Anda di halaman 1dari 101

KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah karena berkat rahmat serta karunia-Nya maka novel ini bisa diselesaikan
dalam waktu yang tepat dan juga sesuai dengan target yang sebelumnya sudah ditentukan. Tak
lupa, shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad karena berkat beliaulah kita mampu keluar dari jalan yang gelap menuju jalan yang
terang. Beliau juga telah membawa ajaran agama Islam yang membuat hati kita selalu sejuk,
damai, dan aman, sebagai pedoman hidup yang akan selalu kita bawa sampai kapanpun.

Tidak lupa pula kepada segenap keluarga yang telah mendukung serta memberi peluang kepada
saya untuk berkarya lewat tulisan ini. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada Ketua
Dewan Kesenian Kota Cirebon, yaitu Bapak Akbarudin Sucipto, S. Sos.I (Komunitas
Amparanjati Cirebon) Juga kepada partner tempat saya bekerja, Bapak Abdul Jabar, S.Pd. juga
kepada Mentor dan Penyemangat saya yang berada di negeri Bambu, China, Bang Azwar
Alamsyah. Juga kepada Pengasuh, Para Asatidz dan Seluruh santri Pondok Pesantren An-
Nadwah Buntet Pesantren Cirebon dan kepada Pengasuh Pondok Pesantren A-Haramain Kota
Cirebon.

Tidak lupa pula kepada teman-teman saya, Nurhidayatul Kafi, Faiz Permana, Ahmad
Khumaedi, Firman Saefullah, Sulastri, Lutfi Hidayah, Fina Fauziyah, Enok Aprilia dan
Aisyatun Nihayah. Juga kepada Tim Horornesia, Kak Qosi, Mas Micko dan Ricky Hermanto.
Juga kepada Sutradara film ‘’Siluman’’ yang telah mendukung sepenuhnya kepada saya untuk
terus berkarya yaitu Bang Venggar dan Mba Eva. Tidak lupa kepada seluruh teman-teman
PHMTI (Penulis Horor, Mysteri, dan Thriller Indonesia). Dan terakhir kepada HIMAMI
(Himpunan Mahasiswa PGMI)

Adapun novel kami yang berjudul “BATUR GHAIB PART-1 (VICTIMIZING SOUL)” ini
telah kami buat semaksimal dan sebaik mungkin agar supaya mampu menjadi pelepas dahaga
bagi para pembaca yang budiman yang memang memiliki ketertarikan untuk membaca novel
yang bertemakan horor tersebut.

Kami juga menyadari bahwa tidak ada satupun manusia yang ada di muka bumi ini yang tidak
pernah berbuat kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu, kami memohon agar para pembaca yang
budiman agar berkenan memberikan masukan-masukan demi meningkatkan kualitas kami agar
supaya kedepannya semakin mampu menghasilkan karya-karya terbaik dan demi membuat para
pembaca semakin puas dengan hasil karya kami.

Demikian novel yang kami buat, semoga dapat memberikan manfaat serta menambah wawasan
para pembaca. Terimakasih.

Cirebon, 12 Agustus 2020

Restu Wiraatmadja
BATUR GHAIB PART-1
VICTIMIZING SOUL

Daftar Isi
 Getih Anget ………………….……………………………………………… 2

 Rumah kosong dekat lapangan ……………………………………….. 4

 Teror itu nyata! ……………………………………………………….. 19

 Munculnya Banaspati ………………………………………………… 43

 Subuh Peteng …………………………………………………………. 46

 Adzan Pitu ……………………………………………………………. 54

 Fitnah Besar …………………………………………………………... 69

 Kepaten Obor …………………………………………………………. 71

 Seserahan …………………………………………………………….. 82
SINOPSIS

Arya Kusuma Atmadja, merupakan seorang anak dari Tabib terkemuka, Hanif Atmadja. Dia
didapati melanggar aturan leluhur dengan memasuki sebuah rumah kosong bersama dengan
temannya, Rizki. Padahal itu merupakan sebuah fitnah yang sengaja dikuasai oleh dukun
penganut ilmu hitam beserta dengan para anggotanya yang menyebut dirinya sebagai Jubah
Hitam.

Berbagai teror dan tulah (bencana) terjadi ketika Arya dan Rizki keluar dari tempat itu. Dimulai
dari munculnya sosok anak kecil misterius yang kelak akan dijadikan Batur Ghaibnya.
Munculnya Ambu Endog Bungker (Telur busuk), Banaspati, hingga Angin Tulah yang
membunuh banyak warga.

Dengan posisi seperti itu, para warga menuntut kepada Pak Hanif sebagai ayah kandung Arya
untuk segera melakukan Kepaten Obor dan Seserahan. Dengan begitu, jiwa Arya akan
digadaikan dengan empat raos (rasa) kepada Desa.

Namun hal ini dimanfaatkan oleh Pak Luhur untuk mewujudkan ambisinya agar bisa menguasai
desa dan menjadi orang yang bisa meneruskan pendekar hitam masa lalu yaitu Datuk
menjangan Wulung.

Apakah rencana dari Pak Luhur berhasil untuk mewujudkan ambisinya dan mengambil seluruh
jiwa Arya agar terciptanya empat raos (rasa) untuk desa? Atau malah menjadi petaka bagi Pak
Luhur sendiri karena telah membangunkan korban dari wabah Pagebluk yang kelak akan
menjadi Batur Ghaib dari Arya Kusuma?

Awal kisah Batur Ghaib, mengungkap lebih dalam mengenai Seserahan yang disembunyikan
untuk mencegah terjadinya Pagebluk.
"Pecil niki bakal tak dadike seserahan menawi sampun telas waktose."
(Anak ini akan dijadikan seserahan ketika telah habis waktunya)
Nyi Kebaya / Nining

BATUR GHAIB PART 1


VICTIMIZING SOUL
GETIH ANGET

(flashback)

Beberapa tahun yang lalu ....


Tepat di malam jum'at kliwon, lahirlah seorang anak yang akan menjadi penyangga bagi desa
dan masyarakat sekitarnya. Anak itu memiliki ciri-ciri yang unik dibanding dengan Anak
lainnya. Anak itu diberi nama oleh Keluarga Atmadja dengan nama ‘’Arya Kusuma
Atmadja’’

Bau melati menyerbak luas hingga memadati sesaknya udara di sekeliling ruangan. Pak
Hanif belum juga pulang. tampaknya, Dia masih belum usai menjalankan urusannya untuk
menyembuhkan para warga melawan keganasan penyakit aneh yang diyakini sebagai
kiriman dari trah (turunan) Penyandang leluhur dahulu.

Sementara itu, Bu Mala harus tersungkur jatuh ke lantai ketika hendak meyelamatkan
Arya anaknya yang akan direbut paksa oleh titisan dari Nyi Kebaya yang menempati
wadah wanita yang dikenalinya, Nining.

"Anakku, kanti ngati-ngati ... "


Ucap wanita berkebaya itu

"Tolong, lepaskan anakku,"


Pinta Bu Mala
Wanita berkebaya yang menggendong bayi nan lucu itu menyentuh darah yang masih hangat
di bagian punggung bayi itu.

"Pecil niki bakal tak dadike seserahan menawi sampun telas waktose."
(Anak ini akan dijadikan seserahan ketika telah habis waktunya)
Senyuman wanita itu menyeringai tajam tepat ketika purnama meninggi di angkasa, hawa
dingin membunuhnya mulai dirasakan Bu Mala.

"Nyi, tolong lepaskan anakku," Pinta Bu Mala


Sanggul jawa kuno yang dikenakan wanita berkebaya tersebut bergoyang mana kala bayi
yang digendongnya diletakkan begitu saja di sebelah tubuh Bu Mala yang telah melemah.
Wanita itu menghilang ketika Pangilon (Cermin) mulai menyerapnya

Awal kisah Batur Ghaib, mengungkap lebih dalam mengenai Seserahan yang
disembunyikan untuk mencegah terjadinya Pagebluk.
"Aja jukut barang sing jero umah kosong, aja jukut barang kang wis manjing ning
umah iku."
(Jangan mengambil barang dari rumah kosong, jangan ambil barang yang sudah
masuk di rumah itu)

(Pak Hanif)
BATUR GHAIB PART 1
VICTIMIZING SOUL
Rumah kosong dekat lapangan

Ada banyak hal yang harus dipelajari tatkala kesalahan menjadi titik utama dari sebuah
penyesalan. Semua akan bergantung pada pengalaman agar kesalahan yang telah dilakukan
menjadi sebuah perbaikan diri, bukan untuk sebagai ajang mencari pemenang ataupun
pecundang.

Bisik-bisik para lelembut menjadikan desa ini sangat sakral. Tatkala di pagi hari yang cerah
penuh dengan rasa ketakutan dan cengkraman liar yang suatu waktu bisa merogoh seluruh
sukma dan pikiran kosongnya.
Ketika menginjak di waktu sore, mereka (para lelembut) sudah terbiasa membuat kesialan
dan teror dengan mencelakai serta membiarkan para manusia memasuki tempatnya dengan
akal busuknya.

"Ki, ayo main bola dilapangan,"


Ucap Arya anak dari seorang Tabib ternama di desanya.

"Ya sudah, nanti kita main disana berdua saja,"


Jawab Rizki, anak tetangga yang setia dengan Arya kemanapun kakinya melangkah.

Arya dan Rizki memang tergolong sebagai anak yang aktif. Mereka berdua akan mencari
ruang baru untuk bermain walaupun banyak sekali bangsa demit yang mengintai mereka dari
kejauhan memandang.

Tepat di waktu sore, mereka bermain di lapangan yang tidak jauh dari rumahnya. Sebenarnya,
setelah kejadian di masa lalu, lapangan ini tidak di operasikan lagi secara normal. Para warga
sekitar takut akan membangunkan para leluhur yang telah tertidur atau para demit yang
berada disekitaran lapangan tersebut. Biasanya, jika ada anak warga yang bermain dilapangan
itu, keesokan harinya akan terjadi kejadian yang diluar nalar. Apalagi, jika sampai memasuki
rumah kosong dekat lapangan. Rumah kosong itu sendiri menjadi momok yang menakutkan
bagi para warga karena kisah masa lalunya. Konon, rumah itu adalah tempat seserahan jiwa
(tumbal) kepada para leluhur. Salah satu tumbalnya adalah anak dari seorang warga yang
bernama Pak Warno. Dan dalang dari kejadian ini adalah seorang dukun kejam yang
berambisi untuk menguasai tanah Cirebon yang bernama "Pak Luhur."

Para warga sangat menjunjung tinggi nama itu. Mendengar namanya saja membuat peredaran
darah menjadi tidak normal. Kepala akan pening dan tubuh melemas dengan seketika. Mereka
meyakini, Pak Luhur sebagai titisan dari leluhur hitam masa lalu yang gagal dalam menguasai
Caruban Nagari.
"Rya, jangan kencang-kencang nendang bolanya. Nanti masuk ke rumah kosong itu. Aku
takut dimarahin bapak sama ibu,"
Ucap Rizki

"Iya, ki. Aku gak kencang kok nendangnya,"


Jawab Arya

Baru saja Arya mengatakan itu, Bola melambung tinggi dan memasuki rumah kosong yang
berada di dekat lapangan. Terdengar suara pecahan pangilon (cermin) yang berjatuhan akibat
dari tabrakan bola yang mengenai tepat di cermin tersebut.

"Traaaaang."

Suara pecahannya cermin itu terdengar jelas hingga membuat telinga Arya dan Rizki
kesakitan. Keduanya sangat kebingungan, apakah akan mengambil bola tersebut atau
membiarkan didalamnya.

"Ayo ambil, ki,"


Ajak Arya kepada Rizki

"Hah? Diambil? Kan kita gak boleh memasuki rumah kosong itu, kalau kita masuk ke dalam
bisa-bisa ada kejadian yang tidak mengenakkan,"
Ucap Rizki dengan jelas

"Tapi, bola itu satu-satunya, kita gak bisa main lagi kalau bola itu tidak diambil,"
Pinta Arya dengan wajah memelas

"Jangan, rya. Bahaya. Kita bisa kena marah Bapak dan Ibu kita. Jangan sampai kita buat
marah mereka,"
Ucap Rizki
Sesaat, Arya menatapi rumah kosong itu. Dia merasakan kehadiran sesuatu didalam rumah
itu. Dia cukup penasaran untuk melihat lebih jauh mengenai rumah kosong yang konon
disakralkan oleh warga setempat.

"Yaudah, biar Aku yang ambil sendiri,"


Ucapnya sambil bergerak maju ke rumah kosong
"Ee-eh, tunggu Aku, rya."
Rizki pun mengikuti langkah Arya untuk mengambil bola itu, mereka berdua mulai menuju
rumah kosong yang telah dilarang bagi siapa saja untuk dimasuki.

Rumah itu bentuknya seperti rumah biasa pada umumnya. Bagian depannya adalah ruang
tamu, posisi kamar yang berjejer dan dapur yang langsung menghadap ke arah bagian depan.
Menurut sebagian orang, ketika dapur menghadap langsung ke arah bagian depan, maka
dipercaya membawa kesialan bagi pemiliknya. Rumah kosong ini sebagai tempat seserahan
dimana banyak korban yang berjatuhan dan di obati ditempat ini oleh seorang dukun yang
bernama "Pak Luhur". Mereka mengira, masih banyak korban yang belum menerima
nasibnya hingga sekarang dan memilih untuk menuntut si dukun kejam itu.
"Rya, kita mecahin pangilon (cermin),"
Ucap Rizki dengan perasaan agak merinding

"Bolanya kemana?"
Arya masih fokus mencari keberadaan bola, dia lupa bahwa tindakannya itu sangat terlarang
untuk memasuki rumah itu sendiri.

Mereka berdua melihat-lihat sekitaran rumah kosong yang tidak pernah digunakan itu.
Tampilannya tidak jauh beda dengan rumah hantu pasar malam yang sangat berantakan dan
tidak terurus. Rizki membereskan bekas pecahanan cermin itu. Dia menyingkirkannya
dipinggiran supaya tidak terkena kaki. Arya masih menatap sekeliling tempat. Dia makin
penasaran untuk memasuki jejeran kamar yang tidak berpintu itu.
"Rya, mau kemana?"
Tanya Rizki

"Aku ingin cek dikamar, siapa tahu bolanya berada di salah satu kamar yang berjejer ini,"
Jawabnya dengan santai

"Tunggu,"
Rizki segera mengikuti langkah Arya

Hari semakin sore. Burung walet kian memenuhi langit lapangan dengan mengepakkan
sayapnya yang tipis dan halus. Senja mulai melingsir di arah barat sebagai tanda akan
berakhirnya pergantian waktu. Sendakala masih mengintai di tiap sudut yang tak terlihat,
aktivitas demit akan dimulai sebentar lagi.

Arya dan Rizki belum juga selesai untuk mencari bolanya di lapangan. Mereka menuju kamar
pertama yang tidak tertutupi oleh pintu. Ketika dilihat ternyata tempat tidur yang sudah tua
dan kian lapuk karena dimakan usia. Mungkin tempat tidur itu sebentar lagi akan hancur.
Mereka berdua keluar dari kamar itu. Bola yang dicarinya belum juga ditemukan.

"Ki, coba kita tengok kamar


sebelahnya,"
Ajak Arya

Rizki hanya mengangguk pasrah. Sahutan hewan-hewan kecil yang berada di sekitaran
lapangan kian menambah roman seram. Rizki memegangi punggung Arya dan
membuntutinya dari belakang.

Mereka memasuki kamar di sebelahnya yang tidak tertutup tanpa pintu. Begitu mereka
masuk, Bola berada di sisi pojok kamar yang berdekatan dengan lemari besar seperti tempat
penyimpanan baju. Bedanya, di tempat tidurnya seperti ada bekas pasung yang digunakan
untuk korban pagebluk (wabah) zaman dulu agar tidak melarikan diri.

Arya mendekati bola itu dan segera mengambilnya. Namun, begitu dia menyentuh bola itu,
pandangannya menjadi aneh seketika melihat kedua kaki lengkap dengan alat pasung berada
dihadapannya. Arya mengangkat wajahnya ke atas, dia melihat sosok anak kecil
seumurannya dengan luka bakar yang menggoreskan wajah anak kecil tersebut. Tangannya
layu seperti pohon yang tak pernah diberi asupan pupuk dan air. Rambutnya berantakan bak
rerumputan liar yang terinjak-injak oleh puluhan langkah kaki yang melewatinya. Arya
mundur ke arah belakang dan terjatuh. Sosok itu hanya tersenyum, matanya tertutupi oleh
poni rambut nya yang menambah sisi seram sosok itu.

"Ka-kamu, siapa?"
Ucap Arya

Sosok itu melangkahkan kakinya menuju Arya. Kakinya yang satu di gesrekan ke lantai
yang kemungkinan besar sudah patah dan tak bisa digerakkan. Rizki segera mendekati
Arya dan menarik bajunya agar segera melarikan diri dari tempat itu.
Sosok itu mengucapkan sesuatu dari kejauhan, dialeknya masih bisa di ingat oleh Arya.

"B-A-T-U-R G-H-A-I-B."

Sosok itu tersenyum dan berhenti tepat dihadapan Arya. Rizki masih menarik baju Arya dan
terus meneriakkan namanya berkali-kali. Arya masih terdiam dengan perasaan hampa.

"ARYAAAAAAAA, ITU DEMIIITTTTTTTTTTT."


Teriak Rizki dengan kencang

Arya tersadar. Dia menatap sayu sosok itu dengan penuh ketakutan. Tangannya bergetar
hebat manakala akan mengangkat tubuhnya sendiri. Rizki masih menarik bajunya dan
berhasil menjauhi Arya dari makhluk itu. Mereka berdua keluar dari kamar tempat sosok itu
menampakkan diri. Arya masih dengan perasaan dinginnya. Dia seperti mengingat masa lalu
ketika namanya telah disebutkan 20 tahun yang lalu saat musibah wabah pagebluk
menyerang desa ini. sosok anak kecil itu tampak familiar dihadapannya.

"Apa yang kamu fikirkan, rya? Ayo cepat keluar dari rumah ini!"
Teriak Rizki
"E-eh, iya. Ayo kita
keluar," Ucap Arya
Mereka keluar lewat jendela yang sudah bobrok dan penuh dengan seserpihan lapuk dari
kayunya. Rizki mengawali untuk keluar, Arya masih berada didalam rumah. Tampaknya
suara seretan kaki itu menambah dekat dan akan menuju ke arahnya yang sudah berada di
dekat jendela.
"Arya, ayo keluar!"
Ucap Rizki dari luaran rumah

Sebentar lagi adzan maghrib berkumandang. Mereka berdua masih berada diluaran. Sudah
pasti orang tua mereka merasa resah terkait dengan sendekala yang sebentar lagi akan muncul
dan siap untuk membuntuti bagi siapa saja yang masih diluaran ketika sore hendak habis dan
tergantikan dengan malam.

Arya segera keluar dari rumah itu lewat jendela yang sama. Bola yang baru saja dia ambil
segera ditaruh didalam baju agar tidak tertinggal dan terjatuh kembali. Mereka berdua berlari

meninggalkan rumah itu, sementara sendekala siap memangsanya dari kejauhan. Jika tidak
berhasil hari ini, kemungkinan besar teror demi teror akan segera menghabisi suasana
damainya menjadi kacau, harga nyaman tidak bisa dibeli lagi dengan permintaan maaf
terkecuali dengan melakukan seserahan atau pengorbanan korban.

