Anda di halaman 1dari 64

IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan dijelaskan mengenai uraian yang berkaitan dengan

penelitian yang peneliti lakukan terdiri dari uraian penelitian terdahulu yang

digunakan sebagai upaya dalam mencari perbandingan guna dijadikan sebagai

dasar pijakan, bahan masukan dan pertimbangan berkaitan dengan tema penelitian

ini. Penelitian terdahulu merupakan bahan inspirasi terhadap penelitian yang

sedang dan akan dijalankan. Selain itu, penelitian terdahulu membantu memperjelas

posisi dan originality dari sebuah penelitian.

Kedua, penjelasan kerangka teoritis yang memuat tentang istilah,

pengertian dan tipologi dari teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu teori

governance, collaborative governance, kebijakan publik, implementasi dan

sampah. Terakhir, pada bab ini akan menjelaskan mengenai kerangka konseptual

dari penelitian ini yang berisi cara berfikir penelitian ini baik berupa penjelasan

maupun bagan alur.

II.1 Penelitian Terdahulu

Dalam sub bab ini, peneliti akan memaparkan penelitian terdahulu yang

dianggap memiliki keterkaitan dengan tema penelitian ini. Penelitian terdahulu

memberikan gambaran penelitian yang sedang peneliti kerjakan. Setidaknya

terdapat dua puluh penelitian terdahulu yang berhasil peneliti himpun guna melihat

sejauh mana penelitian mengenai persampahan telah dilakukan oleh peneliti yang

ada.

22

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Penelitian pertama berasal dari Okoli et al. (2020) yang meneliti tentang

implementasi kebijakan pengelolaan limbah di Nigeria, dengan studi tentang peran

Badan Pengelolaan Limbah Negara Rivers. Studi ini mengadopsi sumber sekunder

pengumpulan data dan environmentally responsible behavior (ERB) dan

environmental citizenship model (ECM) sebagai kerangka kerja teoritis. Juga,

analisis konten digunakan sebagai metode analisis data. Studi ini mengeksplorasi

efektivitas Badan Pengelolaan Sampah Negara Bagian Rivers dalam pengelolaan

limbah padat. Temuan penelitian ini menemukan bahwa ada hubungan antara

desain kebijakan dan manajemen badan yang efisien, tetapi mencatat bahwa

beberapa tantangan kelembagaan seperti ketidakefisienan vendor, rendahnya

kesadaran masyarakat dan pendidikan, tidak adanya TPA yang dapat menghambat

pencapaian beberapa tujuan.

Penelitian kedua adalah penelitian dari Gwada, Ogendi, Makindi dan Trott

(2019) yang mengungkapkan tujuan dari penelitiannya adalah untuk menilai

komposisi dan pengelolaan limbah plastik yang dibuang oleh rumah tangga di

bangsal Watamu. Stratified random sampling digunakan untuk mengumpulkan data

dari rumah tangga di empat sub-lokasi di lingkungan Watamu. Data dianalisis

menggunakan statistik deskriptif dan inferensial (ekstensi Freeman-Halton dari uji

Exact Fisher) dengan hasil kesimpulannya yaitu metode pembuangan limbah

plastik saat ini di Watamu tidak ramah lingkungan dan daur ulang masih dalam

skala yang lebih kecil meskipun berpotensi menghasilkan pendapatan dan

membersihkan lingkungan serta dapat mempromosikan layanan kebersihan.

23

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Ketiga, penelitian dari Gebreeyosus dan Berhanu (2019) mengungkapkan

berbagai opsi peningkatan pengelolaan limbah padat untuk rumah tangga di kota

Aksum, Ethiopia, dengan memperkirakan penggunaan pemodelan pilihan. Usulan

perbaikan dalam pengelolaan sampah yang disajikan oleh tiga atribut layanan (yaitu

frekuensi pengumpulan sampah, mekanisme pembuangan sampah, dan moda

transportasi yang digunakan untuk mengangkut sampah) bersama dengan atribut

moneter (biaya bulanan rumah tangga untuk layanan yang diberikan). Hasil analisa

ditemukan untuk kedua model dan frekuensi pengumpulan sampah menempati

peringkat teratas dalam hal kepentingan relatif untuk rumah tangga. Akhirnya,

berbagai skenario hipotetis mendukung bahwa penduduk kota bersedia membayar

untuk perbaikan dalam kegiatan pengelolaan sampah yang ada.

Penelitian keempat berasal dari Sinthumule dan Mkumbuzi (2019)

menemukan bahwa pengelolaan sampah berbasis masyarakat belum berhasil

mengubah perilaku pembuangan limbah warga. Ditemukan juga bahwa organisasi

berbasis masyarakat tidak melakukan upaya untuk menerapkan praktik pengelolaan

limbah alternatif daur ulang dan pengomposan sampah. Studi ini menyimpulkan

dengan menyarankan strategi yang dapat meningkatkan pengelolaan limbah padat

berbasis masyarakat di negara-negara berkembang.

Kelima, Ezeudu, Ozoegwu dan Madu (2019) melakukan penelitian yang

dapat berkontribusi pada pengelolaan limbah dari dua perspektif utama. Pertama,

timbulan sampah di lokasi yang sebelumnya tidak diteliti, Kotamadya Awka, untuk

dijadikan sampel dan dikarakterisasi. Kedua, karakterisasi dilakukan dengan

menggunakan metode baru yang disebut regresi polinomial orde pertama intersep-

24

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

nol. Hasil dari metode yang diusulkan terbukti lebih akurat jika dibandingkan

dengan teknik rata-rata tradisional. Hasil yang ditetapkan untuk wilayah studi sama-

sama sesuai dengan hasil yang diketahui untuk lokasi Nigeria yang serupa, seperti

organik (73,2%), plastik (8,0%), dan dapat didaur ulang (20,3%).

Pada penelitian yang keenam berasal dari Pardini, Rodrigues, Kozlov,

Kumar dan Furtado (2019) meneliti tentang Internet of Things (IoT) dan cloud

computing yang menawarkan kemungkinan otomatisasi melalui sistem

cyberphysical, sehingga dapat mengubah cara pengelolaan sampah dengan cara

mempertimbangkan persyaratan IoT, pada analisis tinjauan model pengelolaan

sampah yang tersedia dalam literatur dilakukan secara rinci dalam penelitian

tersebut. Kemudian, tinjauan mendalam dilakukan terhadap literatur terkait

berdasarkan infrastruktur IoT untuk penanganan sampah yang dihasilkan dalam

skenario perkotaan secara efisien, dengan fokus pada interaksi antara pemegang

konsesi dan penghasil sampah (warga negara) dari perspektif waktu pengumpulan

yang lebih singkat dengan biaya yang lebih rendah.

Ketujuh, Arantes, Zou & Che (2019) yang meneliti tentang pemerintah

daerah yang bercollaborative dengan organisasi non-pemerintah (LSM) dalam

bidang tata kelola lingkungan perkotaan untuk mengatasi masalah lingkungan yang

kompleks. Berdasarkan desain penelitian mix-methode yang dikembangkan dari

Mei 2016 hingga Februari 2017 di Shanghai. Dengan menyebarkan 200 kuesioner

di 10 komunitas dimana Aifen mengembangkan kegiatannya dan 200 kuesioner di

10 komunitas yang tidak terdapat kegiatan LSM lingkungannya. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa pendekatan collaborative governance antara pemerintah-LSM

25

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

lokal dapat meningkatkan partisipasi publik dan menanggapi desentralisasi negara

serta meningkatnya masalah lingkungan di daerah perkotaan.

Kedelapan, penelitian yang berasal dari Baxter, Srisaeng dan Wild (2018)

dengan menggunakan desain penelitian studi kasus yang mendalam, penelitian

tersebut telah memeriksa pengelolaan limbah di Bandara Internasional Kansai dari

tahun 2002 hingga 2015. Sepanjang sejarahnya bandara telah menerapkan praktik

terbaik dunia untuk mencapai tujuannya menjadi bandara yang ramah lingkungan.

Data kualitatif yang dikumpulkan dalam penelitian tersebut dianalisis

menggunakan analisis dokumen sedangkan data kuantitatif dianalisis menggunakan

uji-t. Hasil penelitian menunjukkan secara signifikan ditemukan pengurangan

limbah per penumpang dan pergerakan pesawat (untuk total limbah, limbah

insinerasi, dan limbah TPA). Selain itu, peningkatan yang signifikan secara statistik

dalam proporsi sampah yang didaur ulang, dan penurunan proporsi sampah yang

dikirim ke tempat pembuangan sampah.

Penelitian yang kesembilan berasal dari Pham Phu, Hoang dan Fujiwara

(2018) mengungkapkan tentang penelitian yang menganalisis karakteristik limbah

dan praktik manajemen industri perhotelan di Hoi An, sebuah kota pariwisata di

pusat Vietnam. Sampah yang berasal dari 120 hotel diambil sampelnya, wawancara

tatap muka dan metode statistik dilakukan untuk menganalisis data. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa rata-rata tingkat timbulan sampah hotel adalah 2,28 kg / tamu

/ hari dan sangat berkorelasi dengan faktor-faktor yang mempengaruhi internal

seperti kapasitas, harga kamar, taman, dan restoran.

26

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Selanjutnya, penelitian kesepuluh berasal dari Berg, Radziemska,

Adamcová., Zloch dan Vaverková (2018) mengungkapkan bahwa pembuangan

limbah di lokasi TPA menyebabkan potensi bahaya bagi kesehatan manusia, karena

dapat melepaskan sejumlah besar gas, bau, dan polutan ke lingkungan. Oleh

karenanya telah terjadi pengurangan besar-besaran dalam volume sampah yang

ditimbun di banyak negara Eropa dan pengurangan jumlah tempat pembuangan

sampah ilegal. Temuan penelitian ini adalah titik awal yang baik untuk studi lebih

lanjut yang akan menentukan apakah sistem manajemen persampahan yang baru

diperkenalkan dan tren konsekuensial terbukti efektif dalam perspektif jangka

panjang.

Penelitian kesebelas, Arcigal (2018) yang dalam penelitiannya melibatkan

sebuah Penilaian Program Pengelolaan Sampah di Universitas Politeknik Negeri

Laguna (LSPU), Kampus Santa Cruz. Metode penelitian deskriptif digunakan

dalam penelitian ini untuk mengumpulkan data dan informasi yang diperlukan pada

studi pengelolaan sampah. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menentukan

status saat ini dari program pengelolaan sampah Universitas Politeknik Negeri

Laguna, Kampus Santa Cruz. Secara khusus, penelitian ini bermaksud untuk: 1.)

Menentukan pengetahuan, sikap dan praktik para administrator, staf pengajar, dan

staf, mahasiswa, dan pekerja pengelola sampah (petugas kebersihan dan pengumpul

sampah), 2.) Menentukan kepatuhan administrator, staf pengajar, dan staf, siswa,

dan pekerja limbah padat (petugas kebersihan dan pengumpul sampah), dan 3.)

Mengembangkan rencana aksi berdasarkan hasil penelitian yang akan mengatasi

masalah limbah padat dalam komunitas sekolah. Program ini dimulai tahun pertama

27

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

dalam pengimplementasian pengelolaan limbah padat, tetapi tampaknya ada

penurunan partisipasi diantara berbagai kantor dan departemen di komunitas LSPU

terhadap strategi program dan evaluasi terhadap implementasi yang belum

dilaksanakan. Inisiasi program semacam itu sangat penting untuk mendidik

masyarakat secara cepat dan memfasilitasi pengembangan perilaku sampah

masyarakat yang ramah lingkungan. Pengetahuan lingkungan dan sikap siswa

tampaknya sangat penting karena mereka akhirnya memainkan peran penting dalam

memberikan solusi untuk masalah lingkungan di masa yang akan datang.

Kedua belas, penelitian dari Latianingsih, Susyanti dan Mariam (2018) yang

dalam temuan penelitiannya menemukan hambatan dalam pelaksanaan program

pada model kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten Bogor. Hal tersebut

dikarenakan sosialisasi program yang belum merata, masyarakat yang kurang

peduli dan kendala minimnya anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah Kabupaten

Bogor dalam mengimplementasikan program yang sudah dicanangkan.

Sedangkan penelitian ketiga belas adalah penelitian dari Seng, Fujiwara dan

Spoann (2018) pada penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan

mengembangkan model regresi logistik untuk menganalisis hubungan antara 12

aspek yang diamati pada pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap pengelolaan

sampah di pinggiran kota Phnom Penh, dengan mewawancarai 800 rumah tangga,

termasuk 200 pengguna layanan pengumpulan dan 600 pengguna non-layanan.

Hasil dari penelitian tersebut menyimpulkan bahwa warga tampaknya tidak puas

dengan status pengelolaan sampah dan layanan pengumpulan jika mereka

menyadari masalah pengelolaan sampah. Karena itu, dibutuhkan perbaikan secara

28

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

administrasi untuk memuaskan warga negara yang berpengetahuan luas. Ketentuan

layanan untuk pengguna non-layanan sangat penting untuk menghentikan praktik

pembuangan ilegal. Namun, hal tersebut masih mengarah pada praktik yang tidak

tepat dari pengguna layanan, sehingga disarankan agar layanan disediakan secara

luas, efisien, dan teratur.

