Anda di halaman 1dari 25

KEHILANGAN DAN BERDUKA

1       Definisi Kehilangan dan Berduka


a)      Kehilangan
Menurut Iyus yosep dalam buku keperawatan jiwa 2007, Kehilangan adalah suatu
keadaan Individu berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak
ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan.
Kehilangan merupakan pengalaman yang pernah dialami oleh setiap individu selama
rentang kehidupan, sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda.
Berdasarkan  penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa kehilangan merupakan
suatu keadaan gangguan jiwa yang biasa terjadi pada orang- orang yang menghadapi suatu
keadaan yang berubah dari keadaan semula (keadaan yang sebelumya ada menjadi tidak ada).
b)     Berduka
Grieving adalah reaksi emosional dari kehilangan dan terjadi bersamaan dengan
kehilangan baik karena perpisahan, perceraian maupun kematian.Bereavement adalah
keadaan berduka yang ditunjukan selama individu melewati rekasi. Berduka adalah respon
emosi yang diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih,
gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain-lain.
Berduka merupakan respon normal pada semua kejadian kehilangan. Dukacita adalah
proses kompleks yang normal meliputi respon dan perilaku emosional, fisik, spritual, sosial,
dan intelektual yakni individu, keluarga, dan komunitas, memasukan kehilangan, yang aktual,
adaptif, atau dipersepsikan kedalam kehidupan sehari – hari mereka.

2  Bentuk, Sifat dan Tipe  Kehilangan


a)    Bentuk-bentuk kehilangan

1.      Kehilangan orang yang berarti

2.      Kehilangan kesejahteraan

3.      Kehilangan milik pribadi

b)     Sifat kehilangan

1.      Tiba–tiba (Tidak dapat diramalkan)


Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan
dukacita yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau
pelalaian diri akan sulit diterima.
2.      Berangsur-angsur (Dapat Diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan, dan menyebabkan yang ditinggalkan
mengalami keletihan emosional (Rando:1984). Penelitian menunjukan bahwa yang
ditinggalkan oleh klien yang mengalami sakit selama 6 bulan atau kurang mempunyai
kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain, mengisolasi diri mereka
lebih banyak, dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan bermusuhan.  
c)      Tipe kehilangan
1.      Actual Loss
Kehilangan yang dapat dikenal atau diidentifikasi oleh orang lain, sama dengan individu
yang mengalami kehilangan.
2.      Perceived Loss ( Psikologis )
Perasaan individual, tetapi menyangkut hal – hal yang tidak dapat diraba atau dinyatakan
secara jelas.
3.      Anticipatory Loss
Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi.Individu memperlihatkan perilaku
kehilangan dan berduka untuk suatu kehilangan yang akan berlangsung. Sering terjadi pada
keluarga dengan klien (anggota) menderita sakit terminal.
Tipe dari kehilangan dipengaruhi tingkat distres. Misalnya, kehilangan benda mungkin
tidak menimbulkan distres yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita.
Nanun demikian, setiap individunberespon terhadap kehilangan secara berbeda.kematian
seorang anggota keluargamungkin menyebabkan distress lebih besar dibandingkan
kehilangan hewan peliharaan, tetapi bagi orang yang hidup sendiri kematian hewan
peliharaan menyebaabkan disters emosional yang lebih besar dibanding saudaranya yang
sudah lama tidak pernah bertemu selama bertahun-tahun.
Kehilangan dapat bersifat aktual atau dirasakan.Kehilangan yang bersifat actual dapat
dengan mudah diidentifikasi, misalnya seorang anak yang teman bermainya pindah rumah.
Kehilangan yang dirasakan kurang nyata dan dapat di salahartikan ,seperti kehilangan
kepercayaan diri atau prestise.

3  Etiologi
Kehilangan dan berduka dapat disebabkan oleh
1.    Kehilangan seseorang yang dicintai
2.    Kehilanganm yang ada pada diri sendiri ( lose of self ).
3.    Kehilangan objek eksternal.
4.    Kehilangan lingkungan yang sangat dikenal.
5.    Kehilangan kehidupan atau meninggal.

4  Tanda dan Gejala Kehilangan


1.    Perasaan sedih, menangis.
2.    Perasaan putus asa, kesepian
3.    Mengingkari kehilangan
4.    Kesulitan dalam mengekspresikan perasaan
5.    Konsenterasi menurun
6.    Kemarahan yang berlebihan
7.    Tidak  berminat dalam berinteraksi dengan orang lain
8.    Merenungkan perasaan bersalah secara berlebihan
9.    Reaksi emosional yang lambat
10.     Adanya perubahan dalam kebiasaan makan, pola tidur, tingkat aktivitas.

5  Jenis-Jenis Kehilangan
Terdapat lima Kategori Kehilangan, yaitu :
1)      Kehilangan objek eksternal.
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang
berpinda tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.Kedalaman berduka yang dirasakan
seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orng tersebut
terhadap nilai yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut.
2)      Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan yang berkaitan dengan perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal
mencakup lingkungan yang telah dikenal Selma periode tertentu atau kepindahan secara
permanen. Contohnya pindah ke kota baru atau perawatan diruma sakit. Kehilangan melalui
perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi maturaasionol,
misalnya ketika seorang lansia pindah kerumah perawatan, atau situasi situasional, contohnya
mengalami cidera atau penyakit dan kehilangan rumah akibat bencana alam.
3)      Kehilangan orang terdekat
Orang terdekat mencakup orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru,
teman, tetangga, dan rekan kerja.Artis atau atlet terkenal mumgkin menjadi orang terdekat
bagi orang muda.Riset membuktikan bahwa banyak orang menganggap hewan peliharaan
sebagai orang terdekat.Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan atau kematian.
4)      Kehilangan aspek diri
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau
psikologis.Kehilangan anggota tubuh dapat mencakup anggota gerak , mata, rambut, gigi,
atau payu dara. Kehilangan fungsi fsiologis mencakupo kehilangan control kandung kemih
atau usus, mobilitas, atau fungsi sensori. Kehilangan fungsi fsikologis termasuk kehilangan
ingatan, harga diri, percaya diri atau cinta.Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat
penyakit, cidera, atau perubahan perkembangan atau situasi.Kehilangan seperti ini dapat
menghilangkan sejatera individu.Orang tersebut tidak hanya mengalami kedukaan akibat
kehilangan tetapi juga dapat mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep
diri.
5)      Kehilangan hidup
Kehilangan dirasakan oleh orang yang menghadapi detik-detik dimana orang tersebut
akan meninggal. Doka (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit yang mengancam-
hidup kedalam enpat fase.Fase presdiagnostik terjadi ketika diketahui ada gejala klien atau
factor resiko penyakit.Fase akut berpusat pada krisis diagnosis. Dalam fase kronis klien
bertempur dengan penyakit dan pengobatanya ,yang sering melibatkan serangkain krisis yang
diakibatkan. Akhirnya terdapat pemulihan atau fase terminal Klien yang mencapai fase
terminal ketika kematian bukan hanya lagi kemungkinan, tetapi pasti terjadi.Pada setiap hal
dari penyakit klien dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus
berubah Seseorsng dapat tumbuh dari pengalaman kehilangan melalui keterbukaan, dorongan
dari orang lain, dan dukungan adekuat.