"Tunggu .. "
Ucap Arya

Mereka berhenti di persimpangan jalan yang mengarah ke rumah masing-masing. Sambil


menatap langit yang hampir gelap, nafas mereka masih terengah-engah. Jantung mereka
berdegup kencang, seperti ada yang mengikutinya dari kejauhan namun tak nampak dilihat
oleh indera penglihatan mereka. Sedari tadi, angin sore membawa udara yang cukup
membuat tubuh mereka menggigil untuk kali pertamanya. Pepohonan pisang yang masih
rindang terbawa gerakan angin, bergoyang ke kanan-kiri seperti hendak menyampaikan pesan
tersirat terkait sosok itu yang menyukai akan kesendirian tubuh yang hampa dan penuh
kefrustasian. Mereka saling menatap pasrah. Apalah daya dua orang anak kecil sepertinya
bisa membuat pelanggaran seberat ini. Titah leluhur dilanggarnya begitu saja, adakah yang
mereka sadari dengan perbuatan konyol dan tak beradab ini?
"Ki, Aku minta, Kamu jangan bilang ke Bapak dan Ibu, ya?"

Rizki hanya mengangguk. Kebenarannya belum bisa dipastikan, apakah Rizki akan
melaporkan kepada kedua orang tuanya atau sebatas memberi tahu tentang rasa takutnya
ketika melihat sosok korban wabah pagebluk 20 tahun silam itu?

"Rya, lebih baik kita pulang kerumah. Jangan sampai makhluk itu mengikuti kita."

Ucapan itu sebagai tanda akhir obrolan. Mereka menuju rumah masing-masing dengan
menahan rasa kebohongan dalam hati atau kejujuran yang akan terungkap dengan sendirinya.
Arya masih menimbang jawabannya dalam hati, apalagi masalah ini bukan masalah biasa
menurutnya. Sudah pasti, Ayahnya akan memarahinya dan sesekali melayangkan pukulan
pertama di pantatnya. Langkah demi langkah terasa berat untuk menuju rumahnya yang
sudah ada didepan mata. Seperti ada tarikan magnet di dalam tubuhnya pada sesuatu yang ada
dibelakangnya.
"Kok, aku mendengar seretan kaki,"
Ucapnya dalam hati

Seretan kaki! Yah benar, suara itu perlahan-lahan membuat matanya seakan-akan ingin
menengok kebelakang. Tangannya tidak bisa berhenti untuk bergetar, bola didalam bajunya
seakan-akan ingin terjatuh ketika tubuhnya mulai bereaksi mendengar suara yang tampak
jelas namun tak bisa dipastikan keberadaan siapa yang melakukannya. Hati sudah tak tenang.
Kini dia hanya bisa melawan taqdir yang akan ditentukan manakala waktu sudah menggelap.
Kawanan walet yang semula berkumpul kita tergantikan dengan sahutan kelelawar yang
bertengger diantara tangkai pohon kelengkeng yang berada didekatnya. Suara seretan kaki itu
terdengar lebih jelas. Arya memaksakan tubuhnya untuk bergerak. Dia melihat rumahnya
yang ada dihadapan mata. Arya melihat seseorang dengan kepulan asap rokok yang dia kenal
yaitu Ayahnya. Pak Hanif sedang menunggu dirinya dari luar rumah dengan memainkan jari
jemari yang penuh dengan cincin akik pewaris dari kakeknya. Arya tetap melangkahkan kaki
dan sesaat tubuhnya tak bisa dikendalikan, dia berlari keras tanpa rem yang bisa
menghentikannya.
"Arya, kamu kenapa pulangnya telat?"
Tanya Pak Hanif

Arya terdiam seribu bahasa. Nyalinya tak siap untuk menceritakan kejadian yang baru saja
terjadi. Lengkukan pipinya mulai meranah pada rasa takut dan throma berat. Matanya
menunduk kebawah, tidak ingin melihat amarah ayahnya yang sangat berwibawa itu.

"Kok diam, ada apa?"


Tanya Pak Hanif

Pak Hanif segera menaruh puntungan rokok itu di asbak berbentuk Kura-kura. Kedua
tangannya menyentuh tubuh Arya yang sedari tadi mematung dan terdiam seribu bahasa. Pak
Hanif merasakan ada aura yang dia kenali namun sejak dahulu aura ini tidak terpancarkan
lagi. Hidungnya mencium sesuatu yang tak sedap untuk dihirup. Bau busuk akibat
terbakarnya tubuh, darah yang berceceran deras dan teriakan demi teriakan seperti dalam
dapur panggangan yang memanggang puluhan korban wabah pagebluk 20 tahun silam itu.
Dia teringat sesuatu, Pak Hanif mengenali sosok itu dari kejauhan memandang. Dia
mendapati sosok itu sedang menunggu di depan rumahnya dengan wajah yang tersenyum dan
tatapan yang sayu.

"Mah, mah. Bawa Arya masuk kedalam. Mandikan dengan kembang tujuh rupa. Sekarang!"
Teriak Pak Hanif dari kejauhan.

Bu Mala segera menindak lebih cepat perintah dari suaminya. Dia membayangkan kejadian
20 tahun silam ketika banyak sekali anak-anak yang menjadi korban akibat dari keganasan
Wabah Pagebluk saat itu. Pak Hanif masih menatap halaman depan rumahnya. Sosok anak
kecil itu masih berdiri tegak sambil menunjukkan diri Pak Hanif. Lakon cerita yang telah
dihempaskan, kini terulang kembali di masa depan yang tak akan pernah terfikirkan akan
menjadi apa kelanjutannya.

"Balik! Aja mene maning,"


(Pulang! Jangan kesini lagi)
Ucap Pak Hanif dengan tegas.

Sosok itu tidak memperdulikan perintah Pak Hanif. Sambutan hangatnya membuat kening
Pak Hanif sedikit mengkerut. Tetesan keringat mulai berjatuhan manakala sosok itu berucap
sesuatu yang tidak pernah disangkanya kembali terulang.
"S-E-S-E-R-A-H-A-N,"
Ucap sosok itu dengan tersenyum

Kopi yang semula hangat menjadi dingin. Adzan Maghrib mulai berkumandang. Sahutan
Ayam menjadi sangat bising di telinga Pak Hanif. Seperti akan terjadi sesuatu yang sangat

berbahaya ketika kata "SESERAHAN" diucapkan oleh mulut sosok itu. Dengan sigap, Pak
Hanif meminum kopi itu sambil merapalkan sebuah kalimat yang terkandung didalamnya
agar menjadi pagar ghaib disetiap sisi rumahnya lalu di semburkan tepat di sosok itu.

Byuuuuur ...

Sosok itu menghilang tanpa pamitan. Alunan gamelan berkumandang setelah adzan maghrib
menyapa. entah dari mana datangnya, yang pasti tanda itu semakin kuat akan di
berlakukannya seserahan leluhur terdahulu. Mungkin ada tokoh yang menggerakkan dibalik
terciptanya kesalahan sakral ini. Pak Hanif menutup pintu rumahnya dan berupaya
menghilangkan ketakutan dalam dirinya.

Suasana menjadi canggung. Seorang Ayah yang biasa mengingatkan hal-hal kebajikan dan
kebaikan kepada anaknya, kini mulai menutup mulut dan enggan berbicara. Mungkinkah
Arya mengetahui sedikit sisi gelap masa lalu Ayahnya? Belum lagi, ketika ia dilahirkan,
kondisi Ibu nya (Bu Mala) sedang dalam tahap yang menyusahkan. Persalinan terbantu oleh
sosok demit yang sekarang bersarang di tubuh Nining. Ya, demit itu menjadikan tubuh
Nining sebagai pengganti raganya dan menguasai seluruh jiwa raganya. Tentu saja, dalam hal
ini ilmu hitam yang dipergunakan untuk membangkitkan Nining sangatlah beresiko.
Membutuhkan korban jiwa untuk digadaikan dan dijadikan seserahan bagi mereka yang
terpaut kepada keyakinan untuk menyelamatkan desanya.
Pak Hanif mendekati tubuh Arya yang sedang kedinginan. Kini badan Arya terasa harum dan
segar setelah dimandikan dengan kembang tujuh rupa. Kedua tangannya saling bersentuhan.
Tatapan mata keduanya mulai menurun dan memelas. Suaranya agak terganjal dengan pikiran
yang kalut ketika mengingat lagi masa lalu yang begitu suram.

"Cung, kamu tadi masuk ke rumah kosong itu?"


Tanya Pak Hanif dengan tersenyum

"I-iya, yah. Aku masuk kesana untuk mengambil bola,"


Ucap Arya tanpa basa-basi

"Sama siapa?"
Tanya Pak Hanif

"Rizki, yah,"
Jawab Arya

Obrolan dihentikan dengan sekejap. Pak Hanif langsung menuju kamarnya dan menggelar
sajadah tua berwarna hijau dengan motif masjid.

"Arya sholat juga, ya. Ayo cepat ganti


baju," Ucap Bu Mala

Arya segera berlari menuju lemari bajunya. Mencari tumpukan baju koko dan sarung untuk
segera menjadi makmum dari Ayahnya. Langkah kecilnya terkadang membuat pandangan
mata Bu Mala agak risau, sewaktu-waktu, langkah kakinya bisa jadi menjadi penyebab
terbakarnya emosi jiwa warga yang belum memaafkan kejadian tak terlupakan itu. Andaikan
waktu bisa terulang, kemungkinan besar jalan satu-satunya untuk bisa melarikan diri dari
segala konflik ini adalah dengan menjual rumahnya yang sekarang dan mencari kehidupan
baru yang lebih baik dan bersahaja sifatnya.
"Allahu akbar."
Lantunan takbir yang menggelora di hati yang tak tersentuh akan nilai-nilai keagamaan,
berhasil menggetarkan dan membuat semangat kembali seperti sedia kala. Ada waktunya,
manusia akan menyesal dan membutuhkan pertolongan Tuhannya. Jika lelah, sujud adalah
tempat terindah untuk menundukkan diri atas segala kesombongan yang telah berlalu.

"Assalamualaikum warahmatullahi."
"Assalamualaikum warahmatullahi wabarokatuh."

Arya menyalami tangan Pak Hanif sebagai tanda bentuk kehormatan serta kasih sayangnya
sebagai seorang anak. Pak Hanif membalasnya dengan mengelus rambut halus Arya yang
poninya sedikit memanjang ke arah kanan. Hati Pak Hanif terenyuh begitu melihat sikap
sopan dan santun anak semata wayangnya.

"Mah, Ayah ingin mengunjungi rumah Pak Warno. Tolong jaga Arya, ya,"
Ucap Pak Hanif sambil membereskan sarung miliknya

"Ya, yah. Hati-hati


dijalan," Ucap Bu Mala.

Bu Mala dan Arya menyalami kedua tangan Pak Hanif sebelum beranjak meninggalkan
rumah. Sorotan mata Pak Hanif kepada Bu Mala hanya dijawab dengan anggukan pasrah oleh
Bu Mala yang mengetahui kejadian itu. Anak sekecil Arya, mana bisa mempunyai tekanan
seberat ini, walau dia tidak merasakan, namun kedua hati orang tuanya terenyuh begitu saja,
seakan-akan tidak mengikhlaskan hal ini terjadi.

Di desa ini, memang terkenal adat yang begitu kental akan kepercayaan leluhur dan
keberagaman teluh yang masih berlaku. Tak ada satupun warga yang berani melawan titah
catatan leluhur dahulu, sekalinya dilanggar maka akan menimbulkan dampak yang sangat
besar bagi seluruh warga. Sama hal nya dengan seserahan, upacara pengorbanan yang
dimaksud adalah mengorbankan satu anak kecil untuk ditukarkan dengan keselamatan dan
kesejahteraan bagi warga sekitar. Langkah kaki Pak Hanif agak terburu-buru, tujuan
utamanya adalah rumah Pak Warno. Salah satu warga yang keluarganya terkena wabah
pagebluk kala itu.

"Assalamualaikum, Pak Warno,"


Ucap Pak Hanif sambil mengetuk pintu
"Waalaikum salam, Pak Hanif. Ada apa maghrib-maghrib begini kerumah saya? Ayo masuk
ke dalam."
Pak Warno mempersilahkan Pak Hanif untuk menduduki sofa tua miliknya. Rumahnya yang
sedikit agak reot, namun sangat nyaman untuk ditinggali. Pak Warno hanya tinggal seorang
diri di rumahnya. Isteri dan anaknya meninggal ketika tragedi wabah pagebluk meneror desa.
"Begini, pak. Aku mendapati Apta, anakmu,"
Ucap Pak Hanif dengan frontal
"Maksudmu? Anakku meneror atau bagaimana?"
Pertanyaan demi pertanyaan kini menjadi sebuah jawaban yang tak pernah disangka diantara
keduanya. Mereka berdua masih belum bisa melupakan tragedi itu.
"Lebih tepatnya, Arya, anakku, yang membangunkan tidur lamanya,"
Ucap Pak Hanif
"Bukankah itu melanggar titah leluhur terdahulu? Bagaimana bisa terjadi?"
Tanya Pak Warno
"Aku rasa, Arya memecahkan pangilon kutukan yang terpampang di dinding rumah itu,"
Jelas Pak Hanif
"O-oh pangilon itu, sudah kuduga, luhur belum menghancurkannya,"
Ucap Pak Warno
"Bukankah ini jebakan?"
Tanya Pak Hanif
"Apa maksudmu, Hanif?"
Tanya balik Pak Warno
"Pak Luhur, si dukun kejam itu, sengaja membiarkan pangilon (cermin) itu tetap terpasang di
dinding tembok agar ambisinya tercapai,"
Jelas Pak Hanif
Mereka berdua diam sejenak. Pak Warno beranjak ke dapur untuk membawakan kopi hangat
dan kue cucur yang biasa dihidangkan ketika ada tamu yang berkunjung kerumahnya. Wajah
Pak Warno mulai kehilangan sumringahnya, jika diingat-ingat kembali, anaknya mungkin
sudah menginjak bangku perkuliahan dan menikmati masa mudanya dengan bersenda gurau
dengan para gadis kembang desa.
"Apakah kamu yakin?"
Tanya Pak Warno
"Aku yakin. Apta, anakmu, mengucapkan satu kata yang membuatku terperanjat tak
percaya. Kata itu memang sudah lama tidak kudengar dan baru kali ini dia mengucapkan
dengan wajah yang serius,"
Jelas Pak Hanif
"Apa itu?"
Tanya pak Warno
*SESERAHAN,"
Jawab Pak Hanif
Detak jantung Pak Warno berdegup kencang. Nafasnya semakin cepat naik-turun tidak
normal. Tangannya bergetar mana kala upacara mematikan itu diucapkan kembali
dihadapannya.
"Seserahan?"
Tanya Pak Warno

"Betul, pak,"
Jawab Pak Hanif

"Sebenarnya, ambisi apa yang diinginkan oleh Pak Luhur itu?"


Tanya Pak Warno

Pak Hanif menyeruput kopi hangat yang telah disediakan oleh Pak Warno. Dia kembali
mengingat masa lalu yang suram dengan dalih membawa keberkahan dan keselamatan, tapi
nyatanya, dia tidak bisa menyelamatkan tubuh Nining yang tergadaikan dengan sukmo demit
dan berujung petaka. Dari situlah muncul kata "Seserahan".

"Tujuannya adalah membangkitkan sosok Nining,"


Ucap Pak Hanif

"Jangan bercanda! Kuntilanak merah itu telah merenggut puluhan jiwa warga sini, apa masih
kurang korban yang telah berjatuhan? Ini diluar sifat manusiawinya,"
Jawab Pak Warno dengan perasaan kesal

"Tenang, pak. Ini hanya hipotesis semata. Kita belum tahu kebenarannya,"
Jelas Pak Hanif
"Nif, aku telah kehilangan Apta dan isteriku. kini, anakmu terjaring dalam pelanggaran titah
leluhur, apakah mereka segan memainkan peran kita sebagai korban sedangkan mereka
semua bergembira sambil meminum tuak? Kita harus hentikan sebelum upacara seserahan itu
diwujudkan,"
Ujar Pak Warno sembari menahan tangis
"Bagaimana kita tahu mereka ingin mewujudkan upacara seserahan itu?"
Tanya Pak Hanif
Pak Warno mulai terdiam. Jari jemarinya memainkan gelas yang berisikan kopi. Memutar-
mutar posisi gelas yang semula terdiam dan berharap mendapatkan solusi terbaik dari
berfikirnya itu.

"jangan sampaikan ini ke warga. Bisa saja, anakmu akan dijadikan seserahan bila berita ini
bocor. Kemungkinan besar, kita harus merahasiakannya,"
Ucap Pak Warno
"Oke, pak."
Percakapan diakhiri. Pak Hanif izin pulang dan kembali kerumahnya. Tampak dengan jelas
wajah tegang diantara pelipis mata yang mulai mengekerutkan kulit-kulit disekelilingnya.
Rona wajah Pak Warno memerah ketika mengetahui keadaan sebenarnya. Kemungkinan
besar, nyali Pak Hanif tampak besar untuk menghentikan semua permasalahan ini.
"Saya pamit, pak. Assalamualaikum,"
Ucap Pak Hanif
"Wa'alaikum salam warahmatullahi wa barokatuh."

Suara langkah kaki meninggalkan rumah Pak Warno terdengar jelas. Tubuh Pak Hanif siap
menerobos kabut yang mengental di malam hari. Angin mulai menusukkan ke sela-sela
tubuhnya, kedua tangannya saling bergesekan untuk menciptakan kehangatan sementara.
Sesekali, dia menatap rumah kosong dekat lapangan itu. Mengingat 20 tahun lamanya
kejadian itu berlangsung. Memuntahkan lagi kejadian yang sama dan berakibat fatal. Titah
leluhur memang tidak untuk dipermainkan. Siapa yang memulai, dia juga yang harus
menyelesainnya
‘’Di kehidupan yang selanjutnya, orang akan bersikeras melakukan apa saja untuk
mewujudkan ambisi dan keinginanannya. Jangan dekati orang yang seperti itu. Aku
kira, mereka adalah teman. tapi nyatanya, mereka adalah sebuah ancaman baru yang
tak terlihat namun dapat dirasakan dengan jelas.’’

(Pak Warno)
BATUR GHAIB PART 1
VICTIMIZING SOUL
Teror itu nyata!

Percikan air wudhu membasahi kedua tangan Pak Ustadz. Dirinya mulai menyangkal sesuatu
yang tidak beres di langgar (mushola) nya. Mana bisa suara ayam jam segini belum juga
berkokok. Suasana semalam sangat dingin dan di subuh hari menjadi sangat hangat. Aneh!
Fajar belum melingsir ke angkasa namun kehangatannya telah dirasakan. Pak Ustadz
memukul kentongan masjid sebagai tanda akan disegerakannya sholat subuh berjama'ah.
Yang mendatangi langgar itu hanya terhitung lima orang saja. Sisanya, masih tertidur lelap.
Pak Ustadz menuju tempat pengimaman. Beberapa makmumnya tampak mempermasalahkan
cuaca aneh di subuh hari.

"Aku belum pernah merasakan kehangatan di subuh hari, apakah ada pertanda khusus?"
Tanya Pak Ilyas, ketua RT didesanya

"Kemungkinan, akan terjadinya sesuatu yang tidak diinginkan. Mungkin saja berupa
bencana atau pelajaran untuk kita semua,"
Balas seorang warga lainnya yang memiliki kedekatan pribadi kepada Pak Ilyas.

"Pak, sekarang kita mau sholat. Alangkah baiknya, urusan duniawi kita bahasi diluar jam
sholat, bagaimana? Setujukah?"

