emsalfiancee
nursing site, asuhan keperawatan, kesehatan, penyakit, kode etik, makanan, minuman, jilbab, baju muslim
2 Votes
PROGRAM S1 KEPERAWATAN
BAB II PEMBAHASAN
Kehilangan adalah suatu keadaan individu yang berpisah dengan sesuatu yang sebelumnya ada kemudian menjadi
tidak ada, baik terjadi sebagian atau keseluruhan (Potter & Perry, 2005).
Kehilangan ini mencakup segala kepemilikan yang telah menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena
bencana alam. Kedalaman berduka yang dirasakan seseorang terhadap benda yang hilang bergantung pada nilai yang
dimiliki orang tersebut terhadap benda yang dimilikinya, dan kegunaan dari benda tersebut. Contoh : kehilangan sepeda
motor, kehilangan uang, kehilangan rumah.
Kehilangan ini mencakup meninggalkan lingkungan yang telah dikenal selama periode tertentu/kepindahan secara
permanen. Contoh : pindah rumah baru dan alamat baru atau yang ekstrim lagi dirawat di rumah sakit. Kehilangan
melalui perpisahan dari lingkungan yang telah dikenal dapat terjadi melalui situasi naturasional, misal : lansia pindah
kerumah perawatan.
Kehilangan yang terjadi pada orang-orang terdekat seperti orangtua, pasangan, anak-anak, saudara sekandung, guru,
dll. Contoh : pindah rumah, pindah pekerjaan karena promosi atau mutasi, melarikan diri, dan kematian.
Kehilangan aspek dalam diri dapat mencakup bagian tubuh, fungsi fisiologis, atau psikologis. Kehilangan ini dapat
terjadi karena penyakit, cedera, atau perubahan perkembangan situasi. Kehilangan seperti ini dapat menurunkan
kesejahteraan individu, mengalami kehilangan kedudukan, mengalami perubahan permanen dalam citra tubuh dan
konsep diri. Contoh : kehilangan anggota tubuh dan harus diamputasi karena kecelakaan lalu lintas, menderita kanker
organ tubuh yang ganas, terkena penyakit HIV/ AIDS.
1. Kehilangan Hidup
Kehilangan ini ada pada orang-orang yang akan menghadapi kematian sampai dengan terjadinya kematian. Hal ini
sering menyebabkan kehilangan kontrol terhadap diri sendiri, gelisah, takut, bergantung pada orang lain, putus asa dan
malu. Contoh : pasien yang divonis menderita kanker otak, luekimia atau penyakit langka lainnya yang tidak bisa
disembuhkan oleh dokter.
1. Faktor Perkembangan
1. Anak-anak
1. Orang dewasa
1. Faktor Keluarga
Keluarga mempengaruhi respond an ekspresi kesedihan. Anak terbesar biasanya menunjukkan sikap kuat, tidak
menunjukkan sikap sedih secara terbuka.
1. Faktor Kultural
Kultur mempengaruhi manifestasi fisik dan emosi. Kultur barat menganggap kesedihan adalah sesuatu yang sifatnya
pribadi sehingga hanya diutarakan pada keluarga, kesedihan tidak ditunjukkan pada orang lain. Kultur lain menganggap
bahwa mengekspresikan kesedihan harus dengan berteriak dan menangis keras-keras.
1. Faktor Agama
Dengan agama bisa menghibur dan menimbulkan rasa aman. Menyadarkan bahwa kematian sudah ada dikonsep
dasar agama. Tetapi ada juga yang menyalahkan Tuhan akan kematian.
Seseorang yang ditinggal anggota keluarga dengan tiba-tiba akan menyebabkan goncangan jiwa yang berat dan
tahapan kehilangan yang lebih lama. Ada yang menganggap bahwa kematian akibat kecelakaan diasosiasikan dengan
kesialan.
1. Harapan
Perawatan yang terbaik sudah diberikan. Keyakinan bahwa mati adalah akhir penderitaan dan kesakitan.