6  Rentang Respon Kehilangan


Denial—–> Anger—–> Bergaining——> Depresi——> Acceptance
1.         Fase denial
a.    Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan
b.    Verbalisasi;” itu tidak mungkin”, “ saya tidak percaya itu terjadi ”.
c.    Perubahan fisik; letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan,                                detak jantung cepat, menangis, gelisah.
2.      Fase anger/marah
a.    mulai sadar akan kenyataan
b.    marah diproyeksikan pada orang lain
c.    reaksi fisik : muka merah,nadi cepat, gelisah,susah tidur,tangan mengepal.
d.   perilaku agresif
3.      fase bergaining/tawar menawar
Verbalisasi; “ kenapa harus terjadi pada saya ? “ kalau saja yang sakit bukan saya “
seandainya saya hati-hati “.
4.      Fase depresi
a.       Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa.
b.      Gejala ; menolak makan, susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
5.      Fase acceptance
a.         Pikiran pada objek yang hilang berkurang.
b.        Verbalisasi ;” apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh”, “ yah, akhirnya saya
harus operasi “
Fase Pengingkaran
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjadi, dengan mengatakan “
Tidak, saya tidak percaya itu terjadi “ atau “ itu tidak mungkin terjadi “. Bagi individu atau
keluarga yang didiagnosa dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi pada fase ini adalah : letih, lemah, pucat, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi
ini dapat berakhir dalam beberapa menit atau beberapa tahun.
Fase Marah
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering diproyeksikan
kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif,
berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh dokter-perawat yang tidak pecus. Respon
fisik yang sering terjadi antara lain muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
mengepal.
Fase Tawar-menawar
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan
maju ke fase tawar-menawar dengan memohon kemurahan pada Tuhan. Respon ini sering
dinyatakan dengan kata-kata “ kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering
berdoa “. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “ kalau
saja yang sakit, bukan anak saya”.
Fase Depresi
Individu pada fase ini sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang sebagai pasien
sangat penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada
keinginan bunuh diri, dsb. Gejala fisik yang ditunjukkan antara lain : menolak makan, susah
tidur, letih, dorongan libido manurun.
Fase Penerimaan
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu
berpusat kepada obyek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu
telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang obyek atau orang yang
hilang mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih kepada obyek yang
baru. Fase ini biasanya dinyatakan dengan “ saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju
yang ini tampak manis “ atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh”.
Apabila individu dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka
dia akan mengakhiri proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas.
Tetapi bila tidak dapat menerima fase ini maka ia akan mempengaruhi kemampuannya dalam
mengatasi perasaan kehilangan selanjutnya.
Faktor Predisposisi
Faktor prdisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
1.      Genetik
Individu yang dilahirkan dan dibesarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat
depresi akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan
termasuk dalam menghadapi proses kehilangan.
2.      Kesehatan Jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik.
3.      Kesehatan Mental
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat depresi
yang ditandai dengan perasaan tidak berdaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan yang
suram, biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan.
4.      Pengalaman Kehilangan di Masa Lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kana-kanak akan
mempengaruhi individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa dewasa (Stuart-
Sundeen, 1991)
5.      Struktur Kepribadian
Individu dengan konsep yang negatif, perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa
percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap stress yang dihadapi.
Faktor Presipitasi
Strees yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata,
ataupun imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi:
kehilangan kesehatan, kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga,
kehilangan posisi dimasyarakat, kehilangan milik pribadi seperti: kehilangan harta benda atau
orang yang dicintai, kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya.

7  Proses Kehilangan
1.         Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir positif –
kompensasi positif terhadap kegiatan yang dilakukan – perbaikan – mampu beradaptasi dan
merasa nyaman.
2.         Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individu berfikir negatif –
tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke dalam diri ( tidak diungkapkan)
– muncul gejala sakit fisik.
3.         Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–
tidak berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu –berperilaku
konstruktif – perbaikan – mampu beradaptasi dan merasa kenyamanan.
4.         Stressor internal atau eksternal – gangguan dan kehilangan – individuberfikir negatif–tidak
berdaya – marah dan berlaku agresif – diekspresikan ke luar diri individu – berperilaku
destruktif – perasaan bersalah – ketidakberdayaan.
5.         Inti dari kemampuan seseorang agar dapat bertahan terhadap kehilangan adalah pemberian
makna (personal meaning) yang baik terhadap kehilangan (husnudzon) dan kompensasi yang
positif (konstruktif).

8  Teori dari Proses Berduka


            Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep
dan teori berduka hanyalah alat yang hanya dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan
emosional klien dan keluarganya dan juga rencana intervensi untuk membantu mereka
memahami kesedihan mereka dan mengatasinya.Peran perawat adalah untuk mendapatkan
gambaran tentang perilaku berduka, mengenali pengaruh berduka terhadap perilaku dan
memberikan dukungan dalam bentuk empati.
1.        Teori Engels
Menurut Engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat
diaplokasikan pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
a.         Fase I (shock dan tidak percaya)
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas,
atau pergi tanpa tujuan.Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak
jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
b.         Fase II (berkembangnya kesadaran)
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/akut dan mungkin mengalami
putus asa.Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba
terjadi.
c.         Fase III (restitusi)
Berusaha mencoba untuk sepakat/damai dengan perasaan yang hampa/kosong, karena
kehilangan masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang
bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d.        Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum.Bisa
merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap
almarhum.
e.         Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/disadari.Sehingga pada fase
ini diharapkan seseorang sudah dapat menerima kondisinya.Kesadaran baru telah
berkembang.
2.        Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada
perilaku dan menyangkut 5 tahap, yaitu sebagai berikut:
a.       Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk
mempercayai bahwa telah terjadi kehilangan.Pernyataan seperti “Tidak, tidak mungkin
seperti itu,” atau “Tidak akan terjadi pada saya!” umum dilontarkan klien.
b.      Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih
sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan marah. Hal ini merupakan koping individu
untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya menghadapi
kehilangan.
c.       Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk
mencegah kehilangan. Pada tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
d.      Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan
tersebut.Tahap depresi ini memberi kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan
mulai memecahkan masalah.
e.       Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut.Kubler-Ross mendefinisikan sikap
penerimaan ada bila seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah
pada pengunduran diri atau berputus asa.
3.        Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang
tumpang tindih dan tidak dapat diharapkan.Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada
faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang terus menerus dari
kesedihan biasanya reda dalam 6-12 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut
sampai 3-5 tahun.
4.        Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 katagori:
a.       Penghindaran
Pada tahap ini terjadi shock, menyangkal dan tidak percaya.
b.      Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang
melawan kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
c.       Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki
kembali secara emosional dan sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani
hidup dengan kehidupan mereka.
PERBANDINGAN EMPAT TEORI PROSES BERDUKA
KUBLER-ROSS MARTOCCHIO
ENGEL (1964) RANDO (1991)
(1969) (1985)
Shock and
Shock dan tidak percaya Menyangkal Penghindaran
disbelief
Yearning and
Berkembangnya  kesadaran Marah
protest
Anguish,
Restitusi Tawar-menawar disorganization Konfrontasi
and despair
Identification in
Idealization Depresi
bereavement
Reorganization / the out Reorganization
Penerimaan akomodasi
come and restitution