Semua terdiam manakala Pak Ustadz angkat bicara. Wibawanya berhasil menyentuh para hati
warga yang belum bisa menjaga imej dihadapan Tuhan. Musholla, bukan tempat untuk
bersandiwara keadaan. Tapi tempat untuk meyakinkan diri kepada Sang Pencipta.
Selesai sholat. Pak Ustadz menggiring mereka ke tempat peristirahatan yang berada di latar
musholla. Sambil menyiapkan teh hangat yang dibawanya tadi, perbincangan pun dimulai.

"Apakah kalian merasa aneh dengan desa ini? Aku rasa, aku pernah merasakan hawa seperti
ini, tapi aku lupa kapan waktunya,"
Tanya Pak Ustadz mewakili pembuka perbincangan mereka
"Pak Ustadz, sepertinya desa kita akan terkena pagebluk (bencana). Aku yakin, ada orang
jahat yang merencanakan ini semua,"
Jawab Pak Ilyas dengan keyakinan yang tinggi

"Pagebluk? Beberapa puluh tahun yang lalu, desa ini pernah mengalami hal yang kau
maksud, aku baru ingat setelah kau menyebut kata itu,"
Perbincangan mereka menjadi sangat sakral manakala menyebut kata "pagebluk."

"Benar, Pak Ustadz. Aku masih ingat, Nining sebagai tawanan dari Luhur. Dan sekarang,
Luhur berpura-pura menjadi orang gila agar terselamatkan,"
Cela Pak Ilyas

"Husst .. tidak boleh memfitnah dan bersu'udzon seperti itu. Tidak baik,"

Pak Ustadz masih memainkan tasbih antiknya yang terbuat dari kaukah. Sebagai orang yang
dihormati, telah menjadi tugasnya untuk memberi masukan dan saran agar kedamaian
tercipta.

"Sekarang, coba kau datangi Irsyad, si tangan kanan Luhur. Barangkali dia ingin membuka
mulut terkait kejadian aneh ini,"
Pesan Pak Ustadz

"Mengapa harus Irsyad? Dia juga kan yang telah membuat kekacauan dan menjadi
pengkhianat desa, mengapa Pak Ustadz mempercayakannya?"

Memang benar. Kebenaran itu sulit terungkap ketika mulut lebih di depankan dibanding akal.
Tak ada kepastian mengapa Pak Ilyas bisa berbicara sejeli itu. Pengkhianat desa, Itulah gelar
yang didapatkan oleh Irsyad saat ini. Pemuda yang mempunyai semangat untuk
membesarkan kesenian Cirebon, kini terjun kepada dunia hitam perdukunan. Penyebabnya
tak lain dan tak bukan adalah karena seorang kekasih yang amat dicintainya, Nining.

Nining meninggal dunia setelah mengorbankan diri untuk diselenggarakannya Seserahan


untuk pertama kalinya. Kemudian, Pak Luhur mengisi tubuh Nining dengan demit lain yang
bernama Nyi Kebaya. Mau bagaimanapun juga, Irsyad pernah menjadi orang baik, hanya
waktu dan kondisi saja yang bisa memulihkan keadaannya saat ini.

"Baiklah, kita perbanyak do'a saja. Semoga pagi hari ini kita semua bisa tenang,"
Ucap Pak Ustadz dengan penuh wibawa
Pak Ustadz menutup obrolan kecil di pagi hari itu dengan do'a. Ada harapan yang dipanjatkan
di tiap sisi do'anya. Jika tidak bisa diubah dengan cara pergerakan, biarlah do'a itu sendiri
yang mengubah takdir yang akan ditetapkan pada hari ini.

Semesta menyapa hangat, Sinar Matahari mulai menaiki langit nan biru dan cerah. Ayam-
ayam mulai berkokok setelah sekian jam membisu. Sahutan Burung-burung menambah rasa
sejuk dipikiran warga yang melintasi tempat itu.

Ada dua orang warga yang baru pulang dari pasar. Mereka berdua tidak sengaja menatap
kearah rumah kosong di dekat lapangan itu. Tanpa disengaja, ada lambaian tangan menyahut
mereka berdua dari jendela rumah. Keduanya ketakutan dan lari terbirit-birit. Pada saat itu
juga, laporan miring mengenai sosok di rumah kosong itu menjadi sangat menakutkan dan
menjadi momok yang tak pernah hilang diingatan para warga sekitar.

"Pak, sepertinya ada yang menjanggal dengan desa kita,"


Ucap salah satu warga kepada Pak Ilyas

"A-apa maksud kalian berdua?"


Tanya Pak Ilyas dengan kebingungan
"Rumah kosong itu. Sepertinya ada yang memasuki rumah itu, pak,"
"Darimana kau tah?"
Tanya balik Pak Ilyas

"Tadi barusan kami melewatinya dan tidak sengaja menatap rumah itu, tanpa disangka-
sangka, kedua mata ini melihat lambaian tangan kearah kami. Siapakah dalang dibalik ini
semua, pak?"
Tanya kedua warga yang bersaksi telah menyaksikan kejadian aneh itu.

"Nanti aku jawab. Sepertinya aku harus menemui Pak Hanif. Kemungkinan besar, dia lebih
mengetahui tempat itu."
Pak Ilyas bergegas menuju rumah Pak Hanif. Kali ini, hatinya tidak tenang. Sebagaimana
telah disampaikannya kepada Pak Ustadz di waktu subuh tadi, perasaannya sangat kalut dan
campur aduk. Semisal kejadian ini menimpa desanya, jalan satu-satunya adalah menemukan
dengan cepat pelaku dari penyebab bermunculannya sosok-sosok aneh di rumah kosong itu.
Pantas saja, subuh tadi suasana agak hangat walau matahari belum muncul. Eksistensi mereka
telah jelas merebak ke seluruh penglihatan warga sekitar. Mengganggu tidaknya, mungkin
Pak Hanif akan memberikan wejangan terkait rumah kosong yang pernah menjadi saksi
kehidupan dahulunya dalam memperjuangkan harga diri desanya.
"Assalamualaikum, Pak Hanif,"
Kali ini, suaranya agak lantang. Seperti terburu-buru

"Wa'alaikum salam, Pak Ilyas. Ada apa kemari?"


Tanya Pak Hanif sambil membereskan sarungnya.

"Pak, ada yang ingin saya sampaikan, tapi perihal itu, bisakah bapak rahasiakan?"
Pinta Pak Ilyas
"Boleh, boleh. Silahkan saja."

Pak Ilyas masih memainkan kedua tangannya. Sesekali menggenggam, lalu dilepaskan.
Agaknya, pikirannya mulai kacau sewaktu berhadapan dengan Pak Hanif. Mengingat betapa
riskan dan pentingnya masalah ini sampai-sampai mulutnya terkunci otomatis tanpa sepatah
katapun yang terucap. Keringatnya mulai berjatuhan dengan dalih panas yang menyengat
tubuhnya.
"Pak Hanif, saya mendapat laporan dari dua orang warga sini,"
Pak Ilyas memberanikan diri membuka percakapan

"Laporan apa, pak?"


Tanya Pak Hanif dengan memperhatikan tingkah Pak Ilyas secara seksama

"Mengenai rumah kosong itu, ada satu sosok yang berhasil didapati oleh kedua warga ini,"
Ucapnya dengan nada terburu-buru

"Mendapati satu sosok? Maksudnya bagaimana?"


Tanya Pak Hanif

"Bapak masih ingat kejadian puluhan tahun silam? Saat wabah pagebluk itu menyerang desa
ini? Bukankah, banyak korban yang berjatuhan? Kemungkinan besar, sosok itu terbangun
dari tidurnya dan akan menuntut balas pada warga sekitar yang enggan
menolongnya,"
Jelas Pak Ilyas sambil menunduk pasrah

"Iya, aku tahu. Tapi, aku rasa ini adalah suatu rahasia yang harus disembunyikan. Belum
lagi, aku melihat banyak kejanggalan,"
Ucap Pak Hanif
"Kejanggalan? Maksudnya?"
Tanya Pak ilyas

"Sebenarnya, yang membangunkan itu adalah anakku, Arya Kusuma. Dia bermain bola di
lapangan yang berdekatan dengan rumah kosong itu. Bola itu masuk kedalam rumah dan
memecahkan sebuah pangilon (cermin) yang menempel di tembok. Pikirku, sosok yang kau
maksud adalah Apta,"
Jelas Pak Hanif secara rinci dan padat

"Apta? Bukankah nama itu adalah anak dari Pak Warno? Apa penyebabnya dia muncul?"
Tanya Pak Ilyas

"Apta itu adalah korban pagebluk yang seharusnya masih bisa diselamatkan. Namun, Pak
Luhur saat itu menguasai trah (keturunan) leluhur dan membuat kebijakan sebagaimana
ambisinya tercipta. Darah harus mengalir secara deras ketika pengorbanan segera dimulai.
Artinya, selama masih ada Seserahan, selama itu pula pengorbanan harus di lakukan." Jawab
Pak Hanif

Obrolan menjadi semakin berisi manakala Pak Wahid, Ayah Rizki, datang mengunjungi
mereka berdua. Mungkin obrolan yang sama akan tercipta.

"Assalamualaikum, Pak Ilyas, Pak Hanif. Izin bergabung,"


Sapa Pak Wahid

"Waalaikum salam warahmatullahi wa barokatuh,"


Jawab Pak Hanif, Pak Luhur dan Pak Ilyas secara bersama

"Silahkan, pak. Apakah ada yang ingin kau sampaikan?"


Tanya Pak Hanif

"Benar, pak, apakah tadi subuh tidak merasakan kejanggalan yang luar biasa?"
Tanya Pak Wahid

Pak Ilyas merasa terpanggil dengan pertanyaan yang dilontarkan oleh Pak Wahid barusan,
sepertinya, tidak hanya jama'ah langgar (musholla) saja yang merasakan kejanggalan yang
sama, tetapi seluruh warga sekitar juga merasakan hal yang sama.

"Aku pak. Seluruh jama'ah langgar pun merasakan hal yang sama,"
Ucap Pak Ilyas
"Sebentar, apakah ini ada kaitannya dengan kejadian Rizki dan Arya kemarin sore?
Tampaknya, ini bukan sebuah kebetulan yang di ada-adakan,"
Jelas Pak Wahid

"Sejujurnya, ini masalah personal dan harus kita tutupi dari publik namun bukan berarti kita
tidak terbuka, hanya saja, aku takut ada yang menunggangi hal ini sebagai bahan ambisinya
semata, aku tak ingin kejadian lama terulang kembali,"
Jelas Pak Hanif

"Kalau begitu. Kita rahasiakan dahulu, lalu coba kita obrolkan nanti malam dengan Pak
Ustadz. Pak Ustadz bilang, jangan sampai masalah ini bisa bocor ke seluruh warga,"
Pinta Pak Ilyas

"Bagaimana menurutmu, Pak Wahid?"


Tanya Pak Hanif

"Apakah alangkah baiknya kita bahas hal ini secara bersama? Biar tidak ada yang tertutupi
dan terealisasikan secara bersama-sama?"
Tanya Pak Wahid

"Jangan. Kau tahu sendiri, kan? Dukun kejam itu masih berada dil ingkungan kita?"

Ungkapan Pak Hanif membuat mereka berdua menunduk lesu. Benar saja, terkadang tidak
mungkin untuk memberitahu seluruh keadaan sebelum terjadinya diskusi tepat dan mencari
solusi yang membawa kepada keselamatan. Manakala hati tidak bisa lagi terbohongi, sudah
pasti kejujuran itu sendiri yang akan berkata walau terasa sesak di dada.

Diskusi kali ini diselesaikan begitu saja. Belum ada keputusan yang tepat, menunggu
kepastian dan yang pasti, saling mengharapkan keadaan tidak semakin buruk. Pak Luhur

sebagai pemegang trah (keturunan) leluhur, bisa saja melakukan ambisinya 20 tahun silam
dengan cara melakukan seserahan dan berbuat seenaknya diri tanpa berfikir sebab akibat yang
beresiko kepada keselamatan dan kenyamanan warga sekitar. Tua bangka itu, belum saja
dijemput oleh ajal. Semakin kesini, badannya semakin bugar. Pengguna ilmu hitam akan terus
melakukan perubahan yang signifikan dan terbilang absurd dengan menyesuaikan zaman
yang sedang digelutinya. Zaman dimana seluruh warga akan tertunduk kepada kekuasaan
dan kedigdayaan, zaman dimana sang hitam akan memimpin sang putih. ketika keduanya
tidak ingin disatukan dan memilih jalan kebenarannya masing- masing tanpa berfikir lebih
luas dan luwes lagi.
Sore itu, seluruh warga tampak berdatangan ke rumah Pak Hanif. Sekedar meminta
pengobatan gratis yang pernah diedarkannya di balai desa. Memang tabib sangat berharga
dibanding kedokteran kala itu. Hal yang sama dilakukan oleh Pak Luhur, kejadian ini
menjadi point pentingnya untuk menarik simpatisan warga dam segera menyuruh Irsyad
untuk menguping seluruh pembicaraan yang akan disampaikan oleh Pak Hanif.

"Semuanya tenang, semuanya akan kebagian diperiksa. Tolong jangan saling dorong,"
Ucap Pak Hanif

Bu Mala dan Arya selalu berada disamping Pak Hanif. Mereka berdua setia menyiapkan
segala obat-obatan untuk para warga yang terkena penyakit diluar nalar. Seperti demam
berkepanjangan, kesambet, kesurupan bahkan gangguan kiriman seperi teluh atau santet.

Sesaat Arya sedang menyiapkan obat-obatan yang akan digunakan oleh Ayahnya, dia melihat
seseorang dengan jubah hitam berada di barisan belakang. Dia tidak sedang dalam mengantri
atau menginginkan pengobatan atau semacamnya. Lebih tepatnya, orang itu sedang
membuntuti setiap gerak-gerik Pak Hanif dari kejauhan. Arya menarik lengan baju ibunya
yang sedang menumbuk tomat untuk pengobatan utamanya. Bu Mala masih kekeh untuk
menumbuk tomat itu hingga halus. Tindakan Arya dicap sebagai pengganggu dan membuat
pekerjaan menjadi lama dan tersendak ditengah jalan.

"Ada apa, nak?"


Tanya Bu Mala

"Sosok berjubah hitam itu, siapa?"


Sambil menunjuk kearah belakang barisan.

Karena merasa keberadaanya telah diketahui. Sosok itu pergi sambil menundukkan kepalanya
dan berlari ke arah perumahan warga. Bu Mala mengira sosok itu adalah pengikut setia dari
Pak Luhur. Tidak diragukan lagi. Pak Luhur sedang merencanakan sesuatu untuk
memperhalus kondisi dalam keadaan kesempitan ini.

Bu Mala masih fokus terhadap tugasnya. Dia tidak ingin mengambil pusing tingkah dua iblis
yang berwujud manusia itu. Nalurinya tetap mengatakan bahwa keadaan akan cepat membaik
bila dilakukan dengan penuh ikhlas dan sabar. Rangsangan terhadap lingkungan sekitarnya
makin membesar manakala memandangi rentetan warga sedang mengantri meminta obat
untuk kesembuhan anak-anak mereka.
Malam harinya, udara semakin mendinginkan suasana. Kabut yang tercipta akibat hembusan
angin yang tertiup dan bercampur dengan asap bebakaran kayu kering, menjadikan efek
penglihatan setiap warga menjadi tidak normal. Mulai saat itu, Pak Ilyas mengisyaratkan agar
tidak keluar rumah dan tetap di dalam rumah untuk menjaga kestabilan. Rupanya, berita
masuknya Arya dan Rizki dalam rumah kosong itu menyebar dengan cepat. Beberapa warga
hanya menerima, sedangkan beberapa lainnya sempat naik darah dan menuntut solusi agar
tidak terjadinya wabah pagebluk (bencana) yang pernah dituliskan dalam titah leluhur. Hal itu
disampaikan sebagai bentuk protes dan tidak profesionalitas diri terhadap kinerja dan
pandangan masyarakat terhadap Pak Hanif. Semula Pak Warno menjelaskan ini hanyalah
masalah sepele dan tidak perlu dibesar-besarkan, namun beberapa warga menilai kondisi kali
ini, desa tidak dalam keadaan baik-baik saja. Terlalu cepat untuk mendeskripsikan bahwa
yang dikatakan oleh Pak Warno itu benar.

Pak Warno dan Pak Hanif mencari cara agar dapat membendung amarah masyarakat. Mereka
mengira, ada yang mencuci otaknya dengan dalih "keselamatan dan kesejahteraan" desa.
Tentu saja, titah leluhur yang diturunkan terhadap trah (penerus) nya sangatlah bergantung
kepada ucapan dari Pak Luhur. Sebagai petinggi desa yang menjabat sebagai trah leluhur,
tindakannya bersifat sembrono dan terlalu mengada-ada.

Pak Hanif hanya bisa merenungi nasib putra semata wayangnya, Arya. Tak mungkin bisa lari
dari kejaran warga atau sebagai gantinya, warga akan meminta diberlakukannya seserahan
secepat mungkin sebelum purnama bersinar tepat di pertengahan bulan. Saat itu, para leluhur
akan meminta tumbal dan menjanjikan 4 permintaan terhadap trah leluhurnya, yaitu Pak
Luhur.

"Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur,"


Ucap Pak Hanif

"Kita belum mengetahui kebenarannya, tenangkan hatimu,"


Saran Pak Warno sambil menatap serius

"Pak, apa mungkin trah leluhur bersikap demikian?"


Tanya Pak Hanif

"Itu adalah tindakan sembrononya, dia menjadikan kesempatan ini untuk menuruti kemauan
dan menciptakan ambisinya diluar nalar. Jangan sampai kau terjatuh kepada lubang yang
sama, keraguan akan segera melahap keyakinanmu,"
Ucap Pak Warno
Memang ada benarnya. Di lain sisi, keraguan bersifat sementara, namun di sisi lain, keraguan
sendiri yang menetap manakala keyakinan tidak berada diposisinya. Akankah perkembangan
selanjutnya menjadikan dirinya kuat? Padahal, dia mempunyai pandangan yang baik dalam
memilih dan memilah kejadian yang akan terjadi. Sebegitu menciutnya nyali Pak Hanif
hingga tidak bisa mengenal dirinya sendiri.

Baru saja mereka membahas kejadian masa lalu, suara alunan gamelan berbunyi di malam
hari. Menurut orang tua terdahulu, alunan gamelan itu sebagai awal akan terjadinya berbagai
teror dan ketakutan disetiap pernak-pernik malam yang menghiasi kegelapan dan kehangatan
yang menerangi siang. Tidak akan lepas dan tetap berjalan sesuai adat yang berlaku hingga
ada dari mereka yang mengorbankan diri untuk dilakukannya seserahan.

"Pak, itu suara Gamelan ?"


Tanya Pak Hanif

"Benar. Mungkin sudah saatnya kita harus berdiri dan menghadapi,",


Jelas Pak Warno

"Kira-kira, apa pak?"


Tanya Pak Hanif

"Aku tidak tahu bentuknya, namun bisa saja ini berbahaya,"


Jawab Pak Warno

"Haruskah kita meminta bantuan Luhur?"


