Bahan Niat
Bahan Niat
Berita
ARTIKEL
Tanya Jawab
Buku
Video
PROFIL
Home » Kontra Wahabi » Melafalkan Niat Dalam Ibadah, Sunnah atau Bid’ah?
Pertanyaan:
Assalamu’alaikum wr wb. Ustadz Muhammad Idrus Ramli yang saya hormati. Sebagaimana
dimaklumi, kaum Muslimin di Nusantara apabila mau melaksanakan suatu ibadah, memulainya
dengan niat yang diucapkan atau dilafalkan. Misalnya dalam ibadah shalat, akan berkata
ushalli, dalam ibadah wudhu akan berkata nawaitu dan seterusnya. Belakangan ini ada
sebagian kelompok yang mengharamkan dan membid’ahkan melafalkan niat dalam ibadah.
Mereka beralasan bahwa dalam ibadah shalat, puasa dan wudhu’ tidak ada hadits yang
menganjurkan melafalkan niat. Lagi pula kata mereka, dalam soal ibadah tidak boleh
melakukan qiyas. Bagaimana sebenarnya hukum melafalkan niat dalam ibadah dalam
pandangan para fuqaha Ahlussunnah Wal-Jama’ah?
Jawaban:
Melafalkan niat dalam ibadah termasuk masalah furu’iyah, yang diperselisihkan di kalangan
ulama fuqaha, antara yang mengatakan sunnah dan tidak sunnah. Akan tetapi dari segi dalil, para
ulama fuqaha yang mengatakan sunnah, memiliki dalil yang sangat kuat dan otoritatif. Sebelum
menjelaskan dalil kesunnahan melafalkan niat dalam ibadah, ada baiknya kami paparkan terlebih
dahulu, tentang pendapat para ulama fuqaha madzhab yang empat seputar melafalkan niat.
Pertama, pendapat yang mengatakan sunnah, agar ucapan lidah dapat membantu memantapkan
hati dalam niat ibadah. Pendapat ini diikuti oleh madzhab Hanafi dalam pendapat yang mukhtar,
madzhab Syafi’i, dan madzhab Hanbali sesuai dengan kaedah madzhab. Hal ini sebagaimana
ditegaskan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48, al-Imam al-Khathib al-
Syirbini dalam Mughni al-Muhtaj juz 1 hal. 57, dan al-Imam al-Buhuti al-Hanbali dalam
Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah makruh.
Pendapat ini diikuti oleh sebagian ulama madzhab Hanafi dan sebagian ulama madzhab Hanbali.
Hal ini juga diceritakan oleh Ibnu Nujaim dalam al-Asybah wa al-Nazhair hal. 48 dan al-Buhuti
dalam Kasysyaf al-Qina’ juz 1 hal. 87.
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa melafalkan niat dalam ibadah adalah boleh (mubah),
akan tetapi sebaiknya ditinggalkan. Kecuali bagi orang yang waswas, maka melafalkan niat
disunnahkan baginya, untuk menghilangkan keraguannya. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh
Ibnu Arafah dalam Hasyiyah al-Dusuqi ‘ala al-Syarh al-Kabir juz 1 hal. 233-234 dan al-Shawi
dalam al-Syarh al-Shaghir juz 1 hal. 304.
Demikian pendapat para ulama fuqaha madzhab empat tentang hukum melafalkan niat dalam
ibadah.
Sedangkan dalil yang dijadikan dasar para ulama yang menganjurkan melafalkan niat dalam
ibadah adalah hadits sebagai berikut ini:
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalmam melafalkan niat dalam ibadah haji
dan umrah. Apabila dalam satu ibadah, melafalkan niat itu dianjurkan, maka dalam ibadah
lainnya juga dianjurkan, karena sama-sama ibadah. Dalam hadits lain juga diriwayatkan:
ا َل لِيHHَ َوق: ْالَتHHَ ق، صو ُم ُ َ فَإِنِّي إ َذنْ أ: قَا َل، َه ْل ِع ْن َد ُك ْم ِمنْ َغدَا ٍء ؟ قَالَتْ اَل: سلَّ َم قَا َل يَ ْو ًما َ عَنْ عَائِشَة َأَنَّ النَّبِ َّي
َ صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو
ُسنَا َده َ ص ْو َم ” َر َواهُ الدَّا َرقُ ْطنِ ّي َو
ْ ص َّح َح إ ْ إ َذنْ أُ ْف ِط ُر َوإِنْ ُك ْنتُ فَ َر: قَا َل، آخ َر أَ ِع ْن َد ُك ْم ش َْي ٌء ؟ قُ ْلتُ نَ َع ْم
َّ ضتُ ال َ َي ْو ًما
“Diriwayatkan dari Aisyah, bahwa pada suatu hari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berkata
kepadanya: “Apakah kalian mempunya makanan untuk sarapan?” Ia menjawab: “Tidak ada.”
Lalu beliau bersabda: “Kalau begitu, aku berniat puasa.” Aisyah berkata: “Suatu hari Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: “Apakah kalian mempuanyai sesuatu
(makanan)?” Aku menjawab: “Ya.” Beliau bersabda: “Kalau begitu, aku niat berbuka, meskipun
tadi aku bermaksud puasa.” HR. al-Daraquthni dan ia menshahihkan sanadnya.”
Dalam hadits di atas, jelas sekali Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melafalkan niatnya untuk
menunaikan ibadah puasa. Dalam ibadah puasa, melafalkan niat disunnahkan, berarti dalam
ibadah yang lain juga dianjurkan karena sama-sama ibadah.
Perlu diketahui, bahwa dalam niat puasa, tidak harus menggunakan redaksi nawaitu shauma
ghadin (saya niat puasa besok), bahkan boleh juga dengan redaksi ashumu ghadan (aku niat
puasa besok) atau inni sha’imun ghadan (sungguh aku puasa besok). Demikian pula, dalam niat
shalat, tidak harus dengan redaksi ushalli (saya niat shalat), akan tetapi boleh dengan redaksi
nawaitu shalatal ‘ashri (saya niat shalat ashar) dan lain sebagainya. Hal ini sebagaimana
ditegaskan dalam kitab-kitab fiqih Syafi’iyah.
Sekarang, apabila melafalkan niat dalam ibadah shalat dan wudhu’, disunnahkan karena
diqiyaskan dengan ibadah haji dan puasa, lalu bagaimana dengan pernyataan sebagian kalangan
Wahabi yang mengharamkan dan membid’ahkan melafalkan niat dengan alasan kaedah la qiyasa
fil ‘ibadat (tidak boleh menggunakan qiyas dalam hal ibadah)? Tentu saja kaedah la qiyasa fil
‘ibadat tersebut tidak benar dan bertentangan dengan penerapan para ulama salaf terhadap dalil
qiyas.
Ketika qiyas itu diakui sebagai salah satu dalil dalam pengambilan hukum Islam, maka
penerapannya bersifat umum, termasuk dalam bab ibadah. Oleh karena itu, kita dapati para
ulama salaf sejak generasi sahabat melakukan qiyas dalam hal ibadah. Misalnya, al-Imam al-
Hafizh Nuruddin al-Haitsami meriwayatkan dalam kitabnya Majma’ al-Zawaid, bahwa sebagian
sahabat seperti Anas bin Malik menunaikan shalat sunnah 4 raka’at sebelum shalat ‘id.