9  Jenis-jenis Berduka
1.      Berduka normal, terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap
kehilangan.Misalnya, kesedihan, kemarahan, menangis, kesepian, dan menari diri dari
aktivitas untuk sementara.
2.      Berduka antisipatif, yaitu proses’melepaskan diri’ yng muncul sebelum kehilangan atau
kematian yang sesungguhnya terjadi.Misalnya, ketika menerima diagnosis terminal,
seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan beragai urusan didunia
sebelum ajalnya tiba
3.      Berduka yang rumit, dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap
berikutnya,yaitu tahap kedukaan normal.Masa berkabung seolah-olah tidak kunjung berakhir
dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
4.      Berduka tertutup, yaitu kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara
terbuka.Contohnya:Kehilangan pasangan karena AIDS, anak mengalami kematian orang tua
tiri, atau ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.

10          Tanda dan Gejala Berduka


1.         Ungkapan kehilangan
2.         Menangis
3.         Gangguan tidur
4.         Kehilangan nafsu makan
5.         Sulit berkonsentrasi
6.         Karakteristik berduka yang berkepanjangan,yaitu:
a.       Mengingkari kenyataan kehilngan terjadi dalam waktu yang lama
b.      Sedih berkepanjangan
c.       Adanya gejala fisik yang berat
d.      Keinginan untuk bunuh diri
Konsep Kehilangan
Kehilangan merupakan pengalaman  yang pernah dialami oleh setiap individu dalam
rentang kehidupannya. Sejak lahir individu sudah mengalami kehilangan dan cenderung akan
mengalaminya kembali walaupun dalam bentuk yang berbeda. Kehilangan adalah penarikan
sesuatu atau seseorang atau situasi yang berharga atau bernilai, baik sebagai pemisahan yang
nyata maupun yang diantisipasi. Kehilangan pribadi adalah segala kehilangan signifikan yang
membutuhkan adaptasi melalui proses berduka. Kehilangan terjadi apabila sesuatu atau
seseorang tidak dapat lagi ditemui, diraba, diketahui atau dipahami. Tipe dari kehilangan
memengaruhi tingkat distress. Misalnya, kehilangan benda mungkin tidak menimbulkan
distress yang sama ketika kehilangan seseorang yang dekat dengan kita. Namun demikian,
setiap individu berespon terhadap kehilangan secara berbeda. Kematian seorang anggota
keluarga mungkin menyebabkan distress lebih besar dibanding dengan saudaranya yang
sudah tidak lagi bertemu selama bertahun-tahun. Tipe kehilangan penting artinya untuk
proses berduka. Namun perawat harus mengenali bahwa setiap interpretasi seseorang tentang
kehilangan sangat bersifat individualis.
Kehilangan dan kematian adalah realitas yang sering terjadi dalam lingkungan
asuhan keperawatan. Sebagian besar perawat berinteraksi dengan klien dan keluarga yang
mengalami kehilangan dan berduka. Penting bagi perawat memahami kehilangan dan
berduka. Ketika merawat klien dan keluarga, perawat juga mengalami kehilangan pribadi
ketika hubungan klien-keluarga-perawat berakhir karena perpindahan, pemulangan,
penyembuhan atau kematian. Perasaan pribadi, nilai dan pengalaman pribadi memengaruhi
seberapa jauh perawat dapat mendukung klien dan keluarganya selama kehilangan dan
kematian (Potter dan Perry, 2005). Kehilangan adalah situasi actual dan potensial ketika
sesuatu (orang atau objek) yang dihargai telah berubah, tidak lagi ada atau menghilang.
Seseorang dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang
milik pribadi, keyakinan atau sense of self- baik sebagian maupun keseluruhan. Peristiwa
kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah pengalaman traumatic.
Kehilangan sendiri dianggap sebagai kondisi kritis, baik kritis situasional ataupun kritis
perkembangan. Dalam hal ini persepsi individu, tahap perkembangan, mekanisme koping dan
sistem pendukungnya sangatlah berpengaruh terhadap respon individu dalam mengahdapi
proses kehilangan tersebut. Apabila proses kehilangan tidak dibarengi dengan koping yang
positif atau penanganan yang baik, pada akhirnya akan berpengaruh pada perkembangan
individu atau port of being maturnya.
Kehilangan dan berduka merupakan bagian integral dari kehidupan. Kehilangan
adalah suatu kondisi yang terputus atau terpisah atau memulai sesuatu tanpa hal yang berarti
sejak kejadian tersebut. Kehilangan mungkin terjadi secara bertahap atau mendadak, bisa
tanpa kekerasan atau traumatic, diantisiapsi atau tidak diharapkan atau diduga, sebagian atau
total dan bisa kembali atau tidak dapat kembali. Menurut Lambert dan Lambert (1985)
Kehilangan adalah suatu individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada,
kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan. Kehilangan dapat
bersifat actual atau dirasakan. Kehilangan yang bersifat actual dapat dengan mudah
didentifikasi, misalnya seorang anak yang teman supermainannya pindah rumah atau seorang
dewasa yang kehilangan pasangan akibat bercerai. Kehilangan yang dirasakan kurang nyata
dan dapat disalah artikan, seperti kehilangan kepercayaan diri atau prestise. Makin dalam
makna kata yang hilang, maka makin besar rasa kehilangan tersebut.
Faktor yang Memengaruhi Kehilangan
Ada beberapa faktor yang memengaruhi kehilangan antara lain sebagai berikut :
a.       Perkembangan. Misal anak-anak, belum mengerti seperti orang dewasa, belum bisa
merasakan, belum menghambat perkembangan, bisa mengalami regresi. Sementara orang
dewasa, kehilangan bisa membuat orang menjadi mengenang tentang hidup, tujuan hidup,
menyiapkan diri bahwa kematian adalah hal yang tidak bisa dihindari.
b.      Keluarga. Keluarga memengaruhi respons dan ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya
menunjukkan sikap kuat, tidak menunjukkan sikap sedih secara terbuka.
c.       Faktor sosial ekonomi. Apabila yang meninggal merupakan penanggung jawab ekonomi
keluarga, berarti kehilangan orang yang dicintai sekaligus kehilangan secara ekonomi. Hal ini
mengganggu kelangsungan hidup.
d.      Pengaruh Kultural. Kultur memengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur “barat”
menganggap kesedihan adalah sesuatu yang bersifat pribadi sehingga hanya diutarakan pada
keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap bahwa
mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras.
e.       Agama. Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa
kematian sudah ada di konsep dasar agama. Akan tetapi ada juga yang menyalahkan tuhan
akan kematian.
f.        Penyebab Kematian. Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan
menyebabkan syok dan tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa
kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan kesialan.
2.3  Bentuk-Bentuk Kehilangan
Adapun bentuk-bentuk dari kehilangan, sebagai berikut :
a.       Fisik atau actual. Jenis ini sifatnya nyata dan dapat dikenali oleh orang lain. Dengan kata
lain, orang lain dapat juga merasakan apa yang terjadi pada orang tersebut.
b.      Psikologis. Jenis kehilangan ini sifatnya abstrak dan tidak dapat dilihat oleh orang lain, hanya
yang mengalaminya yang bisa merasakannya. Bebannya beban yang dirasakan bergantung
pada beratnya kehilangan atau berartinya objek yang hilang.