Pinta Pak Hanif

"Kau ingin bernegoisasi dengan Iblis yang telah menghancurkan ketenangan desa waktu
dulu? Berfikirlah logis dan jernih, ingatkan hatimu agar akal dan keinginanmu terarah. Hidup
tidak akan sejalan jika menjalin perjanjian terhadap Iblis."
Ucap Pak Warno

Pak Hanif tertegun mendengar jawaban spesial dai Pak Warno. Mungkin saja suara gamelan
itu telah direncanakannya agar masyarakat merasakan ketakutan yang luar biasa dan
berpaling pada nilai-nilai ketuhanan. Sungguh licik rencana Iblis dalam menghempaskan
segala kebutuhan masyarakat dan tergantikan dengan ambisi yang nekat.
Suara gamelan itu berbunyi hingga jam dua pagi. Pak Warno masih setia menemani hingga
malam suntuk dengan Pak Hanif. Mereka berdua tampak akrab dan sudah mulai tenang
dengan kehidupan yang sedang dijalaninya. Mungkin saja, ini adalah bentuk dari rasa
syukurnya pada Tuhan dengan mengirimkan seorang anak bernama Arya sebagai penentu
nasib dari desanya. Tidak ada rasa kekesalan dan ketakutan dalam hati Pak Hanif lagi. Semua
terbayarkan dengan rasa ingin menjaga dan melindungi putra semata wayangnya itu. Isteri
tercintanya, Bu Mala yang telah membantu dan menyediakan segala kebutuhan pengobatan
untuk warga, ditambah lagi seorang tetangga yang baik hati dan mau dimintai saran ketika
hatinya dalam keadaan tidak tenang, Pak Warno. Semua lengkap. Tinggal rasa syukurnya saja
yang belum dia tunjukkan dalam kehidupan sehari-hari.

Keesokan harinya, para warga mulai panik dengan bermunculannya bau telur busuk (endog
bungker) yang tercium di setiap sudut rumah. Mereka curiga teror ini terjadi akibat
pelanggaran yang dilakukan oleh Arya, anak Pak Hanif yang beritanya telah tersebar luas
hingga penghujung desa.

"Baunya ada, tapi telornya tidak ditemukan,"


Ucap salah satu warga kepada warga lainnya

Pak Ilyas segera memberitakan masalah ini kepada Pak Hanif terkait rahasia yang telah
disembunyikannya. Kini hanya seakan menjadi sebuah aib bagi Pak Hanif dan lainnnya.
Mereka harus siap menanggung beban yang diterima. Namun, di lain sisi Pak Hanif juga
bingung, siapakah yang sengaja membocorkan rahasia ini, padahal, yang mengetahui rahasia
ini hanya 4 orang saja, itu pun orang terdekat yang bisa dipercaya. Diantara keempat orang
itu ialah, Pak Warno, Pak Wahid, Pak Ilyas dan dirinya sendiri, sisanya mereka tidak
mengetahui berita semacam ini. Pak Wahid dan Pak Warno langsung menuju rumah Pak
Hanif untuk membahas sesuatu yang mengganjal di lingkungan desanya. Apakah teror ini
sungguhan dari penghuni rumah kosong dekat lapangan atau ada oknum yang
menungganginya agar bisa dilaksanakannya upacara Seserahan.

"Aku merasa tidak percaya dengan berita ini, jangan-jangan ada oknum
yang menunggangi rahasia ini agar dilaksanakannya seserahan,"
Ucap Pak Wahid sebagai permulaan dimulainya pembicaraan

"Aku juga berfikir begitu, pak. Jangan sampai upacara Seserahan ini sebagai ajang
mencari ambisi dan mencuci otak para warga dengan semaunya. Apakah tidak ada
informasi mengenai bocornya rahasia ini?"
Tanya Pak Ilyas

"Sepertinya memang ada oknum yang menunggangi,"


Pak Hanif mulai angkat bicara

"A-apa maksudmu, Pak Hanif?"


Tanya Pak Warno

"Kemarin Sore, ada salah satu pengikut dari Pak Luhur membuntuti kegiatanku. hal yang
membuatku curiga adalah orang itu mirip seperti Irsyad,"
Jelas Pak Hanif

"Irsyad? Kekasih Nining? Bukankah dia sengaja bergabung kepada Pak Luhur agar bisa
membangkitkan Nining kembali?"
Tanya Pak Warno

"Sepertinya itu adalah tujuannya. Teror ini bertujuan untuk memalingkan suasana dan
menguasai kondisi yang sedang berlangsung. Warga dibuat ketakutan seolah-olah penghuni
dari rumah kosong itulah biang kerok dibalik ini semua,"
Jelas Pak Hanif

Mereka terdiam sejenak. Baru kali ini, perang dingin yang dilakukan oleh kedua pihak
berkecamuk kembali. Seperti dedaunan yang terjatuh dari pohon, ada saatnya daun itu akan
mengering dan termakan usia sehingga hanya dijadikan bahan tontonan atau bahan injakan
orang-orang yang melewatinya. Semua akan terjadi sesuai dengan supir yang menguasai
kemudinya, seserahan akan terjadi jika otak para warga berhasil dicuci dan dikuasai dengan
baik. Alangkah mengejutkannya fakta ini, para awam hanya menduga-duga dan saling
menuding ria seakan-akan mereka adalah korban. Sungguh tak beradab!

"Apa rencanamu, Pak Hanif?"


Tanya Pak Ilyas

"Kita tidak punya pilihan selain menghentikan teror ini dahulu.


Namun jika masih berkepanjangan, kemungkinan besar, mereka telah mengambil alih
sepenuhnya desa ini. Di situlah kita harus bergerak membela harga diri desa ini,"
Jelas Pak Hanif
Kali ini, ketakutan bukan hanya ditujukan kepada para warga sekitar akan tetapi kepada diri
Pak Hanif yang masih bimbang, apakah tujuan dari teror ini adalah seserahan atau hanya
peralihan semata agar para warga tidak menyadari gerakan yang dilakukan oleh para oknum
dibalik ini semua. Kesannya seperti bermain teka-teki, siapa yang tidak berfikir duluan, maka
dia akan kalah dalam penderitaan. Kali ini, musuh satu langkah lebih maju dibandingkan
dengan Pak Hanif dan yang lainnya. Mereka masih menunggu waktu yang tepat untuk
menjebak peran dari oknum ini dan membongkar satu demi satu rahasianya.

"Oke, pak. Saya setuju. Saya akan membantu menenangkan para warga. Pak Wahid
menyelinap di kediaman pak Luhur bersama Pak Warno. Sore nanti kita berkumpul kembali,
bagaimana? Apakah setuju saran saya?"
Tanya Pak Ilyas

"Saya setuju. Jika sampai sore hari bau endog bungker ini tidak kunjung selesai, maka aku
sendiri yang akan menyelesaikannya,"
Ucap Pak Hanif.

Balutan luka masa lalu yang belum kering, kini terbasahi oleh permasalahan baru yang
mengundang tawa para demit dan jajarannya. Apa yang dipikirkan oleh mereka yang
berambisi untuk melaksanakan seserahan? Apa karena kekuasaan dan digdaya yang
menjadikannya tenang dan bisa hidup dengan nyaman? Berapa ratus korban lagi yang
dibutuhkan untuk menciptakan ambisi yang buruk itu. Lantunan suara Al-Qur'an dari bibir
mungil bernama Arya menyejukkan hati Pak Hanif. Putranya kini sudah bisa memberikan
arahan dan langkah yang baik agar bisa memberontak dan menegakkan keadilan setelah
puluhan tahun ditindas oleh neraka dunia yang membawakan kesengsaraan serta penderitaan
yang luar biasa. Belum lagi, mereka sangat senang akan adat istiadat terdahulu yang kotor
dan kerap kali membuat memori penyakit dalam hati juga pikiran. Sisa dari hasil kejadian
yang telah berlalu adalah pengalaman, namun penderitaan masih mengiringi manakala wajah-
wajah para penyembah demit ini masih berkeliaran dengan bebas di setiap sudut desa dengan
menawarkan keselamatan dan kesejahteraan yang hanya dibuat untuk mencuci otak dan
menguasai pikiran para warga saja. Benar-benar membahayakan!

Pak Ilyas kembali menenangkan para warga yang masih mengeluh kesah akibat dari bau
endog bungker itu. Kini mereka menyayangkan langkah cepat dari Pak Ilyas yang dinilai
sangat tidak efisien dalam membuat keputusan. Teror ini cukup membuat para warga tahu
tentang sisi yang terpendam dan tersimpan dari desa ini. Manakala leluhur terbangun, mereka
akan menjadikan kesalahan para warga sebagai sebab dan akibat kemarahannya.

Bau endog bungker yang belum diketahui penempatannya membuat para warga tidak berfikir
logis dan percaya akan hal-hal mistis yang berkembang secara berkala akibat dari bisikan
demit yang berwujud manusia. Demit berwujud manusia itu bernama Irsyad.

Irsyad sengaja terjun di tengah-tengah warga untuk menyetir pola pikir mereka yang dangkal
lagi mudah dikuasai. Sejak itu, Irsyad menanam edukasi buruk yang ditambah dengan mitos-
mitos ternama agar dilakukannya seserahan.

"Seserahan harus dilaksanakan! Karena, itu kunci dari keamanan,"


Ucap salah satu warga

"Tenang bapak-bapak, ibu-ibu. Kita tidak tahu teror apa yang sedang terjadi.
Pak Hanif sedang mengusahakan kepada kita semua agar bau dari endog bungker segera
menghilang. Kita sama-sama ingin mendapatkan yang terbaik. Tapi kesabaran adalah yang
paling utama di penghujung masalah seperti ini. Tenang, jangan gegabah,"
Ucap Pak Ilyas

"Pak Ilyas, jika Pak Hanif gagal, apa resiko yang akan diterimanya,"
Ucap warga lainnya

Pak Ilyas terdiam. Dia kaget mendengar celotehan keras yang dilontarkan begitu saja oleh
salah satu warga yang tidak tahu asal-usul dari teror ini. Mengenai resiko, bukankah resiko
selalu ada dan tercipta manakala membuat sebuah keputusan yang tak bisa dinukil
berdasarkan pengetahuan? Namun, ini mengenai hal-hal ghaib, hal-hal yang tak tampak.
Apakah bisa ditelaah dengan baik oleh para warga? Ternyata tidak! Mereka telah dibohongi
oleh syahwat dan nafsu angkara (nafsu jelek). Semakin kesini, hati Pak Ilyas semakin mantap
dan yakin, ada beberapa oknum yang telah membuat petisi terlebih dahulu agar upacara
seserahan dilakukan, yaitu dengan mencuci otak para warga, lalu kuasai mereka dan berikan
pengedukasian yang buruk serta mitos-mitos yang berkepanjangan. Dengan begitu, hancurlah
jati diri mereka akibat dari kosongnya hati dan pikiran baiknya.
"Kok diam, pak?"
Tanya warga dengan nada meninggi

"Mengenai itu, kita hanya membutuhkan waktu dan kondisi yang tepat. Saya tidak bisa
menjamin keberhasilan dan ketepatan dalam menghilangkan teror ini, tapi yang pasti, Pak
Hanif akan berjuang keras demi itu semua, demi desa ini,"
Ucap Pak Ilyas

Para warga memaksa Pak Ilyas untuk membuka mulut terkait kejadian sebenarnya. Manakala
asal-usul teror ini belum sepenuhnya diketahui oleh warga, desas-desus penilaian warga
mulai menjadi-jadi. Bahkan, ada beberapa warga yang nekat untuk menuju rumah Pak Hanif
dan memaksa Pak Hanif untuk membuka mulut terkait teror endog bungker ini.

Pak Ilyas segera menyusul para warga yang hendak menuju rumah Pak Hanif. Ada sesuatu
yang sangat dikhawatirkan oleh Pak Ilyas terkait karakter warga yang cepat emosi ini. Jika
tahu Arya sebagai awal dari turunnya teror ini, bisa jadi seserahan akan dilakukan oleh warga
untuk menghilangkan teror ini. Parahnya, seserahan ini akan menumbalkan korban sebagai
bentuk penyerahan diri terhadap leluhur dan alam yang menjaga desanya selama berabad-
abad lamanya. Tentu saja, ini bukan langkah yang baik dan sangat membahayakan. Pasalnya,
Arya masih kecil dan belum mengetahui seluk-beluk mengenai rumah itu. Walaupun sudah
diberi tahu, tetap saja anak kecil akan memberontak dan menimbulkan rasa penasaran yang
amat dalam sehingga pikirannya akan merespon cepat tentang sesuatu yang dilarang itu
sebagai taman bermain barunya.

Disamping itu, Pak Hanif telah siap berada didepan rumah dengan posisi tegap dan
membusungkan dada. Dia sendiri tahu kalau warga akan berbondong-bondong mendatangi
rumahnya hanya untuk meminta klarifikasi dna penjelasan yang rinci terkait teror endog
bungker yang sedari tadi pagi meresahkan aktivitas keseharian para warga.

Benar saja, beberapa warga mendatangi rumah Pak Hanif dengan nada bicara yang tidak
sopan lagi menyakitkan. Istilah yang sering digunakan untuk menyapa seperti ucapan dalam
dan lainnya dinilai tidak relevan dalam mengatasi pecundang seperti Pak Hanif. Begitulah
pemikiran para warga dalam menepis keraguan dalam dirinya masing-masing.

"Pak Hanif! Metu sira!"


(Pak Hanif! Keluar kamu!)
Teriak warga sambil menodong tangannya ke arah rumah Pak Hanif.

Pak Hanif masih bersikap santai. Dia hanya menatap langit dengan segala keindahan yang
dimilikinya. Tanpa awan, langit tak akan pernah bercorak ketika siang hari. Tanpa bintang,
malam hari tak akan menarik dan secantik dengan jutaan kemilau cahaya yang mendekorasi
keindahan serta ketenangan di malam hari. Suara geraman para warga terdengar jelas di
kedua telinga Pak Hanif. Terdengar seperti Auman Harimau yang siap menerkan mangsa
dihadapannya, sesekali menakut-nakuti dengan mata yang memerah, tangan yang
menggenggam kuat dan ekspresi wajah yang mengeluarkan otot-otot kakunya.

Pak Hanif melangkah maju dan berhenti didepan para warga yang sudah siap menghabisinya.

"Assalamualaikum,"
Ucapnya

Tak ada jawaban. Tak ada keinginan untuk menjawab salam yang bersifat wajib itu. Mereka
sudah tampak kesal dengan sikap Pak Hanif yang berlagak sok suci tanpa memikirkan
perasaan mereka yang sedang kesal.

"Pak Hanif! Jelaskan secara rinci mengenai teror endog bungker ini!"

Teriak salah satu warga dengan nada meninggi

"Apa maksudnya?"
Tanya Pak Hanif

"Kau pura-pura tak tahu, hah? Sejak kapan kau berlagak seperti orang suci?"
Ejekan dan sindiran mulai dirasakan Pak Hanif kala itu

"Maaf, aku tidak tahu menahu tentang alasan kedatangan kalian,"


Ucap Pak Hanif

Pak Ilyas segera meringsek maju dan membatasi para warga agar tidak menerobos terlalu
jauh menuju rumah Pak Hanif.

"Begini, pak. Mereka ingin meminta klarifikasi terhadap teror endog bungker ini, yang
menjadi pertanyaan mereka, apakah teror ini bisa dihentikan atau tidak?"
Tanya Pak Ilyas

Pak Hanif tersenyum lebar sambil memainkan jari-jarinya seperti sedang memetik gitar. Para
warga sempat terheran-heran dengan sifat aneh Pak Hanif yang seperti anak kecil itu.

"Aku bisa menghentikannya,"


Jawabnya dengan penuh senyuman

"Bagaimana caranya?"
Tanya warga

"Aku minta kalian pulang. Sebelum matahari terbenam, teror itu akan selesai. Ingat, jangan
sampai keluar ketika adzan maghrib bergema. Saat itu juga, demit disekitaran tempat ini
akan mengontrol kalian dengan rasa takut yang terlebih dulu ditanamkan oleh seseorang,"
Jawab Pak Hanif dengan gamblang

Para warga hanya mengangguk pasrah. Mereka labil dan gampang sekali percaya dengan
ungkapan yang belum terbukti dan masih bersifat absurd. Jalinan ikatan bathin antara Pak
Hanif dan para warga seperti orang yang sedang menjaring ikan disaat sungai pasang. Mereka
yang gampang mempercayai udang akan muncul diwaktu itu akan berlomba-lomba
menceburkan diri saat banjir menerpa, namun orang yang mengetahui keselamatannya, dia
akan beranjak naik dan meninggalkan kegiatan tersebut. Para warga di ibaratkan orang yang
menceburkan diri sedangkan Pak Hanif seperti orang yang yang menolak untuk menceburkan
diri karena sungai akan pasang dan banjir akan datang.

"Bagaimana cara kami menyakinkannya?"


Tanya salah satu warga

"Gampang. Jika kalian melihat banaspati berkeliaran setelah adzan maghrib bergema, itu
tandanya proses penghilangan teror ini sudah selesai,"

Jawab Pak Hanif

"Banaspati? Kenapa harus banaspati yang djjadikan patokan?"


Tanya salah satu warga kembali
"Itu adalah langkah awal mereka untuk mengontrol ketakutan kalian,"
Jawab Pak Hanif dengan jelas.
Para warga mengangguk pasrah. Tak ada kalimat yang akan diucapkannya lagi. Semua sudah
terjawab dengan mudah dan ringan saja. Ternyata, teroe ini hanyalah sebagian kecil dari
pengalaman Pak Hanif dalam meninjau lebih lanjut perjalanan desanya yang telah ditempuh
oleh leluhur dalam menjaga dan mensejahterakan desa ini dari berbagai sudut penyerangan,
bangsa demit dan bangsa manusia itu sendiri.

"Jika gagal, apa yang akan kau lakukan, Pak Hanif?"


Tanya salah satu warga yang suara dan loghatnya mudah dikenali. Dia adalah Irsyad,
Tangan kanan dari Pak Luhur.

"Bagaimana kau bisa tahu kalau ini bakal gagal, Irsyad?"


Tanya Pak Hanif dengan senyuman.

"Bisa saja karena kau terlalu meremehkan atau kau hanya menjadikan ini sebagai pelarian
agar kau tidak menginginkan anakmu untuk dijadikan, SESERAHAN!"
Jawab Irsyad dengan mimik wajah yang menyeramkan.

Irsyad mencoba untuk memojokkan argumen dari Pak Hanif yang dinilai kurang memadai
dengan kondisi desa yang sedang dalam keadaan tidak nyaman. Ucapan irsyad menunjukkan
diri sebagai dalang pembentukan terjadinya perpecahan antar warga dengan Pak Hanif. Di
sisi lain, Pak Ilyas sangat terpukul dengan penilaian semena-mena yang dilontarkan Irsyad
yang dinilai sangat arogan dan berbahaya itu. Selebihnya, Irsyad hanya menginginkan panjat
sosial supaya keberadaannya benar-benar diakui tanpa melihat sisi buruk masa lalunya.
Masalahnya, para warga yang semula tenang kini mulai berfikir kembali antara menstabilkan
perkataan Pak Hanif atau membenarkan argumen dari Irsyad.

"Buktikan dengan gamblang, Irsyad. Kau hanyalah sebatas boneka ciptaan Luhur!"
Jawab Pak Hanif dengan kesal

"Ciih! Kau masih saja mengaitkan kedudukan tinggimu dengan masa lalu,"
Ucap Irsyad

"Trah (keturunan) memang segalanya, tapi tidak segalanya bisa dikaitkan dengan trah,"
Sangkal Pak Hanif

"Jika memang Trahmu tinggi, untuk apa kau menyembunyikan kegagalan di masa lalu?"
Tanya Irsyad

"Tidak selamanya masa lalu bisa mencerminkan masa sekarang, tapi tidakanmu di masa
sekarang sangat berpengaruh besar terhadap aroganmu di masa lalu,"

Jawab Pak Hanif

Irsyad bergerak maju ke arah Pak Hanif. Jubah hitam yang dikenakannya menjadi lambang
sangat populer di desanya karena sangat menohok dan menakutkan. Untuk pertama kalinya
Irsyad sangat yakin dengan pendapatnya yang kini menjadi perbincangan warga sekitar.

