Chapter II
Chapter II
TINJAUAN PUSTAKA
1. Kehilangan (loss)
yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang.
pekerjaan, barang milik pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian
suatu kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau
dengan sesuatu yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian
ataupun seluruhnya.
telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana
alam. Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau
benda yang hilang tergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut
lingkungan yang tidak dikenal dapat mengancam harga diri dan membuat
saudara sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis
atau atlet yang telah terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang
kekuatan, respek atau cinta. Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat
pada kematian itu sendiri tetapi mengenai nyeri dan kehilangan kontrol.
setiap orang.
orang yang telah hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat
bergantung.
udara, air, dan tidur), kemudian kebutuhan keselamatan (tempat yang aman
harga diri yang menimbulkan rasa percaya diri dan adekuat. Kebutuhan yang
terakhir ialah aktualisasi diri, suatu upaya untuk mencapai potensi diri secara
fisiologis.
kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan publik, dapat menjadi titik
awal proses duka cita yang panjang misalnya, sindrom stres pasca trauma.
4. Kehilangan harga diri: kebutuhan harga diri terancam atau dianggap sebagai
dan harga diri karena keterkaitannya dengan peran tertentu, dapat terjadi
upaya pencapaian tujuan dan potensi tersebut. Perubahan tujuan atau arah
akan menimbulkan periode duka cita yang pasti ketika individu berhenti
2005).
1.3.1. Genetik
kehilangan.
selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka
kadang akan timbul regresi serta merasa takut untuk ditinggalkan atau
dibiarkan kesepian. Pada masa remaja atau dewasa muda, kehilangan dapat
terjadi disintegrasi dalam keluarga, dan pada masa dewasa tua, kehilangan
khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat berat
2. Berduka (grief)
bahwa berduka, dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal
yang mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan
dirasakan.
2.2.1. Patofisiologis
kolostomi, histerektomi).
2.2.4. Maturasional
harapan dan impian. Rasa berduka yang muncul pada setiap individu
kesehatan mental yang baik, dan banyaknya sumber yang tersedia terkait
gejala yang sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass (2010)
menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis reaksi,
meliputi:
kerinduan.
ketidaktegasan.
spiritual, perilaku, dan fisiologis yang akan dijelaskan dalam tabel dibawah
ini:
Tabel 2.1 Tanda dan Gejala Berduka Berdasarkan Respon yang Muncul
makna kehilangan;
- Kebencian;
- Gelisah;
meninggal;
alkohol;
atau pembunuhan.
- Tidak bertenaga;
- Gangguan pencernaan;
berbeda. Tanpa melihat tingkat keparahannya, tidak ada respon yang bisa
Apabila proses berduka yang dialami individu bersifat maladaptif, maka akan
benar-benar terjadi. Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang
tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah,
gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini
timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang
bahkan menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respon fisik yang
sering terjadi, antara lain muka merah, deyut nadi cepat, gelisah, susah
diri. Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain, menolak makan, susah
pikiran yang selalu berpusat pada objek yang hilang mulai berkurang atau
objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan
selanjutnya.
akibat suatu kehilangan yang terdiri dari 4 fase yaitu, fase pertama mati rasa dan
kehilangan orang yang dicintai dan memprotes kehilangan yang tetap ada, fase
melakukan fungsi dalam kehidupan sehari-hari dan fase keempat reorganisasi dan
berduka yaitu, fase pertama syok, menangis dengan keras, dan menyangkal, fase
kedua intrusi pikiran, distraksi, dan meninjau kembali kehilangan secara obsesif
dan fase ketiga menceritakan kepada orang lain sebagai cara meluapkan emosi
sebagai suatu proses melalui empat tahap yaitu pertama terguncang (Reeling)
klien mengalami syok, tidak percaya, atau menyangkal, kedua merasa (feeling)
kehidupan dan penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa
3.1. Kemarahan
yang sulit bahkan seringkali merasa tidak mau patuh, melawan perawat,
dokter dan ahli terapinya. Pasien juga bisa memaki-maki dengan kata-kata
yang menyakitkan dan memukul secara fisik. Pasien juga sering memiliki
3.2. Isolasi
terluka karena sering tidak diperdulikan oleh orang lain. Sering sekali teman-
pasien stroke tertawa atau menangis tanpa alasan yang jelas. Kecemasan yang
ketika keluar rumah, keadaan ini dinamakan agorafobia. Hal ini terjadi karena
pasien merasa malu ketika bertemu dengan orang lain, sekalipun dengan
teman lamanya. Perasaan malu ini mungkin timbul akibat adanya gangguan
3.4. Depresi
beberapa depresi tidak hanya bersifat reaktif, tetapi pasien kelumpuhan akibat
stroke akan bereaksi terhadap semua kehilangannya dan merasa putus asa.
dengan stroke. Berbagai reaksi yang dapat terjadi pada pasien kelumpuhan
memasukkan teori ini mengingat bahwa masalah psikologis yang dialami oleh