Keempat belas, penelitian dari Amir & Anto (2018) yang tujuan

penelitiaannya adalah untuk menganalisis kebijakan implementasi pengelolaan

sampah di Kabupaten Konawe. Aspek penelitian ini mengacu pada aspek

komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi untuk menentukan

efektivitas implementasi kebijakan menurut Edward (1980). Dengan pendekatan

kualitatif dan teknik pengumpulan data penelitian menggunakan wawancara

mendalam, studi dokumen dan observasi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa

implementasi kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten Konawe ditinjau dari

aspek komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi telah dilaksanakan

oleh Kantor Lingkungan Hidup Kabupaten Konawe. Penelitian ini menemukan

bahwa masih ada kendala dalam implementasi kebijakan pengelolaan sampah di

Kabupaten Konawe yaitu dari aspek fasilitas masih kurang, kondisi area kerja

sangat luas, kesadaran masyarakat masih kurang, partisipasi masyarakat masih

kurang. masih kurang, dan pengetahuan masyarakat tentang pengelolaan sampah

masih minim. Jadi, implementasi kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten

Konawe masih membutuhkan kerja keras.

Kelima belas, Arushanyan et al. (2017) yang dalam penelitiannya

menyajikan model penilaian siklus hidup yang komprehensif untuk penilaian

29

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

lingkungan dari skenario dan instrumen kebijakan pengelolaan sampah, dengan

memasukkan hampir semua aliran sampah di suatu negara dan juga memungkinkan

untuk memasukkan pencegahan sampah. Hasilnya menunjukkan bahwa dampak

lingkungan dari skenario pengelolaan sampah di Swedia di masa depan dapat sangat

berbeda. Model ini digunakan untuk menganalisis dampak lingkungan dari

beberapa instrumen kebijakan termasuk biaya pengumpulan berdasarkan berat,

pajak insinerasi, pajak sumber daya dan dimasukkannya sampah dalam sistem

sertifikasi green electricity. Efek dari instrumen kebijakan yang dipelajari dalam

isolasi pada banyak kasus yang terbatas, menunjukkan bahwa instrumen kebijakan

yang lebih kuat diperlukan untuk mencapai tujuan kebijakan sebagaimana

ditetapkan misalnya rencana aksi Uni Eropa pada ekonomi sirkular.

Berikutnya, penelitian yang keenam belas berasal dari Liesmana (2017)

dengan temuan penelitian bahwa belum efektifnya pengelolaan sampah di Kota

Payakumbuh maupun Kota Padang meskipun keduanya memiliki sumber pedanaan

yang berbeda, dan dari kedua lokasi penelitian tersebut masih banyak ditemui

kendala dalam implementasi dan target kelompok yang dijadikan sasaran

pengelolaan sampah antara pihak pemerintah maupun pihak swasta dalam

mengelola sampah secara bersama sehingga tercipta efektifitas yang diharapkan.

Ketujuh belas, penelitian dari Kencono & Supriyanto (2017) yang

menganalisis keterlibatan Indonesia dalam pembangunan berkelanjutan dengan

konsep collaborative governance, dengan lokasi penelitian di Provinsi DI.

Yogyakarta. Penelitian ini berdasarkan analisis literatur, dokumen kebijakan,

partisipasi dalam konferensi serta wawancara dengan pakar, mengusulkan lima

30

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

faktor untuk menjelaskan perkembangan collaborative governance yang

menjanjikan untuk pembangunan berkelanjutan di Indonesia: kepemimpinan

politik, wacana, keahlian dalam negeri, kelembagaan kepadatan dan kerja sama

internasional. Dengan temuan penelitian bahwa DI. Yogyakarta dengan basis

pembangunan yang terletak di pilar-pilar pariwisata dan budaya, dengan kehadiran

universitas dan komponen pendidikan lainnya akan menjadi peluang cerah secara

internal, tetapi juga bisa menjadi bumerang jika tidak dikelola dengan baik.

Kesenjangan sosialnya yang tinggi di yogyakarta, sehingga harus ada upaya untuk

mengatasi masalah tersebut. Selain itu, potensi luar biasa industri kreatif harus

mendapatkan monitor yang lebih intensif agar menjadi senjata dalam menghadapi

persaingan global yang terus mengikis keberadaan masyarakat DIY jika tidak

dihadapi dengan positif.

Penelitian kedelapan belas dari Coelho, Lange dan Coelho (2016) yang

tujuan penelitiannya adalah untuk menyajikan tinjauan pustaka tentang aplikasi

pengambilan keputusan multi-kriteria yang digunakan dalam pengelolaan sampah,

menawarkan penilaian kritis terhadap praktik saat ini, dan memberikan saran untuk

pekerjaan di masa mendatang. Tinjauan singkat tentang konsep-konsep mendasar

tentang topik ini pertama kali diberikan, dengan menganalisa 260 artikel yang

berkaitan dengan penerapan pengambilan keputusan multi-kriteria dalam

pengelolaan sampah. Dari artikel yang dianalisis, dicatat bahwa studi yang

menggunakan multi-kriteria pengambilan keputusan dalam pengelolaan sampah

sebagian besar ditujukan untuk masalah yang terkait dengan sampah perkotaan

yang melibatkan lokasi fasilitas atau strategi manajemen.

31

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Selanjutnya penelitian yang kesembilan belas, Opoko dan Oluwatayo

(2016) yang menyoroti keefektifan model collaborative sektor publik-swasta

dengan temuan yaitu terdapat penyimpangan pengumpulan limbah karena jaringan

jalan yang buruk, infrastruktur transportasi yang tidak memadai dan keinginan

untuk memaksimalkan keuntungan, serta buruknya penanganan limbah dan metode

pembuangan oleh operator partisipasi sektor swasta yang tidak dipilih berdasarkan

kompetensi dan kapasitas untuk melakukan. Studi ini melakukan dua pendekatan

dalam metode penelitiannya yaitu kualitatif dan kuantitatif dengan menggunakan

SPSS versi 17 untuk menganalisis data kuantitatif, sedangkan data kualitatif

dianalisis untuk mengekstraksi tema yang muncul.

Penelitian kedua puluh adalah Wahyudi (2016) yang dalam penelitiannya

menganalisis kebijakan Pemerintah Kota Samarinda yang dituangkan dalam bentuk

Peraturan Daerah (perda) Kota Samarinda No. 2 tahun 2011 dengan jalan

mendiskripsikan dan mengidentifikasi muatan yang ada, identifikasi masalah dan

asumsi yang mendasarinya, identifikasi masalah yang tertinggal dan atau belum

termuat pada perda tersebut melalui pendekatan What is the problem represented

to be? (WPR) dari Bacchi menggunakan metode penelitian desk research.

Penelitian tersebut mengungkapkan bahwa kebijakan pengelolaan di Kota

Samarinda lebih menitikberatkan pada aspek sanksi dan manajemen. Namun,

belum bisa sepenuhnya menjangkau akar permasalahan pengelolaan sampah yang

ada seperti kurangnya pendidikan atau sosialisasi pada masyarakat mengenai

pentingnya menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat sehingga peran

pengelolaan sampah didominasi oleh Pemerintah Kota Samarinda.

32

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Kedua puluh satu, Kukuła (2016) yang tujuan dari penelitiannya adalah

untuk menunjukkan perbedaan regional dalam pengembangan pengelolaan sampah

pada fenomena yang terjadi di tahun 2012 dan 2013. Metode yang digunakan dalam

penelitian ini adalah kualitatif dengan penerapan analisis multivariat yang fokus

khusus pada metode zero unitarization. Sebagai hasil dari penerapan metode

tersebut, diperoleh peringkat voivodeships yang berhubungan dengan tingkat

pengembangan pengelolaan limbah

Peneliti kedua puluh dua adalah Dubois et al. (2015) membahas bagaimana

sebuah instrumen kebijakan dapat digunakan untuk masalah pengelolaan sampah.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan menggunakan

tinjauan literatur dilengkapi dengan studi kasus tentang residu dari aliran sampah

yang mengandung logam di Belgia. Analisis menunjukkan bahwa pajak

pembuangan konvensional tetap menjadi instrumen yang paling efisien, sederhana

dan transparan.

Penelitian kedua puluh tiga adalah dari Said, Mardiyono dan Noor (2015)

yang meneliti pelaksanaan dari kebijakan pengelolaan sampah di Kota Baubau.

Peneliti menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif. Temuan dari penelitian

tersebut menemukan bahwa tidak optimalnya komunikasi yang dijalankan oleh

institusi yang bertanggung jawab dalam pengelolaan sampah. Kedua, minimnya

ketersediaan sumber daya juga mempengaruhi pelaksanaan dari program

pengelolaan sampah.

Penelitian kedua puluh empat berasal dari Nasrulhaq (2015) yang meneliti

tentang upaya collaborative governance pada sektor lingkungan, yang dipraktikkan

33

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

di kota Makassar melalui program Makassar Green and Clean (MGC). Pihak-pihak

yang terlibat adalah Pemerintah Kota Makassar (pemerintah daerah), PT. Unilever

Indonesia (perusahaan), Media Fajar (media) dan Yayasan Peduli Negeri

(organisasi non-pemerintah). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif melalui

pendekatan studi kasus dengan menggunakan teori yang dikembangkan oleh

Emerson, Nabatchi dan Balogh (2011) sebagai pisau analisanya. Adapun temuan

dari penelitian ini adalah kemajuan nilai-nilai inti seperti membangun kepercayaan,

berbagi pemahaman dan legitimasi internal sudah baik. Sayangnya, beberapa nilai

tidak memuaskan untuk aspek institusi, komitmen dan kepemimpinan. Secara

umum, para kolaborator selalu bekerjasama selama implementasi program. Hasil

tata kelola kolaboratif terhadap kondisi lingkungan baik untuk jangka pendek, tetapi

kurang baik untuk jangka panjang. Secara umum, tata kelola lingkungan kolaboratif

termasuk praktik terbaik, tetapi masih dalam tahap eksplorasi.

Kedua puluh lima, Jaeger dan Rogge (2013) yang dalam temuan

penelitiannya mengungkapkann tentang penetapan harga berbasis berat tidak

mengarah pada efisiensi biaya penyediaan layanan terkait limbah padat perkotaan

(MSW) yang lebih rendah. Peneliti menggunakan pendekatan Indeks Produktivitas

Malmquist untuk mengukur dan menganalisis perubahan efisiensi biaya dari waktu

ke waktu setelah pengenalan pengumpulan limbah dan sistem penagihan berbasis

berat yang relatif baru di Flanders. Peneliti menggunakan metode penelitian

kuantitatif sebagai pendekatan dalam melihat baiaya dan penetapan harga terkait

pengelolaan limbah. Terakhir untuk mempermudah pembaca dalam melihat

34

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

beberapa penelitian terdahulu maka akan dibuat tabel matriks penelitian terdahulu

yang dapat dilihat pada tabel dibawah ini sebagai berikut.

35

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel II.1
Matriks Penelitian Terdahulu

No Nama Peneliti, Tahun & Judul Pembahasan Relevansi

1 Okoli et al. (2020) Waste Management Policy meneliti tentang implementasi kebijakan Implementasi kebijakan
Implementation in Nigeria: A Study of Rivers pengelolaan limbah di Nigeria, dengan studi pengelollan sampah
State tentang peran Badan Pengelolaan Limbah Negara
Rivers. Studi ini mengadopsi sumber sekunder
pengumpulan data dan environmentally
responsible behavior (ERB) dan environmental
citizenship model (ECM) sebagai kerangka kerja
teoritis

2 Gwada, Ogendi, Makindi & Trott (2019) mengukur komposisi dan pengelolaan limbah Mengukur timbulan sampah
Composition of Plastic Waste Discarded by plastik dari rumah tangga di bangsal Watamu plastik dan pengelolaannya
Households and its Management approaches dengan menggunakan metode Stratified random
sampling dalam pengumpulan data dari rumah
tangga yang berada di lingkungan Watamu

3 Gebreeyosus & Berhanu (2019) Households’ Membahas berbagai opsi dalam meningkatkan Fokus membahas tentang
Preferences for Improved Solid Waste pengelolaan sampah rumah tangga di kota Aksum, pelayanan pengelolaan
Management Options in Aksum City, North Ethiopia, dengan memperkirakan penggunaan sampah.
Ethiopia: An Application of Choice Modelling pemodelan pilihan

36

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

4 Sinthumule & Mkumbuzi (2019) Participation Mengungkapkan tentang pengelolaan sampah yang Mambahas pengelolaan
in Community-Based Solid Waste berbasis masyarakat di Kota Bulawayo belum sampah berbasis masyarakat
Management in Nkulumane Suburb, berhasil mengubah perilaku pembuangan yang dapat dikembangkan
Bulawayo, Zimbabwe sampahnya dan juga organisasi yang berbasis pada negara – negara
masyarakat kurang menerapkan pengelolaan berkembang.
sampah yang berwawasan lingkungan yaitu dengan
cara mendaur ulang dan pengomposan sampah

5 Ezeudu, Ozoegwu & Madu (2019) A Fokus penelitiannya memberikan kontribusi pada Membahas pengelolaan
Statistical Regression Method for pengelolaan sampah dalam dua perspektif yaitu, sampah dengan jalan
Characterization of Household Solid Waste: A timbulan sampah yang sebelumnya tidak diteliti, di mengukur dan
Case Study of Awka Municipality in Nigeria kotamadya Awka, untuk dijadikan sampel dan mengidentifikasi
dikarakterisasi dan penelitiannya menggunakan karakteristik sampahnya.
metode baru yang disebut regresi polinomial orde
pertama intersep-nol.