"Jika kau melakukan Seserahan sekarang, sudah pasti ribuan orang di desa ini akan selamat,
namun siapa sangka jika kau menolak, bisa saja, esok subuh nanti kegagalan berada di
pihakmu, Pak Hanif,"
Ucap Irsyad sambil tersenyum

"Irsyad, yang kau tahu hanyalah sebuah ambisi. Seseorang yang berambisi melakukan
sesuatu akan dinilai sangat keras kepala, lalu dia akan mengambil segala langkah untuk
diwujudkan, pertanyaannya mudah, apakah kau yakin, Nining akan bangkit seperti yang kau
harapkan ketika Seserahan itu dilakukan?"
Tanya Pak Hanif

Irsyad hanya mengercis mulutnya. Rupanya, seseorang yang dia hadapi sekarang bukan
hanya pintar dalam menyembuhkan warga yang terkena penyakit aneh, tapi juga sangat lihai
dalam memainkan kata dan bersilat lidah. Irsyad menunduk dengan pandang yang murung.
Dia membayangkan masa lalu ketika seluruhnya baik-baik saja. Nining, korban seserahan
yang dilakukan oleh Pak Luhur dinilai sangat berharga dibanding dengan dunia dan seisinya.
Naluri untuk mewujudkan kebangkitan Nining semakin melekat di dalam hatinya.

"Jika Banaspati itu tidak muncul, apa yang akan kau lakukan, Pak Hanif?"
Tanya Irsyad sambil meninggikan wajahnya dihadapan Pak Hanif
"Orang yang pesimis tidak pantas mengikuti peperangan, karena masih banyak ribuan panah
di langit hanya untuk membunuh orang yang menghancurkan diri dari dalam kerumunan.
Setelah itu, dia akan menunjukkan diri sebagai pahlawan, betapa munafiknya orang yang
kumaksud, benarkah begitu, Tuan Irsyad?"
Tanya balik Pak Hanif.

Irsyad hanya menatap Pak Hanif dengan tatapan sempurna, mata serta alisnya menunjukkan
garis besar kekuatan yang disembunyikan sesuai kondisi yang sedang dirasakan olehnya.
Irsyad percaya, suatu saat nanti jika seserahan itu tercipta, dia akan menjadi pahlawan yang
diinginkan sejak dulu.

"Aku ingin bertanya mengenai pekerjaanmu, Pak Hanif,"


Ucap Irsyad

"Silahkan saja, tuan. Berapapun banyak pertanyaanmu, akan kulayani,"


Jawab Pak Hanif

"Apakah anakmu mampu mempertanggung jawabkan ini semua?"


Tanya Irsyad
Pak Hanif agak geram dengan tingkah Irsyad yang telah melampaui batas. Bukan hanya
menurunkan derajatnya di mata para warga, namun semua yang diucapkan oleh Irsyad benar-
benar memojokkan dirinya tanpa harus mengetahui lebih kebenarannya.

"Aku yakin, dewasa nanti, dia akan mempertanggung jawabkan kesalahannya,"


Jawab Pak Hanif

"Terima kasih, aku tunggu kedatangan Banaspati itu,"


Ucap Irsyad

Irsyad meninggalkan rumah Pak Hanif. Semua warga yang telah mendengarkan pernyataan
Pak Hanif semakin yakin dengan kondisi desa yang kurang membaik, mereka lebih
mengutamakan keselamatan diri agar tidak terlalu jauh mengetahui konflik leluhur.
Pak Hanif masih dengan terdiam dengan tatapan kosongnya. Dia sangat jelas melihat tingkah
Irsyad yang kurang ajar itu. Mana mungkin dia telah mempersiapkan pertanyaan itu untuk
menyerang dirinya. Pak Ilyas hanya memandangi raut wajah kebingungan Pak Hanif.

"Bagaimana, pak? Apakah kita mulai saja secepatnya?"


Tanya Pak Ilyas

"Kita tunggu Pak Warno dan Pak Wahid. Mari kita lakukan apa yang bisa kita
lakukan," Jelas Pak Hanif

Sore harinya, Pak Warno dan Pak Wahid mendatangi rumah Pak Hanif. Mereka berdua
membawa berita terbaru mengenai kediaman dari Pak Luhur. Pak Ilyas yang menunggu
sedari tadi hanya bisa merenggangkan tubuhnya akibat terlalu lama menunggu.

"Apa yang kalian dapatkan?"


Tanya Pak Hanif

"Aku melihat banyak sekali orang di sana. Menggunakan pakaian serba hitam, ada penari
juga gamelan. Apakah Seserahan benar-benar akan dilakukan?"
Tanya Pak Wahid

"Irsyad dan Luhur telah merencanakan ini dengan baik. Tepat 20 tahun yang lalu, dia
berhasil memberikan serangan balik,"
Tukas Pak Hanif

"Begini, saja. Kita selesaikan teror endog bungker ini, banyak warga yang masih mengeluh,
apakah kau bisa melakukannya sekarang?"
Tanya Pak Warno

‘’Mari kita lakukan. Tapi sebelum itu, sediakan 5 buah kopi hitam tanpa gula, lalu
campukan dengan madu. Ambil daun pandan yang masih muda, ikat menjadi simpul lalu
celupkan air panas yang masih mendidih,"
Ucap Pak Hanif

Arya dan Bu Mala memang sengaja di tempatkan di rumah Pak Wahid. Hal itu bertujuan agar
prosesi untuk menghilangkan bau endog bungker tidak ada kendala serta halangan. Pak Hanif
memerintahkan kopi itu di tempatkan di ruangan khusus miliknya. Sedangkan daun pandan
yang telah di celupkan di air panas yang masih mendidih di letakkan di depan rumahnya. Pak
Ilyas dan serta Pak Warno masuk ke dalam ruangan tempat Pak Hanif memulai prosesi
penghilangan bau endog bungker, sedangkan pak Wahid memastikan kondisi air itu. Jika
berwarna hitam, maka di tolak, jika bening maka diterima. Anggap saja, Pak Hanif sedang
melakukan negoisasi antara dirinya dengan para leluluhur.

Pak Hanif memulai prosesi itu. Tubuhnya mulai menenggelamkan diri kepada kehampaan.
Tidak ada suara, tenang dan menyelam dalam lautan supranatural agar mampu berkomunikasi
dengan para leluhur. Di samping itu, Pak Wahid mulai merasakan reaksi aneh yang terjadi
pada air hangat yang berisikan simpul pandan itu. Pak Warno dan Pak Ilyas memegangi
punggung Pak Hanif agar tidak terjatuh.

"Pak, hawanya sangat panas,"


Ucap Pak Ilyas

"Tahan sebentar lagi, ini baru dimulai,"


Jawab Pak Warno

Sesekali tubuh Pak Hanif bergetar. Sepertinya komunikasi antar keduanya telah berjalan. Kini
tinggal menunggu hasil dari negoisasi yang diajukan oleh Pak Hanif. Jika air itu berubah
menjadi warna hitam, maka negoisasinya akan ditolak. Tetapi, jika tidak berwarna, maka
negoisasinya diterima dengan baik. Prosesi berjalan hingga 10 menit, belum ada tanda- tanda
warna air itu berubah. Pak Wahid berharap warnanya tidak berubah hingga akhir. Mungkin
negoisasinya akan berhasil dan Seserahan akan ditolaknya. Di penghujung 15 menit berjalan,
Pak Hanif mengucurkan keringat deras dari tubuhnya. Pak Warno dan Pak Ilyas masih setia
untuk menahan punggung Pak Hanif.

"Pak Hanif! Jika tidak kuat, selesaikan saja!"


Teriak Pak Ilyas

Pak Wahid terperanjat tak percaya ketika melihat airnya sedikit berubah menghitam. Apakah
negoisasinya akan ditolak?

"Pak, airnya berubah sedikit hitam!"


Teriak Pak Wahid
"Sial! Berarti negoisasinya gagal, Pak Hanif lakukan sesuatu!"
Ucap Pak Warno

Pak Hanif tak bisa menahan tubuhnya lebih lama lagi, dia menghentikan prosesi itu. Pak
Warno dan Pak Ilyas yang yang berada di belakang tubuh Pak Hanif terpental. Pak Hanif
mengeluarkan dahak dari mulutnya berwarna hitam. Itu berarti, negoisasi antar dirinya dan
leluhur ditolak. Pak Wahid juga melihat perubahan air itu menjadi hitam.

"Ditolak?"
Teriak Pak Wahid

Pak Wahid memandangi suasana desanya yang berubah menjadi sangat mencekam. Apakah
Seserahan akan benar-benar dilakukan? Lantas bagaimana dengan tumbal seserahan itu?
Siapakah yang akan ditumbalkan?

Pak Warno dan Pak Ilyas sengaja membangunkan tubuh Pak Hanif yang sudah tak berdaya.
Dahak hitam itu benar-benar nyata dan menjejakkan di tangan kanan Pak Hanif.

"Apa yang terjadi, Pak Hanif?"


Tanya Pak Warno

"Aku mengajukan dua permintaan, namun yang diterima hanya satu,"


Jawab Pak Hanif sambil menahan rasa sakit di dadanya

"Dua permintaan, apa saja?"


Tanya Pak ilyas

"Yang pertama, aku mengajukan permintaan agar diberhentikannya bau endog bungker
(telur busuk) ini, mereka menyetujuinya. Namun, begitu aku mengajukan permintaan kedua
agar Seserahan dibatalkan, mereka menolaknya dengan keras. Katanya, tidak ada satupun
yang bisa menggagalkan seserahan selama trahnya (keturunannya) menyetujui itu,"
Jelas Pak Hanif

"Itu berarti, Pak Luhur menyetujui seserahan itu?"


Tanya Pak Warno
"Kemungkinan seperti itu, tapi kita harus segera mencegahnya,"
Ucap Pak Hanif

"Itu tidak mungkin, Pak Hanif,"


Ucap Pak Warno

"Me-mengapa?"
Tanya Pak Hanif

"Mungkin, kita harus bernegoisasi dengan pak Luhur,"


Jelas Pak Ilyas

"Tidak! Tidak akan! Karena kehidupan yang selanjutnya, orang akan bersikeras melakukan
apa saja untuk mewujudkan ambisi dan keinginanannya. Jangan dekati orang yang seperti
Itu. Aku kira, mereka adalah teman! tapi nyatanya, mereka adalah sebuah ancaman baru
yang tak terlihat namun dapat dirasakan dengan jelas,"
Jelas Pak Warno

Hanya keajaiban yang dinantikan oleh mereka semua, jika seserahan benar-benar terjadi,
maka jiwa siapakah yang akan digadaikan dengan empat raos (rasa) yang harus dipenuhi?

**************
‘’Mereka tidak akan pernah menyerah sebelum ambisinya tercipta. Karena
pelaku kejagatan tak akan pernah mengalah sebelum terbukti kejahatannya itu
sendiri,"
Jelas Pak Hanif

BATUR GHAIB PART 1


VICTIMIZING SOUL
Munculnya Banaspati

Tubuh Pak Hanif masih melemas. Prosesi negoisasi dirinya dengan para leluhur memakan
tenaga yang sangat banyak. Langit sudah semakin petang. Tanda-tanda akan diterimanya
negoisasi dan diberhentikannya teror endog bungker (telur busuk) belum juga tampaki.
Banyak warga yang masih mengeluh dan mengungsi dari rumahnya masing-masing.

"Jika Banaspati itu muncul, aku yakin dan sangat yakin sekali! Pelakunya adalah Luhur!
Ucap Pak Hanif

Pak Warno masih memandangi wajah semu Pak Hanif. Tatapannya menjadi sangat
menakutkan. Hatinya penuh dengan pemberontakan dan keinginan menghentikan segala
kekacauan yang menimpa desanya.

Dari lamunan tak bermakna itu, tiba-tiba muncul sosok Banaspati tepat di tengah lapangan.
Kobaran apinya menerangi kegelapan yang telah memenuhi nuansa sore kala itu. Banaspati itu
mengelilingi lapangan sebanyak tujuh kali.

Pak Hanif dan yang lainnya segera bersembunyi di dalam rumah. Mereka tidak ingin
dijadikan sasaran akan keganasan Banaspati itu sendiri. Para warga yang melihat kejadian itu
teriak histeris. Banyak anak-anak kecil dan bayi menangis. Mereka seperti mengetahui akan
terjadinya sesuatu yang buruk. Para ternak yang semula di kandangkan kini
memberontak untuk keluar. Para warga mengira, leluhur telah marah besar.

Setelah kejadian itu, ambu endog bungker (bau telur busuk) menghilang. Para warga yang
semula tidak mempercayakan Pak Hanif kini telah mengembalikan kepercayaannya
terhadap kebenaran yang telah diungkapkan oleh Pak Hanif itu sendiri.

"Ini belum selesai,"


Ucap Pak Hanif
Pak Warno dan yang lainnya masih bertanya-tanya, apakah teror masoh berlanjut. Tapi
mengapa teror ini tidak ada habisnya. Mereka saling memandang satu sama lain.

"Maksudnya, pak?"
Tanya Pak Ilyas

"Mereka tidak akan pernah menyerah sebelum ambisinya tercipta. Karena pelaku kejahatan tak
akan pernah mengalah sebelum terbukti kejahatannya itu sendiri,"
Jelas Pak Hanif
‘’Subuh Peteng atau Subuh Gelap adalah posisi dimana waktu subuh penuh dengan
bencana, bisa dikatakan kematian atau berjatuhannya para korban dari kejahatan ilmu
hitam,’’
Jelas pak Ilyas
BATUR GHAIB PART 1
VICTIMIZING SOUL

Subuh Peteng

Setelah kemunculan Banaspati sebagai tanda akan diterimanya permohonan Pak Hanif untuk
dihentikannya teror ambu endog bungker. Pak Irsyad dan Pak Luhur tidak berdiam diri di
tempat. Dia mulai merencanakan sesuatu agar keraguan warga menambah kuat terkait dengan
teror yang baru-baru ini menyerangnya.

Pak Irsyad dan Pak Luhur agak ekstrim melakukan hal ini, dia sengaja meranahkannya
kepada ilmu hitam agar para warga tunduk kepada titah dan ambisinya. Mula-mula, mereka
berdua berkeliling desa untuk mengetahui keadaan warga sekitar di malam hari.

Setelah dirasa telah aman, mereka berdua meletakkan sebuah ajian di dekat mushollah
tempat warga melakukan sholat berjama'ah. Pak Irsyad dan Pak Luhur akan membuat
"Subuh Peteng." Atau Subuh Gelap.

Subuh Peteng atau Subuh Gelap adalah posisi dimana waktu subuh penuh dengan bencana,
bisa dikatakan kematian atau berjatuhannya para korban dari kejahatan ilmu hitam. Subuh
Peteng ini dilakukan agar para warga merasa yakin kalau Arya akan dijadikan seserahan dan
ditumbalkan untuk desanya.

Ketika waktu subuh bergema, kurang lebih 10 jama'ah turut hadir meramaikan musholla itu.
ajian itu belum aktif. Pak Irsyad dan Pak Luhur masih memandangi Musholla itu dari
kejauhan. Mereka menunggu waktu yang tepat untuk mengaktifkan ajian tersebut.
Para jama'ah sudah merasakan kejanggalan ketika memasuki Pak Irsyad dan Pak Luhur
sengaja mengaktifkan ajian itu ketika sedang melakukan posisi ruku'. Dan benar saja, ketika
ingin dilanjutkan i'tidal, sebuah angin hitam muncul dari tempat pengimaman. Kesepuluh
orang itu terjatuh dan langsung meninggal di tempat.

Hal ini membuat para warga berlarian dan keluar dari rumahnya. Mereka menyelamatkan
diri karena kondisi desa sudah tidak aman lagi. Beberapa warga lainnya melaporkan
kejadian ini kepada Pak Hanif.

"Pak, … Pak Hanif! Buka pintunya, pak!’’


Teriak Pak Ilyas

‘’Iya Pak, sebentar!’’


Jelas Pak Hanif
Pak Hanif membukakan pintu rumah sambil membenarkan sarungnya. Di depan pintunya telah
berdiri Pak Ilyas dengan wajah yang penuh kecemasan. Nampaknya, Pak Ilyas membawakan
suatu berita yang penting dan harus didengarkan secara baik-baik.

‘’Pak! Ini gawat pak!’’


Ucap Pak Ilyas

‘’Ada apa, pak? Tolong jelaskan


secara rinci!’’
Pinta Pak Hanif
‘’Pak, Desa kita diserang!
Desa kita mendapatkan kiriman
Angin tulah!’’
Jelas Pak Ilyas

Percakapan mereka agak terganggu ketika ada angin besar yang menyerang rumah Pak Hanif.
Angin itu seketika menggoyangkan pepohonan disekitaran rumah Pak Hanif. Pak Hanif tahu,
angin ini bukanlah faktor alam akan tetapi angin tulah atau angin bencana yang dikirimkan
sekelompok orang tertentu kepada desa ini.
‘’Maksudmu?’’
Tanya Pak Hanif.
Serangan angin itu membuat Bu Mala dan Arya keluar dari kamarnya dan menuju Pak Hanif
yang berada diluaran rumah. Rasa takut tergambarkan dari raut wajah Arya. Arya memegangi
tangan Bu Mala. Seakan menjadi sebuah bencana besar untuk hari ke depan, Pak Hanif
merasakan hawa membunuh yang sangat menakutkan dari Angin yang menyerang barusan.
‘’Nanti saya jelaskan Pak! Ini ada kaitannya dengan para jama’ah yang sholat subuh tadi di Tajug
(Musholla)‘’
Jelas Pak Ilyas
‘’Ada apa dengan para jama’ah sholat subuh tadi?’’
Tanya Pak Hanif
‘’Pak Hanif pernah mendengar istilah ’’Subuh Peteng? Subuh ini. desa kita merasakan yang
namanya Subuh Peteng,’’
Ucap Pak Ilyas
‘’Aku belum pernah mendengarnya,’’
Ucap Pak Hanif
‘’Subuh Peteng atau Subuh Gelap adalah posisi dimana waktu subuh penuh dengan bencana, bisa
dikatakan kematian atau berjatuhannya para korban dari kejahatan ilmu hitam,’’
Jelas pak Ilyas

‘’Berarti Para jama’ah yang melaksanakan sholat subuh di mushollah tadi, mereka semua telah?’’
Mata Pak Hanif mulai berkaca-kaca. Mulutnya tak bisa berkata-kata lagi. Ada perasaan
membunuh yang sangat ditakutinya. Kejadian masa lalu yang telah lama ia kubur kini kembali
terbuka. Para pengkhianat berdatangan di masa-masa yang sangat kritis.
‘’Benar, pak. Mereka semua meningga dunia karena serangan itu,’’
Jelas Pak Ilyas
Bagaikan mendapati petir di siang bolong, berita semacam ini membuat tubuh Pak Hanif ambruk
seketika. Nyalinya melemah. Dia tatap wajah Arya dalam-dalam. Hatinya mulai berkata-kata,
mengapa semua ini mengingatkan kepada masa lalu yang kelam? Saat pagebluk (wabah)
menyerang desa ini, semua warga berjatuhan. Mayat bergelimpangan di jalanan. Saat rasa
kemanusiaannya sangat hancur karena tidak bisa membantu satu persatu para korban yang telah
terkena dampak wabah ganas itu.
Pak Hanif memegangi dadanya. Ada sesuatu yang menyangkut di dalam hatinya. Tekanan bathin
dan pikiran mulai dirasakannya hari itu juga. Pikirannya menjadi kacua, keringat dinginnya
bercucuran. Rasanya, kejadian itu telah terulang lagi pada masa-masa dimana Arya telah tumbuh
seperti Apta, anak Pak Warno. Fitnah besar akan terjadi.

