Anda di halaman 1dari 105

PERAN MAMAK KEPALA WARIS DALAM MENJAGA HARTA

PUSAKA TINGGI KAUM DI NAGARI TANJUNG BARULAK


KECAMATAN BATIPUH KABUPATEN TANAH DATAR

Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

Ahmad Afdhal
NIM. 11140440000089

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

1439 H/2018 M
iii
ABSTRAK

AHMAD AFDHAL. NIM 11140440000089. Peranan Mamak Kepala Waris Dalam


Menjaga Harta Pusaka Tinggi Kaum Di Nagari Tanjung Barulak Kecamatan Batipuh.
Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhshiyyah), Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M. Xi +
74 halaman 24 halaman lampiran.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui peran Mamak Kepala Waris dalam
menjaga Harta Pusaka Tinggi Kaum di Nagari Tanjung Barulak Kecamatan Batipuh
serta menjelaskan faktor penyebab terjadinya pergeseran peran Mamak Kepala Waris
dalam menjaga Harta Pusaka Tinggi kaum di Nagari Tanjung Barulak Kecamatan
Batipuh. Mamak Kepala Waris adalah pemimpin orang nan saparuik dipersukuannya.
Peranannya dalam bidang keluarga ialah menyelamatkan harta yang menjadi warisan
turun temurun yaitu harta pusaka tinggi, menjadi pemimpin bagi anak kemenakannya
serta menjadi hakim bagi kaumnya, bertanggung jawab untuk menjaga dan
mengembangkan harta pusaka sehingga dapat memelihara keutuhan, kebersamaan
dan kesejahteraan kemenakannya.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi
hukum. Kriteria yang didapatkan berupa data primer dan sekunder. Teknik
pengumpulan datanya dilakukan dengan metode observasi, wawancara, studi
dokumentasi dan studi pustaka, yang semuanya menjawab permasalahan penelitian
tentang peranan Mamak Kepala Waris dalam menjaga Harta Pusaka Tinggi kaum di
Nagari Tanjung Barulak Kecamatan Batipuh.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa peranan Mamak Kepala Waris dalam
menjaga Harta Pusaka Tinggi di Nagari Tanjung Barulak yaitu: kewenangan untuk
mengurus, mengatur, mengawasi dan bertanggung jawab atas harta pusaka tinggi
kaum. Dalam konteks ini selaku Mamak Kepala Waris yang akan mengelola atau
mengatur pengelolaan harta pusaka kaumnya, dan menjadi hakim bagi kaumnya bila
terjadi sengketa baik dalam suku maupun luar persukuan. Dalam perkembangannya
telah terjadi pergeseran terhadap peran mamak kepala waris yang disebabkan oleh
faktor antara lain: sistem kekerabatan, pusaka dan kekuasaan dirumah tangga. Akibat
hukum yang timbul ialah: perubahan sistem perkawinan dari sumando bertandang
kepada sumando menetap, pengaruh rumah inti, budaya merantau, perubahan pola
pikir dan pekerjaan dari mamak kepala waris.
Kata kunci : Peran, Mamak Kepala Waris, Nagari Tanjung Barulak
Pembimbing : Dr. Hj. Azizah , M.A
Daftar Pustaka : 1982 s.d. 2018

iv
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah Swt, Tuhan semesta alam, yang telah memberikan
limpahan rahmat dan karunianya kepada umat manusia di muka bumi ini,
khususnya kepada penulis. Shalawat beriringan salam disampaikan kepada Nabi
Muhammad Saw, keluarga serta para sahabatnya yang merupakan suri tauladan
bagi seluruh umat manusia.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis menerima bantuan dari


berbagai pihak, sehingga dapat terselesainya atas izinya-Nya. Oleh karena itu,
dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan rasa terimakasih kepada semua
pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun materil, khususnya
kepada:

1. Prof. Dr. Dede Rosada, M.A., selaku Rektor Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA. selaku Dekan Fakultas Syaariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta beserta Wakil
Dekan I, II, dan III fakultas Syariah dan Hukum
3. Dr. H. Abdul Halim, MA. selaku Ketua Progam Studi Hukum Keluarga
beserta Sekretaris Prodi Hukum Keluarga, Indra Rahmatullah, SHI.,MH yang
senantiasa memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis dalam
mengerjakan skripsi ini.
4. Dr. Hj. Azizah, M.A., Dosen pembimbing skripsi penulis, yang telah sabar
dan terus memberikan arahannya untuk membimbing penulis dalam proses
penyusunan skripsi ini.
5. Masyrofah, S, Ag., M,Si., Dosen penasehat akademik penulis, yang telah
sabar mendampingi hingga semester akhir dan telah membantu penulis dalam
merumuskan desain judul skripsi ini dan seluruh Dosen Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan

v
membimbing penulis selama masa perkuliahan, yang tidak bisa penulis sebut
semuanya satu persatu, tanpa mengurangi rasa hormat penulis.
6. Staf Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staf
Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, Staf Perpustakaan Ajungan TMII
yang telah memberikan pelayanan kepada penulis serta memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan guna menyelesaikan skripsi ini.
7. Kepada Wali Nagari Tanjung Barulak dan Kerapatan Adat Nagari (KAN)
Nagari Tanjung Barulak penulis ucapkan terima kasih telah bersedia
memberikan informasi dan data penelitian bagi penulis.
8. Para narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan data-
data terkait penelitian ini, Angku Dt. Mangada’i, Hj Siti Aisyah, Angku Dt.
Rajo Bukik, Angku Dt. Rajo Lelo , Angku Dt. Rajo Mangkuto yang telah
berkenan memberikan informasi tentang materi dalam penulisan skripsi ini
9. Terkhusus kepada kedua orang tua yang sangat penulis cintai dan sayangi.
Ayahanda tercinta M. Nur dan Ibunda tercinta Asniar (Almh) juga Kakek
Bahtiar (Almh) dan Nenek Jawanis yang selalu mendo’akan dan memberikan
semangat kepada ananda untuk menyelesaikan skripsi ini, serta telah
mengorbankan seluruh hidupnya untuk mendidik, membahagiakan dan
membesarkan penulis sampai saat ini. Tidak akan pernah mustahil penulis
mampu membayar apa yang telah diberikan selama ini. Kedua orang tua
selalu menjadi sumber inspirasi penulis dalam menjalankan kehidupan dan
menyelesaikan skripsi ini.
10. Kepada kakak dan adik tercinta Dian Hidayah, Rusda Ulfha, Fachrur Rozi,
dan Riri Chairiah yang selalu memberi semangat dan mendo’akan penulis
dalam setiap perjalanan studi penulis dan selalu menjadi saudara yang terbaik
bagi penulis.
11. Kepada Kakek Hasymi Noor, Kakek Naswir Nawawi, Nenek Sanawati
Zainul, Nenek Nuraini, abang Mukhlis Monday, abang Ikrar Saputra, abang
Muhammad Iqbal dan sanak famili lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan
satu persatu. Terima kasih tak terhingga penulis sampaikan karena sudah

vi
membantu penulis baik moril maupun materil sehingga penulis dapat
memperoleh gelar Strata Satu.
12. Teman-teman seperjuangan penulis Fajri Ilhami, M Ilham Ramadhan, Irsyad,
Ahmad Dzakiyuudin Mukhtar, Riyadh Assomady, Nida Sriwiyanty, Isti
Qomah, Muhammad Sidik, Herman Ardi, yang senantiasa meluangkan waktu
berdiskusi.
13. Teman-teman Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya
angkatan 2014, yang telah berbagi ilmu dan bertukar pikiran dengan penulis.
Semoga ilmu yang kita dapatkan menjadi ilmu yang bermanfaat.
14. Teman-teman KMM (Keluarga Mahasiswa Minangkabau) Ciputat khususnya
angkatan 2014, sertaa teman-teman KKN Elips, dan teman-teman Pondos
yang telah berbagi ilmu dan selalu ,mendoakan penulis sehingga selesainya
skripsi ini.
15. Kanda-kanda dari Ikatan Keluarga Alumni Thawalib Putra Padang Panjang
yang telah memberikan ilmu dan saling bertukar pikiran yang selalu membuat
semangat bagi penulis.
16. Terimakasih kepada abang Ferly Ovanda dana bang Alven Putra yang telah
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Semoga amal baik mereka semua dibalas berlipat ganda oleh Allah SWT.
Sungguh hanya Allah SWT yang dapat membalas kebaikan mereka dengan
kebaikan yang berlipat ganda.
Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya
khususnya untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 30 Mei 2018

Ahmad Afdhal

vii
DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ........................................................i


LEMBAR PENGESAHAN .....................................................................................ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................................iii
ABSTRAK ................................................................................................................iv
KATA PENGANTAR ..............................................................................................v
DAFTAR ISI...................... .......................................................................................viii
DAFTAR TABEL ....................................................................................................x

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................01


B. Identifikasi Masalah. ........................................................................08
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah...............................................08
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................................09
E. Studi Review ...................................................................................10
F. Kerangka Teori.................................................................................11
G. Metodologi Penelitian .....................................................................12
H. Sistematika Penulisan .....................................................................15

BAB II : GAMBARAN UMUM TENTANG MAMAK KEPALA WARIS


DAN HARTA PUSAKA TINGGI

A. Pengertian Mamak Kepala Waris ....................................................16


B. Peran Mamak Kepala Waris ............................................................21
C. Syarat Pengangkatan Mamak Kepala Waris ...................................25
D. Harta Warisan Adat .........................................................................28
E. Harta Pusaka Tinggi ........................................................................37

BAB III : KONDISI OBJEKTIF NAGARI TANJUNG BARULAK

A. Pengertian Banagari dan Sejarah Singkat Nagari Tanjung Barulak


..........................................................................................................44
B. Kondisi Geografis dan Demografis Nagari Tanjung Barulak .........50

viii
C. Hukum Adat yang Berkembang di Nagari Tanjung Barulak ..........56

BAB IV : PERGESERAN PERAN MAMAK KEPALA WARIS TERHADAP


HARTA PUSAKA TINGGI DI NAGARI TANJUNG BARULAK

A. Faktor Penyebab Pergeseran Peran Mamak Sebagai Penjaga Harta


Pusaka Tinggi ..................................................................................60
B. Akibat Yang Timbul Dari Pergeseran Peran Mamak Pada Harta
Pusaka Tinggi ..................................................................................63
C. Analisis Penulis ...............................................................................67

BAB V : PENUTUP

A. Kesimpulan .....................................................................................72
B. Saran-saran ......................................................................................73

DAFTAR PUSTAKA ...............................................................................................74

LAMPIRAN

ix
DAFTAR TABEL

Tabel I
Penghulu Nagari Tanjung Barulak .............................................................................48
Tabel II
Panungkek Nagari Tanjung Barulak ..........................................................................49
Tabel III
Jumlah Penduduk Nagari Tanjung Barulak ...............................................................51
Tabel IV
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencarian ..............................................................52
Tabel V
Jumlah Sarana dan Prasana Ibadah ............................................................................54
Tabel VI
Jumlah Wilayah Pendidikan Umum Nagari Tanjung Barulak ...................................55
Table VII
Penggolongan Penduduk Nagari Tanjung Barulak Menurut Tingkat Pendidikan .....56

x
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Di Indonesia terdapat berbagai macam suku bangsa. Setiap suku bangsa
mempunyai adat istiadat yang satu sama yang lain mempunyai corak yang
berbeda, seperti kata pepatah “lain padang lain belalang, lain lubuk lain
ikannya”. Keberagaman yang dimiliki tersebut merupakan suatu potensi yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia sebagai warisan dari leluhur yang memberikan
aturan-aturan atau norma-norma sebagai pedoman dan patokan dalam
menjalankan kehidupan sehari-hari.
Salah satu suku bangsa yang ada di Indonesia ialah Minangkabau yang
merupakan salah satu suku bangsa yang menganut sistem matrilineal. Secara
sederhana kata Matrinilinial dapat kita artikan sabagai struktur masyarakat yang
diatur menurut garis keturunan Ibu.1 Sistem kekerabatan matrilineal termasuk
dalam sistem kekerabatan yang bersifat “unilineal” atau “unilateral”, yaitu suatu
sistem yang dalam menghitung keturunan hanya mengakui satu pihak orang tua
saja sebagai penghubung keturunan. Dalam hal ini hanya memakai “ibu”.
Meskipun masyarakat Minangkabau menganut sistem kekerabatan
matrilineal, tetapi adat Minangkabau tidak mengingkari nasab dari keturunan
bapak, buktinya tidak ada orang Minangkabau yang menyambung nama
belakangnya dengan nama ibunya. Prinsip matrilineal berlaku umum dan alami.
Hal ini berarti, secara alami anak lebih dekat kepada ibunya dibanding dengan
ayah.
Masalah suku selalu dikaitkan dengan sako, bahwa orang Minangkabau itu
basuku-basako, basosok-bajurami, bapandam-pakuburan , artinya identitas suku
di tandai dengan, gelar kebesaran, memiliki wilayah, dan tanah pakuburan.
Maksudnya ialah:

1
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat
Minagkabau, (Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 2.

1
2

a. Basuku-basako,Yang mana hidupnya suku sebagai suatu organisasi


selalu memiliki suatu lambang kebesaran masing-masing salah satu
lambang itu adalah berupa gelar kebesaran yang disebut SAKO2.
b. Basosok-bajurami. Sosok artinya penduduk, maksudnya adalah
penduduk yang telah menghuni daerah tersebut secara turun-temurun,
dari generasi ke genersi. Bajurami artinya wilayah, maksunya adalah
wilayah yang bisa dikembangkan sebagai kediaman dan bisa diolah
untuk penghidupan penguninya
c. Bapandam-pakuburan. Bapandam artinya memiliki pandam, yaitu
sebuah sebinang tanah khusus yang dipergunakan untuk menguburkan
mayat dari suatu kaum. Bapakuburan, adalah memiliki kuburan atau
pusara, yaitu kuburan atau pusara. Yang mana tanah ini di sebut juga
dengan tanah pusaka tinggi kaum yang tidak bisa di jual karena
manyangkut tempat dimana dikuburknannya anggota kaum tersebut.
Masyarakat yang menganut sistem kekerabatan matrilineal seperti
Minangkabau, warisan diturunkan kepada kemenakan, baik warisan gelar maupun
warisan harta, yang biasanya disebut sako dan pusako (gelar dan harta). Sebagai
warisan, harta yang ditinggalkan pewaris tidak boleh dibagi-bagi oleh yang
berhak. Setiap harta pusaka selalu dijaga keutuhannya, demi untuk menjaga
keutuhan kaum kerabat, sebagaimana yang diajarkan falsafat alam dan hukum
adat mereka.3Petitih mengatakan bahwa sako (gelar) dan pusako (harta)
diwariskan kepada kemenakan. Dari niniak ke mamak, dari mamak ke kemenakan
(dari nenek (moyang) ke paman, dari paman ke keponakan). Pengertian dari nenek
(moyang), sudah tentu berdasarkan sistem kekerabatan matrilineal.4 Pengertian
turun dari nenek ke mamak, dari mamak ke kemenakan ialah turunnya hak
warisan dari sako dan pusako. Sako adalah warisan jabatan sedangkan pusako
merupakan warisan harta benda.5

2
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat
Minagkabau, (Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 12.
3
A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru (Jakarta: PT Pustaka Grafitipers), h, 158-159
4
Ibid, hlam 160
5
Ibid, hlm 161.
3

Sako itu sangat erat hubungannya dengan pemilikan harta pusaka tinggi dari
suatu Kaum Oleh sebab itu secara tradisional selalu dibela dan dipertahankan
sebagaimana membela atau mempertahankan harta pusaka tinggi. Oleh sebab itu
sako yang sudah menjadi milik satu jurai tidak akan dipakai jurai yang lainnya
didalam satu nagari, bahkan jurai dari lain Indu pun tidak boleh memakainya,
kalau masih berada dalam satu Nagari yang sama. Tetapi sako yang sama boleh
dipakai oleh suku yang sama di Nagari yang berjahuan.6
Berdirinya Sako karena Pusako demikian fatwa Adat yang berarti bahwa
Sako akan berdiri bila ada Pusako, dengan kata lain bahwa hubungan antara Sako
dengan Pusako erat hubungannya, sehingga pemilikan sako akan berarti juga
sebagai pemilikan atas harta pusaka kaum yang bersangkutan. Sako itu bisa di
katakan haya sekedar gelar, namun di pertanggungjawabkan dengan tugas dan
tanggung jawab dari sako tersebut
Pusako (harta waris) atau harta pusaka adalah segala kekayaan berwujud
(materiil), yang diwariskan nantiknya kepada anak kemenakan perempuan dan
tidak dapat diturunkan kepada seorang bapak kepada anaknya. Yang termasuk
pusaka di sini adalah: sawah-ladang, kolam ikan, rumah gadang, pandam
pakuburan, tanah ulayat, balai, masjid atau langgar (surau), dan peralatan atau
perlengkapan penghulu itu sendiri. Harta pusaka ini tidak boleh di jual, namun
harta ini boleh di pindah tangankan sementara dalam bentuk sewa atau di
gadaikan, kalau pun harta pusaka tinggi tersebut akan digadaikan haruslah
memenuhi beberapa persyaratan dengan syarat harta tersebut tidak dipindah
tangankan kecuali ada alasan-alasan lain seperti :
1. Untuk biaya perkawinan anak gadis (gadih gadang indak balaki).
2. Ongkos penguburan mayat (maik tabujua ditangah rumah).
3. Memperbaiki rumah adat (rumah gadang katirisan).
4. Pembayar hutang kaum (Pambangkik batang tarandam).7

6
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat Minagkabau,
(Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 12.
7
Chairul Anwar, Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau, (Rineka
Cipta Jakarta), 1997, hal. 94.
4

Harta Pusaka gelar hanya untuk laki-laki dari keturunan ibu dan pusaka
harta berupa benda juga diberikan kepada perempuan, tetapi keselamatan dan
pemeliharaannya di jaga oleh mamak kepala waris.
Mamak kepala waris adalah pemimpin informal dalam kaum yang
mangurusi dan mengatur peruntukan harta pusaka dalam suatu kaum. Biasanya
yang menjadi mamak kepala waris adalah laki-laki tertua dalam kaum tersebut,
namun faktor usia bukanlah syarat mutlak, karena di samping itu dibutuhkan
kecapakan yang mana untuk menjadi mamak kepala waris ditentukan oleh dua
factor, yaitu factor hukum waris dan factor kecerdasan. Mamak kepala waris
diangkat berdasarkan kesepakatan anggota kaumnya, baik secara tegas maupun
secara diam-diam.8
Mamak kepala waris mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap
kaumnya, baik memelihara harta pusaka untuk masing-masing anggota kaum juga
mempertahankannya dari saling sengketa dengan pihak luar yang mengusiknya.
Harta pusaka tersebut diatur penggunaannya oleh mamak kepala kaum ( Angku
Datuak ), namun pada sebahagian temuan, harta pusaka tersebut dikuasai oleh
pihak lain di luar anggota kaum seperti suami atau istrinya.
Mamak kepala waris juga berperan sebagai hakim apabila terjadinya
sengketa di antara anggota kaumnya, termasuk persengketaan di bidang kewarisan
dan harta pusaka. Penyelesaian sengketa dilakukan oleh mamak kepala waris
melalui kerapatan kaum, yang dihadiri oleh mamak kepala kaum (Angku Datuak).
Segala sengketa yang timbul diusahakan penyelesaiannya secara musyawarah
mufakat.
Pengawasan penggunaan harta itu berada ditangan mamak kepala waris, bila
mamak kepala wariss sudah tiada maka beralih kepada kemenakan yang laki-laki,
bila kemenakan laki-laki belum cukup umur (dewasa) maka ada beberapa
kemungkinan untuk menjalankan fungsi dari mamak kepala waris, yang pertama
para ahli waris perempuan secara bersama-sama bertindak menjadi mamak kepala
waris, kalau dalam kaum tersebut tidak ada anggota kaum yang dewasa maka

8
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Multimedia), h, 307.
5

penghulu kaum harus bertindak untuk kepentingan kaum tersebut. Kemungkinana


terakhir jika hal tersebut tidak ditemui maka kaum tersebut dapat bersandar pada
penghulu suku terdekat, yang merupakan sepih belahannya.9
Ciri khas dari dari harta pusako tinggi ini adalah harta tersebut bukan milik
perorangan dan bukan milik siapa-siapa secara pasti, yang memiliki harta itu ialah
nenek moyang yang mula-mula memperoleh harta itu secara batambang basi,
tanah yang batambilang basi10 (cancan latiah tambang taruko) ialah yang
dinamakan pusako tinggi, harta pusaka disebut juga harto manah (harta amanah).
Tanah-tanah tersebut akan menjadi tanah kaum atau tanah suku, dan tidak boleh
menjadi pusaka kaum lain, melaikan jadi pusaka turun-temurun kepada
kemenakan, cucu-piut dalam buah paruik itu.11 Harta itu ditujukan untuk dana
bersama bagi anak cucunya dalam bentuk yang tidak terbagi-bagi. Setiap anggota
dalam kaum dapat memanfaatkannya tetapi tidak dapat memilikinya.
Dalam dinamikanya masyarakat hukum adat tidak dapat terlepaskan dari
berbagai perubahan yang terjadi, baik yang berasal dari internal maupun eksternal
masyarakat adat itu sendiri. Menurut Syofyan Thalib dalam masyarakat
Minangkabau telah terjadi perubahan-perubahan yang menyangkut dengan ciri
masyarakat Minangkabau itu sendiri.12
Masyarakat Minangkabau dewasa ini dihadapkan pada suatu realitas bahwa
harta pusaka tinggi kaumnya tersebut telah ada yang tergadai bahkan terjual atau
telah berpindah tangan atau tidak lagi dalam keadaan utuh. Suatu keadaan yang
bertolak belakang dengan prinsip penguasaan harta pusaka tinggi di Minangkabau
yang telah memberikan batasan yang jelas bahwa harta pusaka tinggi tidak dapat
dialihkan dan bersifat tetap sebagai milik suatu kaum, dalam pepatah adat
disebutkan “Kabau Tagak Kubangan Tingga”.