2.4  Sifat Kehilangan
Adapun sifat-sifat kehilangan, sebagai berikut :
a.       Tiba-tiba (tidak dapat diramalkan)
Kehilangan secara tiba-tiba dan tidak diharapkan dapat mengarah pada pemulihan berduka
yang lambat. Kematian karena tindak kekerasan, bunuh diri, pembunuhan atau pelalaian diri
akan sulit diterima.
b.      Berangsur-angsur (dapat diramalkan)
Penyakit yang sangat menyulitkan, berkepanjangan dan menyebabkan yang ditinggalkan
mengalami keletihan emosional. Klien yang mengalami sakit selama enam bulan atau kurang
mempunyai kebutuhan yang lebih besar terhadap ketergantungan pada orang lain,
mengisolasi diri mereka lebih banyak dan mempunyai peningkatan perasaan marah dan
bermusuhan. Kemampuan untuk menyelesaikan proses berduka bergantung pada makna
kehilangan dan situasi sekitarnya. Kemampuan untuk menerima bantuan memengaruhi
apakah yang berduka akan mampu mengatasi kehilangan. Visibilitas kehilangan
memengaruhi dukungan yang diterima. Durasi perubahan (missal apakah hal tersebut bersifat
sementara atau permanen) memengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkan dalam menetapkan
kembali ekuilibrum fisik, psikologis dan sosial.
2.5  Tipe Kehilangan
Adapun tipe-tipe kehilangan, sebagai berikut :
a.       Actual loss. Kehilangan yang dapat dikenal atau didentifikasi oleh orang lain, sama dengan
individu yang mengalami kehilangan.
b.       Perceived loss (psikologis). Perasaan individual, tetapi menyangkut hal-hal yang tidak dapat
diraba atau dinyatakan secara jelas.
c.        Anticipatory loss. Perasaan kehilangan terjadi sebelum kehilangan terjadi. Individu
memperlihatkan perilaku kehilangan atau berduka untuk suatu kehilangan yang akan
berlangsung. Sering terjadi pada keluarga dengan klien atau anggota yang menderita sakit
terminal.

2.6  Lima Kategori Kehilangan


Lima kategori tersebut antara lain:
a.       Kehilangan objek eksternal
Kehilangan benda eksternal mencakup segala kepemilikan yang telah menajdi using,
berpindah tempat, dicuri atau dirusak karena bencana alam. Kehilangan objek eksternal
misalnya kehilangan milik sendiri atau bersama-sama, perhiasan, uang atau pekerjaan. Bagi
seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi seorang dewasa
mungkin berupa perhiasan atau aksesori pakaian. Kedalaman berduka yang dirasakan
seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut
terhadap benda yang dimilikinya dan kegunaan dari benda tersebut.
b.      Kehilangan lingkungan yang telah dikenal
Kehilangan diartikan dengan terpisahnya dari lingkungan yang sangat dikenal
termasuk dari kehidupan latar belakang keluarga dalam waktu satu periode atau bergantian
secara permanen. Contohnya termasuk ke kota baru, atau perawatan di rumah sakit.
Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang dikenal dapat terjadi melalui situasi
maturasional, misalnya ketika seseorang lansia pindah ke ruang perawatan, atau situasi
situasional, contohnya kehilangan rumah akibat bencana alam atau mengalami cedera atau
penyakit.
c.       Kehilangan orang terdekat atau orang yang dicintai
Kehilangan seseorang yang dicintai dan sangat bermakna atau orang yang berarti
adalah salah satu yang paling membuat stress dan mengganggu dari tipe-tipe kehilangan,
yang mana harus ditanggung oleh seseorang. Kematian juga membawa dampak kehilangan
bagi orang yng dicintai. Oleh karena keintiman, intensitas dan ketergantungan dari ikatan
atau jalinan yang ada, kamtian pasangan suami istri atau anak biasanya membawa dampak
emosional yang luar biasa dan tidak dapat ditutupi. Orang terdekat mencakup orang tua,
pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja.
Artis atau atlet yang terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset telah
menunjukkan bahwa banyak orang yang menganggap hewan peliharaan sebagai orang
terdekat. Kehilangan dapat terjadi akibat perpisahan, pindah, melarikan diri, promosi di
tempat kerja dan kematian.
d.      Kehilangan aspek diri (loss of self)
Bentuk lain dari kehilangan adalah kehilangan diri atau anggapan tentang mental
seseorang. Anggapan ini meliputi perasaan terhadap keaktifan, diri sendiri, kemampuan fisik
dan mental, peran dalam kehidupan, dan dampaknya. Kehilangan dari aspek  diri mungkin
sementara atau menetap, sebagian atau komplet. Beberapa aspek lain yang dapat hilang dari
seseorang misalnya kehilangan pendengaran, ingatan, usia muda, fungsi tubuh. Kehilangan
aspek diri dapat mencakup anggota gerak, mata, rambut, gigi, payudara. Kehilangan fungsi
fisiologis mencakup kehilangan control kandung kemih atau usus, mobilitas, kekuatan atau
fungsi sensoris. Kehilangan fungsi psikologis termasuk kehilangan ingatan, rasa humor,
harga diri, percaya diri, kekuatan, respek atau cinta, perkembangan atau situasi. Kehilangan
seperti ini dapat menurunkan kesejahteraan individu. Porang tersebut tidak hanya mengalami
perubahan permanen dalam citra tubuh dan konsep diri.
e.       Kehilangan hidup
Seseorang dapat mengalami mati baik secara perasaan, pikiran dan respon pada
kegiatan dan orang disekitarnya, sampai pada kematian yang sesungguhnya. Sebagian orang
berespon berbeda tentang kematian. Doak (1993) menggambarkan respon terhadap penyakit
yang mengancam hidup kedalam empat fase. Fase prediagnostik terjadi ketika diketahui ada
gejala klien atau faktor resiko penyakit. Fase akut berpusat pada krisis diagnosis.. klien
dihadapkan pada serangkaian keputusan, termasuk medis interpersonal, psikologis seperti
halnya cara menghadapi awal krisis penyakit. Dalam fase kronis klien bertempur dengan
penyakit dan pengobatannya, yang sering melibatkan serangkaian krisis yang diakibatkannya.
Akhirnya terjadilah pemulihan. Klien yang mengalami fase terminal ketika kematian bukan
lagi halnya kemungkinan, tetapi itu sudah pasti terjadi. Pada setiap hal dari penyakit ini klien
dan keluarga dihadapkan dengan kehilangan yang beragam dan terus berubah. 