Sementara sahabat Ibnu Mas’ud menunaikan shalat sunnah sesudah shalat ‘id empat raka’at.
Padahal dalam kitab tersebut juga diriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
tidak pernah melakukan dan tidak menganjurkannya. Hal ini mereka lakukan karena diqiyaskan
dengan shalat maktubah, yang memiliki shalat sunnah rawatib, sebelum dan sesudahnya.
Al-Imam Ahmad bin Hanbal, pendiri madzhab Hanbali, madzhab resmi Wahabi Saudi Arabia,
juga melakukan qiyas dalam hal ibadah. Al-Imam Ibnu Nashr al-Marwazi meriwayatkan:
ُ ْوXُ اَ ْلقُن:ع أَ ْم بَ ْع َدهُ َوهَلْ تُرْ فَ ُع ْاألَ ْي ِدي فِي ال ُّدعَا ِء فِي ْال ِو ْت ِر؟ فَقَا َل
ِ ْوX َد الرُّ ُكXْت بَع
ُعXَع َويَرْ ف ِ ْت فِي ْال ِو ْت ِر قَ ْب َل الرُّ ُكو
ِ َْو ُسئِ َل أَحْ َمد ُ َع ِن ْالقُنُو
.ت فِي ْال َغدَا ِةِ ْى هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم فِي ْالقُنُوَّ صل َ اس فِ ْع ِل النَّبِ ِّي
ِ ََلى قِي َ كع َ ِيَ َد ْي ِه َو َذل
“Al-Imam Ahmad ditanya tentang qunut dalam shalat witir, sebelum ruku’ atau sesudahnya, dan
apakah dengan mengangkat tangan dalam doa ketika shalat witir?” Beliau menjawab: “Qunut
dilakukan setelah ruku’, dan mengangkat kedua tangannya ketika berdoa. Demikian ini
diqiyaskan pada perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam qunut shalat shubuh.” HR.
Ibnu Nashr al-Marwazi dalam Qiyam al-Lail, hal. 318.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz, mufti Wahabi Saudi Arabia, yang wafat beberapa waktu yang lalu,
juga melakukan qiyas dalam bab ibadah. Dalam hal ini, beliau berfatwa:
ِهH َع يَ َد ْيHَلَّ َم أَنَّهُ َرفHس َ ُهH َوقَ ْد ثَبَتَ َع ْن،ت فِي النَّ َوا ِز ِل
َ ِه َوHل َّى هللاُ َعلَ ْيHص ِ س ا ْلقُنُ ْوِ ت ا ْل ِو ْت ِر؛ ألَنَّهُ ِمنْ ِج ْن ِ يُش َْر ُع َر ْف ُع ا ْليَ َد ْي ِن فِ ْي قُنُ ْو:ج
.ح ٍ ص ِح ْي َ
َ سنا ٍد ْ
ْ ِ خ َّر َجهُ البَ ْي َهقِ ُّي َر ِح َمه ُهللاُ بِإ.ت النَّ َوا ِز ِل
َ ِ ِحيْنَ ُدعَائِ ِه فِ ْي قُنُ ْو
“Hukum mengangkat kedua tangan dalam doa witir. Soal: Bagaimana hukum mengangkat kedua
tangan dalam shalat witir? Jawab: Disyariatkan (dianjurkan) mengangkat kedua tangan dalam
qunut shalat witir, karena termasuk jenis qunut nazilah (yang dilakukan karena ada bencana).
Dan telah sah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau mengangkat kedua tangannya
dalam doa qunut nazilah. Hadits tersebut diriwayatkan oleh al-Baihaqi rahimahullah dengan
sanad yang shahih.” Fatawa Islamiyyah, juz 1 hal. 349, dan Majmu’ Fatawa wa Maqalat
Mutanawwi’ah, juz 30 hal. 51.
Berdasarkan paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa anjuran melafalkan niat dalam ibadah
adalah pendapat mayoritas ulama madzhab yang empat (madzahib al-arba’ah). pendapat tersebut
memiliki dalil yang kuat dan otoritatif (mu’tabar), yaitu diqiyaskan kepada ibadah haji dan
puasa, di mana Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, melafalkan niat dalam keduanya. Pendapat
tersebut tidak dapat ditolak dengan alasan kaedah, la qiyasa fil ‘ibadat (tidak boleh melakukan
qiyas dalam bab ibadah). Karena qiyas termasuk dalil pengambilan hukum dalam Islam, yang
berlaku dalam semua bab. Oleh karena itu, qiyas dalam bab ibadah telah diterapkan oleh para
sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan bahkan oleh sebagian ulama terkemuka kaum Wahabi
kontemporer seperti Syaikh Ibnu Baz. Wallahu a’lam.
Simak Juga
Tagged with: featured hukum melafalkan niat hukum niat melafadzkan niat melafalkan niat niat
bid'ah niat sholat
Leave a Reply
Your email address will not be published. Required fields are marked *
Name *
Email *
Website
STATISTIK WEB
Tanggal : 26/11/2014
Total Pengunjung: 51037
Hari ini: 123 Pengunjung
OS: Windows 7
IP Anda: 122.129.124.228
Pengunjung Online: 2
Aktif Sejak: 03/07/2013
Spam Blocked
LIKE THIS
Artikel Terakhir
Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar? Jawaban terhadap buku - buku Mahrus
Ali Oleh:…
Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram?
Judul : Benarkah Tahlilan & Kenduri Haram? Penulis : Muhammad Idrus Romli Editor:
Achmad…
Judul: Jurus Ampuh Membungkam HTI Penulis: Muhammad Idrus Ramli Penerbit: Bina
Aswaja…
Hizbut Tahrir dalam Sorotan Oleh: Muhammad Idrus Ramli Penerbit: Bina Aswaja Buku
ini sama,…
Lihat lainnya
Popular
Recent
Comments
Tanya Jawab
01/06/2013
09/09/2013
Dusta Firanda (Wahabi): Ulama Syafi’iyah Mengingkari Bid’ah Hasanah?
13/11/2013
29/06/2013
29/06/2013
Home
Text to search...
google
facebook
pintrest
rss
twitter
vimeo
youtube
Home
Menjawab Wahabi
Menjawab Syiah
Perbandingan Agama
Dakwah
headlines
4:51 PM
Latest
Ibnu Umar r.a dan Bidaah Hasanah: Meluruskan Pemahaman Abul
Jauzaa
Total Pageviews
39,481
Labels
Menjawab Syiah
Menjawab Wahabi
Backlink
Subscribe
Pedidos
Google+ Followers
Powered by Blogger.
