Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia tentu mempunyai kehidupannya masing-masing. Sebagai
seseorang yang beragama islam percaya bahwa kehidupannya sudah ada yang
mengatur yaitu Allah SWT dan kehidupan seseorang pun sudah mempunyai
takdirnya masing-masing. Salah satu dari takdir tersebut yaitu kematian. Kematian
merupakan bagian yang tidak terlepas dari kehidupan manusi dan kematian pun tidak
bisa diperkirakan kapan waktunya terjadi. Sehingga kematian tidak hanya dialami
oleh orang-orang yang masih muda, usia remaja, atau bahkan masih bayi. Selain
kematian itu adalah salah satu dari takdir, kematian pun juga mempunyai
penyebabnya yang bermacam-macam seperti dikarenakan sakit, usia lanjut ataupun
dikarenakan sebab kecelakaan, dan sebagainya. Jika peristiwa kematian itu terjadi,
tentu saja tidak hanya melibatkan dirinya sendiri namun juga melibatkan orang-orang
yang ditinggalkan.
Bagi orang-orang yang mempunyai hubungan atau mencintai orang yang
meninggal tersebut tentu saja kematian merupakan peristiwa yang paling menyakitkan
karena kematian orang-orang terdekatnya dan merasa seolah-olah kehilangan bagian
dari dirinya. Kematian dari kehilangan seseorang yang dekat dan dicintai merupakan
suatu peristiwa yang tidak dapat dibandingkan dengan peristiwa lain badi seseorang
yang ditinggalkannya, karena hal tersebut bisa berdampak pada orang sekitarnya.
Setiap orang yang meninggal disertai dengan adanya orang lain yang ditinggalkan,
untuk setiap orang tua yang meninggal akan ada anak-anak yang ditinggalkan.
Kematian akan sangat berpengaruh tehadap kehidupan selanjutnya pada orang
yang ditinggalkan apalagi kematian dari seseorang yangh dekat atau dicintai. Apabila
yang mininggal itu adalah orang tua tentu sangat berpengaruh terhadap kehidupan
anak selanjutnya. Dan juga akan ada masa dimana orang yang ditinggalkan tersebut
meratapi kepergian mereka dan merasa kesedihan yang mendalam. Selain itu pun
akan menimbulkan perasaan kehilangan, tidak bahagia, dan kurang dapat menjalani
kehidupan dengan baik.
Kedekatan orang tua kepada anaknya akan membuat anak tersebut merasa
aman dan nyaman. Sosok orang tua merupakan orang yang paling dekat dengan anak.
Ketika seorang remaja dihadakan pada suatu peristiwa yang tidak diinginkan dalam

1
hidupnya pasti akan merasa berat untuk menerima kenyataan. Seperti pada peristiwa
kematian yangh dapat memisahkan hubungan antara orang tua dan anak. Tentu saja
perstiwa tersebut bukanlah hal yang mudah untuk diterima oleh siapapun.
Peristiwa kematian akan membuat seorang anak yang mengalami menjadi
shock dan merasa terpukul, juga merasa kehilangan seseorang yang dinilai sangat
berarti bagi dirinya. Kejadian kematian akan memeberikan efek yang berbeda-beda
terhadap individu.
Menurut Astuti (2005) duka cita atas kematian seseorang yang dicintai adalah
masalah yang paling menantang dan paling sering dihadapi oleh seseorang. Perasaan
kehilangan merupakan proses yang bervariasi, terdapat kesedihan yang mendalam,
keadaan merana, depresi,dan identitas yang berubah, keadaan kesehatan yang
memburuk, kesepian, dan menarik diri dari pergaulan. Selain itu ara para ahli (dalam
Lund dan Vries, 2010) juga mengatakan akan terjadi perubahan dan kekacauan pada
pola hidup dan kegiatan sehari-hari tentunya.
Kehilangan dan berduka merupakan istilah yang dalam pandangan umum
berarti sesuatu kurang enak atau nyaman untuk dibicarakan. Hal ini dapat disebabkan
karena kondisi ini lebih banyak melibatkan emosi dari yang bersangkutan atau
disekitarnya. Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam
lingkungan asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien
dan keluarga yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat
memahami kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga
mengalami kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir
karena perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai
dan pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung
klien dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan
asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga
yang mengalami kehilangan dan dukacita. Penting bagi perawat memahami
kehilangan dan dukacita. Ketika merawat klien dan keluarga, parawat juga mengalami
kehilangan pribadi ketika hubungan klien-kelurga-perawat berakhir karena
perpindahan, pemulangan, penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan
pengalaman pribadi mempengaruhi seberapa jauh perawat dapat mendukung klien
dan keluarganya selama kehilangan dan kematian (Potter & Perry, 2005).

