Anda di halaman 1dari 114

STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 1

e s t a s w a r a

Stakeholder
Relations
Relations
MENGELOLA STAKEHOLDER MELALUI KOMUNIKASI STRATEGIS

UNIVERSITAS PANCASILA, 2012

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 2

1
Stakeholder Relations
The concept of organisations with values that extend from physical assets, intellectual property,
process, know-how, knowledge, brand and reputation attributes is understood as being part of the
value of companies. Most organisations have these attributes to a greater or lesser degree but only
those which lever their value through relationships can generate wealth.
— Phillips, 2006

Sebelum bicara banyak mengenai stakeholder relations, terlebih


dahulu ada baiknya kita memahami makna stakeholder itu sendiri.
Kata stakeholder muncul pertama kali pada tahun 1963 dalam
laporan penelitian Stanford Research Institute (Lozano 2008;
Mitchel et al. 1997). Secara umum, penjelasan tentang stakeholder
dalam laporan tersebut sangat berkaitan dengan masalah
bagaimana suatu perusahaan dapat bertahan dan langgeng
(sustain) dalam lingkungan bisnis. Mengapa demikian? Pada
dasarnya, perusahaan tidak dapat mencapai tujuannya sendirian.
Perusahaan juga tidak hidup dan berada dalam ruang hampa sosial!
Maka dari itu perusahaan harus selalu berhubungan dengan
lingkungannya (Estaswara 2010, 2011b).
Di samping lingkungan fisik, lingkungan perusahaan juga meliputi
individu maupun organisasi (kumpulan dari individu)―yang tidak
jarang kepentingannya bertentangan dengan kepentingan
perusahaan. Di samping itu, dalam menjalankan seluruh aktivitas
bisnisnya, perusahaan selalu membutuhkan stakeholder untuk
mencapai tujuannya (profit dan sustainability bisnis). Mengapa
demikian? Karena stakeholder merupakan bagian dari keseluruhan
mata rantai bisnis perusahaan, mulai dari tahap input, proses
sampai output. Di mana setiap tahapan tersebut membutuhkan

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 3

prinsip-prinsip menjalin hubungan yang saling menguntungkan


dalam jangka panjang dengan para stakeholder (Estaswara 2008).
Di sisi lain, seperti dikatakan oleh Phillips (2006) di atas, nilai (value)
yang dimiliki oleh perusahaan atau seberapa besar makna
perusahaan di mata para stakeholder-nya, pada dasarnya dibangun
dari berbagai atribut, seperti aset fisik, intellectual property, proses,
strategi, pengetahuan, merek dan reputasi. Namun, dewasa ini
hanya perusahaan yang mampu membangun nilai melalui
relationship (hubungan) saja yang dapat menciptakan keuntungan.
Apa artinya? Artinya, di era new media hari ini di mana kekuasaan
tidak lagi berada di dalam perusahaan, berbagai atribut tersebut
tidak akan dapat menciptakan nilai (value) bagi perusahan jika
dibangun tanpa ada hubungan yang baik dalam jangka panjang
dengan melibatkan peran signifikan para stakeholder-nya.
Membangun hubungan dengan prinsip co-creation.
Sebegitu pentingnyakah masalah relationship with the stakeholders
dewasa ini sehingga dapat mempengaruhi sukses atau gagalnya
sebuah perusahaan? Baiklah, simpan dahulu keingintahuan Anda,
hal pertama yang perlu kita ketahui adalah apa itu stakeholder?

Definisi Stakeholder
‘Stakeholder’ pada dasarnya berbeda dengan ‘publik’! ‘Stakeholder’
dapat dikatakan juga sebagai ‘publik’, namun ‘publik’ belum tentu
‘stakeholder’ atau tidak semua ‘publik’ adalah ‘stakeholder’,
walaupun kata ‘publik’ seringkali digunakan untuk menggantikan
istilah ‘stakeholder’, namun tidak sebaliknya (Guth & Marsh 2003).
Publik sendiri dapat diartikan sebagai sekelompok orang yang
memiliki kepentingan atau nilai-nilai yang sama dalam situasi
tertentu. Ketika suatu publik berhubungan dengan sebuah
perusahaan, maka publik tersebut barulah dapat dikatakan sebagai

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 4

suatu stakeholder.Artinya, publik tersebut memiliki kepentingan


(stake) dengan sebuah perusahaan atau dalam sebuah isu yang
melibatkan perusahaan. Hal ini seperti dikatakan oleh Guth & Marsh
(2003:7) sebagai berikut:
“Public: any group of people who share common interests or values in
a particular situation—especially interests or values they might be
willing act upon. When a public has a relationship with your
organization, the public is called a stakeholder, meaning that it has a
stake in your organization or in an issue potentially involveving your
organization.”
(Publik: sekelompok orang yang memiliki kepentingan atau nilai-nilai
bersama dalam sebuah situasi tertentu—terutama kepentingan atau
nilai-nilai yang menjadi dasar bertindak. Ketika suatu publik memiliki
hubungan dengan organisasi Anda, maka publik tersebut disebut
sebagai stakeholder, yang artinya publik tersebut memiliki
kepentingan dengan organisasi Anda atau terkait dengan masalah
yang berpotensi melibatkan organisasi Anda)

Sebagai contoh, partai politik, HDCI (Harley Davidson Club


Indonesia), Organisasi mahasiswa, sampai perkumpulan petani,
semua kelompok tersebut dapat dikatakan sebagai publik. Di
Indonesia sendiri, seperti juga di AS (Guth & Marsh 2003),
menghitung jumlah publik seperti menghitung bintang di langit,
atau sebagai suatu pekerjaan yang mustahil dilakukan, mengingat
banyaknya kelompok yang dapat didefinisikan sebagai publik.
Lalu, apa itu stakeholder? Stakeholder merupakan sebuah frasa yang
terbentuk dari dua buah kata, yaitu ‘stake’ dan ‘holder’. Secara
umum, kata ‘stake’dapat diterjemahkan sebagai ‘kepentingan’,
sedangkan kata ‘holder’dapat diartikan dengan ‘pemegang’. Jadi,
seperti telah diungkapkan di atas, stakeholder artinya adalah
pemegang kepentingan—dalam bahasa Indonesia sering kali
diterjemahkan dengan “pemangku kepentingan”. Berdasarkan
penjabaran tersebut, secara garis besar, stakeholder dapat

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 5

didefinisikan sebagai berikut (Estaswara 2010, 2011b):


“Individu atau organisasi―baik profit maupun non-profit―yang
memiliki kepentingan dengan perusahaan sehingga dapat
mempengaruhi atau dipengaruhi oleh pencapaian tujuan
perusahaan.”

Definisi stakeholder di atas memiliki pengertian yang secara umum


sebenarnya selaras dengan pemahaman tentang stakeholder yang
diajukan oleh Freeman (1984:25)—yang sampai saat ini banyak
dikutip oleh para akademisi (Morsing & Schultz 2006)—sebagai
berikut:
“Any group or individual who can affect or is affected by the
achievement of the firm’s objectives.”
(Semua kelompok atau individual yang dapat mempengaruhi atau
dipengaruhi oleh pencapaian tujuan perusahaan).

Pentingnya Stakeholder Relations


Didirikannya suatu perusahaan pasti memiliki tujuan, yang
umumnya tercermin dari visi dan misi korporat. Dalam mencapai
tujuannya tersebut, setiap perusahaan harus menjalin kerjasama
yang saling menguntungkan (profitable) dalam jangka panjang
dengan pihak-pihak lain sehingga kinerja mata rantai bisnisnya tetap
tinggi dan jaringannya tetap terjaga dengan baik.
Faktanya, tidak ada satu pun perusahaan di dunia ini yang dapat
hidup dalam ruang hampa sosial! Tidak ada perusahaan yang dapat
mencapai tujuan bisnisnya tanpa harus berhubungan dengan pihak-
pihak lain, seperti karyawan, pelanggan, pemasok, pemerintah,
media sampai komunitas (Estaswara 2011b). Sebagai contoh,
sebuah perusahaan yang memproduksi sepeda motor seperti PT
Honda Astra Motor (HAM), pasti membutuhkan para dealer untuk
menjual sepeda motornya, di sisi lain juga membutuhkan pemasok

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 6

atau supplier untuk memenuhi kebutuhan bahan baku. Di samping


itu, PT HAM juga harus berhubungan dengan para pelanggannya
―orang-orang atau organisasi yang membeli sepeda motor produksi
PT HAM.
Pentingnya hubungan dengan pihak-pihak lain ini tidak hanya untuk
perusahaan yang memproduksi barang seperti PT HAM, perusahaan
bergerak di bidang jasa pun juga membutuhkan para stakeholder
dalam mencapai tujuannya. Sebagai contoh, perusahaan
penerbangan seperti PT Garuda Indonesia (GI) juga harus memiliki
hubungan yang baik dengan para pilotnya. Bagaimana jika tidak?
Simak contoh kasus berikut.

KASUS 1.1

Hilang Kepercayaan, 200 Pilot Garuda akan Undur Diri

Bola salju sedang menggelinding dalam manajemen PT Garuda


Indonesia (PT GI). Tanpa ada ancaman, 200 pilot akan
mengundurkan diri pada tahun 2006 karena memudarnya rasa
kepercayaan. Hal ini diungkapkan oleh Presiden Asosiasi Pilot
Garuda (APG), Stephanus, ketika ditemui wartawan di Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat (PN Pusat), Jl. Gajah Mada 17, Jakarta, Senin
(16/1/2006).
Stephanus mengatakan pemicu dari meningkatnya angka
pengunduran diri ini karena pihak manajemen Garuda tidak
segera mencabut Surat Keputusan dengan nomor
DI/SKEP/5190/05 dan segera memberlakukan Perjanjian Khusus
Penerbang (PKP). “Banyaknya penerbang yang mengundurkan diri
harus diperhatikan. Harus cari tahu mengapa mengundurkan diri.
Sebuah perusahaan airline tanpa penerbang akan seperti apa.”
tandasnya.
Menurut Stephanus, jumlah pilot yang mengundurkan diri bisa
saja mencapai angka 200 untuk tahun 2006. Sedangkan
sebelumnya, tahun 2005 sudah 120 pilot yang mengundurkan diri,

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 7

660 pilot pada tahun 2004 dan 539 orang di tahun 2003. Sementara
perekrutan baru dilakukan hanya terhadap 60 sampai 80 pilot.
“Sekarang suasana kerja tidak enak. Banyak yang kehilangan
kepercayaan pada perusahaan. Jadi wajar saja kalau banyak yang
ancang-ancang mau keluar,” tuturnya.
Rencananya, pihak PN Pusat akan memediasi pertemuan antara
APG dengan manajemen PT GI dan Serikat Karyawan Garuda
Indonesia (Sekarga). Pada 19 Januari 2006, pihak tergugat maupun
penggugat akan saling bertemu dan masing-masing mengajukan
proposal berisi poin-poin yang diajukan dan ditawarkan. “Kita
tetap minta SK dicabut dan PKP diberlakukan. Kalau mereka mau
penuhi, masalah selesai, kalau tidak ya akan lanjut ke pengadilan,”
tegas Stephanus.
Sumber: Detikcom, 16/01/2006

Mengapa suatu perusahaan yang sudah mapan seperti GI tetap


harus menjalin hubungan baik dengan para pilotnya? Contoh kasus
di atas menunjukkan kurang harmonisnya hubungan antara
manajemen dengan para pilotnya. Akibatnya, para pilot GI
kehilangan kepercayaan terhadap manajemen. Kalo pilotnya sudah
gak percaya sama manajemen dan ngambek, trus siapa yang
menerbangkan pesawat? Hal-hal seperti ini bisa terjadi karena tidak
adanya saling pengertian (miss understanding) antara pihak
manajemen—yang diwakili oleh PRO: Public Relations Officer—
dengan para pilotnya.
Salah pengertian bisa disebabkan oleh banyak hal, seperti
kurangnya informasi dari pihak manajemen atau bahkan kesalahan
pemaknaan atas informasi tersebut dari karyawan, yang akhirnya
hanya akan menciptakan perbedaan pemahaman di kedua belah
pihak. Ujung-ujungnya, upaya pencapaian tujuan perusahaan
menjadi terganggu! Simaklah contoh kasus berikut ini yang
memperlihatkan perbedaan pemahaman antara perusahaan dengan
karyawannya.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 8

KASUS 1.2

Tuntutan Pilot Garuda Ditolak Pengadilan

Direktur Operasi PT Garuda Indonesia, Ari Sapari, menilai wajar


alasan kepindahan pilot Garuda ke maskapai lain karena
menginginkan pendapatan yang lebih tinggi. Sebab saat ini Garuda
mengalami keterbatasan finansial. Hal itu diungkapkannya terkait
pernyataan Presiden Asosiasi Pilot Garuda, Captain Stephanus
G.S., usai mengikuti sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,
hari ini. “Pilot sudah tidak nyaman bekerja di Garuda,” kata
Stephanus.
Dalam sidang itu, pengadilan menolak tuntutan pilot terhadap
penerbitan Surat Keputusan Nomor DI/SKEP/5190/05 tentang
pengurangan fasilitas kesehatan dan konsesi terbang bagi pegawai
yang telah putus hubungan kerja dengan Garuda. Atas keputusan
ini, pilot merasa tidak nyaman bekerja di Garuda.
Sementara di luar banyak maskapai yang menawarkan
kesejahteraan yang lebih baik. Ari mengakui, banyak maskapai
yang berani membajak pilot Garuda dengan gaji tinggi karena
mereka tidak perlu lagi memberikan pelatihan. Namun Ari
menilai, tudingan soal kesejahteraan itu sangat tidak mendasar.
Semua fasilitas pilot termasuk kesehatan sangat diperhatikan. Tapi
bagi pilot yang sudah berhenti tentu sangat wajar bila fasilitas dan
tunjangan kesehatannya dicabut.
Sumber: Tempo Interaktif, 25/10/2006

Pekerja yang dimiliki perusahaan tidak hanya pilot! Pilot hanyalah


karyawan untuk perusahaan yang bergerak di bidang jasa
transportasi udara. Banyak perusahaan besar, seperti perusahaan
manufaktur (pabrikan), yang memiliki jumlah karyawan bisa
mencapai ribuan sampai puluhan ribu, atau sering kita kenal dengan
sebutan buruh pabrik.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 9

Hubungan yang tidak baik antara manajemen dengan buruh bisa


berakibat fatal, yaitu kerugian material yang besar bagi perusahaan.
Kerugian material ini pada akhirnya sangat berdampak terhadap
kalkulasi keuntungan perusahaan (finansial). Pernahkah Anda
membaca berita tentang demonstrasi buruh? Pertanyaannya
kemudian, mengapa kok buruh bisa sampai melakukan
demonstrasi?

KASUS 1.3

HM Sampoerna Belum Hitung Kerugian Demo Buruh

Aksi demo buruh PT HM Sampoerna Tbk (HMSP) yang sudah


berlangsung empat hari berturut-turut membuat produksi rokok
lintingan perseroan terganggu. Perseroan masih mengkalkulasi
kerugian akibat terhentinya produksi di dua pabrik. “Kerugian
masih belum bisa kita hitung, karena ini masih berjalan ya sampai
hari ini,” kata Direktur Communication PT HMSP Tbk, Niken
Rachmad ketika dihubungi detikFinance, Kamis (26/6/2008).
Niken menjelaskan, dari 41 fasilitas produksi untuk sigaret kretek
tangan (SKT) hanya 2 pabrik fasilitas yang mogok. “Kira-kira yang
mogok 2 itu jumlahnya sekitar 12 ribu karyawan. Dari 12 ribu itu
yang tugasnya melinting rokok mungkin sekitar 6.000-7.000
karyawan,” ujarnya. Menurut Niken, satu karyawan di bagian SKT
memproduksi sekitar 2.500 batang per hari. “Jadi kalau mogoknya
sudah 4 hari bisa dihitung berapa batang yang terhambat,”
katanya. Dari hitungan tersebut selama empat hari mogok sekitar
60-70 juta batang rokok SKT gagal diproduksi. Untuk
meminimalkan kekurangan produksi itu, HMSP akan mengalihkan
produksi dari 2 fasilitas SKT itu ke fasilitas SKT yang lain. “Kita
juga harapkan demo ini cepat selesai,” ujarnya.
Pada Kamis pagi ini, lebih dari 7 ribu buruh HMSP kembali
berunjuk rasa di depan kantor pusat Jalan Rungkut Industri,
Surabaya, Kamis (26/6/2008). Selain tidak puas hasil perundingan
Rabu kemarin, para buruh juga mengajak sebagian rekannya yang

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 10

bekerja dan memproduksi rokok di 9 gudang yang tersedia untuk


mogok. Tapi ajakan para buruh untuk berunjuk rasa dihalang-
halangi oleh petugas gabungan kepolisian dari Polres Surabaya
Timur, Polsek Tenggilis dan Polwiltabes Surabaya.
Dari pantauan detiksurabaya.com, para buruh yang ingin
menjebol pintu disiram air mobil PMK milik Sampoerna. Namun
halauan itu tak menyurutkan para buruh mengajak temannya
untuk berunjuk rasa. “Perusahaan telah membohongi para
karyawan. Dari 30 perwakilan buruh yang ikut berunding kemarin,
27 buruh diisolasi karena tidak mau tanda tangan untuk bekerja.
Dan tiga perwakilan yang bertemu dengan buruh kemarin adalah
yang mau tanda tangan untuk bekerja kembali,” kata salah satu
buruh PT HM Sampoerna yang enggan menyebut nama saat T-
Shirt-nya basah kuyup usai disiram air oleh petugas kepada
detiksurabaya.com saat di lokasi.
Para buruh mengaku, tidak akan menyetujui keputusan
manajemen perusahaan yang akan menyurati Putera Sampoerna.
Pasalnya hal itu dianggap sebagai permainan. “Kami tidak akan
percaya dengan surat atau email. Pasti itu semua hanya
permainan. Kita hanya ingin Pak Putera didatangkan ke sini,”
teriak para buruh.
Dari pantauan, arus lalu lintas menuju ke arah Jalan Kendangsari
maupun ke Jalan Raya Rungkut masih ditutup total. Bagi
pengguna jalan yang menuju ke arah Rungkut dialihkan ke Jalan
Rungkut Industri I. Sedangkan kendaraan yang menuju ke Jalan
Kendangsari dialihkan ke Jalan Rungkut Industri III.
Diberitakan sebelumnya, para buruh PT HM Sampoerna menuntut
segera mencairkan uang jasa sebesar Rp 25 juta kepada karyawan
setelah perusahaan menjadi milik Philips Morris International.
Elvira Lianita, Manager Communications PT HM Sampoerna Tbk
menegaskan, janji pemilik lama perusahaan untuk memberikan
dana sebesar Rp 25 juta dari akusisi PT HM Sampoerna Tbk. oleh
Philip Morris Internasional hanyalah rumor belaka.
Sumber: detikFinance, 26/06/2008

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 11

Contoh kasus di atas menunjukkan bahwa perusahaan tidak mampu


memahami berbagai keluhan karyawan. Di samping itu, informasi
dari pihak manajemen juga tidak dipahami oleh karyawan. Artinya,
komunikasi yang terjadi antara manajemen dan karyawan tidak
berjalan secara efektif! Dampaknya, karyawan berunjuk rasa
menuntut agar kepentingannya dipenuhi. Tak jarang, perselisihan
internal seperti ini harus berakhir di meja hijau dan bahkan diliput
secara luas oleh media massa.
Kasus di atas juga merupakan contoh gagalnya perusahaan dalam
mengenali kebutuhan dan tuntutan para karyawannya. Contoh
kegagalan perusahaan dalam berkomunikasi! Demonstrasi buruh
bagaimanapun juga hanya akan merugikan perusahaan dalam
mencapai tujuannya (baca: profit). Satu hari saja pabrik tidak
beroperasi, bisa menelan kerugian sampai puluhan miliar rupiah!
Akibatnya, keuntungan perusahaan dan kepentingan para
pemegang saham pun menjadi taruhan! Akhirnya, proses
pembangunan brand relationship antara perusahaan dengan para
pelanggan setianya pun menjadi terganggu! Terlepas dari kasus GI
dan HMSP di atas, perusahaan juga harus menjalin hubungan baik
dengan pemerintah (regulator) terkait dengan masalah-masalah
seputar regulasi. Namun yang tak kalah pentingnya dan menjadi hot
topic dewasa ini, perusahaan harus dapat menjalin hubungan baik
dalam jangka panjang dengan para pelanggannya.

“Tak jarang, perselisihan internal seperti


ini harus berakhir di meja hijau dan diliput
secara luas oleh media massa”

Akibatnya, keuntungan perusahaan dan kepentingan para


pemegang saham pun menjadi taruhan! Akhirnya, proses

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 12

pembangunan brand relationship antara perusahaan dengan para


pelanggan setianya pun menjadi terganggu! Terlepas dari kasus GI
dan HMSP di atas, perusahaan juga harus menjalin hubungan baik
dengan pemerintah (regulator) terkait dengan masalah-masalah
seputar regulasi. Namun yang tak kalah pentingnya dan menjadi hot
topic dewasa ini, perusahaan harus dapat menjalin hubungan baik
dalam jangka panjang dengan para pelanggannya.
Mengapa perusahaan harus menjalin hubungan baik dengan para
pelanggannya? Karena tanpa adanya hubungan baik dengan para
pelanggan, bagaimana sebuah perusahaan—baik yang menjual jasa
maupun barang—mampu menciptakan loyalitas di era informasi
yang super kompetitif dewasa ini? Mampu membangun brand
relationship sepanjang waktu? Ingat, bahwa prinsip utama yang
dipegang teguh oleh banyak perusahaan saat ini adalah “konsumen
adalah raja”!
Jika hubungan dengan para stakeholder tidak terjalin secara baik,
apa akibatnya? Perusahaan akan kehilangan para pemasok
strategisnya. Perusahaan juga akan ditinggalkan oleh para dealer
potensialnya. Tidak hanya itu, perusahaan juga bisa kehilangan
karyawan produktifnya. Mereka semua pindah ke kompetitor!
Mereka semua pindah ke perusahaan lain! Karena, siapa pun juga
akan berpikir, lebih baik menjalin hubungan bisnis dengan
perusahaan yang tahu cara memperlakukan stakeholder-nya. Tahu
cara menyejahterakan karyawannya! Simak cerita ‘humor’ berikut
ini:

KASUS 1.4

Dialog Karyawan yang Mau Resign dengan Atasannya

Ketidakpuasan di tempat kerja adalah hal yang lazim di dunia kerja.


Hal itu bisa disebabkan gaji yang minim, bos yang galak, “penindasan”

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 13

perusahaan, dan lain sebagainya. Pekerja Indonesia saat ini


tampaknya kurang memiliki bargaining (posisi tawar) yang lebih baik
ketimbang perusahaan. Apalagi, persaingan mencari kerja semakin
tinggi. Belum lagi makin maraknya kebijakan outsourcing di
perusahaan dan kebutuhan hidup yang makin tinggi. Semua itu
tampaknya semakin memperlemah posisi tawar para pekerja.
Dalam situasi seperti itu, ungkapan kekecewaan, kekhawatiran, atau
ketidakberdayaan bisa saja disalurkan lewat berbagai cara. Cerita ini
saya dapatkan dari seorang teman, yang (kayak-nya) mau keluar dari
kantor (resign), tapi belum cukup berani untuk melakukannya
(dengan berbagai pertimbangan tentunya) sehingga menyebarkan
cerita ini lewat e-mail Internal. Berikut ceritanya…
Alkisah ada seorang engineer bernama Prayitno, S.T., yang bekerja di
pabrik manufaktur elektronik Jepang. Ini orang baru aja lolos tes
perusahaan BUMN yang mengelola gas alam (jelas gede duit-nya) dan
mau resign, berikut ini perdebatannya dengan manajernya (kita
singkat aja ya, manajer = M dan prayitno = P)
M :“Edan kowe yo Prayitno! Lagi S-2 dah mau resign, di mana
morality kamu?”
P :“Morality saya ikut berlari bersama morality perusahaan, yang
nyuruh karyawannya lembur melebihi aturan pemerintah ampe
sakit, tapi tunjangan kesehatan gak full.”
M :“Sebenernya mau kamu apa? Di mana-mana kerja itu sama.
Saya udah menjalani dua company sebelum ini.”
P :“Karena kerja dimana-mana itu sama, makanya saya gak ragu
resign pak, wong sama aja kok, cuma rewardnya yang beda tho…
Ya saya pilih yang rewardnya lebih.”
M :“Yang bener itu kerja bener dulu baru naik gaji, bukan gaji naik
dulu baru kerja bener.”
P :“Kerjanya sama-sama bener, tapi yang satu ngasih gaji lebih
tinggi… Ya saya pilih yang lebih tho pak!”
M :“Kenapa kamu gak mencoba profesional di sini aja, kalo
alasannya reward, kan nanti karir serta salary kamu juga bakal
naik kalo kamu bertahan.”
P :“Kenapa saya harus nunggu, kalo ada company yang nawarin
itu sekarang?”

