Anda di halaman 1dari 10

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang


Perawatan paliatif adalah perawatan yang dilakukan secara aktif pada
penderita yang sedang sekarat atau dalam fase terminal akibat penyakit yang
dideritanya. Pasien sudah tidak memiliki respon terhadap terapi kuratif yang
disebabkan oleh keganasan ginekologis. Perawatan ini mencakup penderita
serta melibatkan keluarganya (Aziz, Witjaksono, & Rasjidi, 2008).
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan meningkatkan
kualitas hidup pasien (dewasa dan anak-anak) dan keluarga dalam
menghadapi penyakit yang mengancam jiwa, dengan cara meringankan
penderitaan rasa sakit melalui identifikasi dini, pengkajian yang sempurna,
dan penatalaksanaan nyeri serta masalah lainnya baik fisik, psikologis, sosial
atau spiritual. (World Health Organization (WHO,2016).
Menurut Andreas Eppink, sosial budaya atau kebudayaan adalah
segala sesuatu atau tata nilai yang berlaku dalam sebuah masyarakat yang
menjadi ciri khas dari masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Burnett,
kebudayaan adalah keseluruhan berupa kesenian, moral, adat istiadat, hukum,
pengetahuan, kepercayaan, dan kemampuan olah pikir dalam bentuk lain
yang didapat seseorang sebagai anggota masyarakat dan keseluruhan bersifat
kompleks. Dari kedua pengertian tersebut bisa disimpulkan bahwa social
budaya memang mengacu pada kehidupan bermasyarakat yang menekankan
pada aspek adat istiadat dan kebiasaan masyarakat itu sendiri.

1.2 Tujuan
Agar mahasiswa dapat mengetahui tinjauan sosialbudaya di Indonesia
terhadap keperawatan paliatif : Batak toba, simalungun, karo, jawa, nias dan etnis
lain di indonesia

1
BAB 2
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Sosial budaya


Pengertian sosial menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
segala sesuatu yang mengenai masyarakat atau kemasyarakatan.
Kebudayaan atau kultur dapat membentuk kebiasaan dan respons
terhadap kesehatan dan penyakit dalam segala masyarakat tanpa memandang
tingkatannya. Karena itulah penting bagi tenaga kesehatan untuk tidak hanya
mempromosikan kesehatan, tapi juga membuat mereka mengerti tentang
proses terjadinya suatu penyakit dan bagaimana meluruskan keyakinan atau
budaya yang dianut hubungannya dengan kesehatan.
Pengaruh kebudayaan, tanpa disadari kebudayaan telah menanamkan
garis pengaruh sikap terhadap berbagai masalah. Kebudayaan telah mewarnai
sikap anggota masyarakat, karena kebudayaanlah yang memberi corak
pengalaman individu-individu masyarakat.

2.2 Kajian Sosial Budaya Tentang Perawatan Paliatif


Salah satu faktor yang menentukan kondisi kesehatan masyarakat
adalah perilaku kesehatan masyarakat itu sendiri. Dimana proses
terbentuknya perilaku ini dipengaruhi oleh beberapa faktor. Salah satunya
adalah faktor sosial budaya, bila faktor tersebut telah tertanam dan
terinternalisasi dalam kehidupan dan kegiatan masyarakat ada kecenderungan
untuk merubah perilaku yang telah terbentuk tersebut sulit untuk dilakukan.
Untuk itu, untuk mengatasi dan memahami suatu masalah kesehatan
diperlukan pengetahuan yang memadai mengenai budaya dasar dan budaya
suatu daerah. Sehingga dalam kajian sosial budaya tentang perawatan paliatif
bertujuan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya,
meningkatkan kualitas hidup pasien dan keluarga dalam menghadapi masalah
yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam kehidupan.