6 Pardini, Rodrigues, Kozlov, Kumar & Furtado Membahas tentang Internet of Things (IoT) dan Membahas alternatif
(2019) IoT-Based Solid Waste Management cloud computing sebagai alternative dalam pengelolaan sampah
Solutions: A Survey mengubah cara pengelolaan sampah dengan
menawarkan kemungkinan otomatisasi melalui
sistem cyberphysical,

7 Arantes, Zou & Che (2019) Coping with meneliti tentang pemerintah daerah yang Membahas collaborative
waste: A government-NGO collaborative bercollaborative dengan organisasi non- governance dalam bidang
governance approach pemerintah (LSM) dalam bidang tata kelola lingkungan yang memakai

37

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

lingkungan perkotaan untuk mengatasi masalah metode penelitian mix-


lingkungan yang kompleks. Berdasarkan desain methode
penelitian mix-methode yang dikembangkan dari
Mei 2016 hingga Februari 2017 di Shanghai.

8 Baxter, Srsaeng & Wild (2018) Sustainable Penelitian tersebut mengungkapkan tentang Membahas pengelolaan
AirportWaste Management: The Case of pengelolaan sampah di Bandara Internasional sampah yang
Kansai International Airport Kansai dari tahun 2002 hingga 2015 dengan hasil memaksimalkan penerapan
penelitian terdapat pengurangan sampah per sistem daur ulang sampah
penumpang dan pergerakan pesawat dan juga
adanya peningkatan secara signifikan pada sampah
yang didaur ulang serta sebaliknya terjadi
penurunan pada sampah yang dikirim ke TPA.

9 Pham Phu, Hoang & Fujiwara (2018) Mengungkapkan tentang penelitian terhadap Identifikasi jenis sampah dan
Analyzing solid waste management practices karakteristik dan praktik manajemen sampah sistem menejemen
for the hotel industry industri perhotelan di Hoi An Vietnam dengan pengelolaan sampah pada
sampel sampah yang berasal dari 120 hotel. industri perhotelan.

10 Berg et. al (2018) Assessment Strategies for Mengungkapkan temuan penelitian bahwa Mambahas pengelolaan
Municipal Selective Waste Collection – pembuangan sampah di TPA kurang berwawasan sampah di TPA dengan
Regional Waste Management lingkungan sehingga dapat menyebabkan bahaya kekurangannya.
bagi kesehatan manusia, karena sampah di TPA
melepaskan sejumlah besar gas, bau, dan polutan
ke lingkungan. Oleh karenanya telah terjadi

38

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

pengurangan besar-besaran sistem pengelolaan di


di TPA di negara – negara benua eropa

11 Rina & Arcigal (2018) Evaluation of Solid Dalam penelitiannya melibatkan sebuah Penilaian Mengukur penilaian
Waste Management Program in Laguna State Program Pengelolaan Sampah di Universitas mengenai program
Polytechnic University, Santa Cruz Main- Politeknik Negeri Laguna (LSPU), Kampus Santa pengelolaan sampah
Campus: Input to Policy Formulation. Cruz.

12 Latianingsih, Susyanti & Mariam (2018) Mengungkapkan temuan penelitian mengenai Membahas model kebijakan
Model Kebijakan Pengelolaan Sampah Daerah hambatan dalam pelaksanaan program pada model pengelolaan sampah
dalam Dalam Mewujudkan Masyarakat kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten Bogor
Sejahtera yaitu sosialisasi program yang belum merata,
masyarakat yang kurang peduli dan kendala
minimnya anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah
Kabupaten Bogor dalam mengimplementasikan
program yang sudah dicanangkan.

13 Seng, Fujiwara & Spoann (2018) Households’ Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa warga Mengukur tingkat kepuasan
knowledge, attitudes, and practices toward tampaknya tidak puas dengan status pengelolaan masyarakat terhadap
solid waste management in suburbs of Phnom sampah dan layanan pengumpulan. Penelitian ini pelayanan pengelolaan
Penh, Cambodia mengembangkan model regresi logistik pada sampah
metode kuantitatif untuk menganalisis hubungan
antara 12 aspek yang diamati mengenai
pengetahuan, sikap, dan praktik terhadap
pengelolaan sampah di pinggiran kota Phnom

39

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Penh, dengan mewawancarai 800 rumah tangga,


yang terdiri 200 pengguna layanan pengumpulan
dan 600 pengguna non-layanan

14 Amir & Anto (2018) A Study Policy Penelitiannya tentang analisis kebijakan Kesamaan dalam
Implementation of Waste Management in implementasi pengelolaan sampah di Kabupaten penggunaan teori dari
Konawe Regency-Indonesia Konawe dengan menggunakan empat aspek dari Edward (1980)
Edward (1980)

15 Arushanyan, Björklund, Finnveden et. al Mengungkapkan penelitian skenario dan instrumen Membahas skenario dan
(2017) Environmental Assessment of Possible kebijakan pengelolaan sampah dengan model instrumen kebijakan
Future Waste Management Scenarios penilaian siklus hidup yang komprehensif, dengan pengelolaan sampah
cara memasukkan hampir semua aliran sampah dan
pencegahannya pada suatu negara.

16 Liesmana (2017) Best Practice Implementasi Temuan penelitiannya yaitu bahwa belum Membahas pengelolaan
Model Kebijakan Pengelolaan Sampah efektifnya pengelolaan sampah di Kota sampah dari segi
Perkotaan Payakumbuh maupun Kota Padang meskipun pembiayaan
keduanya memiliki sumber pedanaan yang
berbeda, dan dari kedua lokasi penelitian tersebut
masih banyak ditemui kendala dalam implementasi
dan target kelompok yang dijadikan sasaran
pengelolaan sampah, antara pihak pemerintah
maupun pihak swasta dalam mengelola sampah

40

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

secara bersama agar tercipta efektifitas yang


diharapkan.

17 Kencono & Supriyanto (2017) Collaborative menganalisis keterlibatan Indonesia dalam Membahas collaborative
governance for Sustainable Development In pembangunan berkelanjutan dengan konsep governance dengan
indonesia: The Case of Daerah Istimewa collaborative governance, dengan lokasi penelitian mengusulkan lima faktor
Yogyakarta Province
di Provinsi DI. Yogyakarta. Penelitian ini
berdasarkan analisis literatur, dokumen kebijakan,
partisipasi dalam konferensi serta wawancara
dengan pakar, mengusulkan lima faktor untuk
menjelaskan perkembangan collaborative
governance yang menjanjikan untuk pembangunan
berkelanjutan di Indonesia:

18 Coelho, Lange & Coelho (2016) Multi- penelitiannya ini mengungkapkan bahwa Membahas kebijakan
Criteria Decision Making to Support Waste penggunaan pengambilan keputusan dengan cara pengambilan keputusan
Management: A Critical Review of Current multi-kriteria dalam kebijakan pengelolaan sampah terkait pengelolaan sampah
Practices and Methods sebagian besar masalah sampah perkotaan yang dengan cara multi-kriteria
terkait lokasi, fasilitas atau strategi manajemen.

19 Opoko dan Oluwatayo (2016) Private sector yang menyoroti keefektifan model collaborative Membahas mengenai sebuah
participation in domestic waste management sektor publik-swasta melalui dua pendekatan pengelolaan sampah
in informal settlements in Lagos, Nigeria dalam metode penelitiannya yaitu kualitatif dan melalaui kerjasama antara
kuantitatif dengan menggunakan SPSS versi 17 pemerintah dan swasta
untuk analisanya. Temuannya yaitu adanya

41

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

penyimpangan pengumpulan limbah, buruknya


penanganan limbah dan metode pembuangan oleh
operator partisipasi sektor swasta yang tidak
kompeten.

20 Wahyudi (2016) Analisis Kebijakan Penelitiannya mencoba menganalisis Peraturan Menganalisis relevansi dari
Pengelolaan Sampah di Kota Samarinda: Daerah (perda) Kota Samarinda No. 2 tahun 2011 sebuah kebijakan
Problematisasi Kebijakan Dengan Pendekatan dengan jalan mendiskripsikan dan mengidentifikasi pengelolaan sampah
WPR muatan yang ada, identifikasi masalah dan asumsi
yang mendasarinya, identifikasi masalah yang
tertinggal dan atau belum termuat pada perda
tersebut melalui pendekatan What is the problem
represented to be? (WPR) dari Bacchi.

21 Kukula (2016) Waste Management in Poland Penelitiannya menemukan peringkat voivodeships Pengembangan pengelolaan
(2012–2013) - Spatial Analysis yang berhubungan dengan tingkat pengembangan sampah
pengelolaan sampah yang menunjukkan perbedaan
secara regional dalam pengembangan pengelolaan
sampah pada tahun 2012 dan 2013.

22 Dubois et al. (2015) Innovative market-based Membahas bagaimana sebuah instrumen kebijakan Membahas mengenai
policy instruments for waste management: A dapat digunakan untuk masalah pengelolaan masalah pengelolaan
case study on shredder residues in Belgium limbah di Belgia. sampah namun lebih pada
sebuah instrumen kebijakan

42

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

23 Said, Mardiyono & Noor (2015) Implementasi Meneliti pelaksanaan dari kebijakan pengelolaan Membahas pengelolaan
Kebijakan Pengelolaan Persampahan Kota sampah di Kota Baubau. sampah dengan pendekatan
Baubau implementasi kebijakannya

24 Nasrulhaq (2015) Collaborative yang meneliti tentang upaya collaborative


Environmental Governance: A Case Study governance pada sektor lingkungan melalui
From Program of Makassar Green And Clean program Makassar Green and Clean (MGC).
(Mgc) in Makassar City
Pihak-pihak yang terlibat adalah Pemerintah Kota
Makassar (pemerintah daerah), PT. Unilever
Indonesia (perusahaan), Media Fajar (media) dan
Yayasan Peduli Negeri (organisasi non-
pemerintah).

25 Jaeger & Rogge (2013) Waste pricing policies Penelitiannya mengungkapkan bahwa penetapan Membahas mengenai sebuah
and cost-efficiency in municipal waste harga berbasis berat tidak mengarah pada efisiensi pengelolaan sampah namun
services: the case of Flanders biaya penyediaan layanan terkait sampah perkotaan lebih pada aspek
(MSW) yang lebih rendah di flinders. pembiayaan.

Sumber: Olahan penulis, 2020

43

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

II.2 State of The Art

Beberapa penelitian sebelumnya banyak membahas tentang pengelolaan

sampah dilihat dari aspek pengukuran timbulan sampah, identifikasi karakteristik

sampah, opsi peningkatan pelayanan pengelolaan sampah, pengelolaan sampah

berbasis masyarakat, alternative pengelolaan sampah, pengelolaan sampah dengan

penerapan sistem daur ulang yang maksimal, pengelolaan sampah di TPA, model

kebijakan dalam pengelolaan sampah, pengukuran tingkat kepuasan masyarakat

terhadap layanan pengelolaan sampah, skenario dan instrumen kebijakan

pengelolaan sampah, segi pembiayaan pengelolaan sampah, relevansi sebuah

kebijakan pengelolaan sampah, implementasi kebijakan pengelolaan sampah

namun belum ada yang membahas tentang collaborative governance, sehingga

penelitian ini berbeda dengan penelitian lain karena penelitian ini hendak

membahas dari aspek collaborative governance yang belum pernah diteliti oleh

peneliti sebelumnya.

Penelitian ini menggunakan teori yang dikembangkan oleh Donahue dan

Zeckhauser (2011) sebagai pisau analisanya untuk melihat kerjasama yang

terbangun antar pelaku governance dalam pengelolaan sampah yang ada di

Kabupaten Sampang. Sedangkan penelitian yang menggunakan teori yang

dikembangkan oleh Donahue dan Zeckhauser (2011) masih minim dilakukan oleh

peneliti di Indonesia, sehingga penelitian ini juga berusaha menawarkan dan

memperkenalkan secara luas mengenai collaborative governance dengan tinjauan

dari Donahue dan Zeckhauser (2011) yang meliputi empat tahap dalam analisanya,

44

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

antara lain collaboration for information, collaboration for productivity, dan

collaboration for resources dan collaboration for legitimacy.

II.3 Kerangka Teori

Pada sub bab ini akan diuraikan mengenai teori teori yang relevan dan dapat

dijadikan landasan dalam penelitian ini. Teori yang digunakan dapat memberikan

pemahaman akademis dan menjadi kerangka berpikir dalam menjawab masalah

yang timbul pada penelitian ini. Hal tersebut menjadikan kerangka teori dapat

memberikan gambaran dan batasan teori yang dipakai sebagai pedoman penelitian.