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 14

M :“Tapi sayang sekali, saya pandang kamu yang paling berpotensi


di antara yang lain.”
P :“Bapak udah ngomong gitu ke semua engineer yang resign
sebelum saya.”
M :“Tidak, ini serius, kamu memiliki potensi besar, di sini kamu bisa
sukses! daripada kamu memulai lagi dari bawah di company lain
yang belum ketauan ntar di sana kamu bakal sukses ato gak.“
P :“Di sini juga sama aja. Saya belum tau bakal sukses apa gak,
wong namanya masa depan kok. Sama-sama gak ketauan, tapi
yang satu awalannya lebih baik, ya pilih yg lebih baik donk!”
M :“Maksud kamu lebih baik itu apa? Money? Uang itu bukan
segala-galanya.”
P :“Kalo emang begitu, ngapain company costdown gaji saya. Apa
artinya uang segitu untuk mempertahankan eksistensi engineer.”
M :“Kita kan tidak hanya mengejar uang. Kalo orientasi kamu
hanya uang, kamu hanya mengejar ‘live‘. No difference with
kambing, Bekerja hanya untuk bertahan hidup. Kamu itu
engineer! Harus berorientasi pada yang lebih mulia, bekerja
untuk berkarya, untuk mengembangkan diri.”
P :“Saya pengennya seperti itu, makanya saya resign. Gimana saya
mau lepas dari orientasi ‘live‘ kalo tiap bulan saya harus pusing
mikir bayaran kos, pulsa, makan, ngirim ortu, nabung buat
merit. Nah sekarang ada company yang nawarin itu, salary yang
membuat saya tenang, tak berpikir lagi tentang “live existency“.
So, boleh dunk saya ambil untuk menaikkan derajat pekerjaan
saya.”
M :“Prayitno… Kalo kamu ngejar yang lebih baik, gak akan abis-
abis. Selalu ada yang lebih baik. Saya sudah mengalaminya di
dua company terdahulu.”
P :“Emang gak bakal abis pak… Karena itu, ngapain saya abisin di
sini? Mending saya terus- terusan dapet yang lebih baik ampe
brenti karena cape. Lagian Bapak juga nyatanya bisa brenti
khan?”
M :“Inilah yang membuat bangsa kita gak maju-maju. Oportunis.
orang Jepang maju karena loyal.”
P :“Loyalitas tu kata-kata pembenaran buat ngegaji orang di

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 15

bawah level pendidikannya pak. Betul Jepang itu maju. Tapi


lihatlah, terjadi ketimpangan karir antara lelaki dan wanita.
Karena lelakinya gila kerja semua, mereka jarang menemui
anaknya. Akibatnya istri-istri mereka harus mengimbanginya,
ngalah keluar dari kerja buat nambal waktu bapak yang hilang
untuk anak-anaknya karena bokapnya lebih cinta kerja daripada
mereka. Tanya deh cewek Jepang, lelaki jepang tu paling gak
romantis. Cewe bawa tas berat aja dicuekin.”
M :“Tapi dimana responsibility kamu?”
P :“Responsibility tu apa pak? Perasaan dulu saya pernah punya,
pas awal-awal masuk di sini, tapi kata-kata itulah yang dijadikan
pembenaran untuk menindas saya. Atas nama responsibility,
saya mengorbankan kesehatan untuk ketepatan schedule
launching produk yang jelas-jelas merupakan percepatan uang
masuk ke kantong pemilik saham. Betul, manusia harus punya
responsibility. Apa responsibility paling utama? Keluarga. Anak
dan istri adalah amanah dari Yang Diatas.”
M :“Kamu kurang bersyukur, masih banyak orang yang susah dapet
kerjaan.”
P :“Saya dah diterima Pak, itu rejeki dari Yang Diatas. Kalo gak
saya ambil, itu yang namanya gak bersyukur. Yang Diatas itu
tau kebutuhan kita. Makanya Dia memberi saya kerjaan baru,
mungkin karena kebutuhan saya meningkat. Selain itu, Yang
Diatas juga memberi pekerjaan pada satu orang pengangguran
yang akan menggantikan posisi saya di sini setelah resign.”
M :“Edan kowe Prayitnooooo! kalo gitu aku ikut kamu resign.”
P : “Ngga bisa pak… Kowe wis tuwo. Cuma bisa nunggu pensiun.”
Begitulah akhir dialog kedua tokoh tersebut. Teman saya membuat
catatan bahwa dialog di atas dipaparkan dengan alasan biar bisa adu
argumen sama atasan atau bagian PSDM/HR waktu mau resign atau
biar bisa kasih argumen lain kalo ada karyawan yang mo resign. Selain
itu, mohon maaf bagi yang namanya Prayitno.
Anda berminat untuk resign?
Sumber: hiburan.kompasiana.com, 09/11/2010

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 16

Persoalan akan menjadi semakin gawat, jika perusahaan tidak


hanya ditinggalkan oleh karyawan potensialnya, tapi perusahaan
juga ditinggalkan oleh para pelanggan setianya. Lalu, siapa yang
akan membeli produk perusahaan?

KASUS 1.5

Nokia Terancam Ditinggalkan Konsumen

Ponsel Nokia bisa terancam ditinggalkan oleh konsumen. Produsen


atau distributornya Nokia disinyalir tetap menjual barang cacat ke
pasaran.
Sekertaris Yayasan Lembaga Konsumen (YLK) Sulawesi Selatan Yudhi
Raharjo di Makassar, Sabtu (7/11) mengaku beredarnya ponsel Nokia
yang gagal cukup banyak dikeluhkan oleh konsumen di daerah
itu.”Biasanya konsumen membeli produk tetapi cacat produk.
Seharusnya pihak produsen mengembalikan barang yang nilainya
sepadan, tetapi kenyataannya tidak seperti itu,” ungkapnya.
Dia khawatir, kepercayaan masyarakat akan semakin menurun
terhadap produksi ponsel ternama itu, jika pihak produsen atau
penyalur tetap memaksakan barang gagal produk mereka beredar luas
di pasaran. “Seharusnya mereka menguji dulu produk mereka
sebelum melempar ke pasar. Tetapi kelihatanya pihak produsen tetap
saja memaksakan produk-produk cacat itu beredar di sini,” katanya.
Apalagi, lanjutnya edukasi produk ke konsumen sejauh ini belum
dilakukan secara optimal, sementara pengguna ponsel yang
menggunakan merek tersebut diakui cukup besar. Masyarakat yang
merasa dirugikan banyak yang meminta kepada kami untuk
menuntut pihak produsen mengembalikan barang cacat produk yang
telah mereka beli, katanya.
Dia mengaku, tuntutan masyarakat terhadap produsen sudah cukup
berdasar, jika mengacu pada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999
Tentang Perlindungan Konsumen. Konsumen berhak mendapatkan
kompensasi atau ganti rugi apabila barang atau jasa yang diterima
tidak sesuai dengan perjanjian. “Aturan perlindungan konsumen

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 17

sudah cukup jelas mengatur hal-hal tersebut,” tegasnya.


YLK mendesak, pihak distributor maupun para agen dan produsen
sebaiknya bertanggung jawab terhadap beragam produk yang dinilai
melanggar aturan perlindungan konsumen. Sebab, pelaku usaha yang
melanggar ketentuan itu terancam pidana penjara paling lama lima
tahun atau denda sebanyak Rp 2 miliar.
Sumber: Inilah.com, 07/11/2009

Berdasarkan berbagai uraian di atas, jelaslah bahwa membangun


hubungan yang baik dan saling menguntungkan dengan para
stakeholder penting artinya bagi perusahaan. Bahkan perannya
sangat strategis, karena dapat mempengaruhi proses pencapain
tujuan perusahaan, profit jangka panjang! Tidak hanya itu, juga akan
mempengaruhi kinerja perusahaan! Sustainablility bisnis
perusahaan! Akan mempengaruhi modal shareholder yang telah
diinvestasikan!
Lalu, bagaimana caranya membangun hubungan baik dengan para
stakeholder? Setiap stakeholder yang berhubungan dengan
perusahaan memiliki karakteristik dan kepentingan yang berbeda-
beda. Artinya, tak ada resep tunggal dalam membangun profitable
brand relationship dalam jangka panjang dengan para stakeholder-
nya. Setiap stakeholder harus diperlakukan secara berbeda dan
khusus! Mereka harus didekati secara personal!

Public Relations
Tugas ini menjadi tanggungjawab public relations. Lha? Mengapa
public relations harus bertanggungjawab terhadap hubungan baik
yang saling menguntungkan dalam jangka panjang dengan para
stakeholder perusahaan? Marilah kita simak definisi public relations
berikut ini. Menurut Cutlip, Center dan Broom (1994:6), public

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 18

relations diartikan sebagai berikut:


“The management function that establishes and maintains mutually
beneficial relationships between an organisation and the publics on whom
its success or failure depends”
(Fungsi manajemen yang membangun dan mempertahankan hubungan
yang baik dan bermanfaat antara organisasi dengan publik-publik yang
mempengaruhi kesuksesan atau kegagalan organisasi).

Berdasarkan definisi di atas, jelas sekali dinyatakan bahwa public


relations memiliki tugas untuk menjaga dan memelihara hubungan
baik dengan semua publik perusahaan. Mengingat bahwa kata
‘publik’ sering diartikan juga sebagai ‘stakeholder’, maka public
relations sangat terkait dengan stakeholder relations.

Sebagaian dari tulisan ini pernah diterbitkan di Journal of Modern Accounting & Auditing, Vol.
7(8):878-890, Agustus 2011, dengan judul: “Corporate Cyber-Crisis: A case Study of Omni International
Hospital in Indonesia.”

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 19

2
Stakeholder Relations Model
Those of you who read presentations of stakeholder issues will have been struck how
the same diagram in various guises is always appearing. The company sits in the
middle, with all the stakeholders around it….
—Lozano, 2008

Membangun hubungan baik dengan semua stakeholder perusahaan


membutuhkan pendekatan komunikasi yang bersifat dua arah, two-
way communications. Dyadic-simetric communication! Tidak ada
dominasi, jika perusahaan ingin benar-benar membangun profitable
relationship dengan para stakeholder-nya! (Estaswara 2011).
Mengapa demikian? Dalam era globalisasi yang ditandai juga
dengan pesatnya perkembangan teknologi, baik teknologi industri
maupun komunikasi, serta beragamnya kepentingan para
stakeholder, belum lagi ditambah dengan kepentingan dari
perusahaan itu sendiri, pertanyaannya kemudian, bagaimana cara
membangun hubungan baik dengan stakeholder dalam dunia yang
super kompleks hari ini? Di era new media saat ini?
Bukan suatu retorika jika saya mengatakan bahwa saat ini,
kekuasaan tidak lagi berada di jantung perusahaan. Dalam konteks
model komunikasi tradisional, kekuasaan telah bergeser ke arah
receiver. Namun, di era digital society dewasa ini, kita tidak lagi
mengenal konsep sender dan receiver, semua pihak adalah sender!
Ini prinsip dasar dalam komunikasi dua arah yang bersifat simetris.
Dyadic-simetric communication!

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 20

Prinsip dasar komunikasi ini telah mempengaruhi bagaimana


hubungan dengan para stakeholder harus dijalankan oleh
perusahaan. Di era mass communication, prinsip hubungan
dilakukan dengan pola komunikasi satu arah. Ini disebut model
tradisional atau model corporate-centric. Sedangkan di era new
media, two-way communication seharusnya menjadi model
hubungan antara stakeholders dengan perusahaan. Model ini
dikenal dengan nama system-centric. Apakah perusahaan Anda
telah melakukannya?

Model Corporate-Centric
Model hubungan dengan para stakeholder yang berkembang saat
ini, umumnya masih berbasis pada pemahaman bahwa perusahaan
adalah pusat dari semua stakeholder atau model corporate-centric
(Lozano 2008). Sampai hari ini, paradigma ini ternyata masih
dipegang teguh dan dipraktikkan oleh banyak perusahaan besar di
dunia―termasuk juga perusahaan-perusahaan di Indonesia. Model
ini saya katakan sebagai model stakeholder relations tradisional.
Model yang masih Inside-out focus!
Inside-out merupakan bentuk apriori perusahaan dalam mencapai
tujuannya. Perusahaan dengan semua kepentingannya telah
mendefinisikan dan menentukan bagaimana hubungan dengan para
stakeholder harus dibangun. Prinsipnya, hubungan dengan
stakeholder harus “menyesuaikan” dengan kebijakan perusahaan, di
mana hubungan tersebut dikelola dan diatur guna mencapai tujuan
perusahaan yang telah ditetapkan.
Model ini menyiratkan adanya sedikit perhatian terhadap
pembangunan kualitas hubungan dalam jangka panjang yang saling
menguntungkan melalui kedudukan yang setara dengan para
stakeholder-nya.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 21

Corporate-Centric Model of Stakeholder Relations


Sumber: Estaswara (2010, 2011a, 2011b).

Strategi hubungan yang dibangun pun relatif sederhana atau dapat


juga saya katakan dengan “speak with one voice”. The voice of the
company’s interest! Satu strategi dan satu kepentingan (tentunya
kepentingan perusahaan) menjadi dasar dalam menjalin hubungan
dengan semua stakeholder (Estaswara 2011a, 2011b). Jika sebuah
perusahaan masih menganut model stakeholder relations yang
bersifat tradisional ini, dapat dikatakan bahwa pembangunan
hubungan yang baik dengan para stakeholder― tidak masalah
sejauhmana tingkat efektifitasnya―akan selalu ditentukan oleh
dominasi dan “pengawasan” perusahaan. Artinya, hubungan
tersebut dibangun secara sepihak.

“Tidak heran, jika perusahaan tetap


memegang teguh model corporate-
centric ini, mereka akan selalu
mengalami masalah hubungan dengan
para stakeholder-nya”

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 22

Model ini mengasumsikan bahwa perusahaan menjadi sentral dari


semua stakeholder dan pemikiran seperti ini dipercaya sebagai
sesuatu yang sudah demikian adanya, sehingga tidak perlu untuk
dipertanyakan lagi! Sesuatu yang telah dianggap alamiah atau sudah
menjadi takdir!

KASUS 2.1

Stakeholder dalam Sebuah Bisnis

”Bisnis Itu Seperti Air yang Selalu Mengalir dengan Caranya


Sendiri, Tanpa Perduli pada Apapun, dan Terus Mengalir
Menerobos Setiap Hambatan Untuk Mencapai Hasrat dan
Kepentingan dari yang Lebih Kuat dan Lebih Cerdik.”
—Djajendra

Dunia bisnis adalah dunia komitmen, di mana para stakeholder yang


terkait dalam sebuah bisnis wajib untuk saling terikat secara moral
dan etika, serta memelihara komitmen untuk tidak melalaikan dan
merugikan stakeholder yang lain. Setiap stakeholders wajib menjaga
kehormatan melalui integritas demi kepentingan para stakeholder
yang lain. Sebab, bisnis hidup dari hubungan saling percaya dan saling
mendukung. Hubungan bisnis yang tidak beretika biasanya cenderung
merugikan para stakeholder yang posisi tawarnya lemah di bisnis
tersebut. Hal ini disebabkan, para profesional yang mengelola bisnis
tersebut tidak memiliki integritas dan niat baik pada stakeholder
secara keseluruhan.
Pada dasarnya setiap stakeholder memiliki kebutuhan yang berbeda,
kecuali dalam hal pelayanan, di mana semua stakeholders memiliki
kebutuhan yang sama, yaitu mengharapkan mereka dilayani secara
jujur, terbuka, penuh tanggungjawab, wajar, berkualitas, dan adil.
Para pengelola bisnis seharusnya bersikap profesional untuk
memberikan yang terbaik buat kepentingan para stakeholder.
Seorang pendiri bisnis pasti bermaksud untuk mendapatkan

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 23

keuntungan semaksimal mungkin buat dirinya. Keuntungan yang


maksimal ini sangat tergantung dari loyalitas stakeholder kepada
perusahaan. Khususnya, pelanggan, pemasok, dan karyawan.
Keberadaan stakeholder merupakan bagian dari mata rantai bisnis
yang hadir dengan beragam misi, target, dan kepentingan. Dan
untuk melayani semua kepentingan yang berbeda tersebut, para
pengelola bisnis wajib menjalankan praktik bisnis berdasarkan etika
bisnis yang berintegritas. Dalam dunia bisnis hubungan antara para
pengelola bisnis dengan pemegang saham adalah hubungan pegawai
dan majikan, sedangkan hubungan antara pengelola bisnis dengan
stakeholder adalah hubungan etika dan moral untuk tidak
merugikan kepentingan masing-masing dalam bisnis.
Persoalan muncul pada saat pengelola bisnis memprioritaskan
keinginan dan tujuan dari para pemegang saham mayoritas.
Mengingat kekuatan pemegang saham mayoritas sangat kuat
untuk memberi perintah pada manajemen secara langsung,
sedangkan stakeholder di luar shareholder adalah kepentingan
yang tidak dapat langsung memiliki pengaruh pada manajemen.
Hubungan harmonis antara stakeholder adalah sebuah obsesi yang
wajib diwujudkan oleh para pengelola bisnis, dan harus menjadi
komitmen untuk menjaga kepentingan dari para stakeholder
dalam sebuah lingkaran bisnis yang harmonis dan seimbang.
Menjaga kepentingan stakeholder haruslah menjadi kunci
kekuatan dalam sebuah hubungan bisnis yang berintegritas tinggi.
Sikap independen dan profesional dari pengelola bisnis untuk
bertindak jujur dan adil kepada stakeholder adalah sebuah
tindakan yang akan membuat perusahaan mendapatkan reputasi
dan kredibilitas yang tinggi.
Pengabdian para pengelola bisnis pada pemegang saham mayoritas
adalah mutlak. Sebab, shareholder dengan kekuatan RUPS (rapat
umum pemegang saham) secara absolut menentukan eksistensi dari
para pengelola bisnis. Bila para pengelola bisnis tidak patuh pada
pemegang saham, maka mereka berpotensi kehilangan jabatan dan
fasilitas. Tetapi, hal ini bukanlah berarti para pengelola bisnis boleh
melalaikan para stakeholder dan bertekuklutut pada setiap
permintaan shareholder.
Para pengelola bisnis harus selalu ingat bahwa suksesnya bisnis sangat

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 24

dipengaruhi oleh stakeholder, khususnya para konsumen dan


penyuplai. Jadi, pengelola bisnis tidak boleh kehilangan akal sehatnya
dalam menjaga semua kepentingan shareholder dan stakeholder secara
utuh dalam sebuah integritas yang adil dan bermoral
tinggi.Shareholder dan stakeholder adalah dua kekuatan terpenting
dalam dunia bisnis, yang harus dipahami secara jujur dan adil oleh
para pengelola bisnis, tanpa merugikan siapapun.
Sumber: http://kecerdasanmotivasi.wordpress.com, 09/10/2008

Tidak heran, di era digital society hari ini, jika perusahaan tetap
memegang teguh model corporate-centric, mereka akan selalu
mengalami masalah dalam membangun hubungan baik dengan para
stakeholder-nya (Lozano 2008). Konsepsi ini ibarat berulangnya
kembali sejarah kesalahan pemikiran manusia. Sebelum lahirnya
abad pencerahan, pandangan yang dipercaya sebagai kebenaran
pada saat itu adalah bumi merupakan pusat dari alam semesta.
Benarkah demikian? Tidak!
Lozano (2008) menolak model tersebut dengan mengajukan model
baru, yaitu system-centric. Model stakeholder relations ini
menyatakan bahwa perusahaan tidak lagi menjadi sentral (pusat)
dari semua stakeholder-nya. Ibarat Copernicus yang datang dan
memberikan pencerahan pengetahuan. Fakta yang sebenarnya
adalah bumi bukanlah pusat dari alam semesta. Demikian juga
dengan pandangan tentang model yang digunakan dalam
memahami stakeholder relations. Perusahaan bukanlah pusat dari
semua stakeholder. Inilah kenyataannya!

Model System-Centric
Pertanyaannya kemudian, lalu siapa yang menjadi pusat dari
hubungan dengan para stakeholder? Di mana posisi perusahaan
yang sebenarnya dalam model baru stakeholder relations ini?

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 25

Seperti dikatakan oleh Copernicus, bumi hanyalah bagian dari


sistem alam semesta. Maka, demikianlah seharusnya posisi
perusahaan. Menjadi bagian dari sistem di mana perusahaan
tersebut berada, hidup, berinteraksi dan menjalankan usahanya.
Model ini disebut dengan system-centric.
Posisi perusahaan dalam pendekatan sistem ini tidak selalu berada
di pusat, namun lebih fleksibel, bisa berada di mana pun juga!
Konsekuensinya, kemampuan perusahaan dalam
mengidentifikasikan posisinya sangat menentukan bagaimana
seharusnya strategi perusahaan ditetapkan dalam kaitannya untuk
membangun hubungan yang menguntungkan dalam jangka panjang
dengan para stakeholder-nya. Kesalahan dalam mengidentifikansi
posisi perusahaan dalam sistem atau jaringan sosial akan berakibat
fatal. Artinya, perusahaan tidak mampu memahami keberadaannya
dalam suatu konstelasi relasi kepentingan sosial. Inti dalam model
ini adalah social network!

KASUS 2.1

Digital Society Era

Peran Internet melalui Social Networking Site (SNSs), seperti


Facebook, Twitter dan sebagainya, yang menyediakan ruang publik
dan memiliki kapasitas untuk mendeseminasikan pesan secara real
time menjadi sangat penting dalam kehidupan manusia (Owen &
Humphrey 2008). Faktanya, hari ini SNSs telah menjadi gejala global
(Vilpponen et al. 2006; De Bruyn & Lilien 2008; Gangadharbatla
2008). Ribuan bahkan jutaan manusia di seluruh dunia telah
menggunakan Blog, Facebook, MySpace, Twitter, dan lainnya
sebagai media komunikasi. Banyak di antaranya bahkan terhubung
secara mobile dan telah menjadikannya sebagai aktivitas harian
(Boyd & Ellison 2008). Di samping itu, juga tercipta komunitas-
komunitas online sesuai dengan hobby dan interest-nya masing-

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 26

masing (Parks & Floyd 1996).


Menurut Byot dan Ellison, (2008:211), SNSs didefinisikannya sebagai
berikut: “Web-based services that allow individuals to (1) construct a
public or semi-public profile within a bounded system, (2) articulate a
list of other users with whom they share a connection, and (3) view
and traverse their list of connections and those made by others within
the system. The nature and nomenclature of these connections may
vary from site to site.” (Layanan berbasis web yang memungkinkan
individu untuk (1) membangun suatu profil publik atau semi-publik
dalam sebuah sistem yang terbatas, (2) mengartikulasikan daftar
pengguna lain dengan siapa mereka berhubungan, dan (3) melihat
serta melintasi daftar koneksinya dalam sistem. Sifat dan tata-nama
koneksi ini bisa berbeda dari satu situs ke situs lain).
Terminologi “Social Network Site” jauh lebih tepat digunakan untuk
menggambarkan fenomena ini dari pada “Networking.” Makna SNS
juga mengandung pengertian public discourse, di mana keduanya
dapat saling dipertukarkan dalam penggunaannya. Pengertian
“networking” sendiri lebih menekankan pada persoalan inisiasi
hubungan, termasuk dengan orang asing. Walaupun pembentukan
jaringan pertemanan dapat dilakukan di situs-situs tersebut, namun
hal ini bukanlah tujuan utamanya, di samping itu juga bukan hal
yang membedakannya dari bentuk-bentuk komunikasi dalam
Computer-Mediated Communication (CMC) lainnya. SNSs dapat
dikatakan unik karena para penggunanya dapat mengartikulasikan
dan membuat jaringan sosial mereka sendiri serta berkomunikasi
dengan orang yang sudah menjadi bagian dari SNSs tersebut.
Aktivitas ini memang belum tentu dapat menciptakan hubungan
antar individu secara real seperti dalam kehidupan nyata, namun
yang sering terjadi hanya terciptanya “hubungan laten,” di mana
para user bertemu secara online untuk saling berbagi beberapa
koneksi offline (Byot & Ellison 2008).
Daya tarik aplikasi SNSs, seperti Facebook, Twitter dan lainnya
berada pada kemampuannya dalam memenuhi rasa ingin tahu para
penggunanya tentang orang lain dan apa yang mereka lakukan
dengan kehidupannya. Di samping memperoleh dan membagi
informasi (Hennig-Thurau et al. 2004), juga terdapat keinginan
untuk mempelajari dan menjalin hubungan dengan orang lain, baik
yang dikenal maupun tidak, yang dapat dimanfaatkan pula untuk

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 27

memperkuat kegiatan offline lainnya. Jaringan sosial yang terbentuk


melalui SNSs yang berbasis pada teknologi Web 2.0 ini dapat
dikatakan telah melahirkan sebuah era baru, yang disebut digital
society era.
Sumber: Helpris Estaswara. Corporate Crisis and Stakeholder Relationship Model in
Digital Society Era. Paper presentasi pada Indonesia International Conference on
Communication (IICC) “Global Challenge to the Future of Communication: Digital Media
and Communication Freedom in Public Discourse” Jakarta, November 22-23, 2010.

Model system-centric ini muncul merespon perkembangan


teknologi informasi yang sudah sedemikian cepat. Bangunlah dari
tidur Anda, karena dunia sudah berubah! Peradaban manusia telah
memasuki era komunikasi. Pesatnya perkembangan teknologi
informasi telah menciptakan globalisasi. Dunia semakin sempit di
mana batas-batas waktu dan wilayah semakin menghilang!

System-Centric Model of Stakeholder Relations


Sumber: Estaswara (2010, 2011a, 2011b).

Akibatnya jelas berdampak pada praktek bisnis! Era masyarakat


informasi, di mana teknologi digital memiliki peran utama dengan
kemampuan multimedianya dan Internet yang bersifat lintas batas

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 28

telah merubah wajah peradaban menjadi semakin kompleks


(Estaswara 2008:7). Internet dan komputer serta handphone
“harus” bertanggungjawab penuh terhadap “datarnya dunia” yang
menyebabkan kompetisi pasar menjadi semakin tinggi,
mengakibatkan perubahan selera konsumen, dan membuat
lingkungan bisnis menjadi sangat dinamis dan sulit diprediksi.
Keberadaannya kini sudah secara terang-terangan menantang
eksistensi perusahaan! Perusahaan harus mampu merespon secara
cepat berbagai berubahan lingkungan, yang artinya, perusahaan
harus mampu mengikuti dinamika sistem sosial yang terbentuk
akibat perkembangan teknologi komunikasi. Dalam kondisi seperti
ini, perusahaan tidak lagi bisa secara mutlak dipandang sebagai
sentral dari semua stakeholer-nya. Contoh menarik terkait dengan
kesalahan penggunaan model stakeholder relations oleh
perusahaan adalah kasus Prita melawan Rumah Sakit Omni
International.