‘’Yah, Ayah tidak apa-apa’kan?


Tanya Arya sambil memegangi tangan Pak Hanif

‘’Ayah gak papa, cung. Kamu disini sama ibu, ya?’’


Pinta Pak Hanif

‘’Iya, yah.’’

Pak Hanif segera bangkit untuk menghilangkan ketakutan dan keraguannya dalam hati. Dia harus
cepat menyelesaikan permasalah pokok ini. Jangan sampai dia hancur untuk kedua kalinya. Rasa
tanggung jawabnya harus ditampakkan walau tidak sepenuhnya masalah ini adalah kesalahannya,
namun prioritas utama adalah menyelamatkan desa dan menentramkannya kembali.

‘’Bu, jaga Arya. Jangan sampai dia keluar rumah,’’


Ucap Pak Hanif

‘’Nggih, pak.’’

Pak Ilyas membawa Pak Hanif menuju tempat yang telah dipersiapkan untuk melakukan
musyawarah akbar, yaitu balai pertemuan warga. Di dalam musyawarah akbar tersebut telah
berkumpul seluruh perangkat desa dan jajarannya serta warga lainnya untuk memberikan
keputusan mengenai masalah kompleks ini. Raut wajah mereka sanga gembira telah mengetahui
kedatangan Pak Hanif yang diyakini sebagai kunci dari jalan keluar masalah ini. Perasaan mereka
bercampur rasa takut dan bingung, siapa dalang dari penyerangan dengan menggunakan angin
tulah ini?
‘’Syukurlah Pak Hanif, kau datang tepat waktu,’’
Ucap Pak Lurah

‘’Apa sebenarnya yang sedang terjadi?’’


Tanya Pak Hanif

‘’Seperti yang kau sampaikan dulu, penyerangan ini ada kaitannya dengan teror endog bungker
beberapa hari silam, karena itu kami semua meminta jalan keluar dari pernyataanmu,’’
Jelas Pak Lurah

‘’Begini, pak. Apakah jasad para warga yang berada di mushollah telah diambil?’’
Tanya Pak Hanif

‘’Belum pak, kami saja ke tempat ini karena letaknya tidak terlalu dekat dengan lokasi kejadian,’’
Ucap Pak Lurah

‘’Begini, Pak ada beberapa hal yang akan saya sampaikan mengenai angin tulah ini,’’
Jelas Pak Hanif

Pak Warno segera menghampiri Pak Hanif yang tampak kebingungan. Konsekuensi yang harus
diemban oleh Pak Hanif sangatlah beras. Ini menyangkut harga diri dan kelayakan posisi Pak
Hanif dalam ruang lingkup desanya yang sangat memprioritaskan dirinya.

‘’Saya akan ikut membantu Pak Hanif, karena itu kita bersama-sama bekerja sama agar masalah
ini tidak berkepanjangan dan berhasil mengetahui si pelaku dengan cepat. Saya minta
kerjasamanya dengan seluruh perangkat desa yang tergabung dalam Musyawarah besar ini.’’
Para warga hanya mengangguk pasrah. Kini dia hanya mengikuti pimpinan dibanding kehilangan
arah tidak jelas. Pelaku perencanaan dari teror ini telah dirancang dengan sebaik mungkin.
Pelaku benar-benar cerdas dalam membaca kondisi dan posisi warga yang sedang putus asa.

Pak Lurah mulai menyuarakan pendapatnya. Ada beberapa hal yang masih dipertanyakan bahkan
dijadikan landasan dalam dirinya, mengapa angin tulah ini bisa terjadi?

‘’Sebelumnya saya minta maaf. Karena masalah ini saya harus turun tangan dan setidaknya
sekarang kita harus menyelesaikan permasalahan ini. Tampaknya pelaku yang bersangkutan
memiliki jejak perguruan ilmu hitam yang mengerikan,’’

Ucap Pak Lurah

‘’Karena itu, pak. Kita harus berani menyatukan suara kita untuk mengungkap siapa pelakunya,
namun ini juga bisa menjadikan cambuk bagi kita jika tidak adanya ruang untuk membela diri.
Musuh selangkah lebih maju. Mereka telah membaca kondisi dan posisi kita yang amat
kebingungan,’’

Ucap Pak Hanif

‘’Apakah ada cara untuk menghentikan angin kiriman ini?

Tanya Pak Ilyas

‘’Tunggu dulu, pak. Apa yang mendasari Pak Ilyas berkata demikian,’’

Jelas Pak Lurah


‘’Begini, pak. Maksud dari Pak Ilyas adalah angin yang dimaksud adalah angin hasil dari
serangan ilmu hitam yang tujuannya untuk menimbulkan fitnah besar. Mereka yang melakukan
penyerangan ini merupakan orang-orang yang mempunyai ambisi untuk dirinya sendiri,’’

Jelas Pak Hanif

‘’Siapakah mereka yang kau maksud?’’

Tanya Pak Lurah

‘’Mereka akan muncul tepat hari itu tiba. Hari dimana keyakinan sangat dipertaruhkan dibanding
dengan keselamatan,’’

Jelas Pak Hanif

‘’Itu berarti, mereka melakukan ini untuk menghancurkan desa?’’

Tanya Pak Lurah

‘’Tidak. Mereka tidak ada keinginan untuk menghancurkan desa, mereka hanya ingin
menguasainya dan mengubah seluruh sistem desa ini sesuai dengan apa yang ada dalam
kehendaknya. Manusia yang menyerupai Tuhan lebih menakutkan dibandingkan dengan manusia
berhati iblis. Mereka berdua tak layak untuk hidup!’’

Orasi dari Pak Hanif menimbulkan keyakinan dan semangat dalam diri para warga. Mental dan
nyali para warga kini kembali pulih. Sorakan dan dukungan untuk Pak Hanif tidak lepas dari
support terbesarnya yaitu Pak Warno.
‘’Apakah ada cara untuk menghilangkan Angin Tulah itu?’’

Tanya Pak Lurah

‘’Angin itu bisa dihilangkan dengan Adzan Pitu (Adzan Tujuh)’’

Jelas Pak Hanif

‘’Bukannya Adzan pitu (Adzan Tujuh) ini dilakukan untuk mengusir wabah yang mengerikan?’’

Tanya Pak Ilyas

‘’Benar. Wabah itu kalau tidak salah bernama ‘’Wabah Beruang mandi.’’ Wabah yang pernah
menewaskan banyak orang. Orang yang terkena wabah itu akan mengalami sesak nafas, lalu

sakit kepala dan kehilangan kesadaran,’’

Sejenak mereka merasakan kengerian yang luar biasa akan penjelasan singkat dari Pak Hanif
yang mengetahui seluk beluk tentang kejadian tragis di masa lalu itu. Tidak ada keselamatan
yang lebih utama tanpa terkecuali mereka akan selalu dikejar-kejar oleh tulah (Bencana).
‘’Adzan pitu lahir ketika suatu penyakit mewabah di tanah Caruban (Cirebon)’’

Pak Hanif
BATUR GHAIB PART 1
VICTIMIZING SOUL
ADZAN PITU

‘’Sebenarnya, apa makna dari Adzan Pitu itu sendiri?

Tanya Pak Lurah

Pak Hanif mulai menjelaskan apa makna dari Adzan pitu dan mengapa Adzan pitu dijadikan
solusi terbaik untuk menghilangkan angin tulah ini.

‘’Adzan pitu lahir ketika suatu penyakit mewabah di tanah Caruban (Cirebon),’’

Pak Hanif mulai menceritakan seluk beluk terciptanya Adzan Pitu yang disakralkan.

‘’Di era Kanjeng Sunan Gunung Djati atau setelah Masjid Agung Sang Cipta Rasa dibangun
pada 1500-an, mewabah penyakit yang menewaskan banyak orang. Wabah itu membuat para
warga tewas. Wabah ini juga membuat Isteri Kanjeng Sunan Gunung Djati, Nyi Mas
Pangkungwati meninggal dunia. Dan pelaku dari penyerangan itu adalah seorang pendekar ilmu
hitam yang bernama Menjangan Wulung yang menolak akan berdirinya Masjid Sang Cipta Rasa.
Hal itu menjadikannya naik pitam dan gelap mata.’’

Pak Hanif kembali melanjutkan dengan penjelasan rincinya mengenai Asal-usul Adzan Pitu,

‘’Lalu dia (Menjangan Wulung) mengirimkan serta menebarkan ilmu hitamnya yang
ditempelkan di kubah masjid. Beberapa saat kemudian, ilmu hitam itu menyebar dan bercampur
dengan udara yang berada disekeliling tempat tersebut dan menimbulkan radiasi yang
menyebabkan mual-mual hingga sesak nafas dan sakit kepala.’’
Sejarah tak akan pernah hancur selama bukti kongkritnya masih tersedia, hal itu juga menjadikan
Pak Hanif sebagai pion terpenting dalam memberikan ulasan sejarah terkait Adzan Pitu ini. Jika
Pak Hanif menolak akan diskusi musyawarah akbar ini, mungkin para warga dan semua
perangkat desa akan kebingungan dalam menghadapi permasalahan yang kompleks lagi tak
tampak ini, musuh utama mereka bukan hanya sekelompok orang yang mengenakan dirinya
dengan jubah hitam yang menebarkan teror, tetapi juga dari mereka yang tak tampak dan tak bisa
diketahui keberadaannya.

‘’Lalu, atas saran dari Kanjeng Sunan Kalijaga, dikumpulkannya tujuh pemuda yang memiliki
hati yang bersih. Ketujuh pemuda ini melakukan adzan pitu dan dengan seketika bencana atau
wabah itu menghilang. Dan sekarang, Adzan Pitu juga digunakan untuk mengatasi setiap wabah
atau bencana yang terjadi.

Karena khasiatnya itu, Adzan Pitu merupakan solusi terpenting saat ini,’’

Jelas Pak Hanif sambil menatap tajam para warga yang hadir dalam pertemuan tersebut.

Seketika suasana menjadi hening. Pak Lurah hanya bisa mengangguk pasrah terhadap solusi
yang berat ini. Solusi ini membutuhkan kesiapan mental dan keputusan yang tepat agar teror
angin tulah bisa cepat diselesaikan dengan baik dan tepat sasaran.

‘’Bagaimana dengan yang lainnya? Apakah pendapat dari Pak Hanif bisa diterima?’’

Tanya Pak Lurah

‘’Kami setuju, tapi bagaimana dengan yang lain?’’


Mereka saling memandangi satu sama lain. Kesepakatan ini harus dilakukan secara bersama, jika
ada salah satu yang tidak menyetujui, maka akan menimbulkan suatu perpecahan dan
permasalahan baru. Bukan hanya itu saja, karena ini adalah solusi terbaik yang akan diambil,
Adzan Pitu yang dikemukakan oleh Pak Hanif tidak sembarang pendapat biasa. Untuk
melakukan Adzan Pitu juga harus dilakukan oleh orang-orang tertentu dengan mental dan
keimanan yang kuat. Lalu, mereka yang akan mendapatkan tugas untuk mengumandangkan
Adzan Pitu harus memiliki hati yang bersih. Tujuannya untuk menyeimbangkan pikiran dan
kefokusan dalam mengumandangkan Adzan Pitu itu sendiri.

‘’Kami setuju.’’

Jawab Warga lainnya

Dengan ini telah diputuskan bahwa Adzan Pitu akan dijadikan sebagai senjata utama dalam
menghilangkan Angin Tulah entah bagaimana hasil akhirnya, yang terpenting Angin Tulah itu
harus segera dihilangkan karena sangat berbahaya.

Namun, baru saja mereka membahas tentang Adzan Pitu, sesuatu yang tidak disenangi sedang
mengintai dari kejauhan. Siapa lagi kalau bukan Pak Luhur dan yang lainnya. Pak Luhur seperti
sadar akan rencana dari Pak Hanif dan yang lainnya untuk menghentikan Angin Tulah miliknya
adalah dengan menggunakan Adzan Pitu.

Pak Warno dan Pak Hanif merasakan sesuatu yang mengganjal dari luaran tempat mereka
melakukan perkumpulan. Tampaknya, ada serangan luar biasa yang akan menyerang tempat
mereka berkumpul. Benar saja, Angin Tulah itu tiba-tiba mengarahkan amukannya ke balai
pertemuan warga.

‘’Menunduk semua!!!’’
Teriak Pak Warno

Angin itu menyerang bagian atas balai pertemuan warga, karena serangan tersebut, genteng-
genteng berjatuhan dan pecah. Bukan hanya itu saja, Tembok menjadi retak dan para warga
harus kehilangan keseimbangan karena getaran yang dihasilkan oleh serangan Angin Tulah itu.
Terlihat dengan jelas mimik wajah para warga yang terlihat cemas dan tidak percaya diri.
Mereka saling memegangi apa yang ada di tempat itu, entah kursi atau meja, Angin Tulah itu
berhasil membuat para warga menjadi ragu dan kehilangan keyakinannya kembali. Warga
memang sangat labil dalam memutuskan sesuatu. Ini juga yang menjadikan tantangan terbesar
untuk Pak Hanif dan lainnya. Jangan sampai keraguan warga membuat korban berjatuhan
kembali, seharusnya ini menjadi sebuah tantangan dalam mengadu strategi antara dirinya dengan
dukun ilmu hitam itu, Pak Luhur beserta para pengikut jubah hitamnya.

Benar saja, beberapa warga ada yang memaksa untuk keluar dari balai pertemuan. Mereka takut
akan serangan berikutnya. Pak Hanif dan Pak Warno berusaha untuk menenangkan keadaan,
namun apa daya, para warga telah memutuskan keputusannya dengan menerobos pintu depan
balai pertemuan.

‘’Jangan ada yang keluar! Angin itu bermaksud untuk memecah belah kita semua!’’

Teriak Pak Hanif kepada warga lainnya.

‘’Pak? Bagaimana ini? Mereka semua memaksa untuk keluar! Apakah tidak sebaiknya kita untuk
membiarkan mereka untuk mengambil keputusannya sendiri?’’

Ucap Pak ilyas


‘’Kau tahu apa tentang Angin Tulah ini? Si Dukun sialan itu hanya memberikan keraguan kepada
kita agar kita keluar dari sini, begitu keluar, mereka akan membunuh kita semua dengan Angin
Tulah itu! Kau boleh untuk berpikir logis terhadap realita yang sedang terjadi, tapi
mempertimbangkan keadaan lebih dibutuhkan sekarang! Tidak boleh sembrono ataupun hanya
mengikrarkan satu keputusan saja! Kau paham?’’

Tegas Pak Hanif

Para warga tidak mengindahkan perkataan Pak Hanif, perintah hanyalah perintah. Jika tidak
dijalankan, maka hanyalah bualan saja. Sepertinya ini adalah bentuk dari ketidak konsistenan
para warga terhadap pilihan hidupnya. Dimana ombak mengarah, mereka akan mengikutinya.
Tidak perduli itu membuatnya selamat atau tidak, suara terbanyak lebih dibutuhkan untuk
mengikuti egonya sendiri. Terhitung 10 orang warga keluar dengan paksa dari tempat balai
pertemuan tersebut. Mereka tidak meyakini dengan apa yang telah disampaikan oleh Pak Hanif.
Mungkin saja, keputusan terbaiknya adalah berlari kencang menuju rumah mereka masing-
masing, namun bagaimana jadinya jika Angin Tulah itu telah mencegatnya dari kejauhan, apakah
mereka sadar akan permainan dari si Dukun licik itu?

Mereka benar-benar sudah keras kepala dan tidak memperdulikan dengan dirinya sendiri. Ketika
mereka hendak keluar secara paksa, Angin Tulah itu sudah merongrong dari kejauhan. Pak Hanif
mengisyaratkan agar mereka kembali ke tempat semula. Namun mereka tidak mengindahkan

"Balik maning mene!"

(Balik lagi sini!)

Namun tetap saja, mereka tidak menggubris teriakan Pak Hanif dari tempat itu. Angin tulah itu
sudah berada di belakang mereka dengan kecepatan yang tinggi.
Pak Hanif ingin membantu para warga yang telah berada di luar namun Pak Warno melarangnya
dan menyuruh beberapa warga untuk menutup pintu.

"Percuma saja, tidak ada harapan lagi bagi mereka. Bukankah itu pilihan mereka!"

Teriak Pak Warno

"Tapi ... Mereka juga warga sini!"

"Jika Bapak ingin selamatkan mereka, apakah Bapak bisa menjanjikan kepada kita bahwa Bapak
bisa kembali dengan selamat? Kami semua butuh solusi dari Bapak, jika Bapak tidak bisa
kembali dengan selamat, usaha kita akan sia-sia belaka!"

Ucap Pak Warno.

Memang ada benarnya juga perkataan Pak Warno. untuk saat ini, kunci utama dalam
menghancurkan Angin Tulah itu adalah solusi cerdas dari Pak Hanif. Para warga yang berlarian
tampak kelelahan, mereka sadar angin itu terus mengejarnya. Hingga ketika tenaga mereka telah
habis, angin itu menabrak mereka secara sekejap. Tubuh mereka langsung terjatuh dan terkapar
tak berdaya. Mereka tewas mengenaskan. Naas, Pak Hanif dan yang lainnya tidak bisa
membantu lebih jauh.

Para warga mulai down melihat kejadian itu, beberapa dari mereka juga sudah pasrah ketika
melihat korban kembali berjatuhan. Akankah ini akhir dari perjuangan ini? Apakah tidak ada
cara lain lagi untuk menghancurkan Angin Tulah itu?

Beberapa saat kemudian, Angin Tulah itu menyerang tempat yang didiami oleh Pak Hanif dan
para warga. Angin itu menggetarkan dinding ruangan hingga membuat beberapa warga berteriak
histeris dan saling berjaga-jaga.
"Tenang semuanya ... Tenang!"

Teriak Pak Ilyas

Atap dari Tempat itu sudah tak kuat menahan kerasnya serangan Angin Tulah tersebut. Pak
Hanif mengisyaratkan kepada para warga untuk berlari menuju pintu belakang dan berlari
menuju ke arah rumahnya lewat pintu belakang.

"Semuanya! Pergi menuju pintu belakang, jangan ada yang kembali ke rumah masing-masing
dulu! Angin itu masih berkeliaran! Pergi ke rumahku dulu, angin itu tidak akan mengejar lebih
jauh jika kalian menuju ke rumahku!"

Teriak Pak Hanif

Alasan utama Pak Hanif mengarahkan para warga untuk menuju rumahnya adalah karena
rumahnya telah rapih dilapisi oleh pagar ghaib. Sehingga, Angin Tulah itu tidak akan
mengejarnya.

Beberapa warga kehilangan kendali dan memaksa untuk berlari dari tempat itu dan
mengindahkan perkataan pak Hanif. Beberapa yang lainnya berlari menuju rumah Pak Hanif dan
mengikuti arahannya secara jelas. Mereka tahu bahwa Pak Hanif adalah kunci keberhasilan dari
masalah ini.
Beberapa warga yang merasa ketakutan menuju ke arah rumahnya masing-masing. Namun angin
tulah itu telah menantikan para warga yang memiliki hati yang resah dan penuh gelisah.
Agaknya mereka yang tidak menuruti perkataan Pak Hanif adalah jiwa-jiwa yang masih mudah
untuk di belokkan arahnya.

