Anda di halaman 1dari 168

 HOME

 Berita
 ARTIKEL
 Tanya Jawab
 Buku
 Video
 PROFIL

Home » Kontra Wahabi » Melafalkan Niat Dalam Ibadah, Sunnah atau Bid’ah?

Melafalkan Niat Dalam Ibadah, Sunnah atau


Bid’ah?
Posted by: Ust. Idrus Ramli in Kontra Wahabi 26/02/2014 0 319 Views

Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb. Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang saya hormati. Sebagaimana
dimaklumi, kaum Muslimin di Nusantara apabila mau melaksanakan suatu ibadah, memulainya
dengan niat yang diucapkan atau dilafalkan. Misalnya dalam ibadah shalat, akan  berkata
ushalli, dalam ibadah wudhu akan berkata nawaitu dan seterusnya. Belakangan ini ada
sebagian kelompok yang mengharamkan dan membid’ahkan melafalkan niat dalam ibadah.
Mereka beralasan bahwa dalam ibadah shalat, puasa dan wudhu’ tidak ada hadits yang
menganjurkan melafalkan niat. Lagi pula kata mereka, dalam soal ibadah tidak boleh
melakukan qiyas. Bagaimana sebenarnya hukum melafalkan niat dalam ibadah dalam
pandangan para fuqaha Ahlussunnah Wal-Jama’ah?

Jawaban:

Melafalkan niat dalam ibadah termasuk masalah furu’iyah, yang diperselisihkan di kalangan
ulama fuqaha, antara yang mengatakan sunnah dan tidak sunnah. Akan tetapi dari segi dalil, para
ulama fuqaha yang mengatakan sunnah, memiliki dalil yang sangat kuat dan otoritatif. Sebelum
menjelaskan dalil kesunnahan melafalkan niat dalam ibadah, ada baiknya kami paparkan terlebih
dahulu, tentang pendapat para ulama fuqaha madzhab yang empat seputar melafalkan niat.

Ada tiga pendapat mengenai hukum melafalkan niat dalam ibadah.

Pertama, pendapat yang mengatakan sunnah, agar ucapan lidah dapat membantu memantapkan
hati dalam niat ibadah. Pendapat ini diikuti oleh madzhab Hanafi dalam pendapat yang mukhtar,
madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali sesuai dengan kaedah madzhab. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48, al-Imam al-Khathib al-
Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 57, dan al-Imam al-Buhuti al-Hanbali dalam
Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah makruh.
Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan sebagian ulama madzhab Hanbali.
Hal ini juga diceritakan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48 dan al-Buhuti
dalam Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.

Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah boleh (mubah),
akan tetapi sebaiknya ditinggalkan. Kecuali bagi orang yang waswas, maka melafalkan niat
disunnahkan baginya, untuk menghilangkan keraguannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh
Ibnu Arafah dalam Hasyiyah al-Dusuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir juz 1 hal. 233-234 dan al-Shawi
dalam al-Syarh al-Shaghir juz 1 hal. 304.

Demikian pendapat para ulama fuqaha madzhab empat tentang hukum melafalkan niat dalam
ibadah.

Sedangkan dalil yang dijadikan dasar para ulama yang menganjurkan melafalkan niat dalam
ibadah adalah hadits sebagai berikut ini:

.‫سلِ ٌم‬ ٍ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُ ْو ُل لَبَّ ْي َك بِ ُع ْم َر ٍة َو َح‬


ْ ‫ َر َواهُ ُم‬.‫ج‬ َ ِ‫س ْو َل هللا‬
ُ ‫س ِمعْتُ َر‬ ٍ َ‫عن أَن‬
َ ‫س قَا َل‬
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berkata (ketika akan menunaikan ibadah haji dan umrah): “Aku penuhi panggilan-Mu,
untuk menunaikan ibadah umrah dan haji.” HR Muslim.

Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalmam melafalkan niat dalam ibadah haji
dan umrah. Apabila dalam satu ibadah, melafalkan niat itu dianjurkan, maka dalam ibadah
lainnya juga dianjurkan, karena sama-sama ibadah. Dalam hadits lain juga diriwayatkan:

‫ا َل لِي‬HHَ‫ َوق‬: ْ‫الَت‬HHَ‫ ق‬، ‫صو ُم‬ ُ َ‫ فَإِنِّي إ َذنْ أ‬: ‫ قَا َل‬، ‫ َه ْل ِع ْن َد ُك ْم ِمنْ َغدَا ٍء ؟ قَالَتْ اَل‬: ‫سلَّ َم قَا َل يَ ْو ًما‬ َ ‫عَنْ عَائِشَة َأَنَّ النَّبِ َّي‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
ُ‫سنَا َده‬ َ ‫ص ْو َم ” َر َواهُ الدَّا َرقُ ْطنِ ّي َو‬
ْ ‫ص َّح َح إ‬ ْ ‫ إ َذنْ أُ ْف ِط ُر َوإِنْ ُك ْنتُ فَ َر‬: ‫ قَا َل‬، ‫آخ َر أَ ِع ْن َد ُك ْم ش َْي ٌء ؟ قُ ْلتُ نَ َع ْم‬
َّ ‫ضتُ ال‬ َ ‫َي ْو ًما‬

“Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepadanya: “Apakah kalian mempunya makanan untuk sarapan?” Ia menjawab: “Tidak ada.”
Lalu beliau bersabda: “Kalau begitu, aku berniat puasa.” Aisyah berkata: “Suatu hari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Apakah kalian mempuanyai sesuatu
(makanan)?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, aku niat berbuka, meskipun
tadi aku bermaksud puasa.” HR. al-Daraquthni dan ia menshahihkan sanadnya.”

Dalam hadits di atas, jelas sekali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melafalkan niatnya untuk
menunaikan ibadah puasa. Dalam ibadah puasa, melafalkan niat disunnahkan, berarti dalam
ibadah yang lain juga dianjurkan karena sama-sama ibadah.

Perlu diketahui, bahwa dalam niat puasa, tidak harus menggunakan redaksi nawaitu shauma
ghadin (saya niat puasa besok), bahkan boleh juga dengan redaksi ashumu ghadan (aku niat
puasa besok) atau inni sha’imun ghadan (sungguh aku puasa besok). Demikian pula, dalam niat
shalat, tidak harus dengan redaksi ushalli (saya niat shalat), akan tetapi boleh dengan redaksi
nawaitu shalatal ‘ashri (saya niat shalat ashar) dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah.

Sekarang, apabila melafalkan niat dalam ibadah shalat dan wudhu’, disunnahkan karena
diqiyaskan dengan ibadah haji dan puasa, lalu bagaimana dengan pernyataan sebagian kalangan
Wahabi yang mengharamkan dan membid’ahkan melafalkan niat dengan alasan kaedah la qiyasa
fil ‘ibadat (tidak boleh menggunakan qiyas dalam hal ibadah)? Tentu saja kaedah la qiyasa fil
‘ibadat tersebut tidak benar dan bertentangan dengan penerapan para ulama salaf terhadap dalil
qiyas.

Ketika qiyas itu diakui sebagai salah satu dalil dalam pengambilan hukum Islam, maka
penerapannya bersifat umum, termasuk dalam bab ibadah. Oleh karena itu, kita dapati para
ulama salaf sejak generasi sahabat melakukan qiyas dalam hal ibadah. Misalnya, al-Imam al-
Hafizh Nuruddin al-Haitsami meriwayatkan dalam kitabnya Majma’ al-Zawaid, bahwa sebagian
sahabat seperti Anas bin Malik menunaikan shalat sunnah 4 raka’at sebelum shalat ‘id.
Sementara sahabat Ibnu Mas’ud menunaikan shalat sunnah sesudah shalat ‘id empat raka’at.
Padahal dalam kitab tersebut juga diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah melakukan dan tidak menganjurkannya. Hal ini mereka lakukan karena diqiyaskan
dengan shalat maktubah, yang memiliki shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudahnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia,
juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi meriwayatkan:

ُ ْ‫و‬Xُ‫ اَ ْلقُن‬:‫ع أَ ْم بَ ْع َدهُ َوهَلْ تُرْ فَ ُع ْاألَ ْي ِدي فِي ال ُّدعَا ِء فِي ْال ِو ْت ِر؟ فَقَا َل‬
ِ ْ‫و‬X‫ َد الرُّ ُك‬Xْ‫ت بَع‬
‫ ُع‬Xَ‫ع َويَرْ ف‬ ِ ْ‫ت فِي ْال ِو ْت ِر قَ ْب َل الرُّ ُكو‬
ِ ْ‫َو ُسئِ َل أَحْ َمد ُ َع ِن ْالقُنُو‬
.‫ت فِي ْال َغدَا ِة‬ِ ْ‫ى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي ْالقُنُو‬َّ ‫صل‬ َ ‫اس فِ ْع ِل النَّبِ ِّي‬
ِ َ‫َلى قِي‬ َ ‫كع‬ َ ِ‫يَ َد ْي ِه َو َذل‬

“Al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut dalam shalat witir, sebelum ruku’ atau sesudahnya, dan
apakah dengan mengangkat tangan dalam doa ketika shalat witir?” Beliau menjawab: “Qunut
dilakukan setelah ruku’, dan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa. Demikian ini
diqiyaskan pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunut shalat shubuh.” HR.
Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Qiyam al-Lail, hal. 318.

Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang wafat beberapa waktu yang lalu,
juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam hal ini, beliau berfatwa:

‫ُح ْك ُم َر ْف ِع ا ْليَ َد ْي ِن فِي ُدعَا ِء ا ْل ِو ْت ِر‬

‫ َما ُح ْك ُم َر ْف ِع ا ْليَ َد ْي ِن فِي ا ْل ِو ْت ِر؟‬:‫س‬

‫ ِه‬H‫ َع يَ َد ْي‬Hَ‫لَّ َم أَنَّهُ َرف‬H‫س‬ َ ُ‫ه‬H‫ َوقَ ْد ثَبَتَ َع ْن‬،‫ت فِي النَّ َوا ِز ِل‬
َ ‫ ِه َو‬H‫ل َّى هللاُ َعلَ ْي‬H‫ص‬ ِ ‫س ا ْلقُنُ ْو‬ِ ‫ت ا ْل ِو ْت ِر؛ ألَنَّهُ ِمنْ ِج ْن‬ ِ ‫ يُش َْر ُع َر ْف ُع ا ْليَ َد ْي ِن فِ ْي قُنُ ْو‬:‫ج‬
.‫ح‬ ٍ ‫ص ِح ْي‬ َ
َ ‫سنا ٍد‬ ْ
ْ ِ ‫ خ َّر َجهُ البَ ْي َهقِ ُّي َر ِح َمه ُهللاُ بِإ‬.‫ت النَّ َوا ِز ِل‬
َ ِ ‫ِحيْنَ ُدعَائِ ِه فِ ْي قُنُ ْو‬

“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua
tangan dalam shalat witir? Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam
qunut shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan karena ada bencana).
Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya
dalam doa qunut nazilah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan
sanad yang shahih.” Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.

Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa anjuran melafalkan niat dalam ibadah
adalah pendapat mayoritas ulama madzhab yang empat (madzahib al-arba’ah). pendapat tersebut
memiliki dalil yang kuat dan otoritatif (mu’tabar), yaitu diqiyaskan kepada ibadah haji dan
puasa, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melafalkan niat dalam keduanya. Pendapat
tersebut tidak dapat ditolak dengan alasan kaedah, la qiyasa fil ‘ibadat (tidak boleh melakukan
qiyas dalam bab ibadah). Karena qiyas termasuk dalil pengambilan hukum dalam Islam, yang
berlaku dalam semua bab. Oleh karena itu, qiyas dalam bab ibadah telah diterapkan oleh para
sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan bahkan oleh sebagian ulama terkemuka kaum Wahabi
kontemporer  seperti Syaikh Ibnu Baz. Wallahu a’lam.

(Muhammad Idrus Ramli)

Simak Juga

 Dalil Do’a Bersama dan Ucapan Amiin Setelah Pengajian


 Rutinan Dzikir Bersama dan Tahlilan Dengan Satu Suara
 Kecerobahan Wahabi yang Membid’ahkan Do’a rutin setelah Shalat
 Jawaban Terhadap Wahabi yang Anti Tahlilan
 Wahabi Sang Pahlawan Kesiangan
 Mana Dalilnya Komposisi Bacaan Tahlilan?
 Tahlilan, Yasinan, Maulid, dan Dzikir dalam Perspektif Ulama Wahabi

Tagged with: featured hukum melafalkan niat hukum niat melafadzkan niat melafalkan niat niat
bid'ah niat sholat

Previous: Hakekat Rebo Wekasan (Rabu Terakhir) Safar


Next: Puasa Rajab Tidak Bid’ah, Tetapi Sunnah

About Ust. Idrus Ramli

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Name *

Email *

Website
STATISTIK WEB

Tanggal : 26/11/2014
Total Pengunjung: 51037
Hari ini: 123 Pengunjung
OS: Windows 7
IP Anda: 122.129.124.228
Pengunjung Online: 2
Aktif Sejak: 03/07/2013

Spam Blocked

3,305 spam blocked by Akismet

LIKE THIS

Artikel Terakhir

 Dalil Do’a Bersama dan Ucapan Amiin Setelah Pengajian


 Rutinan Dzikir Bersama dan Tahlilan Dengan Satu Suara
 Kecerobahan Wahabi yang Membid’ahkan Do’a rutin setelah Shalat
 Jawaban Terhadap Wahabi yang Anti Tahlilan
 Wahabi Sang Pahlawan Kesiangan
 Mana Dalilnya Komposisi Bacaan Tahlilan?
 Tahlilan, Yasinan, Maulid, dan Dzikir dalam Perspektif Ulama Wahabi
 Imam Ahmad Ibn Hanbal Mengakui Bid’ah Hasanah

Buku Ust. Idrus Ramli

 Bekal Pembela Ahlusunnah Wal-Jama'ah Menghadapi Radikalisme Salafi-Wahabi

Bekal Pembela Ahlusunnah Wal-Jama'ah Menghadapi Radikalisme Salafi-Wahabi Oleh:


Muhammad Idrus…

 Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar?

Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar? Jawaban terhadap buku - buku Mahrus
Ali Oleh:…
 Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram?

Judul : Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram? Penulis : Muhammad Idrus Romli Editor:
Achmad…

 Jurus Ampuh Membungkam HTI

Judul: Jurus Ampuh Membungkam HTI Penulis: Muhammad Idrus Ramli Penerbit: Bina
Aswaja…

 Hizbut Tahrir dalam Sorotan

Hizbut Tahrir dalam Sorotan Oleh: Muhammad Idrus Ramli Penerbit: Bina Aswaja Buku
ini sama,…

Lihat lainnya

 Popular
 Recent
 Comments

Tanya Jawab

01/06/2013

Dialog Sunni vs Wahabi Tentang Tahlilan

09/09/2013


Dusta Firanda (Wahabi): Ulama Syafi’iyah Mengingkari Bid’ah Hasanah?

13/11/2013

Ikut Sunnah atau Madzhab?

29/06/2013

Jenggot, Celana Cingkrang dan Cadar dalam Perspektif Syariah

29/06/2013

Facebook

Situs Resmi Ustadz Muhammad Idrus Ramli @2013-2014.

 Home

Text to search...

Ahlussunnah Wal Jamaah Research Group

 google
 facebook
 pintrest
 rss
 twitter
 vimeo
 youtube

 Home
 Menjawab Wahabi
 Menjawab Syiah
 Perbandingan Agama
 Dakwah

headlines

4:51 PM

Latest
 Ibnu Umar r.a dan Bidaah Hasanah: Meluruskan Pemahaman Abul
Jauzaa

0 comment 17 Dec 2013

 Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang


Disalah Fahami Bab 3 (Bahagian I)

0 comment 16 Dec 2013

 Melafadzkan Niat Ketika Akan Melaksanakan Sholat Menurut Para


Imam Madzhibul Arba’ah Bukanlah Bid’ah Dholalah

0 comment 16 Dec 2013

 Kesesatan Amalan Mutaah Menurut Kitab-Kitab Syiah Dengan


Menggunakan Kaedah Syiah- Bahagian I

0 comment 16 Dec 2013

Total Pageviews

39,481
Labels
 Menjawab Syiah
 Menjawab Wahabi

Backlink
Subscribe
Pedidos
Google+ Followers
Powered by Blogger.

Super Ofertas
Followers
Home » Menjawab Wahabi » Melafadzkan Niat Ketika Akan Melaksanakan Sholat Menurut Para Imam
Madzhibul Arba’ah Bukanlah Bid’ah Dholalah

Melafadzkan Niat Ketika Akan


Melaksanakan Sholat Menurut Para Imam
Madzhibul Arba’ah Bukanlah Bid’ah
Dholalah
Posted by: Asyaari Maturidi Posted date: 05:37 / comment : 0
 

HUKUM MELAFADZKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA WAHABI


Sebagaimana kita kita ketahui bahwasanya para ulama Wahabi memvonis dan memfatwakan bid’ah
dholalah (karena mereka hanya mengenal sebutan bid’ah itu hanya untuk satu macam saja, yaitu bid’ah
dholalah, yang pelakunya di ancam masuk ke dalam neraka) kepada kaum muslimin yang dalam praktek
sholatnya melafadzkan niat ketika akan melakukan Takbirotul ihram. Fatwa- Fatwa yg membabi buta ini
diantaranya dapat kita lihat di bawah ini :

FATWA LAJNAH DAIMAH YANG DIKETUAI OLEH SYEKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZZ :

)319 ‫ ص‬/ 6 ‫ (ج‬- ‫ة األولى‬ ‫ المجموع‬- ‫ة‬ ‫ة الدائم‬ ‫اوى اللجن‬ ‫فت‬
) 2444 ( ‫وى رقم‬ ‫اني من الفت‬ ‫ؤال الث‬ ‫الس‬
‫ (ن ويت أن أص لي هلل تع الى ركع تين لوجه ه الك ريم ص الة الص بح)؟‬:‫ م ا حكم التلف ظ بالني ة مث ل قول ه‬:2‫س‬
‫ ولم يثبت عن الن بي ص لى‬،‫ والعبادات توقيفية ال يشرع فيها إال ما دل عليه القرآن الكريم أو السنة الصحيحة المطهرة‬،‫ الصالة عبادة‬: 2‫ج‬
‫ لكن لم يحص ل‬،‫ ولو وقع ذلك منه لنقله أصحابه رض ي هللا عنهم وعمل وا ب ه‬،‫هللا عليه وسلم أنه تلفظ في صالة فرضا كانت أم نافلة بالنية‬
‫ « من أحدث في أمرنا هذا ما ليس من ه فه و رد‬:‫ وقد ثبت عنه صلى هللا عليه وسلم أنه قال‬،‫ذلك فكان التلفظ بالنية في الصالة مطلقا بدعة‬
‫ وباهلل التوفيق وص لى هللا على نبين ا محم د وآل ه‬. )2( » ‫ « وإياكم ومحدثات األمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة‬:‫ ) وقال‬1( »
‫لم‬ ‫حبه وس‬ ‫وص‬.

Link : http://alifta.com/Fatawa/FatawaSubjects.aspx?
languagename=ar&View=Page&HajjEntryID=0&HajjEntryName=&RamadanEntryID=0&RamadanEntryNa
me=&NodeID=647&PageID=2087&SectionID=3&SubjectPageTitlesID=23518&MarkIndex=2&0

Terjemah :
Soal : “Apa hukum mengucapkan niat seperti  mengucapkan :

‫بح‬ ‫الة الص‬ ‫ريم ص‬ ‫ه الك‬ ‫تين لوجه‬ ‫الى ركع‬ ‫لي هلل تع‬ ‫ويت أن أص‬ ‫ن‬
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajah-Nya yang mulia.”

Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (tata caranya ditentukan oleh syariat,
harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan
Hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi
shalallaahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau mengucapkan niat shalat, baik shalat
sunnah maupun shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini, pastilah para sahabat meriwayatkan
dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam dan tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya.
Akan tetapi semua ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah
secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda :

‫و رد‬ ‫ه فه‬ ‫ا ليس من‬ ‫ذا م‬ ‫اه‬ ‫دث في أمرن‬ ‫من أح‬
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka
amalan tersebut tertolak.”

Beliau shallallaahu’alaihi wa sallam juga bersabda :

‫اللة‬ ‫ةض‬ ‫ل بدع‬ ‫ة وك‬ ‫ة بدع‬ ‫ل محدث‬ ‫إن ك‬ ‫ور ف‬ ‫دثات األم‬ ‫اكم ومح‬ ‫وإي‬
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah
itu sesat.”

Wabillaahittaufiq wa shallallaahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa alihi wa shahbihi wa sallam. (Fatawa Al


Lajnah Ad Daimah Lil Buhuts Al Ilmiyyah Wal Ifta 6/478, Maktabah Asy Syamilah)

MENURUT IBNU UTSAIMIN :

Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan
bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang
berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha
mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk berdiri di
hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau
berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang
akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu ’anhum bahwasanya mereka
melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik
dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)

Link : http://muslimah.or.id/.../serba-serbi-niat-shalat-1...
MENURUT ALBANI :

)13 ‫الة – (ص‬ ‫فة الص‬ ‫تلخيص ص‬


‫وأم ا التلف ظ به ا بلس انه فبدع ة مخالف ة للس نة ولم يق ل به ا أح د من متب وعي المقل دين من األئمة‬
“Adapun melafadzkan niat dengan lisannya maka hal tersebut adalah Bid’ah, menyelisihi sunnah dan
tidak ada seorangpun dari pengikut orang-orang yang taqlid kepada para imam yang mengucapkannya.
(Talkhisu Shifati Shalatinnabiyyi hal.13, Maktabah Syamilah )
Link : http://islamport.com/w/alb/Web/381/13.htm

HUKUM MELALAFADZKAN NIAT MENURUT PARA IMAM MADZAHIBUL  ARBA’AH

Ada beberapa keterangan yg bisa di baca kitab Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az
Zuhailiy :

)137 ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫ه‬ ‫المي وأدلت‬ ‫ه اإلس‬ ‫الفق‬


‫ لكن يسن عند الجمهور غ ير‬،ً‫ وال يشترط التلفظ بها قطعا‬،ً‫ وال تكفي باللسان قطعا‬،ً‫ القلب وجوبا‬:‫محل النية باتفاق الفقهاء وفي كل موضع‬
‫) ؛ ألن ه لم‬2( ‫ ترك التلفظ به ا‬:‫ واألولى عند المالكية‬،‫ ليكون النطق عونا ً على التذكر‬،‫المالكية التلفظ بها لمساعدة القلب على استحضارها‬
‫ وك ذا لم ينق ل عن األئم ة األربعة‬،‫ينق ل عن الن بي ص لّى هللا علي ه وس لم وأص حابه التلف ظ بالني ة‬.
Tempatnya niat menurut kesepakatan para ulama fiqh dan di semua tempat secara wajib adalah di
dalam hati, maka secara pasti tidak cukup dan tidak disyaratkan menggunakan lisan. Tetapi menurut
jumhur ulama, selain golongan Malikiyyah hukumnya adalah disunnahkan mengucapkan niat, untuk
membantu hati untuk menghadirkannya, agar pengucapannya bisa menolong untuk berdzikir
(mengingat). Sedang yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat, karena
hal tersebut tidak pernah di nukil dari Nabi Shollallahu ‘alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, demikian
juga tidak dinukil dari para imam yg empat.

Di halaman lain :

)331 ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫ه‬ ‫المي وأدلت‬ ‫ه اإلس‬ ‫الفق‬


ً،‫ إال أن المذهب عند الحنابلة أنه يستحب التلفظ به ا س را‬،‫ التلفظ بها‬:‫ ويسن عند الشافعية والحنابلة‬،‫واألولى عند المالكية ترك التلفظ بالنية‬
‫ا وتكرارها‬ ‫ر به‬ ‫ره الجه‬ ‫ويك‬.
Yang lebih utama menurut ulama Malikiyyah adalah tidak melafadzkan niat. Dan menurut Ulama
Syafi’iyyah dan Hambaliyyah disunnahkan untuk melafadzkan niat, hanya saja menurut qoul madzhab
Hanabilah disunnahkan melafadzkannya dengan pelan, dimakruhkan membaca dengan keras dan
mengulang-ulangi niat.

Di halaman lain :

)682 ‫ ص‬/ 1 ‫ه – (ج‬ ‫المي وأدلت‬ ‫ه اإلس‬ ‫الفق‬


‫واألولى ترك ه في ص الة أو غيرها‬،‫ يج وز التلف ظ بالني ة‬:‫ وق ال المالكي ة‬،‫وين دب عن د الجمه ور غ ير المالكي ة التلف ظ بالني ة‬.
.
Menurut Jumhur ulama selain Malikiyyah, disunnahkan melafadzkan niyat. Menurut Ulama Malikiyyah
boleh mengucapkannya akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya, baik di dalam sholat
atau selainnya.

Yg ini tambahan menurut madzhab Maliki :

)684 ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫ه‬ ‫المي وأدلت‬ ‫ه اإلس‬ ‫الفق‬


‫ه اللبس‬ ‫ذهب عن‬ ‫ظ لي‬ ‫ه التلف‬ ‫تحب ل‬ ‫وس فيس‬ ‫ إال الموس‬،‫ا‬ ‫ظ به‬ ‫رك التلف‬ ‫واألولى ت‬
Yang lebih utama adalah meninggalkan melafadzkan niat, kecuali bagi orang yang was-was, maka
disunnahkan melafadzkannya agar terhindar dari kesamaran.

Memang terdapat keterangan dari ulama Hanafiyyah yang mengatakan bid’ah melafadzkan niat
sebagaimana keterangan di bawah ini :

Ibnu Najim Al Mishry Al Hanafi di dalam kitab Al Bahrur Roiq juz 3 hal 92-93, Maktabah Syamilah :

)93-92 ‫ ص‬/ 3 ‫ (ج‬- ‫ق‬ ‫ر الرائ‬ ‫البح‬


ْ ْ
‫ص حَّ َح ُه فِي المُجْ َت َبى َوفِي ال ِه َدا َي ِة َوال َك افِي‬ ْ ْ
َ ‫ُصلي أ َّن ُه مُسْ َت َحبٌّ َوه َُو الم ُْخ َت ا ُر َو‬ َ ِّ ْ
َ ‫ان َفذ َك َرهُ فِي ُم ْن َي ِة الم‬ َ ِّ ْ
ِ ‫ف َكاَل ُم ال َم َش ِاي ِخ فِي ال َّتلَ ُّفظِ ِبالل َس‬ َ َ‫اخ َتل‬ْ ‫َو َق ْد‬
‫ْن ْال َح َس ِن أَ َّن ُه ُس َّن ٌة َو َه َك َذا فِي ْال ُمحِيطِ َو ْال َب َدائِع َوفِي ْالقُ ْن َي ِة أَ َّن ُه ِب ْد َع ٌة إاَّل‬ َ ً
ِ ‫ار َمعْ ِز ّيا إلى م َُح َّم ِد ب‬ ْ َّ َ ِ ‫َوال َّتب ِْي‬
ِ ِ ‫اع َع ِزي َم ِت ِه َوفِي ااِل خ ِت َي‬ ِ ‫ين أن ُه َيحْ سُنُ اِل جْ ِت َم‬
‫ َف إِنْ َعب ََّر َع ْن ُه‬، ‫ب‬ ِ ‫ِص ا ُر َعلَى ِن َّي ِة ْال َق ْل‬ ُّ َّ‫ض ِه ْم أَن‬
َ ‫الس َّن َة ااِل ْقت‬ ِ ْ‫ان َفحِي َن ِئ ٍذ ُي َب ا ُح َو ُنقِ َل َعنْ َبع‬ ِ ‫ب إاَّل ِبإِجْ َرا ِئ َها َعلَى اللِّ َس‬ ِ ‫أَنْ اَل يُمْ ِك َن ُه إ َقا َم ُت َها فِي ْال َق ْل‬
ْ َ ْ ٌ َ ْ ْ ْ َ ُ ْ ْ ْ
‫ُت‬ ْ ‫ ل ْم َيثب‬: ِ‫ َق ا َل َبعْ ضُ ال ُح َّفاظ‬: ‫ِير اخ ِت َي ا ُر أ َّن ُه ِب ْد َع ة َفإِ َّن ُه َق ا َل‬ ِ ‫از َو ُنقِ َل فِي َشرْ ِح ال ُمن َي ِة َعنْ َبعْ ضِ ِه ْم ال َك َرا َهة َوظا ِه ُر َم ا فِي َفت ِح ال َق د‬ َ ‫ِبل َِسا ِن ِه َج‬
‫الص َحا َب ِة‬ ْ‫ِن‬ َ ْ‫ن‬
‫ص لي ك ذا َو َع أ َح ٍد م‬ ‫اَل‬ َ َ ِّ ُ
َ ‫اح أ‬ َ ْ ْ ُ َ َّ َ ‫اَل‬ َ ْ‫ِن‬ َّ ْ َ ‫هَّللا‬ َّ ‫هَّللا‬ ِ ‫َعنْ َرس‬
َّ ِ ‫ان َيق و ُل عِ ن َد ااِل ف ِتت‬ َ ‫ض عِيفٍ أن ُه ك‬ َ ‫ِيح َو‬ٍ ‫صح‬ َ ‫صلى ُ َعلي ِه َو َس ل َم م ط ِري ٍق‬ َ ِ ‫ُول‬
‫ٌة‬ ‫ِذ ِه ِب ْد َع‬ ‫الص اَل ِة َكب ََّر } َو َه‬ َّ ‫ان َإذا َق ا َم إلَى‬ َ ‫ِه َو َس لَّ َم { َك‬ ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي‬ َ ‫ْل ْال َم ْنقُ و ُل أَ َّن ُه‬ ‫ِين َب‬َ ‫ َوال َّت ِابع‬.
‫ ا هـ‬.
‫ان َق ْد َي ْغلِبُ َعلَ ْي ِه َت َفرُّ ُق َخ اطِ ِر ِه َف إِ َذا َذ َك َر ِبل َِس ا ِن ِه‬ َ ‫اع َع ِزي َم ِت ِه أَ َّن ُه اَل َيحْ سُنُ لِغَ ي ِْر َه َذا ْال َقصْ ِد َو َه َذا أِل َنَّ اإْل ِ ْن َس‬ ِ ‫ُص ِّنفِ اِل جْ ِت َم‬ َ ‫َو َق ْد ُي ْف َه ُم مِنْ َق ْو ِل ْالم‬
‫ارهُ ِل َتجْ َت ِم َع َع ِزي َم ُت ُه‬ َ ‫اخ َت‬ ْ ُ‫اره‬ َ ‫اخ َت‬ ْ ْ‫ب ؛ أِل َ َّن ُه َع َملُ ُه َوال َّت َكلُّ ُم اَل مُعْ َت َب َر ِب ِه َو َمن‬ ِ ‫ِيس َق ا َل َوال ِّن َّي ُة ِب ْال َق ْل‬ ِ ‫ ُث َّم َرأَيْت ه فِي ال َّتجْ ن‬، ‫ان َع ْو ًنا َعلَى َجمْ ِع ِه‬ َ ‫ َك‬.
‫ ا هـ‬.
“Para Masyayikh berbeda pendapat mengenai melafadzkan niat dengan menggunakan lisan. Di
terangkan dalam kitab Munyatul Musholli, hukumnya adalah Mustahab (di sunahkan), demikian ini
adalah qoul yang terpilih dan di shohihkkan di dalalm kitab Al Mujtaba, Al Hidayah,Al Kafi dan At Tabyiin,
hal tersebut dianggap bagus karena bisa mengumpulkan Azimah (niat). Dan di dalam kitab Ikhtiyar
ma’ziyyan yg (disandarkan penukilannya) kepada Muhammad bin al Hasan, bahwasanya hal tersebut
adalah Sunnah, demikkian juga keterangan di dalam kitab Al Mabsuth dan Badai’. Sedangkan di dlam
kitab al Qunyah hal tersebut adalah Bid’ah, kecuali ketika tidak memungkinkan baginya untuk
menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara mengucapkannya dengan lisan, maka menjadi
mubah. Dan di nukil dari sebagian ulama yang disunnahkan adalah meringkas niat di dalam hati, apabila
di ucapkan di lisannya maka boleh. Dan di nukil dari syarah Al Munyah dari sebagaian ulama
bahwasanya hal tersebuat adalah makruh. Dan dhohirnya keterangan yanga ada di kitab Fathul Qodir
bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah, tidak tsabit dari Rasulullah shallallahu ‘alaii wa sallam baik dari
jalur shahih maupun dhoif bahwasanya beliau ketika mengawali sholat mengucapkan : Usholli kadza
(Saya akan sholat begini), juga tidak pernah tsabit riwayat dari sahabat maupun tabi’in, akan tetapi
penukilan yang ada adalah bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika berdiri untuk
melaksanakkan sholat, beliau bertakbir, maka permasalahan ini adalah bid’ah. Selesai (pembahasan).

Namun apakah yang di maksud dengan ucapan bid’ah dan sunnah dalam ibarat diatas menurut ulama
Hanafiyyah ??? Bisa dibaca disini :

)93 ‫ ص‬/ 3 ‫ (ج‬- ‫ق‬ ‫ر الرائ‬ ‫البح‬


‫اض ظ ُه و ُر‬ُ َ ‫اس َت َف‬ ْ ٌ ٌ َ َ َ َ ‫أْل‬ َ ‫أْل‬ َ ْ
ْ ‫ َو َق ْد‬، ‫َو َزادَ فِي َشرْ ِح ال ُم ْن َي ِة أ َّن ُه َل ْم ُي ْن َق ْل َعنْ ا ِئ َّم ِة ا رْ َب َع ِة أيْضًا َف َت َحرَّ َر مِنْ َهذا أ َّن ُه ِب ْد َعة َح َس َنة عِ ْن َد َقصْ ِد َج ْم ِع ال َع ِزي َم ِة‬
َّ‫ص لَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َس ل َم‬ َّ ‫ار َفلَ َع َّل ْال َقا ِئ َل ِبال ُّس ِّن َّي ِة أَ َرادَ ِب َها‬
َ ِّ‫الط ِري َق َة ْال َح َس َن َة اَل َط ِري َق َة ال َّن ِبي‬ َ َ ‫ار فِي َعا َّم ِة اأْل‬
ِ ‫مْص‬ ِ ‫ص‬ َ ْ‫ِير مِنْ اأْل َع‬
ٍ ‫ْال َع َم ِل ِب َذل َِك فِي َكث‬
‫ِب َها‬ ِ‫ال َّتلَ ُّفظ‬ ‫َك ْيفِ َّي ِة‬ ‫فِي‬ ‫ْال َكاَل ُم‬ ‫َبق َِي‬
Dan terdapat keterangan tambahan dalam kitab Syarhul Munyah bahwasanya hal tersebut (melafadzkan
niat) itu tidak di nukil dari para imam yang empat juga. Maka beliau memeriksa lagi dari keterangan ini
bahwasanya hal tersebut adalah bid’ah hasanah ketika bermaksud untuk mengumpulkan niat. Dan telah
tersiar luas mengenai pengamalan hal tersebut pada banyak masa di umumnya semua tempat, maka
barangkali ulama yang mengucapkan sunnah, yang di maksud adalah Thoriqoh hasanah (cara yang baik)
bukan cara (yang pernah di lakukan) nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai pembicaraan di dalam
tata cara melafadzkan niat.

KESIMPULAN DARI IBARAT-IBARAT DIATAS :

Tidak ada satupun dari ulama Madzhibul Arba’ah yang memfatwakan Bid’ah Dholalah bagi orang yang
melafadzkan niat ketika akan sholat. Menurut penjelasan ulama Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat
sebelum takbir hukumnya boleh namun menyelisihi keutamaan (Khilaful Aula, tidak sampai Makruh),
tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat hukumnya
adalah sunnah.
Sedang menurut Jumhur ulama dan kesepakatan para pengikut madzhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan
pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) hukumnya adalah sunnah, karena melafalkan
niat sebelum Takbiratul Ihram itu dapat membantu untuk menghadirkan dan mengingatkan hati
sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Sedang mengenai ucapan
bid’ah di dalam istilah sebagian ulama Hanafiyyah juga sama sekali tidak diarahkan kepada bid’ah
dholalah.

TUJUAN MELAFADZANKAN NIAT MENURUT PARA ULAMA


Mari kita baca keterangan para ulama di bawah ini :

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab
Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 :

)16 ‫ (ص‬- ‫فتح المعين‬


( ‫)و‬ ‫ا من خالف من أوجبه‬ ‫ان القلب وخروج‬ ‫اعد اللس‬ ‫ير ليس‬ ‫ل التكب‬ ‫وي ) قب‬ ‫ق بمن‬ ‫ن ( نط‬ ‫س‬
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu hati dan untuk
menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan "Syafi'i Kecil" [
‫ ]ال رملي الش هير بالش افعي الص غير‬dalam kitab Nihayatul Muhtaj (‫)نهاي ة المحت اج‬, juz I : 437 :

‫اج‬ ‫ة المحت‬ ‫ نهاي‬-


ْ َ ْ ْ َ َ ْ ْ
ُّ ْ ‫اَل‬
( ‫ُوج مِنْ ِخ فِ َمنْ أ ْو َج َب ُه ) َو ُين دَبُ النط ُق‬ ُ َّ ِّ ِ ‫ ِب ْال َمن ِويِّ ( ق َب ْي َل التك ِب‬،
َ ‫ير ) لِي َُس اعِ دَ الل َس انُ ال َقل‬
ِ ‫ب َوأِل ن ُه أ ْب َع ُد َعنْ ال َو ْس َو‬
ِ ‫اس َولِلخ ر‬ ْ َّ ُ ْ
“Disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati , agar
terhindar dari was-was serta menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.

Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam
kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (‫[ )فتح الوه اب بش رح منهج الطالب‬I/38] :

‫اب‬ ‫ فتح الوه‬-


( ‫) ونطق‬ ‫ان القلب‬ ‫اعد اللس‬ ‫ير ) ليس‬ ‫ل التكب‬ ‫المنوي ( قب‬ ‫ب‬
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat membantu hati."

Diperjelas di dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj
Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal :

‫ية الجمل‬ ‫– حاش‬


‫ت‬ْ ‫ُه ا ْن َت َه‬ ‫اس َو ُخرُوجً ا مِنْ ِخاَل فِ َمنْ أَ ْو َج َب‬ ‫و‬ ْ
‫س‬ ‫و‬ ْ
‫ال‬ ْ‫ن‬ ‫ع‬ ُ
‫د‬ ‫ْع‬‫ب‬َ ‫أ‬ ‫ه‬
ُ َّ
‫ن‬ َ ‫و‬ ‫ب‬ ْ
‫ل‬ َ
‫ق‬ ْ
‫ال‬ ُ‫ان‬ ‫س‬ ِّ ‫ل‬‫ال‬ َ‫د‬ ‫ُس‬‫ي‬
ِ‫ِ َ اع‬ ‫ل‬ ‫ر‬ ‫م‬ ‫ح‬ ْ‫ر‬ َ
‫ش‬ ُ ‫ة‬‫ار‬ ‫ َوعِ َب‬.
ِ َ َ َ َ ‫َ َ أِل‬ َ ِ َ
"Dan sebuah ibarat dari Syarah Imam Romli, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat lebih
jauh (selamat) dari was-was, serta untuk mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.
Selesai (pembahasannya)."