9
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Multimedia), h, 308.
10
Tambilang ialah alat untuk menggali tanah, tambilang basi artinya harta yang diperoleh
dari usaha sendiri, umpamanya dengan cara manaruko sawah atau membuka hutan untuk
perladangan cancang latiah (cencang letih) yang artinya dengan tenaga sendiri.
11
Dt.B.Nurdin Yakup, Minangkabau tanah pusaka, (Bukittinggi: Pustaka Indonesia), h,
33.
12
Syofyan Thalib, Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau,
(Pusat Penelitian Unand Padang), hal. 17.
6

Untuk proses gadai menggadai ini maka haruslah ada izin dari mamak kaum
(mamak kepala waris) dan mamak kepala kaum (Angku Datuak). Namun dewasa
ini, keempat alasan menggadai atau menjual di atas mulai bertambah karena
makin berkembangnya zaman dan semakin beragamnya akan kebutuhan yang
harus dipebuhi, saat ini gadai dapat dilakukan dengan alasan sebangai berikut :
a. Pembayar hutang kehormatan.
b. Pembayar ongkos irigasi persawahan kaum.
c. Pembayar iyuran yang dibebankan kepada kaum oleh nigari.
d. Pembayaran hutang darah.
e. Penutupan kerugian yang disebabkan oleh kecelakaan.
f. Untuk membayar hutang yang dibuat bersama ( kaum ).
g. Untuk ongkos ( tambahan ) naik haji.
h. Untuk tambahan biaya pendidikan anggota kaum.
i. Biaya pernikahan kemenakan.13
Fenomena ini merupakan salah satu indikasi terjadinya perubahan-
perubahan dalam dinamika kehidupan masyarakat adat Minangkabau diantaranya
fungsi dan peranan mamak kepala waris terhadap harta pusaka tinggi yang pada
saat sekarang ini telah mengalami pula pergeseran pergeseran.14
Sekarang ini, karena aturan tidak berjalan sebagaimana mestinya bayak
sudah harta pusaka tinggi yang menjual dan digadaikan, sehingga bayak kaum di
Nagari Tanjung Barulak sudah tidak memiliki harta kebesaran dalam kaum karena
terjadilah bayak kebutuhan-kebutuhan kaum atau suku yang mana tidak bisa lagi
dibayar dengan uang atau emas. Namun, dari sekian bayak harta yang sudah
saling digadaikan ke kaum lain, bayak juga Harta Pusako Tinggi yang tidak
terurus dari Mamak Kepala Waris kaum tersebut. Penyebabnya karena Mamak
Kepala Waris sudah bayak yang menjadi PNS dan pergi merantau, sehingga harta
Pusako kaum tidak terurus lagi bahkan diserahkan pengelolahannya kepada sanak
kaum dan ada juga ke kaum lainnya.

13
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Multimedia), h, 314
14
Firman Hasan, Suatu Pengantar Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau, (Pusat
Penelitian Unand Padang), hal. 9.
7

Secara umum peranan seorang Mamak Kepala Waris dalam suatu suku atau
nagari di Nagari Tanjung Barulak adalah sama dengan suku-suku atau nagari-
nagari lainnya di Minangkabau. Khususnya dalam bidang keluarga peranan
Mamak Mamak Kepala Waris itu diantaranya ialah: menyelesaikan permasalahan
yang terjadi dalam rumah tangga kemenakannya, menyelesaikan persengketaan
kemenakannya dengan orang lain, menjaga dan mengembangkan harta pusaka
kaumnya, serta berperan penting dalam kematian anggota kaumnya
Peranan mamak kepala waris sangat berpengaruh terhadap menjaga harta
pusaka tinggi kaum yang mana mengigat kelangsungan hidup kaumnya, namun
bayak juga mamak kepala waris yang tidak acuh akan peran dan tanggung
jawabnya dalam penjagaan harta pusaka, bahkan ada juga yang membuat malu
kaumnya sehingga digantikan dengan mamak kepala waris yang baru. Hal ini
dalam jangka panjang akan sangat mempengaruhi kelangsungan suatu kaum dan
eksistensi dari masyarakat hukum adat Minangkabau secara umum, mengingat
pentingnya tanggung jawab mamak kepala waris yang sangat besar, terutama
berhubungan dengan harta pusaka tinggi kaum.
Untuk menjaga kelangsungan generasi dan selanjutnya di minangkabau
keberada sako dan pusako harus di pelihara dari generasi ke generasi, namun dari
apa yang terjadi khususnya di Nagari Tanjung Barulak, bahwasannya dari
identitas suku ini dalam hal ini sako sudah tidak terjaga sebagaimana mestinya.
Karena itu penulis ingin menulis lebih jahuh mengenai harta pusaka tinggi dalam
pengawasan mamak kepala waris, penulis tertarik mengkaji ”Peran Mamak
Kepala Waris dalam Menjaga Harta Pusako Tinggi Kaum di Nagari
Tanjung Barulak Kecamatan Batipuh”
B. Identifikasi Masalah.
Identifikasi masalah merupakan beberapa permasalahan yang berkaitan
dengan tema yang sedang dibahas. Ragam masalah yang akan muncul dalam latar
belakang diatas, akan penulis paparkan beberapa diantaranya, yaitu:
1. Kedudukan Mamak Kepala Waris di Nagari Tanjung Barulak.
2. Tanggung jawab Mamak Kepala Waris terhadap keluarga kaumnya di
Nagari Tanjung Barulak.
8

3. Peran Mamak Kepala Waris dalam menjaga dan menyelamatkan harta


Pusaka Tinggi kaum di Nagari Tanjung Barulak.
4. Fungsi harta Pusaka Tinggi bagi kaum juga adat di Nagari Tanjung
Barulak
5. Faktor yang menyebabkan ketidak fungsian peranan mamak kepala
waris di Nagari Tanjung Barulak.
6. Cara mempertahankan peranan Mamak Kepala Waris pada
masyarakat Nagari Tanjung Barulak.
C. Pembatasan dan Perumusan Masalah.
Untuk menghindari melebarnya pembahasan, penulis merasa perlu untuk
memberikan batasan dan perumusan masalah terhadap objek yang dikaji. Batasan
masalah dalam kajian ilmiah ini mengenai peran mamak dalam hukum waris adat
Minangkabau dan tugas-tugas mamak kepala waris dalam menjaga harta pusako
tinggi yang ada di Nagari Tanjung Barulak kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah
Datar.
Adapun perumusan masalahnya adalah:
1. Bagaimana Peran Mamak Kepala Waris di Nagari Tanjung Barulak
dalam menjaga harta Pusaka Tinggi.
2. Apa faktor yang mempengaruhi Pergeseran peran Mamak Kepala Waris
pada kaum di Nagari Tanjung Barulak ?

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Adapun tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melakukan penelitian
ini adalah:
1. Untuk mengetahui peranan mamak kepala waris dalam menjaga harta
pusaka tinggi didalam kaum dan mengetahui sejahuh mana Peran
mamak kepala waris dalam memelihara dan menjaga keutuhan harta
pusaka tinggi di Nagari Tanjung Barulak Kecamatan Batipuh
Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat, dewasa ini.
2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya
pergeseran peranan mamak kepala waris dalam memelihara dan
9

menjaga keutuhan harta pusaka tinggi di N1agari Tanjung Barulak


Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat.
Dari penelitian ini penulis mengharapkan adanya berbagai menfaat sebagai
berikut:
1. Penelitian ini diharapkan memberikan kejelasan tentang peran Mamak
kepala waris dalam menjaga Harta Pusako Tinggi.
2. Untuk menjelaskan kepada masyarakat tentang bentuk pergeseran
peran Mamak Kepala Waris terhadap keluarga kaumnya di Nagari
Tanjung Barulak.
3. Untuk menjelaskan faktor dan akibat dari pergeseran peran mamak
kepala waris dalam menjaga harta pusaka tinggi di Nagari Tanjung
Barulak.
4. Untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang adat
Minangkabau khususnya tentang Peran Mamak Kepala Waris dalam
menjaga Harta Pusako Tinggi di Nagari Tanjung Barulak.
5. Adapun manfaat untuk sebuah institusi yaitu memperkaya pustaka
Fakultas Syariah dan Hukum dengan pembahasan tentang peranan
Mamak kepala waris dalam keluarga pada masysarakat Minangkabau
di Nagari Tanjung Barulak.

E. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu.


Dari beberapa literatur skripsi yang berada di perpustakaan fakultas syariah
dan hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta penulis mengambilnya untuk
dijadikan sebuah perbandingan dengan skripsi yang akan ditulis di antaranya :
1. Pergeseran Tanggung Jawab Mamak Kepala Waris Terhadap Anak
Kemenakan Pada Masyarakat Pariaman Perantauan Menurut Hukum
Adat Minangkabau Kota Jambi oleh Edwar, Program Pasca Sarjana,
Universitas Diponegoro Semarang, 2003. Tesis ini mengkaji tentang
pergeseran tanggung jawab Mamak Kepala Waris kepada anak
kemenakan pada masyarakat pariaman diperantauan. Adapun bedanya
penulis tidak membahas tentang pergeseran tanggung jawab mamak
10

kepala waris terhadap anak kemenakan. Namun membahas peran


mamak kepala waris dalam menjaga harta pusako tinggi kaum.
2. Eksitensi Ninik Mamak (Datuk/Penghulu) Dalam Mensejahterakan
Masyarakat Desa Tabing Kecamatan Koto Kampar Hulu Kabupaten
Kampar oleh Marlis, Program Dakwah dan Ilmu Komunikasi,
Universitas UIN Sultan Syarif Kasim Riau, 2013. Skripsi ini mengkaji
tentang eksitensi peran ninik mamak dalam mensejakterakan
masyarakat di Desa Tabing. Adapun bedanya penulis tidak membahas
eksitensi ninik mamak dalam mensejahterakan masyarakat. Namun
membahas peran mamak kepala waris dalam menjaga harta pusako
tinggi.
3. Pergeseran Hukum Waris Adat Minangkabau (Jual Beli Harta Pusako
Tinggi di Kecamatan Banuhampu Kabupaten Agam Sumatera Barat)
oleh Muhammad Hafizz .2013. Skripsi ini membahas tentang
penyebab bergesernya hukum waris adat Minangkabau oleh ninik
mamak di Wilayah Banuhampu Kabupaten Agam. Adapun bedanya
penulis tidak membahas pergeseran Hukum Waris Adat Minangkabau.
Namun membahas peran mamak kepala waris dalam menjaga harta
pusako tinggi.

F. Kerangka Teori.
Sumatra Barat ialah satu-satunya wilayah Indonesia yang masyarakatnya
menganut system kekerebatan Matrilinial. Matrilineal dapat kita artikan sebagai
struktur masyarakat yang diatur menurut garis keturunan ibu yang dipakai oleh
suku bangsa Minangkabau. Didalam system kekerabatan matrilineal terdapat tiga
unsur yang paling dominan, yaitu: pertama: garis keturunan “menurut garis
ibu”,kedua: perkawinan harus dengan kelompok lain “suku lain”, ketiga: ibu
memengang peran sentral dalam pendidikan, pengamanan kekayaan, dan
kesejahteraan keluarga. Semuanya terikat pada darah (keturunan), adat, dan tanah
(sako dan pusako)
11

Salah satu unsur kekerabatan matrilineal ialah hukum waris. Warisan adat
Minangkabau tidak dapat diberikan kepada seorang bapak kepada anaknya,
hukum waris Minangkabau ada harta pusako, harta pusako terbagi dua: pertama,
harta pusako tinggi, ialah segala harta pusaka yang diwariskan secara turun-
temurun, “dari niniek ke gaek, dari gaek turun ke mande, dari mande ke nan
puan” (dari ninik (moyang) ke nenek, dari nenek ke ibu, dari ibu kepada yang
perempuan).15 Dalam harta pusaka tinggi diwariskan kepada perempuan atau
bundo kanduang sebagai limpapeh rumah nan gadang, kaum wanita mempunai
hak waris atas harta pusako tinggi, namun hak ini bukanlah hak milik, tetapi hak
pakai secara bersama dan bergilir diantara semua warga kaumnya. Kedua, harta
pusako randah, ialah segala harta hasil pencarian dari bapak dan ibu (orang tua)
selama ikatan perkawinan, ditambah dengan pemberian mamak (paman) dan
tungganai (mamak kepala waris) dari hasil pencarian mereka sendiri.
Kemudian dalam menjaga keutuhan harta pusako tinggi ini ada peran
mamak kepala warisn. Mamak kepala waris ini ialah mamak nan saparuik, mamak
kepala waris disebut juga dengan tungganai, kewajibannya ialah menyelamatkan
harta yang menjadi warisan turun temurun, mamak kepala waris bertanggung
jawab untuk mengembangkan warisan itu sehingga dapat memelihara keutuhan,
kebersamaan dan kesejahteraan kemenakan.
Peranan mamak kepala waris juga dalam hal penentuan besarnya bagian
yang akan diolah oleh seorang anggota kaum, yang akan dijadikan sebagai
ganggam bauntuak oleh anggota kaumnya yang seperinbuan (seibu atau
separuik). Penentuan bagian yang dapat disusahakan atau diolah oleh masing-
masing anggota kaum biasnya dilakukan pada saat anggota kaum tersebut
menikah. Setelah melangsungkan pernikahan, mamak kepala waris menunjukkan
bagian dari harta pusaka yang akan dijadikan oleh kemenakannya itu untuk
menunjang kehidupan keluarganya.
Pada dasarnya, harta pusaka yang dikuasai oleh mamak kepala waris
tersebut tidak dapat dipindah tangankan, baik digadaikan apalagi dijual,

15
Amir M.S, Adat Minangkabau ”Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup Orang
Minang”, (Jakarta pusat:PT. Mutiara Sumber Widya), h, 94.
12

sebagaimana pepatah adat: dijual tidak makan beli, digadai tidak makan sando
(agunan).
G. Metode Penelitian.
Metode penelitian merupakan suatu sarana pokok dalam pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni.16 Untuk itu maka penulis dalam hal ini
menggunakan metodologi penelitian sebagai berikut:
1. Pendekatan Penelitian.
Pendekatan yang penyusun gunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan etnografi. Kajian etnografi memfokuskan telaah fenomena
budaya dan mempunyai karakteristik ataupun ciri yang berbeda
berdasarkan paradigma, pendekatan, dan model-model yang khas.
2. Jenis dan Metode Penelitian
Jenis penelitian yang dipakai dalam penyusunan skripsi ini adalah
penelitian kualitatif lebih khususnya dengan menggunakan penelitian
lapangan (field research). Penelitian lapangan ini adalah penelitian yang
sumber datanya terutama diambil dari objek penelitian (masyarakat atau
komunitas sosial) secara langsung di daerah penelitian.17 Penentuan
informan bukan berdasarkan banyaknya informan di lapangan.
Penelitian ini harus menggambarkan sebuah fakta berdasarkan
penglihatan secara langsung yang bersumber dari subjek. Di samping itu
peneliti juga menggunakan instrument penelitian kepustakaan, yaitu
penelitian dengan menelaah buku-buku ilmiah, meneliti buku-buku para
tokoh adat dan faktor penunjang yang melandasi dasar-dasar teoritis.
3. Sumber Penelitian.
Adapun sumber penelitian antara laian:
a. Data Primer.
Merupakan data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat. Data
ini meliputi wawancara (interview) dengan pemuka adat, tokoh agama,

16
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), Cet. Ke-3, h.
17.
17
Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, Buku Ajar, 2010), h.
32.
13

dan beberapa tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui peran


mamak kepala waris dalam menajaga harta pusako tinggi hukum waris
adat Minangkabau, dan para sumber yang dirasa kompeten dan ahli
dalam permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini.
b. Data Sekunder.
Merupakan data yang diperoleh dengan jalan mengadakan study atas
dokumen-dokumen, buku-buku, jurnal, artikel dan sebangainya yang
berhubunga dengan permasalahan yang diajukan yang memberikan
pernjelasan tentang bahan primer.
4. Teknik Pengumpulan Data.
Adapun untuk memperoleh data-data yang relevan dalam penelitian ini, ada
beberapa teknik yang dilakukan, antara lain:
a. Data Primer
Merupakan data yang diperoleh dari:
1. Penelitian Lapangan, yakni penulisan terjun langsung ke lapangan guna
mendapatkan data sebagai berikut:
a. Observasi atau pengamatan, yakni pengumpulan data melalui
pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala
yang tampak pada obyek penelitian18. Di sini pengamatan
dilakukan terhadap tradisi peran mamak dalam menjaga harta
pusako tinggi.
b. Interview, yakni metode pengumpulan data atau informasi
dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk
dijawab secara lisan pula.19 Dalam interview ini akan
melibatkan Angku atau Datuk sebagai ketua Adat persukuan,
tokoh Adat dan masyarakat setempat sebagai
informan/responden yang kiranya dapat memberikan data yang
peneliti butuhkan.

18
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, (Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 2007), Cet. Ke-XII, h. 106.
19
Ibid, hlam. 118.
14

c. Penelitian Kepustakaan, yakni penulis mengambil sumber data


dari tulisan-tulisan (sumber bacaan) yang telah diterbitkan,
seperti dari buku, hasil penelitian, jurnal, buletin, review,
majalah, surat kabar, dan bahan-bahan dokumentasi resmi.20
b. Data Sekunder
Data yang diperoleh dari beberapa data secara langsung oleh peneliti dari
objeknya, akan tetapi melalui sumber lainnya, baik secara tertulis maupun lisan.
Yaitu dengan studi kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan
dengan masalah yang diajukan yang memberikan penjelasan tentang bahan dan
data primer. Dokumen-dokumen ini adalah buku-buku yang berhubungan dengan
adat Minangkabau, serta sumber lainnya yang mendukung dalam penulisan ini
1. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Nagari Tanjung Barulak
Kecamatan Batipuh Kabupaten Tanah Datar Propinsi Sumatera Barat.
2. Teknik Analisis Data
Penelitian ini dianalisis secara kualitatif dengan memakai analisis domain
berdasarkan data yag diperoleh dari lapangan. Kemudian data yang terkumpul
dianalisis dan diinterpretasikan dalam interpretasi data.
H. Sistematika Penulisan
Agar dalam penulisaan skripsi ini menjadi terarah dan tidak mengambang,
penulis membuat sistematika penulisan yang disusun per bab. Dalam sripsi ini
terdiri dari lima bab. Adapun sistematika penulisan tersebut ialah sebagai berikut:
Bab satu: Pada bab ini menjelaskan tentang pendahuluan yang meliputi latar
belakang masalah, identifiksasi masalah, batasan dan rumusan masalah,
tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan (review) kajian terdahulu dan
metode penelitian.
Bab dua: Pada bab ini akan dibahas gambaran umum tentang mamak kepala
waris dan harta pusaka tinggi, yang akan dibahas meliputi pengertian, peran,

20
Yayan Sopyan, Buku Ajar Pengantar Metode Penelitian, (Ciputat, Buku Ajar, 2010), h.
32.
15

syarat dari peran mamak kepala waris dan harta-harta adat serta harta
pusaka tinggi
Bab tiga: Memuat tentang gambaran umum lokasi penelitian, yang meliputi,
setting social berkaitan dengan letak geografis, keadaan alam, keadaan
penduduk, potensi ekonomi, pendidikan, karakteristik informan/penelitian,
dan lokasi penelitian.
Bab empat: dalam bab ini akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan
pembahasan yang berisikan pergeseran peran mamak kepala waris terhadap
harta pusaka tinggi, yang mana akan dibahas faktor penyebab pergeseran
peran mamak kepala waris serta akibat yang timbul dari pergeseran peran
mamak kepala waris dalam menjaga harta pusaka tinggi dan analisis penulis
Bab lima: Merupakan bab penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
DAFTAR PUSTAKA.
LAMPIRAN-LAMPIRAN
BAB II

GAMBARAN UMUM TENTANG MAMAK KEPALA WARIS DAN


HARTA PUSAKA TINGGI

A. Pengertian Mamak Kepala Waris.

Seperti telah kita ketahui bahwa dalam masyarakat hukum adat


Minangkabau berlaku sistem Matrilineal atau sistem masyarakat keibuan, yang
artinya setiap anggota masyarakat Minangkabau menarik garis keturunan melalui
garis ibunya bukan dari ayahnya. Sistem Matrilineal ini juga mempengaruhi
sistem perkawinan yang berlaku bagi masyarakat Minangkabau. Dengan sistem
perkawinan eksogami, maka kedua belah pihak atau salah satu pihak yang
melangsungkan perkawinan tersebut tidak lebur dalam kaum kerabatnya, sebab
keluarga mereka masing-masing masih merupakan anggota dari peruiknya.1 Si
suami masih menjadi anggota paruik atau kaumnya dan si istri juga masih
menjadi anggota paruik atau kaumnya, sedangkan anak-anak baik perempuan
maupun laki-laki akan menarik garis keturunan melalui ibunya dan keluarga
ibunya serta berhak mewaris harta dari ibunya dan keluarga ibunya.

