MAKALAH KEL 2 Pendidikan Kesehatan Terkait Cara Pencegahan Dan Penanggulangan Bencana
MAKALAH KEL 2 Pendidikan Kesehatan Terkait Cara Pencegahan Dan Penanggulangan Bencana
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Bencana Yang Diampuh
Oleh Ns. Zulkifli B. Pomalango, S.Kep., M.Kep
Oleh
Kelompok 2
Kelas B
Lasri Kasim (841416011)
Dhea Nindita Labindjang (841416013)
Faradilah U. Hadji (841416016)
Fariyani Rivai (841416048)
Siti Amalia Pontoh (841416070)
Frangki Hilala (841416103)
Merlin Riyani Astuti Pakaya (841416106)
Siti Hardiyanti Purnama Maku (841416107)
Novilina Daud (841416128)
Dengan mengucapkan puja dan puji syukur kehadirat Allah SWT, maka kami
bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Pendidikan Kesehatan Terkait Cara
Pencegahan Dan Penanggulangan Bencana” makalah ini di buat untuk menganalisa
berbagai bencana di Indonesia melalui metode tinjauan pustaka.
Harapan kami semoga makalah ini dapat bermanfaat dan menjadikan referensi
bagi kita sehingga lebih menanggulangi bencana. Dan apabila masih banyak lagi
kekurangan, demi kesempurnaan makalah ini kami mengharapkan masukan/kritikan
yang bersifat membangun.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..............................................................................................5
1.3 Tujuan................................................................................................................5
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Pendidikan Kesehatan .........................….......................................6
2.2 Pengertian Bencana ..........................................................................................8
2.3 Pendidikan Kesehatan terkait Pencegahan dan Penanggulangan
Bencana.............................................................................................................8
DAFTAR PUSTAKA..................................................…......................................23
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Kejadian bencana, baik bencana alam maupun bencana akibat ulah
manusia menjadi salah satu perhatian penting dalam dunia kemanusiaan karena
dapat terjadi di setiap tempat dan setiap saat. Dalam perspektif global, bencana
merupakan kejadian serius yang sering meninggalkan berbagai dampak
kerusakan fisik, mental maupun sosial. Oleh karena itu kesiapsiagaan menjadi
tuntutan utama dalam pengurangan resiko bencana. Menurut Kerangka Aksi
Hyogo (KAH), paradigma penanggulangan bencana diarahkan untuk mengurangi
resiko bencana melalui pengembangan kapasitas lokal dengan melibatkan
masyarakat, salah satunya adalah dengan upaya pembangunan kesiapsiagaan
masyarakat. Upaya tersebut akan memberikan pemahaman dan persiapan yang
baik mengenai bencana pada level masyarakat di daerah rawan bencana. Dengan
demikian, masyarakat diharapkan dapat menentukan langkah-langkah strategis
dalam meminimalisir kerentanan terhadap bencana.
Selama ini kesiapsiagaan bencana pada masyarakat dirasakan belum
berjalan dengan baik. Menurut PMI, belum ada sistem yang membuat
masyarakat terlatih terhadap bencana, sementara sistem deteksi dini terhadap
bencana yang telah ada belum mampu diakses dengan baik oleh masyarakat
(PMI, 2007). Dalam pandangan normatif, kondisi tersebut merupakan implikasi
dari upaya pembangunan kesiapsiagaan yang kurang optimal dan tidak tepat
sasaran, sehingga belum mampu menumbuhkan kemandirian dan keberdayaan
masyarakat dalam menanggulangi bencana. Masyarakat sebenarnya telah
memiliki mekanisme pertahanan sendiri terhadap bencana (coping mechanism).
Mekanisme ini yang menentukan tingkat resiliensi masyarakat terhadap bencana.
Menurut Holing (1973) cit. Mayunga (2007), tingkat resiliensi masyarakat
merupakan ukuran kemampuan masyarakat untuk menyerap perubahan dan tetap
bertahan pada suatu kondisi tertentu di lingkungannya.
Upaya kesiapsiagaan merupakan salah satu bentuk resiliensi masyarakat
terhadap bencana. Kesiapsiagaan masyarakat tersebut tercipta dari pola pikir
yang berkembang secara alamiah di dalam masyarakat. Pola pikir tersebut
merupakan hasil representasi sosial terhadap pengalaman dan proses komunikasi
masyarakat dalam menyikapi kejadian bencana. Menurut Joffe (2003)
representasi sosial dapat menciptakan kebutuhan yang berbeda-beda dalam upaya
pembangunan kesiapsiagaan masyarakat. Pada prinsipnya, pemenuhan kualitas
kesehatan selama bencana mutlak dibutuhkan oleh setiap orang yang terkena
dampak bencana. Pemenuhan tersebut merupakan hak asasi manusia yang telah
disepakati secara internasional dan merupakan standar global yang digunakan di
semua negara serta dilindungi oleh undang-undang.