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al
Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) :

‫اج‬ ‫ني المحت‬ ‫ مغ‬-


( ‫ُق‬ ‫) َو ُي ْن دَبُ ال ُّن ْط‬ ‫اس‬
ِ ‫َو‬ ‫ُد َعنْ ْال َو ْس‬ ‫ب َوأِل َ َّن ُه أَب َْع‬
َ ‫ير ) لِي َُس اعِ دَ اللِّ َس انُ ْال َق ْل‬
ِ ‫َل ال َّت ْك ِب‬ ‫ْال َم ْن ِويِّ ( قُ َب ْي‬ ‫ِب‬
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati, karena hal tsb dapat
lebih jauh (selamat) dari was-was "

Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (‫السراج الوهاج على‬
‫اج‬ ‫)متن المنه‬ pada pembahasan tentang Shalat :

‫ان القلب‬ ‫اعد اللس‬ ‫ير ليس‬ ‫ل التكب‬ ‫ق قبي‬ ‫دب النط‬ ‫وين‬
"Dan disunnahkan mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu
hati"

Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin ( ‫[ )إعان ة الط البين‬I/153] :

‫البين‬ ‫ة الط‬ ‫– إعان‬


 ( ‫أي وال يجب فل و ن وى الظه ر بقلب ه وج رى على لس انه العص ر لم يض ر إذ الع برة بم ا في القلب ) قول ه وس ن نط ق بمن وي‬
 ( ‫أي وألن ه أبع د من الوس واس وقول ه وخروج ا من خالف من أوجب ه أي النط ق ب المنوي ) قول ه ليس اعد اللس ان القلب‬
“[Ucapan muallif : Disunnahkan mengucapkan niat] maksudnya tidak wajib, maka apabila hatinya
berniat shalat Dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat Asar, maka tidak masalah, karena yang
dianggap adalah apa yang ada didalam hati. [Ucapan muallif : Agar lisan membantu hati] maksudnya
adalah terhindari dari was-was dan menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya,
maksudnya mengucapkan niat.”

Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (‫شرح‬
‫البين‬ ‫اج الط‬ ‫دين المحلي على منه‬ ‫ة جالل ال‬ ‫)العالم‬ Juz I (163) :

( ‫ُق‬ ‫دَبُ ال ُّن ْط‬ ‫) َو ُي ْن‬ َ ‫انُ ْال َق ْل‬


‫ب‬ ‫اعِ دَ اللِّ َس‬ ‫ير ) ِلي َُس‬
ِ ‫َل ال َّت ْك ِب‬ ‫ْال َم ْن ِويِّ ( قُ َب ْي‬ ‫ ِب‬.
“Dan disunnahkan mengucapkan niat sesaat sebelum takbir (Takbiratul Ihram), agar lisan dapat
membantu hati””
Di dalam Kitab Matan Al-Minhaj li Syaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam Asy-Syafi'i :

‫ منهج الطالب‬-
‫ير‬ ‫ل التكب‬ ‫ق قبي‬ ‫ونط‬
"(Disunnahkan) mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram)"

Di dalam kitab Safinatun Naja karya  Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadlramiy ‘alaa
Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :

‫نة‬ ‫اس‬ ‫ظ به‬ ‫ا القلب والتلف‬ ‫ ومحله‬، ‫ه‬ ‫ا بفعل‬ ‫يء مقترن‬ ‫د الش‬ ‫ قص‬: ‫ة‬ ‫الني‬
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Tempatnya niat adalah di dalam
hati, sedangkan melafadzkan niat dengan menggunakan lisan hukumnya adalah sunnah"

Di dalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-
Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz)  :

‫ان القلب‬ ‫اعد اللس‬ ‫نة ليس‬ ‫المنوي فس‬ ‫ظب‬ ‫ا التلف‬ ‫أم‬
"Adapun melafadzkan niat, maka hukumnya adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati"

Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, di dalam kitab Minhajul Qawim (1/191) :

‫فصل في سنن الصالة وهي كثيرة ( و ) منه ا أن ه ( يس ن التلف ظ بالني ة ) الس ابقة فرض ها ونفله ا ( قبي ل التكب ير ) ليس اعد اللس ان القلب‬
‫ا من خالف من أوجب ذلك‬ ‫وخروج‬
"Fashal di dalam menerangkan sunnah-sunnah shalat. Sunnah-sunnah shalat itu banyak, diantaranya
adalah disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram di dalam sholat fardhu dan
sunnah, agar lisan dapat membantu hati, serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang
mewajibkannya"

Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala
syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon :

‫ا ً من خالف من أوجبه‬ ‫واب خروج‬ ‫ع األب‬ ‫ا في جمي‬ ‫ظ به‬ ‫ن التلف‬ ‫ا القلب ) نعم يس‬ ‫ ( ومحله‬: ‫ه‬ ‫قول‬
"Ucapan muallif : (Tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan melafadzkan niat di dalam
semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"

Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja',
pada pembahasan "Arkanush shalah" :

‫واس‬ ‫د عن الوس‬ ‫ه أبع‬ ‫ان القلب وألن‬ ‫اعد اللس‬ ‫ير ليس‬ ‫ل التكب‬ ‫المنوي قبي‬ ‫قب‬ ‫دب النط‬ ‫وين‬
"Dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan
karena hal tersebut dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "

Di dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin
Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1 :

‫ارها‬ ‫ان القلب على استحض‬ ‫اعد اللس‬ ‫تحب ليس‬ ‫ا؛ ولكن يس‬ ‫ظ به‬ ‫ترط التلف‬ ‫ة القلب؛ فال يش‬ ‫ل الني‬ ‫ومح‬
"Dan tempatnya niat adalah hati, maka tiada disyaratkan melafadzkannya, tetapi disunnahkan
(melafadzkan niat) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkannya"
Hawasyi Asy-Syarwaniy karya Abdul Hamid Al Makkiy Asy Syarwaniy (1/240) :

)240 ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫ادي‬ ‫رواني والعب‬ ‫ي الش‬ ‫حواش‬


‫ان القلب‬ ‫اعد اللس‬ ‫المنوي ليس‬ ‫ظب‬ ‫ا التلف‬ ‫ومنه‬
"Termasuk diantara kesunahan sholat adalah melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"

Abdurrahman Muhammad AL Hanafiy yang di kenal dengan Syaikhiy Zaadah dalam kitab Majma’al
Anhar juz 1 hal 232 :

)233232- ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫ر‬ ‫ع األنه‬ ‫مجم‬


ْ َ ْ َ ُّ
َ ‫ض ُّم التلفظِ إلى ال َقصْ ِد أف‬َ َّ ْ
َ ‫ َوذِك ُر َه ا ) َو‬، ٌ‫ب َف رْ ض‬ ْ ْ ُ ِّ ْ ْ
ِ ‫ النيَّة ِب ال َقل‬: ‫اع ال َع ِزي َم ِة ِب ِه َقا َل م َُح َّم ُد بْنُ ال َح َس ِن‬ ْ ْ
ِ ‫ار ال َقل‬
( ‫ض ُل‬ ِ ‫ب اِل جْ ِت َم‬ ِ ‫ض‬َ ْ‫لِ َما فِي ِه مِنْ اسْ تِح‬
‫ُل‬ ‫ض‬
َ ‫ا أف‬ ْ َ َ
‫ُع َب ْين ُه َم‬ ْ
ْ‫ َوال َجم‬، ‫نة‬ ٌ َّ ‫ان ُس‬
ِ ‫ ِباللِّ َس‬.
‫ٍذ ُت َب ا ُح‬ ‫ان َفحِي َن ِئ‬
ِ ‫ب إاَّل ِبإِجْ َرا ِئ َه ا َعلَى اللِّ َس‬ ِ ‫ُه إ َقا َم ُت َه ا فِي ْال َق ْل‬ ‫ان اَل يُمْ ِك ُن‬
َ ‫ٌة إاَّل َإذا َك‬ ‫ِة أَ َّن َه ا ِب ْد َع‬ ‫َوفِي ْالقُ ْن َي‬
“(Mengumpulkan melafadzkan niat kepada Qoshdu (niat) itu lebih utama) karena hal tersebut bisa
menghadirkan hati untuk mengumpulkan Azimah (niat). Muhammad bin Al Hasan berkata : Niat dengan
hati itu wajib dan menyebutknya dengan lisan itu sunnah, sedangkan mengumpulkan keduanya (hati
dan lisan) adalah Afdhol (lebih utama). Namun di dalam kitab Qunyah hal tersebut adalah bid’ah, kecuali
ketika tidak memungkinkan baginya untuk menegakkan niat di dalam hati melainkan dengan cara
mengucapkannya dengan lisan maka menjadi mubah.

Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat Juz 1 hal. 393, Makktabah
Syamilah :
)393 ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫رح منتهى اإلرادات‬ ‫ش‬
  ‫ٌد‬ ْ
‫َواهُ َتأكِي‬ ‫ا َن‬ ‫ُه ِب َم‬ ُ ُّ َ
‫َو َتلفظ‬
"Sedangkan pelafadz-an seseorang dengan apa yang diniatkannya adalah merupakan ta'kid (penguat)."

Berkata Ibnu Qudamah Al Maqdisiy  Al Hambaliy di dalam kitab Al Mughniy :

)319 ‫ ص‬/ 2 ‫ (ج‬- ‫ني‬ ‫المغ‬


‫ًدا‬ ْ
‫ان َتأكِي‬
َ ‫ َك‬، ُ‫َواه‬ ‫ا َن‬ َ
‫ظ ِب َم‬ َ
‫ َوإِنْ ل َف‬.
Apabila seseorang yang sholat melafadzkan apa yang diniatinya, maka hal tersebut menjadi Ta’kid
(penguat)  (Al Mughniy Juz 2 hal 319, Maktabah Syamilah).

KESIMPULAN DARI SEMUA KETERANGAN ULAMA DIATAS :

Tujuan dari melafadzkan niat adalah agar lisan dapat menghadirkan dan mengingatkan hati, yaitu
membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya adalah
sunnah. Selain itu lafadz niat adalah dipergunakan untuk ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.

ISTINBATH HUKUM DARI ULAMA YANG MENYUNAHKAN MELAFDZKAN NIAT

Ulama yang menyunahkan melafadzkan niat kketika akan sholat menqiyaskan dengan melafadzkan niat
dalam ibadah Haji, sebagaimana kita ketahui dalam hadis, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
melafadzkan niat ketika menunaikan ibadah Haji :

َ ‫ َل َّب ْي‬: ‫ص لَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َس لَّ َم َي ُق ْو ُل‬


‫ك ُع ْم َر ًة َو َح ًًّّجا (رواه مس لم‬ ُ ْ‫ض َي هللاُ َع ْن ُه َق ا َل َس مِع‬
ِ ‫ت َر ُس ْو َل‬
َ ‫هللا‬ ٍ ‫(عنْ اَ َن‬
ِ ‫س َر‬ َ
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku memenuhi
panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)

Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551, Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat
mendengar Rasulullah SAW mengucapkan :

‫ْت ْال َح َّج‬


ُ ‫َوي‬ ‫َر َة اَ ْو َن‬ ‫ْت ْال ُع ْم‬
ُ ‫َوي‬ ‫َن‬
“Saya niat mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”

Redaksinya begini :

654 ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫نة‬ ‫ه الس‬ ‫(فق‬


‫ويت الحج‬ ‫ أو ن‬،‫رة‬ ‫ويت العم‬ ‫ " ن‬:‫ول‬ ‫لم يق‬ ‫ه وس‬ ‫لى هللا علي‬ ‫معه ص‬ ‫هس‬ ‫ أن‬:‫د منهم‬ ‫" روى واح‬.

CATATAN : Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat diatas ketika beliau menjalankan ibadah
haji, namun sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini,
demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam
ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah (melafadzkan niyat)
ketika akan mengerjakan sholat.

Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh Al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami (‫) ابن حجر الهيتمي‬
didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) :

‫اج‬ ‫رح المنه‬ ‫اج في ش‬ ‫ة المحت‬ ‫ تحف‬-


ْ ْ
( ‫اس ا َعلَى َم ا َي أتِي فِي ْال َح ِّج ) َو َي ْندُبُ ال ُّنط ُق‬ َّ َ َ ‫ير ) لِ ُيسَاعِ دَ اللِّ َس انُ ْال َق ْل‬
ً ‫ب َو ُخرُوجً ا مِنْ ِخاَل فِ َمنْ أ ْو َج َب ُه َوإِنْ َش ذ َوقِ َي‬ ِ ‫ِب ْال َم ْن ِويِّ ( قُ َب ْي َل ال َّت ْك ِب‬
‫ْل‬ ْ َ َّ َ
‫نِي ُع ِبأن ُه ل ْم ُين َق‬ ْ َّ
‫ِه التش‬ ‫دَ ف ِِع ِب‬ ‫ْال ُم ْن‬
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sesaat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu
hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan
ini) adalah syadz ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena diqiyaskan terhadap adanya
pelafadzan dalam niat haji yang bisa digunakan untuk menolak adanya celaan bahwa kesunahan ini tidak
di nukil (dari hadis) ”

Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh
Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan :

‫نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب وألنه صلى هللا عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وع دم وروده ال ي دل‬
‫دم وقوعه‬ ‫على ع‬
"Ya, disunnahkan mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, karena sesungguhnya Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka kami
menqiyaskannya ke dalam Ibadah-ibadah yang lain, sedangkan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak
menunjukkan atas ketiadaan terjadinya"

Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam
kitab Mu'jam beliau (336) :

‫رئ‬ ‫ معجم ابن المق‬-


317 - ‫ موجها لبيت هللا مؤديا لفرض هللا‬، ‫ بسم هللا‬: ‫ « كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصالة قال‬: ‫ ثنا الربيع قال‬، ‫أخبرنا ابن خزيمة‬
‫بر‬ ‫ل هللا أك‬ ‫ز وج‬ ‫»ع‬
"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam Syafi'i ketika
akan masuk dalam Shalat berkata : “Bismillah Aku menghadap ke Baitullah, menunaikkan kewajiban
kepada Allah. Allahu Akbar.”

Perlu diketahui bahwa Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :

‫اس‬ ‫اع والقي‬ ‫نة واالجم‬ ‫اب والس‬ ‫تمداده من الكت‬ ‫واس‬.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah :

‫أن ليس ألح د أب دا أن يق ول في ش يء ح ل وال ح رم إال من جه ة العلم وجه ة العلم الخ بر في الكت اب أو الس نة أو األجم اع أو القي اس‬
“Selamanya seseorang tidak boleh mengatakan di dalam sesuatu, baik hukum halal maupun haram
kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan
Qiyas.”

‫قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم هللا وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رس ول هللا ولم نق ل‬
‫اس‬ ‫ه قي‬ ‫ل‬
Aku (Imam Syafi'i berkata) :  Jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap
perkara ada nasnya di dalam Al-Qur'an maka ini adalah hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya di
dalam as-Sunnah maka ini hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas
(jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).

Jadi maksud perkataan Imam Syafi'i diatas adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan
dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu
bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya secara shorih
di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?

Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum Takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan
diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sunnah
dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan
tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat shalat tetaplah sah, sedang melafadzkan niat saja tanpa
meniatkan dalam hati maka tidak mencukupi (tidak sah sholatnya), karena tempatnya niat adalah di
dalam hati. Maka melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk
menambah-nambah rukun shalat (karena dilakukan sebelum mengerjakan sholat, yaitu Takkbirotul
Ihram) sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini :

Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :

‫زأه‬ ‫انه أج‬ ‫ه دون لس‬ ‫وى بقلب‬ ‫إن ن‬ ‫ف‬


“Apabila dia berniat dengan hati tanpa lisannya, maka hal tersebut sudah mencukupi”

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, di dalam Kifayatul Ahyar, pada bab ( ‫باب أركان‬
‫الة‬ ‫)الص‬ hal 101, Maktabah Syamilah :

)101( - ‫ار‬ ‫ة األخي‬ ‫كفاي‬


‫ة القلب‬ ‫ع غفل‬ ‫ان م‬ ‫ق للس‬ ‫القلب فال يكفي نط‬ ‫برة ب‬ ‫ادات معت‬ ‫ع العب‬ ‫ة في جمي‬ ‫واعلم أن الني‬
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah di i’tibar dengan hati, maka tidak cukup hanya dengan
melafadzkan dengan lisan bersamaan dengan lupanya hati”
Sayyid Sabiq, pada pembahasan ‫ف رائض الص الة‬  dalam kitab Fiqhus Sunnah Juz 1 hal 133, Maktabah
Syamilah :

)133 ‫ ص‬/ 1 ‫ (ج‬- ‫نة‬ ‫ه الس‬ ‫فق‬


‫ان أصال‬ ‫ا باللس‬ ‫ق به‬ ‫ا القلب ال تعل‬ ‫ومحله‬
“Tempatnya niat adalah di dalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”

Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada
pembahasan Ahkamush Shalat :

) ُ‫ا ْال َق ْلب‬ ‫ِه َو م َُحلُّ َه‬ ‫ا ً ِبفِعْ ِل‬ ‫يْ ِء ُم ْق َت َرن‬ َّ ‫ُد‬
‫الش‬ َ ‫ُة) َوه‬
ْ ‫ِي َق‬
‫ص‬ ‫ال ِّن َي‬
“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di
dalam hati.”
Namun anehnya, nash-nash ibarat diatas ini sering di salah fahami oleh para wahabi mengenai tidak
diperbolehkannya melafadzkan niat. Mana ada kata atau kalimat yang melarang melafadzkan niat dalam
ibarat-ibarat diatas ?

Dari semua paparan diatas, kita bisa mengetahui bagaimana perbedaan pandangan ulama-ulama salaf
dan ulama- ulama Wahabi mengenai permasalahan melafadzkan niat ketika akan melaksanakan sholat.
Padahal selama ini kita sering mendengar klaim dan slogan Wahabi yang selalu mengataskan madzhab
dan manhaj mereka adalah mengikuti Salafush Sholih. Pertanyaan : Lalu Salafus Sholih manakah yang
diikuti oleh Wahabi dalam permasalahan ini ?

Wallohu A’lam

Ditulis oleh : Dodi El Hasyimi dari berbagai sumber

Share !

Tagged with: Menjawab Wahabi

About Asyaari Maturidi

This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the
"Biographical Info" field in the user admin panel.

«
Next

Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang Disalah Fahami Bab 3
(Bahagian I)

Previous

Kesesatan Amalan Mutaah Menurut Kitab-Kitab Syiah Dengan Menggunakan Kaedah Syiah-
Bahagian I

Related Posts

Ibnu Umar r.a dan Bidaah Hasanah: Meluruskan Pemahaman Abul


Jauzaa

17Dec2013

Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang


Disalah Fahami Bab 3 (Bahagian I)

16Dec2013

Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang


Disalah Fahami Bab 2 (Bahagian III)
16Dec2013

Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang


Disalah Fahami Bab 2 (Bahagian II)

14Dec2013

No comments:
Leave a Reply

Newer Post Older Post Home

 Populars
 Comments
 Archive

Sedikit Teguran Kepada Rozaimi Ramle Yang Menegur Sedikit Mufti Kedah

Ramai baru-baru ini isu wahabi dan syi’ah di Malaysia apatah lagi adanya fatwa Mufti Kedah
yang tidak mendukung ajaran Wahabi dan Syi...

Persamaan Syiah dan Wahabi ?

Kelopok Wahabi acapkali sering menuduh Ahlisunnah wal Jamaah memiliki kesamaan dengan
Syiah, baik yang mengamalkan tarekat shufi maupun...

Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang Disalah Fahami Bab 1

‫بسم هللا والصالة والشالم على رسول هللا سيدنا محمد بن عبد هللا وعلى اله وصحبه ومن وااله وال حول وال قوة اال با هللا اما‬
‫ بعد‬: Nabi shallahu ...

 Seputar Isu Riwayat Kewafatan Nabi SAW Menyebut Perkataan Ummati

 Terlalu berlebihan mempermasalahkan kisah kewafatan Nabi yang mengucapkan ummati,


ummati seandainya tidak ada riwayat sahihnya tentang uca...

Meluruskan Putar Belit Syiah Perihal Amman Message : Satu Analisis Ringkas

Kaum Syiah Rafidhah terutamanya di Malaysia dan Indonesia sering sahaja menjaja Amman
Message yang dipersetujui oleh beratus-ratus ulam...

Labels
 Menjawab Syiah
 Menjawab Wahabi

Popular Posts

Sedikit Teguran Kepada Rozaimi Ramle Yang Menegur Sedikit Mufti Kedah

Ramai baru-baru ini isu wahabi dan syi’ah di Malaysia apatah lagi adanya fatwa Mufti Kedah
yang tidak mendukung ajaran Wahabi dan Syi...

Persamaan Syiah dan Wahabi ?

Kelopok Wahabi acapkali sering menuduh Ahlisunnah wal Jamaah memiliki kesamaan dengan
Syiah, baik yang mengamalkan tarekat shufi maupun...

Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang Disalah Fahami Bab 1

‫بسم هللا والصالة والشالم على رسول هللا سيدنا محمد بن عبد هللا وعلى اله وصحبه ومن وااله وال حول وال قوة اال با هللا اما‬
‫ بعد‬: Nabi shallahu ...

 Seputar Isu Riwayat Kewafatan Nabi SAW Menyebut Perkataan Ummati

 Terlalu berlebihan mempermasalahkan kisah kewafatan Nabi yang mengucapkan ummati,


ummati seandainya tidak ada riwayat sahihnya tentang uca...

Ahlussunnah Wal Jamaah Research Group © 2013. All Rights Reserved.


Designed by Uong Jowo Publisher www.ketemplate.com

 Home

Search
Get paid to share your links!

 Home
 Bisnis »
 Downloads »
 Pendidikan »
 Life Style »
 Agama »
 Sosial
 Budaya
 Humor
 Health

11 January 2012
Dasar Hukum Melafalkan Niat Shalat

11:34 AM  A2D  2 comments

Ada beberapa permasalahan tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca
“Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat
melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya
semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya
menjadi asing dan sesuatu yang dipermasalahkan oleh sebagian kalangan yang tidak
sepemahaman dengan warga nahdliyin.

Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para
pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal
(Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk
mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya
bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia
hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang
niatnya itu masih benar.

Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali
bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan
Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula),
tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah
sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah
bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-
was.

Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
َ ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم يَقُ ْو ُل لَبَّ ْي‬
ً‫ك ُع ْم َرة‬ َ َ‫ض َي هللا ُ َع ْنهُ ق‬
ُ ‫ال َس ِمع‬
َ ِ‫ْت َرس ُْو َل هللا‬ ٍ َ‫َع ْن أَن‬
ِ ‫س َر‬
ً ‫َو َح ًّجا‬
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja
mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji,
bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau
dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat
hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu
yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok
ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama,
untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang
beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara
suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat
‘Ashar.

Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah
dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah.
Imam Ramli mengatakan:
ِ ‫الو ْس َو‬
‫اس‬ ِ ‫ب َوأِل َنَّهُ أَ ْب َع ُد َع ِن‬
Xَ ‫ان القَ ْل‬
ُ ‫اع َد اللِّ َس‬
ِ ‫ق بِال َم ْن ِويْ قُبَي َْل التَّ ْكبِي ِْر لِيُ َس‬ ْ ُّ‫َويُ ْندَبُ الن‬
ُ ‫ط‬
ُ‫ف َم ْن أَ ْو َجبَه‬
ِ َ‫ج ِم ْن ِخال‬ ِ ‫َولِ ْل ُخر ُْو‬
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-
an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang
mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437).
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan
shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat
hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Tapi hal ini tidak selesai disini saja. Pertentangan dan perbedaan pendapat terus terjadi. Semoga
alasan berikut ini menjadi tambahan dasar hukum yang kita miliki. Rasulullah menerangkan
bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan
menurut apa yang diniatkannya.
‫ إنَّما‬:‫سمعت رسول هللا * يقول‬
ُ :‫ قال‬X‫عن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب‬
‫ ف َمن كانت هجرتُه إلى هللا ورسوله‬،‫ وإنَّما لكلِّ امرئ ما نوى‬X،‫األعمال بالنيَّات‬
‫ ومن كانت هجرته لدنيا يُصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته‬،‫فهجرتُه إلى هللا ورسوله‬
‫إلى ما هاجر إليه‬
‫رواه إما َما المحدِّثين أبو عبد هللا محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه‬
‫ بن مسلم القشيري النيسابوري في‬X‫ وأبو الحسين مسلم بن الحجاج‬،‫البخاري‬
‫صحيحيهما اللذين هما أصحُّ الكتب المصنَّفة‬

Dari Umar bin al-Khattab RA, ia berkata,” Rasulullah  bersabda,” Suatu perbuatan itu tergantung
pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Maka siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan RasulNya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya kembali kepada apa yang dia
niatkan.” (Shahih Bukhari dalam Kitab an-Nikah no. 5126, Kitab al-Iman no. 54, & Kitab al-
Iman wa an-Nudzur no. 6771; Shahih Muslim dalam Kitab al-Imarah no.1907; Sunan at-
Tirmidzi dalam Kitab Fadhail al-Jihad no.1748; Sunan Abu Dawud dalam Kitab ath-Thalaq
no.2203).
Niat itu di dalam hati dan tidak dilafazhkan karena memang tidak ada hadits yang menyebutkan
shighat lafazh niat tersebut kecuali seperti hadits perintah Rasulullah  untuk melafazhkan
basmalah ketika akan berwudhu. Berkata Imam Asy-Syafi’i  di dalam kitab Al-Umm :
‫ث أَ ْو‬ٍ ‫ارةً ِم ْن َح َد‬ َ َ‫ئ ْال ُوضُو ُء إالَّ بِنِيَّ ٍة َويَ ْكفِي ِه ِم ْن النِّيَّ ِة فِي ِه أَ ْن يَتَ َوضَّأ َ يَ ْن ِوي طَه‬ُ ‫َوالَ يُجْ ِز‬
َ‫صالَ ٍة َعلَى ِجنَا َز ٍة أَ ْو ِم َّما أَ ْشبَه‬ َ ‫ف أَ ْو‬ ٍ ‫يض ٍة أَ ْو نَافِلَ ٍة أَ ْو لِقِ َرا َء ِة ُمصْ َح‬ َ ِ‫ارةً ل‬
َ ‫صالَ ِة فَ ِر‬ َ َ‫طه‬َ
‫ كتاب الطهارة باب قدر الماء الذي يتوضأ به‬. ‫هَ َذا ِم َّما الَ يَ ْف َعلُهُ إال طَا ِه ٌر‬
“Tidak sah seseorang berwudhu tanpa niat dan seseorang cukup dikatakan berniat bila ia
melakukan wudhu’. Ia berniat bersuci dari hadats atau bersuci untuk shalat fardhu,atau nafilah,
atau membaca al-Qur’an, atau shalat jenazah atau semisalnya yang tidak bisa dilakukan kecuali
oleh orang yang bersih.” (Al-Umm : Kitab Thaharah : Bab Kadar Air untuk Berwudhu’)
Maksud perkataan ini adalah ketika seseorang akan mengerjakan sesuatu, ia harus tanamkan niat
di dalam dirinya dengan kesungguhan bersamaan dengan pelaksanaan pekerjaan itu. Hal serupa
juga dikatakan Imam asy-Syafi’i  ketika membahas perkara niat shalat, juga di kitab Al-Umm :
َ ‫ير َوالَ تَجْ ِزي ِه النِّيَّةُ إالَّ أَ ْن تَ ُك‬
ِ ِ‫ون َم َع التَّ ْكب‬
َ‫ير ال‬ ِ ِ‫قال الشافعي َوالنِّيَّةُ الَ تَقُو ُم َمقَا َم التَّ ْكب‬
‫ون بَ ْع َدهُ – باب النية في الصالة األم كتاب الصالة‬ ُ ‫ير َوالَ تَ ُك‬ َ ِ‫تَتَقَ َّد ُم التَّ ْكب‬
”Dan niat itu tidak bisa menggantikan takbir dan tidak sah niat itu kecuali dilakukan bersamaan
dengan takbir. Tidak mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.” (Al-Umm : Kitab Shalat :
Bab Niat di dalam Shalat )
Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i  ini bahwa niat itu adanya di dalam
hati dan tidak dilafazhkan. Karena tidaklah mungkin melafazhkan niat tersebut jika harus
bersamaan dengan ucapan takbir. Apalagi menurut beliau  niat itu juga tidak boleh mendahului
takbir dan tidak pula setelah takbir.
Al-Imam Taqiyudin Abubakar bin Muhammad al-Husaini al-Hisni asy-Syafi’i, seorang ulama
besar madzhab Syafi’i, di dalam Kifayatul Akhyar berkata,”
ِ ْ‫ك َع ِن األَ ْك ِل َوال ُّشر‬
Xِِْ ‫ب َو‬
‫الْج َماع ال يصح‬ ُ ‫ النِّيَةُ َوا ِإل ْم َسا‬:‫َوفَ َرائِضُ الص َّْو ِم َخ ْم َسةُ أَ ْشيَا َء‬
‫ وال يشترط النطق بها بال خالف‬X،‫ ومحلها القلب‬،‫الصوم إال بالنية للخبر‬
“Dan kewajiban-kewajiban orang yang akan berpuasa ada lima: niat, menahan diri dari makan,
minum, dan bersetubuh. Dan tidak sah puasa kecuali dengan disertai niat, berdasarkan hadits-
hadits yang shahih. Niat letaknya di dalam hati dan tidak disyaratkan untuk dilafazhkan dengan
lisan, tanpa ada khilaf di kalangan para ulama.” ( Kifayatul Akhyar : Kitab Shiyam)
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafii v, penulis Fathul Qarib
berkata,”
‫ أَ َح ُدهَا (النِّيَةُ) َو ِه َي قَصْ ُد ال َّش ْي ِء ُم ْقتَ َرنا ً بِفِ ْعلِ ِه َو‬ ‫صالَ ِة ثَ َمانِيَةَ َع ْش َر َر ْكنًا‬
َّ ‫ان ال‬ ُ ‫َواَرْ َك‬
ُ‫ُم َحلُّهَا ْالقَ ْلب‬
“Rukun-rukun shalat itu ada 18 (delapan belas), yaitu : Niat, yaitu memaksudkan sesuatu
bersamaan dengan perbuatannya. Sedangkan tempat niat itu berada di dalam hati.” (Fathul
Qarib : Kitab Ahkamus Shalat)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah  berkata, “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin,
tempat niat itu di hati bukan lisan di dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat,
puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan
kesungguhan di dalam hati.” (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)
Demikianlah para ulama ahlussunnah yang masyhur tidak ada yang mengajarkan bentuk lafazh
niat itu dan sekiranya lafazh niat itu ada dari Rasulullah  pastilah telah ada pada kitab-kitab
mereka. Hal ini karena masalah niat adalah perkara yang penting dan menjadi syarat keabsahan
suatu ibadah, jadi niscaya mereka tidak akan meluputkannya.

Wallahu a’lam bish-shawab.


Posted in: Agama,Dalil,Dasar,Hukum,Ibadah,Shalat,Syari'ah

2 comments:

Umi Kaltsum says:


December 10, 2012 at 9:21 PM Reply
http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu'afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang HUKUM
MELAFADZKAN NIAT...insyaAllah mencerahkan..

Di dalamnya dijelaskan 11 argumentasi terpenting yang menunjukkan MUBAHNYA pelafalan


niat...12 tanggapan beliau thd. sebagian kaum muslimin yang berpendapat bahwa melafalkan niat
dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah...tanggapan thd. pendapat yang mensunnahkan dan
mewajibkan...DAFTAR NAMA PARA ULAMA YANG TIDAK MELARANG PELAFALAN
NIAT..dan terakhir adalah pesan beliau ttg. penyikapan dalam adab/tata krama terhadap ikhtilaf
ulama...

Umi Kaltsum says:


December 10, 2012 at 9:23 PM Reply

http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

Berikut petikannya...

"Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau
sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut ibadah
Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji, Umroh, berkurban,
Kaffaroh,I’tikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim,
membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut manfaatnya juga
dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain ataukah tidak, juga tidak membedakan
apakah ibadah tersebut dilakukan langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya
mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan
mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua
kepentingan yang syar’i. Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri,
bukan menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak
dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu
ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah,
syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi
kemubahannya."

Post a Comment

Tinggalkan Komentar Anda

Get paid to share your links!


 As'ad List
 Labels
 Blog Archives

My Blog List

tebuireng.org

Semarak Milad, Makhis Madrasah Mu’allimin Tebuireng Adakan Lomba Lalaran

Blog Bisnis Online

Khasiat Tanaman Ciplukan

wakromedia

BELAJAR BLOS SAMA ANAK KELAS XI IPS

Addarticle

Bromo mountain

Program pascasarjana IKAHA

Buku tamu
Didukung Oleh

Translate
Share It
Dukung Aku Dengan Join Di Sini Ya....!!
TEBUIRENG
 Semarak Milad, Makhis Madrasah Mu’allimin Tebuireng Adakan Lomba
Lalaran - Tuesday, November 25, 2014 - abror

Addarticle
 Bromo mountain - Tuesday, December 20, 2011 - aad
 Meyda Sefira a Beautiful Indonesia Artist - Monday, October 24, 2011 - aad
 Komodo Island an Indonesia Tourism Place - Friday, October 21, 2011 - aad
 Metallica the Legend - Friday, October 21, 2011 - aad
 Iwan Fals - Monday, October 17, 2011 - aad
Popular Posts

Dalil Hukum Aqiqah dan Pelaksanaannya

Pengertian dan Sejarah Aqiqah Aqiqah menurut bahasa artinya memotong. Dinamakan
aqiqah (yang dipotong), karena dipotongnya leher binatang d...

Ilmu dan Nilai (Bebas nilai atau terkait dengan nilai)

Oleh: As'ad Al-Tabi'in Al-Andalasi,S.PdI Dosen Pengampu: Dr.H.Imron,M.Pd Panca


indera adalah alat bagi akal untuk menyerap pengetah...

Shalat Rawatib dan Fadhilah / Keutamaan-nya

Sholat Rowatib adalah sholat sunah yang dikerjakan mengiringi sholat fardhu (sebelum
atau sesudahnya). Jika dikerjakan sebelumnya dinamakan ...

Metode Targhib dan Tarhib Dalam Pendidikan Islam

Apa sich pengertian Targhib wa Tarhib ? Bagaimana jika dipakai sebagai metode
pembelajaran ? Targhib adalah janji yang disertai bujukan da...

Shalat Dhuha, Do'a dan Keutamaannya

Sholat Dhuha adalah sholat yang dilakukan pada waktu matahari sedang naik. Waktunya
dimulai ketika matahari telah naik kira-kira satu tomba...

Share

Subscribe

Follow Us!

Be Our Fan

Didukung oleh

Labels
Agama Anti Virus Aqiqah Artikel Software Bloging Budaya Business Cari Uang Dalil Dasar
Filsafat Free Download Games Hukum Humor Ibadah Internet Kesehatan Keutamaan shalat
rawatib Kitab Klasik Komputer Otomotif Pemrograman Pendidikan Pendidikan Islam PTC
Pustaka artikel Renungan Resensi Buku Sejarah Kebudayaan Islam Shalat Shalat Dhuha Shalat
Rawatib Shalat Sunnah Skripsi Skripsi Pendidikan Software Sosial Syari'ah

Facebook Contact
As'ad Al-tabi'in Al-Andalasi

Buat Lencana Anda

Hitats
Ini Yang Anda Cari
Visitors

Free counters
 
Copyright © 2011 As'ad Collection | Powered by Blogger
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes |
cna certification
Downloaded from Free Templates
 Home
 Contact
 About
 Privacy
 Pasang Iklan

Search this w ebsite...

My Life is My Spirit
 Blogging
 Tools HTML
 Tips VB.Net
 Seputar Kesehatan
 Al-Quran
 Video
 Foto
 Youtube

Jam Sekarang
Histats
Kategori
 Al-Islam (20)
 Basis Data (5)
 Bisnis Online (1)
 Internet (5)
 Kesehatan (26)
 Komputer (10)
 Software (10)
 Tips Java (4)
 Tips VB.Net (6)
 Tutorial Blog (17)
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda!

Jangan Lupa di Komentar Ya!


Home » Al-Islam » Hukum Melafadzkan Niat Shalat Menurut NU Dan Muhammadiyah

6
Hukum Melafadzkan Niat Shalat Menurut NU Dan
Muhammadiyah
Baik Nahdhatul Ulama maupun Muhammadiyah sepakat bahwa niat dalam shalat
merupakan bagian dari rukun. Perbedaan pendapat hanya muncul dalam menjawab
pertanyaan, apakah niat shalat perlu dilafadzkan atau tidak, dan apa hukumnya
melafadzkan niat dalam shalat?

1.    Nahdhatul Ulama

Melafadzkan niat shalat ketika menjelang takbiratul ihram sudah menjadi kebiasaan
warga NU. Lafadl niat shalat diawali dengan kalimah “ushalli” yang artinya “aku berniat
melakukan shalat”. Kalau yang akan dikerjakan shalat shubuh maka lafadh niatnya
yang lengkap menjadi “Ushalli fardla subhi rak’ataini mustaqbilal kiblati ada’an lillahi
ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu subuh dzuhur dua empat raka’at dengan
menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT).

Hukum melafadzkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ikhram, demikian Cholil
Nafis, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU dalam situs resmi NU, menurut
kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab
Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah. Hal ini  dikarena melafadzkan
niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat
seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.

Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab, jika seseorang
salah dalam melafadzkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafadzkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap
adalah niatnya bukan lafadz niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat
‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak
mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.

Berkaitan dengan pendapat yang tidak menganjurkan pelafadzan niat shalat, Cholil
Nafis tak lupa melengkapi argumennya. Ia menambahkan, bahwa menurut pengikut
mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah)
melafadzkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang
yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan
Malikiyah, bahwa melafadzkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan
(khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafadzkan
niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa
melafadzkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan)
melafadzkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.

Dasar atau argumen NU selanjutnya adalah hadist Rasul tentang pelafadzan niat dalam
suatu ibadah wajib yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat
melaksanakan ibadah haji.

“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).

Memang, ketika Nabi Muhammad SAW  melafadzkan niat itu bukan untuk ibadah
shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Namun demikian, menurut
Cholil Nafis, apa yang dikerjakan Nabi tersebut tidak berarti selain haji. Apa yang
dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni disunnahkannya pelafadzan
niat shalat. 

Tempatnya niat ada di hati, NU tidak menampik hal ini. Namun demikian, masih
menurut Cholil Nafis, untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal yaitu :
1.      Islam
2.      Berakal sehat (tamyiz)
3.      Mengetahui sesuatu yang diniatkan
4.      Tidak ada sesuatu yang merusak niat. 

Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur
tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal.
Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti
membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid.
Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti
membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar. Karena melafadzkan niat
sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan
Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafadzkan niat adalah sunnah. 

Fatwa sunnah melafadzkan niat dari NU juga dikuatkan dengan pendapat 


Imam Ramli dalam kitab Nihayatul Muhtaj: “Disunnahkan melafadzkan niat menjelang
takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-an) hati, agar terhindar dari
gangguan hati dan karena menghindar dari perbedaan pendapat yang mewajibkan
melafadzkan niat”.
Selain itu, dasar-dasar tersebut di atas, melafadzkan niat (Talaffudz Binniyah) juga
berdasar kepada al-Qur’an surat ayat (disunnahkannya melafadzkan niat Ayat–ayat Al-
Qur’an berikut:
Tidaklah seseorang itu mengucapkan suatu perkataan melainkan disisinya ada malaikat
pencatat amal kebaikan dan amal kejelekan. (Qaaf: 18)

Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu


semuanya. kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh
dinaikkan-Nya. dan orang-orang yang merencanakan kejahatan bagi mereka azab yang
keras. dan rencana jahat mereka akan hancur. (Q.S. Fathir: 10)

Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid
yaitu Laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada
pula yang mengatakan semua perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah.
Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala.