2
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kehilangan dan berduka ?
2. Apa penyebab kehilangan ?
3. Apa tanda dan gejala dari kehilangan dan berduka ?
4. Bagaiamana tahapan proses kehilangan dan berduka ?
5. Apa saja kategori dari kehilangan dan berduka ?
6. Apa saja tipe kehilangan ?
7. Bagaimana asuhan keperawatan kehilangan dan berduka ?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar kehilangan dan berduka
2. Untuk mengetahui dan mengaplikasikan asuhan keperawatan kehilangan dan
berduka

3
BAB II

LANDASAN TEORI

A. Konsep Dasar Kehilangan dan Berduka


1. Pengertian
Kehilangan (loss) adalah suatu situasi actual maupun potensial yang
dapat dialami individu ketika berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, baik
sebagian atau keseluruhan, atau terjadi perubahan dalam hidup sehingga terjadi
perasaan kehilangan. Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami
oleh setiap individu selama rentang kehidupannya. Sejak lahir, individu sudah
mengalami kehilangan dan cenderung akan mengalaminya kembali walaupun
dalam bentuk yang berbeda. Setiap individu akan berekasi terhadap kehilangan.
Respons terakhir terhadap kehilangan sangat dipengaruhi oleh respons individu
terhadap kehilangan sebelumnya (Hidayat, 2009 : 243).
Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan
sesuatu yang sebelumnya ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang
sulit dihindari (Stuart, 2005), seperti kehilangan harta, kesehatan, orang yang
dicintai, dan kesempatan.
Berduka adalah reaksi terhadap kehilangan, yaitu respons emosional
normal dan merupakan suatu proses untuk memecahkan masalah.

2. Penyebab
a. Faktor predisposisi
Faktor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah :
1) Faktor Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan didalam keluarga yang
mempunyai riwayat depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis
dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk dalam menghadapi
perasaan kehilangan (Hidayat, 2009 : 246 ).
2) Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung
mempunyai kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan
dengan individu yang mengalami gangguan fisik (Prabowo, 2014 : 116).
3) Kesehatan Mental

4
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai
riwayat depresi yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis,
selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka dalam
menghadapi situasi kehilangan (Hidayat, 2009 : 246).

4) Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu


Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak –
kanak akan mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan
pada masa dewasa (Hidayat, 2009 : 246).
5) Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negative, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif
terhadap stress yang dihadapi (Prabowo, 2014 : 116).
b. Faktor Presipitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan.
Kehilangan kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti:
kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi :
1) Kehilangan kesehatan
2) Kehilangan fungsi seksualitas
3) Kehilangan posisi di masyarakat
4) Kehilangan peran dalam masyarakat
5) Kehilangan harta benda atau orang dicintai
6) Kehilangan kewarganegaraan

3. Tanda dan Gejala


a. Kehilangan
Menurut Prabowo (2014 : 117) tanda dan gejala kehilangan diantaranya:
1) Perasaan sedih, menangis
2) Perasaan putus asa, kesepian
3) Mengingkari kehilangan
4) Kesulitan mengekspresikan perasaan
5) Konsentrasi menurun
6) Kemarahan yang berlebihan
7) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
5
8) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9) Reaksi emosional yang lambat
10) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat
aktivitas (Eko prabowo, 2014 : 117).

b. Berduka
Menurut Dalami (2009) tanda dan gejala berduka diantaranya :
1) Efek fisik
Kelelahan, kehilangan selera, masalah tidur, lemah,berat badan menurun,
sakit kepala, berat badan menurun, sakit kepala, pandangan kabur,
susah bernapas, palpitasi dan kenaikan berat , susah bernapas.
2) Efek emosi
Mengingkari, bersalah , marah, kebencian, depresi,kesedihan, perasaan
gagal, perasaan gagal, sulit untuk berkonsentrasi, gagal dalam menerima
kenyataan, iritabilita, perhatian terhadap orang yang meninggal.
3) Efek social.
a) Menarik diri dari lingkungan.
b) Isolasi (emosi dan fisik) dari istri, keluarga dan teman.