2
2.3 Budaya Masyarakat Tentang Pengobatan Pada Penyakit Paliatif
Kanker payudara merupakan penyakit yang mematikan. Jumlah
penderitanya pun tak sedikit. Sayang, banyak penderita justru memilih ke
dukun alias pengobatan alternatif. Ujung-ujungnya, malah bertambah parah.
Banyak penderita yang baru berobat ke dokter setelah menderita kanker
payudara stadium tinggi.
Selain itu, fenomena dukun Ponari sempat menyita perhatian
masyarakat Indonesia beberapa tahun yang lalu, cerita kemunculan dukun
Ponari dengan batu saktinya sebagai media penyembuhan dengan cara di
celupkan ke air.
Kabar tentang kehebatan ponari ini terus meluas hingga menyebabkan
jumlah pasien yang berobat kerumah Ponari dari hari kehari semakin
meningkat. Tindakan masyarakat yang datang ke Dukun Ponari itu tidak
terlepas dari peran budaya yang ada di masyarakat kita terhadap hal-hal yang
bersifat mistis. Percaya terhadap kesaktian batu yang dimiliki Ponari itu
merupakan sebuah budaya yang mengakar dan bertahan dimasyarakat sebagai
bagian dari kearifan lokal.
Pemahaman masyarakat terhadap hal-hal yang dipercayai secara
turun-temurun merupakan bagian dari kearifan lokal yang sulit untuk
dilepaskan. Hingga pemahaman magis yang irasional terhadap pengobatan
melalui dukun seperti diatas sangat dipercayai oleh masyarakat. Peranan
budaya dan kepercayaan yang ada dimasyarakat itu diperkuat oleh rendahnya
tingkat pendidikan dan tingkat ekonomi.

2.3.1 Budaya masyarakat Toba terhadap perawatan paliatif


Berdasarkan hasil analisa data yang telah dilakukan, peneliti
menemukan dampak budaya yang dialami partisipan akibat menderita
kanker serviks yaitu:
1. Makna anak laki - laki
Menjadi penekanan dalam nilai ini selanjutnya adalah bagi
orang tua anak laki - laki adalah penerus keturunannya, sehingga
anak laki-laki sering disebut sebagai sinuan tunas, artinya tunas yang

3
baru. Ungkapan ini memperlihatkan bahwa anak laki-laki memiliki
keistimewaan dalam pandangan orang tua, terlihat pula dari
perbandingan jumlah anak laki - laki yang diinginkan lebih banyak
dari anak perempuan (Tinambunan, 2010).
Fungsi dan makna anak laki - laki pada suku Batak Toba
yaitu: penerus marga (klan) bapaknya (Tampubolon, 2002), anak
sebagai penambah sahala (wibawa) orangtuanya (Lumbantobing,
1992), ahli waris yaitu suku Batak Toba yang menjadi ahli waris dari
harta peninggalan harta orangtuanya adalah anak laki - laki
(Panggabean, 2004), pelaksana upacara adat (Tampubolon, 2002),
pembawa rejaki, ungkapan maranak sampulu pitu marboru sampulu
onom (mempunyai anak laki - laki tujuh belas dan anak perempuan
enam belas), berhubungan dengan ekonomi keluarga dengan
keyakinan banyak anak banyak rejeki dimana anak laki - laki sebagai
pencari nafkah (Simanjuntak, 2000), dan pengambil keputusan
(Simanjuntak, 2000)

2. Melakukan acara adat mangupa - upa dan mangulosi,


Berdasarkan pengalaman dari informan kunci bahwa
seseorang yang menderita suatu penyakit ataupun mengalami
musibah sering diupa - upa setelah itu diberikan ulos sampetua
istilahnya pir ma tondi yaitu agar tondinya kembali kebadan
sehingga orang yang sakit tersebut menjadi sembuh dan semangat
kembali.
Upacara mangupa bertujuan untuk mengembalikan tondi
(roh) ke badan dan memohon berkah dari Tuhan Yang Maha Esa
agar selalu selamat, sehat dan murah rezeki dalam kehidupan. Upaya
mengembalikan tondi ke badan dilakukan dengan cara
menghidangkan seperangkat bahan (perangkat pangupa) dan nasihat
pangupa (hata pangupa atau hata - hata ni pangupa) disusun secara
sistematis dan dilakukan oleh berbagai pihak yang terdiri dari

4
orangtua, raja -raja dan pihak - pihak adat lainnya ((Lumbantobing,
1992).
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh
Irmawati (2007) bahwa untuk mengobati suatu penyakit, masyarakat
Batak Toba juga percaya bahwa ulos tondi dari hula-hula dapat
menyembuhkan penyakit. Itulah sebabnya mengapa orang Batak
Toba sangat hormat kepada hula-hula. Bila orang yang sakit lebih
muda, mereka perlu meminta pertimbangan kepada orang yang lebih
tua untuk memecahkan masalah kesehatan tersebut.