Melafadzkan niat dengan lisan adalah suatu kebaikan yang akan dicatat amalnya oleh
Malaikan pencacat amal kebaikan. Segala perkataan hamba Allah yang baik akan
diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk
ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).

Hadits-Hadist lain yang menjadi dasar talaffudz binniyah adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra. Beliau berkata: “Pada suatu hari
Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang
dimakan? Aisyah Rha. menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu
pun”. Mendengar itu Rasulullah Saw. bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR.
Muslim).

Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan niat atau talafudz bin
niyyah ketika beliau hendak berpuasa sunnat.

Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda
ketika tengah berada di Wadi Aqiq: ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini
dan ucapkanlah “sengaja aku umrah di dalam haji”. (Hadis Sahih riwayat Imam-Bukhari)

Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul Adha bersama
Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor
kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: “Dengan nama Allah, Allah Maha
Besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban
di antara ummatku.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)

Dari hadis-hadis di atas, menunjukkan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan


lisan atau talafudz binniyah ketika beliau akan haji, puasa, maupun menyembelih
qurban, sehingga hal ini sangat bisa diqiyaskan dalam perkara shalat.
Sekali lagi, perlu ditegaskan bahwa, fungsi melafadzkan niat, menurut Fuqoha kaum
NU adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan shalat
sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafadzkan niat sebelum
shalat hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak
berdosa.

2.    Muhammadiyah

Dalam kitab himpunan Putusan Tajrih Muhammadiyah, pada pembahasan masalah


shalat, di awali dengan beberapa dalil, baik al-Qur’an dan hadis. Berkaitan dengan
tema yang sedang kita bahas, ada satu dalil hadist yang diletakkan dalam pendahuluan
HPT Muhammadiah bab Shalat, yakni Hadits dari Malik bin Huwairits ra. bahwa
Rasulullah saw. Bersabda, yang artinya:

"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat". (HR. al-Bukhari).

Hadist tersebut menjadi salah satu dasar bagi Muhammadiyah bahwa niat dalam shalat
tidak perlu dilafadzkan. Karena memang tidak ada dalil yang memerintahkan atau tidak
ada peristiwa di mana para shahabat Nabi melihhat Nabi Muhammad melafadzkan niat
dalam shalat.

Sejauh ini, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) tidak menyebutkan secara
rinci berkaitan dengan alasan-alasan Muhammadiyah tidak melafadzkan niat shalat.
Dalam HPT hanya disebutkan bahwa “Bila kamu hendak menjalankan shalat, maka
bacalah: "Allahu Akbar", dengan ikhlas niatmu karena Allah seraya mengangkat kedua
belah tanganmu sejurus bahumu, mensejajarkan ibu jarimu pada daun telingamu.”
Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
at-Tirmidzi, yang artinya:

"Kunci (pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam".
Juga hadis shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah, jika shalat ia menghadap ke
Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya dengan membaca "Allahu Akbar".
Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam shalat menurut Muhammadiyah.
Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah 6:

"Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan
ikhlas kepadaNya daam menjalankan Agama".(Q.S. AL-Bayyinah: 6)

Juga hadis Rasulullah Saw:

“Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Namun Muhammadiyah tidak memberikan pedoman kepada warganya untuk


melafadzkan niat. Muhammadiyah menyatakan bahwa niat itu bukan amalan anggota
tubuh. Rasulullah memisahkan antara amalan-amalan anggota tubuh dengan niat,
bahwa niat itu yang menggerakkan tubuh untuk beramal.  Oleh karena itu melafadzkan
niat, bagi Muhammadiyah bukanlah sesuatu yang disunnahkan. Dalil dari fatwa ini
jelas, bahwa melafadzkan niat tidak pernah dilakukan Rasulullah saw.

Hal ini pernah ditegaskan oleh Syakir Jamaluddin, Ketua Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat
memberikan materi “Ibadah Praktis Perspektif Muhammadiyah” pada acara Baitul
Arqam Karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Syakir Jamaluddin
mengatakan, bid’ah (penyimpangan) yang terjadi di masyarakat mengenai tata cara
shalat Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai niat. Niat itu, kata Syakir, di dalam hati
secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut
sehingga tidak perlu diucapkan. Ia melanjutkan, tidak ada satu pun hadis, baik yang
dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya tuntunan melafadzkan niat ketika
hendak memulai shalat.

Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafadzkan niat shalat adalah,
bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang, maka niat tidak perlu
diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan
dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya.

Pendapat Yang Tersebar di Indonesia..???

Pendapat yang tersebar di Indonesia adalah bahwa melafalkan atau men-jahr-kan


(mengeraskan) niat adalah pendapat Imam Syafi’i, salah satu ulama besar ahli fiqh.
Padahal yang sebenarnya bahwa itu bukanlah pendapat Imam Syafi’i melainkan
pendapat Abdullah Az-Zubairi, salah satu ulama bermadzhab Syafi’i. Sebagaimana
diterangkan oleh Imam Nawawi :

...Abdullah Az-Zubairi berpendapat, tidak cukup bagi seseorang dalam hal niat, kecuali
dengan mengumpulkan antara niat dalam hati dengan ucapan lisan, karena Imam
Syafi’i mengatakan dalam bab haji: ‘Apabila ia berniat haji atau umroh (dalam hati),
maka itu sudah cukup baginya, meski tanpa ucapan, tidak seperti sholat yang tidak sah
kecuali dengan ucapan’…. (Imam Nawawi mengatakan): “Para sahabat kami
mengatakan: Orang ini (Abdullah Az-Zubairi) telah jatuh dalam kesalahan, karena yang
dimaksud oleh Imam Syafi’i ‘ucapan dalam sholat’ adalah ucapan takbir bukan ucapan
niat....
(Imam Nawawi, Majmu’ Syarah Muhadzdzab 3/241)

Dan hal ini berarti, bahwa pendapat yang mendukung adanya pelafalan atau
pengerasan niat jatuh ke dalam derajat yang sangat lemah dan bahkan para ulama
membid’ahkannya. Hal ini dikarenakan beberapa hal, diantaranya:

Yang pertama, bahwa pendapat ini hanya disampaikan oleh satu orang, yaitu Az-
Zubairi dan kemudian diambil oleh banyak orang.
  
ang kedua, Az-Zubairi salah memahami perkataan Imam Syafi’i mengenai antara niat
haji dan shalat. Yang dikeraskan dalam shalat yang dimaksud adalah takbir, dan bukan
niatnya.

Yang ketiga, seandainya pun Az-Zubairi menqiyaskan (menganalogikan atau


menyamakan) antara niat haji yang dikeraskan dengan niat shalat, maka hal ini pun
keliru. Niat shalat tidak boleh disamakan dengan niat haji, karena pada dasarnya
perintah shalat turun terlebih dahulu sebelum haji. Dan kaidah penting dalam ilmu fiqh
adalah yang terdahulu tidak boleh disamakan dengan apa yang turun sesudahnya. 

Yang keempat, tidak ada dalil yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang
memerintahkan untuk melafalkan niat. Jika ada hadits-nya maka hadits itu derajatnya
dhaif (lemah). Sama sekali tidak ditemukan riwayat yang shahih mengenai anjuran
mengeraskan niat, baik itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat,
tabi’in, dan imam 4 madzhab. (Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, Al-
Minzhar fi Katsir min al-Akhta’ asy-Sya’i’ah)

Bahkan, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad dan Al-Huda An-Nabawi
menyatakan, Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri untuk shalat beliau
mengucapkan “Allahu Akbar” dan beliau tidak berkata apapun selain itu. Beliau juga
tidak melafalkan niatnya dengan keras. Beliau tidak berkata, “Saya berniat shalat
karena Allah begini dan begini sambil menghadap kiblat, empat rakaat...” (Al-Minzhar
hal. 22)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,


"Seandainya ia mengatakan dengan lisannya sesuatu yang bertentangan dengan apa
yang diniatkannya dalam hatinya, maka yang menjadi patokan adalah apa yang
diniatkannya bukan apa yang diucapkannya. Seandainya ia berkata dengan lisannya,
namun tidak ada niat dalam hatinya, maka hal itu tidak sah berdasarkan kesepakatan
para imam kaum muslimin. Karena niat itu sejenis maksud dan tekad".
(Lihat Shahih Fiqh Sunnah I/148, Abu Malik Kamal bin Sayyid Salim) 
 1  12 Digg0
 
Komentar →
Di Terbitkan oleh Ahmad Khoiri → 07.31

Kategory → Hukum Melafadzkan Niat Shalat Menurut NU Dan Muhammadiyah » Al-Islam »


My Life is My Spirit

6 komentar:

Yudi sukenji mengatakan...

Terimakasih Postingnya mas,,Benar-benar bermampa'at dan sesuai dengan sunah dan


logika.

14 Juli 2013 11.51

ahmad faridi mengatakan...

[Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
at-Tirmidzi, yang artinya - pembuka shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan
penghabisannya salam".
apakah wudlu ter / masuk bagian dr sholat karena seingatku definisi umum sholat adalah
dimulai takbir d diakhiri salam.ga usah bawa2 kunci segala..wudlunya sdh 10 jam yg
lalu..
dr situ juga apakah bacaan sebelum takbir ter / masuk bag dr sholat..hayo
pencerahannya ! ..sebab selama ini aku baca usholli sekeras2nya karena belum takbir
alias blm masuk dlm sholat..hayo pencerahannya ...yg ihlas ya jangan karena ego tapi
harus karena ALLOOH SWT

20 Februari 2014 02.16

Ahmad Khoiri mengatakan...

Memang definisi shalat secara umum dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam..
namun wudhu termasuk salah satu syarat sah nya shalat. Jadi, makna wudhu disini seperti
yang saudara sebutkan itu adalah pembuka/permulaan yang mesti terpenuhi sebelum kita
bertakbir untuk memulai shalat. Atau lebih jelasnya, perbuatan yang harus dipenuhi
sebelum kita memulai takbir. Jadi, makna wudhu tsb seolah2 di kiaskan.. kita mestinya
memahami makna tersirat yang terkandung di dalamnya..

24 Februari 2014 12.07

mas burhan mengatakan...

apakah termasuk baik atau jelek jika lebih mengikuti seseorang dari pada mengikuti rosul
dan sahabatnya. saya jadi bingung karna penjelasan tdk disertai hujjah yg ilmiah dan
mengapa dianggap sunnah pdhal sunnah sendiri adalah riwayat hidup nabi. mohon
penjelasan yg lebih ilmiah atau bukti2. trimakasih

4 April 2014 07.43

Anonim mengatakan...

yo pokoke seng dilakoke NU ke mesti salah.


ormas sak penake udele dewe.

27 April 2014 21.01

Anonim mengatakan...

Selama ini orang masih belum bisa membedakan antara niat dan lafadz .
Kalau niat di Hati, klo diucapkan lafadz .
Padahal selama ini belum ada Hadist sahih yg membuktikan bahwa niat sholat pakai
Ushali . .

2 Juni 2014 00.23

Poskan Komentar

◄ Posting Baru Posting Lama ►

About Me

Ahmad Khoiri
Adalah putra daerah kampar kiri yang sedang menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Muhammadiyah Riau, Pekanbaru.
Lihat profil lengkapku
Be My Friend
Pengunjung
Arsip Blog
 ►  2011 (15)

 ►  2012 (70)

 ▼  2013 (20)
o ►  Januari (5)
o ▼  Februari (5)
 Hukum Melafadzkan Niat Shalat Menurut NU Dan Muham...
 Tips Menghilangkan Bekas Jerawat Secara Alami
 Tips Menghilangkan Komedo Secara Alami
 Mengobati Penyakit Usus Buntu Dengan Ramuan Alami
 Obat Herbal Untuk Mengatasi Mata Minus / Plus
o ►  Maret (1)
o ►  April (1)
o ►  Juni (6)
o ►  Oktober (2)

Artikel Populer
 Bacaan Shalat Berdasarkan Putusan Tarjih Muhammadiyah
 Hukum Melafadzkan Niat Shalat Menurut NU Dan Muhammadiyah
 Tata Cara Mandi Junub Berdasarkan Hadits Shahih
 Cara Membuat AutoNumber / Kode Otomatis Pada VB.Net
 Tata Cara Shalat Tahajud Berdasarkan Putusan Tarjih Muhammadiyah
 Menampilkan Data Dari Database Ke ComboBox
 Manfaat Air Seni Untuk Mengobati Sakit Mata
 Manfaat Dan Bahaya Sayur Bayam
 Bacaan Sayyidul Istighfar Dan Khasiatnya
 Bacaan Dzikir Setelah Shalat Fardhu

 
ARTIKEL TERBARU
TRANSLATE THIS PAGE

KOMENTAR TERBARU
Tanggal 25 Nov 2014 godzilla berkomentar pada cara membuat autonumber kode otomatis:
sewaktu kita buat form (klik 2x atau view code)muncul : public class form1 (dibawah ini baru
ketik p...

Tanggal 14 Nov 2014 ineke berkomentar pada load data dari database ke combobox:
terima kasih, sangat membantu

Tanggal 08 Nov 2014 Kang Fand berkomentar pada load data dari database ke combobox:
'" + CboPenerbit.SelectedValue + "' sangat membatu sekali.. terima kasih..

Tanggal 06 Nov 2014 Anonymous berkomentar pada cara agar textbox hanya bisa di input:
makasih mas...simple tapi sangat membantu

Tanggal 30 Oct 2014 Anonymous berkomentar pada cara membuat autonumber kode otomatis:
gajelas jadi nya

Tanggal 30 Oct 2014 Roeri Achmad berkomentar pada bacaan shalat menurut majelis tarjih:
doa ruku' n sujud itu dibaca brapa kali ?

Tanggal 27 Oct 2014 hacker berkomentar pada mengatasi sinyal wi fi yang lemah:
percayalah sma sofware2 gitu2ansemau gak berjalan seperti yang kita inginkan.... saya udah
pakai tap...

Tanggal 22 Oct 2014 Bernando Hutajulu berkomentar pada load data dari database ke
combobox:
da sama ds nya itu apa gan

Copyright © 2012. My Life is My Spirit - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Bamz

ShareThis Copy and Paste


- See more at: http://khoiri-ludaiberbagi.blogspot.com/2013/02/hukum-melafadzkan-niat-shalat-
menurut.html#sthash.0TDpXH22.dpuf
Catatan harian seorang muslim
Ya Allah.. berilah kami ridlo-Mu

Menu
Skip to content

 Beranda
 Kami
 Sejarah/Manaqib
 Tentang Blog Ini

Melafalkan Niat Shalat menurut 4 Madzab


Februari 12, 2008 · by orgawam

Penjelasan di bawah tentang melafalkan niat sholat saya kira cukup jelas. Ini merupakan
kelanjutan (catatan lain) dari dua buah artikel tentang niat sholat terdahulu.

Melafalkan Niat dalam Shalat

Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla
dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat
fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata
karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan
sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan
para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin
Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu
untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan
shalatnya.

Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya
bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia
hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang
niatnya itu masih benar.

Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali
bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan
Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula),
tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah
sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah
bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-
was.

Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw pada saat melaksanakan ibadah haji.

ً ‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم يَقُوْ ُل لَبَّ ْيكَ ُع ْم َرةً َو َح ًّجا‬ ُ ‫ض َي هللا ُ َع ْنهُ قَا َل َس ِمع‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬ ٍ َ‫ع َْن أَن‬
ِ ‫س َر‬

“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja
mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).

Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji,
bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau
dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.

Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat
hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu
yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok
ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama,
untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang
beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara
suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat
‘Ashar.

Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah
dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah.
Imam Ramli mengatakan:
ُ‫ف َم ْن أَوْ َجبَه‬ ْ ُّ‫َويُ ْندَبُ الن‬
ِ ْ‫اس َولِ ْل ُخرُو‬
ِ َ‫ج ِم ْن ِخال‬ ِ ‫ب وَأِل َنَّهُ أَ ْب َع ُد َع ِن‬
ِ ‫الوس َْو‬ َ ‫اع َد اللِّ َسانُ القَ ْل‬
ِ ‫ق بِال َم ْن ِويْ قُبَ ْي َل التَّ ْكبِي ِْر لِيُ َس‬
ُ ‫ط‬

“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-
an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang
mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)

Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan
shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat
hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum
sunnah adalah menyalahi syri’at Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab.

H.M.Cholil Nafis, MA.


Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU
.

Sumber: http://www.nu.or.id/

Fatwa-fatwa para ulama Syafi’iyah yang berkaitan dengan talaffudh bin niyyah ini:
− Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj menyebutkan: “Niat itu tempatnya didalam hati dan
disunnatkan melafazkannya sesaat sebelum takbir”.
− Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12 : “Dan disunnatkan melafazkan apa yang
diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar
dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz
yakni menyimpang. Kesunnatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafazan dalam niat
haji”.

−  Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 1/437 : “Dan disunnatkan melafazkan apa yang
diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dan karena pelafazan itu dapat
menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkan”.

………………………….

Pendapat para ulama madzhab yang empat dalam masalah talaffudh bin niyyah.
− Dr.Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fighul Islami jilid 1/767 menyebutkan:“Disunnatkan
melafazkan niat menurutjumhur ulama selain madzhab Maliki”.
Dalam kitab yang sama jilid 1/214, menurut madzhab Maliki diterangkan bahwa: “Yang utama
adalah tidak melafazkan niat kecuali bagi orang yang was-was, maka disunatkanlah baginya
melafazkan agar hilang daripadanya keragu-raguan”.
Dengan keterangan diatas dapat kita simpulkan:  Sunnat melafazkan niat shalat atau
membaca ushalli sesaat menjelang takbiratul ihram dengan tujuan agar lidah menolong hati atau
agar terhindar dari was-was (kebimbangan dan keragu-raguan).
Fatwa semacam ini adalah fatwa dalam madzhab Hanafi, Syafi’i dan madzhab Hambali. Adapun
madzhab Maliki, maka disunnatkan bagi yang berpenyakit was-was saja.

Sumber: http://sanggarislamik.blogspot.com/2011/04/bab-7imembaca-ushalli-sebelum.html

About these ads


Memuat...

Terkait

Fatwa Misterius, Ajaran NU Dianggap Sesat (1)In "wahaby"

Macam-Macam Shalat SunnahIn "Fikih Syafi'y"

Kultum Ramadhan Bid’ah?In "bid'ah"

Pos ini dipublikasikan di Fikih Syafi'y. Tandai permalink.

Navigasi pos
« Rasulullah SAW & Pengemis Yahudi
Potret Galaksi Terjauh dan Tertua »

113 thoughts on “Melafalkan Niat Shalat menurut


4 Madzab”

1. orgawam berkata:

Agustus 26, 2008 pukul 02:48

Ia adalah diqiyaskan dari lafaz niat haji.

Di dalam hadith ertinya :

Dari saidina umar r.a, beliau berkata : Saya dengan RasuluLLah s.a.w berkata di Wadi
Aqiq : datang tadi malam pesuruh dari Tuhanku, ia memerintahkan supaya kita solat di
lembah yang diberi berkah ini, dan ucapkanlah “Ini Umrah dalam Haji” (Hadith Sahih
riwayat Imam-Bukhari, Sahih BUkhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135)

Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usolli ini diqiyaskan kepada haji.
Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
Di dalam hadith Muslim :

Dari Anas bin Malik, beliau berkata : Saya dengar RasuluLLah s.a.w mengucapkan
“Labbaika, Aku sengaja mengerjakan umrah dan Haji (Hadith riwayat Muslim – Syarah
Muslim Juz VIII, hal 216)

Diriwayatkan Abu Musa Al-Ashari:


Saya mendatangi Nabi pada tempat yang disebut AlBatha’. Nabi berkata, “Apakah
engkau melaksanakan Ihram untuk Haji ?” Aku katakan,”Ya” Beliau berkata,”Bagaimana
engkau mengungkapkan niyatmu?” Saya berkata,”Labbaik untuk melaksanakan Ihram
dengan niyat yang sama sebagaimana Rasulullah.” Nabi berkata,”Laksanakan Tawaf
keliling Ka’bah antara Safa dan Marwa, dan kemudian menyelesaikan Ihrammu.” Maka
aku melaksanakan Thawaf berkeliling Ka’bah dan antara Safa dan Marwa kemudian
datang ke wanita dari suku bani Qais yang menghilangkan kutu di rambutku.
(Sahih Bukhari /5/680)

Di dalam “Minhaj” satu kitab fiqih induk dalam Madhzhab Syafi’ie. Beliau (Imam
Nawawi) menyebutkan : “Dan niat itu adalah di dalam hati. Sunnat pula
mengucapkannya sebelum Takbir” (Minhaj pada bab sifat sembahyang)

“Dan sunnat mengucapkan sesuatu yang diniatkan sebelum takbir, gunanya supaya
bacaan dapat menolong hati, dan supaya jangan terlalu jauh dari fatwa orang yang
memfatwakan wajib” (Fathul Mu’in bab Sifatthussholah, Zainuddin al Malibary)

Balas

o Muhammad Arasy berkata:

Agustus 29, 2010 pukul 05:43

Saudara saudaraku terlepas dari benar dan salah itu semua adalah hak dari
ALLAH SWT. kita adalah bersaudara dan saudara muslim lebih kuat dari saudara
kandung, janganlah saling menuding dan menghakimi orang lain serta
menganggap diri kita (atau kelompok kita) yg paling benar mari kita jalani saja
segala amal ibadah dengan tujuan untuk menyembah, mengabdi dan bertakwa
kepada Rabb semesta alam yg maha pemurah dan penyayang dan berbuat amal
saleh sebanyak mungkin, semua yg kalian bicarakan disini tidak akan dibahas
dihadapan Rabb kelak kecuali amal ibadah kita sendiri Wass wbr. mohon maaf
atas segala kelancangan saya

–> maaf mas.. saya berkeberatan kalau dikatakan saling menuding, saling
menyalahkan. Artikel kami adalah menampilkan dalil landasan amal kami, bukan
menyalahkan yg lain atau merasa kami paling benar.
Alangkah baiknya jika anjuran anda ini disampaikan kepada orang-orang yg
suka menuding atau menyalahkan atau mem-vonis sesat.

Terima kasih. maaf kl tak berkenan.

Balas

o mukmin berkata:

September 1, 2010 pukul 04:45

jangan berdasar pada mahzab mas, dari 4 mahzab itu aja berkata seandainya apa
yang saya tulis tidak pada hadist/tidak pernah dicontohkan oleh nabi maka apa
yang saya tulis jangan dipakai, buang saja pakailah yang lebih shohih…
pertanyaan yang muncul adalah hadist yang seperti apa yang jadi pedoman???
yang pasti hadisny harus ada isnad,matan tidak boleh lemah, nasabnya harus
sampai pada rasullullah…praktek cara sholat bisa ditemukan pada hadist
kutubussitah.

–> mas firman atau mukmin, penjelasan sudah jelas baik di artikel ataupun di
komentar. Dan perkara mengucapkan niat shalat ini bukan wajib, jadi tak ada
yang mengharuskan.

Balas

 prass berkata:

November 25, 2010 pukul 04:42

alamaak…
macam ada ulama saat ini yg ilmu nya ngelebihi imam syafii sm imam
ahmad aja…sebutkan….
yg ada mungkin setapak kakinya kali yaa…
alamaak…
emang nya ikutin imam 4 mazhab,nggak ikutin rasul apa…

 wawan berkata:

November 29, 2010 pukul 07:35

iya tuh mas prass,


Dikiranya para Imam itu ga berdasarkan Nabi kali..
Cuma Syeikh Albani&Syeik Baz aja tuh yg berkiblatkan ke Nabi
kayaknya..
Saya aja trsenyum geli mmbaca komennya..
Ketauan betapa dangkalnya pemahaman tentang sejarah..
Gitu kok ngaku2 pendukung Tauhid&Sunnah sejati..
lucu ya..

Walah..walah..
Jadi orang buta tapi kok ga sadar dirinya buta..

 wawan berkata:

November 29, 2010 pukul 07:37

mas Firman,
Kutubus Sitah trjemahan yg udah diedit&dipalsu ya mas..
Hehehe..
kitab editan kok dibikin pegangan mas..

 mahsun berkata:

Mei 22, 2011 pukul 18:10

sudaaaah, jangan sok pandai, betapa hebat kalian…? bahas masalah agama
dgn ilmu yg masih dangkal, malah jadi bid’ah, tanya ajalah sama alim
‘ulama. sudah pada sholat belum kalian…? sana sholat duluuu…

 okyfile berkata:

Mei 1, 2012 pukul 08:58

Tidak usah diperdebatkan. ingatlah segala yang diungkapkan harus bisa


dipertanggung jawabkan. Yang penting masing-masing mengetahui
dalilnya. Bila yang berpendapat niat shalat itu bisa atau bahkan “sunnah”
bila dilafalkan, monggo di kaji dalil2nya biar kalo ada yang nanya bisa
jelasin. Bila ada yang berpendapat Niat Shalat itu hanya didalam hati
tanpa perlu di lafalkan, silahkan saja, toh niat itu adalah pekerjaan hati.

 syukri haqier berkata:

Desember 12, 2012 pukul 09:14


mas….itu bagusx ulama2 dl..hanis ngarang kitab,mereka mengoreksi
kmudian beristighfar

tdk sama ulama’2 antum

2. sandhi berkata:

Agustus 29, 2008 pukul 09:05

NIAT

Rasulullah b menerangkan bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan


seseorang akan mendapatkan balasan menurut apa yang diniatkannya.

‫ب‬ ِ ‫ ع َْن ُع َم َر ْب ِن ْالخَطَّا‬a ‫ قَا َل قَا َل النَّبِ ُّي‬b ‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه‬ ْ ‫ فَ َم ْن َكان‬،‫ئ َما نَ َوى‬ ٍ ‫ َوإِنَّ َما ِال ْم ِر‬،‫” ْال َع َم ُل بِالنِّيَّ ِة‬
‫هَّللا‬ َ َ
َ ‫ فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى َما ه‬،‫ُصيبُهَا أ ِو ا ْم َرأ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا‬
‫ فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى ِ َو َرسُولِ ِه‬b ‫َاج َر إِلَ ْي ِه‬ ِ ‫َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى ُد ْنيَا ي‬ ْ ‫ َو َم ْن َكان‬. ”

Dari Umar bin al-Khattab a,,,,,,,,, , ia berkata,” Rasulullah b bersabda,” Suatu perbuatan
itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan
apa yang dia niatkan. Maka siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan RasulNya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau wanita yang ingin dinikahinya
maka hijrahnya kembali kepada apa yang dia niatkan.” (Shahih Bukhari dalam Kitab an-
Nikah no. 5126, Kitab al-Iman no. 54, & Kitab al-Iman wa an-Nudzur no. 6771; Shahih
Muslim dalam Kitab al-Imarah no.1907; Sunan at-Tirmidzi dalam Kitab Fadhail al-Jihad
no.1748; Sunan Abu Dawud dalam Kitab ath-Thalaq no.2203).

Niat itu di dalam hati dan tidak dilafazhkan karena memang tidak ada hadits yang
menyebutkan shighat lafazh niat tersebut kecuali seperti hadits perintah Rasulullah b
untuk melafazhkan basmalah ketika akan berwudhu. Berkata Imam Asy-Syafi’i v di
dalam kitab Al-Umm :

ْ‫ض ٍة أَوْ نَافِلَ ٍة أَو‬ َ ِ‫ث أَوْ طَهَا َرةً ل‬


َ ‫صالَ ِة فَ ِري‬ ٍ ‫ئ ْال ُوضُو ُء إالَّ بِنِيَّ ٍة َويَ ْكفِي ِه ِم ْن النِّيَّ ِة فِي ِه أَ ْن يَتَ َوضَّأ َ يَ ْن ِوي طَهَا َرةً ِم ْن َح َد‬
ُ ‫َوالَ يُجْ ِز‬
‫ – (كتاب الطهارة باب قدر الماء الذي‬. ‫طا ِه ٌر‬ َ ‫صالَ ٍة َعلَى ِجنَا َز ٍة أَوْ ِم َّما أَ ْشبَهَ هَ َذا ِم َّما الَ يَ ْف َعلُهُ إال‬ َ ْ‫و‬َ ‫أ‬ ‫ف‬ ْ‫ص‬
ٍ َ ُ ‫لِقِ َرا َء ِة‬
‫ح‬ ‫م‬
) ‫يتوضأ به‬
“Tidak sah seseorang berwudhu tanpa niat dan seseorang cukup dikatakan berniat bila ia
melakukan wudhu’. Ia berniat bersuci dari hadats atau bersuci untuk shalat fardhu,atau
nafilah, atau membaca al-Qur’an, atau shalat jenazah atau semisalnya yang tidak bisa
dilakukan kecuali oleh orang yang bersih.” (Al-Umm : Kitab Thaharah : Bab Kadar Air
untuk Berwudhu’)

Maksud perkataan ini adalah ketika seseorang akan mengerjakan sesuatu, ia harus
tanamkan niat di dalam dirinya dengan kesungguhan bersamaan dengan pelaksanaan
pekerjaan itu. Hal serupa juga dikatakan Imam asy-Syafi’i v ketika membahas perkara
niat shalat, juga di kitab Al-Umm :
ِ ِ‫ير َوالَ تَجْ ِزي ِه النِّيَّةُ إالَّ أَ ْن تَ ُكونَ َم َع التَّ ْكب‬
) – ُ‫ير الَ تَتَقَ َّد ُم التَّ ْكبِي َر َوالَ تَ ُكونُ بَ ْع َده‬ ِ ِ‫قال الشافعي ( َوالنِّيَّةُ الَ تَقُو ُم َمقَا َم التَّ ْكب‬
)‫( باب النية في الصالة األم كتاب الصالة‬
”Dan niat itu tidak bisa menggantikan takbir dan tidak sah niat itu kecuali dilakukan
bersamaan dengan takbir. Tidak mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.” (Al-
Umm : Kitab Shalat : Bab Niat di dalam Shalat )

Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i v ini bahwa niat itu adanya di
dalam hati dan tidak dilafazhkan. Karena tidaklah mungkin melafazhkan niat tersebut jika
harus bersamaan dengan ucapan takbir. Apalagi menurut beliau v niat itu juga tidak boleh
mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.
Al-Imam Taqiyudin Abubakar bin Muhammad al-Husaini al-Hisni asy-Syafi’i v, seorang
ulama besar madzhab Syafi’i, di dalam Kifayatul Akhyar berkata,”
(‫اع‬ ِ ْ‫ك ع َِن األَ ْك ِل َوال ُّشر‬
Xِِْ ‫ب َو‬
ِ ‫الْج َم‬ ِ ‫ النِّيَةُ َو‬:‫ ومحلها ) َوفَ َرائِضُ الصَّوْ ِم َخ ْم َسةُ أَ ْشيَا َء‬،‫ال يصح الصوم إال بالنية للخبر‬
ُ ‫اإل ْم َسا‬
‫ وال يشترط النطق بها بال خالف‬،‫القلب‬
“Dan kewajiban-kewajiban orang yang akan berpuasa ada lima: niat, menahan diri dari
makan, minum, dan bersetubuh. Dan tidak sah puasa kecuali dengan disertai niat,
berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Niat letaknya di dalam hati dan tidak disyaratkan
untuk dilafazhkan dengan lisan, tanpa ada khilaf di kalangan para ulama.” ( Kifayatul
Akhyar : Kitab Shiyam)
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafii v, penulis Fathul
Qarib berkata,”

(‫صالَ ِة ثَ َمانِيَةَ َع ْش َر َر ْكنًا‬ َ ُ‫أَ َح ُدهَا (النِّيَةُ) َو ِه َي قَصْ ُد ال َّش ْي ِء ُم ْقتَ َرنا ً بِفِ ْعلِ ِه َو ُم َح ُّلهَا ْالقَ ْلب‬
َّ ‫)واَرْ كَانُ ال‬
“Rukun-rukun shalat itu ada 18 (delapan belas), yaitu : Niat, yaitu memaksudkan sesuatu
bersamaan dengan perbuatannya. Sedangkan tempat niat itu berada di dalam hati.”
(Fathul Qarib : Kitab Ahkamus Shalat)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata, “Menurut kesepakatan para imam kaum
muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan di dalam semua masalah ibadah, baik
bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena
niat adalah kesengajaan dan kesungguhan di dalam hati.” (Majmu’atu ar-Rasaaili al-
Kubra, I/243)
Demikianlah para ulama ahlussunnah yang masyhur tidak ada yang mengajarkan bentuk
lafazh niat itu dan sekiranya lafazh niat itu ada dari Rasulullah b pastilah telah ada pada
kitab-kitab mereka. Hal ini karena masalah niat adalah perkara yang penting dan menjadi
syarat keabsahan suatu ibadah, jadi niscaya mereka tidak akan meluputkannya.
Wallahu’alam.

Abu Hazazi Sandhi Kusuma

–> Mas .. diskusilah dengan baik. Saya tak tahu, apa motivasi anda mengirim naskah
copy paste ini sampai dua kali. Lihat d sini. Jawaban saya masih sama seperti yg
kemarin di link depan itu.

Alhamdulillah dalil-dalil anda memperkuat pula pendapat kami. Setuju bahwa niat itu
letaknya berada di hati, bukan lesan. Ucapan niat dilakukan untuk membantu
menetapkan niat di hati. Demikianlah pendapat-pendapat para ulama yang saya ketahui.
Ucapan lafadz niat dilakukan sebelum takbir, tidak bersama-sama takbir. Itu artinya
sebelum sholat.. bukankah kita bebas melakukan apapun sebelum (yg berarti di luar)
sholat. Lalu .. apa salahnya jika melafadzkan niat ketika akan sholat. Dgn demikian
bersamaan dengan takbiratul ikhram, niat di hati telah menetap mantab sesuai dgn
lafadz niat yg baru saja diucapkan.

Sedangkan komentar-komentar anda itu adalah tafsiran anda sendiri. Penafsiran


ngawur dari sebuah kitab yg agung. Dari mana referensi anda. Apakah berdasar kitab2
syafiiyah juga? Jika anda berguru kitab al-Umm kepada ulama yang bermadzab Syafii
(kitab Al Umm adalah karya Imam Syafii), niscaya anda tak kan mengatakan misal spt
ini ,

Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i v ini bahwa niat itu
adanya di dalam hati dan tidak dilafalkan. ………………

Demikianlah para ulama ahlussunnah yang masyhur tidak ada yang


mengajarkan bentuk lafadz niat itu …………….

Pada kenyataannya dalam madzab syafii lafadz niat itu disunnahkan, karena membantu
menetapkan hati. Simaklah kembali kata2 gus Mus ini, (beliau adalah salah seorang
ulama bermadzab Syafii, sesepuh NU, yang tinggal di Rembang, Jawa Tengah)

Niat itu memang tempatnya di hati. Kalau hanya ucapan Usholli fardlo dzuhri
dan seterusnya saja itu namanya bukan niat.

Kalau demikian, lalu apa gunanya baca Usholli?

Gunanya untuk menolong agar hati kita itu ingat mensahajakan, sebab manusia
itu tempatnya lupa. Apalagi di dalam niat itu, kita harus Ta’ridh dan Ta’yin.
Untuk ingat mensahajakan sholat berikut ta’ridh dan Ta’yin adalah tidak mudah.

Balas

o okta15 berkata:

Januari 7, 2010 pukul 14:57

saya orang bodoh yg gak ngerti isi kitab-kitab yg masyhur. tapi kalau dicerna
betul-betul, lebih masuk akal paparan orgawam dibanding sandhi

Balas

 Abi Tauhid berkata:


Desember 1, 2010 pukul 01:49

Makanya belajar …..

o wawan berkata:

Desember 2, 2010 pukul 15:21

betul mas Okta, makanya belajar.. (haha, kaya saya udah belajar aja..)

tapi nyari kitabnya yg original ya, jangan yg udah diedit/ dipalsu Wahabi..
terus kalo bisa satu mazhab dulu aja, misalnya Syafii, jangan kaya Wahabi yg
bukan Syafii tapi membahas2 mazhab syafii, pake kaca mata minus buat baca
koran (ya terang aja ngga nyambung..
sibuk ngurusin mazhab orang, sedangkan mazhabnya sendiri yg nyebutin Allah
duduk di Arsy, Allah duduk di Kursi, Allah naik turun langit bumi, malah ga
diurusi..

Balas

 Iwan Allay berkata:

Juli 22, 2012 pukul 09:26

kayanya saya pusing membaca komentar orang-orang pinter ini,ada yg


fanatik buta dgn madzhabnya,ada yg pobia sama aliran tertentu,de…el…
el….yg benar yg mana yach ???

o ari berkata:

Maret 30, 2012 pukul 02:04

Assalamu’alaikum..
maaf mas, tp bukannya Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah
mencontohkan untuk membaca kalimat Ushalli fardla,dst.. sebelum sholat, trus
logikanya kalo kita melakukannya berarti kita mengada-ada/menambah-nambahi..

–> wangalaikumsalam wrwb. tidak menam bah-, karena di luar shalat. Tidal Ada
contoh (di luar shalat) bukan berarti dilarang.

Balas
3. Abu Ahmad berkata:

September 2, 2008 pukul 01:35

Ibadah itu mesti melihat Contoh (petunjuk Rasululloh), baik itu ibadah Haji, Sholat
maupun Ibadah-ibadah lainnya.

Kama Ro’aitu Munni Usholly, “Sholatlah kamu sebagaimana aku sholat”

Adakah Rasululloh mencontohkan Sholat dg melafalkan niat ? dari mana kalimat (dari
mana tekstual lafal) yg seperti ini “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal
kiblati ada’an lillahi ta’ala” ??? adakah dalilnya bahwa Rasulullah mencontohkan dg
kalimat-kalimat seperti itu ketika mau sholat ?

Jika ada tolong sebutkan dalilnya ?

Jika tidak ada contoh dari Rasululloh, mengapa juga harus di diambil qias dari niat Rasul
ketika Haji ? sedangkan sholat sudah jelas syarat dan rukunnya. (silahkan baca kitab
shifatul sholat Nabi yg ditulis oleh Syaich Nasirudin Al-Albani).

Sekiranya benar melafalkan niat itu bisa membantu menguatkan hati, apakah Antum
dalam setiap mau melakukan sesuatu selalu melafalkan niat ? seperti Antum mau buang
Hajat, Antum mau Pergi Ke Kantor atau Antum mau naik Bus, adakal antum melafalkan
“Ushalli … aku berniat mau Buang Hajat, atau aku berniat mau Naik Bus karena Alloh” ?

Benarkah ketika Antum mau buang hajat tetapi tidak melafalkan niatnya, lantas Antum
tidak berhasil mengeluarkan kotoran, meskipun Antum sudah jongkok diatas closed ?

Apakah Antum ketika berangkat kekantor tanpa melafalkan niat, kemudian Antum nyasar
kemana-mana ?

Tentu tidak !!! karena hati Antumlah yg yg mengendalikan langkah kaki Antum,
sehingga segala yg Antum kerjakan dan lakukan bisa terlaksana, dan Alloh maha tahu
apa-apa yg antum niatkan dalam hati antum meskipun tidak diucapkan sekalipun (Alloh
maha mendengar dan tidak tuli).

Wallohua’lam

–> Ibadah harus selalu dengan contoh Nabi saw?? Yang kalau tak ada contoh Nabi,
maka masuk kategori bid’ah (sesat) yg wajib dilempar ke neraka? Bagaimana dengan
adzan, baginda Rasul saw tak pernah melakukan adzan selama hidupnya. Bagaimana
dengan ibadah2 umum (ghairu mahdah)?

Dalam madzab Syafi’i, adanya lafadz niat ini adalah Qiyas dari haji. Apakah anda
menolak dalil Qiyas? Jika iyaa … maka selesailah diskusi. Karena pijakan berbeda.
Saya tak pakai madzab albani .. banyak kerancuan dalam pengambilan hukum di sana.
Silakan anda pakai madzab albani jika anda mantab. Namun anda tak berhak menuduh2
bid’ah kepada madzab lain, karena kami pun punya hujah yg kuat.