Angin Tulah itu dengan cepat menabrak ke arah warga yang hendak menuju ke rumahnya.
Mereka yang ditabrak angin tulah itu kembali gugur dan tewas di tempat. Tampaknya, angin
tulah itu sudah disetir dengan baik sehingga tidak mengizinkan satu orang pun untuk selamat.

Pak Hanif sudah tak sanggup lagi melihat banyak korban yang telah berjatuhan akibat dari
serangan Angin Tulah itu. Walaupun dirinya beserta dengan beberapa warga lainnya selamat,
namun nasib kedepannya berada dalam genggaman dan keputusannya.

‘’Pak Ilyas mana?’’

Tanya Pak Hanif

‘’Loh, tadi di belakang saya!’’

Jelas Pak Warno

‘’Innalillahi ... itu Pak Ilyas! Dia masih tertinggal di belakang!’’

Teriak salah satu warga


Tubuh Pak Ilyas yang sudah berumur membuat gerakannya sangat lamban. Kakinya sudah tidak
bisa lagi menahan beban tubuhnya. Perasaan hatinya mulai tidak tentram manakala Angin Tulah
itu berhasil menghancurkan balai pertemuan warga dengan cepat. Angin Tulah itu seperti
melihat target selanjutnya yang berada di hadapannya. Yah, siapa lagi kalau bukan Pak Ilyas
yang akan dijadikan korban selanjutnya.

‘’Pak Hanif! Bagaimana ini? Pak Ilyas sudah tidak sanggup lagi!’’

Warga terus-menerus menekan Pak Hanif agar membuat keputusan. Namun dikala pikirannya
sedang sempit, Kemudahan selalu memberikan petunjuk. seorang pemuda berlari menuju ke arah
Pak Ilyas dengan kehendak hati untuk membantu Pak Ilyas menuju rumah Pak Hanif. Pemuda itu
bernama Jaka. Pak Ilyas yang sudah tak sanggup lagi untuk berlari kemudian terjatuh. Kedua
tangannya menyentuh tanah dan tetesan air matanya tumpah begitu saja. Tiba-tiba, Jaka
menghampiri Pak Ilyas sambil mengulurkan tangannya.

‘’Pak Ilyas! Aja nyerah! Ageh tangi! Sing penting yakin! Aja wedi maning taqdire Gusti Allah!
Ageh tangi!’’

(Pak Ilyas! Jangan menyerah! Ayo bangun! Jangan takut dengan taqdirnya Gusti Allah! Ayo
bangun!)’’

Pak Ilyas kembali bangkit berkat suntikan semangat yang diberikan oleh Jaka. Dirangkulnya Pak
Ilyas menuju rumah Pak Hanif. Para warga yang telah berada disana menunggu kedatangannya.
Angin Tulah itu mengiringi perjalanan mereka dari belakang. Hembusannya bisa dirasakan dari
kejauhan. Jaka sempat berpikir, jikalau dia mati sekarang, apakah dia akan menemukan
kehidupan yang layak untuknya? Dalam dirinya belum ada keinginan untuk mati, namun melihat
semua yang telah tertampak dengan jelas, dari jahatnya fitnah dan teluh menyebabkan kerusakan
dan tulah. Mengapa semua ini harus terjadi kepada desanya? Sudah banyak korban yang
berjatuhan karena permasalahan ambisi yang belum terlaksana. Mengapa manusia sangat rakus
akan ambisi? Bagaimana jadinya jika dia telah melampaui dari manusia lainnya? Apakah
tingkahnya akan menjadi layaknya Tuhan? Sungguh biadab! Angin tulah ini membuat semua
orang gentar-gentir, ketakutan, berteriak histeris, menangis, saling memeluk erat antar satu sama
lain, menghela nafas sambil mengurutkan dada. Harga diri dan keringat basah yang mengucuri
tubuh Jaka menjadi penyemangat dan penguatnya. Dari wajahnya tergambar rasa haru dan
senang karena bisa membantu orang yang lebih tuanya. Setidaknya, masa mudanya tidak sia-sia
dan dan berhak dicap khusnul khotimah ketika kelak gugur nanti

‘’AGEEEEH JAKAAAAA!’’

(CEEEPAT JAKAAAA!)

‘’ARGHHHHHHHHHHHH .... ‘’

Jaka mendorong tubuh Pak Ilyas ketika Angin tulah itu hendak menabraknya dari belakang. Pak
Ilyas berhasil masuk ke dalam rumah Pak Hanif dan seketika pintu rumah Pak Hanif langsung
tertutup. Pak Ilyas terselamatkan. Lalu bagaimana dengan Jaka? Jaka terjatuh ke arah samping
kanan untuk menghindari angin yang akan menabraknya dari arah belakang.

‘’Alhamdulillah ...’’

Ucap seluruh warga ketika mendapati Pak Ilyas terselamatkan.

‘’Tapi, Jaka ning endi?’’

(Tapi, Jaka dimana?)


Para warga yang berada di dalam rumah Pak Hanif langsung memberontak ingin keluar dengan
tujuan bisa menyelamatkan Jaka yang masih berada di luaran.

‘’D’eleng! Jaka masih urip!’’

(Lihat! Jaka masih hidup!)

Para warga bergotong royong untuk mengangkat Jaka ke dalam rumah Pak Hanif. Jaka langsung
dibaringkan di ruang tamu.

‘’Jak, priben? Bli papa tah?’’

(Jak, bagaimana? Tidak apa-apa kah?)

Tanya salah satu warga pada Jaka

‘’Alhamdulillah, bli papa,’’

(Alhamdulillah, tidak apa-apa,)

Pak Hanif langsung mendekati Jaka dan berkata

‘’Kita membutuhkan Pemuda seperti Jaka untuk menghancurkan Angin Tulah itu!’’

Ucap Pak Hanif


‘’Maksudnya melakukan Adzan Pitu?’’

Tanya Pak Warno

‘’Benar! Adzan Pitu (Adzan Tujuh) harus dilakukan oleh tujuh orang pemuda yang memiliki hati
yang bersih, pemberani dan tak takut mati!’’

Baru saja Pak Hanif mengatakan itu, telah berjejer tujuh pemuda yang siap untuk melakukan
Adzan Pitu. Ketujuh orang pemuda itu adalah Jaka, Yuda, Salim, Irfan, Firman, Kiki dan Acep.

‘’KAMI SIAP!’’

Teriak ke-tujuh pemuda itu.

‘’Baiklah! Akan aku beri tahu jalan yang harus kalian lalui agar Angin Tulah itu tidak
menjangkau lebih jauh. Pertama, hindari tempat yang memiliki bangunan tinggi, pepohonan atau
semacamnya. Kedua, jika ada teman kalian yang terjatuh, segera angkat dan bantu! Ingat, ini
hanya bisa dilakukan satu kali. Jika salah satu dari kalian gugur, maka kalian tidak bisa
melakukan Adzan Pitu. Kalian semua paham?’’

‘’SIAP! KAMI PAHAM!’’

Pak Hanif mengarahkan mereka menuju pintu belakang rumahnya. Ketika hendak pergi, Arya
kecil mengintip dari balik pintu kamarnya. Yuda yang mengetahui itu langsung memeluk Arya
dan mengucapkan sesuatu padanya.
‘’Cung, aja wedi! Mengko a Yuda karo kang liyane bakal rampungi masalah ikih! Pandongane
ya, cung!’’

(Cung, jangan takut! Nanti a Yuda dengan yang lainnya akan menyelesaikan masalah ini! Minta
doanya ya, cung!)

Arya hanya mengangguk dan melepaskan pelukannya dari Yuda.

Yuda dan yang lainnya segera berlari menuju Masjid yang berada disekitar desa. Alasan mereka
tidak menggunakan langgar atau mushola adalah karena tempat itu sebagai titik utama
munculnya Angin Tulah. Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa, jika ke-tujuh pemuda itu
berhasil melakukan Adzan Pitu, maka Angin Tulah beserta ajiannya akan hancur seketika.

‘’Lalu, bagaimana dengan kita?’’

Tanya warga

‘’Kita akan menunggu hasilnya. Jika serasa sudah tenang, maka akan terjadi dentuman besar di
sekitar masjid. Itu menandakan bahwa mereka telah sukses melakukan Adzan Pitu (Adzan
Tujuh) kita hanya bisa mendo’akannya untuk saat ini,’’

Jelas Pak Hanif.

Tampaknya seluruh warga telah menyerahkan semuanya kepada ke-tujuh pemuda itu. Memang
benar pemuda adalah harapan dari setiap tempat. Maka dari itu, jika pemuda yang digandrungi
baik, maka tempat itu akan baik dan nyaman. Tapi sebaliknya, jika pemuda itu sendiri hancur,
maka jangan tanya lagi mengenai tempatnya, pasti hancur dan rusak!

Yuda dan yang lainnya masih berlari menuju masjid. Mereka saling menatap satu sama lain,
terlebih lagi Jaka yang baru saja terjatuh karena menolong Pak Ilyas.
‘’Inget! Aja sampe ana kang mati! Kita kabeh kudu jadi panutan!’’

(Ingat! Jangan sampai ada yang mati! Kita semua harus menjadi panutan!)

Teriak Jaka sambil tersenyum.

Mereka ber-tujuh melakukan hal nekat ini karena memiliki satu keyakinan yang kuat. Manakala
keyakinan itu telah meleburkan diri kepada Tuhan, maka tidak ada keraguan untuk
melakukannya dan tidak ada ketakutan untuk menghadapinya.

Angin Tulah itu benar-benar mengikuti jejak mereka. Getaran yang dapat dirasakan membuat
nyali mereka makin membara. Mereka harus segera menghadapi tantangan berat ini walau
resikonya adalah nyawa mereka sendiri. Angin Tulah itu benar-benar menggila, ketika melewati
rumah-rumah yang beratapkan seng, secara sekejap seluruh seng itu akan terbawa dan terbang
digulung Angin Tulah itu.benar-benar angin yang sangat mengerikan.

‘’Angine nambah gede! Kang ati-ati!’’

(Anginnya bertambah besar! Yang hati-hati!)

Ucap Yuda

Jaka menjadi pemimpin dari pergerakan ini, memang dia yang paling nekat dan memiliki
keyakinan yang kuat. Sehingga menjadikan yang lainnya menjadi semangat dan berkeinginan
kuat untuk segera menghancurkan Angin Tulah itu.

‘’Toloooong!!’’

Kaki Salim tersandung sebuah batu, dia terjatuh dan menyebabkan kakinya sedikit lebam
‘’Salim!!’’

Teriak Kiki

‘’Woi bantoni!!’’

(Woi tolongin!!)

Teriak Acep

Dengan cepat yang lainnya merubah arah dan menuju ke arah Salim.

‘’Lim, apa kang lara?’’

(Lim, apa yang sakit?)

Tanya Firman

‘’Sikile rada abuh, kudu digotong,’’

(Kakinya sedikit bengkak, harus digotong,)

‘’Ageh digendong bae ning isun,’’

(Ayo digotong saja di saya,)

Ucap Jaka
Jaka pun mengendong tubuh Salim yang sudah tak bisa lagi melanjutkan perjalanan dengan
berlari. Mungkin inilah yang dikatakan oleh Pak Hanif. Jika ada teman yang terjatuh, mereka
tidak boleh meninggalkannya melainkan harus ditolong. Bukan hanya karena tidak bisa
melakukan Adzan Pitu (Adzan Tujuh) tetapi hal inilah yang akan menumbuhkan rasa solidaritas
diantara mereka.

‘’Woi! Delengi, angine nambah parek!’’

(Woi! Lihatin! Anginnya menambah dekat)

Ucap Irfan

‘’Jak, ageh tangi!’’

(Jak, ayo bangun!)

Teriak Yuda

Jaka segera bangkit dengan menggendong tubuh Salim. Dengan keadaan yang kurang
menguntungkan ini, formasi langsung diubah. Terdapat dua orang di belakang Jaka untuk
berjaga-jaga bila Jaka kelelahan. Mereka berdua adalah Yuda dan Firman. Sedangkan tiga orang
lainnya berada di depan Jaka. Mereka adalah Irfan, Acep dan Kiki.

Mereka tampak semangat dan tetap tegar. Tak ada kata menyerah dalam pikirannya, yang
dikhawatirkan hanya satu, mereka tidak mau salah satu diantaranya ada yang lebih dulu gugur.

Masjid sudah didepan mata mereka, Angin Tulah itu terus menggila dan menambahkan
kecepatannya hingga membuat baju mereka terkibas karenanya.
‘’Ageh! Aja sampe ana kang mati!’’

(Ayo! Jangan sampai ada yang mati!)

Teriak Yuda

Ke-tujuh pemuda itu telah sampai di depan Majid. Mereka ber-tujuh menatap dengan jelas
suasana langit yang gelap akibat Angin Tulah itu. Hembusan anginnya membuat bulu kuduk
mereka merinding. Atas intruksi dari Jaka, mereka semua masuk ke dalam Masjid sebelum angin
itu mendatangi lebih dekat ke arah Masjid.

Jaka segera merangkul tubuh Salim yang masih tampak kesakitan akibat kakinya menghantam
sebuah batu tadi. Mereka ber-tujuh langsung menuju ke tempat pengimaman dan berbaris.
Karena Salim tidak bisa berdiri tegak, dia mengangkat kaki satunya dan menyandarkan
tangannya ke pundak Jaka.

ADZAN PITU (ADZAN TUJUH) DIMULAI ....

‘’Allahu Akbar ... Allahu Akbar’’

‘’Allahu Akbar ... Allahu Akbar’’

Saka Masjid mulai retak akibat tekanan Angin Tulah itu. Gemuruhnya yang keras menyebabkan
kaca pintu jendela dekat pintu masjid pecah. Langit menghitam legam.
‘’LAILA-HA ILLALLAH ... ‘’

‘’DUAAARRRRRR’’

Dentuman kencang meledak tepat di atas Masjid. Getarannya membuat ke-tujuh orang pemuda
itu pingsan secara serentak. Dengan munculnya dentuman itu, maka Angin Tulah berhasil
dikalahkan oleh ke-tujuh pemuda yang mengumandangkan Adzan Pitu (Adzan Tujuh) sebagai
penangkalnya. Pak Hanif yang mendengar itu langsung menuju ke masjid. Mereka beramai-
ramai membantu ke-tujuh pemuda yang telah berusaha keras mengalahkan Angin Tulah kiriman
itu.

‘’Uhuk ... uhuk .. ‘’

Jaka bangun lebih dulu dari ke-enam lainnya. Betapa terkejutnya dia mendapati sosok Apta
berada di pepohonan yang dekat dengan Masjid itu. Senyumannya yang menyeringai membuat
Jaka berteriak histeris ketakutan.

‘’AAAARGHHHHHHHH! DEMIIIITTTT!’’

Teriak Jaka

‘’Jaka! Sira nangapa?’’

(Jaka! Kamu kenapa?)

Tanya beberapa warga yang sedang menenangkan Jaka.


Pak Hanif yang saat itu sedang mengobati Salim segera melihat tatapan Jaka yang menunjukkan
ke arah Pepohonan. Pak Hanif mendapati sosok Apta sedang tersenyum kepada Jaka sambil
melambai-lambaikan tangannya. Jaka pingsan kembali.

‘’Apakah seserahan akan benar-benar terjadi?’’

Tanya Pak Hanif dalam hati


‘’Mengembalikan kepercayaan yang sudah hilang memang agak sulit’’

(Anonim)
BATUR GHAIB PART 1

VICTIMIZING SOUL

FITNAH BESAR

Mengembalikan kepercayaan yang sudah hilang memang agak sulit. Karena itu, berbagai
cara orang untuk menghancurkan rivalnya adalah dengan menyebarkan berita-berita bohong
dan palsu. Ambisi tercipta karena nafsu yang melingkari setiap pikiran dan menguasai hati
akan selalu dijadikan raja dalam hidupnya. Tidak perduli itu benar atau
salah, karena hidupnya akan lebih berarti jika apa yang diinginkannya menjadi milik mereka
pribadi.

Dalam hal ini, Pak Hanif merasakan gejolak hatinya yang begitu was-was. Dia hanya
khawatir jika nanti anaknya, Arya Kusuma, akan dijadikan Seserahan. Karena itu, Pak Hanif
beserta yang lainnya harus mengusut kambing hitam dari permasalahan ini. Bukan cukup satu
atau dua orang saja, melainkan beberapa pengikut dari Pak Luhur ikut serta dalam
menyukseskan ambisinya dan meneror seluruh warga yang ada di desa.

Tampaknya Pak Hanif dan yang lainnya telah siap untuk menghadapi permasalahan
selanjutnya, berbagai pandangan miring mulai bermunculan. Pak Hanif tidak habis pikir,
mengapa warga di tempatnya gampang sekali terbawa oleh omongan orang lain. Ibarat kata,
apa yang dilihatnya merupakan sesuai dengan bentuk penilaianya.

Pak Hanif mulai resah, dia mulai memikirkan bagaimana caranya agar terlepas dari jeratan
fitnah yang makin hari makin menjadi-jadi.

Semenjak kejadian memilukan itu, banyak warga yang memberontak kepada Pak Hanif dan
menuntut kepadanya untuk segera dilakukan KEPATEN/MATI OBOR. Mungkin sedikit agak
ekstrim untuk menggubrisnya, namun mereka memang sengaja telah disetir oleh seseorang untuk
melakukan KEPATEN/MATI OBOR.
‘’Hidup yang kita jalani ini seperti seorang Kakek tua yang berjalan dengan tidak
menggunakan tongkat. Dia harus siap mendalami resiko tentang apa yang akan terjadi,
jatuh tersungkur di tanah atau berdiri tegak dalam kesakitan. Itu adalah pilihan yang
lumrah.’’

(Pak Luhur)
BATUR GHAIB PART 1

VICITMIZING SOUL

KEPATEN/MATI OBOR

Setelah permasalahan Angin Tulah itu hilang, perspektif warga masih saja dangkal. Para warga
telah dibius oleh orang-orang berjubah hitam itu dengan menyatakan bahwa ‘’mengorbankan
satu anak maka desa aman’’ adalah jalan terbaik untuk menyelesaikan seluruh konflik yang
sedang terjadi di desa tersebut.

‘’Pak Hanif! Cepat lakukan Mati Obor!’’

‘’MATI OBOR!’’
‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

Teriak seluruh warga yang sedari tadi menunggu Pak Hanif keluar dari dalam rumahnya. Warga
yang kesal segera mendobrak pintu rumah Pak Hanif secara paksa lalu mengambil Arya yang
sedang berada di kamarnya. Arya menangis ketika tubuhnya diangkat paksa oleh beberapa
warga, Bu Mala tak bisa mengambil tubuhnya karena beberapa warga menghalanginya dengan
cepat. Pak Hanif langsung memberikan pemahaman terhadap para warga mengenai Mati Obor.

‘’Apa yang sedang kalian lakukan?’’

Tanya Pak Hanif

‘’MATI OBOR adalah jalan satu-satunya untuk menghancurkan seluruh konflik ini!’’

Jawab salah satu warga

‘’Pikirkanlah sebelum bertindak! Itu merupakan fitnah! Kalian jangan sampai terbuai oleh
ucapan licik para manusia dengan mulut berbisa itu! Kalian harus mempunyai keyakinan
sendiri!’’

Teriak Pak Hanif

‘’Keyakinan?’’
Pak Hanif mengenal ucapan yang tampak familiar itu.

‘’Keyakinan apa yang kau maksud, Hanif?’’

Tanya Pak Luhur

‘’Apa maumu, Luhur?’’