3. Mendatangi datu/namalo.
Berdasarkan informasi dari informan kunci bahwa pada
suku Batak Toba, apabila seseorang menderita suatu penyakit,
sering berobat ke datu (namalo). Hal ini terjadi karena masih
banyak masyarakat Batak Toba yang lebih mempercayai namalo
dibanding tim kesehatan terutama masyarakat yang tinggal di
daerah pedalaman.. Pada masyarakat Batak Toba orang yang paling
mengetahui isi dari kitab pengobatan ini disebut sebagai sibaso.
Sibaso adalah datu (dukun perempuan).
Berbagai pengalaman telah dapat membuktikan bahwa
pengobatan tradisional Batak yang dilakukan oleh seorang namalo
ini tidak selalu kalah dengan pengobatan yang diterapkan oleh
dokter (tim medis), hanya saja sistem pengobatan ini tidak
melibatkan alat teknologi canggih seperti halnya peralatan medis.
Pengkajian mengenai obat yang digunakan oleh tim medis dengan
obat yang digunakan oleh tim namalo sangat jauh berbeda. Pihak
tim medis telah mencampur zat kimia kedalam obat yang
dipergunakan, sementara tim namalo masih alami. Obat yang
digunakan oleh namalo adalah jenis tumbuh-tumbuhan tertentu
yang masih alami. Untuk meramu diperlukan alat - alat tradisional.

5
2.3.2 Budaya masyarakat Karo terhadap perawatan paliatif
Sembur adalah suatu obat tradisional dalam masyarakat karo
yang terdiri dari beras, daun-daunan hutan, jahe, lada, pala dan akar-
akaran dari tanaman obat yang semuanya di cincang tidak terlalu halus.
Partisipan menyatakan bahwa mereka juga menggunakan daun sirih
yang disemburkan ke payudara untuk menyembuhkandan
menghilangkan penyakit kanker payudara dalam tubuh. Partisipan
memilih pengobatan menggunakan semburan daun sirih.

2.3.3 Budaya masyarakat Aceh dan Simalungun terhadap perawatan paliatif


A. calamus (Acoraceae) atau jerango merupakan tumbuhan obat
yang berimpang. Rimpangnya aromatis, berwarna putih dengan kulit
rimpang berwarna merah muda. Bagian daun tebal dan keras seperti
pedang dan apabila dikoyak mampu memberikan aroma yang khas
(Divya et al. 2011). Jerango dimanfaatkan sebagai bahan baku obat
tradisional sebagai anti spasmodik, karminatif, anthelmintik, aromatik,
ekspektoran, nauseate (mual), nervine (obat penenang), mempunyai
sifat stimulan, asma bronkhitis, demam, kolik (Balakumbahan et al.
2010), pengobatan epilepsi, penyakit mental, diare kronis, disentri dan
tumor di perut (Paithankar et al. 2011). Hal ini karena jerango memiliki
kandungan kimiaglikosida, flavonoid, saponin, tanin, polifenol, minyak
atsiri yang terdiri dari calamen, clamenol, calameon, asarone, dan
sesquiterpene (Imam et al. 2013).
Ramuan pengobatan jerango digunakan oleh etnis-etnis di
Provinsi Aceh untuk mengobati 15 penyakit, yaitu batuk, demam/panas,
gangguan vitalitas, HIV/AIDS, keracunan, maag, magis, mencret,
penyakit anak, penyakit kelamin, perawatan pra/paska melahirkan, sakit
kepala, tumor/kanker, wasir dan lain-lain (Lampiran 1). Jerango juga
digunakan oleh etnis-etnis lain di Indonesia, antara lain digunakan
untuk mengobati demam pada etnis Batak Simalungun (Silalahi et al.

6
2015), Batak Karo (Silalahi dan Nisyawati 2018) dan Lampung (Evizal
et al. 2013).
2.3.4 Budaya masyarakat Jawa terhadap perawatan paliatif
Menurut masyarakat dan falsafah jawa dalam budaya
tersebut menyimpan nilai-nilai yang sejajar dengan nilai-nilai dalam
keperawatan, meliputi altruistic dan human caring. Nilai-nilai budaya
jawa tersebut diterapkan dalam memberikan pelayanan keperawatan
paliatif pada pasien dan keluarga yaitu mendengarkan keluhan dengan
sabar, melakukan tindakan dengan ikhlas dan memberikan dukungan
emosional. Hal ini dapat membantu penyembuhan rohani. Budaya jawa
beranggapan bahwa pasien sembuh tidak saja di dasari oleh sikap
pemberi pelayanan.
Ada 4 macam nilai-nilai budaya jawa untuk keseimbangan jiwa:
1. Temen, bekerja dengan sungguh-sungguh dan jujur
2. Rila, memberikan usaha dengan ikhlas
3. Sabar, tidak mudah memyerah dalam usaha
4. Narima, menerima penyakit dengan senang hati, akhirnya dengan
ketenangan psikologis pasien dan keluarga sehingga pasien rileks dan
mengurangi penderitaannya.