Super Ofertas
Followers
Home » Menjawab Wahabi » Melafadzkan Niat Ketika Akan Melaksanakan Sholat Menurut Para Imam
Madzhibul Arba’ah Bukanlah Bid’ah Dholalah
FATWA LAJNAH DAIMAH YANG DIKETUAI OLEH SYEKH ABDUL AZIZ BIN ABDULLAH BIN BAZZ :
)319 ص/ 6 (ج- ة األولى المجموع- ة ة الدائم اوى اللجن فت
) 2444 ( وى رقم اني من الفت ؤال الث الس
(ن ويت أن أص لي هلل تع الى ركع تين لوجه ه الك ريم ص الة الص بح)؟: م ا حكم التلف ظ بالني ة مث ل قول ه:2س
ولم يثبت عن الن بي ص لى، والعبادات توقيفية ال يشرع فيها إال ما دل عليه القرآن الكريم أو السنة الصحيحة المطهرة، الصالة عبادة: 2ج
لكن لم يحص ل، ولو وقع ذلك منه لنقله أصحابه رض ي هللا عنهم وعمل وا ب ه،هللا عليه وسلم أنه تلفظ في صالة فرضا كانت أم نافلة بالنية
« من أحدث في أمرنا هذا ما ليس من ه فه و رد: وقد ثبت عنه صلى هللا عليه وسلم أنه قال،ذلك فكان التلفظ بالنية في الصالة مطلقا بدعة
وباهلل التوفيق وص لى هللا على نبين ا محم د وآل ه. )2( » « وإياكم ومحدثات األمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضاللة: ) وقال1( »
لم حبه وس وص.
Link : http://alifta.com/Fatawa/FatawaSubjects.aspx?
languagename=ar&View=Page&HajjEntryID=0&HajjEntryName=&RamadanEntryID=0&RamadanEntryNa
me=&NodeID=647&PageID=2087&SectionID=3&SubjectPageTitlesID=23518&MarkIndex=2&0
Terjemah :
Soal : “Apa hukum mengucapkan niat seperti mengucapkan :
بح الة الص ريم ص ه الك تين لوجه الى ركع لي هلل تع ويت أن أص ن
“Aku berniat shalat subuh dua rakaat karena Allah Ta’ala dan mengharap wajah-Nya yang mulia.”
Jawab: Shalat termasuk perkara ibadah dan ibadah itu tauqifiyyah (tata caranya ditentukan oleh syariat,
harus berdasarkan dalil). Tidak ada satupun aturan dalam shalat kecuali harus berdasarkan Al Quran dan
Hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam yang suci. Sementara tidak ada hadits shahih dari Nabi
shalallaahu ’alaihi wa sallam yang menyatakan bahwa beliau mengucapkan niat shalat, baik shalat
sunnah maupun shalat wajib. Seandainya beliau melakukan hal ini, pastilah para sahabat meriwayatkan
dari beliau shallallaahu ’alaihi wa sallam dan tentu merekalah (orang pertama) yang mengamalkannya.
Akan tetapi semua ini tidak kita dapati riwayatnya. Oleh karena itu mengucapkan niat dihukumi bid’ah
secara mutlak. Terdapat hadits shahih dari Nabi shallallaahu ’alaihi wa sallam bahwasanya beliau
bersabda :
و رد ه فه ا ليس من ذا م اه دث في أمرن من أح
“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara dalam urusan kami ini yang tidak kami perintahkan maka
amalan tersebut tertolak.”
اللة ةض ل بدع ة وك ة بدع ل محدث إن ك ور ف دثات األم اكم ومح وإي
“Wajib bagi kalian menjauhi perkara-perkara baru, karena setiap yang baru itu bid’ah dan setiap bid’ah
itu sesat.”
Syaikh al Utsaimin rahimahullah mengatakan, “Perlu diketahui bahwasanya tempat niat ada di hati dan
bukan di lisan. Karena sesungguhnya engkau beribadah kepada Dzat yang mengetahui orang yang
berkhianat dan mengetahui segala sesuatu yang tersembunyi di dalam hati. Allahlah Dzat yang Maha
mengetahui apa yang ada di setiap dada manusia. Tentunya engkau tidak bermaksud untuk berdiri di
hadapan dzat yang bodoh sehingga engkau harus mengucapkan apa yang engkau niatkan namun engkau
berdiri karena takut kepadaNya karena Dia Dzat yang mengetahui was-was dalam hatimu, Dzat yang
akan membalikkan hatimu. Meskipun demikian tidak ada satupun hadits shahih yang datang dari
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak juga dari sahabat radhiallahu ’anhum bahwasanya mereka
melafadzkan niat. Oleh karena itu melafadzkan niat termasuk perbuatan bid’ah yang terlarang baik
dengan suara lirih maupun keras. (Syarh Al Raba’in An Nawawiyyah, Hal. 9)
Link : http://muslimah.or.id/.../serba-serbi-niat-shalat-1...
MENURUT ALBANI :
Ada beberapa keterangan yg bisa di baca kitab Al Fiqhul Islami Wa Adillatuhu karya Syekh Wahbah Az
Zuhailiy :
Di halaman lain :
Di halaman lain :
Memang terdapat keterangan dari ulama Hanafiyyah yang mengatakan bid’ah melafadzkan niat
sebagaimana keterangan di bawah ini :
Ibnu Najim Al Mishry Al Hanafi di dalam kitab Al Bahrur Roiq juz 3 hal 92-93, Maktabah Syamilah :
Namun apakah yang di maksud dengan ucapan bid’ah dan sunnah dalam ibarat diatas menurut ulama
Hanafiyyah ??? Bisa dibaca disini :
Tidak ada satupun dari ulama Madzhibul Arba’ah yang memfatwakan Bid’ah Dholalah bagi orang yang
melafadzkan niat ketika akan sholat. Menurut penjelasan ulama Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat
sebelum takbir hukumnya boleh namun menyelisihi keutamaan (Khilaful Aula, tidak sampai Makruh),
tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat hukumnya
adalah sunnah.
Sedang menurut Jumhur ulama dan kesepakatan para pengikut madzhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan
pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) hukumnya adalah sunnah, karena melafalkan
niat sebelum Takbiratul Ihram itu dapat membantu untuk menghadirkan dan mengingatkan hati
sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya. Sedang mengenai ucapan
bid’ah di dalam istilah sebagian ulama Hanafiyyah juga sama sekali tidak diarahkan kepada bid’ah
dholalah.
