Anda di halaman 1dari 6

Pemeriksaan Fisik pada Malaria

A. Etiologi dan Faktor Penyebab

Malaria merupakan infeksi parasitic yang telah ditemukan sejak ribuan tahun.(1) Demam periodic
yang mematikan dan splenomegaly telah disebutkan sejak 2700 sebelum masehi pada
peninggalan penulisan Mesir dan Cina. Telah ditemukan sekitar 3.000 mumi dengan lien yang
membesar.(2) Malaria sempat menjadi endemis di wilayah Amerika dan Kanada, tepatnya
sebelum perang saudara Amerika. Kemudian malaria menjadi penyakit yang cenderung sering
ditemuka pada wilayah tropis dan subtropics, terutama Afrika. (1,2)

Lima parasite Plasmodium memiliki kemampuan dalam menginfeksi manusia, yaitu P.


falciparum, P. ovale, P. vivax, P. malariae, dan P. knowlesi. Nyamuk Anopheles betina
mengonsumsi gamet saat menghisap darah, yang mana gamet tersebut menghasilkan sporozoit
yang bereplikasi. Saliva nyamuk yang mengandung sporozoit akan memasuki aliran darah
manusia saat penghisapan darah, serta dalam 60 menit akan mencapai hepar, menginvasi
hepatosit, dan secara cepat membelah dan membentuk merozoit. Pada infeksi aktif, organisme
tersebut kembali memasuki aliran darah dan menginvasi sel darah merah, mengonsumsi
haemoglobin, dan mengembangkan tropozoit imatur untuk berkembang menjadi tropozoit matur
atau gametosit. Tropozoit matur bereplikasi membentuk schizont sehingga mengganggu
integritas sel darah merah dan menyebabkan sitoadheren terhadap endotel kapiler dan lisis sel.
Pada P. vivax dan P. ovale dapat ditemuka Schizogony dorman dalam bentuk hipnozoit.(3)

B. Peta Penyebaran

Malaria ditemukan 64o ltntang utara (Archangel di Rusia) sampai 32 o lintang selatan (Cordoba di
Argentina), dari daerah rendah 400 m di bawah permukaan laut (Laut Mati) sampai 2600 m di
atas permukaan laut (Londiani di Kenya) atau 2800 m (Cochabamba di Bolivia). Antara batas
garis lintang dan garis bujur terdapat daerah yang bebas malaria. Di Indonesia penyakit malaria
ditemukan tersebar di seluruh kepulauan, terutama di kawasan timur Indonesia. (4)

Lebih dari 300 hingga 500 juta individu terinfeksi malaria, dan 1,5 juta hingga 2,7 juta,
kebanyakan anak-anak, meninggal akibat malaria setiap tahunnya. Malaria menjadi endemis
pada lebih dari 90 negara yang mana terdapat 2,4 miliar penduduk hidup (40% penduduk dunia).
Negara-negara Afrika, di mana 90% kematian akibat malaria terjadi, dikacaukan oleh
peperangan sedangkan negara-negara yang lebih kaya dan mendanai riset malaria terbanyak
justru memotong anggaran.(2)

Pada tahun 2018, sekitar 405.000 orang meninggal karena malaria, sebagian besar merupakan
anak-anak di daerah sub-Sahara Afrika. Selama satu dekade terakhir, meningkatnya sumber daya
dan kemitraan secara cepat meningkatkan usha kontrol malaria. Intervensi tersebut telah
menyelamatkan jutaan nyawa secara global dan mengurangi mortalitas malaria hingga 25% dari
tahun 2010 sampai 2016.(5)

Perkiraan wilayah di dunia tempat transmisi malaria terjadi(6)