II.3.1 Governance

Dalam kajian tentang teori collaborative governance tidak bisa dilepaskan

dengan teori yang mendasarinya yaitu governance sebagai dasar dan pijakan lebih

jauh dalam mengurai teori collaborative governance yang nantinya digunakan

dalam penelitian ini, dalam pengertian governance bisa diartikan sebagai

mekanisme tata kelola antara pemerintah dan non pemerintah dalam mengatur

sumber daya yang ada, secara kata sifat governance berarti govern, yang dapat

diartikan sebagai suatu tindakan dalam melaksanakan tata cara pengendalian.

Ganie-Rochman (2000) berpendapat bahwa konsep governance selain

pemerintah dan negara juga melibatkan peran berbagai aktor diluar pemerintah dan

negara, sehingga pihak-pihak yang terlibat sangat luas dan berbagai unsur. Menurut

Peters (2014) Logika dasar dari pendekatan governance adalah bahwa partisipasi

yang lebih besar akan meningkatkan kualitas pemerintahan. Logika ini sebagian

didasarkan pada asumsi demokratis dan sebagian pada asumsi tentang efisiensi

administrasi. Asumsi demokratis yang mendasari pemerintahan adalah bahwa

45

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

publik harus memiliki pengaruh yang lebih besar atas kebijakan yang diadopsi atas

namanya. Dalam demokrasi yang representatif ada beberapa pengaruh oleh warga

negara, tetapi pengaruh itu tidak langsung datang dan sporadis, terutama pada hari

pemilihan umum. Lebih jauh, para pendukung partisipasi yang lebih besar akan

berpendapat bahwa organisasi publik sendiri dapat dibuat lebih demokratis dan

bahwa rata-rata pekerja dapat memberikan pengaruh yang lebih besar dalam

mendefinisikan sifat pekerjaannya sendiri serta arah kebijakan organisasi secara

keseluruhan.

Perkembangan legitimasi memiliki hubungan yang kuat dengan konsepsi

yang sekarang populer tentang pentingnya masyarakat sipil dalam memerintah.

Asumsinya adalah bahwa untuk menjadi efektif, terutama dalam menjadi efektif

secara demokratis, pemerintah harus didukung oleh masyarakat sipil yang aktif

Putnam, Leonardi dan Nanetti (1993) tetapi lihat juga Hooge dan Stolle (2003).

Asumsinya adalah bahwa memiliki kelompok sosial yang aktif di masyarakat

menyediakan sarana untuk perwakilan politik, tetapi yang lebih penting mungkin,

meningkatkan tingkat kepercayaan sosial dan kerja sama. Model governance

administrasi publik memerlukan populasi aktif yang dapat dimobilisasi dan

didorong untuk terlibat dalam sektor publik. Asumsi dari pendekatan ini terhadap

administrasi publik adalah bahwa administrasi tidak dapat berfungsi dengan baik

secara independen, baik dalam hal legitimasi atau efektivitas, karenanya dapat

dengan bekerja bersama dengan aktor-aktor dari masyarakat sipil.

Governance, seperti yang ditegaskan Daly (2003), pada dasarnya adalah

tentang perubahan. Dalam banyak literatur, yang terutama berkaitan dengan

46

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

gagasan perubahan dari persepsi realis tentang pemerintahan lama dan sistem

Westphalia, dimana dunia diorganisir menjadi negara-negara bangsa yang berdaulat

eksklusif, yang masing-masing dengan monopoli internal kekerasan yang sah,

untuk pemerintahan baru. Pertama, dicirikan dengan memiliki pemerintah sebagai

aktor dominan utama dalam arena kebijakan. Secara internal terdapat hierarki

otoritas yang jelas, dan pemerintahan dipandang sebagai proses hierarki top-down,

dengan negara-bangsa menjadi pusat perhatian. Namun, dengan perubahan dari

pemerintah ke pemerintahan, administrasi pemerintahan sekarang hanya satu

pemain di antara banyak pemain lain di arena kebijakan. Dengan demikian, arena

kebijakan menjadi semakin ramai dan diperebutkan, ada lebih banyak pelaku yang

terlibat, batas-batas antara ruang publik dan privat, dan perintah pemerintah atas

proses kebijakan dikatakan telah diubah menurut Kjaer (2004) dan Newman (2005).

Menurut Ansell & Torfing (2016) yang mengungkapkan bahwa governance

sebagai proses mengarahkan masyarakat dan ekonomi melalui tindakan kolektif

dan sesuai dengan tujuan bersama. Yang berarti bahwa terdapat collaborative

governance antara pemerintah, masyarakat dan swasta dalam tindakan kolektif

untuk mencapai tujuan yang telah disepakati bersama.

II.3.2 Collaborative governance

II.3.2.1 Pengertian Collaborative governance

Sebelum beranjak ke dalam teori collaborative governance akan lebih baik

membahas definisi dari collaborative terlebih dahulu, beberapa pakar seperti

Wanna (2008) mengartikan makna collaborative yang berasal dari bahasa Inggris

yaitu ‘colabour’ yang artinya bekerja bersama. Pada dekade abad ke-19 kata

47

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

collaborative mulai digunakan ketika industrialisasi mulai berkembang. Organisasi

pada masa itu menjadi semakin kompleks. Divisi-divisi dalam pembuatan struktur

organisasi mulai dibuat untuk pembagian tugas bagi tenaga kerja dalam organisasi

tersebut. Kompleksitas organisasi menjadi titik awal sering digunakannya

collaborative dalam berbagai organisasi. Selanjutnya Menurut Schrage (1990)

collaborative merupakan tindakan membangun maksud yang relevan yang

dibagikan pada semua pihak yang terlibat untuk mencapai tujuan yang kongruen.

Namun menurut Gricar (1981), collaborative mengacu pada interaksi antara dua

atau lebih organisasi dimana mereka mengidentifikasi dan mengakui cara-cara di

mana mereka saling bergantung terkait dengan masalah tertentu atau serangkaian

masalah, sehingga dapat dikatakan bahwa collaborative membutuhkan berbagai

macam aktor, baik individu maupun organisasi yang bahu membahu mengerjakan

tugas demi tercapainya tujuan bersama.

Dalam konteks disiplin administrasi publik dan kebijakan publik istilah

collaborative identik dengan istilah collaborative governance. Merujuk pada

pengertian collaborative governance yang dipahami secara luas sebagai cara untuk

memasukkan "metode pengambilan keputusan kolektif dimana lembaga publik dan

pemangku kepentingan diluar inststitusi negara terlibat satu sama lain dalam proses

musyawarah berorientasi konsensus" Ansell dan Gash (2007). Sementara itu,

Agrawal dan Lemos (2006) menjelasakan definisi Collaborative governance tidak

hanya berbatas pada stakeholder yang terdiri dari pemerintah dan non pemerintah

tetapi juga terbentuk atas adanya “multipartner governance” yang meliputi sektor

privat, masyarakat dan komunitas sipil yang terbangun atas sinergi peran

48

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

stakeholder dan penyusunan rencana yang bersifat hybrid seperti halnya kerjasama

public-privat dan privat-sosial sedangkan Donahue dan Zeckhauser (2011)

mengungkapkan bahwa Collaborative governance adalah kondisi yang dimana

pemerintah dalam memenuhi amanahnya dalam mengemban mandat publik melalui

collaborative dengan swasta, organisasi atau individu. Terkahir dalam pandangan

Davies dan White (2012) Collaborative governance mengandung makna yang sama

dengan serangkaian kegiatan bersama dimana para mitra bersama-sama

menghasilkan tujuan dan strategi dan berbagi tanggung jawab serta sumber daya.

Sehingga yang dimaksud dengan collaborative governance dalam

penelitian ini adalah serangkaian kegiatan antara pemerintah, masyarakat dan

swasta bekerja bersama – sama dalam pengelolaan sampah sesuai tanggung jawab

dan peran masing-masing dalam mencapai tujuan bersama sesuai setrategi dan

target yang telah ditentukan.

II.3.2.2 Pelaku Collaborative governance

Dalam sistem governance, para aktor yang ada didalamnya bergantung pada

keharusan untuk bercollaborative, yaitu tindakan para pejabat dan pimpinan lintas

organisasi yang bekerja sama dan bersifat transaksional dalam hubungan jaringan

governance. Tindakan-tindakan tersebut membawa perlunya tindakan kolaboratif

diluar kerja sama, bekerja bersama dalam beberapa cara, menciptakan atau

menemukan solusi dalam batasan yang diberikan, misalnya pengetahuan, waktu,

uang, otoritas hukum, atau sumber daya lainnya. Dengan demikian, menurut

Agranoff dan McGuire (2003) manajemen kolaboratif adalah konsep yang

menggambarkan proses memfasilitasi dan beroperasi dalam pengaturan multi-

49

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

organisasi untuk memecahkan masalah yang tidak dapat diselesaikan, atau

diselesaikan dengan secara sendiri.

Aktivitas kolaboratif diantara para aktor dalam governance membuat

organisasi rumah mereka lebih konduktif, mengorganisir pekerjaannya untuk

aktivitas eksternal maupun internal. Organisasi konduktif adalah organisasi yang

“terus-menerus menghasilkan dan memperbarui kemampuan untuk mencapai

kinerja terobosan dengan meningkatkan kualitas dan aliran pengetahuan dan

dengan mengkalibrasi strategi, budaya, struktur dan sistemnya” secara eksternal

Saint-Onge dan Armstrong (2004).

Sedangkan menurut Stoker (1998) paradigma governance adalah tentang

kepentingan utama bagaimana interaksi pemerintah dan aktor-aktor nonpemerintah

yang dibimbing dan diarahkan dalam pengambilan keputusan kolektif. Interaksi itu

tidak didorong oleh penggunaan kekuatan dan wewenang negara dalam

memerintahkan kepatuhan tetapi melalui kapasitasnya mengarahkan penggunaan

seperangkat alat pemerintahan yang keras dan lunak serta hubungan jaringan yang

mencerminkan dinamika ketergantungan antara para aktor. Dimana Kooiman

(2003) mengungkapkan bahwa aktor biasanya memiliki beragam sumber daya yang

tersedia untuk mereka, dan pada saat yang sama mereka sering terkungkung dalam

ruang lingkup interaksi mereka, tepatnya karena mereka mewakili organisasi. Aktor

biasanya dapat diidentifikasi dengan kapasitas mereka yang beragam dan peran

yang mereka mainkan: aktor sebagai individu, aktor sebagai perwakilan

perusahaan, atau aktor sebagai entitas yang mengatur, seperti negara.

50

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Oleh karena itu, dalam dinamika masalah sosial, saling ketergantungan

antara aktor negara, pasar dan masyarakat sipil merupakan faktor penting, sebagai

bentuk inter-penetrasi ditingkat struktural diantara mereka. Menurut Chhotray dan

Stoker (2009) yaitu pentingnya negara sebagai aktor utama dalam governance,

tetapi karena tidak mampu, sehingga memunculkan aktor baru dari sektor

masyarakat dan swasta. Adapun peran dari ketiga pelaku governance menurut

penjelasan dari Rondinelli & Blunt (1997) adalah sebagai berikut:

1. Peran Pemerintah

Tugas yang paling penting dari pemerintah adalah menciptakan lingkungan

yang kondusif, melindungi yang rentan, meningkatkan efisiensi dan daya tanggap

pemerintah, memberdayakan masyarakat dan mendemokrasikan sistem politik,

mendesentralisasi sistem administrasi, mengurangi kesenjangan antara kaya dan

miskin dan yang lemah dan kuat, mendorong keanekaragaman budaya dan integrasi

sosial, dan peduli terhadap lingkungan

2. Peran Swasta

Sektor swasta jelas memiliki peran penting untuk dimainkan dalam

collaborative governance yaitu menciptakan kondisi di mana produksi barang dan

jasa dapat berkembang dengan dukungan lingkungan yang mendukung kegiatan

sektor swasta, kerangka kerja ekonomi insentif dan penghargaan untuk kinerja

organisasi masyarakat dan individu yang baik.

3. Peran Masyarakat

Dalam collaborative governance peran masyarakat dapat berupa

melembagakan interaksi sosial dan mengurangi oportunisme, mendorong norma

51

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

timbal balik sosial dan kepercayaan sosial, memfasilitasi transaksi politik dan

ekonomi, memperkuat arus informasi dan membantu mentransmisikan

pengetahuan, menyediakan sarana untuk collaborative politik, ekonomi dan sosial

yang andal, yang semuanya penting untuk governance yang efektif

Dari penjelasan yang telah diungkapakan oleh para ahli tersebut, dapat

diketahui bahwa aktor dalam collaborative governance adalah terdiri dari

pemerintah, masyarakat dan swasta. Dimana aktor dan peranannya yang dimaksud

dalam penelitian ini terdiri dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sampang

sebagai unsur instansi pemerintah yang mempunyai tugas, pokok dan fungsi

pengelola sampah di Kabupaten Sampang dan unsur dari masyarakat diwakili oleh

ketua RW, Ketua RT dan lembaga swadaya masyarakat yang concern terhadap

pengelolaan sampah sedangkan dari unsur swasta diwakili oleh pengusaha yang

membantu dalam bidang pengelolaan sampah baik secara langsung ataupun tidak

langsung.