1. Partisipasi
1. Dukungan
Dengan dukungan seseorang bisa melewati kemarahan, kesedihan, dan penyangkalan. Dukungan bisa digunakan
sebagai koping dengan perubahan yang terjadi.
1. Kebutuhan Spiritual
Berdoa sesuai dengan kepercayaan yang dianut. Mendapatkan kekuatan dari Tuhan.
Reaksi pertama adalah syok, tidak mempercayai kenyataan yang ada. Selalu ada verbalisasi “itu tidak mungkin”, “saya
tidak percaya itu terjadi” yang tercantum dalam otaknya. Terjadi perubahan fisik seperti letih, lemah, pucat, mual, diare,
gangguan pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah.
Adanya tawar menawar seperti verbalisasi “kenapa harus terjadi pada saya?“ dinetralkan menjadi “seandainya saya
berhati-hati, pasti tidak terjadi pada saya”. Maksud disini adalah adanya suatu mekanisme pertahanan diri untuk tidak
menyalahkan diri sendiri.
Menunjukan sikap menarik diri, tidak mau bicara atau putus asa. Gejala yang timbul adalah menolak makan, susah
tidur, letih, dorongan libido menurun.
Pikiran pada objek yang hilang berkurang. Verbalisasi ”apa yang dapat saya lakukan agar saya cepat sembuh?” dan
juga “yah, akhirnya saya harus operasi”.
Kehilangan bisa mengakibatkan dampak dalam hidup seseorang seperti berikut ini.
Kehilangan dapat mengancam kemampuan untuk berkembang, kadang akan timbul regresi serta rasa takut untuk
ditinggalkan atau dibiarkan kesepian.
Kehilangan dapat menyebabkan disintegrasi dalam keluarga atau suatu kehancuran keharmonisan keluarga.
Kehilangan khususnya kematian pasangan hidup dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan
semangat hidup orang yang ditinggalkan.
Berduka adalah respon emosi yang diekspresikan ketika seseorang mengalami suatu kehilangan yang kemudian
dimanifestasikan dalam bentuk perasaan sedih, gelisah, cemas, sesak nafas, susah tidur, dan lain sebagainya.
1. Berduka Normal
Terdiri atas perasaan, perilaku, dan reaksi yang normal terhadap kehilangan. Misal : kesedihan, kemarahan, menangis,
kesepian, dan menarik diri dari aktivitas untuk sementara.
1. Berduka Antisipatif
Proses melepaskan diri yang muncul sebelum kehilangan atau kematian yang sesungguhnya terjadi. Misal : ketika
menerima diagnosis terminal, seseorang akan memulai proses perpisahan dan menyesuaikan diri dengan berbagai
urusan dunia sebelum ajalnya tiba.
Dialami oleh seseorang yang sulit untuk maju ke tahap berikutnya, yaitu tahap kedukaan normal. Masa berkabung
seolah-olah tidak kunjung berakhir dan dapat mengancam hubungan orang yang bersangkutan dengan orang lain.
1. Berduka Tertutup
Kedudukan akibat kehilangan yang tidak dapat diakui secara terbuka. Misal : kehilangan pasangan karena AIDS, anak
mengalami kematian orang tua, ibu yang kehilangan anaknya di kandungan atau ketika bersalin.
1. Berduka Disfungsional
Suatu status yang merupakan pengalaman individu yang responnya dibesar-besarkan saat individu kehilangan secara
aktual maupun potensial. Tipe ini kadang-kadang menjurus ke tipikal, abnormal, atau kesalahan/ kekacauan.
Menurut Kubler-Ross dalam Potter dan Perry (1997), respon berduka seseorang terhadap kehilangan dapat melalui
tahap-tahap berikut.
Reaksi pertama individu yang mengalami kehilangan adalah syok, tidak percaya, atau mengingkari kenyataan bahwa
kehilangan benar-benar terjadi. Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat, mual, diare, gangguan
pernafasan, detak jantung cepat, menangis, gelisah, dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini
dapat berlangsung selama beberapa menit hingga beberapa tahun.