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah), dalam kitab
Fathul Mu’in bi Syarhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 :
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab Syafi'iyah) dalam
kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab ([ )فتح الوه اب بش رح منهج الطالبI/38] :
Diperjelas di dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj
Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-Jamal :
Al-Imam Syamsuddin Muhammad bin Muhammad Al-Khatib Asy-Syarbainiy, didalam kitab Mughniy Al
Muhtaj ilaa Ma'rifati Ma'aaniy Alfaadz Al Minhaj (1/150) :
Al-'Allamah Asy-Syekh Muhammad Az-Zuhri Al-Ghamrawiy, didalam As-Siraj Al-Wahaj (السراج الوهاج على
اج )متن المنه pada pembahasan tentang Shalat :
ان القلب اعد اللس ير ليس ل التكب ق قبي دب النط وين
"Dan disunnahkan mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu
hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin ( [ )إعان ة الط البينI/153] :
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj Thalibin (شرح
البين اج الط دين المحلي على منه ة جالل ال )العالم Juz I (163) :
منهج الطالب-
ير ل التكب ق قبي ونط
"(Disunnahkan) mengucapkan (niat) sesaat sebelum Takbir (Takbiratul Ihram)"
Di dalam kitab Safinatun Naja karya Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Sumair Al-Hadlramiy ‘alaa
Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i :
نة اس ظ به ا القلب والتلف ومحله، ه ا بفعل يء مقترن د الش قص: ة الني
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya. Tempatnya niat adalah di dalam
hati, sedangkan melafadzkan niat dengan menggunakan lisan hukumnya adalah sunnah"
Di dalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh An-Nawawi Ats-
Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) :
ان القلب اعد اللس نة ليس المنوي فس ظب ا التلف أم
"Adapun melafadzkan niat, maka hukumnya adalah sunnah agar lisan dapat membantu hati"
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, di dalam kitab Minhajul Qawim (1/191) :
فصل في سنن الصالة وهي كثيرة ( و ) منه ا أن ه ( يس ن التلف ظ بالني ة ) الس ابقة فرض ها ونفله ا ( قبي ل التكب ير ) ليس اعد اللس ان القلب
ا من خالف من أوجب ذلك وخروج
"Fashal di dalam menerangkan sunnah-sunnah shalat. Sunnah-sunnah shalat itu banyak, diantaranya
adalah disunnahkan melafadzkan niat sesaat sebelum Takbiratul Ihram di dalam sholat fardhu dan
sunnah, agar lisan dapat membantu hati, serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang
mewajibkannya"
Al-'Allamah Asy-Syekh Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairamiy Asy-Syafi'i, Tuhfatul habib ala
syarhil khotib(1/192), Darul Kutub Ilmiyah, Beirut - Lebanon :
ا ً من خالف من أوجبه واب خروج ع األب ا في جمي ظ به ن التلف ا القلب ) نعم يس ( ومحله: ه قول
"Ucapan muallif : (Tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan melafadzkan niat di dalam
semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh Abi Syuja',
pada pembahasan "Arkanush shalah" :
واس د عن الوس ه أبع ان القلب وألن اعد اللس ير ليس ل التكب المنوي قبي قب دب النط وين
"Dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum Takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati, dan
karena hal tersebut dapat lebih jauh (selamat) dari was-was "
Di dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-Syekh Muhyiddin
Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1 :
ارها ان القلب على استحض اعد اللس تحب ليس ا؛ ولكن يس ظ به ترط التلف ة القلب؛ فال يش ل الني ومح
"Dan tempatnya niat adalah hati, maka tiada disyaratkan melafadzkannya, tetapi disunnahkan
(melafadzkan niat) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkannya"
Hawasyi Asy-Syarwaniy karya Abdul Hamid Al Makkiy Asy Syarwaniy (1/240) :
Abdurrahman Muhammad AL Hanafiy yang di kenal dengan Syaikhiy Zaadah dalam kitab Majma’al
Anhar juz 1 hal 232 :
Imam Al-Bahuuti (Ulama Hanabilah) berkata dalam Syarah Muntaha Al-Iradat Juz 1 hal. 393, Makktabah
Syamilah :
)393 ص/ 1 (ج- رح منتهى اإلرادات ش
ٌد ْ
َواهُ َتأكِي ا َن ُه ِب َم ُ ُّ َ
َو َتلفظ
"Sedangkan pelafadz-an seseorang dengan apa yang diniatkannya adalah merupakan ta'kid (penguat)."
Tujuan dari melafadzkan niat adalah agar lisan dapat menghadirkan dan mengingatkan hati, yaitu
membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was (gangguan hati), serta untuk menghindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya adalah
sunnah. Selain itu lafadz niat adalah dipergunakan untuk ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Ulama yang menyunahkan melafadzkan niat kketika akan sholat menqiyaskan dengan melafadzkan niat
dalam ibadah Haji, sebagaimana kita ketahui dalam hadis, Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam
melafadzkan niat ketika menunaikan ibadah Haji :
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551, Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang Sahabat
mendengar Rasulullah SAW mengucapkan :
Redaksinya begini :
CATATAN : Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat diatas ketika beliau menjalankan ibadah
haji, namun sebagian ulama berpendapat bahwa ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini,
demikian juga kesunnahan melafadzkan niat pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam
ibadah haji. Hadits tersebut merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah (melafadzkan niyat)
ketika akan mengerjakan sholat.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh Al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami () ابن حجر الهيتمي
didalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-Syekh
Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan :
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب وألنه صلى هللا عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وع دم وروده ال ي دل
دم وقوعه على ع
"Ya, disunnahkan mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, karena sesungguhnya Nabi
Shollallahu ‘Alaihi Wa Aalihi Wa Sallam mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka kami
menqiyaskannya ke dalam Ibadah-ibadah yang lain, sedangkan ketiadaan yang meriwayatkannya tidak
menunjukkan atas ketiadaan terjadinya"
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri' didalam
kitab Mu'jam beliau (336) :
Perlu diketahui bahwa Qiyas juga menjadi dasar dalam ilmu Fiqh,
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
اس اع والقي نة واالجم اب والس تمداده من الكت واس.
Ilmu Fiqh dasarnya adalah kitab Al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma dan Qiyas.
Al-Imam Nashirus Sunnah Asy-Syafi'i, didalam kitab beliau Ar-Risalah :
أن ليس ألح د أب دا أن يق ول في ش يء ح ل وال ح رم إال من جه ة العلم وجه ة العلم الخ بر في الكت اب أو الس نة أو األجم اع أو القي اس
“Selamanya seseorang tidak boleh mengatakan di dalam sesuatu, baik hukum halal maupun haram
kecuali ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan
Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم هللا وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رس ول هللا ولم نق ل
اس ه قي ل
Aku (Imam Syafi'i berkata) : Jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan setiap
perkara ada nasnya di dalam Al-Qur'an maka ini adalah hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya di
dalam as-Sunnah maka ini hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu sebagai Qiyas
(jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Jadi maksud perkataan Imam Syafi'i diatas adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan
dalilnya dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu
bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya secara shorih
di dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum Takbiratul Ihram adalah amalan sunnah dengan
diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah Shallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Sunnah
dalam pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan
tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat shalat tetaplah sah, sedang melafadzkan niat saja tanpa
meniatkan dalam hati maka tidak mencukupi (tidak sah sholatnya), karena tempatnya niat adalah di
dalam hati. Maka melafadzkan niat tidak merusak terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk
menambah-nambah rukun shalat (karena dilakukan sebelum mengerjakan sholat, yaitu Takkbirotul
Ihram) sebagaimana keterangan para ulama di bawah ini :
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, di dalam Kifayatul Ahyar, pada bab ( باب أركان
الة )الص hal 101, Maktabah Syamilah :
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab Fathul Qarib, pada
pembahasan Ahkamush Shalat :
) ُا ْال َق ْلب ِه َو م َُحلُّ َه ا ً ِبفِعْ ِل يْ ِء ُم ْق َت َرن َّ ُد
الش َ ُة) َوه
ْ ِي َق
ص ال ِّن َي
“Niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di
dalam hati.”
Namun anehnya, nash-nash ibarat diatas ini sering di salah fahami oleh para wahabi mengenai tidak
diperbolehkannya melafadzkan niat. Mana ada kata atau kalimat yang melarang melafadzkan niat dalam
ibarat-ibarat diatas ?