The Sphere Project menyebutkan beberapa standar kesehatan yang harus
dipenuhi selama terjadi bencana, meliputi: standar minimum pasokan air bersih,
sanitasi dan penyuluhan lingkungan; standar minimum ketahanan pangan, gizi
dan bantuan pangan; standar minimum tempat hunian, penampungan dan barang
bantuan non pangan; serta standar minimum pelayanan kesehatan (The Sphere
Project, 2006). Di Indonesia, menurut Undang- Undang No. 24 Tahun 2007
tentang Penanggulangan Bencana, terdapat beberapa kriteria pemenuhan
kebutuhan kesehatan bencana, meliputi penyediaan: (1) kebutuhan air bersih dan
sanitasi; (2) pangan; (3) sandang; (4) pelayanan kesehatan; (5) pelayanan
psikososial; dan (6) penampungan dan tempat hunian. Pembangunan
kesiapsiagaan masyarakat pada aspek kesehatan yang komprehensif tidak hanya
berupaya memenuhi kebutuhan normatif masyarakat, akan tetapi perlu
mensinergikan antara kebutuhan normatif masyarakat (normative need) dengan
kebutuhan yang direpresentasikan masyarakat (felt need). Program promosi
kesehatan dapat menyambungkan kesenjangan antara keduanya melalui kerangka
analisis komunitas (community analysis). Sebagai bagian fundamental dari
pengembangan program promosi kesehatan, analisis komunitas dilakukan
melalui penilaian (assessment) dan penetapan (diagnosis) terhadap kebutuhan
program promosi kesehatan (Carr, 1992).
Hasil dari penilaian kebutuhan masyarakat tersebut digunakan sebagai
dasar pemikiran untuk menetapkan strategi-strategi intervensi yang tepat sasaran
dalam upaya pembangunan kesiapsiagaan masyarakat pada aspek kesehatan
menghadapi bencana. Di Indonesia, banjir bandang, merupakan salah satu
bencana yang dapat menimbulkan krisis kesehatan. Menurut data Pusat
Penanggulangan Krisis, Departemen Kesehatan, sepanjang tahun 2006 hingga
2007, wilayah Indonesia tercatat mengalami 162 sampai 250 kali kejadian
bencana yang dapat mengakibatkan krisis kesehatan, salah satunya adalah banjir
bandang (sebanyak 48% dari total kejadian bencana) (Depkes RI, 2007, 2008).
Salah satu bencana banjir bandang yang pernah terjadi adalah banjir bandang
yang melanda Kabupaten Jember pada tahun 2006. Kabupaten Jember
merupakan wilayah perbukitan dan pegunungan Argopuro.
Pada jaman penjajahan Belanda, sebagian besar wilayah Jember dijadikan
sebagai area perkebunan kopi, karet, pinus, kakao dan tembakau. Wilayah
perkebunan ini dibagi menjadi beberapa area yang disebut afdeling dan dikepalai
oleh seorang sinder perkebunan. Afdeling Gunung Pasang merupakan
pemukiman yang terletak paling ujung di lereng selatan pegunungan Argopuro.
Pada tahun 2006, pemukiman ini adalah pemukiman yang pertama kali terkena
dampak banjir bandang akibat limpasan air dan longsoran dari puncak
Pegunungan Argopuro. Bencana banjir bandang di wilayah ini telah
menimbulkan dampak yang serius pada kehidupan masyarakat. Sekitar ratusan
jiwa penduduk yang tinggal di kawasan Gunung Pasang dan sekitarnya tewas
akibat terjangan bencana banjir bandang. Ratusan rumah hanyut dan hancur
akibat terjangan lumpur dan batubatu besar. Banjir bandang mengalir dari atas
pegunungan Argopuro melewati sungai Dinoyo yang berbatasan langsung
dengan pemukiman di afdeling Gunung Pasang. Namun, kondisi ini belum
mengubah pandangan masyarakat untuk tinggal di daerah yang lebih aman dari
resiko bencana. Berdasarkan pengamatan awal, tujuh tahun pasca bencana
terjadi, kehidupan masyarakat telah berjalan dengan baik. Sebagian besar
masyarakat yang bermata pencaharian sebagai buruh kebun (pemetik kopi, kakao
dan penderes karet) tetap melakukan aktivitasnya seperti biasa. Terdapat posko
penanggulangan bencana yang dibentuk oleh PDP (Perusahaan Daerah
Perkebunan) yang mengelola wilayah afdeling Gunung Pasang.