4. Tahapan Proses Kehilangan dan Berduka


Kehilangan meliputi fase akut dan jangka panjang.
a. Fase Akut
Berlangsung selama 4 sampai 8 minggu setelah kematian, yang terdiri atas tiga
proses, yaitu syok dan tidak percaya, perkembangan kesadaran, serta restitusi.
1) Syok dan tidak percaya
Respons awal berupa penyangkalan, secara emosional tidak dapat
menerima pedihnya kehilangan. Akan tetapi, proses ini sesungguhnya
memang dibutuhkan untuk menoleransi ketidakmampuan menghadapi
kepedihan dan secara perlahan untuk menerima kenyataan kematian.
2) Perkembangan kesadaran
Gejala yang muncul adalah kemarahan dengan menyalahkan orang lain,
perasaan bersalah dengan menyalahkan diri sendiri melalui berbagai cara,
dan menangis untuk menurunkan tekanan dalam perasaan yang dalam.
3) Restitusi
6
Merupakan proses yang formal dan ritual bersama teman dan keluarga
membantu menurunkan sisa perasaan tidak menerima kenyataan
kehilangan.
b. Fase Jangka Panjang
1) Berlangsung selama satu sampai dua tahun atau lebih lama.
2) Reaksi berduka yang tidak terselesaikan akan menjadi penyakit yang
tersembunyi dan termanifestasi dalam berbagai gejala fisik. Pada beberapa
individu berkembang menjadi keinginan bunuh diri, sedangkan yang
lainnya mengabaikan diri dengan menolak makan dan menggunakan
alkohol.
Menurut Schulz (1978), proses berduka meliputi tiga tahapan, yaitu fase awal,
pertengahan, dan pemulihan.
a. Fase awal
Pada fase awal seseoarang menunjukkan reaksi syok, tidak yakin, tidak
percaya, perasaan dingin, perasaan kebal, dan bingung. Perasan tersebut
berlangsung selama beberapa hari, kemudian individu kembali pada perasaan
berduka berlebihan. Selanjutnya, individu merasakan konflik dan
mengekspresikannya dengan menangis dan ketakutan. Fase ini akan
berlangsung selama beberapa minggu.
b. Fase pertengahan
Fase kedua dimulai pada minggu ketiga dan ditandai dengan adanya perilaku
obsesif. Sebuah perilaku yang yang terus mengulang-ulang peristiwa
kehilangan yang terjadi.
c. Fase pemulihan
Fase terakhir dialami setelah tahun pertama kehilangan. Individu memutuskan
untuk tidak mengenang masa lalu dan memilih untuk melanjutkan kehidupan.
Pada fase ini individu sudah mulai berpartisipasi kembali dalam kegiatan
sosial.
Menurut Kubler Ross’s (2009) membagi respon seseorang terhadap kematian
menjadi lima tahapan, yaitu :
a. Tahap Penyangkalan (Denial)
Reaksi awal seorang individu ketika mengalami kehilangan adalah
tidak percaya, syok, diam, terpaku, gelisah, bingung, mengingkari kenyataan,
mengisolasi diri terhadap kenyataan, serta berperilaku seperti tidak terjadi
7
apa-apa dan pura-pura senang. Manifestasi yang mungkin muncul antara lain
sebagai berikut.
1) “Tidak, tidak mungkin terjadi padaku.”
2) “Diagnosis dokter itu salah.”
3) Fisik ditunjukkan dengan otot-otot lemas, tremor, menarik napas dalam,
panas/dingin dan kulit lembap, berkeringat banyak, anoreksia, serta
merasa tak nyaman.
4) Penyangkalan merupakan pertahanan sementara atau mekanisme
pertahanan (defense mechanism) terhadap rasa cemas.
5) Pasien perlu waktu beradaptasi.
6) Pasien secara bertahap akan meninggalkan pangkalannya dan
menggunakan pertahanan yang radikal.
7) Secara intelektual seseorang dapat menerima hal-hal yang berkaitan
dengan kematian, tapi tidak demikian dengan emosional.

Suatu contoh kasus, saat seseorang mengalami kehilangan akibat kematian


orang yang dicintai. Pada tahap ini individu akan beranggapan bahwa orang yang
dicintainya masih hidup, sehingga sering berhalusinasi melihat atau mendengar
suara seperti biasanya. Secara fisik akan tampak letih, lemah, pucat, mual, diare,
sesak napas, detak jantung cepat, menangis, dan gelisah. Tahap ini membutuhkan
waktu yang panjang, beberapa menit sampai beberapa tahun setelah kehilangan.

b. Tahap Marah (Anger)


Tahap kedua seseorang akan mulai menyadari tentang kenyataan
kehilangan. Perasaan marah yang timbul terus meningkat, yang diproyeksikan
kepada orang lain atau benda di sekitarnya. Reaksi fisik menunjukkan wajah
memerah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, dan tangan mengepal. Respons
pasien dapat mengalami hal seperti berikut.
1) Emosional tak terkontrol.
“Mengapa aku?”
“Apa yang telah saya perbuat sehingga Tuhan menghukum saya?”
2) Kemarahan terjadi pada Sang Pencipta, yang diproyeksikan terhadap
orang atau lingkungan.
3) Kadang pasien menjadi sangat rewel dan mengkritik. “Peraturan RS
terlalu keras/kaku.”

8
“Perawat tidak becus!”
4) Tahap marah sangat sulit dihadapi pasien dan sangat sulit diatasi dari sisi
pandang keluarga dan staf rumah sakit.
5) Perlu diingat bahwa wajar bila pasien marah untuk mengutarakan
perasaan yang akan mengurangi tekanan emosi dan menurunkan stres.
c. Tahap Penawaran (Bargaining)
Setelah perasaan marah dapat tersalurkan, individu akan memasuki
tahap tawar-menawar. Ungkapan yang sering diucapkan adalah
“....seandainya saya tidak melakukan hal tersebut.. mungkin semua tidak akan
terjadi ......” atau “misalkan dia tidak memilih pergi ke tempat itu ... pasti
semua akan baik-baik saja”, dan sebagainya. Respons pasien dapat berupa hal
sebagai berikut.
1) Pasien mencoba menawar, menunda realitas dengan merasa bersalah pada
masa hidupnya sehingga kemarahan dapat mereda.
2) Ada beberapa permintaan, seperti kesembuhan total, perpanjangan waktu
hidup, terhindar dari rasa kesakitan secara fisik, atau bertobat.
3) Pasien berupaya membuat perjanjian pada Tuhan. Hampir semua tawar-
menawar dibuat dengan Tuhan dan biasanya dirahasiakan atau
diungkapkan secara tersirat atau diungkapkan di ruang kerja pribadi
pendeta.
“Bila Tuhan memutuskan untuk mengambil saya dari dunia ini dan tidak
menanggapi permintaan yang diajukan dengan marah, Ia mungkin akan
lebih berkenan bila aku ajukan permintaan itu dengan cara yang lebih
baik.”
“Bila saya sembuh, saya akan…….”
4) Pasien mulai dapat memecahkan masalah dengan berdoa, menyesali
perbuatannya, dan menangis mencari pendapat orang lain.
d. Tahap Depresi
Tahap depresi merupakan tahap diam pada fase kehilangan. Pasien
sadar akan penyakitnya yang sebenarnya tidak dapat ditunda lagi. Individu
menarik diri, tidak mau berbicara dengan orang lain, dan tampak putus asa.
Secara fisik, individu menolak makan, susah tidur, letih, dan penurunan
libido.