Dari semua paparan diatas, kita bisa mengetahui bagaimana perbedaan pandangan ulama-ulama salaf
dan ulama- ulama Wahabi mengenai permasalahan melafadzkan niat ketika akan melaksanakan sholat.
Padahal selama ini kita sering mendengar klaim dan slogan Wahabi yang selalu mengataskan madzhab
dan manhaj mereka adalah mengikuti Salafush Sholih. Pertanyaan : Lalu Salafus Sholih manakah yang
diikuti oleh Wahabi dalam permasalahan ini ?
Wallohu A’lam
Share !
This is a short description in the author block about the author. You edit it by entering text in the
"Biographical Info" field in the user admin panel.
«
Next
Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang Disalah Fahami Bab 3
(Bahagian I)
Previous
Kesesatan Amalan Mutaah Menurut Kitab-Kitab Syiah Dengan Menggunakan Kaedah Syiah-
Bahagian I
Related Posts
17Dec2013
16Dec2013
14Dec2013
No comments:
Leave a Reply
Populars
Comments
Archive
Sedikit Teguran Kepada Rozaimi Ramle Yang Menegur Sedikit Mufti Kedah
Ramai baru-baru ini isu wahabi dan syi’ah di Malaysia apatah lagi adanya fatwa Mufti Kedah
yang tidak mendukung ajaran Wahabi dan Syi...
Kelopok Wahabi acapkali sering menuduh Ahlisunnah wal Jamaah memiliki kesamaan dengan
Syiah, baik yang mengamalkan tarekat shufi maupun...
Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang Disalah Fahami Bab 1
بسم هللا والصالة والشالم على رسول هللا سيدنا محمد بن عبد هللا وعلى اله وصحبه ومن وااله وال حول وال قوة اال با هللا اما
بعد: Nabi shallahu ...
Meluruskan Putar Belit Syiah Perihal Amman Message : Satu Analisis Ringkas
Kaum Syiah Rafidhah terutamanya di Malaysia dan Indonesia sering sahaja menjaja Amman
Message yang dipersetujui oleh beratus-ratus ulam...
Labels
Menjawab Syiah
Menjawab Wahabi
Popular Posts
Sedikit Teguran Kepada Rozaimi Ramle Yang Menegur Sedikit Mufti Kedah
Ramai baru-baru ini isu wahabi dan syi’ah di Malaysia apatah lagi adanya fatwa Mufti Kedah
yang tidak mendukung ajaran Wahabi dan Syi...
Kelopok Wahabi acapkali sering menuduh Ahlisunnah wal Jamaah memiliki kesamaan dengan
Syiah, baik yang mengamalkan tarekat shufi maupun...
Kritikan Ilmiah Terhadap Buku DRMAZA: Bidaah Hasanah Istilah Yang Disalah Fahami Bab 1
بسم هللا والصالة والشالم على رسول هللا سيدنا محمد بن عبد هللا وعلى اله وصحبه ومن وااله وال حول وال قوة اال با هللا اما
بعد: Nabi shallahu ...
Home
Search
Get paid to share your links!
Home
Bisnis »
Downloads »
Pendidikan »
Life Style »
Agama »
Sosial
Budaya
Humor
Health
11 January 2012
Dasar Hukum Melafalkan Niat Shalat
Ada beberapa permasalahan tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca
“Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat
melakukan shalat fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya
semata-mata karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah
sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya
menjadi asing dan sesuatu yang dipermasalahkan oleh sebagian kalangan yang tidak
sepemahaman dengan warga nahdliyin.
Hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para
pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin Hambal
(Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu untuk
mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya
bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia
hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang
niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali
bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan
Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula),
tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah
sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah
bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-
was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
َ صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم يَقُ ْو ُل لَبَّ ْي
ًك ُع ْم َرة َ َض َي هللا ُ َع ْنهُ ق
ُ ال َس ِمع
َ ِْت َرس ُْو َل هللا ٍ ََع ْن أَن
ِ س َر
ً َو َح ًّجا
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja
mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji,
bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau
dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat
hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu
yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok
ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama,
untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang
beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara
suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat
‘Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah
dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah.
Imam Ramli mengatakan:
ِ الو ْس َو
اس ِ ب َوأِل َنَّهُ أَ ْب َع ُد َع ِن
Xَ ان القَ ْل
ُ اع َد اللِّ َس
ِ ق بِال َم ْن ِويْ قُبَي َْل التَّ ْكبِي ِْر لِيُ َس ْ َُّويُ ْندَبُ الن
ُ ط
ُف َم ْن أَ ْو َجبَه
ِ َج ِم ْن ِخال ِ َولِ ْل ُخر ُْو
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-
an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang
mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437).
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan
shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat
hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Tapi hal ini tidak selesai disini saja. Pertentangan dan perbedaan pendapat terus terjadi. Semoga
alasan berikut ini menjadi tambahan dasar hukum yang kita miliki. Rasulullah menerangkan
bahwa segala perbuatan tergantung kepada niatnya, dan seseorang akan mendapatkan balasan
menurut apa yang diniatkannya.
إنَّما:سمعت رسول هللا * يقول
ُ : قالXعن أمير المؤمنين أبي حفص عمر بن الخطاب
ف َمن كانت هجرتُه إلى هللا ورسوله، وإنَّما لكلِّ امرئ ما نوىX،األعمال بالنيَّات
ومن كانت هجرته لدنيا يُصيبها أو امرأة ينكحها فهجرته،فهجرتُه إلى هللا ورسوله
إلى ما هاجر إليه
رواه إما َما المحدِّثين أبو عبد هللا محمد بن إسماعيل بن إبراهيم بن المغيرة بن بردزبه
بن مسلم القشيري النيسابوري فيX وأبو الحسين مسلم بن الحجاج،البخاري
صحيحيهما اللذين هما أصحُّ الكتب المصنَّفة
Dari Umar bin al-Khattab RA, ia berkata,” Rasulullah bersabda,” Suatu perbuatan itu tergantung
pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang dia niatkan.
Maka siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan) Allah dan Rasul-Nya, maka
hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan RasulNya. Dan siapa yang hijrahnya karena dunia yang
dikehendakinya atau wanita yang ingin dinikahinya maka hijrahnya kembali kepada apa yang dia
niatkan.” (Shahih Bukhari dalam Kitab an-Nikah no. 5126, Kitab al-Iman no. 54, & Kitab al-
Iman wa an-Nudzur no. 6771; Shahih Muslim dalam Kitab al-Imarah no.1907; Sunan at-
Tirmidzi dalam Kitab Fadhail al-Jihad no.1748; Sunan Abu Dawud dalam Kitab ath-Thalaq
no.2203).