Menurut tokoh masyarakat setempat, upaya pembangunan kesiapsiagaan
dengan melibatkan masyarakat belum pernah dilakukan hingga saat ini,
pemerintah daerah lebih memprioritaskan pembangunan fisik seperti pemukiman
penduduk, jembatan dan tanggul sungai. Pemerintah kerap mengasumsikan
bahwa masalah bencana merupakan masalah jangka pendek yang hanya perlu
ditangani pada satu waktu tertentu. Padahal jika dicermati lebih jauh, masalah
pasca bencana menjadi hal utama dalam isu kemanusiaan. Berbagai macam
permasalahan seperti masalah kesehatan, dampak lingkungan, dan dampak sosial
ekonomi telah mempengaruhi kondisi kehidupan masyarakat korban bencana.
Kualitas hidup yang menurun, merebaknya penyakit menular, disparitas,
kecemburuan sosial, dan kemiskinan,mudah muncul ketika penanganan bencana
tidak terintegrasi dengan baik (PAHO, 2006). Oleh karena itu, perlu upaya untuk
mengembangkan kesiapsiagaan bencana di masyarakat dalam menghadapi
ancaman banjir bandang di wilayah afdeling Gunung Pasang. Untuk tahapan
awal, yang dilakukan adalah analisis komunitas melalui pengkajian kebutuhan
dari beberapa dimensi dengan mempergunakan model Precede- Proceed.
Dimensi tersebut meliputi dimensi sosial, perilaku dan lingkungan, pendidikan
dan ekologikal serta administratif dan kebijakan. Dengan demikian, dari hasil
analisis komunitas diharapkan dapat menjadi bahan rujukan yang tepat dalam
penentuan konsep kesiapsiagaan bencana banjir bandang pada aspek kesehatan di
masyarakat afdeling Gunung Pasang.
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam makalah ini
diuraikan sebagai berikut
1. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan pendidikan kesehatan
2. Untuk mengetahui apa yang di maksud dengan bencana
3. Untuk mengetahui keterkaitan antara pendidikan kesehatan dan cara
penanggulangan dan pencegahan bencana
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1 Pendidikan Kesehatan
1) Pengertian
Pendidikan kesehatan adalah aplikasi atau penerapan pendidikan
dalam bidang kesehatan. Secara operasional pendidikan kesehatan adalah
semua kegiatan untuk memberikan dan meningkatkan pengetahuan, sikap,
praktek baik individu, kelompok atau masyarakat dalam memelihara dan
meningkatkan kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2012)
2) Tujuan Pendidikan Kesehatan
Menurut Susilo (2011) tujuan pendidikan kesehatan terdiri dari :
a. Tujuan kaitannya dengan batasan sehat
Menurut WHO (1954) pendidikan kesehatan adalah untuk
mengubah perilaku orang atau masyarakat dari perilaku tidak sehat
menjadi perilaku sehat. Seperti kita ketahui bila perilaku tidak sesuai
dengan prinsip kesehatan maka dapat menyebabkan terjadinya
gangguan terhadap kesehatan. Masalah ini harus benar-benar dikuasai
oleh semua kader kesehatan di semua tingkat dan jajaran, sebab istilah
sehat, bukan sekedar apa yang terlihat oleh mata yakni tampak
badannya besar dan kekar.
Mungkin saja sebenarnya ia menderita batin atau menderita
gangguan jiwa yang menyebabkan ia tidak stabil, tingkah laku dan
sikapnya. Untuk menapai sehat seperti definisi diatas, maka orang
harus mengikuti berbagai latihan atau mengetahui apa saja yang harus
dilakukan agar orang benar-benar menjadi sehat.
b. Mengubah perilaku kaitannya dengan budaya
Sikap dan perilaku adalah bagian dari budaya. Kebiasaan, adat
istiadat, tata nilai atau norma, adalah kebudayaan. Mengubah
kebiasaan, apalagi adat kepercayaan yang telah menjadi norma atau
nilai di suatu kelompok masyarakat, tidak segampang itu untuk
mengubahnya. Hal itu melalui proses yang sangat panjang karena
kebudayaan adalah suatu sikap dan perilaku serta cara berpikir orang
yang terjadinya melalui proses belajar. Meskipun secara garis besar
tujuan dari pendidikan kesehatan mengubah perilaku belum sehat
menjadi perilaku sehat, namun perilaku tersebut ternyata mencakup
hal yang luas, sehingga perlu perilaku tersebut dikategorikan secara
mendasar. Susilo membagi perilaku kesehatan sebagai tujuan
pendidikan kesehatan menjadi 3 macam yaitu :
a) Perilaku yang menjadikan kesehatan sebagai suatu yang bernilai di
masyarakat. Dengan demikian kader kesehatan mempunyai
tanggungjawab di dalam penyuluhannya mengarahkan pada
keadaan bahwa cara-cara hidup sehat menjadi kebiasaan hidup
masyarakat sehari-hari.
b) Secara mandiri mampu menciptakan perilaku sehat bagi dirinya
sendiri maupun menciptakan perilaku sehat di dalam kelompok.