Mewarisi disini dengan arti menggantikan dan meneruskan segala hak dan
kepunyaan yang diperoleh, dikembangkan dan ditinggalkan oleh seseorang yang
terdahulu yang mewarisi harta ini. Waris, ialah keturunan orang yang patut
menerima warisan. Keturunan ini asli yaitu keturunan garis ibu. Menurut hukum
adat asli yang dapat dianggap melaksanakan adalah lelaki yang tertua, yang
biasanya menjadi Mamak Kepala Waris dalam peruik, saudara laki-laki yang
tertua dari ibu.2

Mamak adalah sebutan saudara laki-laki dari ibu yang akan berfungsi
sebagai orang yang bertanggung jawab terhadap keberadaan keluarga matrilineal
dan menjaga serta menambah harta pusaka. Apabila ibu mempunyai saudara laki-

1
A.A. Navis, Alam Terkembang Jadi Guru .Jakarta: PT Pustaka Grafitipers, h, 193
2
Iskandar Kemal, Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisara Matrlineal ke Bilateral di
Minangkabau, dalam Mukhtar Naim (ed) Menggali Hukum Tanah dan Hukum Waris di
Minangkabau. Center for Minangkabau Studies, Padang, 1968, hal. 154.

18
19

laki lebih dari satu orang, maka yang akan bertanggung jawab adalah yang tertua
dibantu oleh yang lebih muda. Apabila ibu tidak mempunyai saudara laki-laki
namun mempunyai anak laki-laki, maka yang akan berfungsi sebagai mamak
adalah anak laki-laki tersebut.3

Bagi seorang anggota masyarakat Minangkabau, saudara laki-laki ibunya


adalah mamaknya dan dia adalah kemenakan saudara laki-laki ibunya. Bagi
seorang laki-laki, anak saudara perempuannya merupakan kemenakannya dan dia
adalah mamak anak saudara perempuannya.

Mamak adalah seorang laki-laki tertua atau dituakan dalam sistem


matrilinial, berkewajiban memimpin dan membina semua kemenakan secara satu
kesatuan baik laki-laki maupun perempuan. Tampa mengesampingkan tugas dan
tanggung jawab seorang ayah atau bapak.4 Mamak juga memimpin dan
mengajarkan kemenakannya baik laki-laki maupun perempuan di pihak ibu dalam
lingkungan sosial yang terkecil, kaum, kampung dan sampai lingkungan yang
lebih besar seperti nagari.

Menurut adat Minangkabau, bagi seorang mamak yang paling dekat


kepadanya ialah kemenakannya, yang menurut Hukum Adat harus mewaris gelar,
martabat, kekayaan dan apa saja yang dipunyai mamaknya. Sebaliknya, anaknya
sendiri menurut adat bukan seorang anaknya, yang sesuku dengan dia, dan karena
itu menurut hukum adat tidak pusaka mempusakai.

Anak-anak dari saudara perempuannya dididik dan diasuh oleh mamaknya,


sehingga apabila anak-anak itu telah besar, mereka juga akan membalas guna
kepada mamaknya atas apa yang telah diberikan mamaknya. Hal ini menimbulkan
kewajiban-kewajiban timbal balik antara mamak dengan kemenakan, sehingga
akhirnya menimbulkan suatu tertib aturan bermamak berkemenakan. Tertib

3
Sri Sudaryatmi, Sukirno, T.H. Sri Kartini, Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang, Semarang, 2000, hal. 14.
4
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat Minagkabau,
Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang, h, 7
20

bermamak berkemenakan ini hanya merupakan konsekuensi saja dari tata susunan
masyarakat Minangkabau yang menganut sistem Matrilineal.

Adat Minangkabau mengajarkan, bahwa yang dimaksud kemenakan ialah


anak laki-laki atau perempuan dari pihak ibu yang dipertanggung jawabkan oleh
mamaknya.5 Yang mana maksunya dalam hal ini adalah anak-anak dari semua
saudara perempuan dalam kaumnya, tidak hanya anak-anak dari saudara kandung
yang seibu saja tetapi semua saudara yang satu kaum atau satu suku, oleh sebab
itu jumlah kemenakan itu relative banyak. Seorang mamak membimbing
kemenakan, bukan memangku yang dipangku hanyalah anak.

Dalam memenuhi kewajiban untuk memenuhi kedua fungsinya itu seorang


mamak di Minangkabau mempunyai tugas pokok yang fatwa adat disebut anak
dipangku kemenakan dibimbiang, urang kampuang dipatenggangkan. Arti dari
fatwa atau pepatah adat itu ialah kemenakan dibimbing dalam arti para
kemenakan itu berjalan diatas kakinya sendiri, jadi bimbingan seorang mamak itu
tidak seberat pangkuan seorang bapak terhadap anaknya, apalagi kalau jumlah
kemenakan begitu bayak.

Tugas seorang mamak membimbing kemenakan itusampai tua, biasanya


dikatakan bahwa membimbing kemenakan itu sampai keliang kubur, sedangkan
memangku atau mengendong anak itu hanya sampai sianak bisa berjalan sendiri.
Kapan si anak dikatakan sudah bisa berjalan sendiri, kalau dia sudah mampu
berumah tangga, atau kalau dia sudah memcapai pendidikan tingkat sarjana zaman
sekarang.6

Kemenakan itu terdiri dari 4 (empat) macam, yaitu:

a. Kemenakan bertali darah, yaitu kemenakan kandung yaitu anak-anak


dari saudara-saudara perempuan mamak.

5
N.M. Rangkoto, Dt. Bandaro, Hubungan Mamak dengan Kemenakan Dahulu dan
Sekarang serta Pasambahan Adat, Bukittinggi, 1984, hal. 7.
6
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat Minagkabau,
(Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 8
21

b. Kemenakan bertali sutera, yaitu kemenakan jurai yang lain tapi masih
berhubungan darah dengan jurai mamak.
c. Kemenakan bertali emas, yaitu kemenakan di bawah lutut, orang yang
bekerja pada kita dengan diberi mas (uang) dan dengan persetujuannya
dijadikan kemenakan.
d. Kemenakan bertali budi, yaitu orang-orang yang hidup, mencengkam
terbang menumpu terjadi dari orang-orang yang pindah dari tempat
asalnya ke tempat baru dan di tempat yang baru mencari mamak baru.7

Seorang mamak dapat dibedakan menurut keturunan dan fungsinya, sebagai


berikut:

a. Apabila dia merupakan saudara kandung dari ibu, dinamakan Mamak


kandung.
b. Apabila dia menjadi tungganai dari sebuah rumah, dia dinamakan
mamak rumah atau tungganai rumah
c. Apabila dia merupakan laki-laki tertua dari kelompok keluarga di pihak
ibu, meskipun rumah mereka telah terdiri 2 (dua), atau 3 (tiga) buah
rumah, maka dia dinamakan mamak kepala waris.8

Peran mamak kanduang ialah sama halnya yang disebutkan diatas namun
mamak tungganai dan mamak kepala Waris lebih bayak atau lebih luas tugasnya
dari mamak kanduang. Mamak tunggani atau biasa disebut mamak rumah, yaitu
seorang laki-laki tertua dalam satu jurai atau yang dituakan dengan pangkat atau
gelar Datuak Tungganai. Mamak tunggai terikat secara struktur pada ibunya,
saudara ibunya, saudarannya laki-laki dan perempuan, bahkan dia terikat dengan
semua warga yang satu niniak. Tetapi diluar sukunya dia seorang laki-laki hanya
terikat pada istri dan anak-anaknya.9

7
Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Rineka
Cipta Jakarta, 1997, hal. 87
8
N.M. Rangkoto, Dt. Bandaro, Hubungan Mamak dengan Kemenakan Dahulu dan
Sekarang serta Pasambahan Adat, Bukittinggi, 1984, hal. 6
9
H.Julius Dt. Malako Nan Putiah, Matrilineal dan Kekerabatan Dalam Adat Minagkabau,
(Jakarta:forum komunikasi pemangku adat dan budaya Gebu Minang), h, 4
22

Mamak tungganai inilah bertugas yang bertanggung jawab atas perbaikan,


pemeliharaan dan keamanan rumah gadang serta laki-laki keturunan berikutnya.
Karena perkembangan selanjutnya kaum laki-laki semakin lama semangkin besar
karena telah begitu besarnya bagi suatu kaum maka kaum tadi pecah dan
terjadilah kaum yang baru, tiap-tiap kaum itu dikepalai oleh mamak kepala waris.

Secara singkat dapat dikatakan mamak kepala waris adalah laki-laki tertua
dalam satu kaum, dia bertanggung jawab mempertahankan keutuhan kaumnya
keluar dan kedalam dan juga bertanggung jawab dalam mengawasi dan menjaga
harta pusaka kaumnya baik keluar atau kedalam kaumnya. Namun dalam berbuat
dan beritikad terutama menyangkut harta pusaka kaum mamak kepala waris harus
meminta persetujuan terlebih dahulu dari seluruh anggota kaum, harus bermufakat
lebih dahulu dengan anggota kaum baik laki-laki atau yang perempuan, sekalipun
dalam kehidupan berkaum itu kekuasaan mamak kepala waris lebih tinggi dari
anggota kaumnya, namun itu berasal dan datang dari anggota kaum tadi.

Berbicara menganai pengakuan terhadap tanah, maka kita tidak lepas dari
subjek dan objek yang harus diakui dan ada pihak yang mengakui. Subjek yang
harus diakui sudah tentu adalah pihak-pihak yang menjadi pendukung hak dan
kewajiban atas tanah ulayat, sedangkan objeknya sendiri adalah tanah ulayat.
Pihak yang akan mengakui dapat dilihat dari dua sisi yanitu pemerintah dan
masyarakat. Pemerintan dalam mengakui keberadaan subjek dan objek tidak lepas
dari khasanah peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif),
sedangkan masyarakat mengakui subjek dan objek hak juga tidak lepas dari
hukum yang hidup berkembang dan dipahami serta diakaui oleh masyarakat itu
sendiri, dimana hukum adat senantiasa tumbuh dari sesuatu kebutuhan hidup yang
nyata, cara hidup dan pandangan hidup.10

Dilihat dari faktor geneologis penguasaan dan pemilikan tanah di


Minangkabau dapat digolongkan atas dua yaitu: pertama tanah berstatus pusaka
tinggi, kedua tanah berstatus pusaka rendah. Tanah pusaka tinggi ini tidak boleh

10
Muhammad Bushar, Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Pradinya Paramita.
Jakarta.1985. hal, 42
23

dipindah tangankan dari satu suku ke suku lain dan yang berhak mewarisi tidak
pernah terputus dan selalu dilakukan secara turun temurun dari mamak kepada
kemenakan, harta pusaka tinggi ini merupakan hak bersama seluruh anggota
kaum, masing-masing anggota kaum tidak dapat memilikinya secara hak
pribadi.11

Tanah pusaka ini diawasi oleh mamak kepala waris dan dipelihara oleh
penghulu. Harta pusaka rendah adalah harta yang dipusakai seseorang atau
kelompok yang dapat diketahui secara pasti asal usulnya harta itu. Ini dapat terjadi
bila harta itu diterimanya dari satu angkatan diatasnya seperti ayah atau
mamaknya, begitu pula dua tingkat diatasnya yang masih dapat dikenalnya seperti
ninik atau mamak, harta itu didapatkan melalui usaha sendiri (cancan latiah dan
taruko).12

Mamak kepala waris dalam kaum adalah sebagai pemimpin kaum yang
bertanggung jawab atas keselamatan dan kesejahteraan anggota kaum, dan
sebagai hakim penyelesaian pertikaian baik pribadi ataupun masalah harta dalam
kaum serta sebagai pengelola harta pusaka tinggi tersebut.

B. Peran Mamak Kepala Waris.

Seperti yang diketahui bahwa dalam suatu nagari di Minangkabau terdiri


dari atau didiami oleh beberapa suku, dan suku terdiri dari kaum, lalu kaum terdiri
pula dari beberapa paruik, tiap-tiap kelompok itu mempunyai pemuka atau
pemimpin yang mendukung persukuan itu mempunyai harta pusaka. Begitu juga
kaun yang merupakan bagian dari suatu suku disamping mempunyai pemimpin
dan anggota juga mempunyai harta pusaka, baik yang diwarisi maupun yang
didapati dari kaum.

Pada masa dahulu kaum itu pada mulanya terdiri dari keturunan seibu yang
mendiami rumah asal yang disebut rumah gadang, bila anak perempuan dari
keturunan itu telah dewasa kemudian dikawinkan, maka untuk itu diberikan satu

11
Van Dijk. Pengantar Hukum Adat Indonesia, Sumur Bandung, 1960, hal. 115
12
Ibid, hlm 45
24

kamar dari rumah gadang itu begitulah seterusnya jika ibu mempunyai beberapa
anak perempuan. Sedangkan anak laki-laki biasanya tidur di surau yang dimiliki
oleh kaum itu. Seorang laki-laki tertua dari ibu tadi disebut mamak atau
tungganai.

Mamak atau tungganai inilah yang bertanggung jawab atas perbaikan,


pemeliharaan dan keamanan rumah gadang serta laki-laki keturunan berikutnya.
Karena perkembangan, selanjutnya kaum tadi makin lama makin besar, karena
telah begitu besarnya bagi suatu kaum maka kaum tadi dipecah dan terjadilah
kaum yang baru, tiap-tiap kaum itu dikepala oleh mamak kepala waris.

Mamak kepala waris adalah seorang laki-laki tertua dalam suatu kaum yang
memimpin dan bertanggung jawab terhadap harta pusaka kaumnya. Di samping
itu, mamak kepala waris juga bertindak sebagai hakim bagi kaumnya dalam hal
menangani bila terjadi perselisihan dan persengketaaan mengenai harta pusaka.
Mamak kepala waris juga mewakili kepentingan kaumnya dalam urusan-urusan
yang menyangkut harta kaumnya.

Dalam adat minangkabau lembaga waris mencakup hal yang bersifat


material dan immaterial (sako dan pusako). Peranan mamak kepala waris dalam
hal warisan adalah sebagai pengelola harta pusako yang dimiliki kaumnya. 13 Harta
pusako tersebut diatur penggunaannya oleh mamak kepala waris, pada dasarnya
harta pusako yang dikuasai oleh mamak kepala waris tersebut tidak dapat
dipindah tangankan, baik digadaikan apalagi dijualnya, sebagaimana pepatah adat
Dijual tidak makan beli, digadai tidak makam sando (agunan).14

Menurut sepanjang adat, mamak kepala waris wajib menjaga keselamatan


segala harta pusaka kaumnya, dan membagi harta pusaka itu kepada
kemenakannya dengan peraturan yang adil menurut timbangan mamak. Patut
bayak dibayakkan, patut sedikit disedikitkan, supaya segala kemenakan itu hidup

13
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Media, 2010), h. 309
14
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Media, 2010), h. 311
25

senang dengan tiada merasa iri hati satu sama yang lainnya dalam hal ini
menguasai atau memakai harta pusaka.

Namun dalam berbuat dan beritikat terutama menyangkut harta kaum


mamak kepala waris harus meminta persetujuan terlebih dahulu kepada seluruh
anggota kaum untuk bermufakat baik laki-laki maupun perempuan, sekalipun
dalam kehidupan berkaum itu kekuasaan mamak kepala waris lebih tinggi dari
anggota kaum namun kekuasaan itu berasal dan datang dari anggota kaum tadi.

Adanya larangan ini pada hakikatnya adalah untuk menjaga agar jangan
sampai harta pusaka itu berpindah keluar dari kekuasaan kaum dan menjadi milik
orang lain yang sama sekali tidak ada hubunganya dengan kaum tersebut. Namun
dalam beberapa kasus mamak kepala waris dapat menggadaikan atau menjual
harta pusaka, dengan syarat dilakukan dengan persetujuan atau paling tidak
diketahui oleh seluruh anggota kaum. Sabagaimana dalam penelitian yang
dilakukan oleh Syahmunir AM :15

a. Mamak kepala waris dapat melakukan pemindahan hak atas harta


pusaka tinggi jika telah dimusyawarahkan dan mendapat persetujuan
oleh kaumnya.
b. Pemindahan hak atau menjual harta pusaka kaum tidak diperbolehkan
jika hanya diketahui oleh sebahagian anggota kaum.
c. Mamak kepala waris dapat memindah tangankan harta pusaka tinggi
kalau ia satu-satunya ahli waris yang bertali darah yang masih hidup,
dengan terlebih dahulu memusyawarahkannya dengan anggota kaum
lainnya.16

Di samping itu harta pusaka dapat digadikan atau dijual dengan terlebih
dahulu mendapat persetujuan dari seluruh anggota kaum, dengan syarat apabila :

15
Ibid, hlm 211-212
16
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Media, 2010), h. 311-312
26

1. Mayat terbujur di tengah rumah, maksudnya untuk pembiayaan


penggurusan jenazah dan segala sesuatu yang menyangkut dengan
pristiwa kematian.
2. Gadis tua yang belum bersuami, maksudnya seorang gadis yang telah
dewasa (berumur yang belum mendapatkan jodoh) harus dicarikan
suaminya, ini merupakan aib bagi keluarga dan kaumnya. Maka untuk
keperluan usaha harus ditempuh untuk mendapatkan jodoh gadis, dan
ini membutuhkan dana dan biaya.
3. Rumah gadang ketirisan, maksudnya untuk membiaya perbaikan rumah
gadang yang telah tiris atapnya, lapuk dindingnya, berlobang dan patah
lantainya atau tonggaknya.
4. Membangkit batang terendam, maksudnya untuk mendirikan penghulu
atau mengangkat kepala kaum (suku).17

Di samping bertindak sebagai mamak kepala waris, mamak kepala waris


juga bertindak sebagai hakim apabila terjadi sengketa di antara anggota kaumnya
termasuk sengketa di bidang kewarisan dan harta pusaka. Penyelesaian sengketa
dilakukan oleh mamak kepala waris melalui kerapatan kaum, yang diahadiri oleh
mamak kepala kaum (angku datuak atau penghulu). Segala sengketa yang timbul
diusahakan penyelesaian secara musyawarah mufakat. Pengadilan merupakan
alternatife terakhir bila para pihak tidak merasa puas dalam menyelesaikan
sengketa tersebut, yakni jika musyawarah mufakat tidak membawa hasil.18

Berdasarkan uraian diatas terlihat fungi-fungsi dan peranan mamak kepala


waris sebagai pemengang kekuasaan tertinggi dalam suatu kaum sangatlah
penting dimana mamak kepala waris diharuskan berlaku adil terhadap anggota
kaum atas penggunaan tanah ulayat.19

C. Syarat Pengangkatan Mamak Kepala Waris

17
Ibid, hlm 312-313
18
Edison dan Nasrun, Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau,
(Bukittinggi: Kristal Media, 2010), h. 315
19
Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau. Rineka
Cipta Jakarta.1997. hal, 93
27

Mamak kepala waris adalah pemimpin dari sebuah kaum, biasnya yang
menjadi mamak kepala waris adalah laki-laki tertua dari kaum tersebut. Namun
demikian, faktor usia bukanlah syarat mutlak, karena di samping itu juga
dibutuhkan kecakapa. Sebagaimana juga yang dinyatakan oleh Iskandar Kemal,
bahwa untuk dapat menjadi mamak kepala waris ditentukan oleh dua faktor yaitu,
yang pertama adalah faktor hukum waris dan yang kedua faktor kecerdasan.20

Faktor hukum waris di sini dimaksud bahwa untuk menjadi mamak kepala
waris, seseorang itu haruslah merupakan anggota dari kaum yang bersangkutan
dan dia juga merupakan laki-laki yang tertua. Sedangkan daktor kecerdasan
diperlukan karena seseorang mamak kepala waris mempunyai tanggung jawab
yang besar, baik untuk memimpin angota kaumnya maupun untuk memelihara
harta pusaka yang mereka miliki.21

Namun yang tidak kalah penting dari semua hal ini adalah bahwa mamak
kepala waris itu harus diangkat berdasarkan kesepakatan anggota kaumnya, baik
secara tegas maupun secara diam-diam. Di samping itu keberadaannya yang terus
menerus di kampung halamanjuga menjadi dasar perhitungan yang cukup penting
pula.22

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa untuk menjadi mamak kepala


waris, seseorang itu tidak hanya harus lelaki yang tertuakan, tapi dapat juga
seseorang yang dituakan “salangkah nan di tuokan”. Dituakan di sini mungkin
karena jabatan yang dipengangnya, misalnya sebagai penghulu, tapi mungkin juga
karena orang yang seharusnya menjadi mamak kepala waris tidak mempunyai
kemanpuan untuk menjalankan tugas tersebut. Sehingga jabatan mamak kepala
waris dipengang bukan oleh laki-laki yang tertua. Oleh karena itu sering kali
terjadi jabatan mamak kepala waris dipengang sekaligus secara rangkap oleh
seorang penghulu.

20
Iskandar Kemal, Sekitar Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangnnya.
Percetakan Daerah, padang. 1961, hal. 39
21
Edison dan Nasrun, hlm 307
22
Edison dan Nasrun. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.
Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2010. Hal, 307-308
28

Mengigat tanggung jawab mamak kepala waris yang besar, terutama yang
berhubungan dengan harta pusaka, maka jika sebuah kaum tidak mempunyai
mamak kepala waris lagi dan kemenakan laki-laki yang ada pun belum dewasa,
maka ada beberapa kemungkinan untuk melaksanakan fungsi dari mamak kepala
waris tersebut. Kemungkinan pertama adalah para ahli waris yang perempuan
secara bersama-sama dapat bertindak sebagai mamak kepala waris. Namun jika
anggota kaum yang tinggak hanya seorang perempuan saja, maka dialah yang
mempunyai hak dan kewajiban sebagai mamak kepala waris. Selanjutnya kalau
dalam kaum tersebut tidak ada anggota yang dewasa, maka penghulu sukunya
yang harus bertindak untuk kepantingan kaum tersebut. Kemngkinan terakhir, jika
hal-hal yang telah disebut di atas tidak ada juga, maka kaum tersebut dapat
bersandar pada penghulu suku yang terdekat, yang merupakan belahan mereka. 23

Syarat-syarat makak kepala waris yag mana secara turun-temurun


sebagaimana yang telah digariskan dalam ketentuan adat maka terdapat beberapa
pertimbangan-pertimbangan dalam menetapkan pengangkatan mamak kepala
waris, yaitu sebagai berikut :

1. Saudara laki-laki tertua dari ibu.


2. Tidak sakit ingatan, dalam arti kata sehat wal’afiat.
3. Sedapat mungkin tidak merantau, karena kalau merantau tentu dia tidak
bisa mengikuti perkembangan kaum, melindungi, dan menjaga harta
pusaka kaum.
4. Cerdas dan bertanggung jawab.
5. Adil terhadap semua anggota kaum24

Bila seseorang yang menurut ketentuan adat berhak menjadi mamak kepala
waris tetapi dia tidak melengkapi syarat-syarat seperti diatas, maka rapat anggota
kaum menentukan atau memilih anggota kaum yang lain yang akan menjadi
mamak kepala waris di dalam kaum tadi, dalam lingkungan waris bertali darah.