Ketika ada orang ke mana2 mengucapkan niatnya … biarlah … bagi saya tak masalah.
Setiap orang punya argumen-nya sendiri2 dalam tindakannya.

Balas

o Abi Tauhid berkata:

Desember 1, 2010 pukul 01:55

Duh Abu Ahmad, antum ini kayaknya cuma belajar di satu tempat, kayaknya
antum dan taqlid buta sama ulama antum. Coba antum pikirkan, Sekaliber Imam 4
Mahzab itu ada gak yang lebih canggih setelah kehidupan beliau, termasuk Syekh
Albani dan Syek Baz, Antum kira mereka Imam 4 Mahzab menetapkan suatu
hukum hanya karena nafsu mereka, kalau begitu antum bodoh banget. Ilmu dan
kepahaman mereka lebih tinggi dan pemahaman mereka tentang bid’ah lebih
dalam dari seluruh ulama setelah mereka. Yang antum harus perhatikan Solat itu
adalah ibadah yang dimulai dari takbir dan diakhiri salam, begitulah yang Nabi
SAW contohkan, jadi sebelum takbir apapun yang kita lakukan tanpa melihat
contoh Nabi SAW itu Mubah, karena itu diluar Sholat, misalnya melafazkan niat.
Yang gak bid’ah itu kalau lafaz niat itu diwajibkan. Gitu aja kok repot.

Balas

 Assyafiiayah berkata:

Februari 20, 2012 pukul 04:14

Bida’ah ada dua, bid’ah hasanah dan dholalah.


yang dilarang adalah bid’ah dholalah.
seperti ziarah qubur dengan niat meminta rizki pada org yang diziarahi.
tetapi kalau niat mendoakan si mayit mengapa tidak boleh? itu dianjurkan.

jadi bidah hasanah dianjurkan.


jika semua macam bidah tidak boleh, ngapain kamu pake sarung, motor,
pesawat, dan sebagainya.
semua yang ada sekarang ini bidaha dong, padahal juga untuk beribadah.
niat sholat, imam syafii tidak mewajibkan, tetapi kan hanya sunah. lalu
kalau kami melafalkan niat, mengapa anda protes wahai orang?
kan kami beraharap tambahan pahala dari dengan menjalankan sunah,
dengan melafalkan niat.
kalao ente nggak mau tambahan pahala ya silaahakan.

 marzuki berkata:

Maret 9, 2012 pukul 18:04

ya saya sangat senang sekali penjelasan ABI TAUHID yang sama sekali
tdk ada perubahan masalah ibada yg sudah terbiasa di lakukan oleh ummat
muslim yg ada di negara kita, sebagai mana yg tlah di ajarkan kpd kita
oleh orang2 sebelum kita, tetapi saya sangat kecewa dgn perkataan ABU
AHMAD seolah olah dia itu mengangapnya para wali para ulama lebih
bodoh dari dia(abu ahmad jadi sok pahlawan kesiangan) sebetulnya klo
dia merasah muslim dan merasa yg paling pinter,ko ga memilih kesatuan
dan persatuan sesamah muslim, justru malah sebaliknya,malah sepertinya
berusaha mati2an untuk bisa memecah belahkan ummat islam ,ABU
AHMAD tlong dong klo emang kamu ga sepaham dengan kami
.beribadalah sesuai dgn amalan2 yang kamu yakini benarnya,,,jangan
merubah bangunan yng sudah kokoh,,intinya,,klo amalan yg kami yakini
ini merutmu salah dan berdosa biarkan kami yg menjalani, hentikan
sifatmu yg membuat orang menjadi gelap mata

 DODO berkata:

Maret 16, 2012 pukul 02:52

“KULLU BID’ATUN DOLAALAH……………..”

dalam tata bhasa Arab,,, kata “kul” apa dulu mas?? “yang ngaku2
Pengikut Imam Syafi’i”

“kul” disana adalah yang mengartikan “setiap tanpa kecuali”……


ada nya paham bid’ah hasanah itu kesesatan yang sangat jauh…………..

Dan……yang perlu Anda garis bawahi bahwa bid’ah itu kaitannya hanya
dengan masalah ibadah mas bro…. bukan masalah yang lain,,,apalagi
tentang cara berpakaian kita…..

klo “bodoh” jangan di pelihara mas!!! domba aja pelihara biar gemuk!!!
wkwkwkwkwkwkwkwkwk……………………………………..

–> berpakaian itu ibadah mas.. itu menutup aurat. Sehingga cara
berpakaian pun menjadi ibadah. Maka cara berpakaian anda yg dengan
batik itu bid’ah.. tidak pernah dicontohkan Nabi saw.
 hakim berkata:

Juli 22, 2012 pukul 21:34

siapa bilang tidak dicontohkan rasulullah


anda saja yang belum sampai riwayatnya
dizaman rasululllah itu sudah ada desain semacam batik
tapi rasulullah tidak melarangnya
tapi ada warna yang dilarang oleh rasulullah
karna warna itu kesukaan setan
anda bisa cari riwayatnya sendiri

betul pakaian itu ibadah makanya rasulullah mencontohkan


cara berpakaian
contohnya pakaian laki2 itu diatas mata kaki tidak boleh MUSBIL
dan pakaian wanita tidak boleh ketat dan harus menutup aurat secara
kaffah

adapun bentuk pakaian dan jenis pakaian rasulullah tidak pernah


membatasi
kecuali warna merah yang menyalah dan polos itu dilarang sama nabi
selain itu tidak ada larangan

betul apa yg dikatakan dodo bahwah bid’ah itu tentang ibadah


karnah nabi diutus untuk itu
bukan diutus sebagai mekanik atau tukang bangunan

nabi menyerahkan kepada ummatnya tentang urusan dunia


ANTUUM ‘ALAMUU BIUMURI DUNIAKUUM
antum cari riwayatnya dan asbabul wurutnya,

insa’allaoh anda dapatkan


adapun ulama yng membagi bid’ah itu beberapa bagaian itu
hanya secara logowi saja

bisa dibuktikan karna para imam itu tidak ada yang membikin bid’ah
kalau ada anda bisa buktikan lalu kita bahas
bid’ah apa yang dibikin imam safi’i atau imam nawawi dll
beri contoh satu saja sebagai tolak ukur

biar kita membahas perkataan imam dengan buktinya


apa imam safi’i membikin maulut nabi misalnya
tahlilan dalam kematian dll
biar kita ngak berebut pepesan kosong
dan bisa ketemu mana yang mendekati kebenaran
karna ngak mungkin kita bisa menemukan kebenaran mutlak
karna para ulama’ saja berbeda pendapat tentang masalah BID’AH

kalao ulama berbedah pendapat maka dalil kita bukan ulama’ tapi,,,,,
ithe fanaja’tuum bisyaian faruduhu ilallah werasuluhu kurang lebih begitu
dan coment disini selamanya tidak akan bisa ada kesepakatan
karena tidak ada moderator
semuanya merasa pendapatnya paling benar tapi hati2 semua apa yang kita
ucapkan nanti diminta pertanggung jawaban di hadapan ALLOH
tidak ada yang gratis semuanya berisiko
pastikan dulu apa yang anda katakan harus ada dalil dan bukti
jadi kalaupun salah kita sudah berusaha mengikuti dalil dan contoh dari
nabi

o syaikhu berkata:

Juni 10, 2012 pukul 02:18

batik bidah….. ada2 aja…..trus yang kama raitumuni usalli… udah pernah
melihat nabi ta

Balas

o Iwan Allay berkata:

Juli 22, 2012 pukul 09:47

ternyata penulis blog ini tidak lebih bodoh dari saya,penulis tidak paham arti kata
” contoh Nabi ” ,bukankah dlm ilmu mustolah hadist kata contoh nabi termasuk
perbuatan beliau, ucapan beliau,dan juga persetujuan beliau trhadap perbuatan
para sahabatnya,adzan,nabi mgkin tidak mengucapkannya tapi mimpi sahabat
trsbut di acc oleh beliau,ini namanya contoh nabi juga loh mas…dan buat Abu
Tauhid, bagaimana kalau ucapan anda dibalik arah ke anda? anda sudah
mempelajari semua madzhab?sekali lagi saya katakan blog ini isinya orang-orang
pinter dlm tanda kutip……

–> mungkin anda benar.. bahwa pemilik blog tidak lebih pandai dari anda. Saya
masih perlu banyak belajar. Terima kasih. Kalau definisi “contoh Nabi” seperti
yg anda kemukakan, tentu tuduhan bid’ah sesat tidak akan sebanyak sekarang.
Tapi pernah di blog ini juga, penuduh bid’ah tdk berkutik ketika ada hal-hal baru
oleh sahabat tanpa contoh Nabi. Maka definisi diubah, harus ada contoh Nabi
dan sahabat. Kemudian, terbukti ada hal-hal baru di zaman tabi’in tanpa contoh
sahabat dan contoh Nabi. Dst. Apakah definisi-nya perlu diubah lagi?

Sedang ada pembahasan tentang “contoh Nabi” yang diungkap oleh mas Imam.
Silakan simak. Ada di sini,
http://orgawam.wordpress.com/2010/12/11/2581/#comment-7727

Balas

 hakim berkata:

Juli 22, 2012 pukul 20:51

setuju banget
ana apa yang antum katakan

4. Abu Ahmad berkata:

September 2, 2008 pukul 01:43

Lafas-lafas (lafal-lafal) sholat sudah ada contohnya dari Rasululloh, sejak dari Takbirotul
ichrom sampai Salam.

Sedangkan Rasululloh tidak pernah mengajarkan lafal niat sholat seperti yg Antum
sebutkan diatas.

Tidaklah pantas kita membuat-buat atau mengarang-ngarang lafal untuk dimasukkan ke


dalam Ibadah, sebab Islam itu sudah sempurna, dan lafal-lafal dalam sholat sudah
ditetapkan.

Wallohua’lam bisawab

–> Rupanya anda tak membedakan antara niat dan mengucapkan lafadz niat. Lafadz
niat (sunnah) diucapkan sebelum takbiratul ikhram. Artinya sebelum shalat. Bukankah
kita bebas melakukan apa-pun sebelum shalat.

Sedangkan niat sendiri bersamaan dengan takbir. Dalam madzab Syafi’i, lafadz niat
dihukumi sunnat karena untuk memantabkan hati ketika beniat saat takbiratul ikhram.

Wallahu a’lam.

Balas
o Assyafiiayah berkata:

Februari 20, 2012 pukul 04:19

yah kami hanya berharap tambahan pahala aja dengan mengerjakan sunah, seperti
melafalzkan niat.

kalau ada yang tidak melafalkan niat, mungkin merasa pahalanya udah banyak,
jadi nggak perlu mengerjakan yang sunnah.

Balas

o hakim berkata:

Juli 22, 2012 pukul 23:30

yang disebut sunnah itu bukan kata imam safi’i


tapi yang di lakukan oleh nabi didiamkan oleh nabi atau diperinthkan oleh nabi
inilah yg namanya sunnah

sejuta imam safi’ipun kalau ngak ada dalam setandar diats itu tetap bukan sunnah
dalil itu alqur’an dan hadist bukan imam
ini perkataan yang ngawur

lalu bagaimana kalo saya katakan imam anu mengangap bid’ah


lalu mana yang benar padahal ngak mungkin semua benar sebelum kita lihat dalil
yang shoheh

Balas

5. Abu Ahmad berkata:

September 2, 2008 pukul 01:56

Artikel Buletin An-Nur :


Masalah Niat Dalam Ibadah
Rabu, 07 April 04

Dengan memohon petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , kita akan membahas
masalah niat dalam ibadah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya semua amalan itu hanyalah dengan niat, dan bagi setiap orang
mendapatkan apa yang telah ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Dari hadits di atas ada beberapa poin yang perlu dibahas, di antaranya:

Definisi niat adalah; Kemauan hati untuk melakukan sesuatu.


Tempatnya adalah dalam hati dan tidak ada hubungannya dengan lidah.

Kalimat menunjukkan sebab terjadinya amal perbuatan. Bahwasanya segala bentuk


perbuatan pasti didorong oleh niat untuk mela-kukannya. Setiap amalan orang berakal
yang mempunyai ikhtiar pasti terjadi karena adanya niat. Mustahil ada seorang waras
yang berwudhu’, berangkat untuk shalat, bertakbir, dan melaksanakan shalat, tetapi
dikatakan bahwa ia tidak atau belum berniat. Sedangkan ia melakukan semua itu dari
dorongan keinginan hatinya, itulah yang disebut dengan niat.

Sehingga sebagian ulama mengata-kan: “Seandainya Allah membebani kita untuk


beramal tanpa niat, sungguh itu adalah suatu beban yang tidak akan sanggup dipikul.”

Sedangkan makna adalah hasil atau balasan yang diperoleh seseorang dari amalnya
tergantung pada niat. Apakah amalan tersebut dilakukan secara ikhlas hanya karena
Allah, atau karena riya’, sum’ah, atau untuk tujuan dunia lainnya.

Walaupun seseorang mengucapkan lafadz niat dengan lisannya tetapi hatinya tertuju
kepada selain Allah, maka yang akan dihitung adalah yang tersirat dalam hatinya.

Hadits tersebut di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa niat yang ikhlas adalah
salah satu syarat diterimanya amalan shaleh.
Bila ada yang mengatakan bahwa niat itu adalah salah satu rukun dari rukun-rukun shalat,
maka harus dimulai ketika mulai mengangkat tangan pada takbiratul ihram sampai pada
kata akbar , sebab rukun suatu amalan harus berada di dalam amalannya.

Yang benar, niat adalah syarat semua amalan, bukan rukun dalam setiap amalan.

Contoh dalam shalat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang
lelaki yang rusak shalatnya: “Jika kamu bangkit hendak shalat, maka baguskanlah
wudhu’mu, kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah, selanjutnya bacalah yang
termudah bagimu dari Al-Quran.”(HR. Al-Bukhari).

Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk memulai shalat dengan perintah “bertakbirlah”, bukan dengan
“berniatlah” , dan tidak juga “bertakbirlah dan sertakan niat dalam takbirmu”.

Tidak. Karena, kalimat “Jika kamu bangkit hendak shalat” sudah menunjukkan suatu
maksud keinginan untuk shalat. Itulah yang disebut niat.
Kalaulah memang niat adalah rukun shalat yang membutuhkan lafadz khusus, niscaya
Rasulullah n meng-ajarkannya kepada para sahabat. Seperti halnya bacaan tasyahud
(tahiyyat). Ibnu Mas’ud radhiyallah ‘anhu berkata: “Rasulullah mengajariku tasyahud dan
tanganku berada di antara kedua tangan beliau, sebagaimana beliau mengajariku Surat
Al-Qur’an.”

Contoh dalam puasa: Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa


belum berniat untuk berpuasa pada malam hari, maka tidak ada puasa baginya.” (An-
Nasa’i 4/196, Al-Baihaqi 4/202, Ibnu Hazm, 6/162, shahih).

Malam hari adalah sejak matahari terbenam sampai terbit fajar, dalam tenggang waktu
sebelum terbit fajar itulah niat di’azamkan. Sedangkan puasa baru dimulai setelah terbit
fajar, jelas tidak berkumpul dengan niat.. Jadi niat tersebut bukanlah rukun dari puasa,
tetapi syarat puasa. Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama
sekali tidak memerintahkan atau mengerjakan “Nawaitu shouma ghodin…”

Sungguh sangat disayangkan adanya orang yang dihinggapi rasa was-was. Mereka
terlihat sering sekali dalam shalat mengulang-ulang takbiratul ihram, bahkan sampai
imam telah ruku’ pun ia belum selesai bertakbiratul ihram. Alasannya, karena niat belum
masuk. Astaghfirullaah. Sedemikian sulitkah Islam ini?

Ada juga orang, pada malam Ramadhan telah bermaksud puasa untuk esok hari. Bahkan
ia bangun dan makan sahur. Tetapi esoknya ia membatalkan puasanya, karena ia
menganggap puasanya itu tidak sah, karena ia lupa, tidak mengucapkan “Nawaitu
shouma ghodin…” pada malam hari tadi. Subhanallah. Ini hanya tipu daya yang
datangnya dari bisikan syetan.

Apakah sudah seperti ini kondisi shalat dan puasa yang dilakukan oleh sebagian
Muslimin? Dengan mengidap kadar was-was yang tidak pernah tatacaranya dicontohkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallah ‘anhuma.

Munculnya pendapat bahwa shalat harus melafalkan niat dengan lisan adalah dari
kesalahan Abdullah bin Az-Zubairy dalam memahami ucapan Imam As-Syafi’i: “Jika
seseorang berniat haji atau umrah maka sudah cukup, walaupun tidak dilafalkan. Berbeda
dengan shalat, tidak sah kecuali dengan ucapan.” Abdullah Az-Zubairy mengatakan
bahwa Imam As-Syafi’i mewajibkan pelafalan niat dalam shalat.

Imam An-Nawawi berkata: “Para sahabat kami berkata: “Telah tersalah orang ini
(Abdullah Az-Zubairy), bukanlah yang dimaksud Imam As-Syafi’i dengan “ucapan” itu
niat, tetapi yang dimaksud adalah takbir.”

Jadi, menisbatkan “Ushalli” kepada Imam As-Syafi’i itu tidaklah benar. Kalau memang
ada ulama yang berpendapat seperti itu, maka seharusnya perkataan (sabda) dan amalan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib didahulukan, ketimbang qaul ulama.
Semua nama yang mencakup perbuatan maupun ucapan yang dicintai dan diridhai Allah,
baik yang dhahir maupun yang batin, disebut dengan ibadah. Jadi, ibadah itu tidak hanya
terbatas pada amalan-amalan fiqhiyyah saja. Tetapi, mengapa orang yang
“menyunnahkan” atau bahkan “mewajibkan” untuk melafalkan niat serta mengajarkan
lafal-lafal tertentu, ternyata hanya terbatas pada wudhu’, tayam-mum, mandi, shalat,
zakat, puasa, dan haji. Sedangkan di sana masih banyak lagi amalan ibadah lainnya,
seperti membuang duri di jalan, memberi makan fakir miskin, menghormati tamu dan
tetangga dan lain-lain. Namun, mengapa mereka tidak pernah mengajarkan lafal niatnya?

Sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam :”Barangsiapa yang membuat-buat suatu


perkara dalam urusan kami ini (agama) yang bukan berasal darinya, maka perkara itu
tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Kita tidak dibebani untuk membuat syari’at, hanya saja kita diperintahkan untuk
mengikuti semua yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang termudah
bagi kita.

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk shalat sebagaimana


beliau shalat. Yang melihat shalat beliau hanyalah para sahabat. Sedangkan kita hanya
mengamalkan apa-apa yang telah sampai kepada kita dari hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih.

Marilah kita tingkatkan amalan perbuatan kita dengan menjalankan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan meng-ikhlaskan niat untuk mengharapkan
pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Do’a yang dibaca oleh Umar bin Al-Khatthab radhiyallah ‘anhu :


“Ya Allah, jadikanlah seluruh amalku sebagai amalan shaleh. Jadikanlah amalanku itu
hanya untuk mengharap wajahMu. Dan jangan Engkau palingkan ia kepada selain
Engkau.” (Muhammad Yasir).

Maraji’:

Al-Qaulul Mubin fi Akhth’ail Mushallin, Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud
Salman.
Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muham-mad bin Shalih Al-’Utsaimin.

Sifat Shaum Nabi, Syaikh Ali Hasan dan Salim bin ‘Id Al-Hilaly.
Sifat Shalat Nabi, Syaikh Al-Albany.
Manhajul Anbiya’ fi Tazkiyatin Nufus, Salim bin ‘Id Al-Hilaly.

sumber: http://www.alsofwah.or.id

–> Rupanya anda tak membedakan antara niat dan mengucapkan lafadz niat. Lafadz
niat (sunnah) diucapkan sebelum takbiratul ikhram. Dalilnya adalah Qiyas dari niat
haji. Sedangkan niat sendiri bersamaan dengan takbir (lihat #2). Dalam madzab Syafi’i,
lafadz niat dihukumi sunnat karena untuk memantabkan hati ketika beniat saat takbiratul
ikhram.

Siapa pula yg mengharuskan melafadzkan niat shalat. Anda tahu kan beda antara sunnat
dengan wajib.

Rukun shalat atau syarat sahnya shalat (dll) adalah definisi para ulama, untuk
memudahkan umat mempelajari fiqh2 agama ini. Kanjeng Rasul saw sendiri setahu saya
tak mendefinisikannya (koreksi jika salah). Ketika anda mengatakan itu salah dan yg
benar adalah niat merupakan syarat shalat, referensi apa yg anda pakai? Alasan anda
(contoh hadits) itupun tak menunjukkannya.

Ok .. kutunjukkan kesalahan definisi anda,


1. Syarat adalah sebelum proses, sedangkan rukun adalah proses (shalat) nya. Jika anda
mengatakan niat adalah syarat, berarti itu sdh harus beres sebelum shalat, sebagai
syarat (sahnya) melakukan shalat. Ini bertentangan bahwa niat bersamaan dengan
takbir (lihat #2, mereka yg anti lafal niat pun memakai kaidah “niat bersamaan dengan
takbir”, sebgmn imam syafii). Takbir merupakan rukun, menjadi bagian (awal) dari
proses shalat.

2. Coba anda lihat syarat2 (sahnya) shalat yg lain, semua harus beres sebelum shalat
dilakukan. Dalam kitab2 fikih madzab Syafi’i hal syarat2 sahnya shalat jelas disebutkan.
Adakah itu disebut pula di dalam madzab albani (misal, di “Sifat Shalat Nabi”-nya)?
Jika tidak ada .. ini masalah tersendiri ttg madzab ini.

3. Inilah yg ganjil. Ketika anda mengatakan niat adalah syarat, yg berarti bukan bagian
dari shalat, kenapa pula anda ribut ketika orang mengucapkan lafadz niat?

4. Atau anda punya definisi sendiri? Tolong referensi-nya.

Wallahu a’lam.

Balas

6. anam berkata:

September 3, 2008 pukul 13:45

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdudillah kita puasa sudah 3 hari, mudah-mudahan amal kita bisa diterima Allah
swt. Amiin.
Ikutan nimbrung Mas.
Kalau masalah niat sudah tidak usah diperdebatkan lagi, semua Mazhab sudah
memasukkan sebagai Rukun dan fardhu sholat.
Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bacaan usholli ….. dst.
Kalau artikel Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU sudah lama saya baca,saya
juga bingung mengenai pernyataan” Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat
menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy
(Syafi’iyah)….” padahal imam Syafi’i tidak mengajarkan seperti itu ( lihat Fiqih Lima
Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah). Bahkan hal itu dikategorikan ke dalam
sepuluh perbuatan Bid’ah, karena tidak ada nash shahih yang menceritakan dengan sanad
yang shahih, dan tidak pula dengan sanad dha’if (lemah), dan tidak pula dengan sanad
hasan, dari salah seorang tabi’in, dan tidak pula dari para imam empat mazhab.Kalau
masalah qiyas dari niatnya umrah atau haji yah terserah yang mengqiyas aja.

–> Wa’alaikum salam wrwb. Siapakah yg lebih mengetahui pendapat imam Syafi’i.
Tentu saja anak cucu muridnya. Itulah para ulama pengikut madzab-nya. Jika anda
serius ingin belajar madzab Sayfi’i, belajarlah ke para ulama Syafiiyah. Dan NU adalah
sebuah organisasi yang (hampir) semua ulamanya bermadzab Syafi’i.

Ketika ada orang yg tidak bermadzab Syafi’i memegang (atau berkomentar ttg) kitab
beliau, maka jadinya yaaa … cem-macem menurut tafsir mereka sendiri. Pendapat2
mereka tak bisa dinisbahkan sebagai pendapat imam Syafi’i, betapapun kerasnya klaim
mereka.

Balas

o Assyafiiayah berkata:

Februari 20, 2012 pukul 04:39

belajar mazdhab Syafii yuk, maka akan jelas semua. belajar aja nggak pernah kok
menjelekkan imam syafii.

belajarlah dari kitab salaf, yang masih murni, jgn belejar dari terjemahan.

Jika kami pengikut ajaran syafii, melakukan kesunahan dengn melafalkan niat,
ngapain anda menyalahkan kami penganut madzhab syafii. kami ingin tambahn
pahal. Anda kan nggak mau pahala, makanya nggak melafalkan niat. lagian
melafalkan niat tidak memmbatalkan sholat.

janganlah menyalahkan orang lai, apalagi menuduh sesat.

Orang yang menuduh kafir atau sesat orang lain, sesungguhnya dia itulah yang
kafir atau sesat sendiri.

Lakum dinukum waliyadin


Betapa terbukanya hatiku belajar pesantren NU, bisa baca kitab salaf, kitab orang
ulama terdahulu yang masih murni dari Rosul.
jadi bisa tahu mana yang benar mana yang salah. daripada hanya sekedar baca
cetakan buku orang sekarang, yang hanya mencari komersialitas, agar heboh.

Balas

7. anam berkata:

September 6, 2008 pukul 14:36

Assalamu’alaikum Wr.Wb
Terimakasih atas penjelasannya mas, i don’t know abaout cem macem, cause i want to
sharing with you. Setelah tahu alasannya ya cukup bilang Wallahu a’lam.
Berarti selama ini saya salah mengerti mengenai aturan bermazhab, saya kira kalau Imam
Syafi’i menyatakan ” Saya lebih menyukai apabila adzan jumat dikumandangkan ketika
imam masjid masuk dan duduk di atas mimbar ……….” (Al Umm I: 172-173) lalu
pengikutnya ikut imamnya dengan melaksanakan hanya satu adzan di sholat jumat, atau
ketika Imam Syafi’i menyatakan bahwa bacaan Al-Quran itu pahalanya tidak bisa
dihadiakan , lalu pengikutnya tidak menghadiahkan. Ternyata pengikut(muridnya) bisa
mengubah fatwa Imamnya ya?. Mohon ma’af atas ketidak tahuan saya.
Wallahu a’lam.

–> Wa’alaikum salam wrwb. Saya tak tahu kalau ada murid mengubah fatwa imam-nya.
Yang saya pahami tidak seperti itu. Dan saya pun masih belajar.

Ini seperti memasukkan motor Honda ke bengkel Suzuki. Karena yg dikuasai hanyalah
mesin suzuki, maka apapun motornya .. yaa di-stel model suzuki. Jalankah motornya?
yaa.. (mungkin bisa) jalan, tapi sebenarnya itu motor tak beres. (Mungkin ilustrasi ni tak
tepat benar).

Jika anda pakai al Umm terjemahan, setahuku al Umm diterjemahkan bukan oleh
seorang yg bermadzab Syafii. Pengantarnya pun oleh syaikh bin Baz, yg jelas2 tak
bermadzab syafi’i. Banyak pendapat syaikh bin Baz ini yg tidak pass (bahkan
bertentangan) dengan pendapat ulama2 Syafiiyah. Maka mengenai hal2 yg meragukan/
bertentangan/ stelan yg tak pas (seperti kasus-kasus yg anda sebut di atas), lebih baik
anda tanyakan langsung ke ulama-ulama madzab syafi’i. Mungkin di sini bisa
membantu.

Wallahu a’lam.

Balas

o ulilamri berkata:
Januari 18, 2010 pukul 16:57

Orang yang tidak mengerti mazhab seperti si Anam dan Abu Ahmad tidak usah
bicara soal mazhab. Dalam suatu mazhab itu ada mujtahid. Mujtahid ada beberapa
tingkatannya:

Berikut ini adalah sedikit penjelasan dari kriteria para mujtahid dari beberapa
levelnya.

a. Mujtahid Mutlak Mustaqil

Mujtahid mutlak atau mujtahid mutlak mustaqil adalah seseorang yang mampu
membuat kaidah sendiri dalam membuat kesimpulan-kesimpulan hukum fiqih.
Atau ketika berfatwa terhadap suatu masalah, mereka menggunakan kaidah-
kaidah yang diciptakan sendiri sebagai hasil dari pemahaman mereka yang
mendalam terhadap Al-Quran dan Sunnah.

Yang termasuk mujtahid mutlak hanyalah 4 imam mazhab yang besar, yaitu Al-
Imam Abu Hanifah (80-150 H), Al-Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93
– 179 H), Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H) dan Al-Imam Ahmad
bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H).

Selebihnya adalah para mujtahid yang punya hak untuk berijtihad, namun
levelnya ada di bawahnya. Mereka sering disebut dengan istilah mujtahid mazhab
atau istilah-istilah lainnya.

b. Mujtahid Muthlaq Ghairu Mustaqil


Mereka adalah ulama yang memenuhi kriteria sebagai seorang mujahid mustaqil,
akan tetapi ia tidak membuat kaidah-kaidah sendiri dalam menyimpulkan
masalah-masalah fiqihnya. Mereka tetap masih menggunakan kaidah-kaidah yang
dipakai oleh para imam madzhab masing-masing dalam ijtihadnya.

Yang termasuk di antara mereka adalah para murid imam madzhab sepertiAbu
Yusuf, Muhammad, Zufar dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah. Ibnu Al-Qasim,
Asyhab, dan Asad Ibnu Furat dari kalangan Madzab Al-Malikiyah. Al-Buwaithi,
Al-Muzanni dari kalangan madzhab Asy-Syafi’iyah. Abu Bakar Al-Atsram, Abu
Bakar Al-Marwadzi dari kalangan Madzhab Al-Hanabilah.

Ibnu Abidin menamakan mereka sebagai tingkatan mujtahid madzhab. Mereka


mampu mengeluarkan atau membuat kesimpulan hukum dalam masalah fiqih
berdasarkan dalil yang merujuk kepada kaidah yang digunakan oleh guru-guru
mereka.

Walau pun kadang suka berbeda dalam beberapa hal dengan gurunya, akan tetapi
mereka masih mengikuti gurunya dalam kaidah-kaidah pokoknya saja.
Dua tingkatan mujtahid di atas sudah tidak ada pada zaman sekarang.

c. Mujtahid Muqayyad

Mereka adalah para ulama yang berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada
nashnya (keterangannya) dalam kitab-kitab madzhab, seperti Al-Hashafi, Al-
Thahawi, Al- Kurhi, Al-Halwani, Al-Srakhosi, Al-Bazdawi dan Qadli Khan dari
kalangan madzhab Al-Hanafiyah. Al-Abhari, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani dari
kalangan Madzab Al-Malikiyah. Abi Ishaq Al-Syiraji, Al-Marwadzi, Muhammad
bin Jarir, Abi Nashr, Ibnu Khuzaimah dari kalangan Madzhab Al- Syafi’iyah. Al-
Qadli Abu Ya’la, Al-Qadli Abi Ali bin Abi Musa dari kalangan Madzhab Al-
Hanabilah.

Mereka semua disebut para imam al-wujuh, karena mereka dapat meyimpulkan
suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab madzhab mereka, dinamakan
wajhan dalam madzhab (satu versi dalam madzhab) atau satu pendapat dalam
madzhab. Mereka masih berpegang kepada madzhab bukan kepada imamnya
(gurunya), hal ini tersebar dalam dua madzhab yaitu, Al-Syafi’iyah dan Al-
Hanabilah.

d. Mujtahid Tarjih
Mereka adalah para ulama yang mampu mentarjih (menguatkan) salah satu
pendapat dari satu imam madzhab dari pendapat-pendapat madzhab imam lain,
atau dapat mentarjih pendapat salah satu imam madzhab dari pendapat para
muridnya atau pendapat imam lainnya. Jadi mereka hanya mengambil satu
riwayat dari beberapa riwayat saja.

Yang termasuk di antara mereka seperti Al-Qaduri, Al-Murghainani (pangarang


kitab Al-Hidayah) dari kalangan madzhab Al- Hanafiyah. Imam Al-Kholil dari
kalangan Madzhab Al-Malikiyah. Al- Rafi’i, Al-Nawawi dari kalangan Madzhab
Al- Syafi’iyah. Al-Qadli Alauddin Al-Mardawi tokohnya madzhab Al-
Hanabalah. Abu Al-Khottob Mahfudz bin Ahmad Al-Kalwadzani Al-Bagdadi
dari kalangan madzhab Al-Hanabilah.

e. Mujtahid Fatwa
Mereka adalah para ulama yang senantiasa mengikuti salah satu madzhab,
mengambil dan memahami masalah-masalah yang sulit ataupun yang mudah,
dapat membedakan mana pendapat yang kuat dari yang lemah, mana pendapat
yang rajih dari yang marjuh.

Akan tetapi mereka lemah dalam menetapkan dalil dan mengedit dalil-dalil
qiyasnya. Seperti para imam pengarang matan-matan yang terkamuka dari
kalangan imam mutaakhir (belakangan), seperti pengarang Al-Kanzu (Kanzul
Ummal), pengarang Al-Durur Mukhtar, pengarang Majma’ Al-Anhar dari
kalangan Al-Hanafiyah, Al-Ramli dan Ibnu Hajar dari kalangan Al-Syafi’iyah.
f. Muqollid
Adalah mereka yang tidak mampu melakukan hal-hal di atas, seperti
membedakan mana yang kuat mana yang lemah, ia hanya bisa mengikuti
pendapat-pendapat ulama yang ada.

Jumhur ulama tidak membedakan anatara mujtahid muqoyyad dan mujtahid


takhrij, tetapi Ibnu Abidin menjadikan mujtahid takhrij sebagai tingkatan yang
keempat setelah mujtahid muqoyyad, ia memberikan contoh Al-Razi Al-Jashash
(wafat th. 370) dan yang semisalnya.

kepada akhi orgawam lebih baik tidak usah melayani anam dan abu ahmad, dua
orang wahabi yang sudah diracuni oleh nashiruddin al-bani ahli hadits yang tidak
konsekwen.

Balas

8. cahaya di atas cahaya berkata:

September 10, 2008 pukul 05:03

Assalamualaikum Wb. Wk.


Bagus diskusi ini. Ia memperkembangkan ilmu, meluaskan yang sempit dan
mendalamkan yang cetek.

Yang saya lakukan semasa solat berjemaah bersama anak dan isteri:

selepas Qamat, saya mengucapkan lafadz niat sembahyang (eg. untuk sembahyang
asar)jelas didengar oleh anak & isteri, ini untuk mempastikan anak & isteri saya telah
menghadirkan hati & mindanya untuk fokus pada sembahyang (asar) itu. MAKLUM
SAHAJA MANUSIA ITU MUDAH LALAI & LEKA, JADI KITA INGATKAN AGAR
HATI DAN MINDANYA TURUT HADIR BERSAMA-SAMA JASADNYA YANG
SUDAH SIAP SEDIA BERDIRI TEGAK DI BELAKANG SAYA.

Anak akan menyahut (mengulangi bacaan lafaz niat itu dengan betul dan tertib), dan saya
mengengar dia sudah siap sedia untuk bersolat (asar) berimam.

Bila yakin semua mereka telah fokus pada solat, maka saya mulakan solat dengan
takbiratul ikhram + niat.

–> Wa’alaikum salam wrwb. Tips yg bagus. Semoga menjadi keluarga sejahtera
bahagia. Semoga ananda menjadi anak sholih sholihah. Amien.

Balas
9. hendy_kuroha berkata:

Oktober 31, 2009 pukul 08:22

maaf orang awam

kalo emang yg diwajibkan adalah niatnya (bukan lafalnya), berarti pake bahasa indonesia
jg boleh ya? ga perlu harus pake “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal
kiblati ada’an lillahi ta’ala?

terima kasih

–> silakan

Balas

o ANAK GAUL berkata:

Desember 8, 2011 pukul 05:34

kenapa umat islam selalu membesar-besarkan khilafiyah terus menerus.


khilafiyah fiqih itu seharusnya menjadi rahmat/ karunia, bukan malah menjadi
konflik. HIDUP NKRI… HIDUP BINEKA TUNGGAL IKA… LIHAT
KESELURUH DUNIA… ORANG YAHUDI NASRANI SUDAH BERLARI
CEPAT SAMPAI LANGIT… ORANG ISLAM MASIH CEK COK SAJA
SENDIRI…. MASYA ALLAH…. ASTAGFIRULLAH HAL ADZIIIMMM…

Balas

 DODO berkata:

Maret 16, 2012 pukul 02:37

buat AnaK Gaul “ga jelas”:

ini masalah dunia akherat mas,,masalah yang urgen dan sangat mendasar,,,
sebab salat adalah ibadah pokok Umat Islam yang menjadi tiang agama…
jangan sampai salat kita terjerat virus-virus bid’ah yang dapat
menjerumuskan kita ke neraka-Nya…
maka masalah ini harus dituntaskan sampai jelas!! biar nanti terbukti mana
yang tukang bid’ah dan mana yang Ahlussunnah waljamaa’ah…
sebenarnya masalah ini sudah sangat JELAS dipaparkan oleh para Imam
yang 4…
cuma saja orang-orang picik dan bodoh itu belum membuka hati nya
untuk menerima hidayatuttaufiq dari Allah….
terkutuklah wahai tukang-tukang bid’ah………….

“khilafiyah itu merupakan rahmat”……. ini hadits palsu coYyyyy….


bodoh sangat Anda ini….
maka mulailah care dengan praktik salat Anda…
lain hal nya jika Anda salat nya asal-asalan atau ga pernah salat…..

Allahu a’lam…..

 hamid berkata:

Mei 18, 2012 pukul 16:42

hai do do ………..?jaga tu mulut jangan asal ngebacot wae,,,lo ngajinya


dimana…udah dapet ijayah langsung dari ahli hadist/ahli fiqih blom?udah
ngaji kutubustittah blom?udah mengaji kitab2 salaf blom?dan ngajinya
langsung dengan ahlinya blom?apa cuma bisa baca buku cetak !!ingat
dalam memahami al quran,al hadist, kitab2salaf harus pakai ilmu
alat,mantiq,usul,dll.lo dah berani mengutuk melaknat ulama”2 yg jelas2
udah di akui kemasyhuranya.kalau lo punya hujjah jangan hanya berani
ngebacot di dunia maya aja,ayo kita duduk bersama kita selesaikan dengan
gentel di wadahnya.kita diskusi secara langsung,

10. paijo berkata:

Desember 29, 2009 pukul 04:54

katanya umat Islam akan terpecah jadi 72 golong, mungkin salah satu golongan di sini
adalah adanya golongan yang berpaling dari contoh rasulullah dan para sahabat yaitu
golongan yang suka membuat aturan dan menjadikannya syariat dalam ibadah padahal
tidak dicontohkan oleh rasul dan sahabat. Mungkin juga golongan aneh ini menganggap
dirinya lebih pintar dari Rasulullah sehingga menambah-nambahkan dang mengurangkan
apa-apa yang dari rasulullah dan sahabat.

Salam dari pecinta nabi dan sahabat

Balas

o mustangin berkata:
Januari 8, 2010 pukul 03:27

Mungkin juga golongan mereka yang suka membid’ah-bid’ah orang lain,


mengkafir-kafirkan muslim lain.
Wallahualam

Balas

 ulilamri berkata:

Januari 18, 2010 pukul 17:21

Makanya Paijo kemana-mana pakai surban karena mencontohi Rasulullah.


kemana-mana bawa sugi karena mencontoh Rasulullah, setiap malam
shalat witir dan tidur hanya beralas tikar. Paijo sadarlah; bahwa Wahabi
adalah khawarij gaya baru yang selalu menolak apa yang tidak pernah
dilakukan pada masa Rasulullah, walaupun itu pernah dilakukan pada
masa khulafaurrasyidin, seperti shalat tarawih 20 rakaat dan azan jumat
sebelum khatib naik mimbar. wahabi berani memanggil nama Sayyidu
Waladi Adam dengan namanya secara langsung tanpa mau memulainya
dengan kata Sayyidina.

 uut berkata:

Januari 19, 2010 pukul 00:36

yang namanya beda boleh kan ?