Niat itu di dalam hati dan tidak dilafazhkan karena memang tidak ada hadits yang menyebutkan
shighat lafazh niat tersebut kecuali seperti hadits perintah Rasulullah untuk melafazhkan
basmalah ketika akan berwudhu. Berkata Imam Asy-Syafi’i di dalam kitab Al-Umm :
ث أَ ْوٍ ارةً ِم ْن َح َد َ َئ ْال ُوضُو ُء إالَّ بِنِيَّ ٍة َويَ ْكفِي ِه ِم ْن النِّيَّ ِة فِي ِه أَ ْن يَتَ َوضَّأ َ يَ ْن ِوي طَهُ َوالَ يُجْ ِز
َصالَ ٍة َعلَى ِجنَا َز ٍة أَ ْو ِم َّما أَ ْشبَه َ ف أَ ْو ٍ يض ٍة أَ ْو نَافِلَ ٍة أَ ْو لِقِ َرا َء ِة ُمصْ َح َ ِارةً ل
َ صالَ ِة فَ ِر َ َطهَ
كتاب الطهارة باب قدر الماء الذي يتوضأ به. هَ َذا ِم َّما الَ يَ ْف َعلُهُ إال طَا ِه ٌر
“Tidak sah seseorang berwudhu tanpa niat dan seseorang cukup dikatakan berniat bila ia
melakukan wudhu’. Ia berniat bersuci dari hadats atau bersuci untuk shalat fardhu,atau nafilah,
atau membaca al-Qur’an, atau shalat jenazah atau semisalnya yang tidak bisa dilakukan kecuali
oleh orang yang bersih.” (Al-Umm : Kitab Thaharah : Bab Kadar Air untuk Berwudhu’)
Maksud perkataan ini adalah ketika seseorang akan mengerjakan sesuatu, ia harus tanamkan niat
di dalam dirinya dengan kesungguhan bersamaan dengan pelaksanaan pekerjaan itu. Hal serupa
juga dikatakan Imam asy-Syafi’i ketika membahas perkara niat shalat, juga di kitab Al-Umm :
َ ير َوالَ تَجْ ِزي ِه النِّيَّةُ إالَّ أَ ْن تَ ُك
ِ ِون َم َع التَّ ْكب
َير ال ِ ِقال الشافعي َوالنِّيَّةُ الَ تَقُو ُم َمقَا َم التَّ ْكب
ون بَ ْع َدهُ – باب النية في الصالة األم كتاب الصالة ُ ير َوالَ تَ ُك َ ِتَتَقَ َّد ُم التَّ ْكب
”Dan niat itu tidak bisa menggantikan takbir dan tidak sah niat itu kecuali dilakukan bersamaan
dengan takbir. Tidak mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.” (Al-Umm : Kitab Shalat :
Bab Niat di dalam Shalat )
Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i ini bahwa niat itu adanya di dalam
hati dan tidak dilafazhkan. Karena tidaklah mungkin melafazhkan niat tersebut jika harus
bersamaan dengan ucapan takbir. Apalagi menurut beliau niat itu juga tidak boleh mendahului
takbir dan tidak pula setelah takbir.
Al-Imam Taqiyudin Abubakar bin Muhammad al-Husaini al-Hisni asy-Syafi’i, seorang ulama
besar madzhab Syafi’i, di dalam Kifayatul Akhyar berkata,”
ِ ْك َع ِن األَ ْك ِل َوال ُّشر
Xِِْ ب َو
الْج َماع ال يصح ُ النِّيَةُ َوا ِإل ْم َسا:َوفَ َرائِضُ الص َّْو ِم َخ ْم َسةُ أَ ْشيَا َء
وال يشترط النطق بها بال خالفX، ومحلها القلب،الصوم إال بالنية للخبر
“Dan kewajiban-kewajiban orang yang akan berpuasa ada lima: niat, menahan diri dari makan,
minum, dan bersetubuh. Dan tidak sah puasa kecuali dengan disertai niat, berdasarkan hadits-
hadits yang shahih. Niat letaknya di dalam hati dan tidak disyaratkan untuk dilafazhkan dengan
lisan, tanpa ada khilaf di kalangan para ulama.” ( Kifayatul Akhyar : Kitab Shiyam)
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafii v, penulis Fathul Qarib
berkata,”
أَ َح ُدهَا (النِّيَةُ) َو ِه َي قَصْ ُد ال َّش ْي ِء ُم ْقتَ َرنا ً بِفِ ْعلِ ِه َو صالَ ِة ثَ َمانِيَةَ َع ْش َر َر ْكنًا
َّ ان ال ُ َواَرْ َك
ُُم َحلُّهَا ْالقَ ْلب
“Rukun-rukun shalat itu ada 18 (delapan belas), yaitu : Niat, yaitu memaksudkan sesuatu
bersamaan dengan perbuatannya. Sedangkan tempat niat itu berada di dalam hati.” (Fathul
Qarib : Kitab Ahkamus Shalat)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Menurut kesepakatan para imam kaum muslimin,
tempat niat itu di hati bukan lisan di dalam semua masalah ibadah, baik bersuci, shalat, zakat,
puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena niat adalah kesengajaan dan
kesungguhan di dalam hati.” (Majmu’atu ar-Rasaaili al-Kubra, I/243)
Demikianlah para ulama ahlussunnah yang masyhur tidak ada yang mengajarkan bentuk lafazh
niat itu dan sekiranya lafazh niat itu ada dari Rasulullah pastilah telah ada pada kitab-kitab
mereka. Hal ini karena masalah niat adalah perkara yang penting dan menjadi syarat keabsahan
suatu ibadah, jadi niscaya mereka tidak akan meluputkannya.
2 comments:
Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu'afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang HUKUM
MELAFADZKAN NIAT...insyaAllah mencerahkan..
http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/
Berikut petikannya...
"Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau
sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut ibadah
Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji, Umroh, berkurban,
Kaffaroh,I’tikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada orangtua, shilaturrahim,
membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut manfaatnya juga
dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang lain ataukah tidak, juga tidak membedakan
apakah ibadah tersebut dilakukan langsung setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya
mubah selama lafadz niatnya tidak bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan
mengajari, menguatkan niat, menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua
kepentingan yang syar’i. Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri,
bukan menjadi syarat sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak
dilakukan terus menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu
ibadah orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah,
syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi
kemubahannya."
Post a Comment
My Blog List
tebuireng.org
wakromedia
Addarticle
Bromo mountain
Buku tamu
Didukung Oleh
Translate
Share It
Dukung Aku Dengan Join Di Sini Ya....!!
TEBUIRENG
Semarak Milad, Makhis Madrasah Mu’allimin Tebuireng Adakan Lomba
Lalaran - Tuesday, November 25, 2014 - abror
Addarticle
Bromo mountain - Tuesday, December 20, 2011 - aad
Meyda Sefira a Beautiful Indonesia Artist - Monday, October 24, 2011 - aad
Komodo Island an Indonesia Tourism Place - Friday, October 21, 2011 - aad
Metallica the Legend - Friday, October 21, 2011 - aad
Iwan Fals - Monday, October 17, 2011 - aad
Popular Posts
Pengertian dan Sejarah Aqiqah Aqiqah menurut bahasa artinya memotong. Dinamakan
aqiqah (yang dipotong), karena dipotongnya leher binatang d...
Sholat Rowatib adalah sholat sunah yang dikerjakan mengiringi sholat fardhu (sebelum
atau sesudahnya). Jika dikerjakan sebelumnya dinamakan ...