9
Fokus pikiran ditujukan pada orang-orang yang dicintai, misalnya
“Apa yang terjadi pada anak-anak bila saya tidak ada?” atau “Dapatkah
keluarga saya mengatasi permasalahannya tanpa kehadiran saya?”
Depresi adalah tahap menuju orientasi realitas yang merupakan tahap
yang penting dan bermanfaat agar pasien dapat meninggal dalam tahap
penerimaan dan damai. Tahap penerimaan terjadi hanya pada pasien yang
dapat mengatasi kesedihan dan kegelisahannya.
e. Tahap Penerimaan (Acceptance)
Tahap akhir merupakan organisasi ulang perasaan kehilangan. Fokus
pemikiran terhadap sesuatu yang hilang mulai berkurang. Penerimaan
terhadap kenyataan kehilangan mulai dirasakan, sehingga sesuatu yang hilang
tersebut mulai dilepaskan secara bertahap dan dialihkan kepada objek lain
yang baru. Individu akan mengungkapkan, “Saya sangat mencintai anak saya
yang telah pergi, tetapi dia lebih bahagia di alam yang sekarang dan saya pun
harus berkonsentrasi kepada pekerjaan saya.........”
Seorang individu yang telah mencapai tahap penerimaan akan
mengakhiri proses berdukanya dengan baik. Jika individu tetap berada di satu
tahap dalam waktu yang sangat lama dan tidak mencapai tahap penerimaan,
disitulah awal terjadinya gangguan jiwa. Suatu saat apabila terjadi kehilangan
kembali, maka akan sulit bagi individu untuk mencapai tahap penerimaan dan
kemungkinan akan menjadi sebuah proses yang disfungsional.
Menurut Stuart and Sunden (1991) ada 3 fase :
1. Closed Awarenes
Klien dan keluarga tidak menyadari akan kemungkinan dan tidak mengerti
mengapa klien sakit dan mereka merasa seolah-olah klien bisa sembuh.
2. Mutual Pretence
Klien dan keluarga mengetahui bahwa prognosa penyakit klien adalah
penyakit terminal, namun berupaya untuk tidak menyinggung atau
membicarakan hal tersebut secara terbuka.
3. Open Awarens
Klien dan keluarga menyadari dan mengetahui akan adanya kematian dan
merasa perlu untuk mendiskusikannya.

5. Kategori Kehilangan dan Berduka


10
a. Kehilangan
1) Kehilangan objek eksternal (misalnya kecurian atau kehancuran akibat
bencana alam). Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan
yang telah menjadi usang, berindah tempat, dicuri, atau rusak karena
bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap
benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut
terhadap nilai yang dimilikinya,dan kegunaan dari benda tersebut.
2) Kehilangan lingkungan yang dikenal (misalnya berpindah rumah, dirawat
dirumah sakit, atau berpindah pekerjaan). Kehilangan yang berkaitan
dengan perisahan dari lingkungan yang telah dikenal selama periode
tertentu atau kepindahan secara permanen.
3) Kehilangan sesuatu atau seseorang yang berarti (misalnya
pekerjaan, kepergian anggota keluarga dan teman dekat, perawat yang
dipercaya, atau binatang peliharaan). Orang terdekat mencaku orang tua,
pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, teman, tetangga dan rekan
kerja. Artis atau atlet terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang
muda. Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan
peliharaan sebagai orang terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat
perpisahan atau kematian.
4) Kehilangan suatu aspek diri (misalnya anggota tubuh dan fungsi psikologis
atau fisik). Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh,
fungsi fisiologis atau psikologis. Orang tersebut tidak hanya mengalami
kedukaan akibat kehilangan tetai juga dapat mengalami perubahan
permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
5) Kehilangan hidup (misalnya kematian anggota keluarga, teman dekat,
atau diri sendiri) (Hidayat. 2009 : 243). Kehilangan dirasakan oleh orang
yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut akan meninggal.
b. Berduka
Menurut hidayat ( 2009 : 244) berduka dibagi menjadi beberapa antara lain:
1) Berduka normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap
kehilangan. Misalnya kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan
menarik diri dari aktivitas untuk sementara.
2) Berduka antisipatif
11
Yaitu proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan dan
kematian yang sesungguhnya terjadi. Misalnya, ketika menerima diagnosis
terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyelesaikan
berbagai urusan di dunia sebelum ajalnya tiba.
3) Berduka yang rumit
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu
tahap kedukaan normal. Masa berkabung seolah – olah tidak kunjung
berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan
dengan orang lain.
4) Berduka tertutup
Kedukaan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka.
Contohnya kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian
orang tua tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya dikandungan atau ketika
bersalin.