23
Iskandar Kemal, Sekitar Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangnnya.
Percetakan Daerah, padang. 1961, hal. 41
24
Hasil wawancara bersama Angku Datuak Mangada’I ketua KAN Nagari Tanjung
Barulak, pada tanggal 9 Februari tahun 2018
29

Biasanya yang menjadi mamak kepala waris itu adalah laki-laki yang tertua
dalam kaum dan turun temurun, tetapi di sebagian nagari ketentuan ini bukanlah
menjadi ukuran/kriteria di dalam memangku jabatan mamak kepala waris, karena
pengangkatan mamak kepala waris adalah berdasarkan pemilihan atau mufakat
kaum.

Karena strata fungsi dalam masyarakat menurut hukum adat Minangkabau


adalah bersifat tidak formal, maka periodikalnya pun juga bersifat tidak formal
juga, dalam arti kata tidak ada batasan waktu yang pasti mengenai masa jabatan
tersebut. Oleh karena itu seorang yang diangkat atau ditunjuk sebagai mamak
kepala waris akan berakhir apabila dia meninggal dunia, dan kemudian akan
digantikan oleh mamak kepala waris yang baru.25

Namun adakalanya seorang mamak kepala waris diberhentikan dari


jabatannya sebelum waktunya. Hal ini dapa disebabkan karena tingkah lakunya
yang menyalahi adat, misalnya suka berjudi atau menghabiskan harta pusaka
untuk kepantingan sndiri. Di samping itu, mamak kepala waris juga bisa di
berhentikan berdasarkan keadaan dirinya, mungkin karena kesehatannya yang
mulai menurun, atau mungkin dia mengidap cacat sehingga tidak
memungkinkannya untuk menjalankan tugasnya sebagai mamak kepala waris.
Jika hal tersebut terjadi, maka mamak kepala waris yang bersangkutan digantikan
oleh mamak kepala waris yang baru. Pengantian itu untuk sementara dan mungkin
juga untuk selamanya.26

Pengantian untuk sementara waktu, biasanya karena kesalahan yang


dilakukan oleh mamak kepala waris masih tergolong ringan. Untuk itu ia
digantikan oleh seseorang mamak kepala waris baru untuk selama waktu yang
ditentukan. Di samping itu, penggantian sementara ini mungkin juga terjadi jika
mamak kepala waris menderita suatu penyakit yang membutuhkan waktu sembuh
kembali.

25
Edison dan Nasrun. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.
Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2010. Hal, 308
26
Edison dan Nasrun. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.
Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2010. Hal, 309
30

Penggantian untuk selamanya. Terjadi karena kesalahan yang dilakukan


oleh mamak kepala waris tidak dapat dimaafkan lagi, seperti misalnya telah
membuat cemo (malu) orang sekampung dengan melarikan istri orang, sehingga
diusir dan kampung dan nagari , atau mungkin juga karena usianya yang telah
lanjut, sehingga tidak bisa mengigat lagi peristiwa atau kejadian masa lampau.
Untuk hal-hal ini maka mamak kepala waris dapat diberhentikan oleh kesepakatan
anggota kaum dan digantikan oleh mamak kepala waris yang baru.27

D. Harta Warisan Adat.

Harta warisan menurut hukum waris adat, yang tidak merupakan kesatuan
yang dapat dinilai harganya, tetapi merupakan kesatuan yang tidak terbagi- bagi
atau dapat terbagi menurut jenis macamnya dan kepentingan para warisnya. Harta
warisan adat terdiri dari :

a. Harta yang tidak dapat dibagi-bagikan penguasaan dan pemilikannya


kepada para ahli warisnya.
b. Harta yang dapat dibagi-bagikan kepada seluruh ahli warisnya Harta
warisan yang tidak terbagi-bagi adalah milik bersama para waris, ia
tidak bolek dimiliki secara perorangan, tetapi ia dapat dinikmati dan
dipakai.

Menurut hukum adat yang dimaksud dengan harta warisan adalah semua
harta yang ditinggalkan pewaris, baik harta yang telah diwariskan pada waktu
hidupnya pewaris maupun harta yang ditinggalkan pada waktu pewaris meninggal
dunia, setelah dikurangi dengan biaya penguburan, biaya selamatan, hutang-
hutang, hutang keagamaan.

Proses pemindahan harta warisan ini telah dimulai pada waktu pewaris
masih hidup, yaitu dengan jalan pemberian-pemberian (hibah) oleh pewaris
kepada mereka yang sedianya mewaris. Pemberian pemberian (hibah)
diperhitungkan sebagai bagian pewarisan bila jumlahnya dibandingkan ahli waris
adalah seimbang. Pewarisan pada waktu hidupnya pewaris ini biasanya dilakukan

27
Ibid, hlm 309
31

kepada anggota-anggota keluarga yang membentuk rumah tangga dan


memisahkan diri atau dipisahkan dengan rumah tangga asalnya.

Menurut Otje Salma menjelaskan: “Bahwa proses pengalihan harta


perkawinan terhadap anak-anak berlangsung sejak orang tua masih hidup, malalui
cara pemberian mutlak. Pemberian tersebut pada umumnya dilakukan terhadap
anak-anak yang telah dewasa dan itu mempunyai sifat sebagai suatu pewarisan.28

Proses pewarisan semasa hidup atau pada saat pewaris meninggal dunia,
berbeda dengan proses pewarisan secara hibah wasiat. Adakalanya seorang
pewaris di hadapan para ahli warisnya menyatakan bahwa bahagian tertentu dari
harta peninggalan itu diperuntukkan bagi ahli waris tertentu.

Menurut Seorojo Soekanto bahwa “Pewarisan yang demikian ini


merupakan peristiwa hukum yang baru akan berlaku setelah orang tua
meninggal.29

Menurut Djaren Saragih, mengungkapkan kepenting bahwa dalam satu


keluarga harus ada benda-benda materiil, yang mana berfungsi sebagai:

1. Kekayaan merupakan basic materiil dalam kehidupan keluarga,


kekayaan yang merupakan basic meteriil dari setiap ikatan
kekeluargaan, dinamakan harta rumah tangga bagi kesatuan rumah
tangga.
2. Kekayaan berfungsi untuk memberikan basic materiil bagi
kesatuankesatuan rumah tangga yang akan dibentuk oleh keturunan,
karena harta kekayaan itu merupakan basik materiil dari pada kesatuan-
kesatuan kekeluargaan, maka dari sudut lain harta kekayaan itu
merupakan alat untuk mempersatukan kehidupan kekeluargaan. Karena
harta kekayaan itu merupakan alat mempertahankan kesatuan, maka
pada dasarnya dalam proses pewarisan, tidak dilakukan pembagian, atau
pada dasarnya harta peninggalan tak dibagibagi. Tidak dibagi-baginya
28
Otje Salma., Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris, Alumni Bandung,
1991, hal. 58.
29
Soerojo Soekanto, Hukum Adat Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1983, hal. 297
32

harta peninggalan, nampak jelas sekali pada mayarakat-masyarakat yang


disusun secara unilateral.30

Menurut Surojo Wignjodipuro, mengatakan bahwa : Adapun dasar pokok


ataupun motif dari pada penghibahan ini adalah tidak berbeda-beda dengan motif
dari pada tidak memperolehkan membagi-bagi harta peninggalan kepada para ahli
waris yang berhak, yaitu kekayaan somah yang merupakan dasar kehidupan
meteriil yang disediakan bagi warga somah yang bersangkutan seberta
keturunannya.31

Secara umum, harta warisan dapat dibagi dalam 2 (dua) kelompok besar,
yaitu :

1. Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi.


2. Harta peninggalan yang dapat dibagi-bagi.

Untuk harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi, adalah suatu pertanda
khas dalam hukum adat yang mana tetap bertahan karena pengaruh cara berfikir
yang komunalistik, yang menghendaki bahwa harta benda yang ditinggalkan itu
merupakan harta turun temurun, tidak mungkin dimiliki oleh seorang, karena
memang merupakan milik bersama/kolektif.

Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi berdasarkan atas alasan oleh
Surojo Wignjodipuro dibagi atas : ”Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-
bagi, dapat dibedakan-bedakan sebagai berikut :

a. Karena sifatnya memang tidak memungkinkan untuk dibagi-bagi


(misalnya barang milik suatu kerabat atau famili).
b. Karena kedudukan hukumnya memang terikat kepada suatu tempat/
jabatannya tertentu (contohnya barang-barang keramat keratin
Kasepuhan Cirebon seluruhnya tetap jatuh kepada ahli waris juga
menjadi sultan Sepuh Keraton Kesepuhan).

30
Djaren Singgih, Pengatar Hukum Adat Indonesia, Tarsito, Bandung, 1982. Hal. 65
31
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta CV. Haji
Masagung.1994 h. 225
33

c. Karena belum bebas dari kekuasaan persekutuan hukum yang


bersangkutan, seperti tanah Kasikepan di daerah Cirebon.
d. Karena pembagiannya untuk sementara di tunda, seperti banyak
dijumpai di Jawa, misalnya apabila terdapat anakanak yang ditinggalkan
masih belum dewasa, maka demi kepentingan janda beserta anak-
anaknya supaya tetap mendapat nafkah untuk hidup terus harta
peninggalan tidak dibagi-bagi. Dan tiap tuntutan untuk membagi-bagi
dari ahli waris yang menurut Hakim akan mengakibatkan terlantarnya
janda beserta anak-anaknya tersebut, setalu akan ditolak oleh hakim.
e. Karena hanya di waris oleh seorang saja (sistem kewarisan mayorat),
sehingga tidak perlu dibagi-bagi.32

Harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi ini di beberapa lingkungan


hukum adat disebabkan karena sifatnya memang tidak memberikan kemungkinan
untuk tidak memiliki barang tersebut bersamasama dengan ahli waris lainnya,
sebab harta dimaksud dengan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-
bagi, atau barang itu merupakan lambang persatuan serta kesatuan dari keluarga,
sebagai contoh adalah yang disebut dengan harta pusaka seperti pada masyarakat
Minagkabau, Dayak (Kalimantan). Barang-barang tersebut dapat berupa tanah
pertanian, kebun, pekarangan dengan rumah dan ternak dan lain sebagainya yang
merupakan harta pusaka milik suatu keluarga. Barang-barang demikian hanya
dapat dipakai saja oleh segenap warga keluarga yang bersangkutan, tetapi tidak
boleh dimiliki. Jadi intinya hanya berhak memakai. Sehingga meninggalnya
seseorang anggota tidak mempunyai hubungan hukum antara para anggota
keluarga yang masih hidup dengan harta pusaka. Tetapi wafatnya anggota
keluarga malahan menambah harta pusaka keluarga yang bersangkutan.

Sedangkan untuk harta peninggalan yang terbagi-bagi adalah pada waktu si


pewaris telah meninggal dunia, maka hartanya dibagibagikan, ada ahli warisnya
dan di dalam hal ini ialah kepada anakanaknya. Biasanya pembagian harta ini

32
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta CV. Haji
Masagung.1994. hal. 222-223
34

dalam bentuk keseluruhan ataupun bagian dari pada harta kekayaan semasa
pemilikannya masih hidup.

Menurut Surojo Wignjodipuro, mengatakan bahwa:

“Adapun dasar pokok ataupun motif dari pada penghibahan ini adalah tidak
berbeda-beda dengan motif dari pada tidak memperolehkan membagi-bagi harta
peninggalan kepada para ahli waris yang berhak, yaitu kekayaan somah yang
merupakan dasar kehidupan meteriil yang disediakan bagi warga somah yang
bersangkutan seberta keturunannya.33

Harta warisan adalah barang asal atau pusaka nenek moyang yang turunkan
kepada garis keturunannya. Biasanya harta warisan tetap menjadi milik dari pihak
yang memperolehnya, sehingga harta ini tidak jatuh menjadi harta bersama dari
keluarga. Hasil penjualan dari harta pusaka atau harta yang diperoleh sebelum
perkawinan merupakan milik dari pihak asal, sedangkan harta yang diperoleh dari
hasil jerih payah suami istri selama hidup dipersoalkan, apabila salah satunya
meninggal dunia maka pihak yang hidup (suami-istri) dalam pertalian parental
janda atau duda akan mewaris harta tersebut.

Adapun jenis-jenis harta menurut hukum adat terdiri dari harta yang peroleh
sendiri, harta peninggalan, harta yang diperoleh suami istri pada waktu
perkawinan.

a. Harta yang diperoleh sendiri Jenis harta ini biasanya diperoleh suami
atau istri sebelum berumah tangga atau hanya diberikan oleh orang tua
sebelum berumah tangga.Harta ini dapat diturunkan kepada generasi
selanjutnya berupa harta bawaan.
b. Harta warisan atau harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia,
dapat berupa:
1. Harta kekayaan yang berwujud yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya piutang yang hendak ditagih (aktiva).

33
Surojo Wignjodipuro, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta CV. Haji
Masagung.1994. hal. 225
35

2. Harta kekayaan yang berupa utang-utang yang harus dibayar pada


saat pewaris meninggal dunia (passiva).
3. Harta kekayaan yang masih dicampur dengan harta bawaan masing-
masing suami istri.
4. Harta bawaan yang tidak dapat dimiliki langsung oleh mereka suami
istri misalnya harta pusaka.

Sedangkan menurut Hilman Hadikusumo, membagi harta waris adat


menjadi tiga bagian, yaitu:

1. Harta pusaka, terdiri dari:


a. Harta pusaka tinggi, misalnya berupa bidang-bidang tanah
peladangan, bekas kebun, sawah, danau yang masih dapat dibuktikan
berdasarkan keterangan masyarakat disekitarnya atau pengakuan
para anggota kerabat dan adanya bekas-bekas tempat pemukiman,
kuburan, bekas tunggul tanaman keras/mesin jadi ada bekas-bekas
kerja tangan manusia. Harta pusaka tinggi yang masih diurus adalah
seperti tanah pekarangan, bangunan rumah kuno, sawah, ladang,
alat-alat perlengkapan rumah adat, pakaian senjata kuno dan alatalat
kesenian yang dapt merupakan milik bersama untuk kepentingan
bersama dan tidak terbagi kepemilikannya.
b. Harta pusaka rendah, adalah harta yang tidak terbagi-bagi yang
berasal dari mata pencaharian kakek/nenek atau ayah/ibu. Pada
umumya dimasyarakat adat, harta pusaka ini sudah tidak
diperhatikan lagi, karena sistem kewarisannya yang individual.
karena masih ada harta pusaka yang tidak terbagi-bagi pemilikannya
atau hanya terbagi hak pakainya, hanya berupa barang-barang
pusaka yang sifatnya magis religius, seperti keris, jimat dan
perhiasan tertentu.
2. Harta Bawaan Kedudukan harta bawaan dalam masyarakat adat
sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 35 ayat 2 UndangUndang
perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, yang menyatakan bahwa harta
36

bawaan dari masing-masing hadiah atau warisan adalah di bawah


penguasaan masingmasing, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
3. Harta Pencaharian Adalah semua harta warisan yang berasal dari jerih
payah suami istri bersama selama ikatan perkawinan. Harta ini bukan
saja dalam bentuk bidang tanah dan bangunan, ternak dan perabot rumah
tangga, alat-alat dapur, pakaian, tetapi juga alat-alat elektronik yang
dihasilkan suami istri selama perkawinan termasuk dalam harta
pencaharian ialah “harta kepandaian” yaitu semua harta yang diperoleh
karena kepandaian pewaris yang khusus karena kepandaiannya,
misalnya harta yang didapat karena kepandaian ia seorang seniman dan
pencipta lagu, namun harta ini bisa merupakan milik peribadi tergantung
dari keluarga yang bersangkutan. Begitu pula termasuk harta pencarian
ialah semua hasil atau pemberian dari anggota kerabat, sejawat atau
pihak lain dan semua hutang-hutang yang belum diselesaikan selama
pewaris dalam ikatan perkawinan.34

Menurut hukum adat dan hukum Islam, harta peninggalan yang beralih pada
hakekatnya hanya sisa dari harta warisan setelah dikurangi dengan hutang-hutang
dari peninggal warisan, sedangkan menurut hukum perdata yang beralih adalah
semua warisan yang meliputi juga hutang-hutang dari peninggal warisan.

Di Minangkabau bila orang menyebut harta, maka sering tertuju


penafsirannya kepada harta yang berupa materi saja, harta yang berupa material
ini seperti sawah lading, rumah gadang, emas perak, dan lain-lain. Sebenarnya di
samping harta yang berupa material ini, ada pula harta yang berupa moril seperti
pusaka yang diwarisi secara turun temurun. Orang yang bayak harta material,
dikatakan orang berada atau orang kaya, tetapi menurut pandangan adat orang
berada atau bayak harta ditinjau dari bayaknya harta pusaka yang turun temurun
dimilikinya. Harta pusaka adalah segala benda peninggalan orang yang sudah
meningal

34
Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
1992. Hal. 144
37

Dalam lingkungan masyarakat Minangkabau pada pokoknya harta


digolongkan menjadi dua macam yaitu :

1. Harta pusaka tinggi.

Adalah dikenal sebagai harta garapan nenek moyang yang diwarisi turun
temurun dari mamak turun kepada kemenakan dari suatu kaum sehingga
merupakan harta pusaka tinggi dari suatu kaum tersebut.

2. Harta pusaka rendah

Harta pusaka rendah adalah harta yang diturunkan dari satu generasi, yang
mana diterima kemenakan dari mamak kandung, yang berasal dari hasil pekerjaan
yang diuntukan buat kemenakannya. Harta pusaka rendah diamksudkan untuk
harta yang pewarisnya hanya sedikit, sehingga tidak membutuhkan persetujuan
kaum untuk menggunakannyan. Namun, bila harta ini diwariskan lagi dan
pewarisnya telah bayak, harta ini berubah menjadi harta pusaka tinggi.

Harta pusaka rendah boleh diperjual belikan, namun harus ada kesepakatan
antara mamak dan kemenakan. Apabila ahli waris tetap menjaga keutuhan harta
pusaka rendah ini, kemudian diwariskan lagi kepada ahli waris berikutnya,
sehingga tidak mudah lagi mengatur kesepakatan dalam pengelolaannya, maka
harta ini diagkat menjadi harta pusaka tinggi.

Contoh harta pusaka rendah adalah tanah, sawah, dan ladang yang ditaruko/
diolah oleh seorang mamak, lalu diwariskan kepada kemenakannya. Mengenai
harta pusaka rendah dapat dibedakan dalam beberapa macam harta kekayaan
berupa :

a. Harta terpaan

Harta terpaan adalah harta yang diperoleh oleh orang tua dari hasil
pencahariannya, harta ini biasanya telah ada di rumah istri sebelum
berlangsungnya perkawinan.

b. Harta bawaan.
38

Harta bawaan adalah harta yang dibawa oleh suami kedalam rurnah istrinya
pada waktu perkawinan, harta bawaan ini dapat berupa harta pemberian (hibah),
harta pencaharian sewaktu belum perkawinaan, harta kaum dalam bentuk
ganggam bauntuk (hak pakai).

c. Harta pencaharian.

Harta pencarian adalah harta yang diperoleh dengan melalui pembelian atau
taruko (menggarap tanah mati), misalnya dengan menggarap sawah atau ladang,
berdangang, pangwai, buruh dan sebagainya. Sangat jelas bahwa harat pencarian
adalah harta yang didapatkan seseorang dari hasil usahanya sendiri, baik bekerja
dikampung halamannya maupun dari hasil ia merantau. Namun harta ini pada
umumnya tidak banyak brkaitan dengan harta pusaka di kampung halamannya.

Orang yang berhak mendapatkan atas harta pencarian adalah orang yang
mendapatkan harta tersebut, bila pemiliknya meninggal dunia harta pencahariam
ini jatuh kepada pihak keluarganya atau bisa juga diserahkan kepada jurainya
sebagai harta pusaka rendah.

d. Harta suarang.

Harta suarang adalah keseluruhan harta benda yang didapat secara bersama
sama oleh suami istri selama masa perkawinan, yang dikecualikan dari padanya
adalah segala harta bawaan dansegala harta terpaan istrti yang telah ada sebelum
dilangsungkan perkawinan itu. Dikenal pula sebutan lain untuk harta suarang ini,
yaitu:

1. Harta Pasuarangan.
2. Harta basarikatan.
3. Harta kaduo-duo.
4. Harta salamo barumah tanggo. 35

35
Hermayulis, Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan
Kekerabatan Pada Sisitem Kekerabatan Matrilineal Minagkabau di Sumatera Barat, Disertasi,
1999, UI, Jakarta, hal. 159-173
39

Sebagaimana diketahui “kaum” dalam masyarakat Minangkabau merupakan


persekutuan hukum adat yang mempunyai daerah tertentu yang dinamakan “tanah
ulayat” kaum serta anggota kaum diwakili leluhurnya oleh seorang “mamak
kepala waris”. Anggota kaum yang menjadi mamak kepala waris lazimnya adalah
saudara laki-laki tertua dari ibu, mamak kepala waris harus yang cerdas dan
pintar. Akan tetapi kekuasaan tertinggi di dalam kaum terletak pada rapat kaum,
bukan pada mamak kepala waris. Anggota kaum terdiri dari kemenakan dan
kemenakan ini adalah ahli waris.

