Selain berbagai metode tersebut, masih ada dua metode lain untuk mengevaluasi investasi aktiva
tetap di mana kita seringkali dihadapkan pada alternatif investasi dengan usia ekonomis yang
berbeda. Dua metode tersebut adalah replacement chain approach dan equivalent annual annuiti
approach. Coba perhatikan aliran kas dari dua alternatif investasi K dan investasi L berikut
dalam ribuan rupiah.
Investasi K:
0 1 2 3 4 5 6
----------------------------------------------------------
100.000 25.000 20.000 30.000 25.000 25.000 30.000
Investasi L:
0 1 2 3
-------------------------------
60.000 25.000 30.000 25.000
Apabila kedua investasi tersebut biaya modal rata-rata tertimbang yang relevan sebagai discount
rate adalah 12%, maka net present value investasi K adalah Rp 4,386 juta sedangkan net present
value investasi L adalah Rp 4,031 juta. Dengan demikian nampaknya investasi K lebih baik
daripada L. Tetapi kita perlu mempertanyakan kebenaran membandingkan secara langsung
semacam ini. Untuk itu digunakanlah dua metode yang disebut diatas.
Pertama dengan metode replacement chain approach. Metode ini mencoba mencari periode
waktu yang sama untuk kedua investasi itu dengan asumsi bahwa aliran kasnya akan konstan.
Dalam hal ini kita pilih periode waktu selama enam tahun. Dengan demikian kita menganggap
bahwa aliran kas selama tiga tahun kedua akan persis sama dengan aliran kas pada tiga tahun
pertama. Dengan ini ternyata alternatif investasi L lebih baik karena memberikan net present
value Rp 8.372.770 yang lebih besar daripada investasi K.
Cara kedua adalah dengan metode equivalent annual anuity. Metode ini pada prinsipnya hanya
membandingkan annual equity equivalent dari kedua alternatif investasi. Jadi pertama dicari
equivalent annual annuity masing-masing investasi, kemudian seharusnya kita memilih investasi
yang memberikan equivalent annual anuity yang lebih besar. Dengan tingkat bunga sebesar 12%
maka equivalent annual anuity investasi K adalah Rp 4.386.270/NSFBA 12%x3 = Rp 1.066.853
sedangkan equivalent annual anuity investasi L adalah Rp 4.031.751/NSFBA 12%x3 = Rp
1.678.615,-.
Maka present value equivalent annual annuity untuk investasi K adalah Rp 1.066.853/12% = Rp
8.890.441 sedangkan present value equivalent annual anuity investasi L adalah Rp
1.678.615/12% = Rp 13.988.458,-. Dengan demikian sebaiknya kita memilih investasi L karena
memberikan present value equivalent annual annuity yang lebih besar daripada investasi K.
Metode tersebut nampaknya lebih mudah untuk dilaksanakan terutapa jika kita menghadapi
berbagai alternatif investasi yang bersifat mutually exclusive. Metode ini juga dapat digunakan
dalam kasus capital rationing atau keterbatasan modal.
Jadi biaya modal sendiri adalah 13% dan investasi tersebut dibiayai seluruhnya dengan modal
sendiri, maka nilai proyek tersebut adalah sebesar:
NPV = -10.000.000 + 7.400.000 : (1.13)1 + 7.400.000 : (1.13)2
= -10.000.000 + 12.343.958
= Rp 2.343.958,-
Namun jika proyek dibiayai dengan 50% utang dengan bunga 10% maka pembayaran bunga
pertahun sebesar Rp 500.000 sehingga penghematan 40%(500.000) = Rp 200.000, maka present
value penghematan tersebut adalah sebesar 200.000/(1.10)^1 + 200.000/ (1.10)^2 = Rp
347.107,-. Jadi perusahaan menikmati penghematan pajak untuk selamanya atas dasar adjusted
present value nilai investasi tersebut adalah:
APV = 2.343.958 + 348.107 = Rp 2.691.065,-
1 Rp 150.000.000 0,97
2 175.000.000 1,16
3 125.000.000 1,14
4 400.000.000 1,25
5 100.000.000 1,05
6 200.000.000 1,09
7 100.000.000 1,19
8 100.000.000 1,02
Jika dana yang tersedia satu miliar dan setiap usulan investasi itu independen satu sama lain
maka kita pilih investasi yang memberikan profitabilitas yang paling tinggi hingga seluruh dana
dapat digunakan. Dengan demikian kita akan memilih investasi keempat, ketujuh, kedua, ketiga,
dan keenam karena dengan investasi tersebut seluruh dana akan dapat dipergunakan. Kita tidak
perlu harus mengambil keseluruhan meskipun profitability index-nya lebih besar dari satu.