2.3.5 Budaya masyarakat Nias terhadap perawatan paliatif


Dalam pengobatan suku nias, mbinu mba’e (tumbuhan sarang
semut) dimanfaatkan untuk mengurangi bengkak dengan cara mbinu
mba’e ditimbuk halus dan kemudian dioleskan pada bagian yang sakit.
Mbinu mba’e juga dapat diolah dengan cara di iris tipis dan
dikeringkan, dan direbus, kemudian air rebusannya dapat diminum
untuk mengatasi darah tinggi, diabetes, benjolan pada payudara, dan
membantu mengatasi kanker. Fame’e go (pemberian makan) kepada
pasien yang menjelang ajal dengan cara anggota keluarga dikumpulkan
dan masing-masing anggota keluarga tersebut menyuapi pasien.

7
2.4 Aspek Kebudayaan Perawat
Aspek kebudayaan perawat memiliki kriteria:
1. Latar belakang budaya, perhatian, kebutuhan pasien dan
keluarganya diperoleh serta di dokumentasikan,
2. Kebutuhan budaya di identifikasikan oleh tim dan keluarga,
dimasukan dalam rencana perawatan tim interdisplin
3. Komunikasi dengan pasien dan keluarga di hormati, begitu juga
dengan pilihan budaya mengenai penyingkapan, berkata jujur,
dan membuat keputusan.
4. Program bertujuan menghormati dan mengakomodasi rentang
bahasa, makanan, dan pratek kegiatan keagamaan pasien serta
keluarganya.
5. Kapanpun memungkinkan, tim memiliki akses dan
menggunakan pelayanan penerjemah yang tepat
6. Pengerahan dan pratek yang di bayar berjuang untuk
merefleksikan keberagaman budaya dari komunitas.

8
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Perawatan paliatif adalah pendekatan yang bertujuan untuk
meningkatkan kualitas kehidupan pasien dan keuarganya dalam menghadapi
masalah masalah yang berhubungan dengan penyakit yang mengancam jiwa,
dengan mencegah dan meringankan penderitaan melalui identifikasi awal
serta terapi dan masalah lain, fisik, psikososial dan spirittual.

Kebudayaan kesehatan masyarakat membentuk, mengatur, dan


mempengaruhi tindakan atau kegiatan individu-individu suatu kelompok
sosial dalam memenuhi berbagai kebutuhan kesehatan baik yang berupa
upaya mencegah penyakit maupun menyembuhkan diri dari penyakit. Oleh
karena itu dalam memahami suatu masalah perilaku kesehatan harus dilihat
dalam hubungannya dengan kebudayaan, organisasi sosial, dan kepribadian
individu-individunya terutama dalam paliatif care.

9
DAFTAR PUATAKA

Campbell,Margaret L.2013.Nurse to Nurse: Perawatan Paliatif.


Jakarata:Salemba Medika

Sitio,Roma.2016.Kualitas Hidup Pasien Kanker Serviks: Pengalaman


Pasien Suku Batak. Medan. Universitas Sumatra utara

Sianipar,Connie Melva,Dkk.2015.Pengalaman Pasien Kanker


Payudara Pada Suku Batak Yang Menjalani Kemoterapi. Idea nursing
jurnal. Vol.6(3)

Adriani, Rita Benya.2014.Asuhan Keperawatan Paliatif pada Pasien


Kanker Serviks dengan Pendekatan Nilai-nilai Budaya di RSUD DR.
Moewardi Surakarta. Universitas Gadjah Mada

Widyastuti,Rahma.2019.Penggunaan Tumbuhan Jerango (Acorus


Calamus) untuk Pengobatan Berbagai Penyakit pada Delapan Etnis di
Provinsi Aceh. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Obat dan Obat Tradisional. Vol.24(1):11-19

10

Anda mungkin juga menyukai