2.7  Fase Atau Tahapan Kehilangan


Adapun fase atau tahapan kehilangan antara lain :
a.       Fase Pengingkaran (denial)
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya atau
mengingkari kenyataan bahwa kehidupan itu memang benar terjdi, dengan mengatakan
“tidak, aku tidak percaya itu terjadi” atau “itu tidak mungkin terjadi”. Bagi individu atau
keluarga yang didiagnosis dengan penyakit terminal, akan terus mencari informasi tambahan.
Reaksi fisik yang terjadi padda fase ini adalah letih, lemah, pucat, diare, gangguan
pernapasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah dan tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi
ini dapat berakhir dalam bebrapa menit atau beberapa tahun.
b.      Fase Marah (anger)
Fase ini dimulai dengan timbulnya suatu kesadaran akan kenyataan terjadinya
kehilangan. Individu menunjukkan rasa marah yang meningkat yang sering di proyeksikan
kepada orang lain atau pada dirinya sendiri. Tidak jarang ia menunjukkan perilaku agresif,
berbicara kasar, menolak pengobatan, menuduh perawat atau doketr yang tidak becus.
Respon fisik yang sering terjadi antara lain : muka merah, nadi cepat, gelisah, susah tidur dan
tangan mengepal.
c.       Fase Tawar-Menawar (bargaining)
Individu telah mampu mengungkapkan rasa marahnya secara intensif, maka ia akan maju
pada fase tawar menawar dengan memohon kemurahan pada tuhan. Respon ini sering
dinyatakan dengan kata-kata “kalau saja kejadian ini bisa ditunda, maka saya akan sering
berdoa”. Apabila proses ini oleh keluarga maka pernyataan yang sering keluar adalah “kalau
saja yang sakit, bukan anak saya”.
d.      Fase Depresi (depression)
Individu pada fase ini sering menunjukkan sifat menarik diri, kadang sebagai klien sangat
penurut, tidak mau bicara, menyatakan keputusasaan, perasaan tidak berharga, ada keinginan
untuk bunuh diri dan sebagainya. Gajala fisik yang ditunjukkan antara lain menolak makan,
susah tidur, letih, dorongan libido menurun.
e.       Fase Penerimaan (acceptance)
Fase ini berkaitan dengan reorganisasi perasaan kehilangan. Pikiran yang selalu
berpusat kepada objek atau orang yang hilang akan mulai berkurang atau hilang. Individu
telah menerima kehilangan yang dialaminya. Gambaran tentang objek atau orang yang hilang
mulai dilepaskan dan secara bertahap perhatiannya akan beralih pada objek yang baru. Fase
ini biasanya dinyatakan dengan “saya betul-betul kehilangan baju saya tapi baju yang ini
tampak manis” atau “apa yang dapat saya lakukan agar cepat sembuh?”. Apabila individu
dapat memulai fase ini dan menerima dengan perasaan damai, maka dia akan mengakhiri
proses berduka serta mengatasi perasaan kehilangannya dengan tuntas. Akan tetapi bila tidak
dapat menerima fase ini maka ia akan memengaruhi kemampuannya dalam mengatasi
perasaan kehilangan selanjutnya.
Konsep Berduka                                                                                        
Berduka adalah reaksi emosional individu terhadap peristiwa kehilangan, biasanya
akibat perpisahan yang dimanifestasikan dalam bentuk perilaku, perasaan dan pikiran.
Respons klien selama fase berduka meliputi :
1.      Perilaku bersedih, yaitu respons subjektif dalam masa berduka yang biasanya dapat
menimbulkan masalah kesehatan.
2.      Berkabung, yaitu periode penerimaan terhadap peristiwa kehilangan dan berduka serta dapat
dipengaruhi oleh faktor sosial, budaya dan kebiasaan.
                                           