KASUS 2.2

Prita, RS Omni dan Sanksi Publik

Keluhan pelanggan adalah lumrah. Sebab, mereka membayar setiap


pelayanan yang diterima. Jika pelayanan kurang memuaskan,
mereka pasti mengeluh. Ke mana biasanya pelanggan jasa pelayanan
publik mengeluh, sehingga mendapat perhatian pemberi jasa
pelayanan?
Ada banyak sarana untuk menyampaikan keluhan, jika menghadapi
masalah dalam memanfaatkan jasa pelayanan publik. Bisa melalui
surat pembaca di media cetak, agar publik tidak mengalami keluhan
yang sama. Ada pula yang disampaikan dari mulut ke mulut, lewat
saudara, tetangga dan teman. Di jaman serba elektronik, keluhan
bisa dikabarkan melalui surat elektronik atau e-mail, juga melalui
mailing list pada teman-teman satu komunitas. Di samping kabar

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 29

cepat sampai, reaksi pun lebih cepat datang.


Satu di antara banyak keluhan yang disampaikan lewat e-mail
dilakukan Prita Mulyasari. Pasien Rumah Sakit Omni Internasional di
Tangerang, Banten ini, mengeluhkan buruknya pelayanan yang telah
ia alami, kepada teman-temannya, melalui mailing list. Sebab,
keluhan yang disampaikan kepada pihak rumah sakit dan dokter yang
melayani, tidak memuaskan dirinya. Tindakan Prita ini tentu tidak
salah. Ia telah membayar mahal pelayanan yang mestinya diperoleh
dari rumah sakit berstandar internasional. Namun, tanggapan pihak
RS Omni luar biasa. Keluhan kecil yang disampaikan kepada teman,
dinilai pihak manajemen telah mencemarkan nama baik rumah sakit
itu, sehingga Prita diperkarakan.
Melalui laporan yang disampaikan, polisi dan jaksa dengan mudah
menemukan pasal-pasal yang dilanggar Prita. Kedua lembaga
penegak hukum ini menuduh Prita melanggar Kitab Undang-
undang Hukum Pidana (KUHAP), dan UU Informasi dan Transaksi
Elektronik (ITE) sekaligus, terutama untuk pasal pencemaran nama
baik dan fitnah. Karena melanggar dua UU, Prita pun bisa langsung
masuk tahanan.
Proses yang luar biasa cepat dilakukan aparat penegak hukum
terhadap Prita, tentu menarik dicermati. Sebab, kasus ini diproses
tidak secepat kasus-kasus korupsi yang telah merugikan negara
miliaran hingga triliunan rupiah. Pada kasus korupsi, aparat
penegak hukum selalu “kesulitan” menahan pelaku karena tidak ada
pasal yang bisa dikenakan kepada pelaku.
Aksi cepat para penegak hukum terhadap Prita, menarik perhatian
publik. Mereka seolah tidak terima kasus Prita langsung dimeja-
hijaukan. Kasus lumrah ini akhirnya meledak di media massa.
Hampir semua media massa kala itu, menjadikan kasus Prita vs RS
Omni sebagai headline. Reaksi pun deras berdatangan. Apalagi saat
itu tengah berlangsung kampanye pemilu legislatif. Para politisi
memanfaatkan kesempatan “menolong” Prita, demi merebut
simpati.
Ketua Umum DPP PDIP Megawati Sukarnoputri langsung
menyambangi Prita yang ditahan di LP khusus wanita di Tangerang.
Tim sukses Jusuf Kalla juga tak mau kalah, mengundang ibu dua
anak ini bertemu sang calon presiden.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 30

Tindakan cepat jaksa dengan menjerat Prita ternyata menjadi


cemoohan publik. Terlebih ada dugaan gratifikasi oleh RS Omni
terhadap Kejaksaan Negeri (Kejari) Tangerang. Sebab, RS Omni
Internasional memberikan layanan medical check up dan papsmear
cuma-cuma untuk para pegawai Kejari Tangerang. Pengumuman
yang sempat ditempel di gedung Kejari Tangerang ini dikeluarkan
18 Mei 2009, sedangkan Prita ditahan lima hari sebelumnya. Bau
tak sedap yang berkembang pun, tak bisa dipungkiri.
Kasus Prita vs RS Omni tetap mendapat perhatian publik, meski
banyak isu lain yang menyelingi. Hingga awal Desember, Pengadilan
Tinggi Banten menyatakan Prita bersalah dalam perkara perdata
sehingga divonis membayar denda Rp 204 juta. Denda ini adalah
pengganti kerugian moril dan materil yang dialami RS Omni.
Vonis ini memicu gelombang simpati kedua pada Prita. Mantan
Menteri Perindustrian Fahmi Idris menyatakan akan membayar
separuh dari denda yang dibebankan kepada Prita. Tak kalah
mengharukan reaksi dari masyarakat. Mereka menghimpun dana
dengan cara unik, yakni mengumpulkan uang logam (koin) receh,
untuk membayar denda pada RS Omni.
Dari pihak Prita sendiri, putusan PT Banten ditanggapi dengan
mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Bahkan, Prita berniat
menggugat balik RS Omni. Gugatan balik yang diajukan Prita
meliputi ganti rugi materiil sebesar Rp 113 juta dan ganti rugi
imateriil sebesar Rp 1 triliun.
Hingga kini, buntut kasus Prita vs RS Omni belum berujung.
Pengacara RS Omni Internasional Risma Situmorang, kembali
menawarkan jalan damai, yakni akan mencabut gugatan perdata,
asal Prita meminta maaf secara terbuka pada RS Omni. Namun
tawaran jalan damai ini ditampik Prita. Sebab RS Omni dinilai
terlalu berlebihan, yakni Prita meminta maaf, sementara karyawan
sebuah bank swasta itu yakin tidak bersalah.
Bagi pihak RS Omni, permintaan maaf Prita setidaknya bisa
memulihkan nama baik. Namun upaya pemulihan nama baik juga
tidak mudah. Sebab, langkah yang diambil selama ini justru
kontraproduktif, yakni membawa kasus ke ranah hukum, yang
dinilai publik terlalu berlebihan. Sebab, yang dilakukan tidak lebih
dari sekadar membela haknya.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 31

Kini, vonis yang sudah dijatuhkan PT Banten, justru membuat jurang


antara pelanggan dan RS Omni makin melebar. Yang terjadi bukan
lagi perseteruan antara pelanggan dan manajemen RS Omni, tapi
sudah mengarah pada prasangka status sosial. Disadari atau tidak,
sejak awal warga memposisikan RS Omni sebagai strata atas, yang
mampu “membeli” dan mempermainkan hukum. Di sudut lain, Prita,
yang berada pada strara sebaliknya, mendapatkan simpati dari publik
karena dinilai sebagai korban arogansi dari kelas sosial ekonomi yang
lebih tinggi.
Dukungan terhadap Prita adalah cerminan protes, sekaligus sanksi
sosial dari masyarakat terhadap RS Omni. Prita harus dibela karena
bagian dari “kita” dalam posisi tidak berdaya, dalam melawan “mereka”
yang terlalu berkuasa. Jika pun MA akan memenangkan kasasi RS
Omni, publik sudah terlanjur memberi stigma. Sebab, yang mereka
butuhkan bukan sekadar embel-embel pelayanan dengan standar
internasional, tetapi juga peduli akan hak dan nasib orang kecil.
Sumber: Liputan6.com, 08/12/2009

Di era information society yang unpredictable dewasa ini,


perusahaan tidak bisa melihat hubungan dengan para stakeholder-
nya hanya melalui kacamatanya sendiri. Arogansi perusahaan bisa
bertentangan dengan opini publik yang terbentuk dalam jejaring
sosial. Kasus Prita melawan RS Omni International di atas
membuktikan bahwa jejaring sosial bisa sangat mempengaruhi
tujuan perusahaan. Perusahaan bisa celaka dua-belas hanya karena
kesalahan dalam mengidentifikasi posisi hubungannya dengan para
stakeholder, termasuk dengan Prita, sang pelanggan! (Estaswara
2010b).

Social Network
Di era information society hari ini, peran Internet menjadi sangat
penting. Reputasi perusahaan bisa dengan cepat luluh lantak oleh

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 32

media ini. Jejaring sosial yang dibentuk oleh Internet, melalui


Facebook, Friendster, Twitter dan sebagainya, memiliki kecepatan
sebaran yang melebihi media tradisional. Ingat, Internet bersifat
real time!
Dalam konteks stakeholder relations, perusahaan dituntut untuk
memahami posisinya dalam sistem “social-digital”. Masih seputar
Prita, kasus berikut merupakan bukti dari kecepatan Facebook
dalam menciptakan dukungan masyarakat yang dapat
menghancurkan citra dan reputasi perusahaan (corporate-brand
reputation).

KASUS 2.3

Menulis di Internet Dipenjara: ’Bebaskan Prita’ Gencar di


Facebook

Obrolan hangat di kalangan ‘aktivis’ milis atau pun blogger saat ini
adalah Prita Mulyasari. Ibu dua anak yang masih kecil-kecil itu
ditahan di LP Wanita Tangerang sejak 13 Mei lalu dengan tuduhan
pencemaran nama baik RS Omni International Tangerang lewat
Internet.
Penahanan Prita yang diadili 4 Juni mendatang itu dinilai berlebihan.
Alhasil, ‘penggiat’ Internet pun ramai-ramai membelanya, termasuk
lewat Facebook. Support itu bertajuk “Dukungan bagi Ibu Prita
Mulyasari, Penulis Surat Keluhan Melalui Internet yang Dipenjara”.
Hingga pukul 11.30 WIB, Selasa (2/6/2009) grup ini telah memiliki
5.910 member. Grup ini menargetkan mengumpulkan 7.500 member.
Aspirasi kelompok perjuangan ini adalah “Bebaskan Ibu Prita
Mulyasari Dari Penjara dan Segala Tuntutan Hukum” dengan 3 poin:
1. Cabut segala ketentuan hukum pidana tentang pencemaran
nama baik karena sering disalahgunakan untuk membungkam
hak kemerdekaan mengeluarkan pendapat;

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 33

2. Keluhan/curhat ibu Prita Mulyasari terhadap RS Omni tidak


bisa dijerat dengan Pasal 27 ayat (3) UU ITE;
3. Keluhan/curhat Ibu Prita Mulyasari dijamin oleh UU No 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
4. RS Omni hendaknya memberikan HAK JAWAB, bukan
melakukan tuntutan perdata dan pidana atas keluhan/curhat
yang dimuat di suara pembaca dan di milis-milis.
Kisah tragis Prita ini dimulai ketika Prita menulis keluhannya lewat e-
mail ke sejumlah rekannya pada medio Agustus 2008 setelah
komplainnya kepada pihak RS tidak mendapat respons memuaskan.
Isinya kekesalan Prita pada pelayanan RS Omni yang dianggap telah
membohonginya dengan analisa sakit demam berdarah dan sudah
diberikan suntikan macam-macam dengan dosis tinggi sehingga
mengalami sesak napas. Prita juga menyesalkan sulitnya
mendapatkan hasil lab medis.
Tak dinyana, tulisan Prita menyebar ke berbagai milis. Pihak RS Omni
telah menjawab tulisan Prita lewat milis dan memasang iklan di
media cetak. Tak cukup itu, RS itu juga memperkarakan Prita ke
pengadilan. Prita dijerat dengan UU Informasi dan Traksaksi
Elektronik (ITE) dengan hukuman maksimal 6 tahun atau denda Rp 1
miliar.
Sumber: detikNews, 02/06/2009

Bicara mengenai sistem, teorinya memiliki akar yang kompleks, tapi


pemikiran yang relevan untuk teori stakeholder relations telah
dirintis oleh Ackoff dan Churchman (1947). Teori sistem pada
dasarnya menekankan hubungan eksternal dari setiap organisasi.
Dengan demikian, organisasi digambarkan sebagai sebuah “sistem
terbuka" yang menjadi bagian dari jaringan yang jauh lebih besar
alih-alih sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri (tertutup).
Identifikasi, baik stakeholder dan hubungan antar stakeholder yang
terjadi dalam sistem tersebut, merupakan inti pemikiran dalam
pendekatan ini.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 34

Dari sudut pandang sistem, masalah hanya dapat diselesaikan jika


ada dukungan dari semua anggota—stakeholder—dalam jaringan
tersebut. Teori sistem menekankan pengembangan strategi kolektif
yang dapat dimaksimalkan melalui jaringan. Strategi tunggal
bukanlah fokus analisis dalam pendekatan ini. Strategi tunggal tidak
akan dapat menghasilkan solusi untuk stakeholder relations dalam
konteks jaringan.
Kunci dalam memahami organisasi dewasa ini adalah konsep
jaringan (network). Posisi organisasi berada dalam jaringan, tidak
lagi di pusat. Mengapa demikian? Karena, jaringan seringkali tidak
didefinisikan dari pusat. Ini berarti bahwa hubungan dengan para
stakeholder tidak dapat dilihat sebagai hubungan yang terpisah
(segregated), namun dyadic (satu-lawan-satu atau one-to-one).
Asumsi ini telah digunakan sebagai dasar pemikiran dari banyak
teori komunikasi dalam stakeholder relations.
Uraian di atas telah secara jelas menerangkan bahwa perusahaan
belum tentu menjadi pusat jaringan, sehingga posisinya harus
diperlakukan sebagai bagian dalam sistem sosial yang kompleks.
Perusahaan harus mampu memahami secara komprehensif
bagaimana pola-pola interaksi yang terjadi di antara stakeholders
dalam jaringan sosial dan menentukan posisinya dalam sistem
jaringan tersebut. Ketidakmampuan memahami posisi perusahan
hanya akan berdampak terhadap kegagalan perusahaan dalam
mencapai tujuannya (Rowley 1997). Pertanyaannya kemudian,
dalam system-centric, mungkinkah sebuah perusahaan tetap berada
di pusat (center) dari para stakeholder-nya? Jawabannya adalah
mungkin! Namun, hanya perusahaan-perusahaan yang memiliki
reputasi yang sangat baik (excellent reputation) saja yang tetap
mampu bertahan di pusat dalam model system-centric.
Mengapa demikian? Karena hanya perusahaan-perusahaan yang
memiliki reputasi baik—yang secara umum dapat dilihat dari

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 35

tingginya corporate image, kuatnya corporate identity, tingginya


corporate brand equity yang dimiliki sampai pelaksanaan Corporate
Social Responsibility (CSR) atau corporate citizenship yang
berkesinambungan—yang memiliki kemampuan untuk menjadi
agen perubahan sosial. Perusahaan-perusahaan yang mampu
menjadi change driver! Mereka-mereka adalah leader of thought!
Menjadi pemimpin melalui ide-ide atau gagasan yang mampu
menginspirasi masyarakat. Tidak hanya itu, perusahaan yang juga
mampu menjaga lingkungan hidup! “Green corporate”!
Artinya, dengan kemampuan perusahaan untuk selalu proaktif
merespon berbagai isu global dan berperan serta secara aktif dan
bahkan dalam banyak kasus menjadi social change driver, logikanya
perusahaan tersebut akan selalu berada dalam pusat perubahan
sosial. Sehingga, perusahaan dapat mempertahankan posisinya
sebagai pusat dalam sistem jaringan sosial!

KASUS 2.4

Jasa Marga Dukung ”Bahana Go Green” Hutankan Jagorawi

Himbauan Kementerian Negara BUMN kepada seluruh BUMN agar


ikut berkontribusi dalam melaksana-kan Gerakan ”Satu Orang Satu
Pohon” sebagaimana telah dicanangkan oleh Pemerintah, PT
JASAMARGA (Persero) Tbk melakukan kerjasama dengan PT.
Bahana Pembinaan Usaha Indonesia dan anak-anak usahanya (PT
Bahana Artha Ventura, PT Bahana Securities, PT Bahana TCW
Investment dan PT. Grahaniaga Tatautama) dala acara Bahana Go
Green. Pada Acara ini Bahana juga bekerja sama dengan Yayasan
KEHATI dan dan Ditjen Litbang Departemen Kehutanan sebagai
penasihat teknis jenis tanaman maupun konsep bersama-sama
membangun Aboretum (hutan kota) yang berlokasi di Jalan Tol
Jagorawi pada Kamis, 15 Oktober 2009.
Arboretum adalah hutan buatan yang ditujukan untuk tempat
pelestarian dan penelitian untuk tumbuhan langka yang biasanya

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 36

terdapat di hutan. Pada program bersama ini Jasa Marga menerima


3.000 bibit pohon produktif yang terdiri dari (Peronema
canescens), pohon kemiri, pohon suren, pohon nangka, pohon
puspa (Schima noronhoe), pohon rasamala, pohon meranti-
merantian (Dipterocarpaceae), pohon salam (Eugenia polyantha),
pohon menteng (Baccaurea spp), pohon kecapi (Sandoricum
koetjape), pohon jengkol (Pithecelopboum lobatum), pohon ki
hujan (Samanea saman), pohon limus (Mangifera odoratisimus),
pohon buni (Antidesma bunius), pohon pulai, yang diberikan oleh
pihak-pihak di atas.
Pemilihan Jagorawi sebagai sebagai ruang terbuka hijau (RTH)
yang dipilih dikarenakan terbatasnya lahan RTH di wilayah
Jakarta-Bogor bagi konservasi keanekaragam hayati dan juga
mitigasi perubahan iklim dan daerah resapan air. Sementara
Jagorawi memiliki sekitar 90 km lahan di kedua sisi (panjang tol
Jagorawi sekitar 45 km) jalan tol Jagorawi atau dengan luas sekitar
54 hektar yang dapat ditanami lebih dari 20.000 batang tanaman
keras.
Menurut Gustaaf A. Lumiu, Direktur Eksekutif (pjs) Yayasan
KEHATI Indonesia, Jika semua lahan Jagorawi ditanami, maka
emisi karbon yang dapat diserap adalah 2.860 ton, di mana dapat
menjadi salah satu alternatif dalam mitigasi perubahan iklim.
“Selain itu, dapat berfungsi juga sebagai hutan pendidikan, dan
juga arboretum atau hutan buatan untuk keperluan akademik,”
ujar Gustaaf.
Selain berfungsi sebagai mitigasi perubahan iklim, kawasan ini
kedepannya juga dapat menjadi lahan bagi penelitian kehutanan,
pendidikan atau arboretum, feeding area dan habitat burung
perkotaan juga sebagai daerah resapan air bagi ketersediaan air
bersih. Juga dapat mewujudkan kawasan highway tropical garden
di seluruh sisi kawasan bebas hambatan lainnya.
Sementara itu, Heri Sunaryadi, Direktur Utama PT. Bahana
Pembinaan Usaha Indonesia menjelaskan bahwa program Bahana
Go Green merupakan salah satu wujud nyata dari kepedulian
Bahana Group dan mitranya terhadap lingkungan hidup
khususnya penghijauan. “Diharapkan dengan tema Bahana Go
Green ini dapat mengajak semua pihak baik swasta maupun

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 37

BUMN untuk berpartisipasi mewujudkan kepeduliannya terhadap


pelestarian lingkungan hidup,” paparnya.
Penghutanan Jasa Marga
Bagi Jasa Marga, program penanaman pohon sudah merupakan
bagian dari setiap aktivitas pembangunan dan pengembangan sarana
jalan tol yang dikerjakan Jasa Marga. Setiap tahunnya, lebih dari 250
ribu pohon ditanam Jasa Marga di sekitar jalan tol. Dan sesuai dengan
program Penanaman Pohon yang dicanangkan Kementrian BUMN
pada tahun 2008 lalu, Jasa Marga juga sudah menanam lebih dari 2
juta pohon di seluruh jalan tol yang dikelolanya di seluruh Indonesia.
“Kami tidak menggunakan istilah penghijauan, tetapi penghutanan,
karena kami ingin menciptakan suasana rimbun pepohonan di
sepanjang jalan tol,” jelas Frans S. Sunito, Direktur Utama PT Jasa
Marga.
Manfaat yang diperoleh dalam program penghutanan di Jalan Tol,
selain untuk kenyamanan bagi pengguna jalan tol dan pelengkap
rambu lalu lintas, juga bermanfaat bagi kenyamanan dan kesehatan di
lingkungan sekitar jalan tol. Manfaat lainnya yang sangat penting
ditujukan bagi generasi yang akan datang, yaitu kualitas lingkungan
yang semakin baik, dan menjadi pagar alam yang dapat
menghidarkan dari berbagai bencana
Sumber: www.jasamarga.com, 17/05/2010

Saat ini, seiring dengan tingginya tuntutan publik untuk menjaga


dan melestarikan lingkungan hidup membuat banyak perusahaan
membangun program peduli lingkungan, seperti apa yang telah
dilakukan oleh Jasa Marga dalam contoh berita di atas. Tujuannya
jelas, agar perusahaan selalu berada di pusat perubahan sosial.

Sebagaian besar dari tulisan ini pernah diterbitkan di International Journal of Arts & Sciences, Vol.
4(7):99-122, 2011, dengan judul: “Computer-Mediated Public Sphere” and Stakeholder Relationships
Model.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 38

3
Mengelola atau Membangun?
Relationships with stakeholders can no longer be seen through the
lens of the consequentialist binomial "affect - be affected"
—Lozano, 2008

Sebelum menulis bukui ini, harus saya akui pemahaman saya sangat
terbatas mengenai perbedaaan antara “mengelola” dan
“membangun” terkait dengan hubungan publik dalam konteks
public relations. Memang, dalam berbagai literatur, istilah
“mengelola” banyak sekali digunakan untuk menjelaskan fungsi,
tugas dan kegiatan public relations dari pada kata “membangun”.
Atau minimal, keduanya dipakai secara bersamaan. Menariknya,
saya pun mempercayainya alih-alih berpikir untuk mengritisinya!
Demikian juga dengan para mahasiswa saya, dan saya yakin para
profesional public relations pun banyak yang masih memahami
bahwa kata “mengelola” lebih tepat digunakan dari pada kata
“membangun” dalam aktivitas public relations. Lalu, mengapa istilah
“mengelola hubungan” dalam public relations—khususnya terkait
dengan stakeholder relations—harus dipertanyakan ulang?
Dalam bab ini saya akan mendiskusikan pemahaman atas kedua
terminologi tersebut dan konsekuensinya terhadap penciptaan
hubungan baik dalam jangka waktu panjang dengan para
stakeholder perusahaan.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 39

Mengelola (Manage)
Dalam proses penulisan buku ini dan proses saya mengajar
Matakuliah Stakeholder Relations di Universitas Persada Indonesia
(UPI) YAI, saya menemukan tulisan yang menjelaskan tentang
pergeseran pemahaman, khususnya dalam konteks stakeholder
relations, dari kata “mengelola” menjadi kata “membangun”.
Seperti yang telah diungkapkan Lozano dalam kalimat yang ada di
judul bab ini (2008:68), membangun hubungan dengan para
stakeholder tidak dapat lagi dilihat melalui kacamata binominal,
“mempengaruhi–dipengaruhi.” Apa artinya?

“Hubungan baik hanya dapat tercipta jika


hubungan yang terjadi bersifat setara,
seimbang. Tidak ada satu pihak yang
mendominasi. Tidak ada penjajahan!”

Kata ‘mengelola’ atau me-menage pada dasarnya menggambarkan


suatu hubungan yang tidak seimbang. Hubungan yang tidak setara!
Loh? Pihak yang mengelola dapat kita sebut sebagai ‘pengelola’.
Dengan demikian, jika ada pengelola, pasti ada pihak lain yang harus
‘dikelola’, pihak yang harus ‘diatur’!
Jika makna ini kita terima sebagai suatu pemahaman yang benar,
alamiah dan apa adanya, maka terminologi ‘mengelola’
bertentangan dengan prinsip public relations, yaitu membangun
hubungan baik (Cutlip, Center & Broom 1994). Hubungan baik hanya
dapat tercipta jika hubungan yang terjadi di antara pihak-pihak yang
berkepentingan (perusahaan dengan para stakeholder-nya) bersifat
setara. Seimbang. Equal. Tidak ada satu pihak yang mendominasi
pihak lain. Tidak ada “penjajahan”!

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 40

Contoh paling mudah untuk menjelaskan hal ini adalah hubungan


antara cowok-cewek yang sedang pacaran atau dinamika kehidupan
suami-istri. Bayangkan, jika ada dominasi dalam hubungan tersebut,
apa yang terjadi? Potensi untuk bubaran pasti sangat tinggi. Potensi
untuk cerai juga pasti akan tinggi. Cowok-nya selalu mendominasi
dengan berbagai larangan: harus gini, harus gitu… tidak boleh
begini, tidak boleh begono... Demikian juga si suami yang menuntut
istri tidak boleh ke mana-mana. Istri hanya boleh keluar rumah jika
bersama sang suami saja! Alamak, hare gene kok dipingit! Atau,
kata-kata kotor (makian) yang menyakitkan hati dilontarkan kepada
orang yang ngakunya disayangi, ngakunya dicintai, ngakunya sangat
berarti, seperti contoh kasus berikut ini.

