ طَّيِبَاتِ مَا كَسَبْحُمْ َو ِمّمَا أ
ٌعَلّمُىا أَنَ اّللَهَ غَنِّيٌ حَّمِّيد
ْ اّلْخَبِّيثَ مِنْهُ جُنْفِقُىنَ َوّلَسْحُمْ بِآخِذِيهِ ِإّلَا أَنْ ُج ْغّمِضُىا فِّيهِ ۚ وَا
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
(Q.S. Ali-Imram ayat 92)
ٌّيءٍ فَإِنَ اّللَهَ بِهِ عَلِّيم
ْ َّلَنْ جَنَاّلُىا اّلْ ِبزَ حَحَىٰ جُنْفِقُىا ِمّمَا جُحِبُىنَ ۚ َومَا جُنْفِقُىا مِنْ ش
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”
12
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau. H.
278
70
PENUTUP
A. Kesimpulan.
72
73
Kondisi zaman saat ini tidak bisa di elakan dari pengaruh-pengaruh budaya
modern atau pengaruh budaya luar sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran.
Segala ciri kebudayaan lama tentu akan tergabung dengan kebudayaan baru,
ataupun kebudayaan lama akan hilang.
Begitu juga di dalam masyarakat Nagari Tanjung Barulak yang telah terjadi
perubahan-perubahan baik itu di dalam norma-norma dan aturan-aturan adatnya.
Nilai yang dipakai secara turun temurun sudah mulai goyah. Oleh karena itu,
sudah sebaiknya bagi generasi sekarang haruslah di tingkatkan lagi upaya-upaya
74
untuk mencegah perubahan serta pergeseran dari nilai-nilai budaya, adat serta
tradisi tersebut yang telah diwariskan secara turun-temurun dengan berkomitmen
untuk mecintai kebudayaan itu sendiri dan bersedia mempertahankannya. Tentu
untuk mengembalikan kebudayaan atau adat itu perlu dilakukan beberapa
langkah-langkah, yaitu beberapa tahapan dan pendekatan kembali diantaranya:
1. Mengadakan sosilaisasi kepada anak kemenakan dari Mamak Kepala
Waris sebagai penjaga, melindungi, dan mengatur harta pusaka tinggi
agar mereka mengetahui betul apa peran yang yang harus dijalankan
Mamak Kepala Waris itu.
2. Para Niniak Mamak harus mengganti dan menyiapkan calon-calon baru
untuk menggantikan Mamak Kepala Waris yang sudah tercoreng dan
ketidak kepeduliannya terhadap kemenakannya.
3. Diperlukan kesadaran dan keikhlasan dari anak kemenakan untuk
memberi kepercayaan lagi kepada Mamak Kepala Waris agar saling
membantu dan melindungi harta pusaka tinggi ini agar terselamatkan
sampai anak cucu kita dikemudian hari esok.
4. Diperlukan peran aktif KAN dalam mencermati dan mengambil
langkah-langkah prefentif terhadap berbagai persoalan adat dan
fenomena yang terjadi dalam masyarakat dalam reaktualisasi peran
mamak kepala waris dewasa ini agar kelestarian adat Minangkabau
termasuk di dalamnya harta pusaka tinggi yang merupakan ciri khas
keberadaan sistem matrilineal dapat terjaga dengan baik
74
DAFTAR PUSTAKA.
Buku:
Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau.
Jakarta: Rineka Cipta. 1997.
Bushar, Muhammad Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta: Pradinya
Paramita. 1985
Dt, Malaka Nan Putiah, H. Julius . Matrinial dan Kekerabatan dalam Adat
Minangkabau, Jakarta: forum Komunikasi Pemangku Adat dan Budayawan
Gebu Minang.9 oktober 2004
Edison dan Nasrun. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.
Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2010.
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar
Maju. 1992
Hamka, H. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Firman Tekad. 1963
Hasan, Firma. Suatu Pengantar Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau. Pusat
Penelitian Unand. Padang. 1987.
Ibrahin Dt. Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau (tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang). Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2009
Indo, Dt. Rajo. Seluk Beluk Hukum Adat Minangkabau. Batusangkar. 2010
Kemal, Iskandar. Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrlineal ke Bilateral di
Minangkabau, dalam Mukhtar Naim (ed) Menggali Hukum Tanah dan Hukum
Waris di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies. 1968
Kemal, Iskandar. Sekitar Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangnnya.
Padang: Percetakan Daerah. 1961
MS, Amir. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup OrangMinang. Jakarta PT.