Berduka adalah proses mengalami reaksi psikologis, sosial dan fisik terhadap
kehilangan yang dipersepsikan (Rando,1991). Respon ini termasuk keputusan, kesepian,
ketidakberdayaan, kesedihan, rasa bersalah dan marah. Berduka adalah respons emosi yang
diekspresikan terhadap kehilangan yang dimanifestasikan adanya perasaan sedih, gelisah,
cemas, sesak napas, susah tidur, dll. NANDA merumuskan dua tipe dari berduka yaitu,
berduka diantisipasi dan berduka disfungsional. Berduka diantisipasi adalah suatu status yang
merupakan pengalaman individu dalam merespons kehilangan yang actual ataupun yang
dirasakan seseorang, hubungan atau kedekatan, objek atau ketidakmampuan fungsional
sebelum terjadinya kehilangan. Tipe ini masih dalam batas normal. Berduka disfungsional
adalah suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesarkan-
besarkan saat individu kehilangan secara actual maupun potensial, hubungan, objek dan
ketidakmampuan fungsional. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal,
kesalahan atau kekacauan.
Tujuan berduka adalah untuk mencapai fungsi yang lebih efektif dengan
mengintegrasikan kehilangan kedalam pengalaman hidup klien. Pencapaian ini membutuhkan
waktu dan upaya. Istilah “upaya melewati berduka” berasal dari seorang Erich Lindemann
(1965) yang menggambarkan tugas dan proses yang harus diselesaikan dengan berhasil agar
berduka terselesaikan. Orang yang mengalami berduka mencoba berbagai strategi untuk
menghadapinya. Worden (1982) menggarisbawahi empat tugas berduka yang memudahkan
penyesuaian yang sehat terhadap kehilangan. Herper (1987) merancang tugas dalam akronim
“TEAR” sebagai berikut :
1.      T- untuk menerima realita dari kehilangan.
2.      E- mengalami kepedihan akibat kehilangan
3.      A- menyesuaikan lingkungan yang tidak lagi mencakup orang, benda atau aspek diri yang
hilang.
4.      R- memberdayakan kembalienergi emosional kedalam hubungan yang baru.
Tugas ini tidak terjadi lagi dalam urutan yang khusus, pada kenyataannya orang yang berduka
mungkin melewati keempat tugas tersebut secara bersamaan atau hanya satu atau dua yang
menjadi prioritas.
1)        Engel’s Theoryi
Menurut engel (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan
pada seseorang yang sedang berduka maupun menjelang ajal.
a)         Fase I (shock dan tidak percaya): seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan
mungkin menarik diri, duduk malas atau pergi tanpa tujuan. Mencoba untu membutakan
perasaan, mungkin karena orang tersebut tidak menyadari implikasi dari kehilangan.
Biasanya seseorang dapat menerima secara intelektual, tetapi menolak secara emosional.
Reaksi secara fisik termasuk pingsan, diaphoresis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bias
istirahat, insomnia, dan kelelahan.
b)        Fase II (berkembangnya kesadaran): seseorang mulai merasakan kehilangan secara
nyata/actual dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan bersalah, frustasi,
depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi. Marah biasanya akan ditujukan kepada rumah
sakit, perawat, dan lain-lain. Menyalahkan diri sendiri dan menangis adalah cara yang tipikal
sebagai individu yang terikat dengan kehilangan. Menangis sepertinya mencakup baik
pengetahuan tentang kehilangan sebagai suatu regresi yang tidak tertolong atau seperti
seorang anak.
c)         Fase III (restitusi/resolving the loss): seseorang dengan keinginannya untuk menghargai
akan seseorang yang meninggalkannya, berupaya untuk juga mengikuti ritual berkabung,
misalnya pemakaman. Berusaha mencoba untuk sepakat/berdamai dengan perasaan yang
hampa atau kosong, karena kehilangan. Masih tetap tidak dapat menerima perhatian yang
baru dari seseorang ynag bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
d)        Fase IV: menciptakan kesan orang meninggal yang hamper tidak memiliki harapan dimasa
yang akan datang. Menekan seluruh perasaan yang negative dan permusuhan terhadap
almarhum. Bias merasa bersalah dan sangat menyesal tentang kurangnya perhatiannya dan
perilakunya yang tidak mengenakkan dimasa lalu terhadap almarhum.
e)         Fase V: kehilangan yang tidak dapat dihindari harus mulai diketahui atau disadari. Sehingga
pada fase ini diharapkan seseorang sudah dapat meneriam kondisinya. Kemarahan atau
depresi tidak lagi diperlukan. Kehilangan jelas terjadi pada seseorang, yang mulai mengatur
kehidupannya kembali dengan meyakini fase ini, seseorang bergerak dari level terendah ke
yang lebih tinggi tentang integrasi empati dan intelektual. Kesadaran baru telah berkembang.
2)        Fase berduka menurut Martocchio (1985)
Meskipun proses kesedihan memiliki rangkaian yang dapat diprediksi dan mempunyai
gejala-gejala yang khusus, tidak ada dua orang yang mengalami kemajuan melaluinya dalam
jangka waktu yang sama dan metode yang sama. Seseorang mengalami kemajuan kemudian
kemunduran sampai akhirnya kehilangan itu terselesaikan kembali.Martocchio (1985).
Menggambarkan 5 phase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak
dapat diharapkan. Durasi kesedihan berfariasi dan bergantung pada factor yang
mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.Reaksi yang terus-menerus dari kesedihan
biasanya reda dalam waktu 6-16 bulan dan berduka yang mendalam mungkin berlanjut
sampai 3 hingga 5 tahun.Peri bahasa mengatakan “sekali berduka, selamanya berduka” masih
dianggap benar.Untuk mengharapkan klien untuk bias membuat kemajuan waktu yang
ditetapkan adalah salah, tidak tepat dan mungkin membahayakan.         
3)        Teori Rando

Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori:


1.         Penghindaran (shock, menyangkal dan tidak percaya)
2.         Konfrontasi (luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan
kehilangan mereka dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
3.         Akomodasi (terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali
secara emosional dan social dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup
dengan kehidupan mereka.
2.8.1 Duka Cita yang Tidak Teratasi
1.           Duka cita yang berkepanjangan:duka cita berkembang menjadi depresi kronis atau depresi
subsindromal yang dapat berlangsung selama lebih dari 1 tahun sebanyak 30%. Harga diri
yang rendah dan rasa bersalah cenderung menonjol.
2.         Duka cita yang tertunda: pasien yang tidak berduka ketika kehilangan itu terjadi berisiko
mengalami depresi di kemudian hari, penarikan diri secara social, gangguan cemas, serangan
panic, perilaku merusak diri yang nyata maupun samar, alkoholisme dan sindrom-sindrom
psikofisiologik. Kemarahan kronis dan hostilitas, hambatan emosional yang jelas, atau
hubungan interpersonal yang terganggu, juga dapat muncul. Duka cita yang tidak teratasi
mungkin merupakan penyebab tidak terduga dari gangguan psikiatrik pada banyak kasus-
karenanya perlu selalu menanyakan riwayat masa lalu tentang kehilangan-kehilangan yang
bermakna.
3.         Dukacita yang mengalami gangguan: reaksi yang berlebihan (aneh, histerikal, euforik dan
gejala seperti psikosis) muncul pada sebagian kecil pasien sebagaiakibat tertundanya proses
duka cita yang normal. Secara bergantian, pasien menunjukkan keluhan fisik (seperti myeri
atau “perilaku penyakiy kronis”) dan mungkin dapat dikelirukan dengan masalah medis
pimer.

2.9     Konsep Kematian
          Secara etimologi yaitu keadaan mati atau kematian. Sementara secara definitive.
Kematian adalah terhentinya fungsi jantung dan paru-paru secara menetap, atau terhentinya
kerja otak secara permanen.  Kematian merupakan peristiwa alamiah yang dihadapi oleh
manusia. Pemahaman akan kematian memengaruhi sikap dan tingkah laku seorang terhadap
kematian.
Beberapa konsep tentang kematian sebagai berikut :
a.              Mati sebagai terhentinya darah yang mengalir. Konsep ini bertolak dari criteria mati berupa
terhentinya jantung. Dalam PP Nomor 18 tahun 1981 dinyatakan bahwa mati adalah
berhentinya fungsi jantung dan paru-paru. Namun criteria ini sudah ketinggalan zaman.
Dalam pengalaman kedokteran, tekhnologi resusitasi telah memungkinkan jantung dan paru-
paru yang semula terhenti dapat dipulihkan kembali.
b.             Mati sebagai saat terlepasnya nyawa dari tubuh. Konsep ini menimbulkan keraguan karena,
misalnya pada tindakan resusitasi yang berhasil, keadaan demikian menimbulkan kesan
seakan-akan dapat ditarik kembali.
c.              Hilangnya kemampuan tubuh secara permanen. Konsep inipun dipertanyakan karena organ-
organ berfungsi sendiri-sendiri tanpa terkendali karena otak telah mati. Untuk kepentingan
transplantasi, konsep ini menguntungkan. Namun, secara moral tidak dapat diterima karena
kenyataannya organ-organ masih berfungsi meskipun tidak terpadu lagi.
d.             Hilangnya manusia secara permanen untuk kembali sadar dan melakukan interaksi sosial.
Bila dibandingkan dengan manusia sebagai makhluk sosial, yaitu individu yang mempunyai
kepribadian, menyadari kehidupannya, kemampuan mengingat, mengambil keputusan dan
sebagainya, maka penggerak dari otak, baik secara fisik maupun sosial, makin banyak
dipergunakan. Pusat pengendali ini terletak dalam bidang otak. Oleh karena itu, jika batang
otak telah mati, dapat diyakini bahwa manusia itu secara fisik dan sosial telah mati. Dalam
keadaan sperti ini, kalangan medis sering menempuh pilihan tidak meneruskan resusitasi,
DNR (do not resusciation).
Dying dan death (menjelang ajal dan mati), dua istilah yang sulit untuk dipisahkan
satu dan yang lain, serta merupakan suatu fenomena tersendiri. Dying lebih kearah suatu
proses. Sedangkan death merupakan akhir dari hidup.Terdapat kontroversi kecil tentang arti
dari death. Kebanyakan orang lebih menerima bahwa berhentinya pernapasan dan denyut
jantung serta ketidak mampuan reflex corneal merupakan data/tanda yang cukup bagi death.
Tetapi tidak selamanya demikian.Sekarang lebih mungkin untuk memperhatikan respirasi dan
sirkulasi seseorang dengan menggunakan obat-obatan, mesin, organ tiruan, dan transplantasi.