KASUS 3.1

Suami Dipukuli Istri Hingga Tewas

Biasanya istri yang jadi bulan-bulanan suami. Tapi yang satu ini
terbalik, suami yang jadi bulan-bulanan istri. Seperti yang dilakukan
Gusma Suliza Sikumbang (30). Gusma memukuli suami ketiganya,
Helmi Padang Alias Dogol (48) hingga tewas Keterangan ibu satu
anak itu saat ditemui Metro Siantar (grup Sumut Pos) di Mapolsek
Siantar Utara, Jumat (5/3), peristiwa itu berawal saat mereka baru
bangun tidur.
Tiba-tiba sang suami mengeluarkan kata-kata kotor kepada Gusma.
Mendengar perkataan itu, Gusma langsung memukul kaki suaminya
yang kebetulan bengkak kerena asam urat. “Kami bertengkar bukan
karena cemburu. Hanya saja suami saya tiba tiba mengeluarkan kata-
kata kotor kepada saya,” kata Gusma.
Menurutnya, mendengar perkataan kotor itu, dia pun merasa seperti
dirasuki setan. Lalu dia memukul suaminya hingga telentang di lantai.
Suaminya sebenarnya sempat minta ampun, namun dia mengambil
sebatang kayu yang berada di dalam rumah dan memukul kepalanya
hingga mengeluarkan darah. Ditambahkannya, suami pertamanya

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 41

kawin lagi dengan dengan perempuan lain. Suami kedua pergi entah
ke mana dan suami ketiga tewas.
Menurutnya, dia sudah menjalin hubungan dengan suaminya sekira 4
tahun dan sudah mempunyai seorang anak. Selama menjalin
hubungan suami istri, mereka memang sering ribut kerena masalah
ekonomi, karena suaminya yang berkerja sebagai tukang jok jarang
memberikan uang belanja. Sementara dia mengemis di Kota
Pematang Siantar.
Menurut tetangganya, Fatmawati, selama mereka tinggal di tempat
itu sekira satu tahun, mereka hampir setiap harinya ribut di rumah.
Setiap mereka berkelahi pintu rumah selalu dikunci.
Kapolresta Pematang Siantar, AKBP Fatori, SiK melalui Pabungpen,
AKP Muslim MHD didampingi Kapolsek Siantar Utara, AKP B.
Sembiring, membenarkan adanya peristiwa tersebut. Namun hingga
saat ini, polisi belum bisa memastikan motif dari pembunuhan
tersebut. Namun, tersangka yakni istrinya bersama seorang anaknya
sudah diamankan di Mapolsek Siantar Utara. Tersangka,
sambungnya, diamankan dari Jalan Cokroaminoto ketika mencoba
melarikan diri dan menggendong anaknya.
Sumber: Sumut Pos, 06/03/2010

Kualitas hubungan yang tidak setara seperti kasus di atas


bagiamanapun juga tidak akan pernah bisa menciptakan suatu
hubungan baik yang saling menguntungkan dalam jangka panjang.
Hubungan yang harmonis, yang saling menghargai. Hubungan
semacam ini tidak akan pernah mampu menciptakan kesejahteraan,
minimal kesejahteraan batin. Sebaliknya, jika kita dengan tulus
selalu memberikan perhatian kepada istri kita, suami kita, anak-anak
kita, ayah, ibu dan kawan-kawan kita, potensi untuk terciptanya
hubungan yang baik dalam jangka waktu panjang sangat besar.
Kalau nggak percaya, buktikan saja—jika Anda tidak mau memiliki
kualitas hubungan seperti dalam cerita kasus di atas!
Contoh di atas menunjukkan bahwa istilah ‘membangun’ lebih tepat

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 42

digunakan dalam konteks stakeholder relations dan bahkan dalam


keseluruhan pemahaman kita tentang public relations terkait
dengan penciptaan hubungan baik.

Membangun (Building)
Kata ‘membangun’ bagaimanapun juga lebih positif jika digunakan.
Istilah ini lebih merepresentasikan semangat (spirit) kesetaraan,
tidak ada dominasi, menuju satu tujuan bersama yang lebih baik di
masa depan. Makna ‘membangun’ di sini tidak sekedar menciptakan
dari yang tidak ada menjadi ada, namun hubungan yang sudah ada,
terus ditingkatkan kualitasnya. Terus dibangun agar menjadi
semakin baik, lebih baik, lebih berkualitas, semakin lebih baik dan
berkualitas dan seterusnya.
Sebagai contoh, sebelum pacaran, kita umumnya mencoba akrab
dahulu dengan tujuan untuk saling mengenal satu sama lain. Setelah
melewati masa-masa perkenalan, jika cocok, status hubungan
kemudian ditingkatkan menjadi pacaran. Pada tahap ini,
komitmennya pun juga meningkat.
Setelah itu, jika kedua pihak ternyata merasa sangat cocok dan
tentunya saling mencintai, statusnya ditingkatkan lagi menjadi
tunangan dan selanjutnya menuju pelaminan. Setelah menjadi
‘suami-istri’, status hubungannya meningkat lagi, menjadi ‘ayah-ibu’
ketika memiliki anak. Seiring dengan berjalannya waktu, ketika
anak-anaknya sudah besar trus nikah dan memiliki anak, akhirnya
menjadi ‘kakek-nenek’.
Sampai di tahap ini apakah hubungan pasangan tersebut sudah
berakhir? Belum! Tidak sedikit pasangan suami-istri yang sampai
akhir hanyatnya masih sangat mesra. Bahkan mereka berjanji untuk
terus saling setia sampai ajal memisahkan. Tidak hanya sampai di
situ, mereka berjanji akan membawa cintanya dalam kehidupan lain

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 43

setelah kematian. Membawa cintanya masuk ke surga! Sungguh


romantis bukan?
Semangat hubungan yang dibangun terbukti mampu melebihi
umurnya. Semangat dari cintanya yang tulus itu telah mengalahkan
waktu, mengalahkan kematian, melintasi abad dan menjadi inspirasi
bagi generasi penerusnya! Inilah inti dari kata ‘membangun’
hubungan dalam konteks stakeholder relations. Hubungan dengan
stakeholder harus di-“bangun”, bukannya di-“kelola”. Jika sudah
terbangun hubungan, kualitas hubungannya terus ditingkatkan
untuk selalu menjadi lebih baik di masa-masa mendatang.

“Hubungan yang baik selalu tercipta


dari kesetaraan kedudukan. Ciptakan
demokrasi yang sesungguhnya!
Ciptakan semangat melayani!”

Prinsip ‘membangun hubungan’ yang setara, seimbang dan saling


pengertian dengan semua stakeholder harus selalu dipegang teguh.
Tinggalkan sifat-sifat yang mengarah pada dominasi hubungan.
Hubungan yang baik selalu tercipta dari kesetaraan kedudukan.
Ciptakan demokrasi yang sesungguhnya! Ciptakan spirit melayani!
Inilah prinsip outside-in dalam stakeholder relations. Model
corporate-centric tidak dapat memberikan landasan hubungan yang
setara dengan para stakeholder, mengingat sifat hubungan yang
didominasi atas kepentingan perusahaan dalam mencapai
tujuannya.
Inside-out atau melihat hubungan dengan para stakeholder hanya
melalui kacamata kepentingannya sendiri, akibatnya hanya akan
menciptakan hubungan yang bersifat terpaksa, hubungan yang
terdominasi! Logikanya, jika kita tetap berpegang pada model

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 44

corporate-centric, niscaya, semakin hari, semakin sering


berinteraksi, kualitas hubungan yang terbangun bukannya semakin
meningkat, yang terjadi malah sebaliknya, semakin menurun,
semakin rusak!

KASUS 3.2

Kasus PHK Dominasi Masalah Perburuhan di Jawa Tengah

Direktur Yayasan Wahyu Sosial Semarang, Khotib, menyatakan


selama 2009 masalah perburuhan di Jawa Tengah didominasi
banyaknya kasus pemutusan hubungan kerja (PHK). “Dengan alasan
efisiensi, pengusaha dan perusahaan seenaknya mem-PHK para
buruhnya,” kata Khotib di kantornya, Senin (28/12).
Khotib menambahkan, saat ini banyak sekali perusahaan yang
menggunakan alat PHK untuk mengganti status buruh dari yang
semula berstatus tetap menjadi buruh dengan status outsourching
atau buruh kontrak. Khotib mencontohkan ada perusahaan di
Kawasan Teboyo Semarang yang melakukan PHK terhadap
karyawannya dengan alasan krisis global. Namun, pada saat yang
sama perusahaan tersebut membuka kesempatan lowongan
pekerjaan bagi buruh yang baru.
Khotib menyatakan para pengusaha lebih suka pakai atau malahan
lebih mendorong sistem kerja kontrak dari pada pakai sistem buruh
tetap. Meski praktek itu diperbolehkan sesuai dengan Undang-
undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, tapi
perubahan status itu sangat merugikan kalangan buruh. Parahnya
lagi, PHK yang dilakukan perusahaan itu rata-rata dilakukan secara
sepihak. “Keputusannya tidak melibatkan buruh,” kata dia.
Sesuai dengan penelitian di lapangan, Yayasan Wahyu Sosial
memperkirakan selama tahun 2009 ini rata-rata terdapat 2.000
buruh yang di PHK di tiap kabupaten/kota yang padat industri.
Daerah itu seperti Solo, Kabupaten Semarang, Kota Semarang,
Pekalongan, Kudus dan lain-lain. Khotib mencontohkan PHK di PT
Uni Enlarge Industry (UEI) dengan jumlah karyawannya sebanyak

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 45

994 orang. Contoh lain adalah PT MPR juga melakukan PHK


terhadap 90-an karyawannya, dan PT Harrison dan GIL Java yang
mem-PHK puluhan karyawannya akibat kontraknya habis.
Selain kasus PHK, kasus perburuhan di Jawa Tengah adalah belum
terjaminnya jaminan sosial tenaga kerja (Jamsostek), perlindungan
kesehatan buruh yang masih buruk, serta masih banyaknya buruh
yang menerima upah tidak sesuai dengan upah minimum
kabupaten/kota yang sudah ditetapkan Gubernur Jawa Tengah.
Saat ini, Yayasan Wahyu Sosial masih terus melakukan rekapitulasi
berbagai kasus perburuhan di Jawa Tengah. Data itu sebagai laporan
tahunan yang akan dilansir pada akhir Desember mendatang. “Kami
juga akan memberikan rekomendasi-rekomendasi,” kata Khotib.
Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Jawa Tengah Siti Rohatin menyatakan belum memiliki
data lengkap tentang kasus-kasus yang terkait dengan masalah
perburuhan. Namun, kata Siti, jika melihat di lapangan maka kasus
perburuhan di Jawa Tengah semakin menurun. “Buktinya, gejolak
dan demo para buruh sudah jarang terjadi,” kata Siti. Menurutnya,
salah satu ukuran untuk menilai kasus para buruh adalah melalui
ada tidaknya unjuk rasa yang digelar para buruh.
Sumber: TempoInteraktif, 28/12/2009

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 46

4
Co-Creation Value
The essence of stakeholder dialogue is the co-creation of shared
understanding by company and stakeholder
— Johnson-Cramer et. al., 2003

Apakah Anda pernah mendengar istilah: ‘co-creation value’? Di


Indonesia, istilah ini telah banyak menghiasi tulisan di berbagai
buku, majalah, sampai ruang-ruang kelas dan diskusi akademis.
Tidak hanya dalam tataran konsepsional, co-creation value juga
telah dipraktikkan di Indonesia. Contohnya adalah Sunsilk dengan
produk barunya, Sunsilk Co-Creation. Berbasis konsep co-creation
value, Sunsilk telah merespon kompleksitas pasar dan perilaku
konsumen di era new media hari ini. Sunsilk paham bahwa
konsumen dewasa ini sangat segmented dan demanding. Dengan
menggandeng (collaborating) tujuh pakar rambut dunia, Sunsilk Co-
Creation kemudian merilis tujuh varian shampoo sesuai dengan
kebutuhan pasar.

Untuk lebih mempertegas ‘misi’ ini, dalam kemasannya tertulis:


“Sunsilk design by professional” yang menunjukkan praktik co-
creation value. Bahkan, di salah satu kemasan lini produknya, ada
tanda tangan ‘sang kreator’ yang disertai dengan tulisan: “co-
created with Franscesca Fusco.” Jika tak percaya, lihat sendiri
kemasan produk Sunsilk Co-Creation!

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 47

KASUS 4.1

David Setiawan: Sunsilk Co-Creation

Sunsilk Co-Creation, terobosan baru dari Sunsilk yang menggunakan


endorser para penata rambut terbaik di dunia. Co-creation memang
menggantikan posisi produk dalam new wave marketing, karena
market semakin horizontal, maka yang efektif adalah bagaimana
melakukan collaboration dengan customer untuk menciptakan suatu
produk yang bisa diterima oleh pasar.
Shampoo yang di-endorse oleh penata rambut bukanlah hal yang
baru, apalagi di dunia, kita memiliki Rudi Hadisuwarno, penata
rambut kelas atas yang memiliki brand-nya sendiri. Artinya, Rudi
Hadisuwarno sebagai brand, sekaligus sebagai endorser product brand-
nya. Hal tersebut efektif bagi kalangan yang memang memiliki
bonding dengan Rudi, dan terbukti cukup sukses di pasar, brand Rudi
Hadisuwarno masih dipercaya sebagai produk perawatan rambut yang
terpercaya.
Namun, yang dilakukan oleh Sunsilk berbeda dengan Rudi
Hadisuwarno. Sunsilk sebagai brand berkolaborasi dengan penata
rambut dunia, untuk menciptakan produk shampoo yang sesuai
dengan berbagai tipe rambut wanita di dunia. Sunsilk mengukuhkan
brand-nya sebagai brand yang dipercaya oleh ahli penata rambut
dunia dan melakukan partnership dalam menciptakan produk terkini
bagi wanita di dunia.
Keuntungan Sunsilk dalam menciptakan project ini adalah :
Pertama, Sunsilk sebagai Brand shampoo yang dipercaya oleh
wanita semakin kuat, karena di-endorse oleh ahli penata rambut
dunia
Kedua, Sunsilk mengembangkan target market-nya karena connect
langsung dengan komunitas yang selama ini sudah terbangun dari
masing-masing penata rambut. Karena masing-masing penata
rambut juga akan melakukan conversation dengan customer-nya.
Ketiga, Brand Sunsilk semakin berkarakter karena tidak ditunjang
oleh satu penata rambut saja, tetapi oleh 7 penata rambut dunia
yang memiliki karakternya dengan keahliannya masing-masing.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 48

Keempat, Brand Sunsilk semakin personal karena varian produk


yang sesuai dengan kebutuhan wanita di dunia yang berbeda-beda.
Sesuai dengan namanya, Brand Sunsilk sudah menggunakan
Marketing 3.0 dan semakin berkarakter sesuai dengan target market-
nya. Menjadi inspirasi juga bagi marketer yang lain untuk melakukan
collaboration dengan customer menciptakan co-creation yang sesuai
dengan anxiety dan desire customer.
Sumber: the-marketeers.com, 20/11/2010

Memang, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini, seiring


dengan pasatnya perkembangan teknologi komunikasi dan
maraknya new media yang memungkinkan terjadinya interactive
communication secara online, teori tentang stakeholder telah
dikembangkan menuju ke arah pentingnya value creation dengan
melibatkan stakeholder dalam jangka panjang (Andriof et al. 2002).
Pemahaman ini sering disebut sebagai co-creation value atau
“penciptaan nilai secara bersama-sama.” Perusahaan dengan para
stakeholder-nya “duduk bareng”—tidak hanya dengan konsumen
atau pelanggan—untuk mencari solusi atas kepentingan bersama.
Perusahaan menyatukan langkah bersama stakeholder dalam
mencapai tujuan. Tidak ada lagi hubungan yang didasarkan pada
kepentingan sepihak! Tidak ada lagi semangat dominasi! Tidak lagi
berprinsip value creation atau penciptaan value yang hanya basis
pada ‘kepentingan’ perusahaan.

Co-Creation Value
Bicara penciptaan value dalam perusahaan sebenarnya dapat
didekati dengan dua pendekatan. Pertama, penciptaan value yang
dilakukan tanpa melibatkan stakeholder atau sering disebut ‘value
creation’. Kedua, penciptaan value yang melibatkan stakeholder
atau disebut dengan ‘co-creation value’.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 49

Dalam value creation, perusahaan mengembangkan nilai


berdasarkan kepentingannya, di mana nilai tersebut kemudian
dipertukarkan kepada para stakeholder-nya. Prinsip ini selaras
dengan model corporate-centric. Nilai perusahaan dipertukarkan ke
dalam nilai-nilai stakeholder. Sehingga, stakeholder merupakan
pihak yang menjadi “target” dari nilai-nilai yang ditawarkan oleh
perusahaan. Dengan demikian, posisi stakeholder adalah “objek”
nilai bagi perusahaan (Prahalad & Ramaswamy 2004).
Berbeda dengan co-creation value. Dalam prinsip ini perusahaan
membangun nilai secara bersama-sama dengan stakeholder. Nilai
tidak lagi didefinisikan secara sepihak oleh perusahaan, namun nilai
tersebut ditentukan oleh kesepakatan kedua belah pihak melalui
dialog.

“Dalam co-creation value, nilai tidak lagi


ditransaksikan, namun terbagi. Prinsip-nya,
bukan lagi transaction tetapi sharing ”

Dalam co-creation value, nilai tidak lagi ditransaksikan, namun


terbagi. Prinsipnya, bukan lagi “transaction” tetapi “sharing”.
Artinya, ada persamaan makna (share meaning) atas nilai yang
dibangun bersama. Dengan demikian, posisi stakeholder tidak lagi
sebagai “objek” nilai, namun menjadi “subjek” nilai bagi
perusahaan. Prinsip ini selaras dengan model system-centric.
Nilai (value) dalam hal ini dapat dikatakan sebagai simbol, tanda,
cara, ataupun aturan, yang menjadi kepercayaan dan digunakan
sebagai pedoman berperilaku oleh kedua belah pihak. Apa yang
dipercaya benar, baik, atau berharga oleh stakeholder dimaknai dan
diyakini sama oleh perusahaan.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 50

Seperti contoh Sunsilk Co-Creation di atas, apa yang dimaknai dan


dipercaya oleh stakeholder —dalam hal ini adalah konsumen—juga
dimaknai dan dipercaya oleh perusahaan (share meaning). Sunsilk
Co-Creation memahami kebutuhan konsumennya dengan cara
menciptakan tujuh varian shampoo yang dibuat oleh tujuh pakar
rambut dunia sebagai representasi dari kepentingan konsumen.
Contoh lainnya terkait dengan nilai produk adalah Fiat 500, simak
kasus berikut ini.

KASUS 4.2
Hermawan Kartajaya: Product is Co-Creation

Fiat 500 merupakan kendaraan sedan yang diproduksi oleh


perusahaan Italia, Fiat, sejak tahun 1957 hingga 1975 untuk pasaran
Eropa. Fiat 500 pertama kali diluncurkan tahun 1957 dengan
kendaraan 2 pintu. Fiat 500 biasa dikenal sebagai identitas mobil Italia
sebagaimana VW Beatle yang menjadi identitas mobil Jerman dan
Mini sebagai identitas mobil Inggris.
Pada tahun 2007, Fiat kembali meluncurkan Fiat 500 dengan konsep
retro-style car yang diklaim sebagai mobil second generation Fiat 500
yang telah diproduksi di tahun 70-an. Yang menarik dari Fiat 500
generasi baru ini adalah seluruh proses pengembangannya telah
melibatkan konsumen dari proses awal sampai Fiat 500 diluncurkan
ke pasar. Banyak pakar pemasaran mengatakan proses pengembangan
Fiat 500 merupakan salah satu case co-creation yang paling sempurna.
Secara garis besar peran konsumen dalam co-creation Fiat 500 bisa
disarikan ke dalam empat hal. Pertama, di desain 500 hari sebelum
diluncurkan, Fiat mengundang pelanggan potensial untuk ikut
mendesain asesoris dan fitur-fitur melalui website yang telah mereka
sediakan. Dari website tersebut Fiat berhasil mendapatkan 8.000
asesoris yang kemudian diseleksi menjadi 100 asesoris dan fitur yang
paling relevan dan menarik buat konsumen.
Kedua, pelanggan dilibatkan untuk ikut mendesain tema-tema yang
nantinya akan digunakan dalam advertising untuk menjangkau

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 51

pelanggan potensial yang lebih luas.


Ketiga, pelanggan bisa meng-customize apa yang mereka inginkan
dari kendaraannya. Beberapa perusahaan mobil seperti Ford and
Chrysler memang telah menyediakan platform online yang
memungkinkan pelanggan membuat mobil sendiri sesuai dengan
yang mereka inginkan, Namun Fiat melangkah lebih jauh dengan
menambahkan berbagai platform yang memungkinkan calon
pelanggan membuat mobil yang lebih emosional.
Keempat, mereka melibatkan konsumennnya di dunia online. Setiap
pengunjung website Fiat dapat meng-customize tampilan dan layout
seperti yang mereka inginkan sesuai dengan informasi yang mereka
butuhkan.
Dengan menerapkan co-creation, hasil yang diperoleh Fiat sungguh
luar biasa. Mereka berhasil menjual 57 ribu Fiat 500 di bulan pertama
(Juli 2007) pada saat peluncurannya ke pasar. Diprediksikan dengan
semakin melibatkan pelanggan yang berkesinambungan dalam
pengembangan Fiat 500 akan membantu akselerasi penjualan Fiat 500
lebih cepat di masa mendatang.
Di era New Wave seperti sekarang, paradigma pemasaran tidak lagi
vertikal namun horisontal. Di sini, orientasi pemasaran bertumpu
pada komunitas, di mana bukan saja langkah strateginya yang
berbasiskan komunitas, namun langkah pemasaran taktikalnya yang
juga melibatkan komunitas. Contohnya seperti Fiat 500 di atas, yang
melakukan praktik pengembangan produk berbasiskan co-creation,
yang kian menjadi trend di antara mereka yang tampil horizontal.
Era New Wave Marketing adalah era di mana semua serba horizontal
di mana kita bisa berkreasi bersama konsumen. Praktek
pengembangan produk Co-Creation yang dinamis, interaktif, dan
berdasarkan multi-sumber suatu saat akan menggeser proses
pengembangan produk yang secara tradisional dibangun lewat
pendekatan yang sifatnya company-centric.
Sumber: properti.kompas.com, 07/10/2009

Dalam konteks buku ini, co-creation value tidak hanya ditujukan


pada konsumen semata, namun kepada semua stakeholder. Salah

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 52

satunya adalah karyawan. Perusahaan juga harus mampu


memahami kepentingan karyawan dengan nilai-nilainya. Semua
perusahaan pada dasarnya ingin menyejahterakan karyawannya.
Mengapa demikian? Karena jika karyawannya sejahtera, maka
mereka akan dapat bekerja dengan baik. Lebih dari itu, karyawan
bahkan juga merasa ‘memiliki’ dan bangga bisa bekerja dengan
perusahaan. Hal ini tentunya dibutuhkan penciptaan nilai-nilai
organisasi secara bersama-sama antara kedua belah pihak, seperti
budaya dan aturan-aturan kerja, konsepsi atas reward and
punishment yang disepakati bersama, dan lainnya.
Inilah inti dari co-creation value. Penciptaan nilai-nilai secara
bersama-sama antara perusahaan dengan semua stakeholder-nya,
seperti konsumen, karyawan, supplier, distributor, regulator, media,
dan bahkan komunitas sosial.

Co-Creation Value harus Berbasis Dialog


Di samping pemahaman yang telah diuraikan di atas, co-creation
value juga dapat dikatakan sebagai proses yang berfokus pada
pengembangan perspektif hubungan timbal-balik (dua arah) dalam
jangka panjang alih-alih hanya berfokus pada keuntungan jangka
pendek (Morsing & Schultz 2006). Penekanannya sudah bergeser
dari perusahaan yang hanya “mengelola” stakeholder menjadi
perusahaan yang memiliki interaksi yang mendalam (kualitas
hubungan yang tinggi) dengan para stakeholder-nya. Dari
perusahaan yang berprinsip value creation menjadi co-creation
value. Perusahaan yang “membangun” nilai bersama dengan para
stakeholder-nya! Bahkan, saking pentingnya hubungan dengan para
stakeholder dalam perspektif timbal-balik ini, para akademisi telah
mengusulkannya sebagai sumber keunggulan kompetitif
perusahaan di era new media (Andriof & Waddock 2002; Post et al.
2002; Johnson-Cramer et al. 2003).

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 53

Berangkat dari pemahaman di atas, muncul kemudian sebuah


jargon komunikasi baru yang menekankan pola dua arah (two-way
communications) dengan berlandaskan semangat musyawarah dan
mufakat dalam konteks menjalin hubungan baik dengan para
stakeholder, atau hal ini sering disebut dengan: “dialog”. Dialog
dengan stakeholder di era new media.
Dialog sendiri merupakan cara untuk mencapai kesepakatan atau
konsensus dengan para stakeholder. Dialog di sini harus dipahami
sebagai pencarian solusi. Solusi atas kepentingan semua pihak
(multipe-stakeholder). Solusi atas kebutuhan semua stakeholder
perusahaan. Di samping itu, dalam praktik co-creation value juga
harus mementingkan proses. Dengan demikian, proses dialog
menjadi persoalan penting yang perlu diperhatikan dan menjadi
prioritas utama dalam membangun hubungan, bukan hasilnya!
Bagaimanapun juga solusi merupakan sebuah proses, bukan hasil!
Jika solusi dipahami sebagai hasil, yang sering terjadi adalah
hubungan dominasi yang dipaksakan melalui komunikasi satu arah!
Dan komunikasi satu arah tidak akan pernah mendapatkan insight
dari audience. Solusi yang dicapai melalui proses dialog harus dapat
menjadi dasar pengambilan keputusan manajemen dalam
merencanakan tindakan yang lebih baik ke depan dengan tujuan
untuk membangun hubungan kerjasama saling menguntungkan
dalam jangka panjang.
Seperti dikatakan oleh Johnson-Cramer et al. (2003:149) “The
essence of stakeholder dialogue is the co-creation of shared
understanding by company and stakeholder.” Maka, tidaklah
mengherankan jika hari ini, kata “dialog” telah menjadi jimat,
menjadi lagu wajib di banyak perusahaan (Morsing & Schultz 2006;
Estaswara 2010). Terjalinnya komunikasi dua arah dengan para
stakeholder, di samping menghasilkan proses dialog, juga
menciptakan partisipasi aktif dari stakeholder. Dengan adanya

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 54

partisipasi ini, hubungan tidak lagi didominasi hanya oleh


kepentingan perusahaan.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 55

5
Membangun Hubungan:
Dialogue Model
Effective and on-going symmetrical communication is intrinsic
to effective engagement of stakeholders
— Birch, 2002

Co-creation value harus dibangun melalui dialog. Melalui


komunikasi dua arah di mana masing-masing pihak memiliki
kedudukan setara. Secara komunikasi, tidak ada lagi konsep sender
dan receiver. Keduanya adalah sender. Keduanya adalah pihak yang
mengirimkan pesan. Pesan-pesan tentang kepentingannya kepada
pihak lain. Secara umum, ada tiga model komunikasi terkait dengan
posisi sender dan receiver serta arah komunikasi yang dilakukan.
Pertama adalah model komunikasi satu arah (one-way
communication). Model ini menyatakan bahwa sender mengirimkan
pesan kepada receiver tanpa ada feed-back (umpan balik). Model ini
umumnya berlaku untuk komunikasi massa. West & Turner (2007)
menyebutnya dengan komunikasi sebagai aksi.
Kedua adalah model komunikasi dua-arah asimetris (two-ways
asymmetric communications). Sebagian besar logikanya masih sama
dengan model satu arah, perbedaannya hanya pada persoalan feed-
back. Dalam model ini receiver memberikan feed-back kepada
sender. Model ini disebut juga dengan komunikasi sebagai interaksi
(West & Turner, 2007). Terakhir adalah model komunikasi dua arah
simetris (two-ways asymmetric communication). Berbeda dengan
kedua model di atas, dalam model ini tidak dikenal adanya sender

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 56

dan receiver. Semuanya adalah sender. Model ini umumnya berlaku


dalam komunikasi antarpribadi. West & Turner (2007) menyebutnya
dengan model komunikasi sebagai transaksi.