6. Tipe Kehilangan
a. Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasikan oleh orang lain, sama
dengan individu yang mengalami kehilangan. Contoh : kehilangan anggota
badan, uang, pekerjaan, dan anggota keluarga.
b. Perceived Loss
Kehilangan sesuatu yang dirasakan oleh individu bersangkutan namun tidak
dapat dirasakan / dilihat oleh orang lain. Contoh : kehilangan masa remaja,
lingkungan yang berharga.
c. Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang
akan berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien (anggota)
menderita sakit terminal.

B. Asuhan Keperawatan Berduka dan Kehilangan


1. Pengkajian
Pengkajian meliputi upaya mengamati dan mendengarkan isi duka cita klien
: aa yang dipikirkan, dikatakan, dirasakan dan diperhatikan melalui perilaku.
12
Beberapa percakapan yang merupakan bagian pengkajian gar mengetahui apa
yang mereka pikir dan rasakan adalah :
a. Persepsi yang adekuat tentang kehilangan
b. Dukungan yang adekuat ketika berduka akibat kehilangan
c. Perilaku koping yang adekuat selama proses
1) Faktor Predisposisi
a) Genetik
Seorang individu yang memiliki anggota keluarga atau
dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi akan
mengalami kesulitan dalam bersikap optimis dan menghadapi
kehilangan.
b) Kesehatan fisik
Individu dengan kesehatan fisik prima dan hidup dengan
teratur mempunyai kemampuan dalam menghadapi stres dengan lebih
baik dibandingkan dengan individu yang mengalami gangguan fisik.
c) Kesehatan mental
Individu dengan riwayat gangguan kesehatan mental memiliki
tingkat kepekaan yang tinggi terhadap suatu kehilangan dan berisiko
untuk kambuh kembali.
d) Pengalaman kehilangan sebelumnya
Kehilangan dan perpisahan dengan orang berarti di masa
kanak-kanak akan memengaruhi kemampuan individu dalam
menghadapi kehilangan di masa dewasa.
e) Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep negatif, perasaan rendah diri akan
menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif
terhadap stress yang dihadapi.

2) Faktor Prespitasi
Ada beberapa stressor yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan.
Kehilangan kasih sayang secara nyata ataupun imajinasi individu seperti :
kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi :
a) Kehilangan kesehatan
b) Kehilangan fungsi seksualitas
13
c) Kehilangan peran dalam keluarga
d) Kehilangan posisi di masyarakate.
e) Kehilangan harta benda atau orang yang dicintaif.
f) Kehilangan kewarganegaraan

3) Mekanisme Koping
Koping yang sering dipakai individu dengan kehilangan respon antara
lain : Denial, Represi, Intelektualisasi, Regresi, Disosiasi, Supresi dan
proyeksi

yang digunakan untuk menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat


menyakitkan. Regresi dan disosiasi sering ditemukan pada pasien depresi
yang dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme koping tersebut sering
dipakai secara berlebihan dan tidak tepat (Prabowo, 2014 : 117 – 118).
a) Denail
Dalam psikologi, terma “denail” artinya penyangkalan
dikenakan pada seseorang yang dengan kuat menyangkal dan menolak
serta tak mau melihat fakta-fakta yang menyakitkan atau tak
sejalan dengan keyakinan, pengharapan, dan pandangan-
pandangannya. Denialisme membuat seorang hidup dalam dunia
ilusifnya sendiri, terpangkas dari kehidupan dan nyaris tidak mampu
keluar dari cengkeramannya.
Ketika seseorang hidup dalam denial “backfire effect” atau
“efek bumerang” sangat mungkin terjadi pada dirinya. Orang yang
hidup dalam denial tentu saja sangat ridak berbahagia. Dirinya sendiri
tidak berbahagia, dan juga membuat banyak orang lain tidak
berbahagia (Prabowo, 2014 : 118).
b) Represi
Represi merupakan bentuk paling dasar diantara mekanisme
lainnya. Suatu cara pertahanan untuk menyingkirkan dari kesadaran
pikiran dan perasaan yang mengancam. Represi adalah mekanisme
yang dipakai untuk menyembuhkan hal-hal yang kurang baik pada diri
kita kea lam bawah sadar kita. Dengan mekanisme ini kita akan
14
terhindar dari situasi tanpa kehilangan wibawa kita (Prabowo, 2014 :
118).
c) Intelektualisasi
Intelektualisasi adalah pengguna logika dan alasan yang
berlebihan untuk menghindari pengalaman yang menganggu
perasaannya. Dengan intelektualisasi, manusia dapat mengurangi hal-
hal yang pengaruhnya tidak menyenangkan, dan memberikan
kesempatan untuk meninjau permasalahan secara objektif (Prabowo,
2014 : 118).
d) Regresi
Yaitu menghadapi stress dengan perilaku, perasaan dan cara
berfikir mundur kembali ke ciri tahap perkembangan sebelumnya
(Prabowo, 2014 : 118).
e) Supresi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan
tetapi sebenarnya merupakan analog dari represi yang disadari.
Perbedaan supresi dengan represi yaitu pada supresi seseorang
secara sadar menolak pikirannya keluar alam sadarnya dan
memikirkan yang lain. Dengan demikian supresi tidak begitu
berbahaya terhadap kesehatan jiwa, Karena terjadinya dengan
sengaja, sehingga ia mengetahui apa yang dibuatnya (Prabowo, 2014 :
118).
f) Disosiasi
Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme pertahanan
tetapi sebenarnya merupakan analog dari represi yang disadari.
Perbedaan supresi dengan represi yaitu pada supresi seseorang
secara sadar menolak pikirannya keluar alam sadarnya dan
memikirkan yang lain. Dengan demikian supresi tidak begitu
berbahaya terhadap kesehatan jiwa, Karena terjadinya dengan
sengaja, sehingga ia mengetahui apa yang dibuatnya (Prabowo, 2014 :
118).
g) Proyeksi
Proyeksi merupakan usaha untuk menyalahkan orang lain
mengenai kegagalannya, kesulitannya atau keinginan yang tidak baik.
15
Dolah dan Holladay (1967) berpendapat bahwa proyeksi adalah contoh
dari cara untuk memungkiri tanggung jawab kita terhadap impuls-
impuls dan pikiran-pikiran dengan melimpahkan kepada orang lain dan
tidak pada kepribadian diri sendiri (Prabowo, 2014 : 118).