Duka Cita yang Tidak Teratasi


1.           Duka cita yang berkepanjangan:duka cita berkembang menjadi depresi kronis atau depresi
subsindromal yang dapat berlangsung selama lebih dari 1 tahun sebanyak 30%. Harga diri
yang rendah dan rasa bersalah cenderung menonjol.
2.         Duka cita yang tertunda: pasien yang tidak berduka ketika kehilangan itu terjadi berisiko
mengalami depresi di kemudian hari, penarikan diri secara social, gangguan cemas, serangan
panic, perilaku merusak diri yang nyata maupun samar, alkoholisme dan sindrom-sindrom
psikofisiologik. Kemarahan kronis dan hostilitas, hambatan emosional yang jelas, atau
hubungan interpersonal yang terganggu, juga dapat muncul. Duka cita yang tidak teratasi
mungkin merupakan penyebab tidak terduga dari gangguan psikiatrik pada banyak kasus-
karenanya perlu selalu menanyakan riwayat masa lalu tentang kehilangan-kehilangan yang
bermakna.
3.         Dukacita yang mengalami gangguan: reaksi yang berlebihan (aneh, histerikal, euforik dan
gejala seperti psikosis) muncul pada sebagian kecil pasien sebagaiakibat tertundanya proses
duka cita yang normal. Secara bergantian, pasien menunjukkan keluhan fisik (seperti myeri
atau “perilaku penyakiy kronis”) dan mungkin dapat dikelirukan dengan masalah medis
pimer.
Perawatan Pendampingan Terhadap Pasien Kehilangan, Berduka Dan Kematian
Pada tahap yang terdapat dalam fase atau tahap kehilangan, peran perawat didalamnya
berbeda-beda, yaitu :
1.      Fase megingkari : memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengungkapkan
perasaannya secara verbal, tidak membantah pengingkaran pasien, duduk intens bersama
pasien, menggunakan teknik komunikasi, sentuhan serta memperhatikan kebutuhan dasar
pasien.
2.      Fase marah : mendorong dan memberikan waktu pada pasien untuk mengungkapkan
kemarahan secara verbal tanpa melawan dengan kemarahan, memfasilitasi kebutuhan pasien
akibat reaksi kemarahannya, serta memberikan pemahaman kepada keluarga bahwa marah
merupakan sebuah proses yang normal.
3.      Fase tawar-menawar : membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan
takutnya dengan memberkan perhatian penuh dan tulus, mengajak pasien berbicara untuk
mengurangi rasa bersalah serta memberikan dukungan spiritual.
4.      Fase depresi : mengidentifikasi tingkat depresi dan membantu mengurangi rasa bersalah
dengan memberikan kesempatan kepada pasien untuk mengekspresikan kesedihannya,
memberikan dukungan non verbal, membahas pikiran negatif dan melatih mengidentifikasi
hal negatif tersebut.
5.      Fase penerimaan : membantu pasien mengidentifikasi rencana kegiatan yang akan dilakukan
dan membantu keluarga untuk bisa mengerti penyebab rasa kehilangan. (Putri, Rosiana,
2013)

2.11 Asuhan keperawatan
1.         Pengkajian
Factor predisposisi
Factor predisposisi yang mempengaruhi rentang respon kehilangan adalah:
a)      Genetic
Individu yang dilahirkan dan di besarkan di dalam keluarga yang mempunyai riwayat depresi
akan sulit mengembangkan sikap optimis dalam menghadapi suatu permasalahan termasuk
dalam menghadapi perasaan kehilangan.
b)      Kesehatan jasmani
Individu dengan keadaan fisik sehat, pola hidup yang teratur, cenderung mempunyai
kemampuan mengatasi stress yang lebih tinggi dibandingkan dengan individu yang
mengalami gangguan fisik.
Kesehatan mental      
Individu yang mengalami gangguan jiwa terutama yang mempunyai riwayat depresi yang
ditandai perasaan tidak berbahaya pesimis, selalu dibayangi oleh masa depan yang suram,
biasanya sangat peka dalam menghadapi situasi kehilangan.
c)      Pengalaman kehilangan dimasa lalu
Kehilangan atau perpisahan dengan orang yang berarti pada masa kanak-kanak akan
mempengaruhi kemampuan individu dalam mengatasi perasaan kehilangan pada masa
dewasa (stuart-sundeen, 1991)
d)      Struktur kepribadian
Individu dengan konsep diri yang negative, perasaan rendah diri akan menyebabkan rasa
percaya diri akan menyebabkan rasa percaya diri yang rendah yang tidak objektif terhadap
stress yang dihadapi.
e)      Factor presipitasi
Stress yang dapat menimbulkan perasaan kehilangan dapat berupa stress nyata, ataupun
imajinasi individu seperti: kehilangan sifat bio-psiko-sosial antara lain meliputi: kehilangan
kesehatan, dan kehilangan fungsi seksualitas, kehilangan peran dalam keluarga, kehilangan
posisi di masyarakat, kehilangan milik pribadi seperti kehilangan harta benda atau orang yang
dicintai, kehilangan kewarganegaraan, dan sebagainya.
f)       Perilaku
Individu dalam proses berduka sering menunjukkan perilaku seperti: menangis atau tidak
mampu menangis, marah-marah, putus asa, kadang-kadang ada tanda-tanda usaha bunuh diri
atau ingin membunuh orang lain. Juga sering berganti tepat mencari informasi yang tidak
menyokong diagnosanya.
g)      Mekanisme koping
Kopig yang sering dipakai oleh individu dengan respon kehilangan antara lain: denial,
represi, intelektualisasi, regresi, disosiasi, supresi dan proyeksi yang digunakan untuk
menghindari intensitas stress yang dirasakan sangat menyakitkan. Regresi dan disosiasi
sering ditemukan pada pasien depresi yang dalam. Dalam keadaan patologis mekanisme
koping tersebut sering dipakai secara berlebihan dan tidak tepat
2.         Diagnose keperawatan
1.    Potensial proses berduka yang tidak terselesaikan se hubungan dengan kematian ibu
2.    Fiksasi berduka pada fase depresi sehubungan dengan amputasi kaki kiri   
3.         Perencanaan
Tujuan jangka panjang: agar individu berperan aktif melalui proses berduka secara tuntas.
Tujuan jangka pendek, pasien mampu:
1.      Mengungkapkan perasaan duka.
2.      Menjelaskan makna kehilangan orang atau objek.
3.      Membagi rasa dengan orang yang berarti.
4.      Menerima kenyataan kehilangan dengan perasaan damai.
5.      Membina hubungan baru yang bernakna dengan objek atau orang yang baru.
4.         Prinsip tindakan keperawatan pada pasien dengan respon kehilangan
1.      Bina dan jalin hubungan saling percaya
2.      Diskusikan dengan klien dalam mempersepsikan suatu kejadian yang menyakitkan dengan
pemberian makna positif dan mengambil hikmahnya
3.      Identifikasi kemungkinan factor yang menghambat proses berduka
4.      Kurangi atau hilangkan factor penghambat proses berduka
5.      Beri dukungan terhadap respon kehilangan pasien
6.      Tingkatkan rasa kebersamaan antara anggota keluarga
7.      Ajarkan teknik logotherapy dan psycoreligious therapy
8.      Tentukan kondisi pasien sesuai dengan fase berikut:
a)      Fase pengingkaran
         Member kesempatan pada pasien untuk mengungkapkan perasaannya
         Menunjukkan sikap menerima, ikhlas dan mendorong pasien untuk berbagi rasa.
         Memberikan jawaban yang jujur terhadap pertanyaan pasien tentang sakit, pengobatan, dan
kematian
b)      Fase marah
Mengizinkan dan mendorong pasien mengungkapkan rasa marahnya secara verbal tanpa
melawan dengan kemarahan
c)      Fase tawar menawar
Membantu pasien mengidentifikasi rasa bersalah dan perasaan takutnya.
d)      Fase depresi
         Mengidentifikasi tingkat depresi dan resiko merusak diri pasien
         Membantu pasien mengurangi rasa bersalah
e)      Fase penerimaan
Membantu pasien untuk menerima kehilangan yang tidak bisa dielakkan.