II.3.2.3 Proses Collaborative governance


Pendekatan collaborative governance yang berkembang dalam proses

pengambilan kebijakan menawarkan keterlibatan pemangku kepentingan dan

pengakomodasian segala kepentingan demi tercapaianya konsensus. Klaim dapat

menyelesaikan momok kebijakan yang acap kali sering terjadi antara lain

disebabkan oleh politisasi regulasi, pembengkakan anggaran, kegagalan

implementasi dan lain sebagainya Ansel & Gash (2007). Secara umum

collaborative governance muncul secara adaptif atau dengan sengaja diciptakan

secara sadar karena alasan-alasan sebagai berikut:

1. Kompleksitas dan saling ketergantungan antar institusi.

52

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

2. Konflik antar kelompok kepentingan yang bersifat laten dan sulit diredam.

3. Upaya mencari cara-cara baru untuk mencapai legitimasi politik.

Argumen lain dari Ansell and Gash (2007) yang menyatakan pentingnya

melakukan collaborative governance antara lain adalah karena:

1. Implementasi kebijakan yang gagal dilaksanakan di tataran lapangan.

2. Ketidakmampuan kelompok-kelompok terutama karena pemisahan regim-

regim kekuasan untuk menggunakan arena-arena institusi lainnya untuk

menghambat keputusan.

3. Mobilisasi kelompok yang memiliki kepentingan.

4. Biaya yang tinggi dan terdapat politisasi pada regulasi.

Di samping alasan-alasan tersebut, kemunculan dan tumbuh kembangnya

collaborative governance adalah sebagai sebuah alternatif bagi pemikiran-

pemikiran yang semakin luas tentang pluralisme kelompok kepentingan, Kedua,

adanya kegagalan-kegagalan akuntabilitas manajerialisme (terutama manajemen

ilmiah yang semakin di politisasi) dan kegagalan implementasinya.

Dalam model collaborative governance dari Ansel dan Gash melihat konsep

ini sebagai siklus dengan membaginya dalam beberapa tahap proses yang antara

lain adalah: (1) Starting Condition, (2) Collaboratif Process, (3) Institutional

Design, (4) Facilitative Leadership, dan Outcomes. Adapun gambar dari proses

collaborative governance dari Ansel & Gash tersebut dapat dilihat pada gambar

yang telah peneliti dapat sebagai berikut ini.

53

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Gambar II.1
Proses Collaborative governance Ansel & Gash
Sumber: Ansel & Gash, 2007

Pada Proses Collaborative governance dari Ansel & Gash (2007)

menjelaskan beberapa aspek-aspek penting dalam melihat dan menganalisa dari

Collaborative governance tersebut, aspek-aspek tersebut antara lain adalah sebagai

berikut:

54

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

1. Starting Condition

Kondisi yang ada pada awal collaborative dapat memfasilitasi atau

menghambat kerja sama di antara para pemangku kepentingan dan antara

lembaga dan pemangku kepentingan. Pada tahap ini ada tidaknya konflik,

kepercayaan antar aktor, yang menjadi sumberdaya, dan kewajiban-kewajiban

yang harus dilakukan dalan proses collaborative. Kondisi permulaan ini

memiliki tiga aspek didalamnya:

a. Power-Resource-Knowledge Asymetries. Jika beberapa pemangku

kepentingan tidak memiliki kapasitas, organisasi, status, atau sumber daya

untuk berpartisipasi secara setara dengan pemangku kepentingan lainnya,

proses tata kelola kolaboratif akan cenderung dimanipulasi oleh aktor yang

lebih kuat. Masalah ketidakseimbangan kekuasaan terutama bermasalah di

mana pemangku kepentingan penting tidak memiliki infrastruktur

organisasi untuk diwakili dalam proses tata kelola kolaboratif. Oleh karena

itu, collaborative sebaiknya memiliki strategi yang dapat merangkul semua

pemangku kepentingan yang merasa kurang terwakili dan lemah. Sehingga,

dengan adanya stategi tersebut, semua pihak dapat berpartisipasi aktif dan

memiliki peran penting dalam proses collaborative. Apabila strategi

tersebut tidak efektif, diperlukan adanya pemberdayaan kepada stakeholder

yang bersangkutan.

b. Insentif For and Constrain on Participation. Insentif dalam proses

collaborative akan didapat pelaku kepentinganyang terlibat dalam proses

collaborative saling bergantung satu sama lain. Dengan adanya rasa saling

55

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

brgantung tersebut, satu sama lain merasa dirinya tidak sendiri dalam

pencapaian tujuan.

c. Prehistory of Cooperation or Conflicts. Apabila diantara pemangku

kepentingan yang terlibat memiliki riwayat konflik sebelumnya,

collaborative tidak akan berjalan sebagaimana mestinya. Sejarah kerja

sama masa lalu yang sukses dapat menciptakan modal sosial dan tingkat

kepercayaan yang tinggi yang menghasilkan siklus collaborative yang

baik. Jika ada riwayat pertentangan di antara para pemangku kepentingan,

maka pemerintahan kolaboratif tidak mungkin berhasil kecuali ada tingkat

saling ketergantungan yang tinggi di antara para pemangku kepentingan

atau langkah-langkah positif diambil untuk memulihkan tingkat

kepercayaan yang rendah di antara para pemangku kepentingan.

2. Collaborative Process

Collaborative sering tampaknya bergantung pada pencapaian siklus yang

baik antara komunikasi, kepercayaan, komitmen, pemahaman, dan hasil (Huxham,

2003; Imperial, 2005). Proses collaborative adalah sebuah siklus yang diharapkan

dapat mencapai consensus atau collectively decision making. Berikut ini merupakan

siklus dalam proses collaborative:

1. Face-to-face dialogue atau dialog antarmuka ini penting guna

membangun kepercayaan, rasa menghargai satu sama lain, pemahaman

bersama, dan komitmen terhadap collaborative sebagai dasar untuk

membentuk consensus oriented. Melalui dialog antarmuka, selain untuk

56

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

bernegosiasi dapat juga menghilangkan stereotip atau persepsi buruk antar

aktor dan hambatan-hambatan lain yang dapat dikomunikasikan.

2. Trust Building, semua tata kelola kolaboratif dibangun berdasarkan dialog

tatap muka antara para pemangku kepentingan. Ini adalah jantung dari

proses membangun kepercayaan, saling menghormati, berbagi

pemahaman, dan komitmen untuk proses collaborative Gilliam et al

(2002).

3. Commitment to Process, meskipun terminologi yang digunakan agak

bervariasi dalam literatur, studi kasus menunjukkan bahwa tingkat

komitmen pemangku kepentingan untuk collaborative adalah aspek

penting dalam menjelaskan keberhasilan atau kegagalan Alexander,

Comfort dan Weiner (1998).

4. Shared Understanding, berbagi pemahman. Pada titik tertentu dalam

proses kolaboratif, para pemangku kepentingan harus mengembangkan

pemahaman bersama tentang apa yang secara kolektif dapat mereka capai

Bersama Tett Crowther dan O’Hara (2003). Atau dengan kata lain

menetapkan misi bersama.

5. Intermediate Outcomes, studi kasus menunjukkan bahwa collaborative

lebih mungkin terjadi ketika kemungkinan tujuan dan keuntungan

collaborative relatif konkret dan ketika "kemenangan kecil" dari

collaborative dimungkinkan (Chrislip dan Larson, 1994; Roussos dan

Fawcett, 2000; Warner, 2006; Weech-Maldonado dan Merrill 2000).

57

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

3. Facilitative Leadership

Kepemimpinan fasilitatif merupakan faktor penting untuk menyatukan para

pemangku kepentingan dan mengajak mereka untuk saling terlibat dalam semangat

kolaboratif (Chrislip dan Larson, 1994; Ozawa, 1993; Pine, Warsh dan Maluccio,

1998; Reilly, 2001; Susskind dan Cruikshank, 1987). Kepemimpinan memang

penting dalam hal pengorganisasian. Dengan adanya kepemimpinan, pemimpin

dapat memfasilitasi dialog dalam collaborative, dapat menggiring dan akhirnya

membangun kepercayaan antar pihak yang terlibat menjadi dasar pembuatan aturan

collaborative, menyatukan visi untuk meraih tujuan bersama, dan dapat merangkul

dan memberdayaan pihak yang memiliki posisi lemah.

4. Institusional Design

Desain kelembagaan merujuk pada protokol dasar serta aturan dasar untuk

collaborative, yang sangat penting untuk legitimasi prosedural dari proses

collaborative. Akses ke proses kolaboratif itu sendiri mungkin merupakan masalah

desain yang mendasar. Seperti yang ditulis oleh Chrislip dan Larson (1994). Desain

kelembagaan memiliki prinsip-prinsip yang harus dimiliki agar collaborative

berjalan sesuai dengan tujuan bersama. Pertama, hal yang paling mendasar yang

menjadi pertanyaan ialah siapa sajakah aktor yang terlibat dalam proses

collaborative.

Sementara itu, pendapat dari Emerson, Nabatchi dan Balogh (2011)

menyatakan bahwa collaborative governance memiliki tiga aspek yang harus

dipenuhi yaitu aspek system context, aspek drivers dan aspek dinamika

58

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

collaborative. Ketiga aspek tersebut digambarkan oleh Emerson et al. dalam sebuah

aspek ruang kotak seperti pada gambar II.4 yang dapat dilihat sebagai berikut:

Gambar II.2
Proses Collaborative governance Emerson, Nabtchi & Balogh
Sumber: Emerson, Nabtchi & Balogh, 2011

Dari gambar tersebut diatas, oleh emerson et al. dijelaskan lebih rinci mengenai

ketiga aspek tarsebut, aspek system context sebagai aspek yang pertama

digambarkan sebagai kotak terluar yang melingkupi legalitas, sosial, ekonomi,

politik dan lingkungan serta hal-hal yang berpengaruh terhadap collaborative

governance dari waktu ke waktu. Pada aspek ini terdapat tujuh elemen yakni:

sumber daya yang dimiliki (resource condition), kebijakan dan kerangka hukum

(policy and legal framework), konflik antar kepentingan dan tingkat kepercayaan

(level of conflict a trust), sosioekonomi, kesehatan, budaya, dan ragam atau potret

keadaan, kegagalan yang ditemui di awal (prior failure to address issue), dinamika

politik (political dynamic), serta jaringan yang terkait (network). Kedua, yakni

aspek driver merupakan suatu tindakan memutuskan atas suatu kebijakan yang

59

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

berasal dari hasil interaksi kolektif antar aktor, yang dapat diterima dan dilaksakan

atau ditolak, dalam aspek ini terdapat empat aspek yang diantaranya adalah:

1. Aspek Kepemimpinan, merupakan aspek yang menyiapkan sumber daya

dengan jalan melakukan negosiasi untuk menempuhnya.

2. Aspek Konsekuensi Insentif, pada aspek ini fokus perhatiannya pada

internal maupun eksternal organisasi setiap aktor seperti sumber daya,

kepentingan dan ancaman serta insituasional.

3. Aspek interdependensi, merupakan aspek dimana terdapat tindakan salah

satu aktor yang tidak mencapai kata sepakat diantara aktor-aktor lain yang

sudah bersepakat.

4. Aspek ketidakpastian dalam penanganan permasalahan publik yang dialami

oleh aktor

Selanjutnya adalah aspek yang ketiga yaitu aspek dinamika, yang

merepresentasikan suatu kondisi internal yang saling mendukung dan membantu,

pada aspek ini memliki tiga aspek yaitu kapasitas untuk bergabung dan bekerja

sama, motivasi yang dimilki serta adanya perjanjian yang harus ditaati.

Berdasarkan beberapa pendapat para ahli, peneliti dapat menarik suatu poin

pokok mengenai pengertian dan konsep collaborative governance adalah sebagai

suatu usaha dan respon pemerintah dalam kegiatan penanganan masalah publik,

manajemen pemerintahan dan pelaksanaan program pemerintahan lainnya dimana

pemerintah perlu melakukan kerja sama atau kemitraan dalam arti yang lebih luas

dengan masyarakat dan instansi swasta lainnya karena mengingat program/kegiatan

dan masalah yang dihadapi cukup kompleks.

60

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Ada juga yang berargumen bahwa kecenderungan dilakukannya collaborative

governance adalah tumbuhnya pengetahuan dan kapasitas institusi atau organisasi.