Inflasi dan Capital Budgeting
Secara umum inflasi akan mempengaruhi semua kegiatan ekonomi termasuk di dalamnya
masalah investasi. Dalam kondisi demikian masalah depresiasi menjadi begitu relevan apalagi
disertai adanya pajak pendapatan. Sebagai contoh, misalkan investasi senilai Rp 24.000 selama
empat tahun. Diasumsikan depresiasi yang dipergunakan dengan metode garis lurus, tarif pajak
50%. Pola aliran kasnya sebagai berikus:
Tahun Penghematan Kas Depresiasi Pajak Cash Flow Setelah
Pajak
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Rp 10.000 Rp 6.000 Rp 2.000 Rp 8.000
2 10.000 6.000 2.000 8.000
3 10.000 6.000 2.000 8.000
4 10.000 6.000 2.000 8.000
Depresiasi merupakan pengurangan pendapatan kena pajak, dengan asumsi tidak ada inflasi
maka nominal income juga sama dengan real income seperti pada kolom terakhir. Dengan
demikian internal rate of return investasi tersebut adalah sebesar 12,6%.
Sekarang apabila kita mempertimbangkan inflasi, diasumsikan bahwa tingkat inflasi sebesar
tujuh persen. Dengan demikian penghematan setiap tahun pun juga meningkat sebesar tujuh
persen. Maka aliran kasnya akan menjadi:
Tahun Penghematan Kas Depresiasi Pajak Cash Flow Setelah
Pajak
(1) (2) (3) (4) (5)
1 Rp 10.700 Rp6.000 Rp 2.350 Rp 8.350
2 11.449 6.000 2.725 8.724
3 12.250 6.000 3.125 9.125
4 13.108 6.000 3.554 9.554
Meskipun cash flow – dengan adanya inflasi – itu menjadi lebih besar tetapi aliran kas tersebut
juga hatus dideflasikan dengan tingkat inflasi itu sendiri sebesar tujuh persen. Dengan demikian
maka pada kolom terakhir akan menjadi:
Tahun
1 2 3 4
Aliran Kas Rp 7.804 Rp 7.620 Rp 7.449 Rp 7.289
Riil
Seperti terlihat di atas, maka aliran kas setelah pajak riil akan menjadi lebih kecil daripada tanpa
ada inflasi dan akan semakin menurun dari tahun ke tahun. Penyebabnya adalah bahwa
depresiasi tidak memperhatikan faktor inflasi ini dengan demikian kenaikan penghematan
dengan depresiasi yang tetap mengakibatkan pajak yang harus dibayar juga meningkat.
Sementara tingkat pajak meningkat lebih cepat daripada inflasi itu sendiri. Dengan demikian
internal rate of retur aliran kas riilnya menjadi 9,9% yang berarti lebih rendah dari rate of return
sebelumnya. Akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya inflasi mengakibatkan rate of
return riil menjadi lebih rendah dan mengurangi minat perusahaan untuk melakukan investasi.
Hal ini dapat sedikit diatasi dengan menerapkan metode depresiasi yang dipercepat.