S R S R S S
fb
1-way communication 2-ways communication 2-ways communication
(linear) (asymmetric) (symmetric)
Catatan: S = Sender; R = Receiver; fb = Feed Back

Model Dasar Komunikasi


Sumber: Disarikan dari West, R., & Turner, L.H. (2007). Introducing communication
theory: Analysis and application (3rd Ed.). New York: McGraw-Hill.

Model-Model Komunikasi
Dalam ilmu komunikasi, sebenarnya ada banyak sekali model-model
yang dipelajari, salah satu model komunikasi yang penting adalah
Formula Lasswell. Model ini penting karena memang menjadi model
dasar komunikasi dan secara sejarah adalah model yang lahir pada
masa-masa awal perkembangan ilmu komunikasi. Formula Laswell
mengatakan bahwa komunikasi adalah proses penyampaian pesan
dari komunikator kepada komunikan melalui media tertentu untuk
menghasilkan efek dengan mengharapkan umpan balik.
Walaupun penting dan mendasar, namun pemahaman komunikasi
yang mengacu pada Formula Lasswell ini memang sangat umum.
Bahkan saking umumnya, banyak orang yang memahami
komunikasi―tak ketinggalan mahasiswa komunikasi sendiri―hanya
merujuk pada model komunikasi yang digagas oleh Harold Lasswell
(1948) ini.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 57

Lasswell Formula
Sumber: http://communicationtheory.org/lasswells-model.

Received
Message Signal Signal Message

Information Transmitter Receiver Destination


Source

Noise Source

Shannon and Weaver’s Transmission Model of Communication


Sumber: Shannon, C. E. (1948). A mathematical theory of communication. Bell Systems
Technical Journal, 27:398

Selain Formula Lasswell, model komunikasi lainnya yang penting


dan diterima luas sebagai salah satu benih lahirnya ilmu komunikasi
adalah model yang dikenalkan oleh Shannon & Weaver, yang
disebut sebagai model komunikasi transmisi. Namun demikian, jika
kita cermati secara lebih mendalam, kedua model komunikasi
tersebut gagal mempertimbangkan respon yang muncul dari
komunikan. Menurut Baran (2009:5), communication is not merely
sending a message, but requires the response of others.
Model komunikasi yang dikenalkan oleh Lasswell dan Shannon &
Weaver mengasumsikan bahwa receiver menerima pesan secara
pasif dari sender. Artinya, kedua model tersebut tidak mengakui
respon dari komunikan sebagai pesan. Seperti telah dijelaskan di
muka, model seperti ini oleh West & Turner (2007) disebut dengan
“komunikasi sebagai aksi” atau one-way communication. Walau

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 58

demikian, kedua model tersebut relevan untuk memahami


fenomena komunikasi dalam konteks komunikasi massa.
Pada tahun 1970, Wilbur Schramm―yang dikenal sebagai Bapak
Ilmu Komunikasi― mengatakan bahwa the most dramatic change in
most communication theory in the last 40 years was the
abandonment of the idea of passive audience. Audience is a full
partner in the process of communication (Narula 2006:31). Memang,
pada kenyataannya, komunikasi merupakan proses yang bersifat
dua-arah, atau bahkan multi-arah. Berbasis dari pemikiran ini,
muncul kemudian model komunikasi dari Osgood & Schramm
(Promjiem 2009). Model komunikasi dari Osgood & Schramm ini
adalah model komunikasi yang sirkuler (melingkar) yang berfokus
pada perilaku dan keterampilan yang diperlukan untuk mengatur
proses komunikasi. Terkait dengan hal ini, Schramm (Wells &
Hakanen 1997:56) menyatakan bahwa: “It is misleading to think of
the communication process as starting from somewhere and ending
somewhere. It is really endless…”
Apa yang diungkapkan oleh Schramm di atas pada dasarnya selaras
dengan salah satu model komunikasi yang dipaparkan oleh West &
Turner (2007) di mana “komunikasi dianggap sebagai transaksi”
atau yang sering disebut juga sebagai two-way (many-way)
communication.

SOURCE MESSAGE CHANNEL RECEIVER


Communication Skill Elements Seeing Communication Skill
Attitudes Structure Hearing Attitudes
Knowledge Content Touching Knowledge
Social System Treatment Smelling Social System
Culture Code Tasting Culture

Model Komunikasi Berlo (S-M-C-R)


Sumber: Narula, U. (2006). Handbook of Communication: Models, Perspectives, Strategies. India,
New Delhi: Atlantic, hal. 31.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 59

Model Komunikasi Sirkular Osgood & Schramm


Sumber: http://communicationtheory.org/osgood-schramm-model-of-communication.

Saat ini, banyak pemikir komunikasi yang setuju bahwa pada


faktanya komunikasi melibatkan hubungan lebih dari satu arah
(Hallahan et al. 2007), tidak hanya sebagai tindakan mengirimkan
pesan, tetapi juga sebagai representasi dari kepercayaan bersama
(McQuail 2005). Model ini dikenal sebagai model ritual. Model ritual
adalah salah satu model komunikasi yang dapat dikategorisasikan
sebagai “two-way communications”, interaktif atau selaras dengan
gagasan dasar dalam model lingkaran komunikasinya Schramm.
Dalam model ritual, komunikasi dipandang sebagai suatu proses
simbolik di mana realitas diciptakan, dipelihara, diperbaiki dan
diubah (Carey 1992). Bell, Golombisky & Holtzhausen (Hallahan et
al. 2007:20) menggambarkan perbedaan antara model transmisi
(satu arah) dan ritual (dua/banyak arah), sebagai berikut:
“Transmission asks questions about how we get information from here to
there across distances. The ritual model asks questions about how we
manage to get along together over time. The ritual model helps us explain
how we build shared reality and culture in social groups, including in
organizations, even as we account for constant change.”
(Model transmisi mengajukan pertanyaan tentang bagaimana kita bisa
mendapatkan informasi dari sini ke sana melintasi jarak. Model ritual
mengajukan pertanyaan tentang bagaimana kita berhasil mendapatkan

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 60

informasi bersama-sama dari waktu ke waktu. Model ritual membantu kita


menjelaskan bagaimana kita membangun realitas bersama dan budaya
dalam kelompok sosial, termasuk dalam organisasi, bahkan ketika kita
menjelaskan perubahan yang konstan.)

Pergeseran perspektif dalam pengembangan model komunikasi


muncul seiring dengan lahirnya new media dan luasnya penggunaan
Internet di seluruh dunia. Saat ini, para pemikir komunikasi sepakat
untuk mengatakan bahwa realitas komunikasi melibatkan lebih dari
satu arah (Hallahan et al. 2007; Estaswara 2010a; McQuail 1989;
Carey 1992). Komunikasi tidak sekedar dipandang hanya sebagai
tindakan mengirimkan informasi (one-way communication atau
transmission model), tetapi juga merupakan representasi dari
kepercayaan bersama (McQuail 1989:44-45). Memang, untuk
beberapa content media, seperti berita (news) dan iklan, model
transmisi masih diterapkan. Namun untuk kegiatan media lain,
khususnya dalam konteks jaringan sosial (SNSs) di era konvergensi
media, model ritual lebih sesuai untuk digunakan (Shoemaker,
Tankard & Lasorsa 2004).
Model ritual pada dasarnya mirip dengan model komunikasi dua
arah yang bersifat simetris, interaktif, atau sirkular. Dalam model
ritual, komunikasi dipandang sebagai suatu proses simbolik di mana
realitas dibuat, dipelihara, diperbaiki, dan juga ditransformasikan
secara bersama-sama di antara peserta komunikasi (Carey 1992:21-
23). Pemahanan tentang model ritual di atas pada dasarnya juga
sesuai dengan pandangan Littlejohn (1992:378) yang mengatakan
bahwa komunikasi tidak terjadi tanpa makna dan orang-orang
menciptakan serta menggunakan makna dalam menafsirkan
peristiwa. Pemikiran ini juga berarti bahwa komunikasi merupakan
penciptaan makna intersubjektif (Putnam & Pacanowsky 1983).
Menurut Hallahan et al. (2007:24), kata kunci dalam memahami
model ini adalah “dialog”, atau percakapan yang mengalir secara
bebas dan demikian juga dengan penginterpretasian yang terjadi.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 61

Konsepsi ini juga selaras dengan model komunikasi diakronis yang


dipandang sebagai proses pembelajaran yang berkelanjutan di mana
makna-makna dikembangkan, seperti telah diusulkan oleh Thayer
pada tahun 1968 (Hallahan et al. 2007; Grunig & Grunig 1992).
Pemahaman tentang model ritual komunikasi di atas pada dasarnya
selaras dengan sifat SNSs. Aplikasi SNSs, seperti Facebook, Twitter
dan lainnya memiliki kemampuan untuk memuaskan rasa ingin tahu
dari para penggunanya tentang orang lain dan apa yang mereka
lakukan dengan hidup mereka. Selain mendapatkan dan berbagi
informasi (Hennig-Thurau et al. 2004), ada juga keinginan untuk
belajar dan membangun interaksi dengan orang lain, baik dikenal
atau tidak, yang dapat digunakan untuk mendukung kegiatan offline
lainnya (Byot & Ellison 2008:211). Ini berarti bahwa SNSs adalah
media di mana realitas dibuat, dipelihara, diperbaiki, dan
ditransformasikan.
Dalam konteks transmisi, para pemikir komunikasi sepakat bahwa
komunikasi dilihat sebagai proses tindakan untuk penciptaaan
makna satu arah. Namun, dalam model simetris dua arah, masih ada
perbedaan pandangan dari para pemikir komunikasi. Beberapa ahli
komunikasi mengakui model ini sebagai proses penciptaan makna
bersama yang bersifat konotatif, atau sering disebut dengan
“dialog”.
Sementara yang lain melihatnya sebagai penciptaan makna
(denotatif) baru, yang disebut sebagai “konsensus” (Hallahan et al.
2007:23-24.). Namun, mengutip Hallahan et al. (2007:24), terkait
dengan persoalan stakeholder relations, model konsensus
dipandang lebih lemah dibandingkan dengan model dialog, karena
ketidakmampuannya dalam mengakomodasi aspek emosional dari
peserta komunikasi.
“It would, however, be a pitfall to overlook the connotative side of
meaning in consensus building and see it only as a rational process of

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 62

decision making in which emotions have no place and alternative meanings


get no ear. Noelle-Neumann (1974) showed that meanings go undercover
as soon as they may not be heard, and they explode sooner or later.”

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana model komunikasi yang


tepat digunakan dalam membangun hubungan dengan stakeholder
di era konvergensi media? Menurut Grunig & Hunt (Morsing &
Schultz 2006:325), pada tahun 1984, teori public relations
berpandangan bahwa 50% dari perusahaan mempraktikkan strategi
komunikasi yang bersifat satu arah, one-way communication, atau
hanya memberikan informasi kepada stakeholder-nya (informative
strategy).
Strategi ini sering disebut—dalam banyak kasus, terutama sekali
dalam konteks periklanan dan komunikasi pemasaran—sebagai
persuasive communication. Kemudian, hanya ada sekitar 35%
perusahaan yang mempraktikkan komunikasi dua arah, two-way
communications, baik yang bersifat asimetris ataupun simetris.
Fakta ini berhubungan dengan teori sense-making atau persoalan
penyampaian informasi publik dalam upaya menciptakan proses
pembangunan sense-giving atau masalah penciptaan pemahaman
(Morsing & Schultz 2006:325-326).
Komunikasi dua arah simetris pada dasarnya adalah proses
membangun sense-making dan sense-giving. Pembangunan sense-
making dan sense-giving ini secara umum identik dengan model
komunikasi sirkuler yang dikenalkan oleh Osgood dan Schramm
pada tahun 1970. Terkait dengan model ini, Schramm (Wells &
Hakanen 1997:56) mengatakan bahwa:
“It is misleading to think of the communication process as starting from
somewhere and ending somewhere. It is really endless. We are little
switchboard centers handling and rerouting the great endless current of
information…”

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 63

Di era konvergensi media hari ini, kebutuhan perusahaan untuk


mengembangkan proses komunikasi dua arah yang bersifat simetris
semakin meningkat, khususnya dalam konteks stakeholder relations.
Sementara itu, komunikasi satu arah, seperti penyampaian
informasi tentang good will perusahaan memang masih diperlukan,
namun itu saja tidak cukup (Morsing & Schultz 2006:325).
Komunikasi dua arah merupakan bentuk dialog, yang bertujuan
untuk membangun kesamaan makna (co-creating meaning) melalui
diskusi, tidak sekedar mengakomodasi aspek rasional saja, namun
juga aspek emosional dari para peserta komunikasi. Jika memang
proses pembangunan kesamaan makna harus dilakukan melalui
konsensus, bagaimana pun juga dialog harus tetap menjadi
semangat utamanya. Hal ini seperti diungkapkan oleh Estaswara
sebagai berikut (Estaswara 2010a:71):
“Co-creating meaning is a situation of communication where a company
and its stakeholders stand equally and find solutions to their common
interest based on dialogue. In a relationship, certain cases require
consensus (rationalization), but this should not be the main spirit of the
company in building profitable relationships with stakeholders over the
years.”

Penjelasan tentang dialog di atas pada dasarnya juga selaras dengan


pernyataan Halal (2001:30), yang mengungkapkan bahwa daripada
berusaha memengaruhi atau memaksa orang lain, dialog berfokus
pada mendengarkan orang lain secara mendalam (empati) dan
fokus pada kepentingan bersama.
“A perspective of dialogue that goes beyond mere discussion to a powerful
form of mutual understanding and creative action. Rather than attempt to
influence or coerce others, dialogue focuses on deep listening with
empathy, expressing hidden assumptions, focusing on common interests,
and searching for conceptual breakthroughs. ...and organizational
learning, knowledge and dialogue explain how stakeholder collaboration
can produce creative strategies that benefit all parties.”

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 64

6
Value is Meaning
“Meaning” about “relationship” with stakeholders is a crucial issue
— Estaswara, 2010

Kita telah bicara banyak tentang co-creation value dan model


komunikasi di bab sebelumnya, namun kita belum mendiskusikan
secara lebih dalam yang dimaksud dengan value. Dalam konteks
stakeholder relations, istilah ‘value’ secara mudah dapat diartikan
dengan ‘makna’. Apa maksudnya? Ada dua arti dalam setiap
penggunaan istilah value dalam buku ini. Pertama, value yang
terkait dengan “makna perusahaan” di mata para stakeholder-nya,
atau sering disebut dengan brand value, baik product brand maupun
corporate brand. Kedua, value yang terkait dengan makna atas
“kualitas hubungan” antara merek atau perusahaan dengan para
stakeholder.
Mengingat bahwa perusahaan modern hari ini hidup di era new
media yang melahirkan prinsip interactive communication atau
dialog, serta memandang stakeholder sebagai ‘subyek komunikasi’
bukan lagi ‘obyek komunikasi’, maka pemahaman akan value harus
selalu diawali dari sisi stakeholder, bukan dari sisi perusahaan!
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, jika value diawali dari
perusahaan (inside-out), maka perusahaan tidak akan pernah bisa
memahami apa yang menjadi kepentingan para stakeholder-nya.
Perusahaan tidak memaham nilai-nilai yang pahami dan diyakini
oleh stakeholder.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 65

Value sebagai “Makna Perusahaan”


Dalam konteks stakeholder relations, ‘value’ pada dasarnya dapat
dikatakan sebagai ‘makna’ atau ‘arti’ perusahaan bagi para
stakeholder-nya. Jika perusahaan ‘berarti’ atau ‘bermakna’ di mata
para stakeholder-nya, dapat dikatakan juga bahwa stakeholder
membutuhkan perusahaan. Stakeholder menyukai, bangga dan
bahkan mencintai perusahaan! Mengapa demikian? Karena
perusahaan mampu memahami kepentingan para stakeholder-nya.
Mampu memahami nilai-nilainya. Akhirnya, perusahaan bisa
memenuhi kebutuhan stakeholder. Inilah perusahaan yang
“bermakna” dalam pandangan stakeholder.
Dengan demikian, stakeholder bangga bisa berhubungan dengan
perusahaan yang memahami kebutuhannya. Karyawan bangga
karena menjadi bagian dari manajemen perusahaan. Pemasok
bangga karena bahan bakunya digunakan sebagai dasar
menciptakan produk perusahaan. Konsumen bangga karena
menggunakan produk perusaaan. Kebanggan terhadap perusahaan
dapat dicontohkan dengan kasus Toyota Avanza berikut ini.

KASUS 6.1

Avanza Idola Kalangan Menengah

Sejak Kijang naik kelas menjadi Innova, praktis Toyota tidak memiliki
kendaraan yang harganya sangat terjangkau bagi masyarakat
menengah ke bawah. Kerinduan itu pun akhirnya terjawab setelah PT.
Toyota Astra Motor (TAM) menghadirkan ‘adik’ dari Innova, yaitu
Avanza pada Januari 2004. Avanza langsung naik daun menjadi mobil
terlaris di Indonesia. Status mobil keluarga yang melekat pada Avanza
membuat MPV tujuh penumpang tersebut laris bak kacang goreng.
Bahkan hingga usianya hampir lima tahun sampai saat ini
penjualannya mencapai 270 ribu unit lebih, Avanza masih inden dan
konsumen harus menunggu dua hingga tiga bulan lamanya. Uniknya

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 66

lagi, konsumen tetap setia menanti meskipun berbagai produk


serupa, seperti kembarannya Daihatsu Xenia atau Nissan Grand
Livina, membanjiri pasar otomotif nasional.
Memang benar apa yang dikatakan Johnny Darmawan, Presiden
Direktur PT. Toyota Astra Motor, bahwa Avanza disukai masyarakat
karena Avanza sangat sesuai sebagai mobil pertama, kualitasnya yang
sangat baik, irit bahan bakar, harganya terjangkau, dan jaringan after
sales yang kuat di seluruh Indonesia. “Saat ini masa inden Avanza
masih sekitar 2-3 bulan. Kami mohon maaf dan berterima kasih
kepada seluruh pelanggan yang setia dan percaya kepada Avanza
sehingga berkenan menunggu,” tukas Johnny.
Sejak diperkenalkan pertama kali pada tahun 2004, Avanza tak
tergoyahkan merajai pasar, tak hanya di kelasnya namun juga menjadi
mobil terlaris di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Pengakuan
kualitas produk dan layanan juga dapat dilihat dari berbagai
penghargaan yang diterima, baik dari media maupun lembaga survei
independen. “Kami bersyukur, antuasiasme pasar tetap tinggi.
Permintaan pasar Avanza terus tumbuh, dari angka 50 ribu-an per
tahun pada 2004 dan 2005, berkembang menjadi lebih dari 60 ribu-an
unit pada tahun 2007 - 2008. Terkait dengan tingginya permintaan
ini, bahkan terkadang harga jual kembali Avanza lebih tinggi dari
harga belinya,” imbuh Johnny.
Pada tahun pertamanya di 2004, Avanza yang terjual mencapai 43.936
unit dan menguasai pasar kendaraan 4x2 Low sebanyak 35%. Jumlah
tersebut membengkak menjadi 54.893 unit dan mengusai pasar 37,1%
pada tahun 2005. Selanjutnya Avanza menguasai pasar hingga 50%
dengan penjualan 52.260 unit di tahun 2006. penjualan Avanza
kembali meningkat di tahun 2007 menjadi 62.010 unit dengan market
share 52,1%. Terakhir hingga September 2008, Avanza sudah terjual
60.104 unit dengan pangsa pasar 50%. Nah, dengan kehadiran Avanza
facelift yang sosoknya lebih segar, Toyota dipastikan tetap
menjadikan Avanza sebagai tulang punggung dan lumbung
pemasukan utama. Dengan segala kepraktisan dan nama besar
Toyota, masyarakat juga tak akan ragu memilih produk favoritnya
untuk berada di garasi rumahnya.
Sumber: Inilah.com, 15/10/2008

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 67

Value sebagai “Makna Hubungan”


Di samping value sebagai “makna perusahaan” di mata para
stakeholder-nya, value juga dapat dikatakan sebagai “makna
hubungan” yang dibangun oleh perusahaan di mata para
stakeholder-nya. Ibarat kita berhubungan dengan orang lain, kita
tidak sekedar berpikir bahwa kita sedang berhubungan dengan
siapa. Atau, bagaimana reputasi orang yang berhubungan dengan
kita. Lebih dari itu, kualitas hubungan yang terjalin juga merupakan
bentuk value. Percuma jika kita berhubungan dengan orang yang
memiliki reputasi baik, namun kualitas hubungan yang terjalin tidak
ada. Di era corporate-centric, kondisi seperti ini sangat mungkin
terjadi, namun di era new media, “makna hubungan” menjadi
persoalan yang harus diperhatikan oleh perusahaan.

KASUS 11.2

Kristen Fischer: Layanan Pelanggan yang Tepat Sasaran

Entah Anda adalah karyawan suatu perusahaan atau pemilik suatu


usaha, hampir semua pekerjaan dewasa ini berkaitan dengan
konsumen. Konsumen adalah kehidupan dan darah dari tiap bisnis,
dan menghadirkan layanan pelanggan berkelas bintang lima adalah
cara yang termudah dan tanpa biaya untuk menumbuhkan usaha
Anda. Membuat pelanggan merasa nyaman saat berbicara dengan
Anda melalui telepon, atau saat bertatapan muka langsung, dapat
membangun kepercayaan dan hubungan yang memberi mereka
kesenangan dalam menggunakan produk Anda.
Dalam persaingan ekonomi yang semakin ketat ini, pelanggan tahu
bahwa mereka memiliki pilihan. Kompetisi antarbisnis terasa semakin
berat. Pelajarilah bagaimana mengatasinya melalui layanan pelanggan
yang ramah dan bersahabat. Dan karena sebagian besar orang
bersedia membayar lebih untuk produk yang memiliki layanan
berkelas bintang lima, Anda bisa tetap bertahan dalam kompetisi itu.
Pada artikel ini diuraikan bagaimana suatu perusahaan memenangkan
penghargaan JD Power Customer Service dua kali dalam setahun.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 68

Langkah 1
Ada 4 prinsip dasar interaksi penting dengan pelanggan. Langkah
pertama Anda adalah mempraktekkan kesopanan. Kesopanan lebih
dari sekedar senyuman dan kontak mata. Kesopanan adalah mengenai
membangun hubungan baik dengan pelanggan yang akan selalu
dikenang oleh mereka. Kesopanan adalah tentang memberikan
kepada pelanggan “kehangatan dan kehalusan” perusahaan Anda.
Kesopanan di sini adalah tentang bagaimana menunjukkan bahwa
produk Anda bisa menjadi solusi kebutuhan konsumen dan Anda
bersedia dengan senang hati membantunya.
Untuk mendongkrak kesopanan, Anda perlu memulainya dengan
membuat kontak mata dan senyuman. Namun kuncinya adalah
berpikir bahwa Anda sedang menghadapi konsumen relasi jangka
panjang. Akankah Anda bersikap diam saja, dingin, cuma sekedar
transaksional dengan keluarga Anda? Diharapkan tidak. Bahkan jika
Anda tidak sedang bergairah, Anda perlu meretas senyum sedikit
lebih lebar. Tersenyumlah dengan mata Anda dan sedikit tertawa.
Perlakukan setiap konsumen sebagai seorang teman. Ulangi apa yang
sudah dikatakannya kepada Anda dengan menggunakan kalimat
seperti- “Saya pahami Anda mengatakan bahwa…” “Jadi maksud Anda
adalah…” Dan berikan mereka rasa bahwa Anda sedang mendengkan
dan ingin membantunya. Mereka tanpa sadar akan segera Anda
“dapatkan”. Jika mereka memberikan kepada Anda atau perusahaan
Anda suatu penghargaan, berterimakasihlah kepada mereka
sepatutnya!
Langkah 2
Keterampilan selanjutnya adalah perhatian. Jika konsumen
menelepon, biasanya karena dia mengahadapi masalah. Besar atau
kecil masalahnya, perlakukanlah dengan rasa hormat dan penting.
Sewaktu konsumen mengungkapkan perasaannya, segeralah sadari.
Tidak cukup hanya mengatakan “Saya mohon maaf”. Pecahlah rasa
marah dia dengan mengatakan, “Saya paham Anda merasa putus asa
saat ponsel Anda tidak mendapat sinyal, karena dengan demikian
mungkin Anda ketinggalan panggilan penting dan klien potensial.”
Demonstrasikan bahwa Anda memahami masalah secara keseluruhan.
Bahkan jika konsumen mengungkapkan masalah lainnya, misalnya:

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 69

“Saya kena PHK minggu lalu, dan baru saja perusahaan Anda
menghubungi saya agar melunasi segera tagihan-tagihan.” Masalah
konsumen itu adalah ia harus segera melunasi tagihannya, tapi
penting juga mencermati tiap ungkapannya. Suatu respon yang baik
adalah dengan mengatakan kepadanya bahwa Andapun pernah dalam
posisi seperti itu sebelumnya (walaupun barangkali tidak pernah.)
Dengan demikian dia tahu bahwa Anda senasib dan bisa
membantunya sebisanya, seperti halnya seorang teman. Anda akan
“mendapatkan” pelanggan dengan menunjukkan perhatian untuk
masalah-masalahnya.
Langkah 3
Setiap pelanggan ingin mendapatkan resolusi-satu-kali kontak. Betapa
repotnya jika harus menghubungi perusahaan berkali-kali untuk
masalah yang sama? Tiap orang tidak suka menghubungi layanan
pelanggan. Hal ini bisa dengan mudah dicegah dengan melakukan
segalanya secara benar pada awalnya. Selalu menyelesaikan masalah
sampai ke pusatnya dan pastikan tidak ada kesalahan yang dibuat dan
tidak ada masalah lain yang belum diselesaikan. Jangan
menyelesaikan masalah secara setengah-setengah.
Pelanggan tidak suka diminta menunggu lalu “diping-pong” dari satu
pihak ke pihak lain berkali-kali hanya untuk menjelaskan masalahnya
kembali. Biarkan ia tahu bahwa Andalah yang akan menangani
masalahnya mulai dari awal sampai akhir jika dimungkinkan. Jika
perlu “melemparnya” ke pihak lain, atau jika Anda perlu bertanya
kepada pihak lain mengenai situasi yang dihadapi, jelaskanlah
masalah pelanggan tersebut kepada pihak lain itu sehingga pelanggan
tidak perlu mengulanginya sendiri. Bahkan jika Anda tidak bisa
memberi bantuan, tetap berikan kesan Anda yang menanganinya
sampai pasti ia puas sebelum pergi atau meninggalkan Anda, jadi ia
tidak perlu menghubungi anda berulang-ulang kali mengenai suatu
masalah.
Langkah 4
Tunjukkan percaya diri, dan berikan rasa itu. Supaya pelanggan
percaya pada Anda tidak hanya berarti memiliki pengetahuan yang
lengkap atas bisnis perusahaan tetapi juga rasa keyakinan terpancar
dari suara dan bahasa tubuh Anda. Pelanggan yang ragu-ragu selalu
menelepon ulang. Agar bisa menjual atau mencegah pelanggan pergi

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 70

dengan rasa kesal, Anda harus menunjukkan 100 persen keyakinan


bahwa memiliki pengetahun dan solusi yang ia perlukan. Selalu ambil
waktu untuk belajar dan mendapatkan pelatihan jika Anda merasa
belum paham atas bisnis perusahaan Anda. Pelanggan ingin orang
yang tahu apa yang ia bicarakan. Anda akan melihat perbedaanya saat
bisnis Anda mulai bertumbuh!
Sumber: http://isibuku.com/give-great-customer-service/

Multiple-Value
Di era new media hari ini hanya perusahaan yang mampu
membangun value melalui relationship yang dapat menciptakan
keuntungan (Phillips, 2006). Membangun value secara bersama-
sama melalui hubungan yang setara, co-creation! Menciptakan
interaksi yang harmonis dan personal antara perusahaan dan
stakeholder tanpa ada dominasi. Hal ini dapat dilakukan jika ada
pemahaman yang mendalam tentang stakeholder. Pemahaman
yang mendalam tentang kebutuhan dan kepentingan stakeholder!
Suatu stakeholder insight!
Pertanyaannya kemudian, apakah semua perusahaan telah
melakukan hal tersebut? Menurut William (2003) dalam tulisannya
di Advance Management Journal dengan judul: The relation
between employee perceptions of stakeholder balance and
corporate financial performance, menyatakan bahwa, the creation
of ‘value’ has long been at the heart of corporate mission
statements.
Hal senada juga diungkapkan oleh Bridges, Marcum & Harrison
(2003), menurutnya penciptaan value sebenarnya memang sudah
lama menjadi jantung dari pernyataan misi perusahaan. Namun
menariknya, misi tersebut umumnya hanya ditujukan kepada
shareholder atau pemegang saham saja. Sampai saat ini, praktik di
banyak perusahaan, shareholder selalu menjadi misi utama!

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 71

Sedangkan pelibatan stakeholder lainnya masih dirasa sangat


kurang.
Menurut Agle & Mitchell (2007), konsepsi ini disebut teori
stakeholder yang superior, di mana kepentingan stakeholder lainnya
—bahkan konsumen maupun karyawan—cenderung diabaikan. Jika
manajemen hanya mewakili satu kepentingan, maka hubungan yang
terjadi adalah dominasi. Manajemen hanya berpikir tentang
bagaimana menghasilkan keuntungan bagi pemegang saham.
Perusahaan tidak memiliki ‘will’ untuk berpikir dalam multiple-value.
Padahal, jumlah stakeholder perusahaan tidaklah satu, namun
banyak. Multiple-stakeholder.

“Komunikasi bukan sekedar


kemampuan bicara! …Namun, sangat
membutuhkan kemampuan perusahaan
untuk mendengar!”

Semua stakeholder haruslah dipandang sebagai partner


perusahaan! Dengan demikian, stakeholder akan merasa ‘memiliki’
sehingga mereka selalu siap membela perusahaan! Konsep ini sering
di sebut sebagai stakeholder loyalty atau terciptanya loyalitas
stakeholder! Hal ini dapat terjadi jika perusahaan mampu
memahami apa yang dibutuhkan dan apa yang menjadi kepentingan
dari para stakeholder-nya. Di sisi lain, stakeholder juga
menginformasikan kebutuhan dan kepentingannya pada
perusahaan.
Ini semua dapat dicapai jika dilakukan melalui dialog. Melalui suatu
interaksi yang harmonis dalam jangka panjang! Akhirnya,
perusahaan dan stakeholder saling bekerjasama secara aktif untuk

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 72

mencapai kepuasaan. Inilah esensi dari penciptaan kepuasaan atas


nilai bagi kedua belah pihak! Sebuah pelajaran penting dari konsep
co-creation value! (Estaswara 2008a).
Secara komunikasi, penciptaan hubungan yang harmonis serta
saling memahami dan menguntungkan dalam pencapaian kepuasan
kedua belah pihak dalam jangka panjang tersebut sangat terkait
dengan proses pembangunan, penyamaan dan penyatuan persepsi
atas nilai (value) melalui interaksi yang equal (Estaswara 2008a).
Artinya, komunikasi bukan sekedar kemampuan bicara! Bukan
masalah jago ngomong! Namun, komunikasi sangat membutuhkan
kemampuan perusahaan untuk mendengar! Komunikasi tidak hanya
‘mulut’, namun juga memerlukan fungsi ‘telinga’.
Dengan mendengarkan, perusahaan akan mampu memahami
kebutuhan dan kepentingan para stakeholder. Tidak hanya sampai
di situ, perusahaan juga harus mampu mewujudkan kepentingan
para stakeholders-nya guna mencapai kepentingan perusahaan
dalam jangka panjang. Ini adalah roh dari sebuah hubungan yang
menguntungkan di mana kemampuan untuk mendengarkan dan
memahami pada dasarnya merupakan perwujudan dari
pemahaman atas kepentingan stakeholder.
Jadi, ketika sejumlah stakeholder memiliki peran dalam
mempengaruhi tujuan dan opearsi perusahaan, maka perusahaan
haruslah mampu berpikir dalam kerangka multiple-value—sebagai
representasi dari multiple-audience, stakeholder perusahaan yang
beragam kepentingan—bukan single-value, hanya value dari
pemegang saham saja!

Value adalah Makna


Dalam baku ini, value digambarkan sebagai makna. Bagaimana bisa?
Meminjam rumus gravitasi yang dikenalkan oleh Isaac Newton,

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 73

menurut De Marle (1992), kita akan dengan mudah memahami arti


dari value. Newton pernah menjelaskan bahwa gravitasi adalah
berbanding terbalik dengan kuadrat dari jarak antara dua massa.
Demikian pula, nilai berbanding terbalik dengan biaya (De Marle
1992). Berdasarkan logika ini, De Marle (1992:10) kemudian
mengusulkan rumus persamaan nilai (value equation) sebagai
berikut:

V = %I V : the value of thing


%I : the relative importance of thing
%C %C : the relative cost of thing

Value Equation
Sumber: De Marle (1992:10).

Berdasarkan rumus persamaan nilai di atas, dapat dikatakan bahwa


nilai suatu barang (baik tangible dan intangible), katakanlah A,
tergantung pada bagaimana tingkat kepentingan (kegunaan) dari
barang A tersebut dipersepsikan di banding dengan persepsi
tentang biaya atau tingkat risiko atas penggunaan barang A
tersebut.
Namun makna adalah masalah persepsi. Mengingat bahwa sifat
dasar persepsi yang berarti (Estaswara 2008a), karena tingkat
pentingnya dan risiko “sesuatu” pada dasarnya adalah masalah
makna. Jika begitu, nilai dari sesuatu adalah semua tentang makna.
Berangkat dari premis di atas, saya mengusulkan nilai sebagai
makna dalam persamaan di bawah ini:

Mv = %Mi Mv : the meaning of value of thing


%Mi : the relative meaning of importance of thing
%Mc %Mc : the relative meaning of cost of thing

Figure 2. Value as Meaning Equation


Source: Theorizing of author (Adapted from De Marle 1992:10)

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 74

Jadi, menciptakan nilai berarti menciptakan makna yang dicari oleh


perusahaan untuk meningkatkan arti dari “sesuatu” yang
ditawarkan, apakah itu berwujud atau nyata, untuk meningkatkan
relativitas makna tentang pentingnya "sesuatu" di dalam persepsi
stakeholder melalui dialog dalam rangka untuk mengurangi
relativitas makna tentang biaya atau risiko dari "sesuatu". "Makna"
yang disajikan dalam makalah ini dapat dilihat sebagai sebuah
proposisi nilai yang dibangun berdasarkan teori bisnis. Dengan
demikian, proposisi nilai dari "sesuatu" secara alamiah dapat
diartikan sebagai makna dari proposisi "sesuatu" yang ditawarkan
oleh sebuah perusahaan untuk mendapatkan keuntungan.
Memang, pada awalnya, makna dari proposisi tentang "sesuatu"
yang ditawarkan dibuat dan di-share oleh perusahaan. Kemudian,
yang berarti harus terbuka untuk dialog dengan semua pihak yang
signifikan, tidak hanya pelanggan. Singkatnya, saya percaya bahwa
perusahaan harus mampu menciptakan "co-creation value" atas
"sesuatu" yang diusulkan kepada para pemangku kepentingan
melalui dialog ketimbang konsensus atau pada satu arah tindakan.
Jika "hal" yang ditawarkan oleh perusahaan dirasakan oleh
stakeholder sebagai signifikan, maka relativitas makna tentang biaya
atau risiko dari "sesuatu" yang ditawarkan akan berkurang. Jadi,
secara matematis, dapat meningkatkan kualitas makna tentang
"sesuatu" dalam pikiran para pemangku kepentingan. Secara umum,
berdasarkan premis dan "persamaan makna" di atas, saya dapat
mengajukan hipotesis sebagai berikut: makna yang lebih tinggi dari
pentingnya "sesuatu" akan berbanding terbalik dengan arti dari
biaya atau risiko hal ini.

Sebagaian besar dari tulisan ini pernah diterbitkan di CoverAge: Journal of Strategic Communications,
Vol. 1(1):62-75, September 2010, dengan judul: “Stakeholder Relationship in Integrated Marketing
Communications (IMC): A Theoretical Perspective.”

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 75

7
Jenis & Kelompok Stakeholder
Stakeholder is any group or individual who can affect or is
affected by the achievement of the firm’s objectives.
— Freeman, 1984

Banyak pemikir yang telah membagi jenis stakeholder. Di Indonesia


sendiri, umumnya dikenal ada dua jenis stakeholder dalam
perusahaan, yaitu stakeholder internal dan stakeholder eksternal.
Ada pula yang membaginya dengan stakeholder primer dan
stakeholder sekunder. Di samping dua jenis stakeholder di atas,
Marsh dalam bukunya yang berjudul: A Stake in Tomorrow: World
Class Lessons in Business Partnerships (1998), mengenalkan ada
empat jenis stakeholder, yaitu core stakeholders, customers,
controllers, dan partners. Sedangkan dalam buku ini, saya ingin
mengenalkan tiga pengkategorian jenis stakeholder yang dibangun
oleh Werther dan Candler (2006), yaitu stakeholder organisasi,
ekonomi, dan sosial.
Dengan demikian, sekarang kita mengenal ada empat cara
menggolongkan jenis-jenis stakeholder. Walaupun dalam bab ini
ketiga jenis stakeholder yang duikenalkan oleh Werther dan
Candler, namun pada setiap pembahasan saya akan mengkaitkan
dengan jenis-jenis stakeholder lainnya, sehingga kita mendapatkan
pemahaman yang lebih komprehensif.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 76

Jenis dan Kelompok Stakeholder


Telah dijelaskan di bagian awal buku ini bahwa public relations
memiliki tugas untuk menjaga dan memelihara hubungan baik
dengan semua publik perusahaan. Sedangkan publik-publik
perusahaan yang dimaksudkan oleh Cutlip, Center & Broom (1994)
dalam definisinya tersebut tak lain adalah stakeholder itu sendiri
(Guth & Marsh 2003). Lalu, siapa saja yang dianggap sebagai
stakeholder perusahaan dan bagaimana pengelompokan
stakeholder-nya?

Stakeholder Organisasi
 Pemegang Saham Globalisasi
 Manajemen
 Karyawan
 Persatuan Buruh
Stakeholder Economic
 Pelanggan
 Pemasok
 Distributor
 Kreditur
Stakeholder Societal
 Komunitas
 Regulator
 LSM (NGOs)
 Lingkungan
Teknologi

Jenis dan Kelompok Stakeholder Perusahaan


Sumber: Werther dan Chandler. (2006). Strategic Corporate Responsibility:
Stakeholders in a Global Environment. (New Delhi: Sage Publication) 4.

Menurut Werther dan Candler (2006:4), seperti terlihat pada


Gambar di bawah, stakeholder perusahaan dapat di kategorikan
menjadi tiga jenis, yaitu stakeholder organisasi, economic
stakeholder dan societal stakeholder.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 77

Stakeholder organisasi meliputi shareholder (pemegang saham),


manajemen, karyawan dan persatuan karyawan atau buruh (union).
Kelompok ini sering di sebut sebagai stakeholder internal.
Sedangkan stakeholder economic terdiri dari pelanggan, pemasok,
distributor dan kreditur. Terakhir, yang termasuk ke dalam
stakeholder societal adalah komunitas, regulator (pemerintah), LSM,
media dan lingkungan. Stakeholder economic dan societal sering
disebut stakeholder eksternal.
Secara bersamaan, ketiga kategori stakeholder tersebut merupakan
satu-kesatuan lingkaran di mana stakeholder organisasi menjadi
pusat dari keseluruhan lingkaran stakeholder yang dimiliki
perusahaan, baik, stakeholder economic maupun societal.

KASUS 12.1

Hubungan dengan Pihak-Pihak Terkait

Mendengarkan orang lain dan belajar dari pihak-pihak terkait


menginformasikan pembuatan keputusan kami, memperkuat
hubungan dan membantu kami mencapai kesuksesan dalam bisnis.
Pendekatan kami
Kesuksesan kami sebagai perusahaan bergantung pada hubungan baik
dengan sejumlah orang dan organisasi yang memiliki kepedulian
dalam bisnis kami.
Dengan beberapa pihak, seperti para pelanggan, karyawan, supplier
dan investor, hubungan ini berdasarkan kontak langsung atau
keterlibatan finansial dengan bisnis.
Lainnya, seperti pemerintah dan penguasa, masyarakat lokal,
organisasi masyarakat sipil, akademi dan individu terkait ,
mempunyai kepedulian lebih luas terhadap apa yang kami lakukan
dan dampak keseluruhan yang ditimbulkan dalam masyarakat.
Dari semua aktivitas kami berusaha berhubungan dengan pihak-pihak
terkait untuk membantu kami mengidentifikasi isu kepedulian,

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 78

membimbing laporan kami dan memberikan timbal balik pada area


spesifik dari aktivitas. Bekerja dengan rekanan penting bagi
perkembangan dan mengantarkan komitmen utama kami akan
kesinambungan. .
Jenis hubungan
Keberagaman hubungan berarti kami berhubungan dengan berbagai
cara, bergantung pada sifat kepentingan masing-masing, relevansi
pada bisni dan cara paling praktis memenuhi kebutuhan spesifik para
pemegang saham dan harapannya.
Sebagai contoh, dengan para pelanggan, tim brand kami terus
berkomunikasi untuk memahami kesukaan mereka, kebutuhan dan
tren. Kami mengoperasikan saluran telpon untuk keluhan konsumen,
menyediakan informasi mengenai usaha kami, merk dan kampanye
mereka melalui banyak situs web yang bervariasi, dan melaksanakan
penelitian pelanggan yang lebih detil.
Bersama dengan para pemegang saham lainnya, seperti pemerintah
lokal dan organisasi masyarakat sipil, operasional perusahaan kami,
tim brand dan kategori, dan para ahli dalam area seperti nutrisi,
mempunyai rapat rutin, berpartisipasi dalam proyek penelitian, survei
dan simposium, dan berkontribusi pada kebijakan publik dan debat
grup dengan kepentingan khusus.
Keputusan mengenai hubungan yang dibuat pada level lokal, regional
dan global, dan hasil yang menginformasikan pengambilan keputusan
bisnis kami. Kami berfokus pada isu dimana kami dapat memberikan
sumbangsih yang berarti dan mempunyai tanggung jawab untuk
memainkan aturan penting yang mendukung tujuan bisnis Unilever.
Umumnya, kami menemukan bahwa dialog konstruktif, termasuk
dengan mereka yang memiliki pandangan kritis, membantu kami
memahami dilema yang kami hadapi dalam menjalankan bisnis yang
selalu mencari tanggung jawab dan kesinambungan.
Kemitraan
Lebih lagi, kami mencoba membangun hubungan kerjasama yang
bertahan beberapa tahun dengan organisasi pemerintah dan LSM dan
yang dapat mengambil tindakan praktis sebagaimana kami
menginformasikan pemahaman kami mengenai sejumlah isu. Mitra

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 79

kami memiliki keahlian pada pertanyaan spesifik sebagaimana halnya


jaringan memberikan ide praktis di lapangan.
Kami merasa kami dapat lebih efektif dengan memfokuskan pada
jumlah yang terbatas dari hubungan kerjasama yang lebih dalam yang
berhubungan dengan prioritas isu kami seperti nutrisi, kebersihan dan
pemeliharaan.
Sumber: www.unilever.co.id

Stakeholder organisasi adalah individu atau kelompok yang secara


langsung mempengaruhi proses jalannya manajemen organisasi
dalam mencapai tujuannya. Dengan demikian, karyawan dapat
dikatakan sebagai stakeholder organisasi yang paling penting. Dari
titik ini muncul kemudian konsep stakeholder primer atau core
stakeholder. Mengapa demikian? Karena karyawan merupakan
penggerak utama manajemen organisasi. Di sisi lain, karyawan
seringkali juga menjadi pelanggan perusahaan atau menjadi anggota
stakeholder economic. Di samping itu, karyawan juga merupakan
bagian dari masyarakat (stakeholder societal).
Apa itu stakeholder economic? Perusahaan―dalam konteks profit
organization― pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan laba.
Bisnis adalah proyek penciptaan profit! Namun, ini semua dapat
dicapai jika produk yang dibuat oleh perusahaan laku dijual
dipasaran. Produksi membutuhkan bahan baku, dan kebutuhan ini
disediakan oleh para pemasok. Kemudian, setelah bahan baku
diproses di pabrik oleh karyawan, jadilah produk yang siap dijual
melalui perantara atau distributor. Produk yang terjual akhirnya
menghasilkan profit bagi perusahaan. Semua proses tersebut juga
melibatkan stakeholder yang terkait dengan mata rantai bisnis
perusahaan, yaitu stakeholder yang terkait dengan masalah
ekonomi perusahaan! Pertanyaannya, siapa stakeholder economic
yang paling penting bagi perusahaan? Jawabannya mudah,

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 80

pelanggan tentunya! Mengapa demikian? Karena pelanggan adalah


sumber utama profit perusahaan.
Terakhir, apa itu stakeholder societal? Sebelum menjawab
pertanyaan ini, lihat kembali posisi stakeholder economic dalam
Gambar di atas. Stakeholder ekonomic merupakan persinggungan
antara stakeholder organisasi dan stakeholder society. Pelanggan
merupakan sumber profit perusahaan. Di sisi lain, pelanggan
merupakan bagian dari masyarakat. Tidak hanya bagian dari
masyarakat di mana perusahaan beroperasi, pelanggan juga selalu
berinteraksi di dalam masyarakat, berinteraksi dengan anggota
masyarakat lainnya, karena mereka memang anggota masyarakat!
Di samping memiliki nilai-nilai individu, pelanggan juga hidup dalam
nilai-nilai sosial yang dianut oleh masyarakat. Ia hidup dalam sistem
sosial yang berlaku.
Di sinilah titik pentingnya perusahaan harus menjalin hubungan baik
dengan masyakarat dalam lingkungan sosial di mana perusahaan itu
berdiri. Lalu, menurut Anda, siapa stakeholder societal yang paling
penting bagi perusahaan?
Ketiga kategori stakeholder perusahaan di atas, semuanya berada
dalam konteks globalisasi lingkungan bisnis yang disebabkan oleh
pesatnya perkembangan teknologi industri dan komunikasi.
Perubahan inilah yang akhirnya membuat stakeholder relations
menjadi penting hari ini.

Co-Creation Value dan Kelompok Stakeholder


Kembali bicara masalah co-creation value, seperti telah dijelaskan di
bagian sebelumnya, berdasarkan jenis dan kelompok stakeholder
perusahaan yang telah dikenalkan oleh Werther dan Chandler
(2006) dalam gambar di atas, pertanyaan yang muncul kemudian
adalah: apakah setiap kelompok stakeholder memiliki value yang

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 81

sama atau berbeda? Value yang dapat dibangun secara bersama-


sama antara perusahaan dengan stakeholder-nya (co-creation
value), pada dasarnya berbeda. Dengan demikian, berdasarkan
gambar di atas, ada tiga value yang harus dipenuhi oleh perusahaan,
yaitu: (1) value organisasi; (2) value ekonomi dan (3) value sosial.
Value (nilai) sendiri dapat dikatakan sebagai “makna” atau “arti”
perusahaan di mata para stakeholder-nya. Ini merupakan
pandangan yang bersifat stakeholder-centric—yang telah
melampaui pemahaman tradisional yang bersifat corporate-centric.
Artinya, jika perusahaan “berarti” atau “bermakna” bagi para
stakeholder-nya, maka value perusahaan menjadi tinggi.
Value organisasi merupakan makna yang harus dibangun oleh
perusahaan—dalam hal ini dilakukan oleh public relations officer
(PRO)—dengan para internal stakeholder, seperti dengan
shareholder, manajemen, dan karyawan bahkan juga dengan
persatuan buruh/karyawan (union). Di mata shareholder (pemegang
saham) organisasi/perusahaan yang memiliki value tinggi adalah
perusahaan yang memiliki prestasi keuangan. Peru-sahaan yang
mampu menciptakan trend keuntungan (profit) yang selalu
meningkat dari tahun-ke-tahun.
Di mata karyawan dan persatuan karyawan (union), perusahaan
yang mampu mem-berikan kesejahteraan dan kepuasan kerja bagi
para mereka dikatakan sebagai perusa-haan yang memiliki value
tinggi. Kesejahteraan dapat diartikan dengan tingkat gaji dan
sederet fasilitas, tidak hanya fasilitas kerja, namun juga fasilitas
kesehatan dan pendi-dikan. Tidak hanya untuk dirinya sendiri
sebagai pekerja di perusahaan tersebut, namun juga untuk seluruh
anggota keluarganya. Sedangkan kepuasan kerja dapat diartikan de-
ngan lingkungan kerja yang kondusif, pemberian penghargaan atas
prestasi dan sebagainya.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 82

Value ekonomi merupakan makna yang harus dibangun oleh


perusahaan dengan para stakeholder economic, terutama
pelanggan. Pemasok, distributor dan kreditur me-mang penting,
namun pelanggan merupakan fokus utama dalam penciptaan value
eko-nomi. Bagi pelanggan, perusahaan yang memiliki value adalah
perusahaan yang mema-hami kebutuhan dan kepentingannya,
terutama sekali di dalam konteks stakeholder relations adalah
kualitas pelayanan. Kualitas pelayanan merupakan bentuk
hubungan tertinggi dengan pelanggan, sehingga tak heran jika hari
ini banyak bermunculan berba-gai konsep tentang customer
relationship management.
Lalu bagaimana hubungannya dengan distributor? Value yang harus
dibangun pada dasarnya sama dengan bagaimana perusahaan
membangun hubungan dengan pelanggan. Namun, orientasinya
bersifat B2B (Business-to-Business). Sedangkan di mata supplyer,
perusahaan yang memiliki value tinggi jika perusahaan dapat
memberikan harga yang baik, hubungan yang harmonis dalam
jangka panjang. Di mata kreditur, value perusahaan adalah
creditworthiness, atau kelayakan sebuah perusahaan untuk
diberikan kredit (hutang bisnis). Basis pengukuran atas creditwor-
thiness adalah prestasi keuangan (potensi penciptaan profit)
perusahaan. Kepentingan ini pada dasarnya selaras dengan
kepentingan para shareholder.
Sebenarnya, shareholder sendiri dapat di bagi menjadi dua, yaitu
shareholder internal dan eksternal. Kreditur, dalam pengertiannya
yang paling umum, dapat dikatakan menyerupai (identik) share-
holder eksternal.
Value sosial adalah kemampuan perusahaan dalam membangun
hubungan sosial yang baik dengan para stakeholder societal. Intinya,
perusahaan hidup di dalam ruang sosial, di mana terdapat aturan,
nilai dan norma yang berlaku. Terdapat juga hak dan kewajiban.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 83

Kemampuan perusahaan untuk menyelaraskan diri dengan


lingkungan sosial adalah tujuan dari pembangunan social value. Di
mata pemerintah, perusahaan yang memiliki value adalah
perusahaan yang mentaati semua peraturan perundangan yang ada,
baik undang-undang ketenagakerjaan, anti-monopoli, pajak dan lain
sebagainya. Sedangkan di mata masyarakat, khususnya komunitas
setemapat di mana perusahaan berada, community relations
programs merupakan bentuk kontribusi sosial yang diharapkan.
Secara umum, value ini dapat dibangun melalui konsep CSR
(Corporate Social Responsibility).
Satu hal lagi, bagaimana dengan media massa? Bagi media massa,
perusahaan yang memiliki value adalah perusahaan yang
bagaimana? Untuk dapat men-jawab pertanyaan ini Anda harus
memahami apa fungsi dan peran media massa di dalam masyarakat.
Berdasarkan konsep co-creation value, berbagai value tersebut
harus dibangun oleh perusahaan dengan melibatkan peran aktif
stakeholder melalui proses dialog. Hari ini, di era information
society, paradigma pemikiran dalam menjalin hubungan yang saling
menguntungkan dalam jangka panjang telah bergeser pada konsep
“dialog” dari pada sekedar persuasif ataupun konsensus. Kerangka
pemahaman “strategic communication” dalam artian “dialog” harus
menjadi spirit utama dalam co-creation value, bahkan saya telah
menganjurkan untuk menggunakan jargon: “co-creating value”
(Estaswara, 2010).