Seigler (2011) menyampaikan delapan prinsip utama dalam penerapan

collaborative governance:

1. Warga masyarakat harus turut dilibatkan dalam produksi barang publik,

2. Masyarakat harus mampu memobilisasi sember daya dan aset untuk

memecahkan masalah publik,

3. Tenanga professional harus berbagi keahlian mereka dengan untuk

memberdayakan warga masyarakat,

4. Kebijakan harus menghadirkan musyawarah publik,

5. Kebijakan harus mengandung kemitraan kolaboratif yang berkelanjutan,

6. Kebijakan harus strategis,

7. Kebijakan harus mengubah kelembagaan untuk pemberdayaan masyarakat

dan pemecahan masalah publik,

8. Kebijakan harus mengandung akuntabilitas

Konsep collaborative governance telah mendapatkan apresiasi yang tinggi pada

pergantian abad baru. Gagasan mode pengambilan keputusan publik yang bertumpu

pada collaborative di antara banyak aktor dan beragam, telah memasuki debat

ilmiah dan kebijakan tentang sifat negara di abad baru (Koontz dan Thomas, 2006;

dan Newman et al, 2004). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik,

gagasan collaborative governance harus dikontekstualisasikan dalam korpus

kontribusi empiris dan teoretis yang telah berteori pembongkaran negara-bangsa

secara bertahap dan tidak terhindarkan menurut Newman et al. (2004), yang sering

61

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

disebut dalam literatur hubungan internasional sebagai "pelenyapan" mereka,

membuka jalan menuju tatanan pasca Westphalia, dimana negara tidak menjadi

satu-satunya pemegang kekuasaan dan otoritas. Sehingga patut mempertimbangkan

pertanyaan dalam kondisi apa yang mungkin lebih menguntungkan untuk

menggunakan collaborative governance. Selanjutnya, merangkul sudut pandang

yang lebih berorientasi pada implementasi dan mengeksplorasi konteks atau

mekanisme atau hasil collaborative governance menurut (Fung, 2006; Ansell,

2012; Emerson dan Nabatchi, 2015; dan Bryson et al, 2017; serta Nabatchi, Sancino

dan Sicilia, 2017). Sehingga menurut Donahue dan Zeckhauser (2011)

Collaborative governance adalah suatu kondisi, dimana pemerintah dalam

mengimplementasikan kebijakan publik melalui collaborative dengan swasta,

organisasi atau individu. Sehingga Collaborative governance dapat dilihat dengang

4 hal sebagai berikut:

1. Collaboration for Productivity

Collaborative antara pemerintah, masyarakat dan swasta adalah cara yang

paling menjanjikan (menguntungkan) dalam meningkatkan produktivitas, sesuai

dengan target yang telah ditentukan.

2. Collaboration for Information

Informasi merupakan faktor yang penting untuk pencapaian misi publik dalam

melakukan collaborative antara pemerintah, masyarakat dan swasta, maka

melakukan collaborative merupakan sebuah keharusan, bukan pilihan. Dalam hal

ini pemerintah dapat dengan mudah memperoleh informasi yang diperlukan dengan

kecepatan yang wajar, dengan biaya terjangkau, dan alasan yang masuk akal.

62

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

3. Collaboration for Resources

Kelangkaan sumber daya merupakan sebuah fakta dalam pemerintahan modern

saat ini. Sehingga melakukan collaborative adalah sebuah motif yang sangat umum,

dengan demikian, peningkatan sumber daya dari pemerintah dapat terisi melalui

collaborative antara swasta dan masyarakat yang memiliki kepentingan dan

kemampuan dalam sebuah usaha mencapai kebijakan publik.

4. Collaboration for Legitimacy

Collaborative governance merupakan cara dimana menggunakan sektor swasta

untuk menghasilkan nilai publik sehingga dapat menumbuhkan legitimasi, baik

sebagai tujuan untuk memuaskan publik dari nilai suatu usaha maupun

kemungkinkan untuk membuat program pemerintah yang bergantung pada keahlian

dan energi dari entitas swasta.

Dari keempat teori yang telah disajikan sebelumnya yaitu teori yang

dikembangkan oleh Anshel dan Gash (2007), Emerson, Nabtchi dan Balogh (2011),

Seigler (2011) dan Donahue dan Zeckhauser (2011), maka penelitian ini memilih

menggunakan teori yang dikembang oleh Donahue dan Zeckhauser (2011). Teori

tersebut digunakan sebagai pisau analisa dalam melihat proses collaborative

governance yang dielaborasi dengan teori implementasi kebijakan, karena

keduanya memiliki keterikatan dalam kriteria tinjauan analisanya guna melihat

permasalahan pengelolaan sampah dengan sistem zero waste di Kabupaten

Sampang yang berfokus pada wilayah Kecamatan Sampang.

63

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

II.3.3 Kebijakan Publik

Sebelum membahas tentang implementasi kebijakan publik, akan dibahas

sedikit mengenai definisi dari kebijakan publik, dimana terdapat banyak literatur

ilmu politik yang berusaha mendefinisikan mengenai pengertian kebijakan publik,

masing-masing mendefinisikan berdasarkan latar belakang para ahli sehingga

memberikan penekanan yang berbeda pada setiap definisi. Terdapat beberapa

definisi yang sangat luas, dimana kebijakan adalah "apa pun yang dipilih

pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan" Dye (1987), "Hubungan unit

pemerintahan dengan lingkungannya" Eyestone (1971), atau "tindakan, tujuan, dan

pernyataan pemerintah tentang hal-hal tertentu, langkah-langkah yang mereka

ambil (atau gagal ambil) untuk mengimplementasikannya, dan penjelasan yang

mereka berikan untuk apa yang terjadi (atau tidak terjadi)" Wilson (2006).

Definisi tersebut akurat dalam artian mencakup hampir semua hal yang

dapat dianggap sebagai kebijakan publik, tetapi masih begitu umum sehingga tidak

banyak menyampaikan gagasan tentang apa yang membuat studi kebijakan berbeda

dari ilmu politik, ekonomi kesejahteraan, atau administrasi publik. Definisi yang

lebih sempit dari Anderson (1994) mengungkapkan bahwa kebijakan sebagai

tindakan yang disengaja atau tidak disengaja yang dilakukan oleh aktor atau

serangkaian aktor dalam menangani masalah atau masalah yang menjadi perhatian.

Definisi ini menyiratkan seperangkat karakteristik yang membedakan dari

kebijakan publik. Kebijakan tidak acak tetapi bertujuan dan berorientasi pada tujuan

yang dibuat oleh otoritas publik dan kebijakan publik terdiri dari pola tindakan yang

diambil dari waktu ke waktu, sehingga kebijakan publik adalah produk dari

64

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

permintaan, tindakan yang diarahkan pemerintah dalam menanggapi tekanan

tentang beberapa masalah yang dirasakan, kebijakan publik bisa positif (tindakan

disengaja) atau negatif (keputusan yang sengaja tidak mengambil tindakan).

Terkadang hasil dari suatu kebijakan dinilai mengecewakan, atau bahkan

lebih buruk menurut Bovens dan Hart (1996). Khususnya dalam penilaian yang

diungkapkan dalam perbedaan analitis antara hasil dan output, antara konten dan

proses yang tidak selalu dibuat. Reaksi standar terhadap hasil kebijakan yang dirasa

mengecewakan adalah menyalahkan para pelaksana kebijakan itu. Namun, Suatu

kebijakan tidak akan dapat dirasakan apabila program tersebut tidak

diimplementasikan. Oleh karenanya, keputusan suatu program kebijakan yang

diimplementasikan harus dapat dijadikan sebagai solusi alternatif dalam

menyelesaikan masalah yang ada, yang dilaksanakan oleh lembaga-lembaga

administrasi pemerintah dari atas hingga tingkat bawah. Dari serangkaian

implementasi kebijakan tersebut, implementasi kebijakan sering kali dikaitkan

dengan serangkaian proses administrasi yang mengawal suatu kebijakan dalam

mencapai tujuan sesuai target yang telah ditetapkan. Edward (1980)

mengungkapkan bahwa dalam studi implementasi kebijakan publik sangat penting

untuk studi administrasi publik dan kebijakan publik. Implementasi kebijakan

seperti yang telah ada, adalah tahap pembuatan kebijakan antara penetapan

kebijakan seperti pengesahan undang-undang, penerbitan perintah eksekutif,

pelaksanaan keputusan pengadilan atau diundangkannya peraturan yang memiliki

konsekuensi kebijakan terhadap orang-orang yang terkena dampaknya, dengan

65

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

demikian proses implementasi kebijakan memiliki berbagai aspek dan faktor yang

mempengaruhinya.

II.3.4 Implementasi Kebijakan Publik

Menurut Van Meter dan Van Horn (1975), implementasi kebijakan publik

adalah sebuah tindakan dari organisasi publik dalam mencapai tujuan sesuai yang

telah ditetapkan sebelumnya. Kemudian Van Meter dan Van Horn (1975)

mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan secara linear dari kebijakan

publik, implementor dan kinerja kebijakan publik. Menurutnya terdapat karakter

yang berbeda dari literatur kebijakan publik yang memperumit tugas untuk

mendefinisikan ruang lingkup analisis kebijakan dan menertibkan kepentingan

analis kebijakan. Beberapa urutan dapat dicapai dengan menggunakan model

sistem penyampaian kebijakan, yang memfasilitasi organisasi literatur kebijakan,

yaitu:

1. The environment of the system

Lingkungan yang merangsang pejabat pemerintah dan menerima produk

dari pekerjaan mereka;

2. Demands and resources

Tuntutan dan sumber daya yang membawa rangsangan dari lingkungan

kepada pembuat kebijakan;

3. Conversions process

66

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Proses konversi, termasuk struktur formal dan prosedur pemerintah, yang

mengubah (mengkonversi) permintaan dan sumber daya menjadi kebijakan

publik;

4. Policy

Kebijakan yang mewakili tujuan formal, maksud, atau pernyataan pejabat

pemerintah;

5. Performance

Kinerja kebijakan yang sebenarnya disampaikan kepada klien; dan

6. Feed back

Umpan balik kebijakan dan kinerja terhadap lingkungan, yang dikirim

kembali ke proses konversi sebagai tuntutan dan sumber daya dari titik

waktu selanjutnya.

Dalam banyak hal kerangka kerja tersebut sedikit berbeda dari adaptasi lain

dari model sistem politik yang pertama kali diperkenalkan oleh Easton (1965) Fitur

yang membedakannya adalah bahwa ia menganggap 'kebijakan' dan 'kinerja'

sebagai dua kategori yang berbeda

Model yang diperkenalkan Van Metter dan Van Horn (1975) adalah

menempatkan enam aspek yang membentuk keterkaitan antara kebijakan dan

kinerja. Model ini tidak hanya menentukan hubungan antara aspek independen dan

aspek dependen utama, tetapi juga membuat eksplisit hubungan antara aspek

independen. Keterkaitan termasuk secara implisit mewakili hipotesis yang dapat

diuji secara empiris, dengan asumsi bahwa indikator yang memuaskan dapat

dibangun dan data yang sesuai dikumpulkan. Dengan mendekati masalah dengan

67

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

cara ini, ada janji yang lebih besar untuk menjelaskan proses di mana keputusan

kebijakan dilakukan daripada hanya dengan mengkorelasikan aspek independen

dan dependen dalam cara yang relatif tidak terpikirkan Van Meter dan Asher

(1973). Menurut Van Meter dan Van Horn ada enam aspek yang mempengaruhi

kinerja kebijakan publik tersebut seperti yang dapat dilihat pada Error! Reference

source not found. sebuah model proses implementasi kebijakan.

Gambar II.3
Sebuah Model Proses Implementasi Kebijakan
Sember: Van Metter dan Van Horn (1975)

Dari gambar tersebut dapat dijelaskan bahwa keenam aspek yang

mempengaruhi proses implementasi kebijakan adalah sebagai berikut:

1. Standards and objectives

Implementasi kebijakan memliki standar yang dapat diukur tingkat

keberhasilannya jika ukuran dan tujuan dari kebijakan memang realistis dengan

sosiokultur yang ada pada level pelaksana kebijakan dan ketika ukuran

kebijakan atau tujuan kebijakan sudah ideal untuk dilaksanakan dilevel

68

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

masyarakat, dari kedua standar tersebut dapat dimungkinkan agak sulit

memang merealisasikan kebijakan publik hingga titik yang dapat dikatakan

berhasil.

2. Resources

Kemampuan yang besar dalam memanfaatkan sumber daya yang tersedia dapat

menentukan tingkat keberhasilan dalam proses implementasi kebijakan dan

salah satu contoh sumber daya yang penting sebagai penentu keberhasilahan

adalah sumber daya manusia.

3. Interorganizational communication and enforcement activities

Semakin baik dan lancarnya tingkat koordinasi dan komunikasi diantara semua

pihak yang terlibat dalam proses implementasi kebijakan, memperkecil

terjadinya kesalahan dan juga sebaliknya, karenanya komunikasi antar

organisasi dalam aktivitas pelaksanaan kebijakan merupakan mekanisme yang

ampuh dalam implementasi kebijakan publik.

4. Characteristics of Implementation agencies

Karakteristik dan ciri-ciri dari agen pelaksana sangat berpengaruh terhadap

kinerja implementasi, sehingga menjadikan perhatian penuh untuk mengenali

agen pelaksana yang terlibat, agen pelaksana ini meliputi organisasi formal dan

informal.