Wahabi adalah khawarij gaya baru benarkah?

http://belasalafy.wordpress.com/2009/12/13/download-ebook-
menyingkap-mitos-wahhabi-terjemahan-dari-%E2%80%9Cthe-wahhabi-
myth%E2%80%9D-yang-fenomenal/

 Assyafiiayah berkata:

Februari 20, 2012 pukul 04:56

hanya wahabi, PKS, dll, yang selalu menyalahkan NU, pengikut Syafii.

NUpu tak pernah mengusik cara ajaran lain yang berbeda.

Lalu kenapa yang lain selalu menyalahkan NU.


Pernah dengar hal berikut?

Orang yang mengkafirkan islam yang lain, sesunggunhnya dialah yang


kafir sendiri.

Wahabi selelu manyalhkan NU, berarti merekalah yang salah sendiri.

11. Dhaif berkata:

Januari 17, 2010 pukul 19:57

Manusia yang dhaif terkadang lupa untuk beriman bahwa Allah Maha Mengetahui.

Allah mengetahui manusia yang dhaif ada yang tata cara sholatnya tidak sesuai perintah
Allah, misal yang mengucapkan sholawat dengan tambahan Sayyidina.
Itu atas perintah siapa?

Allah tidak memerlukan ucapan niat manusia yang dhaif karena Allah mengetahui
rahasia dan yang lebih tersembunyi.

–> Tentang sayyidina, ada catatan kami tersendiri. Itu adalah ucapan santun kami
kepada baginda sayidina Nabi Muhammad saw.

Benar kata anda bahwa Allah tidak memerlukan ucapan niat manusia. Allah bahkan tak
butuh ibadah manusia. Manusia lah yang membutuhkan-Nya. Ucapan niat diperlukan
untuk menetapkan hati dalam berniat (shalat). Kalau anda tak butuh itu .. silakan saja.

Share pengalaman dalam hal lain. Dalam setiap mandi, ada rekan yang membiasakan
diri berwudlu. Dulu awalnya selalu dengan niat. Karena bertahun-tahun dilakukan dan
telah menjadi kebiasaan, maka otomatis dalam mandi pasti ada gerakan wudlu. Ketika
segalanya telah menjadi reflek, maka niat kadang terlupakan. Syah-kah
gerakan/basuhan wudlu yang hanya gerakan reflek dari mandi tanpa niat? Tidak saya
kira. Maka dalam hal ini mengucapkan niat menjadi penting sebagai pengingat bahwa
yang akan dilakukan adalah berwudlu, bukan reflek mandi lagi.

Semoga anda tak membid’ah-sesatkan contoh wudlu ketika/sesudah mandi ini, hanya
karena baginda sayidina Muhammad saw tak memerintahkan/mencontohkannya.

Balas

o ulilamri berkata:

Januari 18, 2010 pukul 17:53


yang selalu dipersoalkan oleh Wahabi terhadap sunniy adalah masalah-masalah
sunat. contohnya masalah Ushalliy, masalah Qunut, masalah Sayyidina, masalah
Jenggot, masalah Tarawih dan sebagainya. Wahabiy kurang kerjaan maka suka
membangkitkan persoalan yang sudah lama usang yang tidak akan pernah selesai,
dan memang tidak perlu diselesaikan.
wahabi itu tidak faham dengan defini sunat atau sunnah dalam berbagai ilmu.
sehingga berkesimpulan bahwa kalau bukan sunnah berarti bid’ah, kalau sudah
bid’ah berarti sesat, kalau sudah sesat berarti neraka. hanya itu kesimpulan
wahabi warisan bin baz dan albani.
wahai wahabi! coba bedakan, apakah khitan bagi laki-laki adalah sunnah? wahai
wahabi! apakah melakukan pernikahan atau perkawinan adalah sunnah? jika
kedua-duanya adalah sunnah maka apakah khitan dan kawin berada pada hukum
yang sama. khitan hukumnya wajib, maka apakah kawin juga wajib?
wahai Wahabi! berhentilah berlagak sebagai penyelamat sunnah, kalau yang
dipersoalkan adalah masalah klasik yang dhanniy. arahkan perhatian kita kepada
yang meninggalkan yang wajib dan melakukan yang haram, yang mana keduanya
mempunyai dalil yang qath’iy. jangan lagi persoalkan masalah ziarah kubur,
karena ziarah kubur adalah haditsnya walau dipandang lembah oleh wahabi, tetapi
pikirkan masalah orang mati yang tidak lagi dikuburkan tetapi dijual sebagai
sarana praktek kedokteran. jangan persoalkan lagi masalah hadiah pahala kepada
orang mati karena masalah itu ada hadits dan ayatnya walaupun tidak sepakat
dalam pemahaman dengan anda. tetapi persoalkan masalah umat Islam yang
merayakan 1 Januari, Valentin Day, April Mop, Natal dan sebagainya.

–> mas .. setahuku .. bagi wahabi, merayakan 1 Januari, Valentin Day dll
dengan berbagai acara pesta-nya itu bukan bid’ah, karena itu bukan ibadah ..
katanya itu kegiatan duniawi.

Kalau melewatkan tahun baru dll dengan dzikir .. Allah Allah Allah dst .. baru
dikatakan oleh mereka sebagai bid’ah sesat, karena katanya itu ibadah dan Nabi
saw tak mencontohkannya.

Balas

 uut berkata:

Januari 19, 2010 pukul 00:27

sekedar info hukum ValentinDaydr salafy

http://situs.assunnah.web.id/?s=Valentin+Day

adapun subhad terhadap wahabi

http://belasalafy.wordpress.com/category/wahabi/
bantahan kajian bs Download
Terorisme, Wahabi dan Jihad dan subhad yang lain di

http://kajian.net/bagian/1-kajian/15-terorisme-wahabi-jihad.html

12. uzair berkata:

Agustus 6, 2010 pukul 04:40

begini lah pny ilmu tnpa d dasari keimanan yg kuat, mslh ny cukup simple kl suatu
ibadah tdk ad cnth dr rosulullah yaa jgn d tiru mski itu baik.. jgn d otak-atik kyk bani
israel aj/yahudi

Balas

13. Islam Kaffah from Makassart berkata:

Agustus 14, 2010 pukul 04:42

Bismillahirrahmanirrahiem..

tiada habisnya kita berdebat masalah Ushalli & Nawaitu,padahal Jawabannya sangat-
Sangat simple,saran aku datang aja ke Arab Saudi lalu tanyakan perkara tersebut kepada
Syaikh yang berwewenang.

kutipan aku : “Banyak pendapat syaikh bin Baz ini yg tidak pass (bahkan bertentangan)
dengan pendapat ulama2 Syafiiyah.

bantahan :
Syaikh Abdul bin Abdullah bin Baaz…
** tahu gak kalau Beliau itu adalah Kepala Direktorat Jenderal Fatwa, Riset, Da’wah,
Bimbingan Islam, dan MUFTI besar kerajaan Saudi Arabia….???
** tahu gak…kalau Beliau itu Jauuuh lebih Paham daripada anda….bahkan jauuuuh lebih
paham daripada ulama-ulama madzab syafi’i….???

kalaupun Ilmunya Kontroversi,tohh kenapa Beliau diangkat sebagai MUFTI besar


kerajaan Saudi Arabia…!!!???

maaf sebelumnya..

–> maaf .. tampak anda ta’asub dan bertaqlid buta pada syaikh Ibn Baz.

Munkin anda perlu menyimak sejarah Arab (Saudi). Duluu .. abad yang lalu sebelum era
wahabi, ulama-ulama di tanah hijaz (Makkah dan Madinah) bebas hidup dan
mengajarkan ilmunya, termasuk ulama-ulama madzab syaifi’iyah. Zaini Dahlan, syaikh
Nawawi al Bantani, syaikh Ahmad Khatib .. mereka adalah contoh ulama syafiiyah yang
hidup di era menjelang kedatangan kedatangan wahabi. Setelah kaum wahabi
menguasai tanah hijaz, banyak ulama dibunuh dan/atau menyingkir dari sana. Silakan
simak sejarah.

Dan .. ulama itu tidak hanya dari Arab Saudi saja. Ulama-ulama syafiiyah pun banyak,
dan ilmunya tak berada di bawah syaikh ibn baz (misalnya)

maaf kl tak berkenan

Balas

14. Islam Kaffah from Makassart berkata:

Agustus 14, 2010 pukul 05:00

Bismillahirrahmanirrahiem..

Ashhaabus-Sunan dari ‘Irbadl bin Sariyyah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam,
bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup
setelahku, maka kelak ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu
hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin
yang mendapatkan hidayah. Maka berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah ia
dengan gigi geraham. Jauhilah segala perkara yangbaru, karena setiap perkara yang baru
itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.

apakah Fatwa Madhzab boleh di Amalkan sekalipun gak ada Dalilnya….?????

Masalah Ibadah gak boleh Di Qias-Qias Pak…!! karna Ibadah itu tidak ada tambahannya
dan tidak aa kurangnya (kurasa bapak pun tahu….!!! ) yang boleh di Qias-Qiaskan hanya
urusa Dunia,karna urusan dunia selalu berubah-ubah dan selalu muncul yang baru
( kurasa bapak pun tahu….!!! )

maaf sebelumnya..
taffadal..

–> mohon maaf juga … fatwa madzab boleh diamalkan karena pasti ada dalilnya. Dan
Qiyas termasuk dalil yang sah. Uraian ada di-blog ini juga.

Maaf.. anda nggak pakai Qiyas, anda nanti zakat fitrah pakai apa mas? Beras/jagung ..
itu berarti anda beribadah dengan dalil Qiyas.

wallahu a’lam.
Balas

o hakim berkata:

Juli 30, 2012 pukul 19:30

buat admin
untuk zakat itu bukan kiyas
tapi melihat makanan pokok penduduk setempat
kenapa kalo dikiyas ukuranya berbedah

sedangkan
onta,sapi,dikiyas dengan kerbau kok ukuranya sama walaupun harganya berbeda
karna kerbau bukan makanan pokok suatu suku atau negara
tapi kerbau adalah sejenis dengan sapi ini namanya kiyas
jadi kiyas anda tentang zakat adalah kiyas yang tanpa ilmu alias ngawur
tamer dan beras adalah dua tanaman yng sangat berdedah
karna kurma adalah jenis tanaman buah
dan beras adalah jenis tanaman yang bukan buah

akan tetapi kurmah pada zaman nabi itu merupakan makanan pokok
tapi di zaman sekarang kurmah sudah bukan lagi sebagai makanan pokok
di jazirah arab
sehingga anda sudah tidak akan menemukan orang berzakat dengan kurma/tamer
melaikan dengan gandum/beras

kalo suatu negara /suku makanan pokoknya mangga walaupun di penduduk itu
ada kurma maka yg harus di pakai zakat adalah mangga bukan kurma
seperti disaudi dimasa sekarang yaitu zakat dgan beras dan gandum
ini bukan kiyas
karna yg wajib itu zakatnya sedangkan makananya itu disesuaikan kebutuhan
masyarakatnya

lalu kalo ibadah yg sifatnya ubudiyah itu perlu dalil untuk mengiayaskanya
sebab seperti hajji dan sholat misalnya ini ibadah yang berbedah ngak mungkin
bisa dikiyas
contonya
dalam hajji dan umroh
niatnya labaikallah hajjan auh umrotan ini yg di ajrkan oleh nabi
lalu kalo niat sholat dikiyas
maka bunyi niatnya adalah labaikalloh sholatan maqrib ……….
lalu dari mana anda dapat NAWAITU USHOLI padahal anda berdalil dengan
kiyas
makanya oleh orang bodoh dikalangan anda niat HAJJI DAN UMROHNYA DI
ganti menjadi NAWAITU HAJJI DAN UMROH
lihat dibuku panduan golongan anda

Balas

15. Nanang berkata:

Agustus 15, 2010 pukul 00:29

subhanallah
seandainy saudarakita, sahabat kita, imam kita, kesayangan jg Rasul kita sayidina
Muhammad SAW. Masih hidup tentu ia akan menangis menangapi tingkah laku kita
sebagai umatnya yang saling berselisih. sesuatu masalah yg kita belum jelas
penyelesaiany kita serahkan kembali ke yang maha tahu Allah SWT. apakah yg orang
lain kerjakan itu sunah, makruh, bid’ah itu bukanlah urusan kita. Yang terpenting adalah
bahwa yg kita lakukan sudah benar boleh kita ikuti orang lain yg jauh lebih paham, tapi
jangan terlalu mengekor. Lebih jika memang penyelesaiannya tidak jelas biar Allah yg
selesaikan apa yg kita lakukan baik atau tidak. Dari Allah lah semua brasal, dan kepada
Allah lah kita kembali.
Cuma saran saya kalaulah ada perbuatan yg meragukan antara BID’AH dan WAJIB
kerjakanlah tetapi berhati-hati dan berlindunglah kepada Allah dari ke khilafan dan
kesalahan.
Tetapi kalau ada perbuatan antara SUNAH dan BID’AH alangkah lebih baiknya kita
tinggalkan, karena sunah tidak wajib di kejakan, sementara bid’ah wajib di tinggalkan.
Wahai muslim bersatulah

Nb; jika ada kesalahan dari komentar saya tolong di komplain dan di maafkan. Saya juga
manusia biasa.
syukran

Balas

16. saso' berkata:

Agustus 19, 2010 pukul 08:14

kutipan…………………!!!!!!1
“maaf .. tampak anda ta’asub dan bertaqlid buta pada syaikh Ibn Baz”.
******************************************************************
berarti Kami Sesat dong….????

hay bung…sombong banget sih Lo….??????????


hay bung…anda nyebut nama “Syaikh Abdul bin Abdullah bin Baaz”,,
apa anda kenal “Syaikh Abdul bin Abdullah bin Baaz…”??
apa anda yakin beliau orang yang sesat…??

hay bung…anda orang hebat kenapa anda tinggal diam aja di Indonesia,,terbang aja ke
ARAB SAUDI dan sampaikan Aspirasi anda bahwa “Syaikh Abdul bin Abdullah bin
Baaz” adalah orang sesat,,& sampaikan apakah berUSHALLI & NAWAITU adalah
Syariat…???

okelah,, kita gak Usah Lihat Figurnya,tp kita lihat Hadits yg beliau bawakan gitu Lo,…
semuanya SHAHIH….???

hay bung…yang TAQLID buta tuh siapa…ANDAkah yang pengguna MADHZAB atau
KAMIkah yang pengguna HADITS SHAHIH…?????

–> duh-duh … kami tak mengatakan sesat mas. Anda taklid itu boleh, silakan saja ..
kami pun taklid kepada orang-orang/ulama-ulama yang lebih alim, yang lebih
menguasai ilmu di bidangnya, yang kami tak mengetahui atau kurang ilmunya. Namun
hendaknya janganlah memuja-muja secara berlebihan. Maaf .. komentar di atas adalah
indikasi demikian.

Dalam berargumen, pakailah dalil-dalil dari ulama/syaikh yang anda taklid-i, bukannya
malah memuja-muja syaikh tsb. Kami pun merasakan masih dangkal ilmu dan bertaklid
kepada ulama yg lebih alim. Namun dalam berhujah .. kami gunakan dalil-dalil yang
dipakai ulama-ulama panutan kami. Plus referensi2 ulama2 lain yang kuat/sahih.
Berdasar pengalaman nyata yg kami alami. Jadilah hujah lengkap yang kami tulis.

Artikel ini justru menampilkan dalil-dalil bolehnya ber-ushali atau nawaitu, untuk
menangkis tuduhan-tuduhan bid’ah sesat yang dialamatkan kepada kami. Justru kami
yang divonis sesat. Lhaa ini kok malah sekr dituduh menuduh sesat. Wahh jauh mas ..
lidah/pena/keyboard kami tak sekejam itu.

Tahukah anda.. para periwayat hadits yang sahih itu pun bermadzab di dalam fikihnya.
Imam Bukhari (w 256 H), misalnya, adalah cucu murid imam Syafi’i (w 204H), dan
tercatat di dalam sejarah sebagai ulama yg bermadzab Syafi’i. Demikian pula para
ulama periwayat hadits yang lain, mereka lahir setelah madzab yang 4 itu ada. Dan para
ulama itu pun bermadzab di dalam fikihnya.

wallahu a’lam.
maaf kl tak berkenan..

Balas

o hakim berkata:

Juli 30, 2012 pukul 19:40


BUAT ADMIN
anda bukan hanya berkata boleh tentang melafalkan niat tapi anda mengatakan
sunnah ini yg kita bahas
karna sunnah itu suatu perkara yg telah dilakukan oleh nabi di ucaopkan dan di
diamkan oleh nabi
itu sunnah
kalo usholi nawaitu berak anda itu sesuai dengan katagori diatas baru bisa
dikatakan sunnah
dan kalo ulama’itu berbedah maka dalil kita bukan ulama’

Balas

17. Siti Aminah berkata:

Agustus 21, 2010 pukul 07:12

Ashhaabus-Sunan dari ‘Irbadl bin Sariyyah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam,
bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup
setelahku, maka kelak ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu
hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin
yang mendapatkan hidayah. Maka berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah ia
dengan gigi geraham. Jauhilah segala perkara yangbaru, karena setiap perkara yang baru
itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.

***
Mas…Liat gak Hadits yang di bawakan oleh saudara kita diatas (Islam kaffah…) dan
saudara kita yang lain,,mereka itu ngomong sesuai Alquran & As Sunnah
Lo… ??????????

Anda Pinter,sanggaaaaaat pinter…aku salut pada kepintaran anda …hebat….

*****
kita kembali ke Masalah ushali atau nawaitu…
Mas…sangat lah jelas bahwa Nabi saw gak pernah mencontohkan perkara tersebut,,gak
ada 1 pun Hadits yg menerangkan,bahkan dalam Ayat pun gak ada,,toh kenapa masih ada
orang yang mau percaya pada P E N D A P A T,,skalipun dia Orang Sholeh tp dia bukan
Nabi,jd mengapa mesti di Ikuti,,bukankah AGAMA ini udah sempurna….?????????

Masih adakah yang belum disampaikan oleh NABI SAW,,yaitu shalli & nawaitu
tersebut..??????????????????????????????????????

**************

nb :
Alquran & As Sunnah :
Maka berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham.
Jauhilah segala perkara yang baru.

ushalli & nawaitu gak ada di dalamnya…

–> salam kenal mbak siti.

Balas

o wawan berkata:

November 22, 2010 pukul 15:59

iya iya.. jangan terlalu ngotot gitu ah..


pendapat ente monggo diamalkan, tapi kerjaan kami jangan disalah2kan dong,
wong kami ada dalilnya kok..

para pengaku Salafy ini suka “menghilangkan” tapi ga bisa “memunculkan”..


banyak fatwa2 ulama yg dihilangkan..
ga sedikit pula hadis Nabi yg dipelintir..
banyak pula kitab2 agama karya ulama yg diedit/dipalsu..

ushalli atau nawaitu shalat dianggap bidah dan harus dimusnahkan, tapi nawaitu
haji dan umrah yg dicontohkan Nabi yg jelas2 sunnah sudahkah dikerjakan oleh
Wahabbi ini?

Wahabi ini lucu..


orang maulidan yg jelas2 baca shalawat salah, terus shlawat yg seperti sunnah
Nabi itu seperti apa sih?
jangan2 baca shalawat di dalam pesawat juga salah?
pekik “Allahu akbar” dipengadilan pun jangan2 salah juga?

wacana memurnikan tauhidnyapun sdh lucu..


gimana ga lucu, disatu sisi teriak2 memurnikan tauhid, tapi ko Allah diyakini
berkaki dan bertangan seperti manusia..
walah.. walah..

mirip kaya partai politik, jual slogan..


partai X mmbela kebenaran membasmi kejahatan, partai Z menjunjung keadilan..
coba bandingkan sama Wahabi terutama mahasiswa Wahabinya.. kita akan lebih
banyak menemukan slogan2..
aplikasinya? menghujat/mengkafirkan/membidahkan saudara muslim lain yg
jelas2 SUDAH PUNYA DALIL YG MAPAN..
itulah penyakit orang yg merasa benar tapi memaksakan pendapatnya ke orang
lain..

Balas

o Assyafiiayah berkata:

Februari 20, 2012 pukul 05:09

kalau anda pemegang teguh hadits, dan tidak mau yang namanya qiyas, sekarang
saya mau tanya.
anda zakat fitrah pake apa?
adakah hadits yang menjelaskan zakat fitrah pake beras?
nggak ada. paling anda juga pake beras zakatnya.

Balas

18. firman berkata:

September 1, 2010 pukul 04:22

sudah jelas dan tegas bahwa tidak ada satu hadistpun yang mencontohkan bahwa niat
sholat itu harus di lafadzkan…jadi buat apa kita perdebatkan lagi. jangan berpatokan
pada 4 mahzab, berpatokanlah pada hadist nabi.

Balas

o wawan berkata:

November 24, 2010 pukul 13:38

emang ada ya hadis yg ngelarang lafadz niat?


adakah hadis yg menyebutkan hal2 yg dilarang dilakukan sebelum shalat?

soalnya, ada yg sebelum shalat baca Qur’an dulu,


ada yg sebelum shalat baca shalawat dulu,
ada yg baca surat al Falaq dulu..

wah wah, bakal tambah pusing lagi nih anda2 yg simpatisan wahabi, hehehe..
kapok, makanya jangan terlalu dangkal memahami agama…

selamat berpusing2 ria ya..


makanya, klo mnyebarkan pemikiran itu liat2 dulu..
menyebarkan pemikiran Wahabi kok di tempat orang2 bermazhab Syafii yg sudah
mapan & mateng sejak ratusan tahun yang lalu pula..
pake cara2 keras & licik pula.. memalsu2 kitab orang..
walah.. walah..

Balas

 babah_cong berkata:

November 25, 2010 pukul 03:22

untuk mas wawan……..


mungkin kebiasaan anda sebelum sholat sholawat dulu dan mungkin
kegiatan lain, mas.. yang diwajibkan itu sholatnya mas,….. mendingan
lakukan sholat dulu pada awal waktu,… habis sholat silakan anda mau
berdoa,.. mau sholawat,.. mau tahlil… silakan mas,.. utamakanlah sholat
mas bukan sholawatnya…….

 wawan berkata:

November 29, 2010 pukul 07:18

to mas Babah Cong,


Anda mirip sprti temen2 simpatisan Wahabi (TSW) lain,ga bisa mjawab
prtanyaan yg sama yg saya sampaikan..
Mana hadis yg mnyebut aktivitas2 yg dilarang sbelum shalat?

Kebiasaan lain TSW, suka ga baca/denger argumen orang yg diajaknya


diskusi, anda mngkin trmasuk kriteria ini..
Dalam komen saya ga ada menyebut2 “saya”lah pelaku
shalawatan/dzkiran/Qur’anan (SDQ) sblum shalat, tapi anda malah
mnyebut bahwa sayalah pelaku SDQ.. Salah mas!
itulah yg sering dilakukan TSW, mngutip pendapat para Imam tapi salah
kutip karena sumber kutipannya sdh salah kutip duluan..
Imam A bilang makruh, di sumber kutipan TSW mnyebut haram..
Ini sering trjadi mas,karena sumber kutipannya sudah diedit/dipalsu
duluan..
ditambah lagi kebiasaan TSW sperti anda yg suka salah kutip, KLOP,
lengkaplah sudah kehancuran konsep2 keilmuan&keintelektualan..
Selamat, anda termasuk salah satu penghancurnya,hehe..

Kmudian..
Mengenai komentar anda,telah di sanggah&dipatahkan oleh komen temen
anda sndiri para TSW..
Mereka bilang,tidak boleh ada aktivitas semisal ushalli,shalawat,dzikir
atau Quran sbelum/ssudah shalat, bid’ah katanya..
Jadi,anda adalah pendukung bid’ah sesat juga versi TSW,temen anda
sndiri..
Ga pduli sblum masuk waktu shalat atau ssudah,pokoknya bid’ah sesat
katanya..

kemudian..
saya setuju kita harus mngutamakan shalat dulu,pertanyaan saya,
bagaimana kalo SDQ itu dilakukan sbelum masuk waktu shalat??
Begitu masuk waktu, semuanya STOP, fokus keshalat..
Mohon dijawab..

Hmm..
saya punya prtanyaan lagi yg saya anggap relevan dengan pembahasan
kita.
Bagaimanakah SDQ yg dicontohkan Nabi?
Ini penting karena awalnya SDQ itu sunnah, tapi begitu ada yg
membacanya di kubur,dirumah kluarga mayit atau dirutinkan pada
malam2 trtentu misalnya malam jumat/malam senin, malah berubah jadi
haram mutlak versi TSW..
Apakah mmbaca SDQ di atas psawat/kapal jg bidah sesat haram?
apakah pekik Allahuakbar di ruang pengadilan ketika anggota klompok
diadili jg bid’ah?

Kapan&bagaimana para TSW melakukan SDQ?


Mohon dijawab detail,maaf saya cuma pengen tau..

–> mas … TSW itu apa? SDQ? pakailah singkatan-singkatan yang


standar, biar tidak membingungkan orang.

 wawan berkata:

November 29, 2010 pukul 12:17

maaf mas admin..


TSW itu temen2 simpatisan wahabi, soalny kadang2 yg bener2 Wahabi tu
agak beda sama yg simpatisan atau sekedar ikut2an..

SDQ itu sholawat,dzikir,Qur’an..


Sngaja saya singkat biar ga panjang..
Tapi diawal komen uda saya kasih tau apa kpanjangannya..
 babah_cong berkata:

November 29, 2010 pukul 23:44

tuk mas wawan


saya tidak mengutip tulisan anda,.. itu adalah yg saya pahami ttg anda dari
tulisan di atas dan tulisan2 anda sebelumnya…..
yang saya maksudnkan sebelum sholat adalah begitu masuk waktu sholat
sampai dengan kita lakukan sholat,… kebiasaan di tempat kami begitu
adzan, ke masjid.. wudhu … sholat sunnat (bila ada)…. langsung sholat
berjamaah,…….. mungkin beda dg kebiasaan anda,.. mungkin setelah
adzan diisi sholawat dulu (menurut saya agak lama) baru sholat……….
kami berusaha dalam melakukan ibadah(sholat, puasa, zakat, haji…)untu
berpedoman pada qur’an dan hadits,.. sedangkan dalam kegiatan
muamallah sehari hari selama itu tidak dilarang dalam agama itu kami
boleh melakukan, apalagi yang dianjurka…
saya tidak pernah mnenyebut anda dan org yang sealiran dengan anda ahli
bid’ah….. itu perasaan anda saja…..
mari kita terus belajar demi kemajuan ummat… yang menentukan kita
benar atau salah itu hanyalah Allah,.. kita hanya berusaha…. makanya
kami juga tidak berani menambahkan sesuatu yang tidak ada tuntunannya
dalam melaksanakan ibadah.. karana kami tidak tahu apakah itu benar atau
itu salah….

 wawan berkata:

November 30, 2010 pukul 04:13

tapi dari kalimat anda :


“mungkin kebiasaan anda sebelum sholat sholawat dulu dan mungkin
kegiatan lain, mas..”
sangat jelas menyebut saya melakukannya,

padahal saya cuma menyebut :


“soalnya, ada yg sebelum shalat baca Qur’an dulu,
ada yg sebelum shalat baca shalawat dulu,
ada yg baca surat al Falaq dulu..” lihatlah : saya menyebut “ada” bukan
“saya”..
tidak menyebutkan “saya” melakukannya..
maka dengan ini saya mau mengoreksi statement anda, mudah2an diikuti
dengan ralat dari anda..

statement anda :
“saya tidak pernah mnenyebut anda dan org yang sealiran dengan anda
ahli bid’ah”
komentar saya :
apa anda lupa dengan statement anda pada artikel2 selain di artikel
“melafalkan niat ini” ?
sepertinya statemen anda yg dulu2 agak bertentangan dengan “tidak
pernah mnenyebut anda dan org yang sealiran dengan anda ahli bid’ah”..
coba dicek.. koreksi saya bila salah, saya siap meralat&minta maaf
terbuka di forum ini

statement anda :
“kami berusaha dalam melakukan ibadah(sholat, puasa, zakat, haji…)untu
berpedoman pada qur’an dan hadits”
komentar saya :
mudah2an ini bukan jawaban anda atas pertanyaan saya..
dan menurut saya bukan hanya anda dan teman2 anda saja yg ingin
berpedoman pada Quran &hadis, kamipun seperti itu juga,
anda dengan penafsiran anda, kamipun menurut penafsiran, mazhab
Syafii..
marilah kita jaga sopan santun untuk tidak saling mencaci/membid’ahkan,
karena ini cuma perbedaan pemahaman/penafsiran.. adapun yg kita
tafsirkan ini sama aja, Quran&hadits yg sama yg itu2 juga..

pernyataan anda :
“makanya kami juga tidak berani menambahkan sesuatu yang tidak ada
tuntunannya dalam melaksanakan ibadah.. karana kami tidak tahu apakah
itu benar atau itu salah…”
koment saya :
mungkin seperti itu pemahaman anda/kelompok anda,silahkan adapun
kami melalui artikel2 yg disusun/dibuat admin blog ini justru berusaha
menunjukan dalil dan landasan kami, dengan dalil ini kami akhirnya
berkesimpulan bahwa kegiatan kami masih didalam bingkai Quran dan
Hadits..

kemudian..
mengenai pertanyaan2 saya, bisakah anda menjawabnya..
belum dijawab tuh…

19. rizal berkata:

September 30, 2010 pukul 08:57

berpatokan ya ke imam madzhab yang jelas pada hafal hadits nabi,,coba lihat tahun brapa
hidupnya!! lebih dulu hidup dari pada perawi hadits seperti imam bukhori dan
muslim,dll,jadi hadits2 tersebut ga akan keluar dari mereka imam mujtahid,,lah di
bandingkan kita,,hafal brapa hadits?? itu juga ga tau asal usulnya,,ente pake bicara ga
berpatokan segala,,emang kamu berpatokan ke siapa? kpd hadits shahih bukhori
muslim,dkk?wong imam bukhori muslim juga berpatokan kpd imam mujtahid…

Balas

20. Abi Tauhid berkata:

November 18, 2010 pukul 06:26

Orang awam mau ngomong, sepakat gak kita kalo ane bilan niat itu rukunnya sholat. Nah
yang namanya rukun itu dilakukan didalam sholat, sedangkan syarat dilakukan diluar
sholat. Yang namanya Sholat adalah ibadah yang dilakukan yang dimulai dari takbir dan
diakhir salam. JADIIIII…… Mau kita jungkir balik, mau kita ngobrol, mau kita nguap,
atau kegiatan lainnya sebelum takbir ya ndak masalaah… gitu aja kok repot. Tapi kalo
mewajibkan lafal niat itu baru bid’ah, lah yang mewajibkan aja nggak ada kookkkkk …..!

Terus, kalo antum semua sholat tanpa niat alias langsung takbir, berarti antum ninggalin
rukun pertama sholat yaitu niat, gak sah tauuu. …… beneran. Sebab dalam mahzab
syafe;i niat itu bersamaan dengan takbir, dilakukan didalam takbir. sementara melafazkan
cuma untuk menguatkan hati, gak dilafazkan juga gak apa, gitu aja kok repot….. ?. Yang
GAJK SAH SHOLATNYA itu kalo langsung takbir tanpa mengerjakan rukun yang
pertama yaitu niat bersamaan takbir …. beneran orang sombong….?

Ana juga mau tanya, tentang perkataan Sayyidina Umar ra, pada hadits solat tarawih, “Ini
adalah sebaik-baiknya bid’ah” berarti ada bid’ah hasanah dong, ya itu termasuk
malafazkan niat mahzabnya syafe’i. Inget gak ketika Abu Bakar dan Umar ingin
membukukan Al-qur’an, merka bilang BAGAIMA MUNGKIN AKU MELAKUKAN
SESUATU YANG TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI SAW, Kemudian Sayyidina
Umar menjelaskan, hingga alloh membukakan hati Abu Bakar, dan setelah proses yang
cukup panjang maka dibukukan Firman Alloh Al-qur’an dalam Mushab yang kita baca
sekarang ini, Bid’ah …. gak para sahabat tadi ….? orang sombong….?

BAnyak sih yang lainnya, yang dilakukan sahabat dalam perkara ibadah, yang dilakukan
ketika ada Nabi SAW masih hidup ataupun setelah Beliau wafat, padahal mereka lebih
tau persis apa yang dikatakan bid’ah ….. gak seperti pemiira orang sombong …. yang
cuma bisa ngedenger dan tklid buta…!

Orang awam ngomong, emang goblok, tapi sumpah aja …. saya gak pernah nyesat-
nyesatin orang, karena dihati Umat Muslim yang berbeda pendapat dan amalan sama
saya ada kalimat LAAILAAHAILLALLOOH ….. yang harus saya jaga.

Astagfirulloh … mudah2 han saya dijauhi dari orang orang yang bodoh dan sombong.

Balas
21. Abi Tauhid berkata:

November 25, 2010 pukul 06:14

DALIL MELAFAZKAN NIAT


(Bacalah dengan hati yang jernih tanpa merasa paling benar sendiri)

D. Hadits-Hadist dasar Dasar Talaffudz binniyah (melafadzkan niat puasa)


1. Diriwayatkan dari aisyah ummul mukminin Rha. Beliau berkata :
“Pada suatu hari Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu
yang dimakan? Aisyah Rha. Menjawab : “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu
pun”. Mendengar itu rasulullah Saw. Bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR.
Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz bin
niyyah di ketika Beliau hendak berpuasa sunnat.
2. Diriwayatkan dari Abu bakar Al-Muzani dari Anas Ra. Beliau berkata :
‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم‬ َ َ‫ض َي هللا ُ َع ْنهُ ق‬
ُ ‫ال َس ِمع‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬ ٍ َ‫ع َْن أَن‬
ِ ‫س َر‬
ً ‫يَقُوْ ُل لَبَّ ْيكَ ُع ْم َرةً َو َح ًّجا‬
“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-
sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan
haji dan umrah”.
”. (Hadith riwayat Muslim – Syarah Muslim Juz VIII, hal 216)).
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah Saw. Mengucapkan niat atau talafudz binniyah
diwaktu beliau melakukan haji dan umrah.
Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usolli ini diqiyaskan kepada haji.
Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
3. Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda
ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini
dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”. (Hadith Sahih riwayat Imam-Bukhari,
Sahih BUkhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135)
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash
juga bias tetap dengan qiyas.
4. Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata :
“Aku pernah shalat idul adha bersama Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak
pulang dibawakanlah beliau seekor kambing lalu beliau menyembelihnya sambil
berkata : “Dengan nama Allah, Allah maha besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari
orang-orang yang tidak sempat berkurban diantara ummatku” (HR Ahmad, Abu dawud
dan turmudzi)
Hadits ini menunjukan bahwa Rasulullah mengucapkan niat dengan lisan atau talafudz
binniyah diketika beliau menyembelih qurban.
E. Pendapat Imam-Imam ahlu sunnah (sunni) mengenai melafadzkan niat
1. Didalam kitab Az-zarqani yang merupakan syarah dari Al-mawahib Al-laduniyyah
karangan Imam Qatshalani jilid X/302 disebutkan sebagai berikut :
“Terlebih lagi yang telah tetap dalam fatwa para shahabat (Ulama syafiiyyah) bahwa
sunnat melafadzkan niat itu. Sebagian Ulama mengqiyaskan hal tersebut kepada hadits
yang tersebut dalam shahihain yakni Bukhari – Muslim.
Pertama : Diriwayatkan Muslim dari Anas Ra. Beliau berkata :
‫صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم‬ َ َ‫ض َي هللا ُ َع ْنهُ ق‬
ُ ‫ال َس ِمع‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬ ٍ َ‫ع َْن أَن‬
ِ ‫س َر‬
ً ‫يَقُوْ ُل لَبَّ ْيكَ ُع ْم َرةً َو َح ًّجا‬
“Aku pernah mendengar rasulullah Saw. Melakukan talbiyah haji dan umrah bersama-
sama sambil mengucapkan : “Aku penuhi panggilan-Mu ya Allah untuk melaksanakan
haji dan umrah”.
Kedua, Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah
bersabda ketika tengah berada di wadi aqiq :”Shalatlah engkau di lembah yang penuh
berkah ini dan ucapkanlah “sengaja aku umrah didalam haji”.
Semua ini jelas menunjukan lafadz niat. Dan Hukum sebagaimana dia tetap dengan nash
juga bias tetap dengan qiyas.”
G. Kesimpulan
Lihatlah bagaimana bahwa melafadzkan niat adalah dibolehkan. Apalagi bagi orang yang
berpenyakit was-was. Serja Untuk taklim (mengajari orang yang belum tahu cara niat
puasa) dan tanbih (mengingatkan kembali akan niat bagi orang mukmin), kadang sering
terlupa niat puasa jika tidak diingatkan.
Hati-hati dengan ucapan fitnah pemecah barisan sunni yakni golongan anti madzab
wahhaby yang menebarkan isu khilafiah dan mereka mengambil fatwa bertentangan
dengan pegangan majority ummat sunni agar ummat terjauh dari mengikuti ulama yang
haq dan terjauh dari kitab imam –imam sunni.
Rujukan :
– Al –ustadz Haji Mujiburrahman, Argumentasi Ulama syafei’yah terhadap tuduhan
bid’ah, mutiara ilmu Surabaya.
– DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam, Jilid I/214
– DR. Wahbah zuhaili, kitab Al-fiqhul islam, Jilid I/767
– Imam ramli, KitabNihayatul Muhtaj, Jilid I/437
– Ibnu hajar Al-haitsami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12
– Imam Qatshalani, Kitab Az-zarqani, jilid X/302
– Imam bukhari, Kitab Shahih Bukhary, Jilid I/189
– Imam Muslim, Kitab Shahih Muslim, Jilid VIII/216
– Syarah Safinatunnaja

Balas

o iwan berkata:

Desember 26, 2011 pukul 14:42

Ya Alloh,,, seperti itukah ketika manusia d palingkan??? apa yg kurang jelas dari
dalil2 ini,,, smoga yang di cari adalah kebenaran,,,

Balas
o Assyafiiayah berkata:

Februari 20, 2012 pukul 05:25

Subhanalloh… dalil ini komplit.