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 84

8
Stakeholder Loyalty
Is loyalty dead? It definitely looks that way, be it friendships, communities or even
marriage. Businesses too seem to have entered the age of one-night stands.
—Business Monthly, 2006

Pada tahun 2006, Business Monthly mengangkat artikel yang


berjudul “Loyalty Management Creating Value in Business” dengan
kalimat pendahuluan yang mengerikan, “is loyalty dead?” Apakah
sudah tidak ada lagi loyalitas? Lha, kok bisa! Pada tahun 2007, atau
satu tahun kemudian, di Indonesia, Dirjen Bimas Islam Departemen
Agama mengungkapkan bukti yang mengejutkan (14/08/2007),
“Setiap tahun ada dua juta perkawinan, tetapi yang memilukan
perceraian bertambah menjadi dua kali lipat, setiap 100 orang yang
menikah, 10 pasangannya bercerai, dan umumnya mereka yang
baru berumah tangga.”
Kondisi yang hampir sama juga terjadi di Singapura, perceraian dan
gugatan cerai mencapai 7.061 pada tahun 2006 meningkat dari
tahun sebelumnya yang tercatat pada 6.909 kasus. Untuk setiap
seribu kelompok pria menikah hampir 50% mengajukan gugatan
cerai. Sedangkan untuk kelompok wanita tercatat di bawah 40%
untuk setiap seribu dalam kelompok usia yang sama, demikian
menurut keterangan Departemen Statistik (kapanlagi.com,
25/07/2007). Mengerikan lagi laporan Suara Karya (15/08/2009),
Angka perceraian di Indonesia meningkat tajam dalam 5 tahun
terakhir. Lima tahun lalu angka perceraian masih di bawah 100 ribu,

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 85

tetapi pada tahun 2009, sudah mencapai lebih dari 200 ribu.
Sebagian besar (70%) justru istri yang menceraikan suami (gugat
cerai). Walah!
Apakah fenomena seperti ini yang melatarbelakangi Business
Monthly mengangkat isu loyalitas empat tahun silam? Apakah
perusahaan, konsumen, dan para stakeholder lainnya juga
mengikuti trend “cerai” seperti berbagai kasus perceraian suami-
istri di atas? Lha, cerai kok jadi trend! Tentunya tidak demikian!
Membangun loyalitas dari para stakeholder merupakan hal yang
sangat penting.
Masalahnya, dengan banyaknya isu-isu tentang turunnya perilaku
loyal individu yang ditunjukkan dengan tingginya angka perceraian,
Business Monthly kembali mengingatkan pentingnya untuk
memperhatikan loyalitas. Di samping itu, Business Monthly juga
meninjau ulang indikator kepuasan yang sering digunakan sebagai
determinan faktor dalam menentukan loyalitas.
Banyak penelitian yang telah dilakukan—termasuk di Indonesia—
yang mengangkat pengaruh tingkat kepuasan terhadap tingkat
loyalitas, yang umumnya berfokus pada konsumen. Kepuasan
merupakan pengalaman masa lalu, sementara kesetiaan adalah da-
sar dalam memprediksi (fungsi prediksi) masa depan. Terdapat
hubungan yang terputus di antara keduanya. Masa lalu tidak selalu
dapat menjadi prediksi bagi perilaku di masa depan. Mengapa
demikian? Seperti telah saya ungkapkan di muka, dunia sudah
berubah! Kondisi lingkungan bisnis hari ini menjadi sangat
unpredictable. Banyak pemain baru yang memasuki pasar, proses-
proses baru dan perkembangan pesat teknologi telah me-ngubah
cara kerja industri. Ini semua merupakan berbagai kondisi dasar
yang dapat membuat model bisnis menjadi usang.
Rahasia untuk memahami hubungan antara kepuasan dan loyalitas
terletak pada prediksi nyata dari perilaku loyalitas dan hubungannya

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 86

dengan kepuasan. Kesetiaan harus dapat mengidentifikasi perilaku


nyata yang dihasilkan dari sebuah kepuasan. Seharusnya, jika ada
kepuasan yang tinggi, stakeholder bersedia dengan suka rela
menun-jukkan perilaku kesetiaannya tersebut. Untuk menentukan
apakah stakeholder tersebut loyal atau tidak yang diakibatkan oleh
kepuasan, stakeholder (responden) harus mau menjawab
pertanyaan sederhana berikut ini, Bagaimana Anda akan
menunjukkan kesetiaan kepada perusahaan yang telah memberikan
Anda kepuasan?
Memang, uraian di atas masih berfokus pada masalah bisnis dan
pemasaran. Lalu, di mana aspek komunikasinya? Bukti pentingnya
peran public relations—sebagai profesi yang dikembangkan oleh
disiplin ilmu komunikasi—dalam menciptakan loyalitas stake-holder,
hanya dapat dilakukan dengan satu cara, menjawab pertanyaan
tersebut! “Ba-gaimana stakeholder akan menunjukkan kesetiaan
kepada perusahaan yang telah mem-berikan kepuasan?”

Mengidentifikasi Kepuasan Stakeholder


Mengapa stakeholder bisa berseberangan kepentingan dengan
perusahaan? Ini terjadi karena tingkat kepuasan stakeholder
terhadap perusahaan rendah, baik kepuasan secara organisasi,
ekonomi maupun sosial. Kepentingan stakeholder pada dasarnya
menyiratkan harapan atas tujuan yang hendak dicapainya. Jika
tujuan stakeholder tercapai, maka akan lahir kepuasan. Dengan
demikian, pentingnya sebuah perusahaan untuk memahami
kepuasan stakeholder yang dasarkan dari kepentingan dan power
yang dimilikinya. Akan sangat berbahaya jika stakeholder yang
memiliki power tinggi berseberangan kepentingan dengan
perusahaan.
Bicara kepuasan stakeholder, akan lebih baik jika diawali dengan

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 87

mendefinisikannya. Sampai saat ini, definisi tentang kepuasan yang


banyak diungkapkan adalah definisi berkaitan dengan kepuasan
konsumen (customer satisfaction), yang antara lain disebut-kan oleh
Tjiptono (2004):
“Kepuasan atau ketidakpuasan pelanggan adalah respon pelanggan
terhadap evaluasi ketidaksesuaian/diskonfirmasi yang dirasakan antara
harapan sebelumnya (atau norma kinerja lainnya) dan kinerja aktual
produk yang dirasakan oleh pemakai.”

Di sisi lain, dengan bahasa yang lebih sederhana, Kotler (1994)


menyebutkan kepuasan pelanggan sebagai:
“Tingkat perasaan seseorang setelah membandingkan kinerja (hasil) yang
dirasakan dibandingkan dengan harapannya.”

Lalu, apa itu loyalitas stakeholder? Berangkan dari definisi di atas,


mengingat juga konsumen atau pelanggan merupakan bagian dari
stakeholder, maka dapat didefinisikan sebagai:
“Kesenjangan antara apa yang dirasakan (factual condition) dengan apa
yang diharapkan (expectation condition) terkait dengan aktivitas
perusahaan.”

Kepuasan stakeholder pada dasarnya merupakan kondisi yang harus


dipenuhi (menjadi syarat) terciptanya loyalitas stakeholder. Artinya,
kepuasan stakeholder terhadap perusahaan (dapat juga dikatakan
dengan keselarasan nilai-nilai), dapat mempengaruhi terciptanya
loyalitas stakeholder terhadap perusahaan, yang umumnya
mengambil bentuk dengan cara mendukung (support) berbagai
aktivitas perusahaan dalam mencapai tujuannya.
Seperti halnya definisi loyalitas, arti loyalitas stakeholder juga jarang
diungkapkan di banding definisi loyalitas pelanggan. Menurut
Lovelock & Wirtz (2006), loyalitas pelang-gan didefinisikan sebagai:

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 88

“Kemauan pelanggan untuk terus mendukung sebuah perusahaan dalam


jangka panjang, membeli dan menggunakan produk dan jasanya atas dasar
rasa suka yang ekslusif dan secara sukarela merekomendasikan produk
perusahaan pada para kerabatnya.”

Dengan demikian, loyalitas stakeholder (stakeholder loyalty) dapat


diartikan sebagai berikut:
“Kemauan stakeholder untuk terus mendukung perusahaan dalam jangka
panjang, atas dasar kesamaan kepentingan atas nilai-nilai tertentu, baik
nilai-nilai organisasi, ekonomis, maupun sosial.”

Loyalitas stakeholder, seperti halnya loyalitas pelanggan tidak


terbentuk dalam waktu yang singkat, tetapi melalui proses sense-
making dan sense-giving yang konsisten sepanjang waktu. Teori
tentang sense-making (encoding) terkait dengan masalah penyam-
paian informasi publik dalam upayanya untuk menciptakan proses
pembangunan sense-giving (decoding) atau masalah penciptaan
pemahaman.
Kepuasan stakeholder merupakan syarat membangun stakeholder
loyalty, ini semua pada akhirnya akan menciptakan stakeholder
equity. Stakeholder equity sendiri dapat diartikan sebagai goodwill
(niat baik) dari stakeholder perusahaan. Model konseptualnya dapat
dilihat di bawah ini.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 89

9
Stakeholder Equity
The essence of stakeholder dialogue is the co-creation of shared understanding by
company and stakeholder
— Johnson-Cramer et al, 2003

Perkembangan teknologi komunikasi di akhir abad 21 telah


melahirkan sejumlah media yang dikenal dengan sebutan “new
media”. New media hadir menggantikan “old media” (media
tradisional), baik dengan cara mengombinasikan berbagai
karakteristik yang melekat pada old media ataupun yang benar-
benar memiliki karakteristik “baru” (new), seperti personal
computer (PC) dan Internet (Dijk, 2004:145).
Kehadiran new media―atau dapat juga disebut dengan konvergensi
media―pada faktanya telah mengubah trend industri komunikasi
dengan terjadinya “konvergensi industri”, antara industri content
dengan industri channel, yang pada akhirnya melahirkan berbagai
konsekuensi dalam bisnis, tidak hanya di bisnis telekomunikasi,
namun di seluruh area bisnis, termasuk juga konsekuensi strategis
dalam pembahasan tentang stakeholder relations.
Bagaimana pun juga konvergensi media telah mengubah cara
berkomunikasi manusia, tidak hanya itu, bahkan mengubah
peradaban manusia (Estaswara, 2008:201-206; Straubhaar &
LaRose, 2006:14-16). Hari ini, kita menghadapi dunia yang super
kompleks, baik dalam hal komunikasi maupun sebaran informasi
(Steele, 2009:491). Akibatnya, konvergensi media juga mengubah

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 90

bagaimana cara perusahaan mengelola informasi, berkomunikasi


dan menjalin hubungan dengan para significant audience-nya. Tidak
mengherankan jika saat ini, prinsip mengenai ‘relationship’ yang
berbasis digital communication dan digital information (data base)
marak dipraktekkan oleh banyak perusahaan, termasuk juga
perusahaan-perusahaan di Indonesia.
Perlu dicatat, relationship yang dibangun perusahaan pada dasarnya
tidak terbatas hanya kepada konsumen, namun juga melingkupi
keseluruhan stakeholder perusahaan, atau semua pihak yang
memiliki kepentingan dengan perusahaan (Estaswara, 2010a:62).
Cara-cara perusahaan menjalin relationship yang saling
menguntungkan dengan para stakeholder-nya di era konvergensi
media membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan era mass
communication. Berangkat dari kehadiran konvergensi media, lahir
kemudian perspektif baru dalam stakeholder relations yang disebut
system-centric.
Perspektif ini telah mengoreksi prinsip-prinsip pembangunan
hubungan dalam corporate-centric yang banyak dipraktekkan di era
old media (Estaswara, 2010b; 2010c; 2011). System-centric
menekankan bahwa dalam menjalin hubungan dengan stakeholder,
perusahaan tidak lagi berada di pusat dari hubungan tersebut
(Lozano, 2008:67-69). Posisi perusahaan bisa di mana saja dalam
sistem sosial yang terbentuk akibat konvergensi media, terutama
konsekuensi dari hadirnya PC dan Internet.
Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana proses
pembangunan stakeholder equity ketika perusahaan tidak lagi
memiliki potensi yang besar—karena tidak lagi berada di pusat—
terkait pembangunan hubungan dengan stakeholder dalam
perspektif system-centric? Di samping itu, stakeholder equity yang
saat ini dimiliki perusahaan—yang merupakan hasil dari upaya
pembangunan hubungan berdasarkan model corporate-centric—

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 91

sudah mulai dipertanyakan (Estaswara, 2010b).


Dalam tulisan ini, alasan bahwa stakeholder equity penting untuk
diangkat karena stakeholder equity merupakan tujuan akhir dari
proses pembangunan hubungan antara perusahaan dengan
stakeholder-nya.

Stakeholder Equity: Kepuasan dan Loyalitas


Bicara masalah stakeholder equity, secara konseptual tidak pernah
dapat dilepaskan dari aktivitas perusahaan dalam upayanya
membangun hubungan yang saling menguntungkan dalam jangka
panjang yang berbasiskan dialog dengan stakeholder, tingkat
kepuasan yang dihasilkan dari aktivitas tersebut, serta loyalitas yang
terbentuk dari para stakeholder-nya.
Mengapa stakeholder bisa berseberangan kepentingan dengan
perusahaan? Ini terjadi karena tingkat kepuasan terhadap
perusahaan rendah, baik kepuasan yang dilihat dari aspek
organisasi, ekonomi maupun sosial, sesuai dengan agregasi nilai dari
seluruh kelompok stakeholder perusahaan yang diidentifikasi oleh
Werther dan Chandler (2006:4).
Kepentingan stakeholder pada dasarnya menyiratkan harapan atas
tujuan yang hendak dicapainya. Jika tujuan stakeholder tercapai,
maka akan lahir kepuasan. Dengan demikian, pentingnya sebuah
perusahaan untuk memahami kepuasan stakeholder yang
didasarkan atas kepentingan yang dimiliki.
Kepuasan stakeholder (stakeholder satisfaction) dapat diartikan
sebagai kesenjangan (gap) antara apa yang dirasakan (factual
condition) dengan apa yang diharapkan (expectation condition)
terkait dengan aktivitas perusahaan. Gap antara factual dan
expectation condition ini dapat dikatakan sebagai locus of exchange
(LoE) atau pusat interaksi di mana nilai-nilai yang dimiliki

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 92

stakeholder dan perusahaan dipertukarkan.


Terdapat tiga bentuk LoE, yaitu koersif, konsensus dan dialog.
Koersif mencerminkan model corporate-centric di mana nilai-nilai
perusahaan “dipaksakan” kepada stakeholder-nya, atau disebut
dengan value creation. Sedangkan dalam konsensus—yang
merupakan salah satu versi model system-centric—nilai-nilai
perusahaan dipertukarkan (transactional) dengan nilai-nilai baru
(denotatif) sebagai bentuk kesepakatan dalam menjalin hubungan
dengan stakeholder. Terakhir, dialog sebagai versi lainnya dari
model system-centric merupakan proses pembangunan nilai-nilai
bersama melalui diskusi dalam kedudukan setara antara perusahan
dan stakeholder-nya atau dapat disebut sebagai co-creating
meaning (Estaswara, 2010a:70-71).
Di era konvergensi media, model komunikasi yang paling efektif
digunakan untuk menyelesaikan communication gap antara
perusahaan dan para stakeholder-nya dalam rangka penciptaan
kepuasan adalah dialog. Dialog mencerminkan system-centric di
mana proses menjadi fokus utama, bukan hasil.
Proses yang dimaksud di sini adalah proses pembangunan hubungan
yang didasarkan pada kesetaraan kedudukan melalui komunikasi
sirkular yang bersemangatkan dialog dalam rangka co-creating
meaning. Suatu proses komunikasi di mana realitas dibuat,
dipelihara, diperbaiki, dan juga ditransformasikan secara bersama-
sama antara perusahaan dan stakeholder-nya. Ide ini selaras dengan
pemahaman Johnson-Cramer et al, (2003:149) tentang esensi dari
dialog dengan stakeholder.
“The essence of stakeholder dialogue is the co-creation of shared under-
standing by companies and stakeholders.”

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 93

Factual Expectation
Condition Communication Condition
Gap

Company Stakeholder
Activities Expectation

Company LoE Stakeholder


Values Locus of Exchange Values

Coercive Consensus Dialogue

Corporate-Centric System-Centric

Stakeholder
Satisfaction

Kepuasan Stakeholder dan Locus of Exchange (LoE)


Sumber: Theorizing Penulis

Lebih lanjut, kepuasan pada dasarnya merupakan primary condition


(kondisi penting) yang harus dipenuhi perusahaan dalam
menciptakan loyalitas stakeholder. Artinya, sangat sulit bagi
perusahaan untuk menciptakan stakeholder loyalty tanpa adanya
satisfaction.
Secara umum, stakeholder loyalty sendiri dapat katakan sebagai
kemauan dari stakeholder untuk mendukung tujuan perusahaan
dalam jangka panjang. Dengan demikian, loyalitas stakeholder
merupakan prasyarat utama dalam penciptaan stakeholder equity
atau kerekatan (kekuatan) hubungan antara perusahaan dengan
stakeholder-nya.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 94

Proses Pembangunan Stakeholder Equity: Continuous Satisfaction


Dalam proses pembangunan stakeholder equity, persoalan utama
yang dihadapi perusahaan bukan terletak pada bagaimana
menciptakan loyalitas, akan tetapi bagaimana menciptakan
kepuasan. Pemahaman ini didasarkan pada pemikiran bahwa
loyalitas stakeholder merupakan penciptaan kepuasan tanpa akhir
yang dapat diilustrasikan dalam gambar berikut di bawah ini.
Terlihat pula bahwa penciptaan kepuasaan tanpa akhir akan
memperkuat loyalitas stakeholder yang diartikan sebagai proses
pembangunan stakeholder equity.
Persoalan utama dalam proses pembangunan stakeholder equity
berada pada aktivitas perusahaan dalam penciptaan kepuasan
stakeholder. Sedangkan penciptaan kepuasan sendiri ditentukan
oleh dua aspek penting, yaitu kinerja dari aktivitas pembangunan
hubungan kedua belah pihak dan kinerja perusahaan terkait dengan
kepentingan stakeholder.
Diskusi akan saya awali dari aspek kedua. Kepuasaan stakeholder
tercipta jika nilai-nilainya (stakeholder’s values) diakomodasi oleh
perusahaan atau ada kesamaan nilai antara kedua belah pihak.
Stakeholder’s values merupakan bentuk kepentingan dari
stakeholder yang diharapkan dapat dipenuhi oleh perusahaan.
Jika kepentingan stakeholder tidak dipenuhi akan terjadi
communication gap antara kedua belah pihak. Semakin tinggi
communication gap, akan berbanding terbalik dengan tingkat
kepuasan stakeholder terhadap kinerja perusahaan. Persoalan ini
merupakan bentuk kegagalan dalam mengelola LoE. Nilai-nilai
perusahaan yang diwujudkan dalam aktivitas bisnisnya memiliki
tingkat keselarasan yang rendah dengan nilai-nilai (kepentingan)
stakeholder.
Kondisi seperti ini jika tidak dikelola secara tepat akan dapat

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 95

menurunkan derajat dukungan (support) stakeholder terhadap


aktivitas perusahaan dalam mencapai tujuannya yang pada akhirnya
juga akan menurunkan tingkat loyalitas stakeholder. Sebaliknya,
persoalan akan menjadi lain jika perusahaan mampu mengelola LoE
secara tepat sehingga kepentingan perusahaan dapat diselaraskan
dengan kepentingan stakeholder. Di sisi lain, penciptaan kepuasan
juga ditentukan oleh aspek kinerja dari aktivitas pembangunan
hubungan antara perusahaan dan stakeholder-nya. Aspek ini
merupakan ukuran atas kualitas hubungan (quality of relationship)
kedua belah pihak.

Stakeholder
Equity
Satisfy
Satisfy Satisfy
Satisfy
Loyalty

Loyalty
Penciptaan Kepuasan Tanpa Akhir
dalam Proses Pembangunan Stakeholder Equity
Sumber: Theorizing Penulis Loyalty

Jika selama ini hubungan yang dibangun didasarkan pada prinsip


corporate-centric model, maka masalah perbedaan kepentingan
(values) akan sulit diselaraskan. Hal ini mengingat bahwa corporate-
centric lebih berorientasi pada pendekatan persuasif dan koersif

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 96

(dominasi perusahaan) atas kepentingan perusahaan alih-alih


hubungan yang dibangun berbasis pada prinsip co-creating value
yang bersemangatkan dialog atau model system-centric. Resiko
tidak terpenuhinya aspek pertama (kinerja perusahaan) dapat
direduksi jika perusahaan memiliki kualitas hubungan yang tinggi
dengan stakeholder-nya.
Dengan demikian, pembangunan hubungan dengan stakeholder di
era konvergensi media saat ini, sangat terkait dengan persoalan
quality of relationship (kinerja hubungan) dan flexibility of corporate
values (kinerja perusahaan). Ketika kedua hal tersebut dapat
dipenuhi, maka kepuasan stakeholder akan tercapai.
Penciptaan kepuasan atas kedua aspek tersebut guna meningkatkan
loyalitas dalam rangka pembangunan stakeholder equity dapat
dilakukan melalui dialog (co-creating values). Sehingga dapat
dikatakan bahwa dialog merupakan jiwa utama dalam proses
pembangunan stakeholder equity. Dialog merupakan sebuah proses,
bukan hasil. Di dalam dialog terjadi proses sense making (encoding)
dan sense giving (decoding) yang berbasis pada model komunikasi
sirkuler (two-way symetric communication) dengan tujuan
penciptaan makna bersama.
Gagasan ini mengakomodasi konsep komunikasi yang diungkapkan
dalam model Osgood dan Schramm (1970) serta model komunikasi
ritual yang dikenalkan oleh Carey (1976). Aktivitas dialog yang
dilakukan membutuhkan akses (yang berbasis teknologi informasi)
dan transparansi atas informasi perusahaan sehingga potensi atas
resiko ataupun manfaat dalam menjalin hubungan dengan
perusahaan dapat diprediksikan oleh stakeholder.
Melalui proses inilah pembangunan stakeholder equity dapat
tercapai, di mana akhirnya akan tercipta good will dari stakeholder
untuk selalu setia dan mendukung aktivitas perusahaan dalam
jangka panjang.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 97

Sense Making Sense Giving

Company’ Values Stakeholder’ Values

Company’ Activities Stakeholder’ Activities

Sense Giving Sense Making

Proses Sense Making dan Sense Giving dalam Stakeholder Dialogue Model
Sumber: Theorizing Penulis

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 98

10
Model & Strategi Komunikasi
What are the values and expectations of those who have
power in and around the business?
— Johnson & Scholes, 2006

Organisasi manapun tidak akan berjalan jika tidak berhubungan


dengan organisasi lain. Perusahaan mobil membutuhkan para dealer
untuk menjual mobilnya. Mereka juga membutuhkan media untuk
mengiklankan mobilnya dan harus berhubungan juga dengan
pemerintah untuk masalah pajak. Partai politik pun tidak akan bisa
jalan jika tidak berhubungan dengan para stakeholder-nya. Dengan
demikian, untuk membangun hubungan yang saling menguntungkan
dengan para stakeholder perusahaan dibutuhkan strategi
komunikasi.

Strategi
Lalu, apa yang dimaksud dengan strategi? Menurut Johnson &
Scholes dalam buku-nya yang berjudul “Exploring Corporate
Strategy: Text and Cases” (2006), strategi didefinisikan sebagai:
"Direction and scope of an organisation over the long-term: which achieves
advantage for the organisation through its configuration of resources
within a challenging environment, to meet the needs of markets and to
fulfil stakeholder expectations"
(Arah dan ruang lingkup organisasi dalam jangka panjang: yang digunakan
untuk mencapai keuntungan bagi organisasi melalui konfigurasi sumber

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 99

daya di lingkungan yang menantang, untuk memenuhi kebutuhan pasar


dan memenuhi harapan para stakeholder).

Strategi merupakan arah perusahaan yang bersifat jangka panjang.