5. The disposition of implementors

Sikap kecenderungan dari para pelaksana terhadap kebijakan yang akan

diimplementasikan yaitu berupa sikap penerimaan atau penolakan dari

pelaksana akan berpengaruh besar dalam mencapai keberhasilan atau tidaknya

69

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

proses implementasi. Hal ini sangat mungkin terjadi karena kebijakan yang

akan diimplementasikan tersebut bukanlah berasal dari formulasi masyarakat

(Bottom Up) atas masalah-masalah yang dihadapi

6. Economic, social and political conditions

Lingkungan sosial, ekonomi dan politik Sejauh mana lingkungan eksternal

turut mendorong keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan.

Lingkungan sosial ekonomi dan politik yang tidak kondusif dapat menjadi

biang keladi dari kegagalan kinerja implementasi kebijakaan. Karena itu upaya

untuk mengimplementasikan kebijakan harus pula memperhatikan

kekondusifan kondisi lingkungan eksternal.

Selain itu, Bardach (1977) mengungkapkan bahwa proses implementasi

perlu dianggap melibatkan “permainan”, dan ia menguraikan berbagai macam

permainan yang mungkin dimainkan. Karenanya disarankan kepada top terdiri dari

dua set rekomendasi. Salah satunya menyangkut perlunya kehati-hatian dalam

proses “penulisan skenario”, sehingga dapat menyusun permainan dengan cara

yang benar untuk mencapai hasil yang diinginkan. Resep lain dari Bardach adalah

perhatian perlu diberikan pada “memperbaiki permainan”. Ini melibatkan dua

penggunaan terkait dalam pengertian “memperbaiki”, Oleh karena itu, Bardach

(1977) memaparkan pandangan bahwa implementasi adalah proses “politik”, dan

bahwa “implementasi”' yang sukses dari perspektif top down harus melibatkan

“tindak lanjut” yang sangat lengkap. Dalam pengertian ini dia kritis terhadap

rasionalisme “yang terluka” yang disuarakan oleh Pressman dan Wildavsky yang

tampak sedih tentang kemampuan Oakland untuk membuat frustrasi Washington.

70

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Selanjutnya, Bardach (1998) kembali ke perspektif implementasi yang ia

kembangkan sebelumnya dengan melihat penekanan kuat pada sektor informal,

pekerja level bawah yang dipandang sebagai “pengrajin”, seringkali dengan

komitmen terhadap pekerjaan mereka, yang harus disatukan ketika collaborative

diperlukan, bukan dengan perangkat formal melainkan dengan dorongan dari

pendekatan bersama untuk pemecahan masalah.

Selanjutnya, Menurut Edward (1980) terdapat empat aspek penting yang

sangat berpengaruh terhadap kegagalan dan keberhasilan implementasi kebijakan

publik yang harus diperhatikan. Keempat aspek tersebut adalah komunikasi

(communication), sumber daya pelaksana (resources), disposisi birokrasi

(disposition) dan struktur birokrasi (bureaucratic structure), untuk lebih

lengkapnya gambar dari proses implementasi dapat dilihat dibawah ini sebagai

berikut:

Gambar II.4
Proses Implementasi Menurut Edward III Tahun 1980

Sumber: Edward (1980)

Kempat aspek tersebut memiliki keterkaitan satu sama lain dalam mencapai

tujuan dan sasaran pada suatu kebijakan. Antar aspek saling bersinergi dan saling

71

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

berpengaruh dalam mencapai tujuan. Keempat aspek tersebut adalah sebagai

berikut:

a. Komunikasi (communication)

Kesepahaman antar pelaku implementasi kebijakan terhadap target dan

tujuan yang telah ditetapkan bersama dari sebuah kebijakan dapat

mempengaruhi efektifitas dari implementasi kebijakan. Kesepahaman dapat

terwujud melalui komunikasi yang cukup diantara pelaku implementasi,

sehingga berpengaruh terhadap keberhasilan implementasi kebijakan.

b. Sumber Daya Pelaksana (resources)

Menurut Edward (1980) mengemukakan bahwa faktor sumber daya terdiri

dari sumber daya manusia, pendanaan, peralatan dan kewenangan yang

berpengaruh dalam implementasi kebijakan.

c. Disposisi (disposition)

Disposisi merupakan sebuah bentuk kecenderungan dukungan atau tidak

terhadap pelaksanaan suatu program yang mempengaruhi tingkat efektif dan

efisiensi dalam pencapaian tujuan dari suatu program.

d. Struktur Birokrasi (bureaucratic structure)

Struktur birokrasi terbagi menjadi dua karakteristik dalam implementasi

kebijakan yaitu Standard Operating Procedure (SOP) dan Fragmentasi. SOP

merupakan panduan prosedur kerja bagi pelaksana implementasi kebijakan dan

juga untuk memaksimaslkan waktu pelaksanaan. Sedangkan yang dimaksud

fragmentasi adalah pendistribusian tanggung jawab diantara pelaksana

kebijakan sehingga memerlukan koordinasi.

72

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Implementasi kebijakan dengan teori Edward ini marak digunakan pada

metode penelitian kualitatif sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Amir

& Anto (2018) dengan judul penelitian A Study Policy Implementation Of Waste

Management In Konawe Regency-Indonesia, yang menggunakan metode

penelitian kualitatif, seperti yang telah diuraikan sebelumnya pada anak sub bab

penelitian terdahulu. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan empat aspek

penting yang dikemukakan oleh Edward (1980) sebagai pisau analisanya dengan

metode kualitatif. Selain itu, teori tersebut merupakan teori implementasi yang

paling mendekati pada proses – proses collaborative yang menghadirkan semua

aktor governance yang terlibat, seperti aspek komunikasi yang didalamnya

terdapat keterlibatan masyarakat dan swasta, begitupun juga pada tiga aspek

lainnya. Sehingga teori ini sangat memungkinkan untuk dielaborasikan dengan

teori collaborative governance guna menganalisa dan mendeskripsikan

kebijakan pengelolaan sampah sistem zero waste di Kabupaten Sampang.

II.3.5 Pengelolaan Sampah dengan Sistem Zero Waste

Sebelum membahas tentang pengelolaan sampah dengan sistem zero waste,

akan dibahas sedikit mengenai definisi sampah, yang dalam Undang-undang no 18

tahun 2008 telah dijelaskan mengenai definisi sampah yaitu semua sisa atau hasil

dari kegiatan manusia sehai-hari dan atau yang diakibatkan dari proses alam dalam

bentuk padat, sedangkan menurut Kumar (2016) sampah adalah bahan apa pun

yang tidak dapat digunakan setelah dimanfaatkan oleh individu. Sampah dihasilkan

oleh manusia, hewan, atau tanaman, atau dari proses alami maupun buatan. Sabata

et al. (2005) berpendapat bahwa Sampah adalah segala sesuatu yang dihasilkan

73

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

sebagai konsekuensi yang tidak diinginkan dari aktivitas manusia, secara umum,

dari semua makhluk hidup

Sampah memiliki banyak bentuk, seperti sampah perkotaan, sampah yang

dapat terurai secara biologis, sampah non-biodegradable, limbah kimia, limbah

konstruksi dan pembongkaran, limbah elektronik, limbah biomedis, air limbah,

lumpur, limbah beracun, limbah industri, limbah makanan, dan sebagainya.

Setiap sampah yang dalam keadaan fisik padat atau setengah padat disebut

limbah padat. Sumber limbah padat termasuk rumah tangga, tempat umum,

lembaga komersial, rumah sakit, industri, limbah setengah padat dari pabrik air

limbah, industri elektronik, dan sebagainya. Komposisi sampah yang terdiri dari

barang-barang sehari-hari yang berguna untuk keperluan umum yang telah dibuang

menurut Kumar (2016) adalah seperti sampah organik, plastik, kertas, kain, limbah

elektronik, limbah inert seperti sampah konstruksi dan pembongkaran, dan

sebagainya. Adapun komposisi sampah yang dikelola di Kabupaten Sampang

menurut data dari Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Sampang Tahun 2019

terdiri dari sampah makanan, daun/ranting, plastik/botol plastik, kain dan lain-lain,

yang sampai saat ini masih menjadi permasalahan yang harus diahadapi di

Kabupaten Sampang.

Konsep tata pemerintahan yang kolaboratif telah memfokuskan perhatian di

bidang tata kelola lingkungan, karena masalah lingkungan sangat kompleks dan

multiaspek, yang dampaknya meluas diberbagai tingkatan, mulai dari wilayah lokal

sampai ke global, dan mempengaruhi berbagai bidang sistem masyarakat serta fisik

dan lingkungan alam. Untuk alasan ini, solusi atas masalah-masalah seperti polusi

74

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

udara, tanah, dan air, perubahan iklim, bencana alam, pembuangan limbah, dan

sebagainya tidak dapat secara efektif ditangani oleh satu tingkat dan jenis otoritas.

Sebaliknya, kompleksitas tersebut dapat dikelola dengan mengumpulkan

pengetahuan dan keterampilan para ahli, pengalaman profesional dan hidup, dan

wawasan dari aktor yang luas, termasuk pembuat kebijakan diberbagai tingkat

pemerintahan, asosiasi nonpemerintah, pakar sektor bisnis, kelompok akar rumput,

dan pengguna akhir. Oleh karena itu, pengaturan collaborative governance

menumbuhkan pemahaman multiaspek tentang masalah lingkungan yang dapat

mendukung penyelesaian masalah yang lebih responsif melalui pengembangan

solusi bersama. Dalam hal ini, pentingnya partisipasi para aktor yang diberkahi dari

pengetahuan yang memadai untuk lebih mendekati masalah ini telah digarisbawahi

menurut Gerlak dan Heikkila (2006).

Sampah adalah segala material padat dalam pola aliran material yang ditolak

oleh masyarakat, sedangkan manajemen dapat didefinisikan sebagai penggunaan

sarana yang bijaksana untuk mencapai tujuan. Menurut Pfeffer (1992) pengelolaan

sampah adalah penghapusan material yang ditolak dari pola aliran material, karena

tidak lagi berguna bagi populasi dan tidak memiliki nilai intrinsik bagi masyarakat,

oleh karena itu harus dibuang, dan jika tidak dibuang dengan benar, akan menjadi

sumber masalah potensial bagi lingkungan dan masyarakat, sedangkan menurut

Undang-undang no 18 tahun 2008 pengelolaan sampah adalah kegiatan yang

dilaksanakan secara sitematis, kemprehensif dan berkelanjutan yang berkenaan

dengan pengurangan dan penanganan terkait sampah. Di era prasejarah,

bahan/sampah dibuang dimana setelah digunakan, dan karena banyak masyarakat

75

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

yang nomaden, mereka pindah dari sampah mereka. Sekarang tidak mungkin lagi

hal tersebut dilakukan, jadi sampah tersebut harus dihilangkan dari kontak dengan

populasi.

Pendekatan pengelolaan sampah dan polusi dapat digambarkan sebagai strategi.

Di tingkat kota, strategi-strategi ini secara tradisional bergantung pada praktik

pembuangan (terutama penimbunan dan pembakaran), sedangkan industri telah

menggunakan langkah-langkah menengah perawatan dan stabilisasi sampah yang

lebih berbahaya. Namun, strategi tersebut memiliki dua kelemahan:

1. Membutuhkan biaya berkelanjutan yang terkait dengan operasi dan

pemeliharaan dan dalam penggunaan energi, banyaknya biaya dan

kewajiban tersembunyi yang harus ditanggung.

2. Pelepasan komponen infeksius, toksik, dan berbahaya ke lingkungan

berlanjut selama bertahun-tahun, yang menimbulkan risiko kesehatan

jangka panjang bagi publik dan membahayakan lingkungan karena bentuk

limbahnya hanya ditransformasikan dan tidak sepenuhnya dihilangkan atau

tidak dapat digerakkan sepenuhnya.

Strategi pengelolaan sampah yang baik harus didasarkan pada upaya

pencegahan untuk memberantas kedua kelemahan diatas dengan jalan

menghilangkan sampah pada sumbernya. Ketika kita melihat langkah strategi yang

tersedia, hirarki umum berdasarkan kewajiban jangka panjang atau risiko yang

terkait dengan pengelolaan sampah dan biaya yang terkait dengan masing-masing

menjadi jelas. Menurut Cheremisinoff (2003) Hirarki penanganan sampah adalah

sebagai berikut:

76

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

1. Pencegahan, strategi ini mencegah limbah agar tidak terbentuk sejak awal.

2. Daur ulang, yang terdiri dari pemulihan sumber daya dan konversi limbah

ke energi. Yaitu, daur ulang penggunaan kembali bahan, pemulihan sampah

tertentu untuk digunakan kembali (dikenal sebagai pemulihan sumber

daya), dan konversi jenis sampah tertentu menjadi energi yang bermanfaat

seperti panas, listrik, dan air panas adalah strategi yang memulihkan dan

menekan biaya untuk pengelolaan sampah secara keseluruhan.

3. Pengolahan, ketika sampah tidak dapat dicegah atau diminimalkan melalui

penggunaan kembali atau daur ulang, maka kita perlu mengejar strategi

yang bertujuan mengurangi volume dan / atau toksisitas.