E. Harta Pusaka Tinggi

Harta pusako tinggi mempunyai peranan yang sangat penting bagi


masyarakat Minangkabau karena harta tersebut harta yang diturunkan secara turun
temurun dari suatu kaum berdasarkan sistem garis keturunan ibu. Yang dimaksud
dengan harta pusaka tinggi ialah segala harta pusaka yang diwarisi secara turun-
temurun sesuai dengan pantun sebagai berikut :36

Babirik birik tabang ka sasak Babirik- birik terbang ke sasak

Dari sasak turun ka halaman Dari sasak turun ke halaman

Dari niniek turun ka mamak Dari buyut turun ke mamak

Dari mamak turun ka kamanakan Dari mamak turun ke kemenakan

Harta pusako tinggi ini adalah warisan dari nenek moyang kaum pemegang
harta tersebut yang mana pada dasarnya harta tersebut tidak untuk diperjual-
belikan dan hanya boleh digadaikan dengan 4 (empat) syarat, yaitu :

1. Rumah gadang ketirisan.


2. Mayat terbujur ditengah rumah.
3. Gadis besar belum bersuami.
4. Pembangkit batang tarandam.

36
Amir M.S. Adat Minangkabau “Pola dan Tujuan Hidup OrangMinang”,2003. Pusat: PT.
Mustika Sumber Widya. Jakarta.hal. 93
40

Harta pusako tinggi ini berguna untuk pemersatu dalam jurai, kaum, suku
dan bagi masyarakat Minang pada umumnya, sekaligus untuk mengetahui nan sa
asa sakaturunan37 menurut jalur adat. Harta tersebut juga harta cadangan bagi
suatu kaum, jika ada salah seorang anak kemenakan yang hidupnya agak susah
maka uruslah harta tersebut.

H. Abdul Malik Karim Abdullah yang melihat harta pusako tinggi ini itu
sama keadaanya dengan wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan
Umar bin Khattab atas harta yang didpatkannya di khaybar yang telah dibekukan
tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan
harta pusako tinggi ini dengan harta wakaf tersebut walau masih ada
perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat
diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan maka terhindarlah harta tersebut dari
kelompok harta yang harus diwariskan menurut hukum faraidh; artinya tidak salah
kalau padanya tidak berlaku hukum faraidh. Pendapat beliau ini diikuti oleh ulama
lain diantaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli.38

Mengenai tentang sistem pewarisan adat atas harta pusako tinggi ini harta
tersebut dikuasai oleh perempuan tertua di rumah itu dan hasilnya dipergunakan
untuk manfaat seisi rumah. Pengawasan penggunaan harta itu berada ditangan
mamak rumah, bila mamak rumah sudah tiada maka beralih kepada kemenakan
yang laki-laki. Bila perempuan tertua dirumah itu sudah tiada, maka peranan
penguasaan dan pengurusan beralih kepada perempuan yang lebih muda. Dalam
hal ini tidak ada peralihan harta.

Penerusan peranan dalam sistem kewarisan adat adalah ibarat silih


bergantinya kepengurusan suatu badan yayasan yang mengelola suatu bentuk
harta. Kematian pengurus itu tidak membawa pengaruh apa-apa terhadap status
harta, karena yang mati hanya sekedar pengurus. Berbeda dengan pewarisan

37
Satu asal satu keturunan
38
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau. H.
278
41

dalam hukum Islam yang berarti peralihan dari yang sudah tiada ke yang masih
hidup.

Ciri khas dari dari harta pusako tinggi ini adalah harta tersebut bukan milik
perorangan dan bukan milik siapa-siapa secara pasti, yang memiliki harta itu ialah
nenek moyang yang mula-mula memperoleh harta itu secara memancang melatah.
Harta itu ditujukan untuk dana bersama bagi anak cucunya dalam bentuk yang
tidak terbagi-bagi. Setiap anggota dalam kaum dapat memanfaatkannya tetapi
tidak dapat memilikinya.39

Harta pusaka tinggi juga hak bersama seluruh anggota kaum masing-masing
anggota kaum pada prinsipnya tidak dapat memilikinya secara hak pribadi tetapi
masing-masing dapat mengambil manfaat dari padanya secara hak pakai yang
pemakaiannya diatur oleh mamak kepala waris dari kaum itu.

Berbicara masalah perkembangan harta pusaka tinggi kaum ini. Maka kita
tidak akan terlepas dengan sistem kekeluargaan yang dianut oleh adat
Minangkabau yaitu sistim Matrilinial, karena sistim ini dengan sendirinya akan
menentukan bentuk hubungan yang terjadi dalam masyarakat. Dengan sistim
Matrilinial ini yang memegang harta pusaka adalah perempuan, sedangkan laki-
laki adalah sebagai penjaga menjamin hidup anak kemenakan. Harta pusaka tidak
boleh dijual bahkan kalau dapat ditambah oleh anak kemenakan tadi. Sebab bagi
harta pusaka tinggi berlaku ketentuan adat sebagai berikut :

Tajuan indak dimakan bali Terjual tidak bisa di beli

Tasando indak dimakan gadai Agunan nan tidak dapat digadikan40

Sekarang nagari sebagai territorial pemerintahan lokal di Minangkabau telah


sudah berkembang seiring dengan kemajuan ilmu dan tehnologi serta perubahan-
perubahan lainnya dalam aspek ekonomi maupun sosial, sedangkan sawah ladang
masih sawah ladang yang diolah oleh nenek moyang ratusan tahun yang lalu itu
39
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau, H.
269
40
Amir M.S. Adat Minangkabau “Pola dan Tujuan Hidup OrangMinang”,2003. Pusat: PT.
Mustika Sumber Widya. Jakarta.hal. 93
42

juga, padahal hidup kita sendiri sudah berubah dari zaman ke zaman. Penduduk
kian hari kian bertambah juga sedangkan harta pusaka tinggi kaum sudah
mengalami perubahan dalam bentuk penyusutan. Nilai-nilai yang ada dalam
hukum adat dewasa ini mengalami pergeseran dan perkembangan di tengah-
tengah masyarakat hukum adat itu sendiri, khususnya dalam adat harta pusaka
tinggi (tanah kaum).
BAB III
KONDISI OBJEKTIF NAGARI TANJUNG BARULAK

A. Pengertian Banagari dan Sejarah Singkat Nagari Tanjung Barulak.

Nagari adalah nama suatu wilayah pemukiman yang dihuni oleh suatu
masyarakat hukum adat. Nagari merupakan perkumpulan dari korong-korong
yang setiap nagari setidaknya ada empat suku.1Dalam tambo alam Minangkabau,
nagari merupakan susunan masyarakat yang sudah sangat lengkap perangkat
pemerintahannya dan bersifat otonom dalam artian tiap nagari punya kemandirian
dalam mengelola nagarinya masing-masing.2

Kelengkapan atau perangkat yang dimaksud adalah: babalai-bamusajik,


basuku-banagari, bakorong-bakampuang, bahuma-babendang,
basawahbaladang, balabuah-batapian, bahalaman-bapamedanan, bapandam-
bapusaro. Maksudnya berbalai-bermasjid, bersuku-bernagari, berkorong-
berkampung, berhuma-berbendang, berlabuh-bertepian, bersawah-berladang,
berhalamanberpemedanan, dan berpendam-berpusara.3
Berikut penjelasan mengenai perangkat dari nagari yang disebutkan pada
paragraf diatas:4
a. Babalai Bamusajik, Balai adalah bangunan yang sengaja didirikan
sebagai tempat mengadakan rapat atau musyawarah dari semua ninik
mamak, guna membicarakan masalah adat istiadat di wilayah itu
termasuk untuk menetukan hukum adat dalam wilayah. Sedangkan yang

1
Dt. Rajo Indo, Seluk Beluk Hukum Adat Minangkabau, Batusangkar, 2010, h. 167.
2
Tambo berasal dari kata sanskerta tambaz atau tambe yang artinya bermula. Tambo
merupakan salah satu warisan kebudayaan Minangkabau yang penting. Ia merupakan kisah yang
disampaikan secara lisan oleh tukang kaba. Tambo ada dua jenis yaitu pertama, tambo adat yang
mengisahkan adat atau sistem dan aturan pemerintahan Minangkabau pada masa lalu. Kedua,
tambo alam yang mengisahkan asal usul nenek moyang serta bangunnya kerajaan Minagkabau.
Tambo diwariskan secra lisan karena itu antara tambo satu dengan tambo yang lainnya tidak ada
yang sama persis isi dan kisahnya. Lihat A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Gratifi Pers, 1986), h. 45.
3
Menurut A.A Navis urutan syarat kelengkapan Nagari tersebut dalam beberapa buku
tambo berbeda, namun yang sama adalah letak syarat “babalai-bamusajik”(berbalai-bermasjid)
berada pada urutan yang pertama. Lihat A.A Navis, Alam Takambang Jadi Guru: Adat dan
Kebudayaan Minangkabau (Jakarta: Gratifi Pers, 1986), h. 91-92.
4
Ibid, hlm 92-94

44
45

dimaksud dengan musajik adalah tempat peribadatan yaitu Masjid. Jadi


masyarakat Minang menganut agama Islam. Kalau salah seorang murtad
berarti dianggap bukan orang minang lagi dan tidak diakui sebagai anak
nagari.5
b. Basuku Banagari, maksudnya adalah penduduk terbagi pada kelompok
masyarakat yang dinamakan suku yang diturunkan melalui garis
ibu(matrilineal). Setiap nagari minimal mempunyai empat suku dengan
masing-masing mempunyai penghulu atau ninik mamak. Lazim setiap
suku atau kaum dalam persukuan mempunyai hal yang diwariskan
secara turun temurun yang disebut dengan pusako-sako (benda-non
benda). Sedangkan bernagari maksudnya juga masing-masing penduduk
harus jelas suku dan asal nagari mereka semula, untuk menentukan hak
dan kewajiban mereka.
c. Bakorong Bakampuang, maksudnya setiap nagari mempunyai wilayah
kediaman, ada yang berada di lingkaran pusat dengan batas-batas berupa
alam seperti sungai atau dibentuk sendiri oleh masyarakat dan ada juga
diwilayah satelit yaitu wilayah di luar lingkaran pusat. Wilayah di
lingkaran pusat disebut juga dengan korong atau jorong. Sedangkan di
luar wilayah lingkaran pusat disebut dengan koto, dusun atau taratak,
yang semuanya disebut kampuang.
d. Bahuma Babendang, maksudnya adalah penaturan informasi yang
datang dari luar terhadap harta benda dan juga pengaturan informasi
mengenai berbagai hal yang perlu diketahui bersama seperti musim
turun sawah, gotong royong, situasi dan kondisi yang perlu dilaksanakan
secara bersama-sama.
e. Balabuah Batapian, maksudnya adalah pengaturan perhubungan, lalu
lintas dan perdagangan. Juga tapian yang merupakan sungai yang
merupakan tempat mandi.

5
Hukum Adat Minangkabau, diakses jam 20.00 hari selasa tanggal 01 Mai tahun 2018,
http://komunikasi.unsoed.ac.id/sites/default/fole/53.RITAGANI_unisba.pdf
46

f. Basawah baladang, maksudnya adalah pengaturan sistem usaha


pertanian serta harta benda yang menjadi sumber hukum dan
pewarisannya.
g. Bahalaman Bapamedaman, maksudnya adalah pengaturan rukun
tetangga, pesta keramaian dan permainan.
h. Bapandam Bapusaro, maksudnya adalah pengaturan masalah kematian
beserta upacaranya.
Perda kabupaten Tanah Datar No. 4 Tahun 2008 Tentang Nagari juga
mensyaratkan hal yang sama pada pasal 3 Bab 2 mengenai pembentukan Nagari.
Hanya dengan beberapa penambahan seperti mananam nan bapucuak (menanam
tumbuhan atau tanaman), mamaliharo nan banyao (memelihara yang bernyawa),
yang maksudnya memelihara hewan ternak. Sedangkan penambahan lain di dalam
perda babanda babatuan (bersungai berbatuan), niniak mamak nan ampek suku
(ninik mamak dari empat suku), baadat balimbago (beradat berlembaga), dan
kantua nagari (kantor nagari) telah termasuk juga delapan perangkat yang
disebutkan A.A. Navis yang diambilnya dari beberapa buku tambo alam
Minangkabau.
Proses terbentuknya nagari dimulai dari taratak, kampung atau dusun,
jorong atau koto lalu nagari, sehingganya menyebut nagari dalam adat
Minangkabau sebenarnya adalah menyebut suatu pemerintahan tertinggi bagi
masyarakatnya. Karena selain proses terbentuknya nagari tadi, adat Minangkabau
tidak menyebut suatu pemerintahan tertinggi lagi setelah nagari.6
Awal mula terbentuknya Nagari Tanjung Barulak sebagaimana nagari di
Minangkabau karena anak kemenakan semakin bayak, maka Niniak moyang
terdahulu melakukan macancang malatiah daerah baru untuk menyusun tempat
tinggal, memulai dengan bataratak yaitu menandai lokasi atau raco tampek ,
selanjutnya bakoto yang artinya kumpulan, kemudian setelah banagari maka
dibangun syarat sebuah nagari yaitu bapasa, babalai-balai, bamusajik dan
balapangan.7

6
A.A. Navis, Alam Takambang Jadi Guru, Jakarta: Pustaka Gratifipers, 1984, h. 94
7
Monografi Nagari Tanjung Batulak pada tahun 2016.
47

Nama Nagari Tanjung Barulak menurut penuturan orang tuo di nagari


adalah. Karena tanahnya bayak yang menjorok yang dibatasi lurah yang dialiri
oleh air atau mata air, tanah tersebut menyerupai sebuah tanjung, dimana tanjung
tersebut bergelombang dan dialiri air (ulak an). Dari itulah dinamai nagari ini
dengan nama Tanjung Barulak biasa juga disebut nagari yang bergelombang yang
dialiri oleh mata air atau ulak an.
Suku yang ada di Nagari Tanjung Barulak berjumlah enam suku dan empat
jurai, yaitu suku yang enam terdiri dari :
1. Suku Tanjung.
2. Suku Simabur
3. Suku Guci.
4. Suku Koto
5. Suku Pisang-Sikumbang
6. Suku Piliang
Dan memiliki empat jurai yaitu :
1. Simabur
2. Tanjung
3. Guci
4. Tigo Niniak
Didalam adat dimana Nagari Tanjung Barulak dengan lareh koto piliang
yang dianut, dalam hal pengangkatan penghulu8 tetap mempertahankan adat yang
lama, yakni penghulu tetap 20 orang. Tidak boleh ditambah atau dikurang, salah
satu symbol kelarasan koto piliang yakni bajanjang naiak batanggo turun
(berjanjang naik bertangga turun) masih terlihat sampe sekarang yakni adanya
kasua papan9 waktu ada pesta pernikahan. dua puluh penghulu dan dua puluh
panungkek10 itu terdiri dari, yaitu:
Table I

8
Penghulu merupakan sebutan bagi seorang pemimpin kaum di Minangkabu
9
Kasua papan artinya kayu papan yang ditarok dibawah Kasur mempelai, kayu papan
yang ditarok sebayak tingkatan atau jabatan marapulai (mempelai laki-laki) menurut ketentuan
adat salingkah nagari.
10
Panungkek merupakan sebutan bagi seorang wakil pemimpin kaum di Minangkabau
48

Penghulu Nagari Tanjung Barulak (20 orang)


No. Gelar Jabatan Suku
01. Dt. Mangada’i Pucuak Tanjung
02. Dt. Nan Basa Handiko Tanjung
03. Dt. Rangkayo Hitam Handiko Tanjung
04. Dt. Damuanso Handiko Tanjung
05. Dt. Tianso Handiko Tanjung
06. Dt. Panghulu Nan Kuniang Pucuak Simabur
07. Dt. Adia Handiko Simabur
08. Dt. Palimo Handiko Simabur
09. Dt. Panghulu Nan Hitam Handiko Simabur
10. Dt. Rajo bukik Handiko Simabur
11. Dt. Marajo Pucuak Guci
12. Dt. Panghulu Marajo Handiko Guci
13. Dt. Tan Mudo Handiko Guci
14. Dt. Rajo Mangkuto Handiko Guci
15. Dt. Panjang Pucuak Tigo Niniak
16. Dt. Rajo Batuah Handiko Tigo Niniak
17. Dt. Mojo Indo Pucuak Tigo Niniak
18. Dt. Rajo pahlawan Haniko Tigo Niniak
19. Dt. Rajo Lelo Pucuak Tigo Niniak
20 Dt. Rajo Sampono Handiko Tigo Niniak
Sumber Data : monografi Kenagarian Tanjung Barulak Tahun 2016
Table II
Panungkek Nagari Tanjung Barulak (20 orang)
No Gelar Suku/Jurai
01. Dt. Pono Basa Tanjung
02. Dt. Basa Tanjung
03. Dt. Basa Tanjung
04. Dt. Bagindo Tanjung
49

05. Dt. Indo Marajo Tanjung


06. Dt. Simarajo Nan Panjang Simabur
07. Dt. Rangkai Pandak Simabur
08. Dt. Imbang Jayo Simabur
09. Dt. Sati Simabur
10. - -
11. Dt. Kayo Guci
12. Dt. Tan Majo Lelo Guci
13. Dt. Kando Guci
14. Dt. Mangkuto Majo Lelo Guci
15. Dt. Jo Muliah Tigo Niniak
16. Dt. Gadang Tigo Niniak
17. Dt. Rangkai Tuo Tigo Niniak
18. Dt. Batuah Tigo Niniak
19. Dt. Endah Kayo Tigo Niniak
20. Dt. Tambijo Tigo Niniak
Sumber Data : monografi Kenagarian Tanjung Barulak Tahun 2016

B. Kondisi Monografis dan Geografis Nagari Tanjung Barulak

Nagari Tanjung Barulak terletak tidak jahuh dari danau singkarak dengan
topografi daerah berbukit, sehingga mempunyai panorama yang indah, nagari ini
tidak terlalu besar, dimana masyarakat masih memengang teguh adat dan agama.
Nagari Tanjung Barulak merupak sala satu nagari nan termasuk ke dalam
wilayah Kecamatan Batipuh, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatra Barat,
Indonesia. Nagari ini terletak di jalan lintas Sumatra KM 14 tepatnya jalan raya
Padang Panjang – Solok. Sebuah Nagari yang secara geografis terlatak berdekatan
dengan Danau Singkarak.11 Jarak Nagari Tanjung Barulak ke pemerintahan
Kecamatan Batipuh lebih kurang 8 km, jaraknya dengan pusat pemerintahan

11
Nagari Tanjung Barulak, diakses jam 18.10 hari selasa tanggal 01 Mai 2018
http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tanjung_Barulak,_Batipuh,_Tanah,_Datar.
50

Kabupaten Tanah Datar lebih kurang 25 km, sedangkan dari ibu kota propinsi
Sumatera Barat berjarak lebih kurang 86 km.
Nagari Tanjung Barulak memiliki luas lebih kurang 45,81 Ha/m2 dengan
letak 100º 30º5’ Bujur Timur dan 0º 30º44’ Lintang Selatan pada ketinggian rata-
rata 1.403 Meter dari permukaan laut dengan memiliki suhu udara berkisar antara
24ºC sampai 28ºC dan curah hujan 4.320 mm, dan tingkat kesuburan tanah, sangat
subur 35 %, subur 48 %, lain-lain 17 %, yang berbatasan dengan wilayah sebagai
berikut :
1. Sebelah Utara : berbatasan dengan Nagari Bungo Tanjung.
2. Sebelah Selatan : berbatasan denag Nagari Batu Taba dan Nagari
Sumpur
Batas dengan Batu Taba yaitu Sawah milik Tanjung
Barulak dan gurun milik Batu Taba
3. Sebelah Barat : berbatasan dengan Nagari Sumpur dan Bunga Tanjung
Batas dengan Sumpur yaitu gurun milik Nagari
Sumpur sawah milik Nagari Tanjung Barulak
4. Sebelah Timur : berbatasan dengan Nagari Batu Basa dan Nagari Tigo
Koto
Dibagi dengan bukit, nan tagolek arah ka tabik mato
hari jadi milik Tigo Koto dan yang jatuh arah mato
ari tabanam jadu milik Tanjung Barulak.
Nagari Tanjung Barulak memiliki sebelas jorong terdiri dari, yaitu:
1. Kapuah
2. Koto
3. Baliak Baringin
4. Padang Langgo
5. Tabuah Tabuah
6. Guguak Tinggi
7. Guguak Tapuang
8. Kapalo Koto
9. Pulai
51

10. Kucabuak
11. Palembaian
Berdasarkan data dasar profil Nagari Tanjung Barulak menunjukkan bahwa
jumlah penduduk yang ada di Nagari Tanjung Barulak seluruhnya pada tahun
2016 adalah 4.445 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 1371 jiwa dan perempuan 1703
jiwa. Untuk lebih jelasnya bisa dilihat dari tabel di bawah ini :
Table III
Jumlah penduduk Nagari Tanjung Barulak
No Nama Jorong Jeneis Kelamin Jumlah