5.         Prinsip keperawatan pada anak dengan respon kehilangan


1.      Memberi dorongan kepada keluarga untuk menerima kenyataan serta menjaga anak selama
masa berduka.
2.      Menggali konsep anak tentang kematian, serta membetulkan konsepnya yang salah
3.      Membantu anak melalui proses berkabung dengan memperhatikan perilaku yang
diperhatikan oleh orang lain
4.      Mengikut sertakan anak dalam upaya pemakaman atau pergi kerumah duka
6.         Prinsip keperawatan pada orang tua dengan respon kehilangan (kematian anak)
1.      Menyediakan sarana ibadah, termasuk pemuka agama
2.      Menganjurkan pasien untuk Menganjurkan pasien untuk memegang dan melibatkan jenasah
anaknya..
3.      Menyiapkan perangkat kenangan
4.      Menganjurkan pasien untuk mengikuti program lanjutan bila diperlukakan
5.      Menjelaskan pada pasien/keluarga cirri-iri respon yang patologis serta tempat mereka minta
bantuan bila diperlukaan
7.         Pelaksanaan
Diagnose keperawatan: potensial terjadi proses berduka yang tidak terselesaikan sehubungan
dengan kematian ibu, pada anak usia 5tahun.
                           Tujuan         Tindakan Keperawatan
Tujuan jangka panjang:
Anak dapat menyelesaikan masa
berkabung dengan tuntas.
Tujuan jangka pendek:
1.   Anak dapat mengerti arti sakit dano  Membina hubungan saling percaya
kematian antara anak, keluarga, dan petugas
dengan sikap jujur, menerima, ikhlas,
dan empati
o  Menunnjukkan perhatian dan kasih
saying anak baik melalui kata-kata
maupun dengan sikap
o  Menanyakan kepada anak
pengalamannya tentang kematian
(orang tua/binatang)
o  Menjelaskan kepada anak bahwa ibunya
meninggal bukan tidur
o  Menjelaskan kepada anak bahwa roh
orang yang meninggal, yang
menghadapi tuhan bukan tubuhnya

o   Meminta kepada keluarga/ orang tua


yang berarti agar menemani anak
2.   Anak dapat mengungkapkan selama masa berduka bila perlu
perasaannya mengizinkan untuk tinggal bersama
mereka
o   Mendorong anak untuk mengungkapkan
perasaannya dengan menanyakan apa
yang dipikirkan selama ibunya sakit
sampai sekarang

Menjelaskan kepada anak bahwa


ibunya sakit dan meninggal bukan
karena dia nakal atau bukan karena
kesalahannya.

3.   Anak dapat mengurangi rasa bersalah o   Menjelaskan kepada anak bahwa orang
yang sering sedih dan menangis bila
ada yang meninggal
o   Mengajak anak mengikuti upacara
4.   Melalui proses berkabung dengan pemakaman dan mengunjungi rumah
melihat perilaku orang dewasa duka
o   Menjelaskan kepada anak urutan upacara
dan apa yang harus dilakukan oleh
anank, sebelum upacara dan pelayat
datang.

Diagnose keperawatan: fiksasi pada fase pengingkaran sehubungan dengan kematian kekasih
Tujuan Tindakan keperawatan

Pasien dapat melalui faseo  Mendorong pasien untuk


penginkarannya dengan wajar (tanpa mengungkapkan pengingkaran nya
kesulitan) tanpa memaksa untuk menerima
kenyataan
o  Mendengarkan dengan penuh minat dan
perhatian apa yang dikatakan oleh
pasien
o  Menjelaskan kepada pasien, bahwa
perasaan tersebut wajar terjadi pada
orang yang mengalami kehilangan
o  Membantu pasien untuk memakai
mekanisme koping yang lain seperti
menangis/ bicara
o  Mengikutsertakan orang yang berarti
bagi pasien untuk menjelaskan apa
yang telah terjadi
o  Meningkatkan kesadaran pasien  secara
bertahap tentang kenyataan kehilangan
yang dihadapi
o  Member dukungan atas usaha pasien
untuk mencoba menerima kenyataan
o  Membantu pasien untuk
mengungkapkan rasa marahnya
o  Menjawab semua pertanyaan pasien
dengan singkat dan jelas
o  Member dukungan secara non verbal

8.         Evaluasi
1.      Apakah pasien sudah dapat mengungkapkan perasaannya secara spontan?
2.      Apakah pasien dapat menjelaskan makna kehilanga tersebut terhadap kehidupannya?
3.      Apakah pasien mempunyai system pendukung untuk mengungkapkan perasaannya ( teman,
keluarga, lembaga, atau perkumpulan lain )
4.      Apakah pasie menunjukkan tanda-tanda penerimaan

Anda mungkin juga menyukai