4) Respon Spiritual
a) Kecewa dan marah terhadap Tuhan
b) Penderitaan karena ditinggalkan atau merasa ditinggalkan
c) Tidak memilki harapan; kehilangan makna

5) Respon Fisiologi
a) Sakit kepala, insomnia
b) Gangguan nafsu makan
c) Berat badan turun
d) Tidak bertenaga
e) Palpitasi, gangguan pencernaan
f) Perubahan sistem imune dan endokrin

6) Respon Emosianal
a) Merasa sedih, cemas
b) Kebencian
c) Merasa bersala
d) Perasaan mati rasa
e) Emosi yang berubah-ubah
f) Penderitaan dan kesepian yang berat
g) Keinginan yang kuat untuk mengembalikan ikatan dengan individu
ataubenda yang hilang
h) Depresi, apati, putus asa selama fase disorganisasi dan keputusasaani
i) Saat fase reorganisasi, muncul rasa mandiri dan percaya diri

7) Respon Kognitif
a) Gangguan asumsi dan keyakinan
b) Mempertanyakan dan berupaya menemukan makna kehilangan
c) Berupaya mempertahankan keberadaan orang yang meninggal
16
d) Percaya pada kehidupan akhirat dan seolah-olah orang yang
meninggaladalah pembimbing.

8) Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti :
a) Menangis tidak terkontrol
b) Sangat gelisah; perilaku mencari
c) Iritabilitas dan sikap bermusuhan
d) Mencari dan menghindari tempat dan aktivitas yang dilakukan
bersama orang yang telah meninggal.
e) Menyimpan benda berharga orang yang telah meninggal padahal ingin
membuangnya
f) Kemungkinan menyalah gunakan obat atau alkohol
g) Kemungkinan melakukan gestur, upaya bunuh diri atau pembunuhan
h) Mencari aktivitas dan refleksi personal selama fase reorganisasi

2. Analisa Data
a. Data Subjektif
1) Merasa sedih
2) Merasa putus asa dan kesepian
3) Kesulitan mengekspresikan perasaan
4) Konsentrasi menurun
b. Data Objektif
1) Menangis
2) Mengingkari kehilangan
3) Tidak berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
4) Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
5) Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas

3. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang sering timbul pada pasien kehilangan adalah sebagai
berikut :
1) Berduka disfungsional
2) Berduka fungsional
17
4. Prinsip Intervensi
a. Intervensi berdasarkan tahapan
1) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penyangkalan (denial) adalah
memberi kesempatan pasien untuk mengungkapkan perasaannya dengan
cara berikut :
a) Dorong pasien mengungkapkan perasaan kehilangan
b) Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap tentang kenyataan
kehilangan pasien seacara emosional
c) Dengarkan pasien dengan penuh pengertian. Jangan menghuku dan
menghakimi
d) Jelaskan bahwa sikap pasien sebagai suatu kewajaran pada individu
yang mengalami kehilangan
e) Beri dukungan secara nonverbal seperti memegang tangan, menepuk
bahu, dan merangkul.
f) Jawab pertanyaan pasien dengan bahasan yang sederhana, jelas dan
singkat
g) Amati dengan cermat respons pasien pasien selama bicara
2) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap marah (anger) adalah dengan
memberikan dorongan dan memberi kesempatan pasien untuk
mengungkapkan marahnya secara verbal tanpa melawan kemarahannya.
Perawat harus menyadari bahwa perasaan marah adalah ekspresi frustasi
dan ketidakberdayaan.
a) Terima semua perilaku keluarga akibat kesedihan(marah, menangis).
b) Dengarkan dengan empati. Jangan mencela.
c) Bantu pasien memanfaatkan sistem pendukung
3) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap tawar-menawar (bargaining)
adalah membantu pasien mengidentifikasi perasaan bersalah dan perasaan
takutnya.
a) Amati perilaku pasien.
b) Diskusikan bersama pasien tentang perasaan pasien.
c) Tingkatkan harga diri pasien.
d) Cegah tindakan merusak diri