Laki-laki Perempuan
01 Jorong Kapalo Koto 351 364 715
02 Jorong Palambaiyan 111 119 230
03 Jorong Tabuah-Tabuah 221 109 430
04 Jorong Pulai 167 162 329
05 Jorong Guguk Tinggi 130 137 267
06 Jorong Guguak Tapung 66 73 139
07 Jorong Baliak Baringin 186 196 382
08 Jorong Koto 103 97 200
09 Jorong Padang Langgo 383 395 778
10 Jorong Kapuah 231 277 508
11 Jorong Kucabuak 117 119 236
Jumlah 4.214
Sumber Data : monografi Kenagarian Tanjung Barulak Tahun 2016
Berdasarkan tabel di atas dapat diambil kesimpulan bahwa jumlah penduduk
yang ada d Nagari Tanjung Barulak Lebih Banyak Perempuan dari pada Laki-laki
di karena kan banyak warga Nagari Tanjung Barulak yang Pergi Merantau ke luar
daerah dan berdomisili di tempat perantauannya dan sekaligus berkeluarga disana.
Dibidang ekonomi Nagari Tanjung Barulak mempunyai Bank Perkreditan
Rakyat (BPR), dimana saham mayoritas dipengang oleh pemerintah Nagari
Tanjung Barulak. BPR atau Bank Perkreditan Rakyat yang ada di Nagari Tanjung
52

Barulak bisa dibilang bank nagari yang masih bertahan sampai sekarang,
walaupun banknya belum besar namun nasabahnya sampai nagari-nagari sebelah.
Potensi Nagari Tanjung Barulak pada umumnya masyarakat yang tinggal
atau berdomisili di pedesaan hidupnya dari hasil pertanian, baik sawah, ladang,
punya ternak dan lain sebagainya. Hanya sedikit yang bermata pencarian lain
seperti petani, berdagang dan Pegawai Negeri Sipil (PNS), untuk lebih jelasnya
dapat dilihat dari tabel berikut ini :
Table IV
Jumlah Penduduk Menurut Mata Pencarian
No. Mata Pencarian Jumlah (Orang)
01 Petani 764
02 PNS 146
03 TNI/POLRI 6
04 Wiraswastawan 245
05 Pensiunan 58
06 Buruh Tani 137
07 Pertukangan 95
08 Pedagang 143
09 Honorer 124
Jumlah 1.718
Sumber Data : Monografi Kenagarian Tanjung Barulak tahun 2011

Secara faktual kehidupan agama di Nagari Tanjung Barulak berjalan dengan


lancar. Hal ini dapat diperhatikan dalam realita kehidupan masyarakat yang aman,
damai, dan sejahtera. Dalam masalah agama didaerah ini, 100% beragama Islam.
Masyarakat di Nagari Tanjung Barulak masih mempunyai keyakinan yang kuat.
Hal ini terbukti bahwa meratanya masyarakat dalam mengikuti pengajian baik
yang dilaksanakan di mesjid maupun di rumah seperti wirid yasin dan shalawat
Nabi.
Masyarakat Nagari Tanjung Barulak selain tempat ibadah mesjid juga
digunakan untuk melaksanakan acara-acara besar Islam seperti acara Isra’ Mi’raj,
53

wirid pengajian dan acara didikan subuh bagi murid TPA di adakan oleh nagari
yang dilakukan sekali dalam satu bulan dan lain-lainnya. Sedangkan mushala
(surau) selain tempat ibadah juga digunakan untuk belajar mengaji al-Qur’an bagi
murid TPA, untuk melakukan musyawarah masyarakat jorong dan juga untuk
melaksanakan acara didikan subuh di TPA sekali seminggu.
Surau atau mushollah sanggat bayak di Nagari Tanjung Barulak, hampir tiap
Datuak Tungganai mempunyai surau, dimana surau ini tidak hanya semata
fungsinya untuk beribadah tapi juga dipakai sebagai tempat bermusyawarah untuk
menyelesaikan masalah anak kemenakan. Untuk lebih jelasnya berapa banyak
sarana dan prasarana ibadah di Nagari Tanjung Barulak dapat dilihat dari tabel di
bawah ini :

Table V
Sarana dan prasana Ibadah

No. Sarana Ibadah Jumlah


01 Masjid 3
02 Mushohala/ Surau 18
03 Gereja -
04 Pura -
Sember Data : Monografi
05 Wihara -
Kenagarian Tanjung
Barulak tahun 2016
Dari tabel di atas bahwa sarana ibadah seperti mesjid hanya terdapat 3 buah
dan mushala 18 buah. Mereka membangun mesjid 3 buah karena di Nagari
Tanjuing Barulak terdapat 11 buah Jorong, dan tiap-tiap jorong memiliki 1 buah
Mushalah dan ada yang satu jorong memiliki 2 buah Mushalah. Mesjid tersebut
terletak di tengah-tengah nagari. Dimana mesjid ini terletak di jorong koto yaitu
mesjid Al-Ihsan, di jorong Pelembayan mesjid Raya Syuhada’ merupakan masjid
nagari yang pengurusannya adalah urang ampek jenih dan di jorong Kapuah
mesjid Al-Hidayah yang berdekatan dengan pasar mingguan Nagari Tanjung
Barulak.
54

Sebagaimana nagari di Minangkabau khususnya di Nagari Tanjung Barulak


berfungsi mengenai adat jinih nan ampek adalah imam, khatib, bilal dan kali,
untuk Nagari Tanjung Barulak telah ada ketetapan jinih nan ampek di bagi
persukuan/jurai sebangai berikut :
1. Imam dari pasukuan Simabua
2. Khatib dari pasukuan Tanjung
3. Kali dari pasukuan Tigo Niniak
4. Bilal dari pasukuan Guci
Dibidang pendidikan Nagari Tanjung Barulak memiliki 2 buah Matrasah
swasta yang lumayan bagus dan telah terakreditasi B. Potensi pendidikan yang
berada di Nagari Tanjung Barulak terdiri dari, yaitu:
Table VI
Wilayah pendidikan Umum Nagari Tanjung Barulak
No. Sekolah Lokasi Keterangan
01. Paud Teratai Jorong Kapalo Koto -
02. Paud Kasih Ibu Jorong Kapuah -
03. Paud Restu Bunda Jorong Kucabuak -
04. Melati Jorong Pulai -
05. Mutiara Jingga Jorong Koto -
06. Paud Pelanggi Ceria Jorong Tabuah-tabuah -
07. TK Diniyah Jorong Pulai -
08. TK Harapan Bangsa Jorong Kapuah -
09. SDN 03 Jorong Koto -
10. SDN 18 Jorong Koto -
11. SDN 42 Jorong Tabuah-tabuah -
12. Matrasah Diniyah Jorong Pulai Aliyah dan MTS
13. Matrasah Tarbiyah Jorong Koto Aliyah dan MTS
Sember Data : Monografi Kenagarian Tanjung Barulak tahun 2016
Disamping itu pendidikan merupakan suatu hal mutlak yang harus diterima
oleh setiap manusia karena pendidikan merupakan sarana untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan yang dapat menghasilkan sumber daya manusia yang unggul
55

dan berkualitas. Penduduk yang menyadari pentingnya pendidikan terbukti


dengan adanya putra putri Nagari Tanjung Barulak yang telah duduk diperguruan
tingggi baik yang ada di Padang maupun di tempat lainnya seperti UNRI, UNP,
UNAND, IAIN dan Sekolah tinggi yang berada di Sumatera Barat. Untuk lebih
jelasnya tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat Nagari Tanjung Barulak
maka penulis mengemukakan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel VII
Penggolongan Penduduk Nagari Tanjung Barulak Menurut Tingkat
Pendidikan
No Pendidikan Jumlah (Orang)
01 Belum Sekolah 729
02 Tidak tamat SD 658
03 SD 884
04 SMP 941
05 SMA 816
06 D II 45
07 D III 54
08 S1 131
09 S2 8
10 S3 -
Sumber Data : Demografi Nagari Tanjung Barulak Tahun 2017
Dari tabel di atas jelas terlihat bahwa penduduk Nagari Tanjung Barulak
pada umumnya banyak yang tamat dan banyak juga yang tidak tamat SD.
Sedangkan yang melanjutkan pendidikan kepada tingkat yang paling tinggi tidak
begitu banyak jumlahnya dari daerah lain. Di sini terlihat bahwa pendidikan di
Nagari Tanjung Barulak masih rendah karena sarana dan prasarana yang tidak
memadai dan juga karena kekurangan biaya untuk melanjutkan pendidikan
kejenjang yang lebih tinggi.
56

C. Hukum Adat yang Berkembang di Nagari Tanjung Barulak

Penduduk suatu nagari bukan saja merupakan satu kesatuan sosial, tetapi
mereka juga diikat oleh kehendak ingin hidup bersama dengan rukun. Mereka
juga patuh kepada norma-norma pergaulan hidup bersama.
Setelah hidup bersama dalam suatu nagari, orang-orang yang berasal dari
berbagai suku itu akhirnya satu berkauman territorial dan mempunyai
kepentingan-kepentingan yang sama. Hal ini menimbulkan semangat gotong-
royong, saling tolong menolong dan ingin menciptakan kedamaian sesama
masyarakat nagari. Segala permasalahan baik dan buruk semuanya dilaksanakan
secara musyawarah.
Hukum adat banagari ini tertuang dalam ikatan kekeluargaan dalam nagari
nan ampek
1. Sakaum sakaturunan.
Walaupun di Minangkabau ada anggapan orang yang sesuku juga bertali
darah, namun bila diperhatikan betul asal usul keturunannya agak sulit
dibuktikan, lain halnya dengan orang yang sekaum. Walaupun orang yang
sekaum itu sudah puluhan orang dan bahkan sampai ratusan, namun untuk
membuktikan mereka sekuturunan masih bisa di cari.
Untuk mengujinya liyat ranji atau silsilah keturunan mereka. Dari ranji ini
dapat dilihat generasi mereka sebulumnya dan sampai sekarang, yang ditarik
dari garis keturunan wanita. Faktor keturunan sangat erat hubungannya
dengan harta pusaka dari kaum tersebut. Ranji yang tidak terang atau tidak
ada sama sekali bisa menyebabkan kericuhan mengenai harta pusaka kaum
dan juga mengenai sako.12
2. Sahina semalu
Anggota yang berbuat melangar adat akan mencemarkan nama seluruh
anggota kaum, yang paling terpukul adalah mamak kaum dan mamak kepala
waris yang diangkat sebagai pemimpin kaumnya. Karena perasaan sehina
semalu cukup mendalam, maka seluruh anggota kaum selalu mangajak agar

12
Ibrahin Dt. Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau (tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang). Bukittinggi. Kristal Multimedia.2009. hal. 92-93
57

jangan terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dari anggota kaumnya. Rasa
sehina semalu ini adat mengatakan :
Malu tak dapek dibagi. Malu tak dapat dibagi
Suku tak dapek dianjak. Suku tak dapat dibagi
Artinya, malu seorang malu bersama. Mamak atau wanita-wanita yang
sudah dewasa selalu mengawasi rumah gadangnya dan sanak kaumnya agar
tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
3. Sepandam sapekuburan
Untuk menunjukkan orang yang sekaum maka sebuah kaum mempunyai
pandam tempat berkubur khusus bagi anggota kaum-kaumnya. Untuk
mangatakan seseorang itu sekaum merupakan orang asal dalam kampung
itu, kaum kelurganya dapat menunjukkan pandamnya. Di dalam adat
dikatakan orang yang sekaum itu sepandam sepekuburan dengan pengertian
satu pandam tempat berkubur.

4. Seberat saringan.
Orang yang sekaum seberat seringan sesakit sesanang sebagian yang
dikemukakan dalam pepatah adat sebagai berikut :
Kaba baik baimbauan kabar baik dihimbaukan
Kaba buruak bahambaun kabar buruk berhamburan
Artinya, bila ada sesuatu yang baik untuk dilaksanakan seperti perkawinan,
berdoa dan lain-lain maka kepada sanak saudara hendaklah diberitahukan
agar mereka datang untuk menghadiri acara yang akan dilaksanakan. Tetapi
sebaliknya semua sanak famili akan berdatangan, jika mendengarkan kabar
buruk salah seorang anggota keluarganya tampa di himbaukan. Sebagai
contohnya seperti ada kematian atau malapetaka lainya yang meninpa.
5. Seharta sepusaka.
Menurut adat Minangkabau tidak dikenal harta perseorangan, harta
merupakan warisan dari anggota kaum secara turun temurun. Harta pusaka
yang bayak dari sebuah kaum menunjukkan juga bahwa nenek moyangnya
merupakan orang asal kampung itu sebgai panaruko (menggarap) pertama
58

di nagari, dan kaum yang sedikit mempunyai harta pusaka bisa dianggap
orang yang datang kemudian.
Oleh sebab itu dalam sebuaha adat berkaum yang bayak memiliki harta
tetapi hasil tambilang emas atau dengan cara membeli, maka statusnya
dalam masyarakat adat tidak sama sekali dengan orang yang mempunyai
harta pusaka tinggi. Malahan orang yang seperti ini disebut sebagai orang
pendatang.
Harta pusaka kaum merupakan kunci yang kokoh sebagai alat pemersatu
dan tetap berpengang kepada prinsip, seperti pepatah adat mengatakan :
Harato salingka kaum, adat salingkar nagari ‘Harta salingkar kaumAdat
salingkar nagari’.13

13
Ibrahin Dt. Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau (tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang). Bukittinggi. Kristal Multimedia.2009. hal. 94
BAB IV

PERGESERAN PERAN MAMAK KEPALA WARIS TERHADAP HARTA


PUSAKA TINGGI DI NAGARI TANJUNG BARULAK

A. Faktor Penyebab Pergesaran Peran Mamak Kepala Waris Sebagai


Penjaga Harta Pusaka Tinggi.

Pergeseran fungs dan peranan Mamak Kepala Waris dalam mengawasi harta
pusaka tinggi pada kaum di Nagari Tanjung Barulak merupakan perubahan-
perubahan yang terjadi disebabkan oleh pergeseran tanggung jawab seorang laki-
laki (mamak) ke rumah anak dan istrinya. Hal ini bertitik tolak dari system
perkawinan yang dilaksanakan masyarakat dewasa ini sudah menjurus kepada
bentuk perkawinan sumando1 menetap yang sebelumnya dikenal dengan bentuk
perkawinan sumando bertandang.

Suami atau sumando lambat laun semaking bertanggung jawab terhadap


istri dan ank-anaknya. Ayah dan suami lebih mencurahkan perhatian terhadap
keluarganya. Selanjutnya keakrabannya dengan anak dan istrinya menyisihkan
pengaruh dan kekuasaan mamak yang secara doktrin dulu dominan dan
menentukan dalam menentukan anak kemenakannya yang biasa disebut
kaumnya.2
Menurut Syafyan Thalib, SH perubahan yang terjadi dalam masyarakat
dewasa ini menyangkut dengan ciri masyarakat itu sendiri3
Penyebab terjadinya pergeseran peran Mamak Kepala Waris dalam menjaga
harta pusaka tinggi kaum di Nagari Tanjung Barulak ada tiga, yaitu:
1. Sitem Kekerabatan.
Hamka mengemukakan bahwa salah satu ciri masyarakat Minangkabau
adalah sistem kekerabatan menururt garis ibu4 konsekuensi lanjut dari pendapat
ini adalah prihal suku seorang adalah menurut suku ibunya bukan suku dari pihak

1
Sumando dalam Bahasa Indonesia adalah suami
2
Firman Hasan, SH. Suatu Pengantar Dinamika Masyakat dan Adat Minangkabau, Pusat
Penelitian Unand Padang. 1987/1998, hal. 9
3
Syafyan Thalib, SH. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau.
Pusat Penelitian Unand Padang, 1987/1998, hal. 17
4
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Firman Tekad, Jakarta,1963, hal, 34

60
61

ayah. Namun demikian bagi sebagian kecil masyarakat peran suku tidak kuat lagi
dipengang, sebagian telah terjadi perkawinan antar Minangkabau dengan suku
bangsa lain atau bahkan dengan bangsa asing sehingga kesukusan tidak menjadi
suatu yang teramat penting.
Matrilocal marriage kata De Jong juga merupakan salah satu ciri masyarakat
Mianangkabau yang matrilineal, dimanan suai pindah kerumah istri.5 Namun pada
perkembangan dewasa ini sudah terjadi pergeseran yang cukup berarti. Dimana
timbul kecenderungan baru bahwa sekitar 52% laki-laki Minangkabau yang
ditanyai menolak anggapan yang diutarakan Dejong diatas, yang ternyata tidak
lagi menjadi ciri orang Minangkabau.6 Bergeserlah domisili keluarga dari rumah
istri ketempat lain berakibat lanjut dan meninggalkan sedikit hak bagi si ayah,
nampak mulai ditinggalkan. Hal ini dapat kita liyat pada kenyataan sekarang ini
yang mana peranan ayah dalam keluarga sudah dominan.
Dengan demikian peranan ayah sebagai kepala rumah tangga semakin besar
bahkan kelak bisa diramalkan bahwa ayah yang akan berkuasa dan menentukn
dalam urusan rumah tangga dan Mamak Kepala Waris akan berperan sabagai
pihak yang ditinggalkan hanya memberikan restu persetujuan saja atas
kebijaksanaan yang telah diambil oleh ayah dan ibu.
Juga telah ditemukan kenyataan sekarang ini bahwa ayah dan ibunya sudah
mulai mengambil peranan penting dalam kekuasaan-kekusaan yang tadi dimiliki
mamak kepala waris dalam rumah tangga anak kemenakan, sudah mulai beralih
pada keluarga itu sendiri yaitu suami dengan istri.
2. Pusaka.
Pusaka dalam Minangkabau dikategorikan kedalam dua kelompok yaitu
pusaka tinggi dan pusaka rendah. Pusaka tinggi adalah semua harta yang
diwariskan secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya, yang
dimiliki oleh seluruh anggota kaum yang penguasaanya ada ditangan Mamak
Kepaka Waris. Harta pusaka itu tidak boleh digadaikan apa lagi dijual, kecuali ada
empat hal, yaitu :
5
Syafyan Thalib, SH. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau.
Pusat Penelitian Unand Padang, 1987/1998, hal. 18
6
Hamka, hlm 34
62

 Rumah gadang ketirisan.


 Mayat terbujur ditengah rumah
 Gadis besar belum bersuami
 Pembangkit batang terendam.
Namun dewasa ini, keempat alasan menggadai atau menjual di atas mulai
bertambah karena makin berkembangnya zaman dan semakin beragamnya akan
kebutuhan yang harus dipebuhi, saat ini gadai dapat dilakukan dengan alasan
seperti pembayar hutang kehormatan, pembayaran hutang darah, untuk membayar
hutang yang dibuat bersama ( kaum ) dan sebagainya.
Akibatnya harta pusaka tinggi sudah bayak yang tergadaikan dan peran
Mamak Kepala Waris yang mana menjaga, memelihara dan merawat dari harta itu
sudah tidak ada lagi perannya. Maka terjadilah perubahan social dalam bentuk
renggangnya hubungan antara mamak dengan kaum.
3. Kekuasaan dirumah tangga.
Ayah sebagai sumando dirumah istrinya, kini semakin memaikan perannnya
yang lebih penting bahkan menjadi dominan atau paling tidak semakin
menetukan. Hal inin disebabkan oleh masalah residensi keluarga yang milai
berangsur dari teritorial kaum istri ke lokasi lain bahkan ada yang tinggal di
territorial suami.7
Dengan tempat tinggal keluarga yang telah bergeser sedemikian rupa,
tanggung jawab akan semakin terasa dalam kehidupan keluarga. Selanjutnya
keakraban dengan keluarga lain tidak seakrab dengan ayah, ibu atau saudara yang
tinggal dirumah. akibatnya hubungan mamak dengan kemenakan perempuan
agaknya sudah jadi yang kedua mungkin juga yang ketiga. Jadi tidak sesuai lagi
dengan pendapat Hamka yang mengatakan bahwa yang menjadi puncak dalam
rumah tangga adalah nenek perempuan.8
Melemahnya wibawa mamak dan juga nenek antara lain disebabkan oleh
perbedaan tingkat pendidikan antara mamak disatu pihak, dengan kesempatan

7
Syafyan Thalib, SH. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau.
Pusat Penelitian Unand Padang, 1987/1998, hal. 17
8
Hamka, Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Firman Tekad, Jakarta,1963, hal, 33
63

untuk memperolah pendidikan yang lebih luas bagi generasi muda Minangkabau
yang dididik orang tua mereka sendiri.

Melihat perubahan-perubahan yang terjadi ditengah masyarakat dewasa ini


mengakibatkan pergeseran fungsi dan peranan mamak kepala waris kaum dalam
mengawasi kelangsungan harta pusaka tinggi kaumnya.

B. Akibat Yang Timbul Dari Pergeseran Peran Mamak Kepala Waris


Pada Harta Pusaka Tinggi.