C. Pengobatan
1. Plasmodium falciparum
Penderita malaria falciparum tanpa komplikasi sebaiknya diberikan drug of
choice kombinasi artemisinin, misalnya artesunat-amodiakuin (masing-masing 3 hari)
per-oral tanpa menunggu penderita jatuh dalam malaria berat. Dosis artesunat adalah
4 mg/kgbb/hari selama 3 hari, sedangkan amodiakuin basa 10 mg/kgbb/hari selama 3
hari. Kombinasi Artemisinin lainnya adalah artemeterlumefantrine (Coartem®)
selama 3 hari dan dihidroartemisinin-Piperakuin (Artekuin®, Duocotexcin®) selama
2 hari atau 3 hari.(4)
Bila terjadi kegagalan pengobatan dapat diberikan kombinasi kina dan doksisiklin.
Dosis kina adalah 3xl0 mg/kgbb/hari dan doksisiklin 100 mg/hari, masing-masing
selama 7 hari.(4)
Pada penderita malaria falciparum berat dapat diberikan suntikan sodium
artesunat (intramuskular atau intravena) atau artemeter (intramuskular) selama 5-7
hari. Dosis awal artesunat 2,4mg/kgbb i.m. diikuti 1,2 mg/kgbb setiap 24 jam, selama
6 hari. Dosis awal artemeter 3,2 mg/kgbb i.m. pada hari ke-l, diikuti 1,6 mg sampai
hari-6. Biasanya stadium aseksual P. falciparum akan menghilang dalam waktu 24 –
48 jam. Pengobatan lebih lanjut dengan pemberian kombinasi kina dan doksisiklin
per oral dapat dipertimbangkan bila dikhwatirkan terjadi rekrudesensi. Peningkatan
gametosit setelah pemberian artemisinin bukan merupakan indikasi terjadinya
kegagalan pengobatan.(4)
2. Plasmodium vivax
Prinsip dasar pengobatan malaria vivaks adalah pengobatan radikal yang
ditujukan terhadap stadium hipnozoit di sel hati dan stadium lain yang berada di
eritrosit. Karena P. vivax banyak dilaporkan resisten terhadap klorokuin, pengobatan
klorokuin selama 3 hari dilakukan bersamaan dengan primakuin selama 14 hari.
Dengan cara ini, maka primakuin akan bersifat sebagai skizontisida darah selain
membunuh hipnozoit di sel hati.(4)
Obat lain sebagai alternatif yang dapat diberikan adalah artesunat-amodiakuin,
dihidroartemisinin-piperakuin, atau non-altemisinin seperti meflokuin dan
atovaquone-proguanil.(4)
Resistensi Plasmodium vivax terhadap primakuin juga telah dilaporkan dan dapat
diatasi dengan menambah dosis primakuin menjadi 30 mg/hari selama 14 hari.
Pemeriksaan kadar enzim Glukosa-6-fosfat dehydrogenase dalam darah penting untuk
dilakukan untuk menghindari terjadinya anemia hemolitik. (4)
3. Plasmodium malariae
Penderita malaria malariae atau malaria kuartana dapat diobati dengan pemberian
klorokuin basa yang akan mengeliminasi semua stadium di sirkulasi darah. Waktu
yang diperlukan untuk mengeleminasi P. malariae lebih lama dibandingkan dengan P.
falciparum dan P. vivax yang masih sensitive klorokuin. Meski stadium aseksual P.
malariae masih ditemukan sampai hari ke-15 setelah pemberian klorokuin (akhirnya
akan menghilang dalam darah nantinya), bukan berarti hal tersebut berarti P.
malariae resisten terhadap klorokuin. Pemberian klorokuin basa yang dianjurkan
adalah selama 5 hari dengan dosis total 35 mg/kg berat badan untuk penderita yang
terinfeksi P. malariae. Beberapa penelitian melaporkan bahwa P. malariae resisten
terhadap klorokuin dan sensitif terhadap obat antimalaria baru seperti artemisinin dan
pironaridin.(4)
4. Plasmodium ovale
Malaria ovale penyakitnya ringan dan dapat sembuh sendiri tanpa pengobatan. (4)

D. Pemeriksaan Fisik: Keadaan Spesifik

Pada pemeriksaan fisik splenomegaly (lien yang dapat teraba) secara palpasi terdapat garis
imajiner yang merupakan perpotongan linea midcalvicularis dextra dengan arcus costa dengan
umbilicus (Garis A). Garis ini dibagi menjadi 4 bagian yang disebut pembagian Schuffner
(Schuffner I – IV). Kemudian terdapat garis imajiner kedua yang merupakan garis tegak lurus
dengan garis A dan melalui umbilicus, serta menjadi pembatas Schuffner IV (Garis B).
Kemudian terdapat garis imajiner berikutnya yang tegak lurus dengan garis B menuju Spina
Iliaca Anterior Superior (Garis C). Garis C dibagi juga menjadi 4 bagian yang merupakan
wilayah Schuffner V – VIII.(7)

Penderita malaria falciparum berat dapat mengalami satu atau lebih keadaan berikut ini:(4)