Arah apa? Arah perusahaan untuk mencapai keuntungan atau
sesuai dengan tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Bukankah
jika kita bicara arah didalamnya secara inherent terkandung makna
“tujuan”. Jika tidak ada tujuan, logikanya tidak akan ada arah!
Di samping itu, strategi diimplementasikan (dijalankan) melalui
konfigurasi sumber daya yang dimiliki oleh perusahaan. Konfigurasi
sendiri dapat diartikan sebagai bentuk, susunan, setting atau suatu
sistem (yang merupakan susunan dari berbagai sub-sistem yang
saling terkait) untuk menjalankan suatu proses, yaitu proses
(implementasi) strategi dalam pencapaian tujuan perusahaan.
Dalam konteks komunikasi, konfigurasi di sini dapat diartikan
sebagai taktik-taktik dan teknik-teknik komunikasi yang digunakan
dalam proses implementasi strategi. “Strategi” harus dibedakan
dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan
waktu yang lebih singkat. Umumnya orang sering kali
mencampuradukkan ke dua kata tersebut.
Sebagai contoh, strategi digunakan untuk memenangkan
keseluruhan kejuaraan, sedangkan taktik hanya digunakan untuk
memenangkan satu pertandingan. Contoh lain, dalam sepak bola
misalnya, menyerang (attack) merupakan suatu strategi, sedangkan
4-3-3 (formasi atau konfigurasi sumber daya) merupakan taktiknya.
Gambar berikut mendeskripsikan kaitan antara strategi dan taktik.

Bagaimana Mengelola Strategi?


Dalam arti luas, manajemen strategik adalah persoalan mengenai
pengambilan “keputusan strategis” atau dalam konteks stakeholder

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 100

relations, keputusan yang menjawab pertanyaan tentang (Johnson


& Scholes, 2006):
“What are the values and expectations of those who have power in
and around the business?”
(Apa nilai-nilai atau harapan dari para stakeholder yang memiliki
kekuasaan dalam lingkup bisnis perusahaan?)

Values dan expectations dari para stakeholders pada dasarnya


merupakan wujud dari kepentingannya terhadap perusahaan.
Secara mudah, apa nilai-nilai dan harapaan yang diinginkan oleh
para stakeholder-nya terhadap perusahaan harus dipenuhi. Dengan
kata lain, perusahaan harus memiliki nilai-nilai yang selaras dengan
kepentingan stakeholder sehingga memenuhi harapannya. Secara
umum, inilah yang disebut dengan “apa makna perusahaan di mata
para stakeholder-nya.” Untuk membangun makna yang positif (well
reputation dan good image) di mata stakeholder inilah, strategi
stakeholder relationships harus dirumuskan, berdasarkan model
system-centric.

Gambar 8.2. Manajemen Strategik


Sumber: Johnson & Scholes (2006)

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 101

Dalam prakteknya, untuk menjawab pertanyaan tersebut, proses


manajemen stra-tejik secara menyeluruh (integrated) memiliki tiga
komponen utama, yaitu: (1) Strategic Analysis (Analisis Strategik);
(2) Strategic Choice (Pilihan Strategik); dan yang terakhir (3) Strategy
Implementation (Pelaksanaan strategi), di mana ketiganya saling
berhubungan seperti digambarkan dalam bagan di atas.

Strategic Analysis
Analisis strategis pada dasarnya berbicara tentang kekuatan dari
para pemikir strategis perusahaan (public relations officer/PRO atau
strategic communicator) dalam mengana-lisis posisi bisnis dan
persoalan komunikasi antara perusahaan dengan para stakeholder-
nya dengan cara memahami faktor-faktor eksternal penting yang
dapat mempengaruhi posisi bisnisnya dalam persoalan komunikasi
tersebut.
Proses analisis strategis sendiri dapat dibantu melalui alat, seperti
PEST Analysis—a technique for understanding the "environment" in
which a business operates. Analisis PEST merupakan singkatan dari
“Analisis Politik, Ekonomi, Sosial, dan Teknologi” (Political,
Economic, Social, and Technological analysis). Analisis ini
menjelaskan tentang kerangka macro-environmental factors yang
digunakan analisis strategis atas environmental scan-ning
component.
Dalam perkembangannya, beberapa elemen analisis lainnya telah
ditambahkan, se-perti Hukum (Legal), sehingga disingkat menjadi
SLEPT (The Times, 2009). Kemudian, ada juga yang memasukkan
faktor Lingkungan (Environmental) sehingga analisisnya diperluas
menjadi PESTEL atau PESTLE, di mana alat ini sangat populer
digunakan di Inggris (CIPD, 2010). Terkahir, baru-baru ini muncul
model lainnya yang lebih luas de-ngan memasukkan faktor
Pendidikan (Education), menjadi STEEPLE, dan juga Demo-grafis

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 102

(Demographic), yang dikenal dengan singkatan STEEPLED (Oxford


University Press, 2007). Ini semua adalah bagian dari analisis
eksternal ketika melakukan analisis strategis atau melakukan riset
tentang stakeholder, di mana dapat memberikan gamba-ran yang
menyeluruh atas faktor-faktor macro-environmental yang harus
dipertimbang-kan oleh perusahaan.
Dengan semakin pentingnya faktor lingkungan atau ekologi dalam
dekade pertama abad ke-21, yang telah melahirkan “bisnis hijau”
(green business), telah mendorong lahirnya model baru dari sekedar
berpikir melalui kerangka PEST. Minimal, saat ini banyak yang sudah
mengganti PEST dengan STEER atau analisis sistematis yang mem-
perhatikan faktor Sosial-budaya, Teknologi, Ekonomi, Ekologi, dan
Peraturan.
Di Indonesia sendiri, Analisis SWOT (di samping PEST-analysis) sering
digunakan. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity,
Threat) adalah a useful summary technique for summarising the key
issues arising from an assessment of a businesses “internal” position
and “external” environmental influences. Jika dibandingkan dengan
PEST analysis, SWOT lebih komprehensif karena memasukkan faktor
internal. Namun, keduanya dapat digunakan secara bersama,
terutama ketika menganalisis S-W yang bersifat eksternal dengan
mengkolaborasikannya bersama PEST.

Strategic Choice
Proses pemilihan strategi ini melibatkan pemahaman atas sifat
harapan (expectations) dari para stakeholder (“nilai-nilai yang
menjadi kepentingannya” atau Johnson & Scholes, (2006)
menyebutnya dengan “ground rules”), kemudian mengidentifikasi
pilihan stra-tegis, dan mengevaluasi serta memilih pilihan strategis.
Memahami sifat harapan dari para stakeholder pada dasarnya

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 103

menjawab pertanyaan paling dasar yang nantinya akan menjadi


basis dalam penetapan dan pengimplementasi-an strategi
komunikasi dalam konteks stakeholder relations, yaitu: “What are
the values and expectations of those who have power in and around
the business?”

Strategy Implementation
Seringkali, bahkan dalam banyak kasus, pengimplementasian
strategi adalah persoalan yang paling sulit. Ketika strategi telah
dianalisis dan dipilih, kemudian tugas selanjutnya adalah
menerjemahkannya ke dalam tindakan operasional perusahaan.

Strategi Komunikasi Stakeholder Relations


Pada tahun 1984, teori public relations berpandangan (Grunig &
Hunt, 1984) bahwa 50% dari semua perusahaan mempraktikkan
strategi komunikasi yang bersifat satu arah, one-way
communication, atau hanya memberikan informasi kepada para
stakeholder-nya (informative strategy). Strategi ini sering pula
disebut juga—dalam banyak kasus, teruta-ma sekali dalam konteks
periklanan dan komunikasi pemasaran—sebagai persuasive
communication strategy. Hanya sekitar 35% perusahaan yang
mempraktikkan proses komunikasi dua arah, two-way
communication (baik komunikasi dua-arah yang bersifat asimetris
atau simetris). Menurut Grunig & Hunt (1984), fakta ini
berhubungan dengan teori sense-making atau masalah
penyampaian informasi publik dalam upayanya untuk menciptakan
proses pembangunan sense-giving atau masalah penciptaan
pemahaman.
Komunikasi dua arah pada dasarnya adalah proses membangun
sense-making dan sense-giving. Hari ini, kebutuhan untuk

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 104

mengembangkan proses komunikasi dua arah semakin meningkat,


khususnya terkait dengan stakeholder relations. Sementara itu, ko-
munikasi satu arah, seperti penyampaian informasi tentang good
will perusahaan me-mang masih diperlukan, namun itu saja tidak
cukup! (Morsing & Schultz, 2006:325). Secara umum, menurut
Grunig & Hunt (1984), strategi komunikasi dalam konteks
membangun hubungan yang saling menguntungkan dengan para
stakeholder ada tiga, sebagai berikut:

Stakeholder Information Strategy


Stakeholder information strategy, pada dasarnya mirip dengan apa
yang telah diung-kapkan Grunig & Hunt dengan model informasi
publik. Dalam strategi ini, komunikasi yang dilakukan selalu bersifat
satu arah, yaitu dari organisasi kepada stakeholder. Komunikasi
hanya dipandang sebagai “mengatakan, namun tidak
mendengarkan” atau “selalu bicara, tapi tak mau mendengarkan”
(Grunig & Hunt 1984:23), dan oleh karena itu, komunikasi satu arah
dalam stakeholder information strategy ini memiliki tujuan untuk
menyebarkan informasi—tidak harus dengan niatan yang
persuasif—melainkan untuk menginformasikan publik tentang
berbagai masalah yang harus diketahui ter-kait dengan perusahaan.
Perusahaan yang mengadopsi model stakeholder information
strategy selalu ter-libat secara aktif dalam program-program media
relations dengan tujuan untuk meng-hasilkan informasi dan berita
bagi target khalayaknya (significant stakeholders). Walaupun,
berbagai brosur, pamflet, majalah, fakta, statistik dan angka-angka
untuk menginformasikan kepada masyarakat umum juga sering
dikaitkan dengan strategi ini. Dengan strategi ini, perusahaan
berupaya untuk “memberi pengertian” (education function) ke
khalayak.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 105

Model stakeholder information strategy mengasumsikan bahwa


para stakeholder memiliki berpengaruh karena mereka dapat
memberikan dukungan (support) terkait dengan masalah kebiasaan
membeli, menunjukkan kesetiaan dan memuji perusahaan, atau
sebaliknya, mereka dapat juga menjadi oposisi perusahaan dan
berdemonstrasi, mogok atau memboikot perusahaan (Smith, 2003).
Oleh karena itu, perusahaan harus memberitahu (informatif) para
stakeholder-nya tentang niat baik, keputusan dan tindakan untuk
memastikan dukungan positif dari para stakeholder-nya.

Stakeholder Response Strategy


Berbeda dengan strategi yang pertama, stakeholder response
strategy ini sudah di-dasarkan pada komunikasi dua arah (two-way
communication), namun masih ber-sifat asimetris—sebagai lawan
dari model komunikasi dua arah simetris yang digu-nakan dalam
involvement stakeholder strategy. Pada kedua model ini, komunikasi
mengalir ke dan dari stakeholders (sirkular). Tetapi ada perbedaan
mencolok di antara ke dua model tersebut di mana two-way
communication-assymetric menga-sumsikan adanya
ketidakseimbangan dari efek (dampak) komunikasi PR dalam
mendukung perusahaan, karena perusahaan tidak berubah (tetap
“memaksakan” kepentingannya) sebagai akibat dari program-
program komunikasi PR. Sebaliknya, perusahaan terus berusaha
untuk mengubah sikap dan perilaku stakeholder-nya agar sesuai
(selaras) dengan kepentingan perusahaan.
Dengan demikian, perusahaan harus melibatkan para stakeholder
dengan mem-buat keputusan dan tindakan yang relevan di mata
para stakeholder-nya, karena perusahaan memerlukan dukungan
dari pihak lain, baik internal maupun eksternal. Departemen
komunikasi perusahaan biasanya melakukan jajak pendapat atau
survei untuk memahami (make sense) hal atau masalah apa saja

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 106

yang harus diperbaiki oleh perusahaan dalam mencapai tujuannya.


Komunikasi dianggap hanya sebagai umpan balik (feedback) dalam
mencari tahu bagaimana pemahaman, sikap dan tindakan
stakeholder tentang perusahaan. Strategi ini merupakan modus
evaluatif yang bertujuan untuk mengukur apakah program-program
komunikasi perusahaan telah meningkatkan pemahaman
stakeholder perusahaan dan sebaliknya. Hasil survei atas feedback
inilah yang digunakan oleh perusahaan untuk menciptakan “make
sense” atas keselarasan tujuan perusahaan dengan kepentingan
stakeholder-nya.
Meskipun proses komunikasi ini dianggap sebagai metode dua arah,
namun tidak dapat dipungkiri masih bersifat sender-oriented.
Stakeholder response strategy ini masih didominasi dengan
pendekatan komunikasi satu sisi, di mana perusahaan memiliki
tujuan tunggal untuk meyakinkan para stakeholder-nya melalui daya
tarik komunikasi (persuassive approach). Keterlibatan stakeholder
dalam strategi ini ber-sifat pasif, pasif menangapi perusahaan.

Stakeholder Involvement Strategy


Terakhir, involvement stakeholder strategy, sebaliknya,
mengasumsikan dialog de-ngan para stakeholder. Persuasi mungkin
terjadi, tetapi itu berasal dari stakeholder dan juga dari organisasi
itu sendiri, masing-masing berusaha untuk membujuk yang lain
untuk berubah. Idealnya, perusahaan serta para stakeholder akan
berubah se-bagai akibat dari keterlibatan dalam sebuah model
komunikasi dua-arah yang sime-tris, yaitu dialog (interaksi) yang
berulang-ulang secara progresif atas proses sense-making dan
sense-giving (sirkular model of communication).
Mengingat bahwa involvement stakeholder strategy merupakan
bangunan hubu-ngan yang sejajar, maka perusahaan seharusnya

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 107

tidak hanya mempengaruhi, tetapi juga berusaha untuk menjadi


dipengaruhi oleh para stakeholder-nya, dan karena itu melakukan
perubahan bila diperlukan. Involvement stakeholder strategy pada
da-sarnya selaras dengan stakeholder information strategy namun
dengan asumsi bah-wa stakeholder berpengaruh—bukan lagi
dianggap sebagai receiver, atau bahkan “ditiadakan”, namun
stakeholder juga memiliki posisi yang sama dengan perusaha-an,
yaitu sama-sama menjadi sender.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 108

DAFTAR BACAAN

Andriof, J. dan Waddock, S. (2002). “Unfolding Stakeholder Engagement”.


dalam Andriof, J., Waddock, S., Husted, B. dan Rahman, S.S. (Eds.),
Unfolding Stakeholder Thinking: Theory, Responsibility and
Engagement: 19–42. Sheffield: Greenleaf.
Andriof, J., Waddock, S., Husted, B. dan Rahman, S.S. (Eds.). (2002).
Unfolding Stakeholder Thinking: Theory, Responsibility and
Engagement: 1–18. Sheffield: Greenleaf.
Cutlip, S. M., Center, A. H. dan Broom, G. M. (1994) Effective Public
Relations. New Jersey: Prentice-Hall.
Eadie, William F. (2009). 21th Century Communication: A Conference
Handbook. New Delhi: Sage-Publication.
Estaswara. (2008). Think IMC!: Efektivitas Komunikasi untuk Meningkatkan
Loyalitas Merek dan Laba Perusahaan. Jakarta: Gramedia Pustaka.
Estaswara, Helpris. (2010a). “Stakeholder Relationships in Integrated
Marketing Communications (IMC): A Theoretical Perspective.”
CoverAge: Journal of Strategic Communication, 1(1): 61-75.
Estaswara, Helpris. (2010b). “Corporate Crisis and Stakeholder
Relationship Model in Digital Society Era.” Proceedings of Indonesia
International Conference on Communication (Indo-ICC), Global
Challenge to the Future of Communication: Digital Media and
Communication Freedom in Public Discourse, Jakarta, Indonesia.
Estaswara, Helpris. (2011a). “Computer-Mediated Public Sphere” and
Stakeholder Relationships Model” International Journal of Arts &
Sciences. CD-ROM. ISSN: 1944-6934: Vol. 4(7):99–112.
Estaswara, Helpris. (2011b). Corporate cyber-crisis: A case study of Omni
International in Indonesia. Proceedings of Annual Conference on
Innovations in Business and Management, London, UK.
Freeman, R.E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 109

Marshfield, MA: Pitman.


Grunig, J.E. dan Hunt, T. (1984). Managing Public Relations. Fort Worth,
TX: Harcourt Brace Jovanovich College Publishers.
Lozano. Joseph M. (2008). “Towards the Relational Corporation: From
Managing Stakeholder Relationships to Building Stakeholder
Relationships (Waiting for Copernicus)” Corporate Governance,
Emerald Group Publishing Limited, Vol 5/2.
Steyn, Benita. (2003). “From Strategy to Corporate Communication
Strategy: A Conceptualization” Journal of Communication
Management, Vol 8/2.
Werther Jr., William B., dan David Chandler. (2006). Strategic Corporate
Social Responsibility: Stakeholders in a Global Environment. New
Delhi: Sage Publication.
Welch, Mary dan Paul R. Jackson. (2007). “Rethinking Internal
Communication: A Stakeholder Approach” Corporate
Communication: An International Journal, Vol 12/2.
Wells, Barron dan Nelda Spinks. (1999). “Communicating With the
Community” Career Development International, MCB University
Press, Vol 4/2.
Guth, D. W., & C. Marsh. (2003). Public Relations: A Value-Driven
Approach. (2nd Ed.) Boston, US: Allyn & Bacon.
Lozano. Joseph M. (2008). “Towards the Relational Corporation: From
Managing Stakeholder Relationships to Building Stakeholder
Relationships (Waiting for Copernicus)” Corporate Governance,
Emerald Group Publishing Limited, Vol 5/2.
Rowley, T. J. (1997). “Moving beyond dyadic ties: a network theory of
stakeholders influences.” Academy of Management Review, 22(4),
887-910.
Morsing, M., & Schultz, M. (2006). “Corporate social responsibility
communication: Stakeholder information, response and
involvement strategies.” Business Ethics: A European Review, 15(4),

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 110

323‐338.
Phillips, R. (2003). Stakeholder Theory and Organizational Ethics. San
Francisco, CA: Berrett-Kohler.
Kotler, P. (1994). Marketing Management: Analysis, Planning,
Implementation, And Control. Prentice Hall.
Lovelock , C. H., & Wirtz, J. (2007). Service Marketing: People, Technology,
Strategy. New Jersey: Prentice Hall.
Tjiptono, Fandy. (2007). Service, Quality and Satisfaction. (Edisi 2).
Jogyakarta: Penerbit Andi.
Johnson, G., & Scholes, K. (2006). Exploring Corporate Strategy: Text and
Cases. (7th Ed). Prentice Hall.
Ahmet, H., Satish J., & William O. B. 2005, “Market Orientation: A Meta-
Analytic Review and Assessment of Its Antecedents and Impact on
Performance.” Journal of Marketing, Vol. 69(2).
Arndt, M. 12 July 2004. “Online Extra: Marketing in the ‘the Age of I.’”
BusinessWeek online.
Bolton, R. N. (ed.) 2005. “Marketing Renaissance: Opportunities and
Imperatives for Improving Marketing Thought, Practice, and
Infrastructure.” Journal of Marketing, 69(4).
Copulsky, et. al., 2004. “Consumer Packaged Goods Get Intimate.”
Evanston: Jurnal of Integrated Marketing Communications.
Corsten, D. & N. Kumar. 2005, “Do Suppliers Benefit from Collaborative
Relationships with Large Retailers?: An Empirical Investigation of
Efficient Consumer Response Adoption” Journal of Marketing, Vol.
69.
Duncan, T. 2002, Using Advertising and Promotion to Build Brands. NY:
McGraw-Hill Company.
Eadie, W. F. (Ed.). 2009. 21st Century Communication: A Reference
Handbook: California: Sage Publication.
Friedman, T. 2005. The World is Flat: A Brief History of the Twenty-First

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 111

Century. New York: Farrar, Straus and Giroux.


Ridwan, M. 12 Agustus 2010. “Importir Tolak Pelarangan Layanan
BlackBerry.” Sinar Harapan.
Straubhaar, J., & R. LaRose. 2006. Media Now: Understanding Media,
Culture and Technology. United States: Thomson Wadsworth.
West, R., & L. H. Turner. 2008. Pengantar Teori Komunikasi: Analisis dan
Aplikasi. Maer, M. N. D. (pentj.). Jakarta: Salemba Humanika. Buku
2.
“Didominasi Hambatan, NGN Tetap Menjanjikan” www.ittelkom.ac.id, 19
Mei 2009, di akses pada tanggal 22 Agustus 2010 pukul 02.36.
“Harga Smartphone Mengarah ke Rp1 Juta.” inilah.com, Edisi 29/04/2010,
di akses pada tanggal 22 Agustus 2010 pukul 01.22.
“Pengguna Ponsel Indonesia akan Capai 80 Persen.”
www.antaranews.com, Edisi 14/07/2010, di akses pada tanggal 21
Agustus 2010 pukul 23.17.
Carey, J. (1992). Communication as Culture: Essays on Media and Society.
Boston: Unwin Hyman, 1985; repr. London/New York, Routledge.
Daniels, T. D., Spiker, B. K., & Papa, M. J. (1997). Perspectives on
organizational communication, 4th ed. Dubuque, IA: Brown &
Benchmark Publishers, pp. 43–61.
Downs, C. W. (1988). Communication audits. Glenview, IL: Scott,
Foresman, & Company.
Eid, M. & Stephen J. A. W. (2009). “Ethics, New Media, and Social
Networks.” Global Media Journal, Vol. 2(1), 1-4.
___________. (2010a). Stakeholder Relationships in Integrated Marketing
Communications (IMC): A Theoretical Perspective. CoverAge:
Journal of Strategic Communication, 1(1): 61-75.
___________. (2010b). “Corporate Crisis and Stakeholder Relationship
Model in Digital Society Era.” Proceedings of Indonesia
International Conference on Communication (Indo-ICC), Jakarta,

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 112

Indonesia.
___________. (2010c). “Computer-Mediated Public Sphere and
Stakeholder Relationships Model.” Proceedings of IJAS
International Conference, Rome, Italy.
___________. (2011). “Corporate cyber-crisis: A case study of Omni
International in Indonesia.” Proceedings of Annual Conference on
Innovations in Business and Management, London, UK.
Freeman, R. E. (1984). Strategic Management: A Stakeholder Approach.
Marshfield, MA: Pitman.
Grunig, J. E. & Grunig, L. A. (1992). Models of public relations and
communication. In Grunig, J. E. (Ed.). Excellence in public relations
and communication management. (pp. 285-325). Hillsdale, NJ:
Lawrence Erlbaum.
Hallahan, K., D. R. Holtzhausen, B. van Ruler, D. Verčič, & K. Sriramesh.
(2007). Defining strategic communication. International Journal of
Strategic Communication, 1(1): 3-35.
Hennig-Thurau, T., Kevin P. G., Gianfranco W., & Dwayne D. G. (2004),
“Electronic Word-of-Mouth via Consumer-Opinion Platforms:
What Motivates Consumers to Articulate Themselves on the
Internet?” Journal of Interactive Marketing, 18(1), 38-52.
Jordan, K., J. Hauser, & S. Foster. (2003). “The Augmented Social Network:
Building Identity and Trust into the Next-Generation Internet.”
First Monday, Peer-Reviewed Journal in the Internet, Vol. 8(8).
http://firstmonday.org/htbin/ cgiwrap/bin/ojs/index.
Guth, D. W., & Marsh, C. (2003). Public Relations: A Value-Driven
Approach. (2nd Ed.) Boston, US: Allyn & Bacon.
Littlejohn, S. W. (1992). Theories of Human Communication. (2nd ed.).
Belmont, CA: Wadsworth.
Lozano, J. M. (2008). “Towards the Relational Corporation: From Managing
Stakeholder Relationships to Building Stakeholder Relationships
(Waiting for Copernicus)” Corporate Governance, Emerald Group

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 113

Publishing Ltd., Vol 5/2:60-77.


Mantovani, F. (2001). “Cyber-Attraction: The Emergence of Computer-
Mediated Communication in the Development of Interpersonal
Relationships.” dalam L. Anolli, R. C., & G. Riva (Eds.) New
perspectives on miscommunication. (pp. 236-250).
McQuail, D. (1989). McQuail’s Mass Communication Theory. (2th ed.). UK:
Sage Publication.
Phillips, R. (2003). Stakeholder Theory and Organizational Ethics. San
Francisco, CA: Berrett-Kohler.
Putnam, L. L., & Pacanowsky, M. E. (Eds.). (1983). Communication and
Organizations: An Interpretive Approach. Beverly Hills, CA: Sage
Publications.
Rajasekera, J. (2010). “Crisis Management in Social Media and Digital Age:
Recall Problem and Challenges to Toyota.” GSIM Working Paper,
No. IM-2010-02.
Rowley, T. J. (1997). “Moving beyond dyadic ties: a network theory of
stakeholders influences.” Academy of Management Review, 22(4),
887-910.
Morsing, M., & Schultz, M. (2006). “Corporate social responsibility
communication: Stakeholder information, response and
involvement strategies.” Business Ethics: A European Review,
15(4), 323‐338.
Steele, R. L. (2009). “Traditional and New Media” dalam Eadie, William F.
(ed.). 21st Century Communication: A Reference Handbook (pp.
489-498). CA: Sage Publication.
Wells, A., & E. A., Hakanen. (1997). Mass Media & Society. US, Greenwich
CT: Ablex Publishing Corporation.
Werther Jr., W. B., & Chandler, D. (2006). Strategic Corporate Social
Responsibility: Stakeholders in a Global Environment. New Delhi:
Sage Publication.

estaswara © 2012
STAKEHOLDER RELATIONS: MENGELOLA STAKEHOLDER DALAM PERUSAHAAN 114

“Responding to crisis using social media: Updating the “Dell Hell” case
study—are Dell turning opinion round?” Market Sentinel, 2007.
“Menulis di Internet Dipenjara: ’Bebaskan Prita’ Gencar di Facebook”
http://www.detiknews.com/read/2009/06/02/120204/1141289/1
0/bebaskan-prita-gencar-di-facebook. Edisi 02/06/2009. Di akses
pada tanggal 22 Agustus 2010, pukul 01.22 WIB.

estaswara © 2012

Anda mungkin juga menyukai