Peranan Mamak Kepala Waris yang secara konseptual telah digariskan oleh
adat Minangkabau dalam prakteknya dewasa ini mengalami beberapa pergeseran-
pergeseran. Berdasarkan hasil penelitian di lapangan dapat dikemukakan akibat
yang timbul dari terjadinya pergeseran nilai secara aktual dari peranan mamak
kepala waris dalam kaumnya, yaitu :

1. Pergeseran tanggung jawab seorang mamak ke rumah anak istrinya.


Hal ini bertitik tolak dari sistem perkawinan yang dilakukan masyarakat
dewasa ini sudah menjurus kepada bentuk perkawinan sumando menetap yang
sebelumnya dikenal dengan bentuk perkawinan sumando bertandang. Suami atau
semenda lambat laun semakin bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-
anaknya. Ayah dan suami lebih mencurahkan perhatian terhadap keluarganya.
Selanjutnya keakraban dengan anak dan isterinya menyisihkan pengaruh dan
kekuasaan mamak yang secara doktrin dulu dianggap dominan dan menentukan
dalam kehidupan anak kemenakannya yang biasa disebut kaumnya.
Akibatnya anak kemenakan sudah tidak ada lagi respon terhadap mamak,
sebab anak kemenakan sudah ada untuk bertanya dan melindunginya yaitu
ayahnya, ini sudah ketidak adaan lagi yang mana anak dipangku kemenakan
dibimbiang, arinya anak sendiri dan keponakan sendiri diberi bimbingan dan
perlindungan agar kelak bisa menjadi orang yang berguna.
2. Menentukan masa depan kemenakan.
Ketentuan adat yang selama ini menunjukkan bahwa mamak adalah orang
yang mangatuah mangabaruahkan (mengurus dan bertanggung jawab terhadap
64

kehidupan dan masa depan) kemenakan, termasuk dalam hal menentukan


pendidikan dan persiapan masa depan kemenakannya.
Dari hasil penelitian ini dapat diketahui bahwa mentaati paraturan adat saat
ini didialam kenyataan sehari-hari pun hal ini juga dapat ditemui bahwa mamak
dalam hal menentukan masa depan kemenakan hanya sebagai pelengkap dan
bukan lagi memengang peran yang menentukan.
3. Sistim pewarisan harta pencarian.
Perubahan sistim pewarisan harta pencarian, dari yang semula mamak
mewariskan kepada kemenakan sebagai tambahan bagi harta pusaka yang telah
ada didalam keluarga matrilinialnya, tetapi dengan adanya kenyataan bahwa
seorang laki-laki yang telah berkeluarga lebih cenderung mewariskan harta
pencarian kepada anak dari pada kemenakan.
Dengan adanya perubahan pelaksanaan pewarisan harta pencarian tersebut,
maka tidak akan ditemui lagi adanya penambahan harta pusaka yang berasal dari
harta pencarian mamak kalaupun harta pusaka dapat bertambah, maka itu telah
merupakan gamggam bauntuak (sudah ada bagian masing-masing). Jadi harta
pusaka pada dewasa ini hanya harta pusaka yang diwarisi dari yang terdahulu
tidak ada penambahannya, akibatnya harta pusaka akan semangkin sedikit karena
dibagi-bagi kepada kemenakan yang sudah mulai berkembang.
4. Pengaruh Rumah Inti.
Pesatnya kegiatan pembangunan, dan semakin bayaknya penghuni „rumah
gadang‟, menyebabkan anggota rumah gadang yang merasa mampu keluar dari
rumah gadang dan mendirikan rumah inti yang hanya dihuni oleh ayah, ibu dan
anak.
Timbulnya „rumah inti‟ yang hanya dihuni oleh keluarga kecil,
menyebabkan hubungan yang semakin dekat antara anak dengan bapak, dari pada
dengan mamak. Disamping itu, kalau semula rumah inti dibagaun oleh mamak
untuk kemenakannya dari hasil mendayagunakan harta pusaka, atau dari hasil
rantau, tetapi harta pusaka sudah tidak dapat lagi memenuhi kebutuhan utama
aggota kaumnya, sementara, hasil rauntau bagi mamak telah digunakan untuk
membiayai kehidupan anak dan istrinya.
65

5. Budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.


Pergeseran peranan mamak dalam keluarga matrilinialnya disebabkan oleh
jarak yang berjahuan antara mamak dengan kemenakan, karena salah satu pihak
pergi merantau. Pengaruh rantau terhadap hubungan kekerabatan.
Dengan perginya salah satu pihak mamak atau kemenakan maka terjadilah
semakin jahuhnya peran mamak terhadap anak kemenakannya juga dalam
memelihara dan mengawasi hasil harta pusaka tinggi kaum di kampung
halamannya.
6. Perekomonian dan tugas mamak dewasa ini.
Seorang Mamak Kepala Waris yang pada zaman dahulu senantiasa
mencurahkan waktunya untuk pengurusan kaum kini telah bergeser karena
kesibukan pekerjaan atau aktifitas lain dari seorang mamak kepala waris. Pada
saat ini pekerjaan seorang mamak kepala waris sangat variatif, seperti meliter,
pejabat negeri sipil, guru/dosen, bertani, pedagang dan lain sebagainya.
Akibatnya peranan mamak terhadap harta pusak tinggi dan membimbing
anak kemenakannya semangkin jahuh, bahkan ada sampai tidak terlihat karena
waktu lengang mamak terhadap kerjanya sama anak kemenakannya sedikit
dikarenakan kesibukan mamak buat nafkah anak dan istri.
7. Pada sebuah keluarga yang mengusai tanah atau harta pusaka tinggi
secara “ganggam bauntuak hiduik bapan gadok” (genggam beruntuk,
hidup bepekerjaan) oleh mamak kepala waris didalam kaumnya.
Maksudnya tanah tersebut boleh dimiliki setelah disyahkan atau disetujui
oleh kaumnya, sebagai miliknya dan pengurusan serta pemanfaatanya diserahkan
sepenuhnya kepada yang bersangkutan. Dulunya ganggam bauntuak-hiduik
bapangok, atas tanah dapat diperoleh oleh seorang anggota kaum berdasarkan
keputusan rapat kaum yang memberikan hak kepadanya, tetapi tidak bisa diperjual
belikan. Kecuali untuk kepentingan yang mendesak, seperti :
1. Rumah gadang ketirisan.
2. Mayat terbujur ditengah rumah.
3. Gadis besar belum bersuami.
4. Pembangkit batang tarandam.
66

Harta pusaka tinggi (tanah) yang telah diperuntukan tersebut secara turun
temurun dan berlanjut melalui garis keturunan ibu. (matrilineal), sehingga
pengolahan tanah selama bertahun-tahun mengakibatkan rasa kepemilikan secara
pribadi semakin kuat, yang mana hasil harta pusaka tidak boleh dibawak kerumah
istri namun hasil dari harta pusaka tinggi dibawak ke kaumnya.
Pergeseran peran seorang mamak kepala waris dewasa ini tentunya
memerlukan pemikiran yang bijak dari berbagai unsur di dalam masyarakat baik
dari kalangan ninik mamak, cerdik pandai maupun alim ulama agar perubahan-
perubahan yang terjadi dalam masyarakat sebagai bagian perubahan global tidak
membawa dampak pengikisan terhadap nilai-nilai adat yang telah tumbuh dan
berkembang sejak zaman dahulu.
Untuk itu menurut penulis diperlukan peran aktif kerapatan adat nagari
(KAN) dalam mencermati dan mengambil langkah-langkah prefentif terhadap
berbagai persoalan adat dan atau fenomena yang terjadi dalam masyarakat dalam
reaktualisasi peran mamak kepala waris dewasa ini agar kelestarian adat
Minangkabau termasuk di dalamnya harta pusaka tinggi yang merupakan ciri khas
keberadaan sistem matrilineal dapat terjaga dengan baik

C. Analisis Penulis.

Hardi Putra Wirman dalam artikelnya mengutip pendapat dari Sumarjan,


menjelaskan bahwa perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga-
lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem
sosial termasuk di dalamnya nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok
masyarakat. Maka peranan kelembagaan sangat penting dalam sistem sosial
karena lembaga yang ada dalam masyarakat akan menetukan pola tingkah laku
individu dalam masyarakat.9

9
Hardi Putra Wirman, “Dinamika Perubahan Adat Salingka Nagari (Studi Analisis tentang
Pewarisan Nilai-Nilai Adat di Kenagarian Pagadih Kabupaten Agam Sumatera Barat)”, Islam dan
Realitas Sosial, VI, 2, (Juli 2013), h. 41.
67

Dalam membicarakan peran Mamak Kepala Waris dalam menjaga Harta


Pusaka Tinggi Kaum pada masyarakat Nagari Tanjung Barulak merupakan
fenomena menarik dalam kehidupan masyarakat Minangkabau. Terjadi
pergeseran nilai tentu saja disebabkan karena faktor pendorong pergeseran atau
perubahan.
Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan dengan beberapa pemuka-
pemuka adat Nagari Tanjung Barulak, bahwa pergeseran peran yang terjadi pada
Mamak Kepala Waris Nagari Tanjung Barulak dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu:
1. Faktor Pendidikan
Pada setiap suku dalam Nagari Tanjung Barulak dahulunya memilki surau
(mushala). Selain untuk sarana beribadah surau juga digunakan untuk proses
belajar mengajar bagi anak kemenakannya. Di surau inilah Mamak Kepala Waris
atau Ninik Mamak memberikan ilmu pengetahuan kepada kemenakannya tentang
adat, syarak, berakhlak atau cara bergaul dengan semua orang dalam kehidupan
sehari-hari serta mengajarkan ilmu bela diri. Namun, saat ini praktek itu hanya
dijalankan oleh sebagian Mamak Kepala Waris atau Ninik Mamak bahkan bisa
dikatakan tidak terlihat lagi. Akibatnya kurangnya bimbingan terhadap anak
kemenakannya dalam bidang pendidikan ini, sehingga menyebabkan pergeseran
terhadap anak kemenakannya yang diangkat menjadi Mamak Kepala Waris.
Sebagaimana yang dikemukakan oleh ketua Kerapatan Nagari Tanjung Barulak
sendiri yaitu Angku Datuak Mangada‟i.10
“kalau dahulu Ninik Mamak mengumpulkan anak kemenakannya di surau.
Disana dibimbing anak kemenakan tersebut tentang pengetahuan adat dan syarak,
menanamkan cara berakhlak yang baik terhadap anak kemenakannya. Kemudian
juga diajarkan mereka itu basilek atau bela diri. Tapi kalau dilihat kondisinya saat
ini, praktek tersebut mulai lenyap dikarenakan mungkin karena sudah banyak
surau tersebut sudah hancur atau dijadikan rumah”.
2. Faktor Perantauan.

10
Angku Datuak. Mangada’i, Ketua Kerapatan Adat Nagari (KAN) Tanjung Barulak,
Interview Pribadi, Tanjung Barulak, 09 Februari 2018.
68

Merantau dilakukan oleh masyarakat Nagari Tanjung Barulak atau


masyarakat Minangkabau pada umumnya dengan tujuan agar kehidupan menjadi
lebih baik secara ekonomis dan rantau sepeti ini disebut untuk mencari sesuap
nasi dan mencari pakaian penutup punggung. Orang Minang seperti masyarakat
Nagari Tanjung Barulak aktif mengunjungi rantau, secara sadar ia memutuskan
untuk meninggalkan rumah dan sanak saudara untuk mencoba mengadu
peruntungan.
Sementara Mamak Kepala Waris bertanggung jawab terhadap segala sendi
kehidupan anak kemenakannya dan keluarga kaumnya. Tentu bimbingan seorang
Ninik Mamak kurang efektif karena tidak berada di lingkungan kaum dan
nagarinya.
3. Faktor Teknologi.
Dahulu surau merupakan tempat belajar bagi anak kemenakan. Di surau
Mamak Mamak Kepala Waris atau Niniak Mamak mengajarkan segala ilmu
pengetahuan tentang adat, tata krama dalam masyarakat serta ilmu bela diri.
Namun, saat ini fungsi surau sudah tidak sesemarak dulu, sekarang surau sudah
menjadi tempat mengaji anak-anak atau TPA. Karena sekarang anak-anak lebih
senang barmain internet atau handphone dan warnet buat main game online semua
itu telah hilang ditelan oleh internet dan kecanggihan zaman yang membuat anak
kemenakan lebih senang belajar dengan teknologi tersebut dibanding untuk
belajar di surau tersebut.11
4. Faktor Perubahan Sosial dari Keluarga Besar kepada Keluarga Inti.
Perubahan sosial dalam bentuk sistem kekeluargaan dari keluarga besar
kepada keluarga inti atau dari keluarga luas ke keluarga batih juga mempengaruhi
peran Mamak Kepala Waris tersebut. Anak kemenakan lebih banyak menjadi
tanggung jawab ayahnya dari pada Mamak Kepala Warisnya. Tanggung jawab
sepenuhnya berada ditangan ayah. Segala permasalahan yang terjadi, ayah lebih
berperan aktif daripada Mamak Kepala Warisnya. Begitu juga hubungan Ninik
Mamak dengan anak-anaknya yang sangat dekat, sehingga menyebabkan Mamak

11
Angku Datuak. Rajo Mangkuto, ketua suku kaum guci di Tanjung Barulak, Interview
Pribadi, Tanjung Barulak, 06 Februari 2018.
69

Kepala Warisnya itu sendiri lebih mementingkan keluarga batih daripada keluarga
kaumnya.
H. Abdul Malik Karim Abdullah yang melihat harta pusako tinggi ini itu
sama keadaanya dengan wakaf atau harta musabalah yang pernah diperlakukan
Umar bin Khattab atas harta yang didpatkannya di khaybar yang telah dibekukan
tasarrufnya dan hasilnya dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Penyamaan
harta pusako tinggi ini dengan harta wakaf tersebut walau masih ada
perbedaannya, adalah untuk menyatakan bahwa harta tersebut tidak dapat
diwariskan. Karena tidak dapat diwariskan maka terhindarlah harta tersebut dari
kelompok harta yang harus diwariskan menurut hukum faraidh; artinya tidak salah
kalau padanya tidak berlaku hukum faraidh. Pendapat beliau ini diikuti oleh ulama
lain diantaranya Syekh Sulaiman ar Rasuli.12
Secara umum tidak terdapat ayat Al-Qur‟an yang menerangkan konsep
wakaf secara jelas. Karena wakaf termasuk infak fi sabilillah, maka dasar yang
digunakan para ulama dalam menerangkan konsep wakaf ini didasarkan pada
keutamaan ayat-ayat Al-Qur‟an yang menjelaskan tentang infak fi sabilillah. Di
antaranya ayat-ayat tersebut antara lain:
(Q.S. Al-Baqarah ayat 267)
‫خزَجْنَا َّلكُمْ مِنَ اّلَْؤرْضِ ۖ َوّلَا جَ َّيّمَّمُىا‬
ْ َ‫يَا أَ ُيهَا اّلَذِينَ آمَنُىا أَنْفِقُىا مِنْ طَّيِبَاتِ مَا كَسَبْحُمْ َو ِمّمَا أ‬
ٌ‫عَلّمُىا أَنَ اّللَهَ غَنِّيٌ حَّمِّيد‬
ْ ‫اّلْخَبِّيثَ مِنْهُ جُنْفِقُىنَ َوّلَسْحُمْ بِآخِذِيهِ ِإّلَا أَنْ ُج ْغّمِضُىا فِّيهِ ۚ وَا‬
“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan allah) sebagian dari
hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari
bumi untuk kamu. Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu
menafkahkan daripadanya, padahal kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhadapnya. Dan ketahuilah, bahwa Allah
Maha Kaya lagi Maha Terpuji.”
(Q.S. Ali-Imram ayat 92)
ٌ‫ّيءٍ فَإِنَ اّللَهَ بِهِ عَلِّيم‬
ْ َ‫ّلَنْ جَنَاّلُىا اّلْ ِبزَ حَحَىٰ جُنْفِقُىا ِمّمَا جُحِبُىنَ ۚ َومَا جُنْفِقُىا مِنْ ش‬
“Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum
kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu
nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya”

12
Amir Syarifuddin, Pelaksanaan Hukum Pewarisan Islam Dalam Adat Minangkabau. H.
278
70

(Q.S. Al-Baqarah ayat 261)


ُ‫مَ َثلُ اّلَذِينَ يُنْفِقُىنَ َأمْىَاَّلهُمْ فِّي سَبِّيلِ اّللَهِ َكّمَ َثلِ حَبَةٍ أَنْبَحَثْ سَبْعَ سَنَا ِبلَ فِّي ُكلِ سُنْ ُبلَةٍ مِائَة‬
ٌ‫عفُ ّلِّمَنْ َيشَاءُ ۗ َواّللَهُ وَاسِعٌ عَلِّيم‬
ِ ‫حَبَةٍ ۗ َواّللَهُ يُضَا‬
“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang
menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat
gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas
(karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Ayat ayat di atas menjelaskan tentang anjuran untuk menginfakkan harta
yang diperoleh untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Di samping itu, ayat 261
surat Al-Baqarah telah menyebutkan pahala yang berlipat ganda yang akan
diperoleh orang yang menginfakkan hartanya di jalan Allah.
Dalam konteks Negara Indonesia, amalan wakaf sudah dilaksanakan oleh
masyarakat Muslim Indonesia sejak sebelum merdeka, khususnya di
Minangkabau yang berupa Harta Pusaka Tinggi. Oleh karena itu pihak pemerintah
telah menetapkan Undang-undang khusus yang mengatur tentang perwakafan di
Indonesia, yaitu Undang-undang nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. Untuk
melengkapi Undang-undang tersebut, pemerintah juga telah menetapkan
Peraturan Pemerintah nomor 42 tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-undang
nomor 41 tahun 2004.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dikemukakan di


depan maka penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Bagaimana Peran Mamak Kepala Waris di Nagari Tanjung Barulak


dalam menjaga harta Pusaka Tinggi ?
a. Pemimpin kaum yang mempunyai kewenangan untuk mengurus,
mengatur, mengawasi dan bertanggungjawab atas harta pusaka
tinggi kaum. Dalam konteks ini seorang mamak dalam
kedudukannya selaku Mamak Kepala Waris yang akan mengelola
atau mengatur pengelolaan harta pusaka kaumnya. Dan bertanggung
jawab sepenuhnya atas keselamatan dan kesejahteraan anggota kaum
dengan pemanfaatan harta pusaka tinggi tersebut.
b. Selaku wakil kaum untuk urusan keluar dan bertindak ke dalam
untuk dan atas nama kaum, demikian juga pengertian segala sesuatu
adalah ditangan mamak kepala waris. Seperti menjadi wakil kaum
dalam melakukan transaksi atas tanah pusaka kaum (menjual dan
menggadaikan tanah pusaka) setelah dapat persetujuan dari semua
anggota kaum, wakil kaum di muka pengadilan, wakil kaum dalam
hal pendaftaran tanah pusaka karena tanah pusaka itu harus
didaftarkan atas nama mamak kepala waris, wakil kaum dalam
kerapatan suku dan penganggung jawab atas tanah pusaka kaum.
2. Apa faktor yang mempengaruhi Pergeseran peran Mamak Kepala Waris
pada kaum di Nagari Tanjung Barulak ?
a. Pergeseran sistem perkawinan yang dilakukan oleh masyarakat
dewasa ini sudah menjurus kepada bentuk perkawinan sumando
menetap yang sebelumnya dikenal dengan bentuk perkawinan
sumando bertandang. Suami dan semenda lambat laun semakin
bertanggung jawab terhadap isteri dan anak-anaknya. Ayah dan

72
73

suami lebih mencurahkan perhatian terhadap keluarganya.


Selanjutnya keakraban dengan anak dan isterinya menyisihkan
pengaruh dan kekuasaan mamak yang secara doktrin dulu dianggap
dominan dan menentukan dalam kehidupan anak kemenakannya
yang biasa disebut kaumnya.
b. Budaya merantau pada masyarakat Minangkabau.
c. Keluarnya anggota kaum dari tempat tinggal bersama (rumah
gadang) ke rumah yang baru (rumah inti). Perpindahan keluarganya
dengan membangun kediaman baru menyebabkan semakin kuatnya
penguasaan tanah yang merupakan harta pusaka tinggi kaum secara
pribadi
d. Proses dan perubahan zaman menyebabkan timbulnya pola
kehidupan baru dalam masyarakat di mana waktu, tenaga dan
pemikiran seorang Mamak Kepala Waris lebih banyak tercurahkan
kepada pekerjaanya.
e. Pola penguasaan dan pengelolaan tanah harta pusaka tinggi di
antaranya secara “ganggam bauntuak hiduik bapangadok” (genggam
beruntuk, hidup bepekerjaan) yang berlangsung secara turun
temurun dan berlanjut melalui garis keturunan ibu. (matrilineal),
sehingga pengolahan tanah selama bertahun-tahun mengakibatkan
rasa kepemilikan secara pribadi semakin kuat.
B. Saran-saran

Kondisi zaman saat ini tidak bisa di elakan dari pengaruh-pengaruh budaya
modern atau pengaruh budaya luar sehingga menyebabkan terjadinya pergeseran.
Segala ciri kebudayaan lama tentu akan tergabung dengan kebudayaan baru,
ataupun kebudayaan lama akan hilang.