4. Pembuangan, satu-satunya strategi lain yang tersedia adalah pembuangan.

Praktik pembuangan sampah diintegrasikan ke dalam strategi pengelolaan

lingkungan semua kota, merupakan bagian integral dari sebagian besar

operasi manufaktur, dan cukup sering merupakan komponen biaya langsung

tertinggi.

Adapun hirarki pengelolaan sampah dalam hal penanganan sampah menurut

Undang-undang no 18 tahun 2008 adalah sebagai berikut:

1. Pemilahan, merupakan kegiatan pemisahan dan pengelompokan sampah

berdasarkan jenis, dan/atau sifat sampah pada sumber sampah yaitu

ditingkat rumah tangga, perkantoran, rumah usaha dan lain sebagainya.

2. Pengumpulan, yaitu kegiatan pemindahan sampah dari sumber sampah ke

tempat penampungan sementara dan/atau tempat pengolahan sampah

terpadu.

77

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

3. Pengolahan, adalah kegiatan mengubah karakteristik, komposisi, dan

jumlah sampah dengan sistem 3R yaitu Reduce, Reuse dan Recycle, sistem

3R ini merupakan tahapan atau proses utama yang yang harus dilaksanakan

agar tercapai target yang telah ditentukan dalam sistem zero waste.

4. Pemrosesan akhir, yaitu kegiatan yang dilakukan pada residu hasil

pengolahan sampah dengan jalan pengembalian sampah ke media

lingkungan secara aman. Pada kegiatan pengelolaan sampah yang terakhir

ini dapat diketauhi sajauh mana tingkat keberhasilan dalam penerapaan

sistem zero waste, dimana sampah / residu yang masuk kedalam TPA harus

berjumlah kecil atau sedikit.

Istilah "zero waste" sendiri pertama kali digunakan oleh Dr. Paul Palmer pada

tahun 1973 untuk memulihkan sumber daya dari bahan kimia Palmer (2004). Dalam

sistem zero waste, aliran material melingkar, yang berarti bahan yang sama

digunakan berulang kali hingga tingkat konsumsi optimal. Tidak ada bahan yang

terbuang atau kurang digunakan dalam sistem sirkuler (Murphy dan Pincetl, 2013;

Mason et al., 2003; Colona dan Fawcett, 2006). Oleh karena itu, pada akhir masa

pakainya, produk digunakan kembali, diperbaiki, dijual atau didistribusikan

kembali dalam sistem. Jika penggunaan ulang atau perbaikan tidak memungkinkan,

mereka dapat didaur ulang atau dipulihkan dari aliran limbah dan digunakan

sebagai input, menggantikan permintaan untuk ekstraksi sumber daya alam (Curran

dan Williams, 2012; Matete dan Trois, 2008). Zero waste merupakan pergeseran

dari model pengelolaan sampah “tradisional” dimana sampah dianggap sebagai

norma, ke sistem terintegrasi dimana segala sesuatu memiliki penggunaannya.

78

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Konsep zero waste adalah cara yang efektif untuk menyelesaikan masalah

limbah padat. Zero waste adalah usaha untuk mendorong desain ulang siklus hidup

sumber daya sehingga semua produk digunakan kembali. Saat ini, banyak upaya

berarti yang telah dilakukan di kota-kota, perusahaan, dan individu, dengan

memberikan banyak saran bagus bagi kita untuk mewujudkan zero waste di masa

depan.

Sehingga yang dimaksud pengelolaan sampah dengan sistem zero waste

dalam penelitian ini adalah kegiatan pengurangan dan penanganan sampah yang

dilaksanakan dengan tahap pemilahan, pengumpulan, pengolahan dan pemrosesan

akhir secara kemprehensif dan berkelanjutan, dengan tujuan meniadakan atau

memperkecil sampah/residu yang masuk ke TPA atau tahap pemrosesan akhir.

Selanjutnya, dari pengertian pengelolaan sampah dengan sistem zero waste akan

dilihat bagaimana implementasi kebijakan tersebut, yang akan dihabas dalam sub

bab selanjutnya.

II.4 Keterkaitan Collaborative governance dan Implementasi Kebijakan

Collaborative governance merupakan upaya kerjasama antar lintas aktor

dalam melaksanakan suatu kebijakan yang ditujukan untuk menyelesaikan suatu

masalah secara bersama-sama, berangkat dari uraian yang ada, maka terdapat

sebuah keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung antara

collaborative governance dan implementasi. Peneliti mencoba menghubungkan

aspek collaborative dengan sebuah implementasi yang digunakan sebagai pisau

analisa guna melihat collaborative governance dalam implementasi kebijakan

pengelolaan sampah dengan sistem zero waste di Kabupaten Sampang dengan

79

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

lokasi penelitian di Kecamatan Sampang. Adapun untuk mempermudah pembaca

dalam melihat keterkaitan tersebut peneliti membuat sebuah tabel yang dapat dilihat

sebagai berikut.

80

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

Tabel II.2
Collaborative governance dalam Implementasi Kebijakan Pengelolaan Sampah dengan Sistem Zero Waste di Kabupaten
Sampang

No Collaborative governance Implementasi


Donahue dan Zeckhauser (2011) Edward (1980)
1 - Collaboration for Resources, sumber daya yang digunakan pada aspek komunikasi ini terdapat dua Aspek Komunikasi
bagian yaitu internal dan eksternal, untuk bagian internal, komunikasi dilakukan antar lembaga
pemerintah yang terlibat dalam pengelolaan sampah. Sedangkan pihak eksternal, komunikasi
dilakukan dengan jalan sosialisasi maupun pelatihan kepada masyarakat dan pihak swasta.
- Collaboration for Information, keberadaan informasi merupakan suatu hal yang sangat diperlukan
dalam mengejar efisiensi, akuntabilitas, dan keadilan. Pada aspek komunikasi ini collaboration for
information dilakukan melalui sosialisasi dan pelatihan.
- Collaboration for Productivity, untuk meningkatkan produktifitas pada aspek komunikasi,
diperlukan informasi yang selalu up to date terkait pengelolaan sampah baik itu dibidang teknologi
pengolahan sampah hingga informasi market penjualan hasil olahan sampah.
- Collaboration for Legitimacy, pada konteks ini, komunikasi sangat diperlukan untuk melegitimasi
hubungan antara pemerintah dengan masyarakat dan swasta dimana keputusan yang diambil dapat
diterima atau ditolak oleh masyarakat dan swasta.
2 - Collaboration for Productivity, pada aspek sumber daya ini sangat diperlukan dalam menentukan Aspek Sumber
tingkat produktifitas yang meliputi sumberdaya pendanaan dan peralatan Daya
- Collaboration for Information, pada pelaksanaan kebijakan, informasi merupakan sumberdaya yang
penting. Terdapat dua bentuk informasi yaitu informasi mengenai bagaimana cara mengetahui dan
menyelesaikan suatu program dan informasi pendukung yang dibutuhkan seperti mengerti akan
peraturan-peraturan dalam pengelolaan sampah.
- Collaboration for Resources, Kelangkaan sumber daya dapat terisi melalui collaborative antara
pemerintah, swasta dan masyarakat.

81

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

- Collaboration for Legitimacy, pada tahap ini, sumber daya kewenangan dibutuhkan untuk
melegalkan suatu program.
3 - Collaboration for Productivity, peningkatan produktivitas dapat ditempuh dengan jalan collaborative Aspek Disposisi
antara pemerintah, masyarakat dan swasta, sesuai dengan target yang telah ditentukan. Dalam hal ini
pemerintah mendisposisikannya dengan memanfaatkan keuntungan sektor swasta melalui kontrak
sederhana.
- Collaboration for Information, informasi sangat dibutuhkan sebelum dikeluarkannya disposisi,
seperti informasi mengenai teknologi pengolahan sampah yang cocok untuk diterapkan dan lain
sebagainya.
- Collaboration for Resources, pendisposisian digunakan untuk menetukan pelaksana program, baik
pada tataran pemerintah, masyarakat dan swasta.
- Collaboration for Legitimacy, pada tingkat ini, disposisi sangat diperlukan guna melegitimasi sebuah
program, dengan jalan menjadikan program prioritas, menempatkan pelaksana yang sesuai, hingga
disposisi penyedian dana insentif bagi pelaksana program.
4 - Collaboration for Productivity, kesesuaian struktur birokrasi yang memiliki karakteristik, norma- Aspek Struktur
norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dapat meningkatkan produktifitas dalam Birokasi
pelaksanaan program.
- Collaboration for Information, informasi dibutuhkan berkenaan dengan struktur organisasi yang akan
dipilih untuk digunakan dalam melembagakan suatu program.
- Collaboration for Resources, sumber daya dibutuhkan guna menempatkan pelaksana program yang
sesuai dalam suatu struktur badan pelaksana program dan proses hirarki arus informasi diantara
pelaksana program
- Collaboration for Legitimacy, dalam proses collaborative yang terstruktur tentunya memiliki
standard operation procedure (SOP) dalam kesepakatan bersama yang telah melembaga, sehingga
menghasilkan nilai publik yang dapat menumbuhkan legitimasi.
Sumber: diolah oleh peneliti, 2020

82

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

II.5 Definisi Konsep

Definisi konsep merupakan sintesis dari sejumlah kesimpulan terhadap

suatu kerangka teori tertentu yang dapat diterapkan, sehingga konsep membawa

suatu arti yang mewakili dari sejumlah teori yang mempunyai ciri yang sama dan

membentuk suatu kesatuan pengertian tentang suatu hal atau persoalan yang

dirumuskan. Definisi konsep pada penelitian ini digunakan untuk menggambarkan

dan mendeskripsikan suatu konsep penelitian terhadap proses collaboration

governance dalam implementasi kebijakan pengelolaan sampah dengan sistem zero

waste. Adapun konsep-konsep tersebut adalah sebagai berikut:

1. Collaborative governance

Pengertian governance bisa diartikan sebagai mekanisme tata kelola antara

pemerintah dan non pemerintah dalam mengatur sumber daya yang ada.

Selanjutnya, Collaborative governance adalah serangkaian kegiatan antara

pemerintah, masyarakat dan swasta bekerja bersama – sama, sesuai tanggung jawab

dan peran masing-masing dalam mencapai tujuan bersama.

2. Implementasi Kebijakan Publik

Implementasi kebijakan adalah proses pelaksanaan dari sebuah kebijakan

yang telah ditetapkan sebelumnya oleh lembaga pemerintah, yang diarahkan untuk

mencapai tujuan

3. Pengelolaan Sampah dengan Sistem Zero Waste

Pengelolaan sampah adalah merupakan material yang tidak memiliki nilai,

tidak bermanfaat dan tidak berguna bagi manusia. Sehingga harus dihapus dari pola

83

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

aliran material dengan jalan dibuang. Karena hal tersebut dapat menimbulkan

masalah bagi lingkungan dan masyarakat jika tidak dibuang dengan benar.

II.6 Kerangka Konseptual

Kerangka konseptual merupakan penjabaran dari skema berpikir yang

digunakan untuk melihat proses collaborative governance dalam implementasi

kebijakan pengelolaan sampah di Kabupaten Sampang. Adapun untuk

mempermudah pembaca dalam melihat skema kerangka konseptual yang ada pada

penelitian ini, maka akan ditampilkan gambar dari kerangka konseptual tersebut

dibawah ini:

84

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I


IR - PERPUSTAKAAN UNIVERSITAS AIRLANGGA

- Undang – undang No. 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah


- Pasal 19 pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga terdiri atas pengurangan sampah dan penanganan sampah
- Pasal 20 pengurangan sampah meliputi pembatasan timbulan sampah, pandauran ulang sampah dan atau pemanfaatan kembali sampah
- Pasal 22 penanganan sampah meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan dan pemroesan akhir

Pengelolaan sampah dengan sistem zero waste adalah kegiatan pengurangan dan penanganan sampah yang dilaksanakan dengan tahap
pemilahan, pengumpulan, pengolahan dan pemrosesan akhir secara kemprehensif dan berkelanjutan, dengan tujuan meniadakan atau
memperkecil sampah/residu yang masuk ke tahap pemrosesan akhir.

Realitas pengelolaan sampah di Kabupaten sampang:


- Minimnya pelaksanaan kegiatan pengurangan sampah baik ditingkat pemerintah, swasta dan masyarakat, seperti: masih banyak menggunakan bahan yang sekali
pakai sehingga tidak dapat diguna ulang, didaur ulang dan masih juga banyak penggunaan bahan yang tidak mudah diurai oleh alam
- Penanganan sampah di Kabupaten sampang masih banyak yang kurang sesuai pasal 22, dimana tidak adanya pemilahan sampah, minimnya pengumpulan sampah
di TPST, pengangkutan lebih banyak langsung menuju TPA sehingga tidak/sedikit melakuakan kegiatan pengolahan di TPST.

Collaborative Governance
Collaboration for Productivity
Collaboration for Information
Collaboration for Resources
Collaboration for Legitimacy

Pengelolaan Sampah dengan Sistem Zero Waste

Gambar II.5
Kerangka Konseptual
Sumber: diolah oleh peneliti, 2020

85

TESIS COLLABORATIVE GOVERNANCE DALAM .... MUHAMMAD SYAFI'I

Anda mungkin juga menyukai