18
4) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap depresi adalah mengidentifikasi
tingkat depresi, risiko merusak diri, dan membantu pasien mengurangi rasa
bersalah.
a) Observasi perilaku pasien.
b) Diskusikan perasaan pasien
c) Cegah tindakan merusak diri.
d) Hargai perasaan pasien.
e) Bantu pasien mengidentifikasi dukungan positif.
f) Beri kesempatan pasien mengungkapkan perasaan.
g) Bahas pikiran yang timbul bersama pasien.
5) Prinsip intervensi keperawatan pada tahap penerimaan (acceptance) adalah
membantu pasien menerima kehilangan yang tidak dapat dihindari dengan
cara berikut.
a) Menyediakan waktu secara teratur untuk mengunjungi pasien.
b) Bantu pasien dan keluarga untuk berbagi rasa.
b. Intervensi berdasarkan masalah keperawatan
Berikut akan diuraikan proses keperawatan pada pasien dengan respon
kehilangan.
Diagnose keperawatan :
1) Berduka disfungsional ( ex : Potensi terjadinya proses berduka yang tidak
terselesaikan sehubungan dengan kematian ibu, pada anak usia 5 tahun)

Tujuan Intervensi keperawatan

Tujuan jangka panjang : - Bina hubungan saling percaya antara


Anak dapat menyelesaikan masa berkabung anak, keluarga dan petugas dengan
dengan tuntas : sikap jujur menerimaikhlas, dan
Tujuan jangka pendek : empati.
1. Anak dapat mengerti arti sakit dan - Tunjukkan perhatian dan kasih saying
kematian anak baik melalui kata-kata maupun
2. Anak dapat mengungkapkan dengan sikap
perasaannya. - Tanyakan kepada anak mengenai
3. Anak dapat mengurangi rasa bersalah tentang kematian (binatang/orang)
4. Melalui proses berkabung dengan - Jelaskan kepada anak bahwa ibunya
melihat perilaku orang dewasa meninggal bukan tidur
- Jelaskan kepada anak bahwa roh
orang yang meninggal menghadap
tuhan bukan tubuhnya
- Minta kepada keluarga atau orang

19
yang berarti agar menemani anak
selama masa berduka bila perlu
mengijinkan untuk tinggal bersama
mereka
- Dorong anak untuk mengungkapkan
perasaan dengan menanyakan apa
yang dipikirkan selama ibunya sakit
sampai sekarang
- Jelaskan pada anak bahwa ibunya
sakit dan meninggal bukan karena
nakal atau bukan karena
kesalahannya
- Jelaskan pada anak bahwa orang
yang sering sedih dan menangis bila
ada yang meningggal
- Ajak anak untuk mengikuti acara
pemakaman dan mengunjungi rumah
berduka
- Jelaskan kepada anak urutan upacara
dan apa yang harus dilakukan oleh
anak sebelum upcara dan pelayat
datang

Diagnosa Keperawatan
2) Berduka fungsional (ex : Fiksasi pada fase peningkaran sehubungan
dengan kematian kekasih.)

Tujuan Intervensi Keperawatan


Pasien dapat melalui fase - Dorong pasien untuk mengungkapkan
pengingkarannya dengan pengingkarannya tanpa memaksa untuk menerima
wajar (tanpa kesulitan). kenyataan.
- Dengarkan dengan penuuh minat dan perhatian
apa yang dikatakan oleh pasien.
- Jelaskan kepada pasien, bahwa perasaan tersebut
wajar terjadi pada orang yang mengalami
kehilangan.
- Bantu pasien untuk memakai mekanisme koping
yang lain seperti menangis/bicara.
- Libatkan orang yang berarti bagi pasien untuk
menjelaskan apa yang telah terjadi.
- Tingkatkan kesadaran pasien secara bertahap
tentang kenyataan kehilangan yang dihadapi.
- Berii dukungan atas usaha pasien untuk mencoba
menerima kenyataan.
- Bantu pasien untuk mengungkapkan rasa

20
marahnya.
- Jawab semua pertanyaan pasien dengan singkat
dan jelas.
- Beri dukungan secara non verbal

5. Implementasi
Diagnose keperawatan :
a. Berduka disfungsional (ex : Potensi terjadinya proses berduka yang tidak
terselesaikan sehubungan dengan kematian ibu, pada anak usia 5 tahun)