Apa sich pengertian Targhib wa Tarhib ? Bagaimana jika dipakai sebagai metode
pembelajaran ? Targhib adalah janji yang disertai bujukan da...
Sholat Dhuha adalah sholat yang dilakukan pada waktu matahari sedang naik. Waktunya
dimulai ketika matahari telah naik kira-kira satu tomba...
Share
Subscribe
Follow Us!
Be Our Fan
Didukung oleh
Labels
Agama Anti Virus Aqiqah Artikel Software Bloging Budaya Business Cari Uang Dalil Dasar
Filsafat Free Download Games Hukum Humor Ibadah Internet Kesehatan Keutamaan shalat
rawatib Kitab Klasik Komputer Otomotif Pemrograman Pendidikan Pendidikan Islam PTC
Pustaka artikel Renungan Resensi Buku Sejarah Kebudayaan Islam Shalat Shalat Dhuha Shalat
Rawatib Shalat Sunnah Skripsi Skripsi Pendidikan Software Sosial Syari'ah
Facebook Contact
As'ad Al-tabi'in Al-Andalasi
Hitats
Ini Yang Anda Cari
Visitors
Free counters
Copyright © 2011 As'ad Collection | Powered by Blogger
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes |
cna certification
Downloaded from Free Templates
Home
Contact
About
Privacy
Pasang Iklan
My Life is My Spirit
Blogging
Tools HTML
Tips VB.Net
Seputar Kesehatan
Al-Quran
Video
Foto
Youtube
Jam Sekarang
Histats
Kategori
Al-Islam (20)
Basis Data (5)
Bisnis Online (1)
Internet (5)
Kesehatan (26)
Komputer (10)
Software (10)
Tips Java (4)
Tips VB.Net (6)
Tutorial Blog (17)
Terima Kasih Atas Kunjungan Anda!
6
Hukum Melafadzkan Niat Shalat Menurut NU Dan
Muhammadiyah
Baik Nahdhatul Ulama maupun Muhammadiyah sepakat bahwa niat dalam shalat
merupakan bagian dari rukun. Perbedaan pendapat hanya muncul dalam menjawab
pertanyaan, apakah niat shalat perlu dilafadzkan atau tidak, dan apa hukumnya
melafadzkan niat dalam shalat?
Melafadzkan niat shalat ketika menjelang takbiratul ihram sudah menjadi kebiasaan
warga NU. Lafadl niat shalat diawali dengan kalimah “ushalli” yang artinya “aku berniat
melakukan shalat”. Kalau yang akan dikerjakan shalat shubuh maka lafadh niatnya
yang lengkap menjadi “Ushalli fardla subhi rak’ataini mustaqbilal kiblati ada’an lillahi
ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat fardlu subuh dzuhur dua empat raka’at dengan
menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata karena Allah SWT).
Hukum melafadzkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ikhram, demikian Cholil
Nafis, Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU dalam situs resmi NU, menurut
kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab
Imam Ahmad bin Hambal (Hanabilah) adalah sunnah. Hal ini dikarena melafadzkan
niat sebelum takbir dapat membantu untuk mengingatkan hati sehingga membuat
seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan shalatnya.
Melafadhkan niat shalat merupakan wujud dari kehati-hatian. Sebab, jika seseorang
salah dalam melafadzkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafadzkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap
adalah niatnya bukan lafadz niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat
‘Ashar) bukanlah niat, ia hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak
mempengaruhi niat dalam hati sepanjang niatnya itu masih benar.
Berkaitan dengan pendapat yang tidak menganjurkan pelafadzan niat shalat, Cholil
Nafis tak lupa melengkapi argumennya. Ia menambahkan, bahwa menurut pengikut
mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah (Hanafiyah)
melafadzkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali bagi orang
yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan
Malikiyah, bahwa melafadzkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan
(khilaful aula), tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafadzkan
niat sebelum shalat adalah sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa
melafadzkan niat shalat sebelum takbir adalah bid’ah, namun dianggap baik (istihsan)
melafadzkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-was.
Dasar atau argumen NU selanjutnya adalah hadist Rasul tentang pelafadzan niat dalam
suatu ibadah wajib yang pernah dikerjakan oleh Rasulullah saw pada saat
melaksanakan ibadah haji.
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku
sengaja mengerjakan umrah dan haji”." (HR. Muslim).
Memang, ketika Nabi Muhammad SAW melafadzkan niat itu bukan untuk ibadah
shalat, bukan pula wudhu, dan puasa, melaikan ibadah haji. Namun demikian, menurut
Cholil Nafis, apa yang dikerjakan Nabi tersebut tidak berarti selain haji. Apa yang
dilakukan Nabi bisa diqiyaskan atau dianalogikan, yakni disunnahkannya pelafadzan
niat shalat.
Tempatnya niat ada di hati, NU tidak menampik hal ini. Namun demikian, masih
menurut Cholil Nafis, untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat hal yaitu :
1. Islam
2. Berakal sehat (tamyiz)
3. Mengetahui sesuatu yang diniatkan
4. Tidak ada sesuatu yang merusak niat.
Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok ukur
tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal.
Pertama, untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti
membedakan orang yang beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid.
Kedua, untuk membedakan antara suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti
membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat ‘Ashar. Karena melafadzkan niat
sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah dilakukan
Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafadzkan niat adalah sunnah.
Sebagian ahli tafsir mengatakan bahwa perkataan yang baik itu ialah kalimat tauhid
yaitu Laa ilaa ha illallaah; dan ada pula yang mengatakan zikir kepada Allah dan ada
pula yang mengatakan semua perkataan yang baik yang diucapkan karena Allah.
Perkataan baik dan amal yang baik itu dinaikkan untuk diterima dan diberi-Nya pahala.
Melafadzkan niat dengan lisan adalah suatu kebaikan yang akan dicatat amalnya oleh
Malaikan pencacat amal kebaikan. Segala perkataan hamba Allah yang baik akan
diterima oleh Allah (Allah akan menerima dan meridhoi amalan tersebut) termasuk
ucapan lafadz niat melakukan amal shalih (niat shalat, haji, wudhu, puasa dsb).
Hadits-Hadist lain yang menjadi dasar talaffudz binniyah adalah sebagai berikut:
Diriwayatkan dari Aisyah Ummul Mukminin ra. Beliau berkata: “Pada suatu hari
Rasulullah Saw. Berkata kepadaku : “Wahai aisyah, apakah ada sesuatu yang
dimakan? Aisyah Rha. menjawab: “Wahai Rasulullah, tidak ada pada kami sesuatu
pun”. Mendengar itu Rasulullah Saw. bersabda : “Kalau begitu hari ini aku puasa”. (HR.
Muslim).
Hadits ini mununjukan bahwa Rasulullah Saw. mengucapkan niat atau talafudz bin
niyyah ketika beliau hendak berpuasa sunnat.