Pada tahap ini individu menolak kehilangan. Kemarahan yang timbul sering diproyeksikan kepada orang lain atau
dirinya sendiri. Orang yang mengalami kehilangan juga tidak jarang menunjukkan perilaku agresif, berbicara kasar,
menyerang orang lain, menolak pengobatan, bahkan menuduh dokter atau perawat tidak berkompeten. Respon fisik
yang sering terjadi antara lain muka merah, denyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan mengepal, dan seterusnya.
Pada tahap ini terjadi penundaan kesadaran atas kenyataan terjadinya kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat
kesepakatan secara halus atau terang-terangan seolah kehilangan tersebut dapat dicegah. Individu mungkin berupaya
untuk melakukan tawar-menawar dengan memohon kemurahan Tuhan.
Pada tahap ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-kadang bersikap sangat menurut, tidak mau
bicara, menyatakan keputusan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri. Gejala fisik ditunjukkan
antara lain menolak makan, susah tidur, letih, dan lain-lain.
Tidak ada cara yang paling tepat dan cepat untuk menjalani proses berduka. Konsep dan teori berduka hanyalah alat
yang dapat digunakan untuk mengantisipasi kebutuhan emosional seseorang dan keluarganya, serta rencana intervensi
untuk membantu mereka memahami kesedihan dan cara mengatasinya. Berikut penjelasan teori proses berduka dari
beberapa pakar.
1. Teori Engels
Menurut Engels (1964) proses berduka mempunyai beberapa fase yang dapat diaplikasikan pada seseorang yang
sedang berduka maupun menjelang ajal. Berikut beberapa fase yang dilalui.
Seseorang menolak kenyataan atau kehilangan dan mungkin menarik diri, duduk malas, atau pergi tanpa tujuan. Reaksi
secara fisik termasuk pingsan, diaporesis, mual, diare, detak jantung cepat, tidak bisa istirahat, insomnia dan kelelahan.
Seseoarang mulai merasakan kehilangan secara nyata/ akut dan mungkin mengalami putus asa. Kemarahan, perasaan
bersalah, frustasi, depresi, dan kekosongan jiwa tiba-tiba terjadi.
Berusaha mencoba untuk sepakat/ damai dengan perasaan yang hampa/ kosong, karena kehilangan masih tetap tidak
dapat menerima perhatian yang baru dari seseorang yang bertujuan untuk mengalihkan kehilangan seseorang.
Fase IV
Menekan seluruh perasaan yang negatif dan bermusuhan terhadap almarhum. Bisa merasa bersalah dan sangat
menyesal tentang kurang perhatiannya di masa lalu terhadap almarhum.
Fase V
Kehilangan yang tak dapat dihindari harus mulai diketahui/ disadari. Sehingga pada fase ini diharapkan seseorang
sudah dapat menerima kondisinya. Kesadaran baru telah berkembang.
1. Teori Kubler-Ross
Kerangka kerja yang ditawarkan oleh Kubler-Ross (1969) adalah berorientasi pada perilaku dan menyangkut 5 tahap,
yaitu sebagai berikut.
Penyangkalan (Denial)
Individu bertindak seperti seolah tidak terjadi apa-apa dan dapat menolak untuk mempercayai bahwa telah terjadi
kehilangan. Pernyataan seperti “tidak, tidak mungkin seperti itu!” atau “tidak akan terjadi pada saya!” sangat umum
dilontarkan.
Kemarahan (Anger)
Individu mempertahankan kehilangan dan mungkin “bertindak lebih” pada setiap orang dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan lingkungan. Pada fase ini orang akan lebih sensitif sehingga mudah sekali tersinggung dan
marah. Hal ini merupakan koping individu untuk menutupi rasa kecewa dan merupakan menifestasi dari kecemasannya
menghadapi kehilangan.
Penawaran (Bargaining)
Individu berupaya untuk membuat perjanjian dengan cara yang halus atau jelas untuk mencegah kehilangan. Pada
tahap ini, klien sering kali mencari pendapat orang lain.
Depresi (Depression)
Terjadi ketika kehilangan disadari dan timbul dampak nyata dari makna kehilangan tersebut. Tahap depresi ini memberi
kesempatan untuk berupaya melewati kehilangan dan mulai memecahkan masalah.