Itulah sebabnya dalam hal ini Pelayanan Kesehatan Dasar (PHC =
Primary Health Care) diarahkan agar dikelola sendiri oleh
masyarakat, dalam hal bentuk yang nyata adalah PKMD. Contoh
PKMD adalah Posyandu. Seterusnya dalam kegiatan ini
diharapkan adanya langkah-langkah mencegah timbulnya
penyakit.
c) Mendorong berkembangnya dan penggunaan sarana pelayanan
kesehatan yang ada secara tepat. Ada kalanya masyarakat
memanfaatkan sarana kesehatan yang ada secara berlebihan.
Sebaliknya sudah sakit belum pula menggunakan sarana kesehatan
yang ada sebagaimana mestinya.
c. Sasaran Pendidikan Kesehatan
Menurut Susilo (2011) sasaran pendidikan kesehatan di
Indonesia, berdasarkan kepada program pembangunan di Indonesia
adalah :
a) Masyarakat umum dengan berorientasi pada masyarakat pedesaan.
b) Masyarakat dalam kelompok tertentu, seperti wanita, pemuda,
remaja.
c) Termasuk dalam kelompok khusus ini adalah kelompok
pendidikan mulai dari TK sampai perguruan tinggi, sekolah agama
swasta maupun negeri.
d) Sasaran individu dengan teknik pendidikan kesehatan individu.
2.2 Pengertian Bencana
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
mengganggu kehidupan dan penghidupan masyrakat yang disebabkan, baik oleh
factor alam dan/atau faktor non alam maupun factor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa sehingga mengakibatkan timbulnya
korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian harta benda dan dampak
psikologis (UU No. 24/2007).
Bencana dapat merusakkan kehidupan keluarga dan melumpuhkan
tatanan sosial. Terlebih lagi jika terjadi pada masyarakat dengan social ekonomi
rendah, potensial terjadi diskriminasi, kejahatan dan tindak kekerasan lainnya.
Selain hal tersebut bencana juga akan menyebabkan masalah kesehatan seperti
diare, influensa, tifus dan penyakit yang lainnya.
Aplikasi bencana yang secara sederhana dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari meliputi melakukan simulasi bencana dikeluarga,
menolong korban bencana, memiliki perlengkapan darurat, mengetahui tempat
berlindung saat bencana dan mengetahui fasilitas tanggap darurat yang tersedia
di instansi terkait (Kapuccu, 2013).
c) Pasca bencana
Kegiatan pemulihan dapat berlanjut sampai pada masa
pascabencana. Manajemen pemulihan dilaksanakan pengaturan upaya
penanggulangan bencana dengan penekanan pada faktor-faktor yang
dapat mengembalikan kondisi masyarakat dan lingkungan hidup yang
terkena bencana dengan memfungsikan kembali kelembagaan,
prasarana, dan sarana secara terencana, terkoordinasi, terpadu dan
menyeluruh setelah terjadinya bencana.
Pada tahap pemulihan terdapat dua fase yaitu rehabilitasi dan
rekontruksi. Rehabilitasi adalah perbaikan dan pemulihan semua aspek
pelayanan publik atau masyarakat sampai tingkat yang memadai pada
wilayah pascabencana dengan sasaran utama untuk normalisasi atau
berjalannya secara wajar semua aspek pemerintahan dan kehidupan
masyarakat pada wilayah pascabencana. Sedangkan rekonstruksi adalah
pembangunan kembali semua prasarana dan sarana, kelembagaan pada
wilayah pasca bencana, baik pada tingkat pemerintahan maupun
masyarakat dengan sasaran utama tumbuh dan berkembangnya kegiatan
perekonomian, sosial dan budaya, tegaknya hokum dan ketertiban, dan
bangkitnya peran serta masyarakat dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat pada wilayah pascabencana.