Tanya balik Pak Hanif

Pak Luhur datang bersama dengan tangan kanan kepercayaannya, Pak Irsyad. Mereka berdua
sengaja mendatangi rumah Pak Hanif karena para warga telah mencapai puncak bosannya akan
banyaknya konflik yang berkepanjangan yang tak ada habisnya. Pak Luhur mengambil
kesempatan itu untuk memnas-manasi para warga dan membuat nyali Hanif menciut dan takut.
Bukan hanya itu, dampak terburuknya adalah bahwa anaknya akan dijadikan SESERAHAN dan
dilakukan upacara MATI OBOR.

Pak Luhur memberikan tongkat antiknya kepada Pak irsyad lalu melangkah menuju Pak Hanif
yang sedang dipegangi oleh beberapa warga.

‘’Hidup yang kita jalani ini seperti seorang kakek tua yang berjalan tidak menggunakan tongkat.
Dia harus siap mendalami resiko tentang apa yang akan terjadi, jatuh tersungkur di tanah atau
berdiri tegak dalam kesakitan. Itu adalah pilihan yang lumrah. Namun, ada satu pilihan lagi agar
kehidupannya menjadi tenang dan berarti, kau tahu apakah itu?’’

Tanya Pak Luhur sambil menghadapkan wajahnya ke arah Pak Hanif

‘’Apa maksudmu?’’

Tanya balik Pak Hanif


‘’Sesuatu itu aku sebut sebagai KEMATIAN!’’

Para warga bersorak gembira karena Kepaten Obor atau Mati Obor akan segera dilaksanakan,
nantinya Seserahan akan dilakukan untuk menukar tubuh Arya dengan keselamatan desa.

‘’CEPAT! BAWA ARYA KE PADEPOKANKU! KITA ADAKAN MATI OBOR MALAM


INI! JANGAN SAMPAI ADA YANG MENGGAGALKAN SESERAHAN INI KEPADA
LELUHUR! NYI KEBAYA AKAN BANGGA MELIHAT INI .. HAHAHAHA’’

Para warga segera membawa Arya menuju padepokan Pak Luhur. Teriakan dan tangisan dari si
kecil Arya tidak mengubah keadaan sedikitpun. Tidak ada yang memperdulikannya. Semua
warga seperti terhipnotis dengan ucapan Pak Luhur untuk melaksanakan Kepaten Obor dan
Seserahan. Pak Hanif tak bisa berbuat apa-apa, dirinya dan Bu Mala terhalang oleh beberapa
warga yang sengaja menjadikan diri sebagai pagar betis.

‘’ARYAAAAAA! LUHURR! KEMBALIKAN ARYAA!’’

Teriak Pak Hanif

Namun keadaan tetap berpihak kepada Pak Luhur, sebentar lagi Kepaten Obor akan dimulai.
Seserahan akan dilaksanakan, semua sudah dipersiapkan!
‘’Kalian pasti rindu kedamaian! Aku pun sama. Tidak ada satu pun orang yang tidak
rindu akan kedamaian. Karena itu, untuk menghancurkan semua kerusakan dan teror
yang telah membuat kalian ketakutan, mari kita lakukan MATI OBOR DAN
SESERAHAN!’’

(Pak Luhur)
BATUR GHAIB PART 1

VICTIMIZING SOUL

SESERAHAN

(Upacara Penyerahan Jiwa)

Kepaten Obor atau Mati Obor adalah istilah Jawa yang berarti terputusnya tali persaudaraan
antar keluarga (baik dekat maupun jauh) karena kendala beberapa hal. Namun Kepaten Obor
atau Mati Obor di sini adalah pembahasan mengenai syarat untuk diberlangsungkannya Upacara
Penyerahan Jiwa atau Seserahan. Karena itu, untuk melakukan Kepaten Obor harus dipersiapkan
beberapa hal. Diantaranya adalah melakukan pertunjukan tarian khas Cirebon atau Sintren.
Dalam melakukan Sintren juga diperlukan seorang wanita yang dijadikan sebagai perantara
untuk menyerahkan jiwa yang akan dikorbankan dan sebagai pembalasannya maka ada empat
‘’raos atau rasa’’ yang didapatkan oleh desa tersebut.

Ke-empat rasa itu adalah

1. Raos Aman (Rasa Aman)


2. Raos Kabecikan (Rasa Kesejahteraan)
3. Raos Kang Tahan (Rasa Kelanggengan)
4. Raos Kaweruh ( Rasa Mengetahui)
Untuk mendapatkan ke-empat rasa ini harus melakukan Seserahan atau menumbalkan jiwa
seseorang. Dengan begitu, ke-empat rasa ini akan tumbuh dalam kepribadian orang yang menjadi
dalang dari pelaksanaan Seserahan tersebut.

Untuk melakukan Seserahan, dibutuhkan korban untuk dijadikan tumbal. Korban itu akan
didandani (dirias) layaknya penganten sunat. Hal ini memberi kesan bahwa korban yang akan
dijadikan Seserahan akan bernilai baik di mata para leluhur. Selanjutnya, korban akan
ditampilkan tarian sintren untuk menghibur hatinya dan berhak berkomunikasi dengan leluhur
sebelum meninggalkan orang-orang yang dicintainya. Setelah itu, korban akan ditidurkan di
sebuah tempat yang terbuat dari gedebokan pisang (batang pisang). Kedua tangan dan kaki
korban akan diikatkan di sebuah bambu yang atasnya telah dinyalakan obor sebagai penanda
diterima atau tidaknya Seserahan tersebut. Jika obor tersebut mati, maka akan diterima, namun
jika obor yang dimaksudkan tidak mati atau digagalkan oleh sesuatu maka tidak semua
‘’raos/rasa’’ akan dijadikan miiknya.

Pak Hanif dan Bu Mala hanya bisa pasrah melihat tindakan tak berbudi yang dilakukan Para
warga dan Pak Luhur terhadapnya. Mereka berdua hanya bisa terduduk lesu di depan rumah
ketika mendapati anak semata wayangnya akan dijadikan Seserahan.

Di tengah galaunya Pak Hanif dan Bu Mala, Pak Warno datang untuk menghibur mereka berdua.
Pak Warno memberikan bantuan namun dengan cara yang ekstrim.

‘’Aku bisa saja membantumu, namun cara ini sangat ekstrim,’’

Ucap Pak Warno

‘’Apa maksudmu, pak?’’

Tanya Pak Hanif

‘’Nanti, disaat sedang melakukan seserahan, jangan sampai obor ke-empat mati! Tutup apinya
dengan alat penutup damar, apakah kau paham?’’

Tanya Pak Warno

‘’Hanya itu saja?’

Tanya balik Pak Hanif


‘’Yah, itu tugasmu. Tugasku adalah mencari makam Apta! Aku harus temukan makamnya!’’

Jelas Pak Warno

‘’Tapi kan ... ‘’

Potong Pak Hanif

‘’Tak apa, aku pasti kembali dengan selamat.’’

Pak Hanif dan Bu Mala bersiap-siap untuk menuju ke tempat Seserahan Arya. Mereka
menyamar dengan menggunakan jubah hitam agar para warga mengira mereka adalah anggota
dari padepokan Pak Luhur.

Tarian Sintren telah dimulai, Apta didudukkan di tempat yang sangat megah. Para warga
berteriak dengan sangat lantang agar Mati Obor segera dilakukan dengan cepat.

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

‘’Pak Luhur, para warga tidak sabar untuk menyaksikan Mati Obor, apakah ini harus
dipercepat?’’

Tanya Irsyad
‘’Segerakan Mati Obor dan lakukan Seserahan secepatnya!’’

Senyum Pak Luhur

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

Irsyad pun langsung mengambil alih kendali, dia menyuruh warga untuk diam sesaat agar Pak
Luhur bisa memberikan sepatah dua kata mengenai Mati Obor dan Seserahan ini.

‘’Kalian pasti rindu kedamaian! Aku pun sama. Tidak ada satu pun orang yang tidak rindu akan
kedamaian. Karena itu, untuk menghancurkan semua kerusakan dan teror yang telah membuat
kalian ketakutan, mari kita lakukan ‘’MATI OBOR DAN SESERAHAN!’’

‘’YEAAAY!!’’

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

Warga tampak antusias dan rela berdesak-desakan untuk menyaksikan Arya dijadikan Seserahan.
Wajah Arya tampak sedih karena dia harus dijadikan tumbal dari kejamnya dukun yang bernama
Pak Luhur.
Irsyad menyalakan empat buah obor yang mengelilingi tempat seserahan. Keempat obor itu
menyala dan menyinari tengah lapangan yang begitu gelap. Para warga masih berantusias
dengan meneriakkan kata-kata

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

‘’MATI OBOR!’’

Arya ditidurkan di bawah alas yang terbuat dari Gedebok (batang) Pisang. Disekelilingnya
tertata empat obor yang sudah dinyalakan.

Sementara itu, Pak Warno sedang mencari kuburan Apta sebelum Seserahan dimulai agar bisa
menyelamatkan jiwa Arya yang akan dijadikan tumbal jiwa untuk keselamatan desa.

Pak Warno tampak melihat sesuatu yang mengkilap di perkebunan Singkong. Dia pun segera
mendekati cahaya itu. Ketika dilihat, ternyata sebuah nisan dengan bernama ‘’Apta Dwipa’’
yang merupakan anak kandungnya sendiri. Misi Pak Warno hanya satu yaitu menghancurkan
Tengkorak Arya agar bisa menjadi Batur Ghaib Arya dan menghancurkan Seserahan tersebut.

Sementara itu, seserahan telah mencapai Klimaksnya.

‘’Seserahan sedang dimulai, jangan sampai ada yang mengganggu,’’

Ucap Pak Luhur kepada Irsyad

SATU OBOR MATI!

Artinya seperempat jiwa Arya telah ditukar dengan ‘’RAOS AMAN’’ atau Rasa Keamanan.
Arya berteriak histeris karena tubuhnya seperti terbakar. Semua warga yang melihat reaksi Arya
tampak antusias. Mereka seperti tidak perduli dengan keadaan Arya yang dijadikan korban
sebagai tumbal jiwa.

DUA OBOR MATI!

Mata Arya memutih, tubuhnya terangkat ke atas. Tali yang mengikat kedua kaki dan tangannya
merenggang karena terangkatnya tubuh Arya. Setengah jiwa Arya telah ditukar dengan tukaran
yang setimpal yaitu ‘’RAOS KABECIKAN’’ atau Rasa Kesejahteraan.

Pak Hanif dan Bu Mala yang berada di kerumunan warga masih menunggu Obor Keempat.
Hatinya terasa teriris oleh perlakuan kejam Pak Luhur beserta dengan pengikut iblisnya itu. Di
dalam jubahnya telah siap wadah penutup obor atau biasa disebut dengan Semprongan.

TIGA OBOR TELAH MATI!

Tiga perempat jiwa Arya telah dijadikan tumbal Seserahan. Nafas Arya tampak melemah.
Tubuhnya telah melemas. Wajahnya sangat pucat dan kaku. Bu Mala tidak tahan melihat
anaknya telah mencapai batasnya. Para warga masih saja berteriak

‘’SESERAHAN!’’

‘’SESERAHAN!’’

‘’SESERAHAN!’’

Mereka tampak tak perduli dengan keluarga Pak Hanif dan Bu Mala. Obor Ketiga bermakna
‘’RAOS KANG TAHAN’’ atau Rasa Kelanggengan. Rasa ini bermakna kenyamana bagi eleuruh
warga sekitar selama warga masih menghormati adat dan istiadat yang berlaku. Mereka akan
diberikan kenyamanan dengan syarat tidak mengulangi masalah dan kesalahan yang sama.
Pak Warno telah selesai menggali makam Apta. Dia menemukan Tengkorak Apta yang sudah
hampir lapuk. Anehnya, di bagian kakinya masih tersdapat alat pasung persis ketika dirinya
meninggal dunia.

Sepertinya seluruh energi Arya hampir terkuras. Dengan cekatan Pak Hanif langsung meringsek
maju ke arah Prosesi Seserahan dan menutup Obor yang keempat dengan Semprongan. Alhasil
Obor Keempat tidak padam. Tubuh Arya langsung terjatuh. Begitu juga dengan penari Sintren
dan juga para penabuh gamelan. Mereka semua pingsan seketika.

‘’Apa yang kau lakukan, Hanif?”’

Tanya Pak Luhur

‘’Aku sedang menyelamatkan anakku!’’

Jawab Pak Hanif

‘’Kau tahu, kan? Usahamu akan sia-sia! Jiwa Arya telah aku tukarkan dengan Empat Raos yang
akan menyelamatkan desa ini! Apa kau sudah gila?’’

Tanya Pak Luhur

‘’Lebih gila manakah mereka yang melakukan Seserahan ini untuk kepentingan Ambisinya?’’

Tanya balik Pak Hanif

Pak Hanif langsung memojokkan Pak Luhur dengan memutar fakta.


‘’Kurang ajar kau, Hanif!’’

Pak Luhur pun segera menyerang Pak Hanif, namun ketika dia akan menghujamkan kerisnya
terhadap Pak Hanif, tiba-tiba terdengar dengan jelas teriakan aneh yang berasal dari perkebunan
Singkong yang berada di arah Timur tepat berlangsungnya acara Seserahan itu.

Para warga yang mendengar teriakan misterius itu langsung mundur ke belakang. Mereka tahu,
jika Obor Keempat tidak padam, maka yang terjadi adalah bencana bagi mereka semua.
Mungkin teriakan misterius inilah yang akan muncul ketika Seserahan tidak diselesaikan

Pak Luhur yang tahu bahwa itu adalah suara Apta langsung mengurungkan niatnya untuk
membunuh Pak Hanif. Dia tahu suara itu muncul dari Sosok yang kelak akan menjadi BATUR
GHAIB Arya. Sosok itu bernama Apta Dwipa!

Pak Luhur pun langsung meninggalkan tempat lokasi Seserahan. Dia bersama dengan Irsyad
berlari menuju suatu tempat yang tidak diketahui keberadaannya oleh para warga. Bukan hanya
Pak Luhur yang merasa ketakutan, namun juga para warga sekitar. Mereka langsung kabur
menuju ke rumah masing-masing.

‘’Ibu, bantu Arya! Aku akan menuju ke tempat Pak Warno!’’

Teriak Pak Hanif


Bu Mala segera melepaskan ikatan tali yang mengikat kedua kaki dan tangan Arya. Tubuh Arya
sudah sangat lemah. Kedua bola matanya sangat sayu. Begitu pula dengan nafasnya yang sudah
agak berat. Resiko dari tumbal jiwa adalah nyawa itu sendiri.

Pak Hanif masih mencari lokasi tempat Apta itu muncul. Dia mendapati sebuah cahaya yang
mengkilap di tengah perkebunan Singkong.

‘’Mungkin itu adalah tempatnya!’’

Ucap Pak Hanif

Begitu Pak Hanif telah sampai, dia melihat Sosok Apta sedang mendekat ke arah Pak Warno
yang sedang berada di tempat pemakamannya. Pak Warno yang melihat kedatangan Pak Hanif
langsung berteriak dengan kencang

‘’HANIF! LARIIIIII!’’

Teriaknya

‘’Bli, pak! Isun bli bakal mlayu!’’

(Tidak, pak! Saya tidak akan lari!)

Jawab Pak Hanif

Apta yang mengetahui kedatangan Pak Hanif mulai terganggu. Dia pun langsung menuju PAK
Hanif, namun baru saja menggerakkan tubuhnya, Pak Warno langsung memukul Tengkorak
yang diyakini sebagai Tengkorak Apta dengan batu. Alhasil, Apta mengerang kesakitan. Dia
berbalik arah menuju tempat Pak Warno yang berada di dalam lubang pemakamannya.

Pak Hanif segera berlari menuju ke arah Pak Warno, namun sayang, dengan cepat tanah kuburan
itu menutup keduanya hingga rata kembali dengan tanah. Pak Hanif merasakan kesedihan yang
amat mendalam ketika mendapati Pak Warno telah terkubur. Dia menyadari bahwa Pak Warno
mengorbankan nyawanya untuk kehidupan Apta. Jika dia tidak menemukan makam Apta dan
memecahkan Tengkoraknya, maka bisa jadi nyawa Arya telah melayang.

Pak Hanif kembali menuju tempat Seserahan. Dia mendapati Bu Mala sedang menangis sambil
memeluk tubuh Arya.

‘’Pak, Arya masih hidup, tapi tubuhnya sangat lemah,’’

Ucap Bu Mala

‘’Cepat bawa ke rumah,’’

Jelas Pak Hanif

‘’Pak Warno bagaimana, pak?’’

Tanya Bu Mala

‘’Dia telah gugur demi menyelamatkan Arya,’’

Jelas Pak Hanif


‘’Innalillahi ... ‘’

Pak Hanif menyimpan semua rasa kesedihannya. Tugasnya kini adalah membesarkan Arya
dengan baik untuk membalaskan budi kepada Pak Warno yang telah berjasa mengorbankan
nyawanya demi Arya. Namun, tugas Arya juga belum selesai. Dia harus mengambil kembali
jiwanya di usia yang ke-18 tahun. Dengan itu, dia bisa menghancurkan ambisi dari Pak Luhur
yang ingin merebut seperempat jiwanya lagi.

(BATUR GHAIB BELUM SELESAI!)


Tentang Penulis
Restu Wiraatmadja merupakan nama pena dari Restu Ajie Pamungkas. Lahir pada tanggal 09
Juli 2000 di Kota Cirebon. Merupakan anak ke-tiga dari lima bersaudara. Pendidikan dasarnya di
MI Salafiyah Kota Cirebon, lalu melanjutkan ke MTs. Salafiyah Kota Cirebon semabri menimba
Ilmu di Pesantren Al-Qur’an, Daarul Muttaqin. Pendidikan Aliyahnya dia lanjutkan ke Buntet
Pesantren Cirebon, tepatnya MA NU Putra sekaligus mesantren dan di Pondok Pesantren Saung
Annadwah asuhan Dr. KH. Moh. Abbas Billy Yachsie. M.A

Restu Wiraatmadja atau yang biasa dipanggil Wira atau Restu ini sedang melanjutkan
pendidikannya di salah satu Institut swasta di Cirebon, yaitu Institut Agama Islam Bunga Bangsa
(IAI BBC) Cirebon, semester 5 jurusan PGMI (Pendidikan Guru Madrasah ibtidaiyah)

Dia juga aktif dalam sebuah literasi kepenulisan yang bernama PHMTI atau Penulis Horor,
Mysteri dan Thriller Indonesia.
Blurb
Arya Kusuma, seorang anak dari Tabib terkemuka harus terkena fitnah dan akan dijadikan
sebagai tumbal seserahan untuk menuruti Ambisi seorang dukun durjana, Pak Luhur.

Berbagai teror dan tulah (bencana) terjadi ketika Arya dan Rizki keluar dari tempat itu. Dimulai
dari munculnya sosok anak kecil misterius yang kelak akan dijadikan Batur Ghaibnya.
Munculnya Ambu Endog Bungker (Telur busuk), Banaspati, hingga Angin Tulah yang
membunuh banyak warga.

Namun hal ini dimanfaatkan oleh Pak Luhur untuk mewujudkan ambisinya agar bisa menguasai
desa dan menjadi orang yang bisa meneruskan pendekar hitam masa lalu yaitu Datuk menjangan
Wulung.

Apakah rencana dari Pak Luhur berhasil untuk mewujudkan ambisinya dan mengambil seluruh
jiwa Arya agar terciptanya empat raos (rasa) untuk desa? Atau malah menjadi petaka bagi Pak
Luhur sendiri karena telah membangunkan korban dari wabah Pagebluk yang kelak akan
menjadi Batur Ghaib dari Arya Kusuma?

Anda mungkin juga menyukai