Balas

22. prass berkata:

November 30, 2010 pukul 08:29

hehe..
niat yg usholli….itu di lafalkan sblm sholatkan..?
hehe..ane malahan sebelum sholat itu sering ngerapihin peci sama sarung…kadang ya klo
gatel garuk2 dulu sdikit,gak masalah en nggak di bilang bid,ah ya…lha wong semua di
lakukan sebelum kita sholat…pie toh…
hehe…

Balas

o wawan berkata:

Desember 2, 2010 pukul 15:45

mas Prass, itu bid’ah… versinya Wahabi sih, tapi klo versi Syafii ya ga bid’ah..

yang lucu itu kalo ngliat mazhab Syafii pake kacamata Mazhab Wahabi, kacamata
minus dipake buat baca koran, ya jelas aja ngga ketokkk..
kalo dipaksain, ya, namanya “maksa”..

maksud saya itu,


definisi bid’ah antara Wahabi dengan Syafii aja udah lain, maka sampe jelekpun
ya ga bakal ketemu..

kita bisa menghitung tebal aspal rencana menggunakan metode ASHTOO 1986,
bisa juga menggunakan metode punyanya Bina marga PU, hasilnya ga jauh2 amat
(ada standar deviasi yang masih bisa ditoleransi)
tapi kalo menghitung tebal aspal menggunakan rumusnya orang pertanian IPB
bogor, ya jelas ga nyambung..
oleh karena itu, sadarlah wahai Wahabi, kacamata yg kita gunakan sudah jelas
beda, anda ga bisa memaksakan pemahaman anda sampai anda jelek sekalipun..
walaupun anda ngotot bilang Quran Hadits adalah pegangan anda, tapi anda tetap
menggunakan metode penafsiran ulama2 anda, sama seperti kami..

kredibilitas ulama2 anda sudah jelas,


ada yg belajar cuma diperpustakaan tanpa sanad (keluar perpus, sudah jadi ulama
hadis, dan berkoar2 kalo Bukhari Sesat, Imam Nawawi Bid’ah, dll).

ada imam anda yg ngotot mataharilah yg mengelilingi bumi, barang siapa yg


bilang sebaliknya maka dia kafir..
(coba anda2 pikir baik2 kengototan orang ini, sampe bawa2 kafir segal)

ada juga imam anda yg A bilang kalo imam anda yg B adalah sesat kafir (lihatlah,
sesama wahabi sendiri saling menyebut kafir)

saya ga perlu menyebut nama, toh orang2 sudah pada tau juga siapa yg dimaksud
dengan imam2 Wahab itu..

seperti itukah orang2 yg anda jadikan ikutan untuk “melihat” Nabi??


apakah orang2 yg meyakini Allah duduk manis di Arsy, duduk dikursi, Allah naik
turun langit bumi, yang akan anda jadikan pegangan??

bukalah akal sehat anda! tolong!

Balas

23. prass berkata:

Desember 3, 2010 pukul 10:55

yaps…Insya Allah semoga kita di berikan keluasan Ilmu agama,dan istiqomah dalam
pelaksanaannya…amiin

Balas

24. wawan berkata:

Desember 3, 2010 pukul 17:19

amin..
maaf mas Prass, saya mau ralat bahwa kata “anda” di komentar saya itu refers to – nya ke
temen2 Wahabi, bukan ke mas Prass..
saya lupa membedakan mana koment buat mas Prass, mana yg buat temen2 Wahabi..
Balas

25. Reno wardahana berkata:

Februari 2, 2011 pukul 08:40

Hehehehehe dasar wahabi apa’ bid’ah tanpa menggali lebih dalam,jangan’ mushaf al-
quran juga bid’ah lagi.,beravo as-syafi’iah memang indah dan sejuk di hati.

Balas

26. ZUL berkata:

Maret 4, 2011 pukul 18:57

Assalamu’alaikum wahai antum semua..


Coba anda pikirkan?? mana yang lebih utama yang akan anda kerjakan:
Anda melakukan sesuatu padahal tidak pernah diperintahkan untuk
melakukannya………. atau…. hanya karena tidak ada larangannya?….
Sebenarnya sudah diketahui bahwa: Urusan Ibadah (akhirat) itu hanya dilakukan jika ada
perintah/contoh dari Rasulullahi salallahu’alaihi wassalam untuk
melakukannya….sedangkan urusan Duniawi itu silahkan dilakukan sampai datangnya
Fatwa HARAM dari para Ulama untuk dikerjakan.
Wassalamu’alaikum

–> wangalaikum salam wrwb. Ketika perbuatan itu mubah (tidak ada perintah atau
tidak ada larangan) .. maka keduanya sama saja. Perbuatan mubah itu menjadi bernilai
ibadah ketika diniatkan untuk mendekat ke pada sang Pencipta.

Klasifikasi anda tak tepat benar. Urusan dunia, urusan akhirat. Coba anda pikirkan
juga. Apakah ada urusan dunia yang bukan urusan akhirat? Apakah ada perbuatan
dunia yang tidak diminta pertanggung jawaban di akhirat nanti? Apakah ada perbuatan
mubah yang tidak bisa menjadi ibadah? Tidak ada kan ..

Balas

o mahsun berkata:

Mei 22, 2011 pukul 18:33

maaf numpang ngobrooool… masalah keyakinan itu adanya dalam hati, soal baca
usholli atau tdk itu urusan masing2 org yg mau sholat, diterima apa tidak
tergantung Alloh SWT,
Yang ikut madzhab Syafi’i silahkan, hanafi silahkan, maliki juga silahkan,yg ikut
madzhab lain pun silahkan.
Kalau menurut saya yang pakai Usholli sholatnya sah, yg tak pakai usholli juga
sah, yg tak sah yg tak sholat.
jgn mudah mengharamkan,….. atau menghalalkan.
ulama warotsatul’anbiya’…, tapi ‘ulama tak bisa membuat hukum, apalagi ‘ulama
sekarang.. pandanya menjual hukum. kan ‘ulamanya udah dpt warisan,
Apalagi kalian………… sok pandai…. sok tau….. sok paham Al qur’an…..sok
ngerti hadits….
udah jgn bantah lagi…. malu2 in aja.

Balas

27. Aswaja gokil berkata:

Maret 6, 2011 pukul 06:45

Penjelasannya kok pake kalimat “memang tempatnya niat ada di hati”, berarti anda
sendiripun sebenarnya kurang yakin dgn artikel anda..(memang sih, memang benar dan
memang lainnya) berarti sebenarnya memang seperti itu.

Balas

28. zam berkata:

Agustus 16, 2011 pukul 01:26

assalamu alaikum .saudaraseagamaku jangnlah kt selalu mencari perbedaan tp crila


persamaan..firman allah dlm al quran .jiaka kalian berselisi pendapt tentang sesuatu maka
kembalikanla ia kepada al-qur an dn rusulnya jika kalian benar2 beriman kepada allah dn
rasulnya.yg dmian itu lebih utama bagi kalian dn lebih baik akibatnya…….

Balas

29. Syehh berkata:

September 7, 2011 pukul 13:46

Islam emang ruwet dan gk jelas

Balas
o ANAK GAUL berkata:

Desember 8, 2011 pukul 05:38

yoi

Balas

30. aan berkata:

September 22, 2011 pukul 15:33

afwan, begini,ngasih masukan aja, kalau berlarut2 dalam pertentangan begini kasihan
teman2 kita yg mencari kebenaran,malah bingung
sekedar buka pendapat. Saya bisa dikatakan salafiyah, gatau mau disebut wahhabiyah, ya
juga gapapa. Sy tidak berpatok pada aliran
InsyaAllaah saya mengikuti ahlussunnah -aamiin-
Yg jelas InsyaAllah saya menghargai pandangan imam 4 madzhab. Karena memang
mereka lebih sangat banyak ilmunya dibanding saya.
Izinkanlah saya ikut memberi masukkan
Saya hanya menyebutkan beberapa point2 karena semuanya telah disebutkan diatas.
1. Letaknya niat itu dihati,didorong keinginan yg besar untuk melaksanakannya. Semua
sepakat akan ini. Kalau ada yg bilang wahabbiy tidak sepakat akan ini,berarti anda tidak
mengetahui wahhabiy.
2. Niat lisan digunakan ‘untuk menghilangkan was was’ disini saya beri tanda kutip.
Disinilah perbedaannya. Coba, afwan, kita hargai semuanya. Saya meyakin imam syafi’i
juga imam yg lain,imam syafi’i mengajarkan niat lisan ‘untuk menghilangkan was was’.
Dan ini berbeda dengan yang terjadi sekarang. Kasihan sahabat kita yg awam sekali,
belajar islam, ia membuka buku, yg ia dapatkan “bacaan niat sholat” hingga berpatokan
niat sholat menjadi wajib dilisankan. Mereka tidak mendapat penjelasan.
Coba, afwan, bertanya pada mereka, apa hukum niat sholat? ‘WAJIB’
Maka ini menyalahi perkataan imam syafi’i kan yg mensunnahkan niat lisan.

Berbalik lg ke masalah niat lisan sebenarnya perlu atau tidak? “PERLU” untuk
menghilangkan rasa was was.
Namun,mengapa ini menjadi selalu dibaca saat hendak sholat? Bukan kah ini yg hukum
awalnya sunnah menjadi wajib? Karena dijalankan secara berkelanjutan.
Ini yg menjadi salah pemahaman.

Afwan,untuk menjawab komentar saudara kita yg mengatakan wahabbiy tidak boleh


menzakatkan selain kurma,hendaknya mengkaji hadist lg. Afwan, tidak bermaksud
menggurui. Karena berzakat selain kurma itu sudah terdapat hadist yg shahih atasnya

Afwan jika dalam perkataan saya terselip hujatan yg tidak sy sengaja,saya mohon maaf
Wallahu a’lam

Balas

o Imam berkata:

Desember 14, 2011 pukul 17:58

Untuk Saudara Aan,

Komentar Anda :

Berbalik lg ke masalah niat lisan sebenarnya perlu atau tidak? “PERLU” untuk
menghilangkan rasa was was.
Namun,mengapa ini menjadi selalu dibaca saat hendak sholat? Bukan kah ini yg
hukum awalnya sunnah menjadi wajib? Karena dijalankan secara berkelanjutan.
Ini yg menjadi salah pemahaman.

Tanggapan saya :

Yang salah paham ya itu Saudara sendiri,kenapa ?

Karena, pada saat Imam Syafi`i mensunahkan melafadzkan niat kemudian oleh
pengikutnya dilanggengkan ko oleh Anda disalahkan, ini kan aneh…..

Yang namanya sunah kalau dilanggengkan itu kan bagus karena akan tetap
mendapatkan pahala kesunahannya.

Yang salah adalah merubah hukum sunah menjadi wajib atau perbuatan yang
disunahkan kemudian dilanggengkan kemudian dianggap salah oleh seseorang, ya
….seperti pendapat Anda itu.

Balas

31. Randy berkata:

Oktober 6, 2011 pukul 04:54

ikhtilaf dalam fiqih itu sudah terjadi dari dahulu kala, tapi kalau mengklaim bahwa satu
paham seperti wahabi yang disebutkan diatas sebaiknya hal itu tidak terjadi. apalagi
untuk pembahasan fiqih yang sebenarnya tidak ada hubungannya.
Apalagi kalau memang ternyata wahabi itu adalah justru yang berpegang teguh pada
sunnah. walhasil kita hanya dibuat menyalahkan yang sebenarnya adalah saudara kita
sendiri, dan kembali hal ini adalah kemenangan buat mereka yang tidak suka dengan
Islam.

Perlu dicermati lagi lebih dalam, kita semua tidak luput dari kekurangan dan info yang
kita dapat terkadang simpang siur apalagi di internet klaim atau pengakuan apapun bisa
terjadi walaupun tanpa dasar.

Wallahu ‘alam

Balas

32. Orang Awam berkata:

Oktober 8, 2011 pukul 05:39

Berikut ini beberapa etika bila menemukan beda pendapat antar kelompok:
Memulai dengan “husnuzzan” (prasangka baik) terhadap sesama muslim.
Menghargai pendapat kelompok lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil.
Tidak memaksakan kehendak bahwa kelompoknyalah yang paling benar, karena
pendapat lain juga mempunyai kemungkinan benar yang seimbang, sejauh dalam
diskursus syariah.
Mengakui adanya perbedaan dalam masalah furu’iyah (cabang-cabang ajaran) dan tidak
membesar-besarkannya.
Tidak mengkafirkan orang yang telah mengucapkan “Laailaaha illallah”.
Mengkaji perbedaan secara ilmiyah dengan mengupas dalil-dalilnya.
Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah-masalah furu’iyah
(cabang-cabang ajaran), karena ragamnya dalil, di samping kemampuan akal yang
berbeda-beda dalam menafsiri dalil-dalil tsb.
Terbuka dalam menyikapi perbedaan, dengan melihat perbedaan sebagai hal yang positif
dalam agama karena memperkaya khazanah dan fleksibillitas agama. Tidak cenderung
menyalahkan dan menuduh sesat ajaran yang tidak kita kenal. Justru karena belum kenal,
sebaiknya kita pelajari dulu latar belakang dan inti ajarannya.
semoga bermanfaat agar persatuan islam tetap terjaga :)
Wa’alaikum sallam wrb.

Balas

33. musa berkata:

November 30, 2011 pukul 01:44

Aduh…… pake otak donk jgn pake otot nya otak…_!!”


Semuanya pada mempertahankan i’tiqad masing-masing..-!!”
Yang ini merasa paling benar itu merasa paling benar-!!”
Baca Qs An-Nisa’ : 59..- Kalo toh Masing” punya landasannya dlm Al-Qur’an ataupun
Sunnah monggo mas…
jgn hanya andalkan Aqal donk. nie agama ikut Rasul.. lagi pula Qiyas urutannya Ke-4.
Perhatikan perkataan Al-Imam As Syafi’i berikut :

“Apabila seseorang berniat haji dan ‘umrah sudah mencukupi meskipun tidak
dilafazhkan, berbeda dengan shalat karena shalat tidak sah melainkan dengan ucapan.”

Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Telah berkata para sahabat kami (ulama
dari madzhab Syafi’i) bahwa orang yang memahami bahwa ucapan itu (dengan
mengucapkan ushalli…) adalah keliru, karena bukan demikian maksud Imam asy-Syafi’i.
Akan tetapi yang dimaksud oleh beliau adalah ucapan mulai shalat, yaitu takbiratul
ihram.”

[Al-Majmuu’ Syarhul Muhadzdzab (III/277)].

–> al majmu’ syarahl al muhadzdzab adalah karya imam an Nawawi. Dan Imam
Nawawi yang bermadzab syafi’i pun ber-ushali.

Sejak terungkap banyak karya kitab-kitab klasik (terutama yg bermadzab 4) digunting


tambal oleh wahaby, saya pun meragukan ketika seorang yg tak bermadzab syafi’i
mengungkap bantahan menggunakan kitab syafi’iyah. Hampir pasti itu telah di-edit.

mohon maaf kl tak berkenan.

Balas

o Imam berkata:

Desember 1, 2011 pukul 19:11

Untuk Saudara Musa,

Tulisan Anda :

Aduh…… pake otak donk jgn pake otot nya otak…_!!”

Komentar saya :

Menurut saya Andalah yang tidak pakai otak, tapi pakai nafsu dengan
memalsukan ( talbis ) pendapat Imam Syafi`i dan Imam Nawawi, saya curiga
Anda tidak mempunyai kitabnya tapi hanya klik sana dan klik sini dengan tidak
melihat sumber kitab aslinya yang menjadi rujukan Anda itu. sehingga nyasar….
Dalam Kitab Majmu` Sharhil Muhadzdzab dalam juz 3 hal 277 sesuai kitab yang
saya punyai bukan menjelaskan tentang niat tapi menjelaskan tentang hadits2
shoheh berkaitan dengan doa istiftah, silakan Anda cek dalam nama kitab yang
sama cetakan maktabah Al-Irsyad – Jedah KSA.

Dalam cetakan itu juz 3 hal 241 berbunyi seperti tulisan Anda tetapi Anda telah
memalsukan makna yang terkandung di dalamnya , demikian redaksinya :

‫صلَّى هَّللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم { إنَّ َما‬ َ ‫صاَل ِة لِقَوْ لِ ِه‬


َّ ‫ُوض ال‬
ِ ‫صنِّفُ َر ِح َمهُ هَّللا ُ تَ َعالَى ( ثُ َّم يَ ْن ِوي َوالنِّيَّةُ فَرْ ضٌ ِم ْن فُر‬ َ ‫قَا َل ْال ُم‬
‫ َو َم َحلُّ النِّيَّ ِة‬، ‫ص َّح ِم ْن َغي ِْر نِيَّ ٍة َكالصَّوْ ِم‬ َ ْ‫ئ َما نَ َوى } وَأِل َنَّهَا قُرْ بَةٌ َمح‬
ِ َ‫ضةٌ فَلَ ْم ت‬ ٍ ‫ت َولِ ُك ِّل ا ْم ِر‬ ِ ‫اأْل َ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬
‫ْس بِ َش ْي ٍء‬ ِّ ُ َّ
َ ‫ َولَي‬، ‫ب َويَتَلَفظ بِالل َسا ِن‬ ِ ‫ يَ ْن ِوي بِالقَل‬: ‫ َو ِم ْن أصْ َحابِنَا َم ْن قَا َل‬. ُ‫ فَإ ِ ْن نَ َوى بِقَلبِ ِه ُدونَ لِ َسانِ ِه أجْ َزأه‬، ُ‫ْالقَ ْلب‬
ْ ْ َ َ َ ْ
ِ ‫; أِل َ َّن النِّيَّةَ ِه َي ْالقَصْ ُد بِ ْالقَ ْل‬
‫ب‬

(Ini pendapat Imam Nawawi) :

Artinya :

Berkata pengarang kitab ( Imam Nawawi ) – semoga Alloh merahmati beliau :


Kemudian niat, niat adalah fardu ( rukun sholat ) berdasarkan hadits
( Sesungguhnya segala amal tergantung niatnya…. ) karena ia ( sholat ) ibadah
Mahdoh maka tidaklah sah tanpa melakukan niat seperti juga puasa.

Tempatnya niat adalah hati, apabila niat dalam hati tidak disertai dengan lisannya
maka hukumnya boleh. Sedangkan beberapa shahabat kami ( masdzhab Syafi`i)
yang mengatakan bahwa niat dengan hati harus juga niat dengan lisan, tidak
dianggap karena sejatinya niat yaitu menyengaja melakukan sesuatu dalam hati

Kemudian pendapat Imam Syafi`i yang diselewengkan maknanya oleh Anda


( masih dalam kitab yang sama ) sbb :

; ‫ب َوتَلَفُّ ِظ اللِّ َسا ِن‬ ِ ‫ي أَنَّهُ اَل يُجْ ِزئُهُ َحتَّى يُجْ ِم َع بَ ْينَ نِيَّ ِة ْالقَ ْل‬ ُّ ِ ‫ هُ َو قَوْ ُل أَبِي َع ْب ِد هَّللا‬: ‫اوي‬
ِّ ‫الزبَي ِْر‬ ِ ‫صا ِحبُ ْال َح‬ َ ‫ال‬ َ َ‫َوق‬
‫صاَل ِة اَل‬
َّ ‫ْس َكال‬ َ ْ َّ َ َ ْ َ َ ً َ ًّ َ ْ
َ ‫ َوإِن ل ْم يَتَلفظ َولي‬، ُ‫ًجا أوْ ُع ْم َرة أجْ َزأه‬Xّ ‫ إذا نَ َوى َح‬: ِّ‫ي – َر ِح َمهُ ُ – قا َل فِي ال َحج‬ َ ‫هَّللا‬ َّ ‫أِل َ َّن الشافِ ِع‬
َّ
ُ‫ بَلْ ُم َرا ُده‬، ‫صاَل ِة هَ َذا‬ َّ ‫ق فِي ال‬ ْ
ِ ‫ْس ُم َرا ُد ال َّشافِ ِع ِّي بِالنُّط‬ ْ َ
َ ‫ َولَي‬، ‫ َغلِطَ هَ َذا القَائِ ُل‬: ‫ قَا َل أصْ َحابُنَا‬. ‫ق‬ ْ
ِ ‫صحُّ إاَّل بِالنُّط‬ ِ َ‫ت‬
َْ‫ َولو‬. ‫اع فِي ِه‬ ‫إْل‬ َ َ َ َ َ ‫إْل‬ ُ ‫اَل‬ ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ َ ْ َّ
ِ ‫ كذا نق َل أصْ َحابُنَا بِا ِ جْ َم‬. ‫اع فِي ِه‬ ِ ‫ص تهُ بِا ِ جْ َم‬ َ ‫التكبِي ُر َولوْ تلفظ بِلِ َسانِ ِه َول ْم يَن ِو بِقلبِ ِه ل ْم تن َعقِد‬
‫الظه ِْر‬ ُّ ُ‫صاَل ة‬ َ ‫َت‬ ْ ‫صاَل ةُ ْال َعصْ ِر ا ْن َعقَد‬ َ ‫الظه ِْر َو َج َرى َعلَى لِ َسانِ ِه‬ ُّ َ‫صاَل ة‬ َ ‫نَ َوى بِقَ ْلبِ ِه‬

Artinya :

Berkata Pengarang kitab Al-Hawi : Pendapat itu ( yang mewajibkan niat dengan
hati dan lisan ) adalah pendapat Abu Abdillah Al-Zubairiyyi,ia mengatakan
bahwa tidak boleh ( bagi seseorang niat sholat ) hingga mengumpulkan niat
dengan hati dan juga melafadzkannya, karena berdasarkan pendapat Imam
Syafi`ii bahwa beliau berkata dalam kitab Haji : Apabila seseorang niat haji atau
umroh dengan tidak melafadzkannya adalah boleh, berbeda dengan sholat, ia
tidak sah tanpa nathqi ( melafadzkan ).
*( Nathqi menurut Abu Abdulloh Al- Zubairiy adalah melafadzkan niat ).

Para sahabat kami ( Ulama Syafi`i ) menjawab ( menjelaskan ) : Pendapat seperti


itu ( Pendapat Abu Abdulloh Al-Zubairiy ) adalah salah, bukanlah yang dimaksud
Nathqi ( melafadzkan ) dalam sholat adalah seperti itu ( yakni seperti pendapat
Abu Abdullaoh Al-Zubairiyyi ) tetapi yang dimaksud adalah membaca
(melafadzkan) takbir. Jadi jika seseorang melafadzkan takbir sedangkan ia tidak
berniat dalam hati maka tidak sah sholatnya menurut kesepakatan para ulama.

Silakan dibandingkan artinya…Bersambung….

Balas

34. musa berkata:

November 30, 2011 pukul 01:48

OOhh.. ia satu lagi..

coba lihat celananya tu orang-orang NU pada isbal semua contohnya orang NU yang ada
di kota ane.._!!!”

Tdk pantas di ikut.._

yg mau Taqlid sama mereka monggo sampe ketemu di Padang Mahsyar.

Saran ane tolong tu celana bwa di tukang jahit dong, biar nga isbal lagi.

Balas

o Imam berkata:

Desember 3, 2011 pukul 17:24

Untuk Saudara Musa,

Komentar Anda :

coba lihat celananya tu orang-orang NU pada isbal semua contohnya orang NU


yang ada di kota ane.._!!!”

Tdk pantas di ikut.._


Jawab Saya :

Silakan lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi dalam bab Maa Jaa`a fi karoohati jarril
izaari , demikian redaksinya :

‫ وأما اإلسبال لغير الخيالء فظاهر‬، ‫ في هذه األحاديث أن إسبال اإلزار للخيالء كبيرة‬: ‫قال الحافظ في الفتح‬
‫ لكن استدل بالتقييد في هذه األحاديث بالخيالء على أن اإلطالق في الزجر الوارد‬، ‫األحاديث تحريمه أيضا‬
: ‫ قال ابن عبد البر‬. ‫في ذم اإلسبال محمول على المقيد هنا فال يحرم الجر واإلسبال إذا سلم من الخيالء‬
. ‫مفهومه أن الجر لغير الخيالء ال يلحقه الوعيد إال أن جر القميص وغيره من الثياب مذموم على كل حال‬
‫ وهكذا نص الشافعي على‬، ‫ فإن كان لغيرها فهو مكروه‬، ‫ اإلسبال تحت الكعبين للخيالء حرام‬: ‫وقال النووي‬
‫ والمستحب أن يكون اإلزار إلى نصف الساق والجائز بال‬: ‫ قال‬، ‫الفرق بين الجر للخيالء ولغير الخيالء‬
‫ وما نزل من الكعبين ممنوع منع تحريم إن كان للخيالء وإال فمنع تنزيه ؛ ألن‬X‫كراهة ما تحته إلى الكعبين‬
‫األحاديث الواردة في الزجر عن اإلسبال مطلقة فيجب تقييدها باإلسبال للخيالء انتهى‬

Artinya :

Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fathi : Dalam banyak hadits
menjelaskan bahwa isbal ( menurunkan ) pakaian karena sombong adalah dosa
besar. Sedangkan Isbal ( menurunkan pakaian ) yang bukan dengan rasa
kesombongan maka makna dzohir haditsnya juga haram, TETAPI dapat ditarik
kesimpulan dengan membatasi dengan hadits yang bermakna/berkaitan dengan
sifat kesombongan dari keumuman hadits yang berisi pelarangan akan tercelanya
isbal ( menurunkan pakaian ). Keumuman hadits itu harus dibawa maknanya
kepada makna tertentu ( dibatasi maknanya ). Maka tidaklah haram
menyeret/menurunkan pakaian apabila selamat dari rasa kesombongan.

Berkata Ibnu Abdul Barr : Hadits itu dapat dipahami bahwa isbal/menyeret
pakaian dengan tidak sombong maka tidak akan mendapat ancaman ( dari Alloh ),
kecuali apabila menyeret (isbal ) gamis ( baju panjang ) dan selainnya berupa
pakaian2 yang tercela dipandang dari berbagai sudut.

Berkata Imam An-Nawawi : Isbal ( menurunkan pakaian ) sampai di bawah kedua


mata kaki karena sombong adalah haram, tetapi apabila bukan karena sombong
maka hukumnya makruh, hal ini seperti penjelasan Imam Syafi`i mengenai
adanya perbedaan (hukum) antara isbal karena sombong dan bukan karena
sombong.

Berkata pula Imam An-Nawawi : Disukai ( Mustahabbah ) menurunkan pakaian


hingga sampai ke separo betis dan boleh juga bukan makruh menurunkan pakaian
dari separo betis sampai ke kedua mata kaki, sedangkan apabila pakaian turun di
bawah kedua mata kaki maka hukumnya dilarang berupa larangan yang haram,
JIKA karena kesombongan NAMUN JIKA TIDAK KARENA
KESOMBONGAN maka hukumnya dilarang saja ( mamnu` tanzih ), karena
HADITS2 YANG ADA YANG MENJELASKAN DILARANGNYA ISBAL
ADALAH HADITS2 MUTHLAQ ( HADITS UMUM ) MAKA WAJIB
HUKUMNYA MENTAQYIIDKANNYA / MEMBATASINYA DENGAN
HADITS2 ISBAL KARENA SOMBONG…WAALLOHU `ALAM.

Balas

 hakim berkata:

Juli 26, 2012 pukul 13:10

Isbal artinya melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki, dan hal ini
terlarang secara tegas baik karena sombong ataupun tidak. Larangan isbal
bagi
laki-laki telah dijelaskan dalm hadist-hadist Rasulullah SAW yang sangat
banyak,
maka selayaknya bagi seorang muslim yang telah ridho Islam sebagai
agamanya
untuk menjauhi hal ini. Naun ada sebagian kalangan yang dianggap
berilmu menolak
isbal dengan alasan yang rapuh seperti klaim kalau tidak sombong maka
dibolehkan
?!. Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan perkara yang sebenarnya
tentang
isbal aga menjadi pelita bagi orang yang mencari kebenaran. Amiin.
Wallohu
Musta’an

A. DEFINISI ISBAL

Isbal secara bahasa adalah masdar dari asbala, yusbilu, isbalan, yang
bermakna
irqaa’an yang artinya menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan.
Sedang menurut
istilah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul A’roby RA dan
selainnya adalah;
memanjangkan, melabuhkan dan menyentuh tanah, baik karena sombong
ataupun tidak.
(Lihat Lisanul ’Arob Ibnul Manzhur II/321, Nihayah Fi Ghoribil Hadist
Ibnul
Atsir 2/339).

B. BATAS PAKAIAN MUSLIM

Salah satu kewajiban seorang muslim adlah meneladani Rasuullah SAW


dalam segala
perkara, termasuk dalam masalah pakaian. Rasulullah telah memberikan
batas-batas
syar’I terhadap pakaian seorang muslim, perhatikan hadist-hadist berikut:

Rasulullah SAW bersabda:

“Keadaan sarung seorang muslim hingga setengan betis, tidaklah berdosa


bila
memanjangkannya antara setengah betis hingga diatas mata kaki, dan apa
yang
turun dibawah mata kaki maka bagiannya di neraka. Barangsiapa yang
menarik
pakainnya karena sombong maka Alloh tidak akan melihatnya.” (HR. Abu
Dawud 4093,
Ibnu Majah 3573, Ahmad 3/5, Malik 12, dishohikan oleh Al-Albany
dalam Al-Misykah
4331).

Berkata Syaroful Haq Azhim Abadi R.A.: “Hadist ini menunjukkan bahwa
yang sunnah
hendaklah sarung seorang muslim hingga setengan betis, dan dibolehkan
turun dari
itu hingga di atas mata kaki, apa saja yang di bawah mata kaki maka hal
itu
terlarang dan haram”. (’Aunul Ma’bud 11/103).

Dari Hudzaifah R. A. beliau berkata:

Rasulullah memegang otot betisku lalu bersabda: “Ini merupakan batas


bawah kain
sarung. Jika engkau enggan maka boleh lebih bawah lagi. Jika engkau
masih enggan
juga maka tidk ada hak bagi sarung pada mata kaki. (HR. Tirmidzi 1783,
Ibnu
Majah 3572, Ahmad 5/382, Ibnu Hibban 1447. Dishohihkan oleh Al-
Albany dalam
As-Shohihah 1765).

Hadist-hadist di atas mengisyaratkan bahwa panjang pakaian seorang


muslim
tidaklah melebihi kedua mata kaki dan yang paling utama hingga setengah
betis,
sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah dalam hadistnya yang
banyak.

Dari Abi Juhaifah R. A. berkata:


“Aku melihat Nabi keluar dengan memakai Hullah Hamro[1] seakan-akan
saya melihat
kedua betisnya yang sangan putih.” (Tirmidzi dalam sunannya 197, dalam
Syamail
Muhammadiyah 52, Ahmad 4/308).

’Ubaid bin Kholid R. A. berkata: “Tatkala aku sedang berjalan di kota


Madinah
tiba-tiba ada seorang di belakangku sambil berkata: “Tinggikan sarungmu!
Sesungguhnya hal itu lebih mendekatkan kepada ketaqwaan”, ternyata dia
adalah
Rasulullah, aku pun bertanya kepadanya: “Wahai Rasulullah ini Burdah
Malhaa
(pakaian yang mahal), Rasulullah menjawab: “Tidakkah ada pada diriku
terdapat
teladan?” Maka aku melihat sarungnya hingga setengah betis”. (HR.
Tirmidzi dalam
Syamail 97, Ahmad 5/364, Dishohikan oleh Al-Albani dalam Mukhtasor
Syamail
Muhammadiyyah hal. 69).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah R. A. pernah ditanya tentang seseorang


yang
memanjangkan celananya hingga di atas melebihi mata kaki, beliau
menjawab:
“Panjangnya qomis, celana dan seluruh pakaian hendaklah tidak melebihi
kedua
mata kaki, sebagaimana telah tetap dari hadist-hadist Nabi SAW’. (Majmu
Fatawa
22/144).

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Walhasil ada dua keadaan bagi laki-laki;
dianjurkan yaitu menurunkan sarung hingga setengan betis, boleh yaitu
hingga di
atas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita ada dua keadaan;
dianjurkan
yaitu menurunkan di bawah mata kaki hingga sejengkal, dan dibolehkan
higga
sehasta”. (Fathul Bari 10/320).

C. DALIL-DALIL HARAMNYA ISBAL

Pertama :

Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah bersabda: “Ada tiga golongan yang
tidak akan
diajak bicara oleh Alloh pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang
pedih;
Rasululloh menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak
3 kali,
Abu Dzar brkata: “Merugilah mereka, siapakah mereka wahai Rasulloh?”
Rasululloh
menjawab: “Orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka
mengungkit-ungkit
pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah
palsu”. (HR.
Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa’I 4455, Dharimy 2608, Lihat Al-
Irwa’ : 900).

Kedua :

Ari Abdullah bin Umar R. A. bahwasanya Rasululloh SAW bersabda:

“Barngsiapa melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Alloh tidak


akan
melihatnya pada hari kiamat”. (HR. Bukhori 5783, Muslim 2085).

Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali berkata: “Isbal karena sombong adalah
dosa
besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Alloh pada hari
kamat, tidak disucikanNya, dan baginya adzab yang pedih”. (Manahi
Syari’ah
3/206).

Ketiga :

Dari Abu Hurairoh bahwasanya Nabi bersabda: “Apa saja yang di bawah
kedua mata
kaki di dalam neraka”.(HR. Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad
2/96).

Keempat :

Dari Mughiroh bin Su’bah R. A., adalah Rasulloh SAW bersabda: “wahai
Sufyan bi
Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Alloh tidak menyenangi orang-
orang yang
isbal.” (HR. Ibnu Majah 3574, Ahmad 4/246, Thobroni dalam Al-Kabir
7909,
dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 2862).

Kelima :
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk
kesombongan, dan
Alloh tidak menykai kesombongan”. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad
4/65, dishohihkan
oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 770).

Keenam :

Dari Ibnu Umar R. A. berkata: “saya lewat di hadapan Rasulloh


sedangkan sarungku
terjurai, kemudian Rasululloh SAW menegurku seraya berkata: “Wahai
Abdullah
tinggikan sarungmu!” Aku pun meninggikannya, beliau bersada lagi:
“Tinggikan
lagi !” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa
menjaga
sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya: “Seberapa
tingginya?”
“Sampai setengan betis”. (HR. Muslim 2086, Ahmad 2/33).

Berkata Syaikh Al-Albani Rahimmallohu: “Hadist ini sangat jelas sekali


bahwa
kewajiban seorang muslim hendaklah ia meninggikannya hingga di atas
mata kaki,
walaupun dia tidak bertujuan sombong, dan didalam hadist ini terdapat
bantahan
kepada orang-orang yang isbal dengan sagkaan bahwa mereka tidak
melakukannya
karena sombong! Tidakkah mereka meninggalkan hal ini demi mencontoh
perintah
Rasululloh SAW terhadap Ibnu Umar??, ataukah mereka merasa hatinya
lebih suci
dari Ibnu Umar?”. (As-Shohihah: 4/95).

Brkata Syaikh Bakr Abu Zaid: “Dan Hadist-hadist tentang pelarangan


isbal
mencapai derajat Mutawatir Makna, tercatum dalam kitab-kitab shohih,
Sunan-sunan
ataupun Musnad-musnad, diriwayatkan banyak sekali oleh sekelompok
sahabat.
Beliau lantas menyebutkan nama-nama sahabat tersebut hingga 21 (dua
puluh satu)
orang. Lanjutya, “Seluruh hadist tersebut menunjukkan larangan yang
sangat
tegas, larangan pengharaman, karena didalamnya terdapat ancaman yang
sangat
keras. Dan telah diketahui bersama bahwa sesuatu yang terdapat ancaman
atau
kemurkaan maka diharamkan, termasuk dosa besar, tidak bisa dihapus dan
diangkat
hukumnya termasuk hokum-hukum syar’I yang kekal pengharamanya”.
(Hadd Tsaub Wal
Uzroh Wa Tahrim Isbal Wa Libas Syuhroh hal. 19).

D. DAMPAK NEGATIF ISBAL

Isbal keharamannya telah jelas, bahkan di dalam isbal terdapat beberapa


kemungkinan yang tidak bisa dianggap remeh, berikut sebagiannya:

1. Menyelisihi sunnah

Menyelisihi sunnah termasuk perkara yang tidak bisa dianggap enteng dan
ringan,
karena kewajiban setiap muslim untuk mengamalkan setiap sendi dien
dalam segala
perkara baik datangnya dari Al-Qur’an atau Sunnah.

Alloh SAW berfirman:

Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rosul, takut akan


ditimpa
cobaan (fitnah) atau di timpa adzab yang pedih. (QS. An-Nur 63)

2. Mendapat ancaman neraka

Berdasarkan hadist yang sangat banyak berisi ancaman neraka[2], bagi


yang
melabuhkan pakaiannya, baik karena sombong ataupun tidak.

3. Termasuk kesombongan

Berkata Al-Hafizh Ibnu Hajar Rahimmallohu : “Kesimpulannya isbal


melazimkan
menarik pakaian, dan menarik pakaian melazimkan kesombongan,
walaupun pelakunya
tidak bermaksud sombong”. (Fathul Bari 10/325). Rasululloh SAW
bersabda:
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk
kesombongan”.
(HR. Abu Dawd 4048, Ahmad 4/65, dishohihkan oleh Al-Albani dalam
As-Shohihah
770).
Berkata Ibnul ’Aroby Rahimallahu : “Tidak boleh bagi laki-laki untuk
memanjangkan pakaiannya melebihi kedua mata kaki, meski dia
mengatakan “Aku
tidak menariknya karena sombong”, karena larangan hadist secara lafazh
mencakup
pula bagi yang tidak sombong, maka tidak boleh bagi yang telah tercakup
dalam
larangan kemudian berkata: “Aku tidak mau melaksanakannya karena
ebab larangan
tersebut itu tidak ada pada diriku”, ucapan semacam ini merupakan klaim
yang
tidak bisa diterima, bahkan memanjangkan pakaian itu sendiri termasuk
kesombongan”. (Fathul Bari 10/325).

4. Menyerupai wanita

Isbal bagi wanita disyari’atkan bahkan wajib, dan mereka tidak


diperkenankan
untk menampakkan anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Orang yang
isbal berarti mereka telah menyerupai wanita dalam berpakaian, dan hal
itu
terlarang secara tegas, berdasarkan hadist:

Dari Ibnu ’Abbas ia berkata: “Rasululloh melaknat laki-laki yang


menyerupai
wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki”. (HR. Bukhori 5885, Abu
Dawud 4097,
Tirmidzi 2785, Ibnu Majah 1904).

Imam a-Thobari berkata: “Maknanya tidak boleh bagi laki-laki


menyerupai wanita
di dalam berpakaian dan perhiasan yang menjadi kekhususan mereka,
demikian pula
sebaliknya”. (Fathul Bari 11/521).

Dari Khorsyah bin Hirr berkata: “Aku melihat Umar bin Khotob,
kemudian ada
seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya lewat di hadapannya. Maka
Umar
menegurnya seraya berkata: “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda
tersebut
menjawab: “Wahai Amirul Mukmini apakah laki-laki itu mengalamai
haidh?” Umar
menjawab: “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati
mata kaki?”
kemudian Umar minta diambilkan gunting lalu memotong bagian sarung
yang melebihi
kedua mata kakinya”. Khorsyah berkata: “Seakan-akan aku melihat
benang-benang
diujung sarung itu”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/393 dengan sanad yang
shohih, lihat
Al-Isbal Lighoiril Khuyala’ hal. 18).

Akan tetapi laa haula wala quwwata illa billah, zaman sekarang yang
katanya
modern, patokan berpakaian terbalik, yang laki-lai melabuhkan
pakaiannya
menyerupai wanita dan tidak terlihat kecuali wajah dan telapak tangan!
Yang
wanita membuka pakaiannya hingga terlihat dua betisnya bahkan lebih
dari itu.
Yang lebih tragis lagi cemoohan dan ejekan kepada laki-laki yang
memendekkan
pakaiannya karena mencontoh Nabi dan mengejek para wanita yang
memajangkan
jilbabnya karena taat kepada Alloh SWT dan Rasulnya, akhirnya kepada
alloh kita
mengadu. (Al-Isbal Lighoiril Khuyala’ 18)

5. Berlebih-lebihan

Tidak ragu lagi syari’at yang mulia ini telah memberkan batas-batas
berpakaian,
maka barangsiapa yang melebihi batasnya sungguh ia telah berlebih-
lebihan. Alloh
berfirman :

Dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai


orang-orang
yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’rof 31)

Al-Hafzh Ibnu Hajar berkata: “Apabila pakaian melebihi batas


semestinya, maka
larangannya dari segi isrof (berlebih-lebihan) yang berakhir pada
keharaman”.
(Fathul Bari 11/436).