Namun demikian, upaya-upaya mitigasi lebih banyak dilakukan
pada masa pascabencana guna untuk mengurangi risiko secara terencana,
terkoordinasi, terpadu dan menyeluruh. Mitigasi dapat dilakukan baik
melalui pembangunan fisik maupun penyadaran dan peningkatan
kemampuan menghadapi ancaman bencana. Mitigasi bencana yang
efektif harus memiliki empat unsur utama yaitu penilaian bahaya,
peringatan dini dan kesiapsiagaan dan adaptasi. Dalam kegiatan mitigasi
juga perlu dilibatkan kegiatan pemantauan, penyebaran informasi,
sosialisasi dan penyuluhan, serta pelatihan/pendidikan.
Langkah mitigasi pasca bencana dapat dilaksanakan melalui
inventarisasi data-data kerusakan akibat bencana dan kekuatan bencana
yang terjadi, identifikasi wilayah-wilayah yang terkena dampak bencana
berdasarkan tingkat kerusakan, penyusunan rekomendasi dan saran
untuk penanggulangan bencana pada masa depan, pembuatan rencana
penataan ulang wilayah, termasuk rencana tata ruang dan penggunaan
lahan, perbaikan fasilitas pemantauan bencana yang rusak, serta aktivitas
pemantauan rutin dan simulasi tanggap bencana.
3) Perencanaan Penanggulangan
Bencana Perencanaan penanggulangan bencana disusun berdasarkan
hasil analisis risiko bencana dan upaya penanggulangannya yang dijabarkan
dalam program kegiatan penanggulangan bencana dan rincian anggarannya.
Perencanaan penanggulangan bencana merupakan bagian dari perencanaan
pembangunan. Setiap rencana yang dihasilkan dalam perencanaan ini
merupakan program/kegiatan yang terkait dengan pencegahan, mitigasi dan
kesiapsiagaan yang dimasukkan dalam Rencana Pembangunan Jangka
Panjang (RPJP), Jangka Menengah (RPJM) maupun Rencana Kerja
Pemerintah (RKP) tahunan. Rencana penanggulangan bencanaditetapkan
oleh Pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan kewenangan untuk
jangka waktu 5 (lima) tahun. Penyusunan rencana penanggulangan bencana
dikoordinasikan oleh :
a) BNPB untuk tingkat nasional;
b) BPBD provinsi untuk tingkat provinsi; dan
c) BPBD kabupaten/kota untuk tingkat kabupaten/kota.
Rencana penanggulangan bencana ditinjau secara berkala setiap 2
(dua) tahun atau sewaktu-waktu apabila terjadi bencana.
c) Rekonstruksi (Reconstruction)
Rekonstruksi adalah perumusan kebijakan dan usaha serta
langkah-langkah nyata yang terencana baik, konsisten dan
berkelanjutan untuk membangun kembali secara permanen semua
prasarana, sarana dan sistem kelembagaan, baik di tingkat
pemerintahan maupun masyarakat, dengan sasaran utama tumbuh
berkembangnya kegiatan perekonomian, sosial dan budaya,
tegaknya hukum dan ketertiban, dan bangkitnya peran dan
partisipasi masyarakat sipil dalam segala aspek kehidupan
bermasyarakat di wilayah pasca bencana. Lingkup pelaksanaan
rekonstruksi terdiri atas program rekonstruksi fisik dan program
rekonstruksi non fisik.
Dengan melihat manajemen bencana sebagai sebuah
kepentingan masyarakat kita berharap berkurangnya korban nyawa
dan kerugian harta benda. Dan yang terpenting dari manajemen
bencana ini adalah adanya suatu langkah konkrit dalam
mengendalikan bencana sehingga korban yang tidak kita harapan
dapat terselamatkan dengan cepat dan tepat dan upaya untuk
pemulihan pasca bencana dapat dilakukan dengan secepatnya.
Pengendalian itu dimulai dengan membangun kesadaran kritis
masyarakat dan pemerintah atas masalah bencana alam,
menciptakan proses perbaikan total atas pengelolaan bencana,
penegasan untuk lahirnya kebijakan lokal yang bertumpu pada
kearifan lokal yang berbentuk peraturan nagari dan peraturan
daerah atas menejemen bencana. Yang tak kalah pentingnya dalam
manajemen bencana ini adalah sosialisasi kehatian-hatian terutama
pada daerah rawan bencana.
3.2 Saran
Bencana bisa terjadi kapan saja dan dimana, namun kita harus mengetahui
jenis-jenis bencana, sebab-sebab yang menimbulkan bencana dan akibat-akibat
yang ditimbulkan.
Saran-saran kami sampaikan kepada semua pihak untuk mengantisipasi
dalam penaggulangan bencana agar tidak menimbulkan kerusakan,korban
meninggal dan kerugian yang besar.
DAFTAR PUSTAKA