Tujuan Tindakan keperawatan

Tujuan jangka panjang : - Membina hubungan saling percaya


Anak dapat menyelesaikan masa berkabung antara anak, keluarga dan petugas
dengan tuntas : dengan sikap jujur menerimaikhlas,
Tujuan jangka pendek : dan empati.
6. Anak dapat mengerti arti sakit dan - Menunjukan perhatian dan kasih
kematian saying anak baik melalui kata-kata
7. Anak dapat mengungkapkan maupun dengan sikap
perasaannya. - Menanyakan kepada anak mengenai
8. Anak dapat mengurangi rasa tentang kematian (binatang/orang)
bersalah - Menjelaskan kepada anak bahwa
9. Melalui proses berkabung dengan ibunya meninggal bukan tidur
melihat perilaku orang dewasa - Menjelaskan kepada anak bahwa roh
orang yang meninggal menghadap
tuhan bukan tubuhnya
- Meminta kepada keluarga atau orang
yang berarti agar menemani anak
selama masa berduka bila perlu
mengijinkan untuk tinggal bersama
mereka
- Mendorong anak untuk
mengungkapkan perasaan dengan
menanyakan apa yang dipikirkan
selama ibunya sakit sampai sekarang
- Menjelaskan pada anak bahwa
ibunya sakit dan meninggal bukan
karena nakal atau bukan karena

21
kesalahannya
- Menjelaskan pada anak bahwa orang
yang sering sedih dan menangis bila
ada yang meningggal
- Mengajak anak untuk mengikuti
acara pemakaman dan mengunjungi
rumah berduka
- Menjelaskan kepada anak urutan
upacara dan apa yang harus
dilakukan oleh anak sebelum upcara
dan pelayat datang

b. Fiksasi pada fase peningkaran sehubungan dengan kematian kekasih.

Tujuan Tindakan Keperawatan


Pasien dapat melalui fase - Mendorong pasien untuk mengungkapkan
pengingkarannya dengan pengingkarannya tanpa memaksa untuk menerima
wajar (tanpa kesulitan). kenyataan.
- Mendengarkan dengan penuuh minat dan
perhatian apa yang dikatakan oleh pasien.
- Menjelaskan kepada pasien, bahwa perasaan
tersebut wajar terjadi pada orang yang mengalami
kehilangan.
- Membantu pasien untuk memakai mekanisme
koping yang lain seperti menangis/bicara.
- Mengikutsertakan orang yang berarti bagi pasien
untuk menjelaskan apa yang telah terjadi.
- Meningkatkan kesadaran pasien secara bertahap
tentang kenyataan kehilangan yang dihadapi.
- Memberi dukungan atas usaha pasien untuk
mencoba menerima kenyataan.
- Membantu pasien untuk mengungkapkan rasa
marahnya.
- Menjawab semua pertanyaan pasien dengan
singkat dan jelas.
- Memberi dukungan secara non verbal

6. Evaluasi
a. Pasien mampu mengenali peristiwa kehilangan yang dialami.

22
b. Memahami hubungan antara kehilangan yang dialami dengan keadaan dirinya.
c. Mengidentifikasi cara-cara mengatasi berduka yang dialaminya.
d. Memanfaatkan faktor pendukung.
e. Keluarga mengenal masalah kehilangan dan berduka.
f. Keluarga memahami cara merawat pasien berduka berkepanjangan.
g. Keluarga mempraktikkan cara merawat pasien berduka disfungsional.
h. Keluarga memanfaatkan sumber yang tersedia di masyarakat.

BAB IV

KESIMPULAN

Kehilangan adalah suatu keadaan individu mengalami kehilangan sesuatu yang sebelumnya
ada dan dimiliki. Kehilangan merupakan sesuatu yang sulit dihindari seperti kehilangan harta,
kesehatan, orang yang dicintai, dan kesempatan. Sedangkan reaksi terhadap kehilangan
adalah berduka, yaitu respons emosional normal dan merupakan suatu proses untuk
memecahkan masalah.

Penyebab yang dapat mempengaruhi rentang respon kehilangan ada 2 yaitu faktor predisosisi
(faktor genetik, kesehatan jasmani dan kesehatan mental, pengalaman kehilangan di masa
lalu, struktur kepribadian) dan faktor presiitasi (kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi
seksualitas, kehilangan posisi di masyarakat, kehilangan peran dalam masyarakat, kehilangan
harta benda atau orang yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan.

Tanda dan gejala dari kehilangan adalah perasaan sedih, menangis, putus asa, mengingkari
kehilangan, kesulitan mengekspresikan perasaan, konsentrasi menurun, kemarahan yang
berlebihan, tidak minat dalam berinteraksi dengan orang lain.

23
Tahapan proses kehilangan menurut Kubler Ross’s (2009) ada 5 tahapan yaitu : tahap
penyangkalan, tahap marah, tahap penawaran, tahap depresi, tahap penerimaan. Ada 3 tipe
kehilangan : actual loss, perceived loss, anticipatory loss.

DAFTAR PUSTAKA

Yosep, iyus, Titin Sutini. 2007. Buku Ajar Keperwatan Jiwa Dan Advance Mental Health
Nursing. Bandung: PT Rafika Aditama

Nihayati, Hanik Endang, Rizky Fitryasari PK, Ah. Yusuf. 2015. Buku Ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa. Jakarta Selatan: Salemba Medika

24
25

Anda mungkin juga menyukai