6. Terkena najis
Orang yang isbal tidak aman dari najis, bahkan kemungkinan besar najis
menempel
dan mengenai sarungnya tanpa ia sadari. Rasululloh SAW bersabda:

“Naikkan sarungmu karena hal itu lebih menunjukkan ketaqwaan-dalam


lafazh yang
lain lebih suci dan bersih-.” (HR. Tirmidzi dalam Syamail 97, Ahmad
5/364,
dishohihkan oleh Al-Albani dalam Mukhtashor Syamail Muhammadiyah
hal. 69).

F. SYUBHAT DAN JAWABANNYA

Orang-orang yang membolehkan isbal mereka melontarkan syubhat yang


cukup banyak,
diantara yang sering muncul ke permukaan adalah klaim mereka bahwa
isbal jika
tidak sombong dibolehkan. Oeh karena itu penulis perlu menjawab dalil-
dalil yang
biasa mereka gunakan untuk membolehkan isbal jika tidak bermaksud
sombong:

Pertama hadist Ibnu Umar R. A.:

Dari Abdullah bin Umar R. A. bahwasanya Rosululloh SAW bersabda:


“Barangsiapa
yang melabuhkan pakaiannya karena sombong, maka Alloh tidak akan
melihatnya pada
hari kiamat !”. Abu Bakar bertanya: “Ya Rosululloh sarungku sering
melorot
kecuali bila aku menjaganya!” Rosululloh menjawab: “Engkau bukan
termasuk orang
yang sombong”. (HR. Bukhori 5784).

Mereka berdalil dengan sabda Rosululloh: “Engkau bukan termasuk orang


yang
melakukannya karena sombong” bahwasanya isbal bila tidak sombong
dibolehkan !?

Jawaban :

Berkata Syaikh Al-Albani: “Dan termasuk perkara yang aneh, ada


sebagian orang
yang mempunyai pengetahuan tentang Islam mereka berdalil bolehnya
memajangkan
pakaian atas dasar perkataan Abu Bakar ini. Maka aku katakan bahwa
hadist di
atas sangat gamblang bahwa Abu Bakar sebelumnya tidak memanjangkan
pakaiannya,
sarungnya selalu melorot tanpa kehendak dirinya dengan tetap berusaha
untuk
selalu menjaganya. Maka apakah boleh berdalil dengan perkataan ini
sementara
perbedaannya sangat jelas bagaikan matahari di siang bolong dengan apa
yang
terjadi pada diri Abu Bakar dan orang yang selalu memanjangkan
pakaiannya? Kita
mohon kepada Alloh SWT keselamatan dari hawa nafsu”. (As-Shohihah
6/401).
Kemudian Syaikh berkata dalam tempat yang lain: “Dalam hadist riwayat
Muslim,
Ibnu Umar pernah lewat di hadapan Rosululloh SAW sedangkan
sarungnya melorot,
Rosululloh menegur Ibnu Umar dan berkata: “Wahai Abdulloh naikkan
sarungmu!”
Apabila Ibnu Umar saja yang termasuk sahabat yang mulia dan utama,
Nabi tidak
tinggal diam terhadap sarungnya yang melorot bahkan memerintahkannya
untuk
mengangkat sarung tersebut bukankah hal ini menunjukkan bahwa isbal
itu tidak
berkaitan dengan sombong atau tidak sombong?” (Muktashor Syamail
Muhammadiyyah
hal. 11). Aloh SWT berfirman:

Sesungguhnya pada yang demikian ini benar-benar terdapat peringatan


bagi orang
yang mempunyai hati atau yang menggunakan pendengarannya, sedang
dia
menyaksiakannya. (QS. Qoof : 37).

Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimallahu berkata : “Dan adapun orang yang


berhujjah
dengan hadist Abu Bakar maka kita jawab dari dua sisi; Pertama: Bahwa
salah satu
sisi sarung Abu Bakar kadang melorot tanpa disengaja, maka beliau tidak
menurunkan sarungnya atas kehendak dirinya dan ia selalu berusaha untuk
menjaganya. Sedangkan orang yang mengklaim bahwa dirinya isbal
karena tidak
sombong mereka menurunkan pakaiannya karena kehendak mereka
sendiri. Oleh karena
itu kita katakan kepada mereka: “Jika kalian menurunkan pakaian kalian
di bawah
mata kaki tanpa niat sombong maka kalian akan diadzab dengan apa yang
turun di
bawah mata kaki dengan neraka. Jika kalian menurunkan pakaian karena
sombong
maka kalian akan diadzab dengan siksa yang pedih yaitu Alloh SWT tidak
akan
berbicara kepada kalian, tidak dilihat olehNya, tidak disucikan oleh Nya
dan
bagi kalian adzab yang pedih.”

Kedua: Mereka yang membolehkan isbal jika tidak sombong menyangka


bahwa
hadist-hadist larangan isbal yang bersifat mutlak (umum), harus di taqyid
(kaitkan) ke dalil-dalil yang menyebutkan lafadz khuyala’ (sombong)
sesuai
kaidah ushul fiqh Halul Mutlak a’lal Muqoyyad wajib (membawa nash
yang mutlak ke
muqoyyad adalah wajib).

Jawaban: Kita katakan kepada mereka:

Itulah sejauh-jauhnya pengetahuan mereka. (QS. An-Najm: 30).

Kemudian kaidah ushul Hamlul Muthlaq alal Muqoyyad adalah kaidah


yang telah
disepakati dengan syarat-syarat tertentu, untuk lebih jelasnya mari kita
simak
perkataan ahlu ’ilmi dalam masalah ini.

Berkata Syaikh Ibnu Utsaimin Rahimmallahu: “Isbal pakaian apabila


karena sombong
maka hukumannya Alloh SWT tidak akan melihatnya pada hari kiamat,
tidak mengajak
bicara dan tidak mensucikannya, serta baginya adzab yang pedih. Adapun
disiksa
dengan neraka apa yang turun melebihi mata kaki, berdasarkan hadist:

Dari Abu Dzar R. A. bahwasanya Rasululloh SAW bersabda : “Ada tiga


golongan yang
tidak akan diajak bicara oleh Alloh pada hari kiamat dan bagi mereka
adzab yang
pedih: orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-
ungkit pemberian
dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu”. Juga
sabdanya :
“Barangsiapa yang melabuhkan pakaiannya karena sombong maka Alloh
tidak akan
melihatnya pada hari kiamat”. Adapun yang isbal karena tidak sombong
maka
hukumannya sebagaimana dalam hadist: Apa saja yang di bawah kedua
mata kaki di
dalam neraka”. Dan Rasululloh SAW tidak mentaqyidnya dengan
sombong atau tidak,
maka tidak boleh mentaqyid hadist ini berdasarkan hadist yang lalu, juga
Abu
Sa’id Al-Khudri R. A. telah berkata bahwasanya Rasululloh SAW
bersabda:
“Keadaaan sarung serang muslim hingga setengah betis, tidaklah berdosa
bila
memanjanggkannya antara setengah betis hingga di atas mata kaki, dan
apa yang
turun di bawah mata kaki maka bagiannya di neraka, barang siapa menarik
pakaiannya karena sombong maka Alloh tidak akan melihatnya”.

Didalam hadist ini Nabi SAW menyebutkan dua permisalan dalam satu
hadist, dan ia
menjelaskan perbedaan hukum keduanya karena perbedaan balasannya.
Keduanya
berbeda dalam perbuatan dan berbeda dalam hokum balasan. Maka selama
hukum dan
sebabnya berbeda tidaklah boleh membawa yang mutlak ke muqoyyad,
karena kaidah
membawa mutlak (umum) ke muqoyyad (khusus) di antara syaratnya
adalah bersatunya
dua nash dalam satu hukum, apabila hukumnya berbeda maka tidaklah
ditaqyid salah
satu keduanya dengan yang lain.

Kesimpulannya; Kaidah : “Membawa nash yang mutlak ke muqoyyad


wajib” adalah
kaidah yang telah muttafaq alaihi (disepakati) pada keadaan bersatunya
hukum dan
sebab, maka tidaklah boleh membawa nash yang umum ke yang khusus
apabila hokum
dan sebabnya sama! (Lihat Ushul Fiqh Al-Islamy karya Dr. Wahhab Az-
Zuhaili).3

G. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan:


1. Isbal adalah memanjangkan pakaian hingga menutupi mata kaki baik
karena
sombong maupun tidak, dan hal ini haram dilakukan bagi laki-laki.
2. Batas pakaian seorang laki-laki ialah setengah betis, dan dibolehkan
hingga
di atas mata kaki, tidak lebih.
3. Hukum isbal tidak berlaku bagi wanita, bahkan mereka disyari’atkan
menurunkan
pakaiannya hingga sejengkal dibawah mata kaki.
4. Isbal pakaian tidak hanya pada sarung, berlaku bagi setiap jenis pakaian
berupa celana, gamis, jubah, sorban dan segala sesuatu yang menjulur ke
bawah.
5. Isbal karena sombong adalah dosa besar, oleh karena itu pelakunya
berhak
tidak dilihat oleh Alloh SWT pada hari kiamat, tidak disucikannya, dan
baginya
adzab yang pedih.
6. Isbal jika tidak sombong maka baginya adzab neraka apa yang turun di
bawah
mata kaki.
7. Isbal memiliki beberapa kemungkaran, sebagaimana yang telah berlalu
penjelasannya.
8. Klaim sebagian orang yang melakukan isbal dengan alasan tidak
sombong
merupakan klaim yang tidak bisa diterima. Maka bagi mereka kami
sarankan untuk
memperdalam ilmu dan merujuk kalam ’Ulama dalam masalah ini. (Peng-
bukan dengan
akalnya semata, lalu apa yang menjadi halangan para laki-laki untuk
mengikuti
sunnah Rosululloh SAW yang mulia ini, tidak tahu (nah sekarang sudah
tahu khan)
lalu apalagi halangannya, malu ??!)

Demikian yang bisa kami sajikan tentang masalah isbal semoga tulisan ini
ikhlas
karena mengharap wajahNya dan bermanfaat bagi diri penulis serta kaum
muslimin
di manapun berada. Amiin. Wallohu ’Alam

————–
Catatan kaki:

[1] Hullah Hamro adalah kain bergaris yang berwarna merah dari Yaman
[2] Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: Nash-nash yang berisi
ancaman neraka
bersifat umum, maka tidaklah boleh kita memastikan seseorang secara
mu’ayyan
(tunjuk hidung) bahwa ia termasuk penghuni neraka, karena bisa jadi ada
beberapa
penghalang yang memalingkannya untuk tidak mendapatkan tuntunan
tersebut
(neraka) seperti bertaubat atau ia mengerjakan kebaikan yang menghapus
dosa atau
mendapat syafa’at dan lainnya”. (Majmu’ Fatawa 4/484)

 hakim berkata:

Juli 26, 2012 pukul 13:22

buat imam

lihat hadis
isbal tanpa sombong itu di ancam neraka

ke2
hadist yang disertai kesombongan itu
ALLAHtidak melihatnya,tidak menegurnya dan tidak mensucikanya

mana dalil yang menunjukan bolehnya isbal kalo tanpa sombong


tak satupun hadis mengatakan isbalah kamu kalo kamu ngak sombong

lalu sudah menjadi kebiasaan kamu yang menarik2 dalil untuk mendukung
pendapatmu yang ngawur
imam nawawipun mengatakan dilarang yaitu haram/bukan mamnu’seperti
pendapat anda
mana ada hukum mamnu’ dalam fiqih
ini karangan anda saja ALLAH yahdikuum

35. giok hanafi berkata:

Desember 12, 2011 pukul 02:12

Kalau saya seorang hamba yang awam tentang dinullah mengambil yang mudah sajalah.
Jika perkara ibadah, yang saya lakukan adalah mencontoh tata cara Rasulullah,para
sahabat,Tabi’in,Tabi’ut Tabi’in yg shahih….
Sebenarnya agama Islam itu mudah,simple.Tapi para pengikutnya saja yang membuat
ajaran Islam ribet dan sulit…!!
Salam ukhuwah ……

Balas

o Imam berkata:

Desember 12, 2011 pukul 18:13

Mas Giok, kami menganut salah satu dari empat madzhab, tahukah Anda empat
imam madzhab itu ada pada era tabiin dan tabiinat tabiin, artinya kami mengikuti
apa yang dicontohkan nabi ( diucapkan,dikerjakan dan taqrir oleh Nabi ).

Para Imam bukanlah malah mempersulit agama tapi mereka berijtihad dengan
ilmunya terhadap hukum yang tidak ada nash qot`i dalam Al-quran dan Hadits.

Justru beliau2 itu malah lebih menjabarkan makna2 yang terkandung dalam Al-
quran dan Hadits sehingga mempermudah bagi penganutnya untuk mengambil
suatu hukum pada keduanya sehingga kita tidak menjadi salah tafsir dan nyasar
serta tersesat.

Saya lebih percaya kepada beliau2 itu dan para pengikutnya dari pada saya harus
mengambil hukum kepada selain beliau2, karena pendapat beliau2 itu sudah teruji
dari zaman ke zaman dan diakui serta diikuti oleh banyak ulama sedunia.

Insya Alloh kalau kita mengikuti pendapat mayoritas ulama dunia dan tidak syad
maka kita lebih dekat kepada kebenaran. Terimakasih.

Balas

36. m.gunawan berkata:

Februari 9, 2012 pukul 01:47

Maaf, sdr2ku sekalian saya bukannya mau membela salah satu dari kalian, tapi coba
kalian pikirkan kembali niat kalian soal debat niat ini, apa sudah benar, saya kira klau
niat kalian hanya mencari ridlo Allah, tentunya tidak seperti ini, saling membalas dan
menjatuh satu dengan yg lain dan perlu juga kalian ketahui bahwa nantinya yg akan
dimintai pertanggungjawabannya hanya mengenai diri kalian sendiri dan bukan mengenai
diri orang lain, untuk itu tugas sdr2 hanya menyapaikan saja tidak lebih dari itu.

–> bukan saling mas.. kami hanya memperlihatkan landasan dalil. Biar orang yg
menilai.
Balas

37. Assyafiiayah berkata:

Februari 20, 2012 pukul 06:57

Lakum dinukum waliyadin.

Silahkan beribadah sesuai dengan apa yang diajarkan guru kita masing2..
Wahabi jangan menyalahkan NU, NU pun tak pernah menyalakan Wahabi.

yang jelas semua punya dasar dan punya guru.

Yang dilarang adalah belajar dengan akal kita sendiri. Krena Islam itu wahyu, Nur, bukan
akal., yang diturunkan turun temurun. Allah –> Jibril –> Nabi Muhammad –> Ulama –>
Tabiin –>dst.

Man Ta’allama bila syaikhin fasyaikhuhu syaithonun.


Orang belajar tanpa guru, maka gurunya adalah syaiton.

Balas

38. Dedy berkata:

April 24, 2012 pukul 08:33

Hadits tentang arba’in:

“Barang siapa yang sholat selamat 40 hari (bukan 40 waktu—red) secara berjamaah di
Mesjid (bukan di mesjidku / mesjid nabawi —red) secara berturut – turut dan “tidak
ketinggalan takbiratul ihram”, maka ia terbebas dari api neraka.

Jika imam sudah mengucapkan takbiratul ihram, maka segeralah ma’mum mengikutinya.
Mereka yang mengucapkan ushali, jelas akan ketinggalan takbiratul ihram dan akan
mengganggu makmum yang lain, itu yang saya dengar dari suatu ceramah.

–> menurut pengalaman, mengucapkan ushali tidak ketinggalan takbiratul ihram, dan
tidak pula megganggu makmum yang lain. Ini kenyataan, bukan sekedar ceramah.

Balas

o Dedy berkata:
April 24, 2012 pukul 08:37

Ralat..
—–…… di Mesjid mana saja (Tidak hanya di Mesjidku / Nabawi……—

Kasihan dong, Muslim yang tidak tinggal di Madinah, gak bisa Arbain…

Balas

39. Prabu Minakjinggo berkata:

Mei 7, 2012 pukul 04:23

Wk…wk…wk…. gitu aja kok repot, siapa bilang Nabi SAW tidak pernah melafadzkan
usholli ???

Balas

40. muiz berkata:

Juni 7, 2012 pukul 18:01

Ass….
ngopi we yeuh,kering tah tnggorokan,man kana ya’minu billahi wal yaumil akhiri
falyaqul khoiron auliasmut,falyukrim jarrohu,falyukrim do’ifahu
coz,saya tetangga madzhab mu, and saya tamu kalian orng d forum ini,tadi’y saya males
salam sama kalian, islam ko’ brselisih, katanya ikhwatun, ka annahum bunyanummarsus
donx !!!
santri’y kerahin dulu tuh pd biar subuh jama’ahan, subuh penuh islam utuh,nabi jga bkan
yang nyabdain,
sedu we deui ahhhh… kopi na , asyeeekkk……!!!
sripitttttttt…..

Balas

41. mak uniang berkata:

Juni 22, 2012 pukul 11:21

waduhh pada berantem.. piss men, damai damai. g ada ujungnya klo gn trus,, kesimpulan.
yakini siapa pemimpin ato guru agama kalian yang kalian pahami masing2. yang jelas
niat kita udah diketahui sama Allah SWT. sekarang siapa yang tau khn benar ato salah..?
ya yang tau cuma sang pencipta. jika pun salah pemimpin kalian yang bakal
bertanggungjawab. okee

Balas

42. odonz berkata:

Juli 11, 2012 pukul 18:33

Assalamu’alaikum…
Kalau menurut saya mah kan udah pada mengeluarkan pendapat masing2, jadikanlah itu
sebagai tambahan pengetahuan bagi kita semua… yang pake “usholi” dan yang gak pake
juga sama2 saudara seiman… mari kita mohon ampun kepada Allah swt. dan memohon
petunjuk yang benar dari-Nya… amiin.

Balas

43. moslem berkata:

Juli 20, 2012 pukul 16:58

aslmkm wr wb……
mohon saudaraku “ulilamri” untuk tidak menjelek2kan wahabi,apalagi mengatakan
beliau khawarij,betulkan info yang anda dengar itu benar.beranikah anda
mempertanggungjawabkan perkataan anda jika anda salah (mohon dijawab ya jika info
yg anda sampaikan itu 100 persen benar)
oke saya sekedar masukkan…sering sekali saya melihat buku2 umum tentang sholat,
puasa dll di indonesia dari buku untuk anak2 dini hingga ke buku wajib disekolah
sekolah,..khususnya masalah niat dan lafadz,menurut mahzab safi’i masalah ushalli itu
sunah, tapi tdk diterangkan dibuku itu sunah,dan tidak diterangkan jika meninggalkannya
sholatnya tetap sah,sehingga kerapkali anggapan orang awam kalau tdk pake ushali tidak
sah ibadahnya, kemudian tidak ada keterangan pendapat imam lain.yang saya tau
diseluruh negeri ini hampir disemua tempat ibadah adalah mahzab imam syafi’e,dan
kebanyakan orang awam tidak tau masalah ushali ini adalah perkara sunah,keapada
admin saya yakin anda sendiri sebagai orang yang berilmu menyadarinya.

Balas

44. Islah berkata:

Juli 22, 2012 pukul 08:19


.ass.wr.wb. Jaman sekarang bayak orang baru tahu sedikit sudah merasa lebih pandai
merasa melebihi kemampuan para Mujtahid sekelas Imam Malik, Imam Syafi’i Imam
Hanbali, Imam Hanafi Rahimahumulloh…..begitu mudahnya mengoreksi hasil ijtihad
Para Mujtahid terdahulu, seolah-olah mereka lebih pandai lebih berilmu dari Para Imam
Madhab yang nota bene penerus keilmuan para Shahabat R.Anhum , dengan jargon
seindah kalimat KEMBALI KEPADA AL QUR’AN DAN ASSUNAH….ternyata hanya
cassingnya saja faktanya.yaitu hanya satu neo arabisasi notabene wahabisasi yang …
ruhnya tetap sama dari dulu sampai sekarang…..sekarang coba lihat ke belakang…sistem
khilafah Islamiyah itu siapa yang menghancurkan…….baca sejarah berdirinya Kerajaan
Saudi…sistem khilafah yang di awali dari khulafaur rosyidin hingga Turky
Usmani…..siapa yang menghabisi.??? Pasukan Wahabi Bani Saud bukannya berpihak
kepada saudara seagama membantu pasukan Turky Usmani yang sedang berjuang
melawan Pasukan salib Inggris yang sedang menguasai Palestina, malah sebaliknya
membantu Inggris menyerang pemerintahnya sendiri hingga hancurlah kekhalifahn Islam
terakhir Turky Usmany………………dari sejarahnya saja spt itu…….masalah talafudz
niyat jadi masalah ..wallohua’lam bishowab.

Balas

45. Andi Riyad Samary berkata:

Juli 23, 2012 pukul 12:26

kayaknya ada yg lebih pintar dari Rasul nih atau Rasulullah lupa mengajarkan ber Usalli
ketika sholat sehingga sepeninggal beliau ada yg sok pintar mengada2 kan niat pakai
usalli?

–> maksudnya Imam Syafi’i?

Balas

o hakim berkata:

Juli 23, 2012 pukul 20:55

admin ma’sudnya riyad yang ngeminter anda


karna imam safi’i ngak pernah mengajarkan usholli
coba’ buktikan dimna imam safi’i mengjarkan hal itu

–> lihat artikel mas.. madzab syafi’i pencetusnya adalah imam syafi’i. madzab
hambali pencetusnya adalah imam ahmad ibn hambal.

Balas
 hakim berkata:

Juli 24, 2012 pukul 08:16

saya paham apa yg anda katakan tapi anda ngak paham apa yang kami
katakan?
dikitab apa imam safi’i mengajarkan usholi
kayak apa bunyi tecknya
jangan 2anda hanya mengarang lalu ini dari imam safi’i
buktikan mana usholinya imam safi’i

mana nawaitu berak


nawaitu makan
nawaitu kerja
nawaitu tidur
niat dalam hati diamalkan dengan perbuatan
kecuali hajji dan umroh atau yg diajarkan nabi

–> itu di artikel. Ada juga di tempat lain,


http://kullubidatin.blogspot.com/2011/12/dalil-membaca-ushalli.html

[Kitab Fikih Empat Madzhab oleh Abdurrohman Al-Jazairi juz 1


hal. 114]

، ‫ والشافعي‬، ‫ فقال طائفة من أصحاب أبي حنيفة‬: ‫هل يستحب اللفظ بالنية ؟ على قولين‬
، ‫ وأحمد‬، ‫ وقالت طائفة من أصحاب مالك‬،‫ يستحب التلفظ بها لكونه أوكد‬: ‫وأحمد‬
‫ال يستحب التلفظ بها ؛ ألن ذلك بدعة لم ينقل عن رسول هللا صلى هللا عليه‬: ‫وغيرهما‬
‫وسلم وال أصحابه وال أمر النبي صلى هللا عليه وسلم أحدا من أمته أن يلفظ بالنية‬
215 – 214 / 1 : ‫[ الفتاوى الكبرى ص‬

Apakah disunnahkan melafazhkan niat? Maka dikatakan ada dua


pendapat. Pendapat sebagian sahabat Imam Abu Hanifah
[Hanafi], Syafi’i dan Ahmad [Hambali] mensunnahkan
melafazhkannya unt menguatkan [niat] . Dan sebagian dari
sahabat Imam Malik dan Imam Ahmad dan selain dari keduanya,
tdk mensunnahkannya karena hal itu bid’ah yg tdk pernah
diucapkan Rosululloh Shollallohu ‘alaihi wa sallam dan tdk oleh
para sahabat. Dan Nabi Shollallohu ‘alaihi wa sallam tdk pernah
memerintahkan kpd seorang pun dari umatnya unt melafazhkan
niat. [Al-Fatawa Al-Kubro juz 1 hal. 214-215]

wallahu a’lam.

46. rizal berkata:


Juli 24, 2012 pukul 10:23

ass. kepada saudara muslim semua. dari diskusi diatas dapat sy simpulkan bahwa tidak
ada 1 dalil pun pernah menyebutkan rasullulah melapazkan, bagi muslim yg memakai
ushali jg tidak ada yg salah karna dilakukan diluar sholat, tetapi tlg hukum melapaskan
niat sholat jangan dibuat berdasarkan pemikiran sendiri saja yaitu sunat, alangkah
baiknya karna ini diluar sholat dikatakan aja hukumnya mubah atau boleh, karna tidak
ada dalil yg mendukung niat shalay dilapazkan. terimakasih mohon maaf atas salah dan
hilafnya

–> sunnah krn ada alasan. Lihat artikel mas..

Balas

o hakim berkata:

Juli 25, 2012 pukul 10:15

sunnah krn ada alasan


ma’sudnya walaupun ngak ada dalil?
sama dengan pelcur juga begitu
mereka juga punya alasan darurat mas. hahaha

2 ketika ulama’ berselisi pendapat maka dalil kita bukan ulama’ tapi alqur’an dan
hadist
maka yang kita pilih ulama’ yang bersumber hadist yang shoheh

karna ulama’juga bisa salah ngak mungkin ada dua kebenaran


kebenaran itu pasti satu

–> saya copy ulang alasan yang mendasarinya,

Dan disunnatkan melafazkan apa yang diniatkan sesaat menjelang takbir


agar supaya lisan menolong hati dan karena pelafazan itu dapat
menjauhkan dari was-was ….

Ada di artikel.
wallahu a’lam.

Balas

 hakim berkata:
Juli 25, 2012 pukul 21:16

buat admin
anda ini pakai dalil anda sendiri
yang dapat menghilang waswas itubukan melafadzkan niat,
tapi ta’awudz yaitu kalimat a’udubilahi minasyaithon

dan anda bilang niat itu diluar sholat atau diluar setiap amalan
pernyataan anda ini sulit dipahami
anda bilang sebelum sholat itu kan boleh melakukan apapun

pertanyaan saya kenapa anda kok tidak berniat ketika dirumah mau
berangkat kemesjid kok harus sesaat sebelum sholat lalu mana dalil yang
mendukung pernyataan anda ini
dan menurut anda sendiri dalil itu alqur’an dan hadis

yang kedua kalo niat itu sendiri di luar sholat


bagaimana kalo saya sudah yakin dan tidak was was setelah membaca niat
itu lalu saya kebelet kencing
dan setelah itu kami kembali untuk sholat dan saya ngak perlu berniat lagi
to tadi kami sudah berniat dan sudah baca usholi apa syah sholat kami?

dengan hanya punya alasan itu lalu kamu mengatakan hal itu sunnah
walaupun tanpa dalil yang mendukung

padahal sunnah itu adalah perbuatan perkataan dan pendiaman nabi


itu yang disebut sunnah

–> itu bukan kata2 saya mas… anda gak baca artikel.

47. urang cianjur berkata:

Juli 26, 2012 pukul 02:45

Pokokna mah kieu hey saudara saudara,Jikalau Rasulullah tidak mencontohkan apalagi
melakukan seuatu dalam ibadah, ya………… jangan kita lakukan,,simple aja bos,jangan
sok pinter apalagi menjelekan salahsatu dari kita,di indonesia mah memang banyak ritual
yang tidak dicontohkan nabi,tapi tetep dilakukan,sudah lah kembali aja ke Qur’an dan
sunnah apabila kita berselisih,kalau dalam Qur’an dan sunnah tidak pernah ada perintah
niat dilapazkan yo wiss jangan,wew ah…………gitu aja kok repot.

Balas

o hakim berkata:
Juli 26, 2012 pukul 11:45

buat urang cianjur

tapi persoalanya bukan sesederhana itu mereka tidak mau mengambil dalil kalo
hanya contoh nabi
karna mereka bilang masih ada ibadah yang tidak harus diconthkan oleh nabi
apa lagi golongan ini AKALPUN jadi dalil LIHAT perkataan saudara imam

Balas

48. N. Hartono berkata:

Agustus 14, 2012 pukul 02:23

astagfirullah al-adzim beginikah yg dinamakan orng muslim sungguh sedih melihat yg


mengaku muslim tapi saling menjatuhkan.
bukankan perbedaan itu merupakan suatu rohmatan lil ‘alamin, tetapi ini malah buat
saling menjatuhkan satu sama lainnya.

Gimana panji panji islam akan semakin maju dan besar kalau hal ini terus berlanjut, coba
lihat dari 4 mazhab yg berkembang dari dulu pasti ada perbedaan namun tidak saling
menjatuhkan namun saling menghargai. Tapi kok yg saya lihat ini malah madzhab yg di
luar madhab yg 4 ntah mazhab apa itu langsung memveto aja bahwa itu bid’ah atau sesat.

Bo hati hati kalau mengeluarkan ucapan bid’ah tuh, ingat salamtul insan bihifdil lisan. di
khawatir anda berkata ke yg lain bid’ah malah anda sendiri yg bid’ahnya jadi jangan
meveto deh. Toh kalau anda sebagai muslim or mukmin yg bijak kalau anda merasa
perbuatan itu bid’ah buat anda ya udh jangan di pake tapi jangan mengluarkan kata kata
bid’ah bagi yg melaksanakannya karena dia punya dalil tersendiri.

Saya sering cape kalau baca artikel or lihat diskusi banyak sekali orng itu dengan
enetengnya mengeluarkan kata kata bid’ah sedikit sedikit bid’ah-sedikit sedikit bid’ah.

Banyak juga contoh-contoh ibadah yg ga di contohkan oleh Nabi tapi dilakukan oleh para
sahabat tapi bukan bid’ah / sesat seperti mushaf Qur’an ini kan atas inisiatip para sahabat,
terus solat tarawih yg di lakukan sahabat umar itu dia berkata inilah sebaik baiknya
bid’ah.

Balas

49. anto berkata:

September 5, 2012 pukul 03:36


hadits dan matsalah mursalih ternyata msh ada yg krg paham…btp akhirnya sebagian yg
komen di sini sangat fanatik thd mahzab.. pdhal fanatik kita tentu hanya kpd Nabi
(Qur’an & Hadits)..Imam Syafi’i kita akui btp tinggi tkt keilmuannya.. apa pernah salah,
sbg manusia biasa yg bkn nabi tentu pernah ..beliau juga punya pendapat awal dan
pendapat akhir (qaul qadim dan qaul jadid). ini juga perlu diperhatikan jgn keukeuh dg
pendapat ..tahu2 pendapat awal beliau yg sdh dikoreksi.. .. misal..soal batal saat nyentuh
isteri, pendapat Imam Syafi’i ternyata tdk sama dg hadits bahwa Nabi pernah menyentuh
isterinya saat hendak sholat dan tdk wudhu lagi..dan ada pendapat Imam syafii “bila
kalian mendapati hadits shahih yg bertentangan dg pendapatku maka ambil hadits tsb dan
tingalkan pendapatku” serta Imam Malik ” siapapun pendapatnya bisa diterima bisa
ditolak kecuali Nabi”.. ini sebetulnya pesan bagi pengikutnya agar tdk mengkhultuskan
dan fanatik berlebihan kpd beliau2 para Iman ini…

–> jangan khawatir mas.. kita juga ngikut/fanatik Nabi kok.

Balas

o lukmanulhakim berkata:

November 21, 2012 pukul 19:50

Hukum dalam madzhab syafi’i tentang bersentuhan laki-laki dan perempuan


Imam nawawi rahimallah,sebagai juru bicara dlm madzhab syafi’i berkata dlm
kitab Minhajut Thalibin begini
yg ketiga yg membatalkan wudhu’ ialah bertemu kulit pria dan kulit
wanita,kecuali mahram menurut fatwa yg lebih zahir,org yg disentuh sama
hukumnya dgn org yg menyentuh dgn perkataan lain bertemu kulit laki-laki dan
permpuan yg bukan mahram dapat meruntuhkan wudhu’ jadi tolong anda lebih
teliti lagi tentang hadist
krn dalih fatwa ini sebagai mana firman Allah dlm Surah annisa’ ayt 43 yg
bunyinya(hai org mu’min jngan kamu sembahyang pada ketika kamu sedang
mabuk,sampai kamu mengerti apa yg kamu ucapkan,dan jgn pula dlm keadaan
junub(habis bersetubuh dgn istri ) kecuali lalusaja di Mesjid diboleh kan,hingga
kamu mandi lebih dahulu Dan jika kamu sakit atau dalm perjalanan atau dtang dri
wc atau menyentuh kamu akan perempuan,kmudian kamu tdk mendapat air untk
wudhu’ maka tayamum lah kamu dgn tanah yg bersih.
maka dlm ayat ini dapat dikeluarkn HUKUM janganlah kamu melakukanm shalat
apabila bersentuhan laki-laki dan perempuan yg bukan mahram artinya bertuhan
dgn istri itu dapat meruntuhkan wudhu’

Balas

50. Umi Kaltsum berkata:


Desember 11, 2012 pukul 04:06

http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu’afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang
HUKUM MELAFADZKAN NIAT…insyaAllah mencerahkan..

Di dalamnya dijelaskan 11 argumentasi terpenting yang menunjukkan MUBAHNYA


pelafalan niat…12 tanggapan beliau thd. sebagian kaum muslimin yang berpendapat
bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah haram, bahkan bid’ah…tanggapan thd.
pendapat yang mensunnahkan dan mewajibkan…DAFTAR NAMA PARA ULAMA
YANG TIDAK MELARANG PELAFALAN NIAT..dan terakhir adalah pesan beliau ttg.
penyikapan dalam adab/tata krama terhadap ikhtilaf ulama…

Balas

51. Umi Kaltsum berkata:

Desember 11, 2012 pukul 04:07

http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/

Berikut petikannya…

“Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau
sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut
ibadah Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji,
Umroh, berkurban, Kaffaroh,I’tikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada
orangtua, shilaturrahim, membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah
ibadah tersebut manfaatnya juga dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang
lain ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut dilakukan langsung
setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya mubah selama lafadz niatnya tidak
bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat,
menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua kepentingan yang syar’i.
Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri, bukan menjadi syarat
sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak dilakukan terus
menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu ibadah
orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah,
syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi
kemubahannya.”

Balas

Berikan Balasan
Terbaru
 UU Minyak dan Gas Bumi kita sungguh konyol
 Skenario KPSI kudeta PSSI: Jika Gagal, Hancur-hancuran
 Sekilas Tentang PKS
 Kaderisasi PKS (Termasuk Perjodohan) dalam Pandangan Mantan (Sekr Salafy)
 KH Hasyim Al Asy’ari (1287 – 1366H)
 Rhoma .. Mendadak CaPres
 Yudas Iskariot Dalam Agama Kristen, pengkhianat atau berjasa
 Shalat Jamaah Berdua (satu imam satu makmum)
 Definisi Tauhid dan Ilmu Tauhid
 Habib Abdurrahman Assagaf (1309 – 1390 H)
 Sejarah Mataram Pecah Belah
 10 Level Istilah Silsilah Jawa
 Ibnu Hajar Al-Atsqalani
 Imam al-Baghawi (436 – 516 H)
 Pondok Pesantren Terbaik, Darul-Mustafa, Tarim, Hadramaut, YAMAN

Aturan Komentar
Kami akan menghapus komentar yang:

Tak sopan, memakai HURUF BESAR, berupa caci maki, mengandung kata-kata kebun
binatang, debat kusir, provokasi, di luar konteks, berupa undangan/ reklame.

Komentar yang terlalu panjang, tanpa paragraf dan sulit dipahami. Terlalu banyak singkatan
huruf, mirip spam.

Komentar dari satu orang namun berganti-ganti nama, seolah-olah saling mendukung. Ke
semuanya langsung dihapus.

Komentar copy-paste, silakan di-link saja.

Isi komentar adalah tanggung jawab penulis komentar, bukan tanggung jawab pengelola
blog/situs ini.
Harap maklum.

Komentar
arofah on Majelis Rasulullah tentang Tah…
edhhi on Membuat Daftar Isi di MS …
faisal riza on Terjemah Maulid Diba’
isak on Terjemah Maulid Diba’
Saidah Mawadah on Ustadz Mahrus Ali (Mantan Kyai…
Saidah Mawadah on Ustadz Mahrus Ali (Mantan Kyai…
Saidah Mawadah on Ustadz Mahrus Ali (Mantan Kyai…
mawar jelita on 10 Pondok Pesantren Terbaik di…
Razilu on Macam-Macam Shalawat
arofah on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…

12 Terpopuler
 10 Pondok Pesantren Terbaik di Indonesia
 Ijma dan Qiyas Adalah Juga Sumber Hukum Islam
 Definisi Tauhid dan Ilmu Tauhid
 Doa Khatam Al Qur'an
 Macam-Macam Shalat Sunnah
 Macam-Macam Puasa Sunnah
 Shalawat Paling Ringkas: Shallallahu 'ala Muhammad (saw)
 Macam-Macam Shalawat
 Sejarah Perang Salib
 Turki Utsmani, Kekhalifahan Terakhir Di Abad 20
Tamu kami

..$$..

Meta
 Mendaftar
 Masuk log
 RSS Entri
 RSS Komentar
 WordPress.com

Dilihat
 3,446,546 kali

Hikmah
Rasul saw bersabda : "Dan aku demi Allah tidak merisaukan kalian akan musyrik setelah aku
wafat, tapi yg kutakutkan adalah keluasan duniawi atas kalian" (Bukhari Muslim)

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam perkara baru yang baik maka baginya
pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam
perkara baru yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun”
(H.R. Muslim) .

Berita
 Detik
 Jawa Pos
 Okezone
 Suara Merdeka

Blogroll
 Mas Warsun
 Nurul Indarti

Mereka nge-link ke sini


 A Fikri Adriansyah
 Abi Haura
 Abou Fateh
 Alpheratz
 Ariefmas
 Asy Syifaa’ Wal Mahmuudiyyah
 Bang Parli
 Bicara Salafy
 Blog Casa
 Dunia Lain
 FFNA
 Gus Kacung
 Ijabah
 Jejak Wali
 Kajian Islam
 Kasih Mawar
 orangkuat
 PakAR
 PakAR Fisika
 pang5kholid
 PISS-KTB
 PPSS Nurul Huda
 PT Kubah Ornamen
 Rifaudin Ahmad
 RW 021
 Samaranji
 Solusi Umat
 suara hati..
 Ummati Press
 Wanita Shalihah

Syafiiyah
 Bahrusshofa
 Majelis Rasulullah
 NU
 Ngudi Ilmu

Kategori
Arsip
 Desember 2012
 November 2012
 Oktober 2012
 September 2012
 Agustus 2012
 Juli 2012
 Juni 2012
 Mei 2012
 April 2012
 Maret 2012
 Februari 2012
 Januari 2012
 Desember 2011
 November 2011
 Oktober 2011
 September 2011
 Agustus 2011
 Juli 2011
 Juni 2011
 Mei 2011
 April 2011
 Maret 2011
 Februari 2011
 Januari 2011
 Desember 2010
 November 2010
 Oktober 2010
 September 2010
 Agustus 2010
 Juli 2010
 Juni 2010
 Mei 2010
 April 2010
 Maret 2010
 Februari 2010
 Januari 2010
 Desember 2009
 November 2009
 Oktober 2009
 September 2009
 Agustus 2009
 Juli 2009
 Juni 2009
 Mei 2009
 April 2009
 Maret 2009
 Februari 2009
 Januari 2009
 Desember 2008
 November 2008
 Oktober 2008
 September 2008
 Agustus 2008
 Juli 2008
 Juni 2008
 Mei 2008
 April 2008
 Maret 2008
 Februari 2008
 Januari 2008
 Desember 2007
 November 2007
 Oktober 2007
 September 2007
 Agustus 2007
 Juli 2007

Blog di WordPress.com. | The Ascetica Theme.


Ikuti

Follow “Catatan harian seorang muslim”

Get every new post delivered to your Inbox.

Bergabunglah dengan 235 pengikut lainnya.

Buat situs dengan WordPress.com


Facebook

 Yuaniv
 Beranda


 Permintaan

Pesan

Pemberitahuan

Pintasan Privasi

Pengaturan Akun

Cari orang, tempat dan hal lainnya


Kupas Tuntas ; Kesunnahan Melafadzkan (Mengucapkan)
Niat Ketika Akan Memulai Shalat
26 April 2010 pukul 3:33

Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena
memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh. Contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushulli
fardhush shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa
dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca
sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun
shalat.

Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan
bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah
takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada
Bab Niat pada Shalat (‫; ) باب النية في الصالة‬

‫ والنية ال تقوم مقام التكبير وال تجزيه النية إال أن تكون مع التكبير ال تتقدم التكبير وال تكون بعده‬:‫قال الشافع‬

“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir,
niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”

Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-
Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;

،‫ (النية) الن التكبير أول أركان الصالة فتجب مقارنتها به‬،‫ (مقرونا به) أي بالتكبير‬.

“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun
shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”

Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal ( ‫فصل في النية يجب مقارنتها‬
‫)التكبير‬

‫يجب أن يبتدىء النية بالقلب مع ابتداء التكبير باللسان‬

“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”

Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada
pembahasan (‫; )باب فرائض الصالة‬

‫ ومقارنة النية للتكبير‬،‫ والتكبير‬،‫النية‬

"Niat dan Takbir, niat bersamaan dengan takbir"

Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy, didalam Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i (1/30) :


‫وتكون النية مقارنة للتكبير ال يجزئه غيره والتكبير أن يقول أهلل أكبر أو هللا األكبر ال يجزئه غير ذلك‬

"dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan
(‫ )أهلل أكبر‬atau ( ‫)هللا األكبر‬, selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir)."

Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan
dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu,
bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk
dalam bagian dari (rukun) shalat.

Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;

- Qashdul fi’li (‫ )قصد فعل‬yaitu menyengaja mengerjakannya, lafadznya seperti (‫ أصلي‬/ushalli/”aku


menyengaja”)

- Ta’yin (‫ )التعيين‬maksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau
Maghrib atau Isya atau Shubuh.

- Fardliyah (‫ )الفرضية‬maksudnya adala menyatakan kefardhuan shalat tersebut, jika memang


shalat fardhu. Adapun jika bukan shalat fardhu (shalat sunnah) maka tidak perlu Fardliyah (
‫)الفرضية‬.

Jadi berniat, semisal (‫ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻪﻠﻟ ﺗﻌﻠﻰ‬/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena
Allah”) saja sudah cukup.

Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan
“bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (‫ )ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ‬mengadung pengertian sebagai berikut
(Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),

‫ يكفي قرنها بأوله‬،‫ وفي قول صححه الرافعي‬.

“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup
dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.

‫ أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا‬:‫وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره االمام والغزالي‬
‫للصالة‬

“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali,
bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ ‫)العرفية‬, sekiranya (menurut
kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”

Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-
Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas
(Muqaranah Urfiyyah ( ‫ )) ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ‬tidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus
kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah (‫ )ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ‬adalah berniat yang bersamaan
dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya
keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ‫) ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ‬.

Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah
cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa
dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ‫) ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ‬.

Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas
takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.

Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid
Sabiq, pada pembahasan ‫فرائض الصالة‬

‫ومحلها القلب ال تعلق بها باللسان أصال‬

“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”

Al-Allamah Al-Imam An-Nawawi, dalam kitab Al-Majmu' (II/43) :

‫فإن نوى بقلبه دون لسانه أجزأه‬

“sesungguhnya niat dengan hati tanpa lisan sudah cukup,

Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab
Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;

ُ‫النِّيَةُ) َو ِه َي قَصْ ُد ال َّش ْي ِء ُم ْقتَ َرنا ً بِفِ ْعلِ ِه َو ُم َحلُّهَا ْالقَ ْلب‬

“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di
dalam hati.”

Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar,
pada bab (‫])باب أركان الصالة‬

‫واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فال يكفي نطق للسان‬

“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya
dengan melafadzkan dengan lisan”

Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab ‫باب فرائض الصوم‬

‫ وال يشترط النطق بها بال خالف‬،‫ ومحلها القلب‬،‫ال يصح الصوم إال بالنية للخبر‬

Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam
hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini, mengucapkan niat tidak disyaratkan artinya bukan
merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah.
Demikian juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat
dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik melafadzkan niat
(talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula
mengurangi atau menambah-nambah rukun shalat.

Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj (‫[ )تحفة المحتاج بشرح المنهاج‬II/12] :

‫والنية بالقلب‬

"dan niat dengan hati"

Al-Hujjatul Islam Al-'Allamah Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy, didalam kitab Al-Wajiz fi


Fiqh Al-Imam Asy-Syafi'i, Juz I, Kitabus Shalat pada al-Bab ar-Rabi' fi Kaifiyatis Shalat ;

"niat dengan hati dan bukan dengan lisan"

Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap
bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati. Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam
hati, sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula
aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat dimaksudkan
untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk
menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya
sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;

" Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.

Sebagaimana juga dikatakan didalam kitab Fathul Qarib :

‫َو ِه َي قَصْ ُد ال َّش ْي ِء ُم ْقتَ َرنا ً بِفِ ْعلِ ِه‬

“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya”

Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;

"‫ ودليلها قول النبي"إنما األعمال بالنيات‬.‫ ومحلها القلب‬،‫وهي قصد الشيء مقترنا ً بأول أجزاء فعله‬

"(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan,
tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; ("‫")"إنما األعمال بالنيات‬

Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (


‫)السراج الوهاج على متن المنهاج‬

‫وهي شرعا قصد الشيء مقترنا بفعله وأما لغة فالقصد‬


"(niat) menurut syara' adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan perbuatan, dan menurut
lughah adl menyengaja"

Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan
takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat
(mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum
takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan
merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.

Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan
melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat
yaitu pada ibadah Haji.

َ ‫ لَبَّ ْي‬: ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم يَقُوْ ُل‬


)‫ًًّجا (رواه مسلم‬Xّ ‫ك ُع ْم َرةً َو َح‬ َ َ‫ض َي هللاُ َع ْنهُ ق‬
ُ ‫ال َس ِمع‬
َ ِ‫ْت َرسُوْ َل هللا‬ ٍ َ‫ع َْن اَن‬
ِ ‫س َر‬

“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku
memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)

Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang
Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (َّ‫ْت ْال َحج‬
ُ ‫ْت ْال ُع ْم َرةَ اَوْ نَ َوي‬
ُ ‫“ )نَ َوي‬Saya niat
mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”

‫ أو نويت الحج‬، ‫ " نويت العمرة‬: ‫أنه سمعه صلى هللا عليه وسلم يقول‬

Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun
ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat
pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut
merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.

Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami ( ‫ابن‬
‫ ) حجر الهيتمي‬didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;

‫(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خالف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في‬
‫الحج‬

“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu
hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang
mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap
adanya pelafadzan dalam niat haji”

Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,

Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :

.‫واستمداده من الكتاب والسنة واالجماع والقياس‬


Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.

Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah ‫ الرسالة‬:

‫أن ليس ألحد أبدا أن يقول في شيء حل وال حرم إال من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو األجماع أو القياس‬

..selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali
ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan
Qiyas.”

‫قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم هللا وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول هللا‬
‫ولم نقل له قياس‬

Aku (Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan
setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya
didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu
sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).

Maksud perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya
dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu
bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?

Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah
dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam
pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan
tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak
terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.

Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah)
adalah sebagai berikut ;

Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah),
dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;

.‫ وخروجا من خالف من أوجبه‬،‫ ليساعد اللسان القلب‬X،‫ (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير‬.

“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati
(kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”

Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan
"Syafi'i Kecil" [‫ ]الرملي الشهير بالشافعي الصغير‬dalam kitab Nihayatul Muhtaj (‫)نهاية المحتاج‬, juz I :
437 :

ْ ُّ‫َويُ ْندَبُ الن‬


ِ ْ‫اس َولِ ْل ُخرُو‬
‫ج ِم ْن‬ ِ ‫ب وَأِل َنَّهُ أَ ْب َع ُد َع ِن‬
ِ ‫الوس َْو‬ َ ‫ق بِال َم ْن ِويْ قُبَ ْي َل التَّ ْكبِي ِْر لِيُ َسا ِع َد اللِّ َسانُ القَ ْل‬
ُ ‫ط‬
ُ‫ف َم ْن أَوْ َجبَه‬
ِ َ‫ِخال‬

“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu
hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.

Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab
Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab (‫)فتح الوهاب بشرح منهج الطالب‬
[I/38] :

‫( ونطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب‬

"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat
membantu hati.."

Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala
Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-
Jamal ;

ْ َ‫ف َم ْن أَوْ َجبَهُ ا ْنتَه‬


‫ت‬ ِ ‫ب وَأِل َنَّهُ أَ ْب َع ُد ع َْن ْال َو ْس َو‬
ِ ‫اس َو ُخرُوجًا ِم ْن ِخاَل‬ َ ‫اع َد اللِّ َسانُ ْالقَ ْل‬ ِ ْ‫َو ِعبَا َرةُ شَر‬
ِ ‫ح م ر لِيُ َس‬

"dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk
mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai"

Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam


kitab Mughniy Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) ;

‫( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وألنه أبعد عن الوسواس‬

"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan
sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)"

Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (


‫ )السراج الوهاج على متن المنهاج‬pada pembahasan tentang Shalat ;

‫ويندب النطق قبيل التكبير‬

‫ليساعد اللسان القلب‬

"dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu
hati"

Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin (‫)إعانة الطالبين‬
[I/153] ;
.‫ إذ العبرة بما في القلب‬،‫ فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر‬،‫ وسن نطق بمنوي) أي وال يجب‬:‫(قوله‬
‫ وخروجا من خالف من أوجبه أي النطق بالمنوي‬:‫ وقوله‬.‫ ليساعد اللسان القلب) أي والنه أبعد من الوسواس‬:‫(قوله‬

“[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila
dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak
masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah
terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya
dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”

Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj
Thalibin (‫ )شرح العالمة جالل الدين المحلي على منهاج الطالبين‬Juz I (163) :

َ ‫ير) لِيُ َسا ِع َد اللِّ َسانُ ْالقَ ْل‬


‫ب‬ ْ ُّ‫(ويُ ْندَبُ الن‬
ِ ِ‫طقُ) بِ ْال َم ْن ِويِّ (قُبَ ْي َل التَّ ْكب‬ َ

“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat
membantu hati””

Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam
Asy-Syafi'i :

"(disunnahkan) melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram)"

Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa
Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;

‫ ومحلها القلب والتلفظ بها سنة‬، ‫ قصد الشيء مقترنا بفعله‬: ‫النية‬

"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat
didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah"

Didalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh
An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;

‫أما التلفظ بالمنوي فسنة ليساعد اللسان القلب‬

"adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati"

Kitab Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad
Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;

‫قوله واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ بها أى بالنية سنة فى جميع األبواب‬
‫كما قاله حج خروجا من خالف موجبه‬

" melafadzkan (niat) itu sunnah.."

Kitab Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ,


‫وسن نية نفل فيه وإضافة هلل ونطق قبيل التكبير وصح أداء بنية وقضاء وعكسه لعذر وتكبير تحرم مقرونا به النية‬

"...(sunnah) mengucapkan (niat) sebelum takbir..."

Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawi,

‫والنية بالقلب ويندب النطق قبل التكبير‬

"niat didalam hati dan sunnah melafadzkan/mengucapkan niat sebelum takbir"

Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim
(1/191) ;

‫فصل في سنن الصالة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان‬
‫القلب وخروجا من خالف من أوجب ذلك‬

"Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah shalat itu banyak, diantaranya
adalah disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati
dan untuk keluar (menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya"

Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i,


Tuhfatul habib ala syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon ;

‫ ( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع األبواب خروجا ً من خالف من أوجبه‬: ‫قوله‬

"qouluhu (tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz biha (melafadzkan niat)
didalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"

Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh
Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" ;

‫ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب وألنه أبعد عن الوسواس‬

"dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati,
dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was"

Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-
Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1,

‫ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها‬

"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan
(melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"

Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-
Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan,
‫نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب وألنه صلى هللا عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم‬
‫وروده ال يدل على عدم وقوعه‬

"Iya, sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya Nabi
mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka diqiyaskan kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan
ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya"

Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri'
didalam kitab Mu'jam beliau (336) :

،‫ مؤديا لفرض هللا‬،‫ موجها لبيت هللا‬،‫ بسم هللا‬:‫ قال‬،‫أخبرنا ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصالة‬
‫هللا أكبر‬

"Mengabarkan kepadaku Ibnu Khuzaimah, mengabarkan kepadaku Ar-Rabi' berkata, Imam


Syafi'i ketika akan masuk dalam Shalat berkata,

")‫ هللا أكبر‬،‫ مؤديا لفرض هللا‬،‫ موجها لبيت هللا‬،‫(بسم هللا‬

Hawasyi Asy-Syarwaniy (1/240) ;

‫ (سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي‬:‫قوله‬
‫ليساعد اللسان القلب‬

"disunnahkan melafadzkan niat agar lisan dapat membantu hati"

Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah
agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was
(gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, itu
karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat
adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.

Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg
diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula
dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah
untuk membantu saja.

Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat ;

. ‫ فتجزئ وإن لم يتلفظ‬، ‫ القلب‬: ‫ ومحلها‬، ‫ أي قصدك به‬، ‫ نواك هللا بخير‬: ‫ يقال‬، ‫ القصد‬: ‫باب النية لغة‬

‫وال يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد‬

".. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta'kid)"

Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan
bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang
beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut
mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain,
tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-
ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.

Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam
kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya.

Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang
buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh
Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian
ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi
hamba tersebut.

Allah berfirman ;

‫د‬Xٌ ‫َما يَ ْلفِظُ ِمن قَوْ ٍل إِاَّل لَ َد ْي ِه َرقِيبٌ َعتِي‬

“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)

ُ‫َمن َكانَ ي ُِري ُد ْال ِع َّزةَ فَلِلَّ ِه ْال ِع َّزةُ َج ِميعا ً إِلَ ْي ِه يَصْ َع ُد ْال َكلِ ُم الطَّيِّبُ َو ْال َع َم ُل الصَّالِ ُح يَرْ فَ ُعه‬

‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS.
al-Fathir 35 : 10)

Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga
memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.

Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat,
misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud
untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan
melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya,
sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah
lebih afdlal. [al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]

Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan
ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat,
letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis
sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’
I364-370]

Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk
melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat,
dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama
Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir
wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]

Misalnya dari Kalangan Malikiyah, Al-Imam Al-'Allamah Ad-Dardir rahimahullah ta'alaa


didalam Syarh Al-Kabir,

‫قال العالمة الدردير رحمه هللا تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صالة فرض‬
‫ واألولى أن ال يتلفظ ألن النية محلها القلب وال مدخل للسان فيها‬. ‫الظهر مثال ( واسع ) أي جائز بمعنى خالف األولى‬

..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakan
seumpama (‫ )نويت صالة فرض الظهر‬adalah wasi'/luas maksudnya boleh (‫ )جائز‬bimakna khilaful
Aula..

Ulama Maliki lainnya, Al-Imam Ad-Dasuqiy Al-Maliki rahimahullah didalam kitab


Hasyiyahnya 'alaa Syarh Al-Kabir berkata,

‫ لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية‬: ‫قال الدسوقي رحمه هللا تعالى في حاشيته على الشرح الكبير‬
‫ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خالف األولى‬

dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan
melafadzkan niat..

DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : "Disunnatkan melafadzkan niat
menurut jumhur selain madzab maliki." Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai
pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat
kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang
daripadanya keragu-raguan".

Hal-Hal Yang Berkaitan :

ِ ‫)إِنَّ َما ْاألَ ْع َما ُل بِالنِّيَّا‬, “Sesungguhnya amalan-amalan itu


ٍ ‫ت َوإِنَّ َما لِ ُك ِّل ا ْم ِر‬
[-]. Perihal Hadits (‫ئ َما ن ََوى‬
dikerjakan dengan niat, dan bagi setiap orang apa yang dia niatkan” [Arba’in an-Nawawi, hadits
pertama (‫])متفق عليه‬

Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai
niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah amalan.
Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat
merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan
melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan
rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak,
tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.

Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, telah
menjelaskan tentang hadits No.1,

‫ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها‬
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan
(melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"

[-]. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah
bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan
sesuatu sebelum takbir?" Jawab beliau, " tidak usah". [Lihat Masa'il Abi Dawud (hal.31)]

Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan
tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan nit.

[-] Ada yang mengatakan, "yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama".

Jawaban : "memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan Nabi
daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat, yang lebih paham sabda
Nabi.

[-] Perihal Ulama Yang Mewajibkan (Melafadzkan niat)

Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami
untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam
Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-'Allamah Syeikh
Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu'in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah
terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan
ulama yang mewajibkannya.

Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada
madzhab Syafi'iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi'i. Beliau adalah Imam Abu
Abdillah az-Zubairiy (‫)أبي عبد هللا الزبيري‬. Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan
pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi'i tentang "an-Nuthq (‫)النطق‬. Menurut pemahaman
beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan "an-nuthq (‫ ")النطق‬adalah melafadzkan niat.
Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan an-Nuthq (‫ )النطق‬adalah Takbir (Takbiratul
Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' (II/43) ;

‫ وإن لم يتلفظ وليس كالصالة ال تصح إال بالنطق‬، ‫ إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ‬: ‫ ألن الشافعي رحمه هللا قال في الحج‬،

"Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi'i berkata didalam (Bab) Haji : "apabila seseorang
berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak
seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)"

Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi'i memasukkan talaffudz
binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian.

Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam
Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam Tuhfatul Muhtaj (II/12) :

‫وخروجا من خالف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في الحج‬


" dan (juga) untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang
mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang)"

Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu' (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut.

‫ بل مراده التكبير‬، ‫ وليس مراد الشافعي بالنطق في الصالة هذا‬، ‫ غلط هذا القائل‬: ‫قال أصحابنا‬

"beberapa shahabat kami berkata : "Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang
dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dengan kata "an-Nuthq (melafadzkan)" di dalam shalat,
tetapi yang dikehendaki adalah Takbir (Takbiraul Ihram)"

Sementara lihatlah begitu indah menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan
"Ashabinaa", walaupun tidak menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji dalam
menyikapi khilafiyah.

Disebutkan juga dalam Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi'i, Darul
Kutub Ilmiyyah, Beirut - Lebanon ;

‫ال ِم ْن‬ ٍ ‫ُظ ِه َر بِلِ َسانِ ِه َما ا ْعتَقَ َدهُ بِقَ ْلبِ ِه فَيَ ُكونُ َعلَى َك َم‬ ْ ‫ب َو ِذ ْك ٌر بِاللِّ َسا ِن لِي‬ ِ ‫ النِّيَّةُ ا ْعتِقَا ٌد بِ ْالقَ ْل‬: ‫الزبَي ِْريُّ ِم ْن أَصْ َحابِنَا‬
ُّ ِ ‫ال أَبُو َع ْب ِد هَّللا‬
َ َ‫َوق‬
ُ‫ب أَ ْن تَ ُكونَ النِّيَّة‬ َ ‫ َو َج‬، ‫ب‬ ِ ‫زَم ا ْعتِقَا ُدهُ بِ ْالقَ ْل‬
ِ ‫اختَصَّ بِاللِّ َسا ِن حكم النية به لَ ْم يَ ْل‬ ْ ‫ أِل َ َّن ْالقَوْ َل لَ َّما‬: ُ‫ َوهَ َذا اَل َوجْ هَ لَه‬، ‫نِيَّتِ ِه َوثِقَ ٍة ِمنَ ا ْعتِقَا ِد ِه‬
َ‫ فَل ِو‬. ‫ فَ َعلَى هَ َذا لَوْ َذ َك َر النِّيَّةَ بِلِ َسانِ ِه َولَ ْم يَ ْعتَقِ ْدهَا بِقَ ْلبِ ِه لَ ْم يُ ِج ْزهُ َعلَى ْال َم ْذهَبَي ِْن َمعًا‬. ‫ب اَل يَ ْلزَ ْم ِذ ْك ُرهَا بِاللِّ َسا ِن‬ ِ ‫َّت بِ ْالقَ ْل‬
ْ ‫اختَص‬ ْ ‫إِ َذا‬
َ َ ْ ْ َ
‫ َولَ ِو ا ْعتَقَ َد النِّيَّةَ بِقَلبِ ِه َولَ ْم يَذ ُكرْ هَا بِلِ َسانِ ِه أجْ َزأهُ َعلَى‬، ‫ك أ ْك َم ُل أحْ َوالِ ِه‬ َ ْ ْ َ َ ْ
َ ِ‫ا ْعتَقَ َدهَا بِقَلبِ ِه َو َذ َك َرهَا بِلِ َسانِ ِه أجْ زَ أهُ َعلَى ال َمذهَبَ ْي ِن َج ِميعًا َو َذل‬
ُّ ‫ب‬
ِّ‫الزبَي ِْري‬ ِ َ‫ َولَ ْم يُجْ ِز ْئهُ َعلَى َم ْذه‬، ‫ب ال َّشافِ ِع ِّي‬ ِ َ‫َم ْذه‬

dan didalam kitab Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha (2/70), Al-Imam Saifuddin
Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi Al-Qaffal,

‫وينوي والنية فرض للصالة ومحلها القلب وغلط بعض أصحابنا فقال ال تجزئه النية حتى يتلفظ بلسانه‬

Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz
binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika
tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya
sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal
mewajibkannya bukan kesunnahan melafadzkan niat. [] []

Wallahu Subhanahu wa Ta'alaa A'lam...

REFERENSI :

Kitabul Ilah (al-Qur’an) ; Al-Majmu’, Hujjatul Islam Al-Imam An-Nawawi ; Raudhatut


Thalibin, Hujjatul Islam Al-Imam Nawawi ; Arbai’in An-Nawawi , Hujjatul Islam Al-Imam
Nawawi ; Fathul Mu’in, Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy ; Fathul Qarib, Al-Imam
Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim Asy-Syafi’i ; As-Siraj Al-Wahaj, Al-'Allamah
Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy ; Nihayatul Muhtaj, Al Imam Muhammad bin
Abi al-'Abbas ar-Ramli (Imam Ramli) ; Kifayatul Akhyar, Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin
Muhammad Al-Husaini ; Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy ;
Tuhfatul Muhtaj Bisyarhi Minhaj, Al Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy ; Al-Umm , Nashirus
Sunnah Al-Imam Al-Mujtahid Asy-Syafi'i ; Al-Fiqhul Islam, DR. Zuhaili Wahbah ; Fiqh As-
Sunnah, Sayyid Sabiq ; Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab, Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman
Al-Jamal ; Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Imam Syafi'i, DR. Musthafa Al-Khin & al-Bugha ;
Al-Wajiz fi Fiqh Al-Imam asy-Syafi'i, Hujjatul Islam Al-Faqih Al-Imam Al-Ghazaliy ; Mughniy
Al Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj, Imam Asy-Syarbainiy ; Fathul Wahab
Bisyarhi Minhaj Thullab, al-Imam Zakaria Al-Anshariy ; I’anatut Thalibin, Al-‘Allamah Sayid
Bakri Syatha Ad-Dimyathiy ; Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin, Al-Allamah Jalaluddin Al-
Mahalli ; Tanbih fi Fiqh Asy-Syafi'i, Asy-Syekh Abu Ishaq asy-Syairaziy ; Safinatun Naja, Asy-
Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ; Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain,
Asy-Syekh An-Nawawi Ats-Tsaniy ; Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal Al-
Hajiniy ; Minhajut Thullab, Al-Imam Zakariyya Al-Anshariy ; Minhaj Ath-Thalibin wa Umdat
Al-Muftin, Al-Imam An-Nawawiy ; Minhajul Qawim, Al-Imam An-Nawawiy ; Tuhfatul habib
ala syarhil khotib, Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman Al-Bujairamiy ; Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi
Syuja', Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib ; Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi,
Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Misthu ; Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar,
Imam Ibnu 'Alan ; Al-Mu'jam, Imam Ibnu Muqri' ; Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-
Mawardiy Asy-Syafi'i ; Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha, Al-Imam Al-Qaffal ;
Dan dari berbagai sumber (lain-lain).

SukaSuka · · Bagikan

 147 orang menyukai ini.


 68 berbagi
 49 dari 93

Lihat Komentar Sebelumnya

Disan Indoboyz Toili Hmmm I Like pembahasan ini ... Niat sholat itu emang tidak
berada di "sebelum ataupun sesudah takbir" tapi niat sholat dalam hati itu harus
bersamaan dengan lisan(lidah) yg mengucapkan "Allaahu Akbar".. #Disan_Indoboyz

20 November 2013 pukul 16:44 · Suka

Aguston Prima jika para ulama menqiyaskan (menganalogikan atau menyamakan) antara
niat haji yang dikeraskan dengan niat shalat. Apakah Niat shalat boleh disamakan dengan
niat haji? karena pada dasarnya perintah shalat turun terlebih dahulu sebelum haji. Dan
kaidah penting dalam ilmu fiqh adalah yang terdahulu tidak boleh disamakan dengan apa
yang turun sesudahnya
12 Desember 2013 pukul 23:33 · Suka · 1

Musaafir Musaafir Aku menjumpai seseorang sedang sholat,dan orang itu mengulangi
lafad niatnya smpai tiga kali bahkan kadang lebih.wktu takbiratul ihram org itu cepat
sekali,sehingga kalau menurut saya itu tidak nutut untuk mengatakan niat dalam
hatinya,,mungkin parasahabat dumay mempunyai referensi yang membolehkan tntang
menyikapi hal itu.???

20 Desember 2013 pukul 10:21 · Suka

Yudi Khumainy Alhamdulilah terimakasi pak ustad at as keterangan yang cukup


mendeteil tentang asal usul niat

29 Desember 2013 pukul 21:16 · Suka

Arbaan Syah Putra niat memang bukan bid'ah. yang harus dibahas itu "usholli...." tidak
ada dasar hukum (alquran&hadits) yang mengajarkan seperti itu. Rasulullah shalat hanya
menyempurnakan wudlu, menghadap kiblat, dan takbiratul ihram. tidak ada usholli dalam
sholatnya.

4 Januari pukul 18:53 · Suka · 2

Ibaz Niat lisan sebelm takbir + Niat dlm hati bersamaan dengan takbir.... hati2 dngan niat
dlm Hati.....

13 Januari pukul 19:22 · Suka

Faishal Umar Bayasut PERKARA BARU...

22 Februari pukul 6:54 · Suka · 1


Noer Slalu Bercahaya adakah disini yang punya pikiran takut kehilangan jati diri dari
kelompoknya dari pada takut kehilangan jati diri sebagai seorang yang taat kepada Allah
dan rosulnya???

1 Maret pukul 11:36 · Suka

Mohammad Taufiq Marsikin adakah hadits nabi yg menceritakan bhw Nabi


mengucapkan usalli saat shalat?

2 Maret pukul 5:55 · Suka · 3

Mohammad Taufiq Marsikin saya pernah dpt keterangan bahwa lafal Usalli yg skrg ini
berasal dari seorang ulama bernama Ustadz Umar Jinib Asmaralangga,jd bukan dari
Nabi,apakah penulis pernah mempelajari hal ini?Sama dengan shalawat Badar yg
merupakan gubahan Kyai Ali Mansur Banyuwangi, salah seorang cucu dari KH.
Muhammad Shiddiq Jember tahun 1960.

2 Maret pukul 5:59 · Suka · 1

Mohammad Taufiq Marsikin bukankah Rasulullah pernah bersabda yg artinya utk urusan
agama kamu liat aku,lalu dihadits lain dikatakan shalatlah sebagaimana aku
shalat,pertanyaan saya apakah ulama2 fiqih lebih pintar dari Rasulullah?Kita tdk perlu
bahas bid'ah ato tdk,krn itu hal yg lbh dalam,kira2 itu yg saya bisa sampaikan kepada
penulis

2 Maret pukul 6:02 · Suka · 2

Bayu Rahmawati yg salah itu yg gak shalat, soal furuiyah masing2 az , kalou ana pasti
solawatan lafadz niat pasti di pake jangan tanya hadits nya mana tapi kalou antum mau
tsnya kitzbnyz hadist nya boleh datang ke rumah ana .salafy itu sesama manhaj az saling
menyalahkan
5 Maret pukul 22:23 · Suka · 1

Yose Apero "jangan menambahkan perkara baru yang tidak ada diajarkan rosul"

6 Maret pukul 13:55 · Suka · 1

Irman Efendi al ulama waritsatul anbiya.. itu hadist nabi.klo kalian gak gak percaya
ulama,,sama aja x an gak percaya nabi..inget,yg ngajarin xan emang nabi lagsung?
ngimpi.. ulama lebih pintar drpada x an.. maaf. esmosi..dikit hehhe

7 Maret pukul 21:43 · Suka

Irman Efendi Yose Apero..mksud lho bid'ah?

7 Maret pukul 21:44 · Suka

Nazrolez Jovanovich monggo disimak. islam tidak mengajarkan perpecahan. "Demi


masa.Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian,kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran." Al-`Aşr 1-3
siapa tahu video ini dapat membantu mas2 mbak2 sekalian. ...Lihat Selengkapnya

sunni atau syiah Zakir Naik (indonesian subtitle)


sumber : http://www.lampuislam.blogspot.com
http://www.youtube.com/user/ArceusZeldfer/videos http://www.youtube.com/watch?
v=4vxB7Hk...

youtube.com

10 Maret pukul 0:48 · Suka · 1

Fa Qih kalian yg suka ngomong bid'ah sesat sama saja kalian menentang ulama sekelas
imam syafi'I yg hafal jutaan hadist dan al-quraan..sekarang gue tanya sma kalian, kalian
hafal brp hadis? 1000? 100000? hafal alquraan? ilmu kalian tak ada apa2nya dibanding
ulama2 terdahulu..

24 Maret pukul 22:42 · Suka

Fa Qih dasar WAHABI sok pinter,

24 Maret pukul 22:46 · Suka

Bydone Nafizz tidak semua kebaikan iti ada pada zaman nabi

5 April pukul 12:59 · Suka · 1

Purnomo Nugroho Perlu dijauhi : 1. Orang Alim yang merusak agamanya

4 Mei pukul 23:12 · Suka · 1

Purnomo Nugroho perlu dijauhi orang alim yang merusak agamanya, dan orang bodoh
yang taat beribadah. Kenapa ? karena orang alim yang tidak berilmu akan merusak
agamanya sendiri dengan dalil yang tidak jelas, dan pemahaman yang salah. sehingga
menyesatkan umat. jika me...Lihat Selengkapnya
4 Mei pukul 23:22 · Suka · 1

Abu Ghailan Melafazkan niat... Lucu aj. Misal, ada org yg ke masjid utk sholat, niat
sebenarnya agar dilihat oleh calon mertua. Wlpun dia melafazkan niatnya smp 100 kali
(klo perlu pake speaker), tetap aj yg dinilai itu niat yg ada dlm hatinya. Kelucuan yg lain,
t...Lihat Selengkapnya

5 Mei pukul 9:51 · Suka · 2

Turob Al Aqdam akeh kang apal qur'an haditse# seneng ngafirke marang liyane / kafire
dewe gak digatekke# yen isih kotor ati akale.

14 Mei pukul 6:12 · Suka

Alifurrohman Al Farisi i liek

16 Mei pukul 13:39 · Suka

Aley Rahman T: kenapa kamu kaga sholat,

J: ga hafal / tau ushalinya,


...Lihat Selengkapnya

10 Juni pukul 2:31 · Suka · 1

Bekti Iskandar Monggo podo ngaji Ilmu Fikih sesarengan supados ngalim ing ilmu fikih.
tiang alim ingkang ngertos ilmu niku sanget ati-atine ing penggawe, pengucap lan ing
atine. monggo pdho nempat aken awake dewe dewe

18 Juni pukul 9:59 · Suka


Mas Geni Santo status yg lengkap dg dalil d bantah dg koment yg tdk d sertai dalil.

18 Juni pukul 19:42 · Suka

Celly Datawa yg penting kita niat, yg lainya terserah pda yg kuasa,,

29 Juni pukul 11:06 · Suka

Olan Elharierie nabi tidak pernah mengajarkan shalat melafazkan niat,,,yg kurang bgus
adalh pengikut2 imam syafii yg ada di indonesia,, mrk taklid buta, hanya imam syafii ato
syafiiyyah yg benar,,,.yg menyalahkan salafy (wahaby) lagi,,,ketika kalian pergi haji
adakah ...Lihat Selengkapnya

17 Juli pukul 13:11 · Suka · 2

Feri Irawan intinya..ibadah pakai dalil.. kalau ngk ada dalil yg sahih bearti bukan
sunnah..

20 Juli pukul 17:57 · Suka · 1

Ari Falrabi masyallah udh smpai dg hadits rasulullah akn dtang suatu zaman dmn muslim
akn saling menyalahkan dan saling menganggap dirinya benar mhon mf sdulur diluar
mereka semngat menghancurkan kita tpi kenapa kita terlena hanya dg berdebat ayo
bersatu

23 Juli pukul 0:37 · Suka · 1


Ari Falrabi olan elha re@ente klo g mw dg smwnya ya g apa2 g ush ampe bawa2 nama
ulama gitu mhon mf klo ente g setuju mendingan silahkan k arab sana jangan tinggal di
indonesia ukhruj min baldina

23 Juli pukul 5:26 · Suka

Olan Elharierie ia makanya jgn anggap mazhabnya paling benar, ana bukan pengikut
wahabi ato salafy, yg penting haditsnya sohih ya kita ambil kalu dalilnya maudu' ya kita
tinggalkan. imam syafii jg mengatakan idza shahhal hadits pahuwa madzahabi,,,imam
syafii sendiri...Lihat Selengkapnya

23 Juli pukul 14:16 · Suka · 2

Olan Elharierie ia dulu sy endiri yg beli azimat dari kiayainya makanya ana berani
berkomentar tentang itu,,tp itu dulu waktu ana blum tahu tentang syirik,,,

23 Juli pukul 14:19 · Suka

Muh Risdiyansyah Diyans azimat tu apa ya

14 Agustus pukul 6:45 · Suka

Kennan Tanjung kalau pengen dekat dengan Allah amalkan Isi Al-qur'an dan Sunnah
Rasul jangan Ulama untuk menghindari Taklid ...

22 Agustus pukul 14:39 · Suka · 1

Syarip Hadiani wahaby, memang sok kepintaran, mazhab ini ga punya konsistensi, comot
dalil ke sana, kemari, mengkafir-kafirkan org, bilang org bid'ah, itulah akibat kebodohan,
kedunguan dan merasa paling pintar. Goblok, goblok wahabi ini,,,

30 Agustus pukul 2:28 · Suka


Ach Mustofa Idris Betol kwn whhby mang sok pintr.pd hal jlebbo

6 September pukul 19:56 · Suka

Kasyfur Rahman sumber hukum islam ga cuma alquran n sunnah akhi. masih ada ijma',
qiyas, maslahah mursalah, dsb. memahami quran n sunnah pun jgn sepotong2, lihat dalil
lain....

7 September pukul 11:44 · Suka

Alfi Syah sebaiknya pahami dulu apa itu bid'ah saudara sekalian

20 September pukul 9:42 · Suka

Rizky Hanif Prayitno bid'ahkan ada dua bidah yang di anjurkan dan yang tidak.kalo ini
termasuk bidah yang tidak dianjurkan ane minta penjelasannya sih

21 September pukul 16:51 · Suka

Arridwan Rva pada so pinter kalian smua . jd org jng pada fanatik, mw sholat pke niat ato
kga ya gpp . jng pernh merasa diri kalian plg benar yg benar cuma allah .

3 Oktober pukul 2:04 · Suka

Abuya Salwa As-Sundawy ijin Share ya.. Syukron.

19 Oktober pukul 13:37 · Suka


Moh Andri Yanto mantab ne tulisanya

26 Oktober pukul 23:43 · Suka

Qurtusi Ks Ga da habisnya klo mslh nih trus dilnjutin... Pdhl kt punya landasan yg pabila
kt BERSELISIH kmbaliin aja yg py sumber urusan, ‫ُول إِن‬ ِ ‫فَإِن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْى ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هللاِ َوال َّرس‬
‫ ُكنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهللِ َو ْاليَوْ ِم ْاألَ ِخ ِر َذ ِل‬...Lihat SelengkapnyaLihat Terjemahan

1 November pukul 16:27 · Suka

Delta Tendez Icank kalaw memang melafazkan niat itu bukan bagian ibadah sholat
kenapa diwjibkan kan aneh

6 November pukul 12:17 · Suka

Delta Tendez Icank ada yang mengatakan bahwa jangan mmpersoalkan pake usholi atw
ga yang dipersalahan orang ga' shalat pandangan ini justru harus diluruskan, nah kata
nabi kalaw sholat ikutin cara ku kata nabi muhammad Saw. nah klw kita sholat tidak
mengikuti aturan yg telah nabi patenkan lha kita sholat ngikutin cara siapa. pikirkan
baik2

6 November pukul 12:26 · Suka · 1

Iwan Wandi no komen lah, lieur aing ngabandungana ge, asa pa bener2 maraneh ari nu
lain salah.

19 November pukul 20:36 · Suka


Afnan Dhaifallah Kerjakan saja sesuai dengan ilmu dan keyakinan masing-masing,
jangan suka mengkafirkan saudara sendiri karena sangat jauh bedanya antara orang kafir
dan orang beriman. Saat ini sdh banyak orang2 yg membawa nama hadits dan Alquran
dan membid'ahkan pendapat lain padahal ilmunya cetek itupun dapet dari baca buku saja.

25 November pukul 20:22 · Suka

KAJIAN KITAB KLASIK PESANTREN SUNNI (SALAFIYAH)

Catatan oleh KAJIAN KITAB KLASIK PESANTREN SUNNI (SALAFIYAH)

Semua Catatan

 Dapatkan Catatan melalui RSS


 Sisipkan Kiriman
 Laporkan
Saran Halaman
Lihat Semua
Saran Halaman

Toko Baju Balita

4.340 orang menyukai ini.

Perlengkapan Bayi Terlengkap dan Termurah-Babyset...

18.206 orang menyukai ini.

Beasiswa Stuned

Itsna menyukai ini.


Halaman Populer di Daerah Anda

Lihat Semua
Halaman Populer di Daerah Anda

Endank soekamti

Nur Saa dan 66 teman lainnya menyukai ini.

Joko Widodo

Lek Ruun dan 102 teman lainnya menyukai ini.


Permintaan Pertemanan

Lihat Semua
Permintaan Pertemanan

Henny Puspita

Muhammad Tonysupcito
Tentan Buat Pengemban Ketentua
Buat Halaman KarierPrivasiKuki Bantuan
g Iklan g n
Facebook © 2014
Bahasa Indonesia

Andink Raihannunas-syafa menyukai foto Yulie Ingin Setia.

Arif Cah Panser dan Sindii Prastika sekarang menjadi teman.

Ika Febriyani mengomentari peristiwa penting Naylhim Panda.

Tas Baju Amel menambahkan foto baru ke album GADGET NEW REPLIKA.

Indah Al-Haq
hanya yang jauh yang saat ini bikin kangen. — kangen , bersama M Naseh Al Failami.

Tampilkan Kiriman Terdahulu


o

Miftah Adistia
o

30m

Fatimah Az Zahro

Muh Mahbub

Huda Beltrame

6m

Qomad K'Hamid

o
1+

Alif Nur Aliefah

1+

Ervien Setya Selalue

2+

Steven Mambo Tok

3+

Nailil Muna

Miftah AlFathony
o

36m

Afif Choiruddin Slankers

Nadha Miedah

Web

Al Ghozalie

Seluler

Arif Cah Panser

Web

Fatma IstiQomah

Web

Ieztie Khe Aii


o

Web

Pangeran Putra Setya

Web

Rani Purwati

Cari

Anda mungkin juga menyukai