1. Malaria otak dengan koma (unarousable coma)


2. Anemia normositik berat
3. Gagal ginjal akut
4. Asidosis metabolik dengan gangguan pernapasan
5. Hipoglikemia
6. Edema paru akut (acute respiratory distress syndrome)
7. Syok dan sepsis (malaria algida)
8. Perdarahan abnornial
9. Kejang umum yang berulang
10. Gangguan keseimbangan cakan dan elektrolit
11. Jaundice (ikterus)
12. Haemoglobinuria
13. Demam tinggi
14. Hiperparasitemia

Berdasarkan kasus maka Tn. A belum sampai pada tahap malaria falciparum berat karena
hasil pemeriksaan fisik menunjukkan sklera ikterik negative, thorax (paru dan jantung) dalam
batas normal, dan hepar dalam batas normal. Namun telah terjadi sedikit pembesaran lien yang
teraba (palpable spleen) pada wilayah Schuffner I.

E. Jawaban Anmal
1. Mengapa gejala timbul setelah lebih kurang dari 14 hari?

Karena masa inkubasi Plasmodium falciparum adalah 8 – 12 hari dan diikuti gejala ringan 3 – 4
hari setelahnya.

2. Bagaimana indikator-indikator metode Schuffner?

Pada pemeriksaan fisik splenomegaly (lien yang dapat teraba) secara palpasi terdapat garis
imajiner yang merupakan perpotongan linea midcalvicularis dextra dengan arcus costa dengan
umbilicus (Garis A). Garis ini dibagi menjadi 4 bagian yang disebut pembagian Schuffner
(Schuffner I – IV). Kemudian terdapat garis imajiner kedua yang merupakan garis tegak lurus
dengan garis A dan melalui umbilicus, serta menjadi pembatas Schuffner IV (Garis B).
Kemudian terdapat garis imajiner berikutnya yang tegak lurus dengan garis B menuju Spina
Iliaca Anterior Superior (Garis C). Garis C dibagi juga menjadi 4 bagian yang merupakan
wilayah Schuffner V – VIII.

Skema metode Schuffner(7)

3. Pada fase/kondisi apa parasite yang terlihat pada RBC tersebut?

Plasmodium falciparum masih berada pada tahap tropozoit muda.

4. Apakah faktor umur berpengaruh terhadap pembesaran lien?

(Masih brainstorming) berpengaruh karena pada anak-anak sistem imun belum banyak terpapar
pathogen sehingga tidak sekuat orang dewasa dalam menghadapi merozoit-merozoit serta sel
darah merah yang terinfeksi Plasmodium falciparum. Maka dari itu sel-sel sistem
retikuloendotelial berusaha lebih keras melawan pathogen tersebut serta berproliferasi sehingga
sinus-sinus venosus tempat sistem retikuloendotelial tersebut pada lien lebih mudah mengalami
hyperplasia dan mengakibatkan splenomegaly. Sehingga pada Tn. A splenomegaly terjadi lebih
lambat karena sudah dewasa dan memiliki riwayat terpapar pathogen.
Daftar Pustaka

1. Tulu AN. Malaria. Ecol Heal Dis Ethiop. 2019;170(11):341–52.


2. Garcia LS. Diagnostic Medical Parasitology. 5th ed. Washington: ASM Press; 2007. 1222
p.
3. Malaria - StatPearls - NCBI Bookshelf [Internet]. [cited 2020 Aug 26]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK551711/?report=classic
4. Sutanto I, Ismid IS, Sjafruddin PK, Sungkar S. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. 4th ed.
Jakarta: FKUI; 2008. 383 p.
5. CDC - Malaria - Malaria Worldwide - Impact of Malaria [Internet]. [cited 2020 Aug 26].
Available from: https://www.cdc.gov/malaria/malaria_worldwide/impact.html
6. CDC - Malaria - About Malaria - Where Malaria Occurs [Internet]. [cited 2020 Aug 26].
Available from: https://www.cdc.gov/malaria/about/distribution.html
7. Harjanti T, Arif M. MANUAL CSL 1 KETERAMPILAN KLINIK SISTEM
HEMATOLOGI. In Makassar: FK Unhas; 2011. p. 1–11. Available from:
https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-content/uploads/2015/04/MANUAL-CSL-1-
HEMATOLOGI-1.pdf

Anda mungkin juga menyukai