Penerimaan (Acceptance)
Reaksi fisiologi menurun dan interaksi sosial berlanjut. Kubler-Ross mendefinisikan sikap penerimaan ada bila
seseorang mampu menghadapi kenyataan dari pada hanya menyerah pada pengunduran diri atau berputus asa.
1. Teori Martocchio
Martocchio (1985) menggambarkan 5 fase kesedihan yang mempunyai lingkup yang tumpang tindih dan tidak dapat
diharapkan. Durasi kesedihan bervariasi dan bergantung pada faktor yang mempengaruhi respon kesedihan itu sendiri.
Berikut penjelasannya.
Tidak punya konsep tentang kematian. dapat mengalami rasa kehilangan dan dukacita. Pengalaman ini menjadi dasar
untuk berkembangnya konsep tentang kehilangan dan dukacita.
Menyangkal kematian sebagai suatu proses yang normal. Melihat kematian sebagai sesuatu dapat hidup kembali.
Mempunyai kepercayaan tidak terbatas dalam kemampuannya untuk membuat suatu hal terjadi.
Melihat kematian sebagai akhir, tidak melihat bahwa kematian akan terjadi pada dirinya. Melihat kematian sebagai hal
yang menakutkan. Mencari penyebab kematian.
Memandang kematian sebagai akhir hayat dan tidak dapat dihindari. Mungkin tak mampu menerima sifat akhir dari
kehilangan. Dapat mengalami rasa takut akan kematian sendiri.
Usia remaja
Memahami seputar kematian, serupa dengan orang dewasa. Harus menghadapi implikasi personel tentang kematian.
menunjukkan perilaku berisiko. Dengan serius mencari makna tentang hidup lebih sadar dan tentang masa depan.
1. Teori Rando
Rando (1993) mendefinisikan respon berduka menjadi 3 kategori seperti penjelasan berikut.
Penghindaran
Konfrontasi
Pada tahap ini terjadi luapan emosi yang sangat tinggi ketika klien secara berulang-ulang melawan kehilangan mereka
dan kedukaan mereka paling dalam dan dirasakan paling akut.
Akomodasi
Pada tahap ini terjadi secara bertahap penurunan kedukaan akut dan mulai memasuki kembali secara emosional dan
sosial dunia sehari-hari dimana klien belajar untuk menjalani hidup dengan kehidupan mereka.
Syok dan tidak percaya Menyangkal Syok dan tidak percaya Penghindaran
DAFTAR PUSTAKA
Suseno, Tutu April. 2004. Pemenuhan Kebutuhan Dasar Manusia : Kehilangan, Kematian, dan Berduka dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Sagung Seto
Stuart and Sundeen. 1998. Buku Saku Keperawatan Jiwa edisi 3. Jakarta: ECG
Niven Neil. 2003. Psikologi Kesehatan Pengantar untuk Perawat dan Profesional Kesehatan Lain edisi 2. Jakarta : EGC
Faikanto. 2009. Metode Koping pada Orang yang Kehilangan, Kematian, dan Dukacita.
http://faikanto.multiply.com/journal/item/3/METODE_KOPING_PADA_ORANG_YANG_KEHILANGAN_KEMATIAN_DAN_D
UKA_CITA. Diakses pada tanggal 16 November 2011
Iklan
Bagikan ini:
Suka
Jadilah yang pertama menyukai ini.
Mei 9, 2013
Leave a reply
« Sebelumnya Berikutnya »
Tinggalkan Balasan
Alamat surel Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *
Komentar
Nama
*
Surel
*
Situs Web
Kirim Komentar
Dorama Queen
Dorama Queen
Kesalahan: Twitter tidak merespons. Tunggulah beberapa menit dan perbarui halaman.
queenunatic
MEI 2013
S S R K J S M
1 2 3 4 5
6 7 8 9 10 11 12
13 14 15 16 17 18 19
20 21 22 23 24 25 26
27 28 29 30 31
Enter your email address to follow this blog and receive notifications of new posts by email.
Follow
View Full Site
Blog di WordPress.com.