Mustika Sumber Widya. 2003
Navis, A..A. Alam Takambang Jadi Guru : Adat Dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: Pustaka Grafitipers. 1984.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2007
75
N.M. Rangkoto, Dt. Bandaro. Hubungan Mamak dengan Kemenakan Dahulu dan
Sekarang serta Pasambahan Adat, Bukittinggi. 1984
Nurdin Yakup,Dt.B. Minangkabau Tanah Pusaka, buku kedua, Bukittinggi: Pustaka
Indonesia. 1989
Salma, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris. Alumni
Bandung. 1991
Singgih, Djaren. Pengatar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Tarsito. 1982
Soekanto, Soerojo. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali.1983
Sopyan, Yayan. Buku Ajar: Pengantar Metode Penelitian. Ciputat, FSH UIN Jakarta.
2010
Sudaryatmi, Sri, Sukirno, T.H. Sri Kartini. Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Semarang. 2000
Syarifuddin, Amir. Pelaksanaan hukum Kewarisan Islam Dalam lingkungan Adat
Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung. 1990
Thalib, Syofyan. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau,
Pusat Penelitian Unand Padang. 1987/1998
Wignyodipoera, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: CV. Haji
Masagung. 1994.
Disertasi:
Hermayulis. Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan
Kekerabatan Pada Sisitem Kekerabatan Matrilineal Minagkabau di Sumatera
Barat. Disertasi UI. Jakarta. 1999.
Wikipedia. “Tanjung Barulak, Batipuh, Tanah Datar”. Diakses pada tanggal 1 mei
2018 jam 18.00 Wib.
Tersedia:http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tanjung_Barulak,_Batipuh,_Tanah,_D
atar
Wirman, Hardi Putra. “Dinamika Perubahan Adat Salingka Nagari: Studi Analisis
tentang Pewarisan Nilai-Nilai Adat di Kenagarian Pagadih Kabupaten Agam
Sumatera Barat. Islam dan Realitas Sosial”. Artikel diakses pada 2 april 2018.
Tersedia: http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/viewFile/84/57.
WAWANCARA PRIBADI DENGAN ANGKU DT. MANGADA’I (KETUA
KERAPATAN NAGARI TANJUNG BARULAK)
Dalam Nagari Tanjung Barulak mengenal Penghulunyo ado dua puluh dan 20
Andiko
Jadi kalau mamak kepala waris salah, maka tugas penghulu atau niniak mamak
menegur dan menasehatinyo.
4. Pertanyaan: Apa sanki mamak kepala waris bila tidak lagi mementingkan
kemenakan dan mencoba mencoba menguasai harta pusaka tinggi ?
Jawaban: sanknya ada 2 yaitu:
1. Kalau melanggar berat akan mendapat sangsi secara adat, sesuai dengan
peraturan adat salingka nagari
2. Kalau melanggar ringan atau menegah atau “sumbang” selain akan
mendapatkan teguran dari penghulu, juga akan mendapatkan sangsi social
dari kemenakan. Kemenakan tidak segan lagi.
WAWANCARA PRIBADI DENGAN ANGKU DATUAK RAJO MANGKUTO
1. Pertanyan: Bagaimana ketentuan adat terhadap mamak kepala waris yang pergi
merantau dan tidak pulang ke kampuang ?
Jawaban: mamak kepala waris diganti secepatnya, sebab kalau tidak ada mamak
kepalan waris jadi siapa yang menjaga harta pusaka tinggi dan mengajarkan
kemenakan dari berbagai ilmu, mamak kepala waris sangat diperlukan
dikampuang agar bisa mengelola harta pusako tinggi juga menjaga harta agar
selalu utuh dan berkembang
2. Pertanyaan: Apa penyebab mamak kepala waris tidak menjalankan perandan
tugasnya buat kemenakan juga harta pusaka tingg ?
Jawaban: faktor yang mempengaruhi mamak ada 2 yaitu:
1. Faktor ekternal, yaitu karena perubahan zaman, seperti atas globalisati
yang merubah mundset kemenakan dan masyarakat nagari.
2. Faktor intelnal, biasanya faktor ekonomi karena disamping
bertanggungjawab kepada kemenakan juga tanggung jawab kepada anak
dan istrinya
3. Pertanyaan: Apa saja peran Mamak kepala waris dalam keluarga di Nagari
Tanjung Barulak ?
Jawaban: Pertama, Mamak berperan dalam menyelesaikan sengketa anak
kemenakannya dengan orang luar. Kedua, Mamak juga berperan dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga anak
kemenakannya. Ketiga, Mamak mengawasi harta pusaka kaumnya. Harta pusaka
kaum ini disebut dengan harta pusaka tinggi akan diwarisi secara turun temurun
kepada kemenakannya.
4. Pertanyaan: Bagaimana proses menyelesaikan sengketa pusako di adat Nagari
Tanjung Barulak ?
Jawaban: khusus untuk sengketa pusako dan sako (gelar) harus melalui campur
tangan penghulu.
WAWANCARA PRIBADI DENGAN HJ. SITI AISYAH