Begitu juga di dalam masyarakat Nagari Tanjung Barulak yang telah terjadi
perubahan-perubahan baik itu di dalam norma-norma dan aturan-aturan adatnya.
Nilai yang dipakai secara turun temurun sudah mulai goyah. Oleh karena itu,
sudah sebaiknya bagi generasi sekarang haruslah di tingkatkan lagi upaya-upaya
74

untuk mencegah perubahan serta pergeseran dari nilai-nilai budaya, adat serta
tradisi tersebut yang telah diwariskan secara turun-temurun dengan berkomitmen
untuk mecintai kebudayaan itu sendiri dan bersedia mempertahankannya. Tentu
untuk mengembalikan kebudayaan atau adat itu perlu dilakukan beberapa
langkah-langkah, yaitu beberapa tahapan dan pendekatan kembali diantaranya:
1. Mengadakan sosilaisasi kepada anak kemenakan dari Mamak Kepala
Waris sebagai penjaga, melindungi, dan mengatur harta pusaka tinggi
agar mereka mengetahui betul apa peran yang yang harus dijalankan
Mamak Kepala Waris itu.
2. Para Niniak Mamak harus mengganti dan menyiapkan calon-calon baru
untuk menggantikan Mamak Kepala Waris yang sudah tercoreng dan
ketidak kepeduliannya terhadap kemenakannya.
3. Diperlukan kesadaran dan keikhlasan dari anak kemenakan untuk
memberi kepercayaan lagi kepada Mamak Kepala Waris agar saling
membantu dan melindungi harta pusaka tinggi ini agar terselamatkan
sampai anak cucu kita dikemudian hari esok.
4. Diperlukan peran aktif KAN dalam mencermati dan mengambil
langkah-langkah prefentif terhadap berbagai persoalan adat dan
fenomena yang terjadi dalam masyarakat dalam reaktualisasi peran
mamak kepala waris dewasa ini agar kelestarian adat Minangkabau
termasuk di dalamnya harta pusaka tinggi yang merupakan ciri khas
keberadaan sistem matrilineal dapat terjaga dengan baik
74

DAFTAR PUSTAKA.
Buku:
Anwar, Chairul. Hukum Adat Indonesia Meninjau Hukum Adat Minangkabau.
Jakarta: Rineka Cipta. 1997.
Bushar, Muhammad Asas-asas Hukum Adat Suatu Pengantar. Jakarta: Pradinya
Paramita. 1985
Dt, Malaka Nan Putiah, H. Julius . Matrinial dan Kekerabatan dalam Adat
Minangkabau, Jakarta: forum Komunikasi Pemangku Adat dan Budayawan
Gebu Minang.9 oktober 2004
Edison dan Nasrun. Tambo Minangkabau: Budaya dan Hukum Adat di Minangkabau.
Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2010.
Hadikusuma, Hilman. Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia. Bandung: Mandar
Maju. 1992
Hamka, H. Adat Minangkabau Menghadapi Revolusi. Jakarta: Firman Tekad. 1963
Hasan, Firma. Suatu Pengantar Dinamika Masyarakat dan Adat Minangkabau. Pusat
Penelitian Unand. Padang. 1987.
Ibrahin Dt. Sanggoeno Diradjo. Tambo Alam Minangkabau (tatanan Adat Warisan
Nenek Moyang Orang Minang). Bukittinggi: Kristal Multimedia. 2009
Indo, Dt. Rajo. Seluk Beluk Hukum Adat Minangkabau. Batusangkar. 2010
Kemal, Iskandar. Beberapa Aspek dari Hukum Kewarisan Matrlineal ke Bilateral di
Minangkabau, dalam Mukhtar Naim (ed) Menggali Hukum Tanah dan Hukum
Waris di Minangkabau. Padang: Center for Minangkabau Studies. 1968
Kemal, Iskandar. Sekitar Pemerintahan Nagari Minangkabau dan Perkembangnnya.
Padang: Percetakan Daerah. 1961
MS, Amir. Adat Minangkabau Pola dan Tujuan Hidup OrangMinang. Jakarta PT.
Mustika Sumber Widya. 2003
Navis, A..A. Alam Takambang Jadi Guru : Adat Dan Kebudayaan Minangkabau.
Jakarta: Pustaka Grafitipers. 1984.
Nawawi, Hadari. Metode Penelitian Bidang Sosial.Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press. 2007
75

N.M. Rangkoto, Dt. Bandaro. Hubungan Mamak dengan Kemenakan Dahulu dan
Sekarang serta Pasambahan Adat, Bukittinggi. 1984
Nurdin Yakup,Dt.B. Minangkabau Tanah Pusaka, buku kedua, Bukittinggi: Pustaka
Indonesia. 1989
Salma, Otje. Kesadaran Hukum Masyarakat terhadap Hukum Waris. Alumni
Bandung. 1991
Singgih, Djaren. Pengatar Hukum Adat Indonesia. Bandung: Tarsito. 1982
Soekanto, Soerojo. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali.1983
Sopyan, Yayan. Buku Ajar: Pengantar Metode Penelitian. Ciputat, FSH UIN Jakarta.
2010
Sudaryatmi, Sri, Sukirno, T.H. Sri Kartini. Beberapa Aspek Hukum Adat, Badan
Penerbit Universitas Diponegoro Semarang, Semarang. 2000
Syarifuddin, Amir. Pelaksanaan hukum Kewarisan Islam Dalam lingkungan Adat
Minangkabau. Jakarta: Gunung Agung. 1990
Thalib, Syofyan. Perkembangan Beberapa Ciri Masyarakat dan Adat Minangkabau,
Pusat Penelitian Unand Padang. 1987/1998
Wignyodipoera, Soerojo. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. Jakarta: CV. Haji
Masagung. 1994.

Disertasi:
Hermayulis. Penerapan Hukum Pertanahan dan Pengaruhnya Terhadap Hubungan
Kekerabatan Pada Sisitem Kekerabatan Matrilineal Minagkabau di Sumatera
Barat. Disertasi UI. Jakarta. 1999.

Artikel dari Internet:


Kabaranah. “Kedudukan Mamak (laki-laki) Di Minangkabau”. Diakses pada 8
Novenber 2017 jam 21.46 Wib.
Tersedia:www.kabaranah.com/2014/11/kedudukan-mamak-laki-laki-di-
minangkabau.html
76

Wikipedia. “Tanjung Barulak, Batipuh, Tanah Datar”. Diakses pada tanggal 1 mei
2018 jam 18.00 Wib.
Tersedia:http://id.m.wikipedia.org/wiki/Tanjung_Barulak,_Batipuh,_Tanah,_D
atar
Wirman, Hardi Putra. “Dinamika Perubahan Adat Salingka Nagari: Studi Analisis
tentang Pewarisan Nilai-Nilai Adat di Kenagarian Pagadih Kabupaten Agam
Sumatera Barat. Islam dan Realitas Sosial”. Artikel diakses pada 2 april 2018.
Tersedia: http://ejournal.iainbukittinggi.ac.id/viewFile/84/57.
WAWANCARA PRIBADI DENGAN ANGKU DT. MANGADA’I (KETUA
KERAPATAN NAGARI TANJUNG BARULAK)

1. Pertanyaan: Bagaimana ketentuan adat tentang peran mamak kepala waris


menganai harta pusaka tinggi kaum yang berada di Nagari Tanjung Barulak ?
Jawaban: Mamak kepala Waris disebut juga dengan mamak tunggani.
Tungganai ini dalam sebuah rumah gadang disebut mamak rumah, kalau udah
berkambang terbagi beberapa paruik, nan paruik ini diangkat mamak tertua jadi
lah mamak kepala waris, Mamak kepala waris ialah mamak yang paling tua
didalam dalam paruik, yang mana mamak menjaga harta pusako tinggi yang
sudah diwariskan dari yang tua dahulu dan yang diwariskannya punya
terdahulu. Mamak kepala waris inilah yang akan menjaga dan memelihara harta
pusaka walaupun harta ini dikelola anak kemenakan tapi kalau sandainyo harta
ini mau digadaikan atau dijual, tergantung kepada mamak kepala warisnya,
kalau mamak kepala warisnya mengisinkan maka terjadillah tapi kalau mamak
kepala waris tidak mengizinkan ya tidak bisa digadaikan, sebab harta pusaka
pusaka ini dijaga dan dipelihara sama mamak kepala waris.
2. Pertnyaan: Bagaimana ketentuan adat dalam pengangkatan mamak kepala
waris di Nagari Tanjung Barulak ?
Jawaban: Pengangkatan Mamak kepala waris dalam tradisi di Nagari
Tanjung Barulak tidak ada, sebab mamak kepala waris adalah mamak tertua
dalam kaum itu, jadi tidak ada penggangkatan, otomatis kalau yang tua itu
meninggal jadi yang tertua yang masih hidup di kaum itu otomatis dia jadi
mamak kepala waris yang baru.
3. Pertanyaan: Bila mamak kepala waris pergi merantau bagaimana ketentuan
adat ?
Jawaban: bila mamak kepala waris pergi merantau, yang menajdi mamak
kepala waris tetap lah dia orangnya, sebab tidak ada yang tertua dikaum itu
sebab mamak kepala waris adalah mamak yang bertali darah dalam kaum itu,
dan otomatis mamak tertua dari pertalian darah itu yang menajdi mamak
kepala waris, kecuali dia pergi merantau lama dan tidak pulang-pulang lagi
maka harus ditunjuk mamak kepala waris yang baru.
4. Pertnyaan: Syarat menjadi mamak kepala waris kaum ?
Jawaban: syaratnya paling utama ialah mamak tertua dikaum itu, sehat akal,
bisa menjalankan kehidupan sehari-hari beribadah , tidak gila, adil seluruh
anggota kaum,, kalau dapat yang tinggal dikampung sebab kalau dia pergi
merantau susah dia melihat dan menjaga harta pusaka, kecuali dia merantau
dalam waktu sebentar ya tidak masalah.
5. Pertanyaan: hubungan mamak kepala waris dengan penghulu suku dalam
menjaga harta pusaka tinggi kaum ?
Jawaban: menjaga harta pusaka tinggi adalah tugas ninik mamak yaitu
mamak kepala waris, bila mana mamak kepala waris tidak menjalankan
fungsinya, maka tugas penghulu yang akan memberika arahan dan
meluruskan mamak kepala waris, jadi antara mamak kepala waris dengan
penghulu itu harus sejalan namun apa yang terjadi dalam harta pusaka tingggi
atau sengketa mamak kepala waris lah yang terlebih dahulu mengetahui dan
menyelesaikannya, bila dimamak kepala waris tidak sanggup
menyelesaikannya barulah penghulu yang bertindak.
6. Pertanyaan: Bagaimana kalau mamak kepala waris menjual harta pusaka
tinggi tampa mengtahui kaum ataupun penghulu suku ?
Jawaban: bila menggadai sebuah harta mamak kepala waris yang
menandatangani surat persetujuan gadai, lalu setalah itu penghulu lah yang
menetukan juga menandatangani, bila hanya tanda tangan mamak saja, itu
tidak bisa dan bia di cap sebagai maling.
7. Pertanyaan: Bagaimana bentuk pergeseran mamak kepala waris saat ini ?
Jawaban: dalam masalah harta pusaka ini mamak kepala waris sudah agak
berubah dari nan lampau, disebabkan mamak kepala waris ini lebih senang
berdiam dirumahnya, maksudnya lebih dekat dengan keluarganya yaitu anak
dan istrinya yang mengakibatkan berpengaruh terhadap kemenakannya, yang
mana dulu anak dipangku kemenakan dibimbing, artinya bahwa kemenakan
itu berjalan diatas kakinya sendiri, jadi bimbingan seorang mamak itu tidak
seberat seorang bapak terhadapa ananknya, tugas membimbing kemenakan ini
sampai dia tua, beda dengan tugas bapak yang memangku anaknya smapai dia
berjalan sendiri artinya sampai berumah tangga.
8. Pertanyaan: Apa sanki dari kaum atau adat apa bila mamak melakukan
penyimpangan atau tidak menjalanka tugasnya sebagai mamak kepala waris ?
Jawaban: bila mamak kepala waris sudah tidak ada acuh lagi dalam etikat
kaumnya, maka dia harus diganti, penghulu yang tunjuk langsung pengganti
mamak kepala waris ini, sebab mamak yang tidak tau tugasnya hanya
memalukan kaum saja.
WAWANCARA PRIBADI DENGAN ANGKU DATUK RAJO BUKIK
(Penghulu suku Simabur di Nagari Tanjung Barulak )
1. Pertanyaan: Apa tugas dan kewajiban mamak kepala waris ?
Jabawan: fungsi mamak kepala waris adalah menjaga kemenakan dan harta
pusaka, kewajibannya menjaga anak kemenakan dan harta pusaka.
Haknya:
1. Berwenang menentukan tanah pusaka yang akan di garap kemenakan.
2. Berwenang menentukan acara atau pesta kemenakan
3. Sebagai pai tampek batanyo, pulang tampek babarito.
2. Pertanyaan: Bagaimana cara pengangkatan mamak kepala waris di Nagari
Tanjung Barulak ?
Jawaban: cara pengangkatan mamak kepala waris di Nagari Tanjung Barulak
memakai adat koto piliang ada 2 kemungkinan.
1. Mamak Kepala Waris ditetapkan secara non formal biasanya ditunjuk saja
oleh penghulu
2. Mamak Kepala Waris bagi yang kemenakan telah berkembang banyak
diangkat seorang Datuak, namanya Datuk Tungganai.
3. Pertanyaan: Apakah ada pertentangan hak dan kewajiban mamak kepala waris
dengan islam ?
Jawaban: secara garis besar hukum adat tidak ada lagi pertentangan antara
hukum adat dengan hukum islam, apalagi setelah perjanjian “bukik marapalam”
pada abad 17. Dimana adat Minangkabau sudah bersandi (berlandaskan) islam.
Akan tetapi masih ada beberapa oknum mmak kepala waris atau pemangku adat
yang tidak menjalankan “adat basandi syarak” jadi kesalahan bukan pada adat
tapi pada oknum mamak.
4. Pertanyaan: Bagaimana hubungan mamak kepala waris dengan penghulu dalam
menjaga harta pusaka tinggi ?
Jawaban: sesuai dengan adat Nagari Tanjung Baruak “tanah nan sabingkah
rumpuik nan sahalai kapuyoan niniak mamak” jadi dalam hal ini mamak kepala
waris cuman sebagai pengawas kemenakan dan kemenakan yang mengarap harta
pusaka, tapi hak menetukan sampai menggadai harto pusako haknyo penghulu.
WAWANCARA PRIBADI DENGAN ANGKU DATUK RAJO LELO
(Penghulu Pucuak Suku Pisang di Nagari Tanjung Barulak)
1. Pertanyaan: Bagaimana struktur kekerabatan di Nagari Tanjung Barulak ?
Jawaban: Struktur kekerabatn di Nagari Tanjung Barulak hampir sama dengan
yang berlaku di nagari-nagari lain yang berada di dalam wilayah Minangkabau
pada umunya. Walaupun ada perbedaannya, itupun hanya dalam sebutan atau
istilah saja. Titik awal dihitungnya kekrabatan di Nagari Tanjung Barulak adalah:
1. Samande yaitu satu ibu. Dalam kelompok samande di pimpin oleh mamak
rumah.
2. Sajurai yaitu satu nenek. Dalam kelompok sajurai ini dipimpin oleh
tungganai atau Datuak Tungganai.
3. Saparuik yaitu anak-anak yang lahir dari satu perut seorang ibu dari nenek
(buyut) yang sama dan masih merupakan bagaian dari suku yang sama.
Dalam kelompok saparuik dipimpin oleh seorang mamak kepala waris.
4. Sasuku yaitu anak-anak yang berasal dari seorang ibu dari buyut atau
dikatakan satu ninik yang sama. Ninik inilah yang menempati jenjang
tertinggi dari susunan sesuku. Dari ninik inilah suku itu bermula atau
berasal. Dapat juga diartikan kumpulan dari beberapa paruik atau yang
sepayung. Kelompok sasuku ini dipimpin penghulu pucuak.
5. Sapayuang yaitu bagian paruik-paruik yang mempunyai penghulu atau ninik
mamak masing-masing yang memiliki satu penghulu pucuk.
6. Sekampung yaitu bila suatu kelompok yang bertempat tinggal atau
bertetangga dengan kelompok suku lain. Sekampung bukan merupakan garis
keturunan, tapi lebih berorientasi pada lokasi pemukiman.

Dalam Nagari Tanjung Barulak mengenal Penghulunyo ado dua puluh dan 20
Andiko

2. Pertanyaan: Bagaimana kedudukan mamak kepala waris di Nagari Tanjung


Barulak ?
Jawaban: Kedudukan Mamak di Nagari Tanjung Barulak sangat di hormati oleh
kemenakan-kemenakannya. Karena mamak kepala waris adalah pemimpin
terhadap anak kemenakannya. Mamak harus membing dan mengawasi
kemenakannya dalam masalah adat. Memberikan pengetahuan kepada
kemenakannya tentang adat Minangkabau. Karena kemenakan-kemenakannya ini
adalah orang-orang yang akan mewarisi gelar sako Ninik Mamak nantinya.
Kemudian mamak kepala waris sebagai pendamai dalam permasalhan yang
terjadi pada anak kemenakannya. Selain itu, mamak kepala waris juga berperan
dalam mengawasi, menjaga, dan memelihara harta pusaka kaumnya.
3. Pertanyaan: Bangaimana seandainya mamak kepala waris tidak mementingkan
nasib kemenakannya ?
Jawaban: sesui adat koto piliang yang mengatakan:
1. Kemenakan baraja kepada mamak.
2. Mamak baraja ka penghulu.
3. Penghulu baraja ka mufakat
4. Dst

Jadi kalau mamak kepala waris salah, maka tugas penghulu atau niniak mamak
menegur dan menasehatinyo.

4. Pertanyaan: Apa sanki mamak kepala waris bila tidak lagi mementingkan
kemenakan dan mencoba mencoba menguasai harta pusaka tinggi ?
Jawaban: sanknya ada 2 yaitu:
1. Kalau melanggar berat akan mendapat sangsi secara adat, sesuai dengan
peraturan adat salingka nagari
2. Kalau melanggar ringan atau menegah atau “sumbang” selain akan
mendapatkan teguran dari penghulu, juga akan mendapatkan sangsi social
dari kemenakan. Kemenakan tidak segan lagi.
WAWANCARA PRIBADI DENGAN ANGKU DATUAK RAJO MANGKUTO

(Penghulu susku Guci di Nagari Tanjung Barulak)

1. Pertanyan: Bagaimana ketentuan adat terhadap mamak kepala waris yang pergi
merantau dan tidak pulang ke kampuang ?
Jawaban: mamak kepala waris diganti secepatnya, sebab kalau tidak ada mamak
kepalan waris jadi siapa yang menjaga harta pusaka tinggi dan mengajarkan
kemenakan dari berbagai ilmu, mamak kepala waris sangat diperlukan
dikampuang agar bisa mengelola harta pusako tinggi juga menjaga harta agar
selalu utuh dan berkembang
2. Pertanyaan: Apa penyebab mamak kepala waris tidak menjalankan perandan
tugasnya buat kemenakan juga harta pusaka tingg ?
Jawaban: faktor yang mempengaruhi mamak ada 2 yaitu:
1. Faktor ekternal, yaitu karena perubahan zaman, seperti atas globalisati
yang merubah mundset kemenakan dan masyarakat nagari.
2. Faktor intelnal, biasanya faktor ekonomi karena disamping
bertanggungjawab kepada kemenakan juga tanggung jawab kepada anak
dan istrinya
3. Pertanyaan: Apa saja peran Mamak kepala waris dalam keluarga di Nagari
Tanjung Barulak ?
Jawaban: Pertama, Mamak berperan dalam menyelesaikan sengketa anak
kemenakannya dengan orang luar. Kedua, Mamak juga berperan dalam
menyelesaikan permasalahan yang terjadi dalam rumah tangga anak
kemenakannya. Ketiga, Mamak mengawasi harta pusaka kaumnya. Harta pusaka
kaum ini disebut dengan harta pusaka tinggi akan diwarisi secara turun temurun
kepada kemenakannya.
4. Pertanyaan: Bagaimana proses menyelesaikan sengketa pusako di adat Nagari
Tanjung Barulak ?
Jawaban: khusus untuk sengketa pusako dan sako (gelar) harus melalui campur
tangan penghulu.
WAWANCARA PRIBADI DENGAN HJ. SITI AISYAH

(Ketua Bundo Kanduang Nagari Tanjung Barulak)

1. Pertanyaan: Bagaimana ketentuan adat tentang pelaksanaan dan pembagian


harta pusako tinggi di Nagari Tanjung Barulak ?
Jawaban: Harta pusako tinggi ialah segala harta pusako kaum yang diwariskan
secara turun temurun dari beberapa generasi berdasarkan garis keturunan ibu.
Menganai pelaksanaan harta pusaka tingi ini didalam adat adalah yang
mempunyai hak adalah perempuan, namun yang mempunyai kuasa adalah
mamak kepala waris.
2. Pertanyaan: Apa tugas Bunda Kanduang dan apa kah ada keterkaitan antara
bundo kanduang dengan mamak kepala waris ?
Jawaban: Dalam fungsinya bundo kandung atau sebagai limpapeh rumah
gadang, kaum wanita ini mempunyai hak kewarisan atau harta pusaka tinggi,
namun hak ini bukan lah hak milik, tetapi hak pakai secara bersama dan bergilir
diantara semua warga kaumnya. Kekuasaannya ada di tangan mamak kepala
waris, jadi harta pusaka yang hak pakainya oleh wanita namun , mamak kepala
warislah yang mengatur dan mengerlola hasilnya.
3. Pertanyaan: Bagaimana ketentuan adat tentang bila mamak kepala waris
menjual harta pusaka tinggi kaum ?
Jawaban: pada dasarnya harta pusaka tinggi tidak boleh di jual, namun boleh
digadaikan dengan syarat empat dengan alasan yaitu: mayik tabujua di tangah
rumah, (mayat terbujur ditegah rumah), Pembangkit batang terendam
(mendirikan gelar pusaka), Gadis gadang indak balaki (anak gadis yang belum
bersuami), Rumah gadang ketirisan (memperbaiki rumah gadang). Namun jika
pada kaum tersebut generasinya punah (tidak ada garis keturunan perempuan)
yang mana pada kaum tersebut hanya laki-laki saja dan tidak ada sama sekali
perempuan sesudahnya maka pusako tinggi boleh dijual ataw diwariskan kepada
nan saparuik atau kemenakannyo, dengan syarat harus ada kesepakatan dari
seluruh anggota kaum. Kaum yang sepayuang atau separuik. Jika ada 1 orang
dari kaum tersebut tidak sepakat, maka harta pusakao tersebut tidak dapat untuk
di jual atw di wariskan ke kemenakan yang lain.
4. Pertanyaan: Apa yang membuat harta pusaka tinggi kaum semakin hari semakin
sedikit ?
Jawaban: Pengaruh niniak mamak yang bayak merantau, dan sistem kewarisan
harta suarang sudah tergeserkan, maksudnya, dulu mamak-mamak ini pergi
merantau pulang merantau mamak ni membawak hasil dibelinya tanah di
kampuang dan diwariskan buat kemenakan ado juo nan dibawekan mamak
rumah untuk kemenakannyo, sekarang ini mamak mewariskan harta pencarian
buat anak dan istrinya, akibatnya harta pusaka tidak berkembang dan bertambah,
sedangkan kemenakan makin hari makin bayak.

Anda mungkin juga menyukai