Hadits Riwayat Bukhari dari Umar ra. Bahwa beliau mendengar Rasulullah bersabda
ketika tengah berada di Wadi Aqiq: ”Shalatlah engkau di lembah yang penuh berkah ini
dan ucapkanlah “sengaja aku umrah di dalam haji”. (Hadis Sahih riwayat Imam-Bukhari)
Diriwayatkan dari Jabir, beliau berkata: “Aku pernah shalat Idul Adha bersama
Rasulullah Saw., maka ketika beliau hendak pulang dibawakanlah beliau seekor
kambing lalu beliau menyembelihnya sambil berkata: “Dengan nama Allah, Allah Maha
Besar, Ya Allah, inilah kurban dariku dan dari orang-orang yang tidak sempat berkurban
di antara ummatku.” (HR Ahmad, Abu Dawud dan Turmudzi)
2. Muhammadiyah
"Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihat aku melakukan shalat". (HR. al-Bukhari).
Hadist tersebut menjadi salah satu dasar bagi Muhammadiyah bahwa niat dalam shalat
tidak perlu dilafadzkan. Karena memang tidak ada dalil yang memerintahkan atau tidak
ada peristiwa di mana para shahabat Nabi melihhat Nabi Muhammad melafadzkan niat
dalam shalat.
Sejauh ini, Himpunan Putusan Tarjih Muhammadiyah (HPT) tidak menyebutkan secara
rinci berkaitan dengan alasan-alasan Muhammadiyah tidak melafadzkan niat shalat.
Dalam HPT hanya disebutkan bahwa “Bila kamu hendak menjalankan shalat, maka
bacalah: "Allahu Akbar", dengan ikhlas niatmu karena Allah seraya mengangkat kedua
belah tanganmu sejurus bahumu, mensejajarkan ibu jarimu pada daun telingamu.”
Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
at-Tirmidzi, yang artinya:
"Kunci (pembuka) shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan penghabisannya salam".
Juga hadis shahih dari Ibnu Majah yang dishahihkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ibnu
Hibban dari hadis Abi Humaid Sa'idi bahwa Rasulullah, jika shalat ia menghadap ke
Qiblat dan mengangkat kedua belah tangannya dengan membaca "Allahu Akbar".
Niat sholat itu sesuatu yang wajib hukumnya dalam shalat menurut Muhammadiyah.
Hal ini didasaarkan firman Allah surah al-Bayyinah 6:
"Dan tidaklah mereka diperintah melainkan supaya menyembah kepada Allah dengan
ikhlas kepadaNya daam menjalankan Agama".(Q.S. AL-Bayyinah: 6)
“Sesungguhnya (sahnya) amal itu tergantung kepada niat." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Hal ini pernah ditegaskan oleh Syakir Jamaluddin, Ketua Lembaga Pengkajian dan
Pengembangan Islam (LPPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) saat
memberikan materi “Ibadah Praktis Perspektif Muhammadiyah” pada acara Baitul
Arqam Karyawan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Syakir Jamaluddin
mengatakan, bid’ah (penyimpangan) yang terjadi di masyarakat mengenai tata cara
shalat Nabi Muhammad SAW, yaitu mengenai niat. Niat itu, kata Syakir, di dalam hati
secara ikhlas karena Allah semata. Niat adalah perbuatan hati, bukan perbuatan mulut
sehingga tidak perlu diucapkan. Ia melanjutkan, tidak ada satu pun hadis, baik yang
dhaif (lemah), dan sahih menjelaskan tentang adanya tuntunan melafadzkan niat ketika
hendak memulai shalat.
Selain itu, argumen lain dari tidak disunnahkannya melafadzkan niat shalat adalah,
bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam hati setiap orang, maka niat tidak perlu
diucapkan. Dia hanyalah suatu niat yang tempatnya di hati. Dan tidak ada perbedaan
dalam hal ini antara ibadah haji dan yang lainnya.
...Abdullah Az-Zubairi berpendapat, tidak cukup bagi seseorang dalam hal niat, kecuali
dengan mengumpulkan antara niat dalam hati dengan ucapan lisan, karena Imam
Syafi’i mengatakan dalam bab haji: ‘Apabila ia berniat haji atau umroh (dalam hati),
maka itu sudah cukup baginya, meski tanpa ucapan, tidak seperti sholat yang tidak sah
kecuali dengan ucapan’…. (Imam Nawawi mengatakan): “Para sahabat kami
mengatakan: Orang ini (Abdullah Az-Zubairi) telah jatuh dalam kesalahan, karena yang
dimaksud oleh Imam Syafi’i ‘ucapan dalam sholat’ adalah ucapan takbir bukan ucapan
niat....
(Imam Nawawi, Majmu’ Syarah Muhadzdzab 3/241)
Dan hal ini berarti, bahwa pendapat yang mendukung adanya pelafalan atau
pengerasan niat jatuh ke dalam derajat yang sangat lemah dan bahkan para ulama
membid’ahkannya. Hal ini dikarenakan beberapa hal, diantaranya:
Yang pertama, bahwa pendapat ini hanya disampaikan oleh satu orang, yaitu Az-
Zubairi dan kemudian diambil oleh banyak orang.
ang kedua, Az-Zubairi salah memahami perkataan Imam Syafi’i mengenai antara niat
haji dan shalat. Yang dikeraskan dalam shalat yang dimaksud adalah takbir, dan bukan
niatnya.
Yang keempat, tidak ada dalil yang bersumber dari Al-Qur’an maupun hadits Nabi yang
memerintahkan untuk melafalkan niat. Jika ada hadits-nya maka hadits itu derajatnya
dhaif (lemah). Sama sekali tidak ditemukan riwayat yang shahih mengenai anjuran
mengeraskan niat, baik itu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, para shahabat,
tabi’in, dan imam 4 madzhab. (Shalih bin Abdul Aziz bin Muhammad Alu Syaikh, Al-
Minzhar fi Katsir min al-Akhta’ asy-Sya’i’ah)
Bahkan, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma’ad dan Al-Huda An-Nabawi
menyatakan, Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri untuk shalat beliau
mengucapkan “Allahu Akbar” dan beliau tidak berkata apapun selain itu. Beliau juga
tidak melafalkan niatnya dengan keras. Beliau tidak berkata, “Saya berniat shalat
karena Allah begini dan begini sambil menghadap kiblat, empat rakaat...” (Al-Minzhar
hal. 22)
6 komentar:
[Dalam HPT juga disebutkan dalil hadis shahih yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
at-Tirmidzi, yang artinya - pembuka shalat itu wudlu, permulaannya takbir dan
penghabisannya salam".
apakah wudlu ter / masuk bagian dr sholat karena seingatku definisi umum sholat adalah
dimulai takbir d diakhiri salam.ga usah bawa2 kunci segala..wudlunya sdh 10 jam yg
lalu..
dr situ juga apakah bacaan sebelum takbir ter / masuk bag dr sholat..hayo
pencerahannya ! ..sebab selama ini aku baca usholli sekeras2nya karena belum takbir
alias blm masuk dlm sholat..hayo pencerahannya ...yg ihlas ya jangan karena ego tapi
harus karena ALLOOH SWT
Memang definisi shalat secara umum dimulai dengan takbir dan di akhiri dengan salam..
namun wudhu termasuk salah satu syarat sah nya shalat. Jadi, makna wudhu disini seperti
yang saudara sebutkan itu adalah pembuka/permulaan yang mesti terpenuhi sebelum kita
bertakbir untuk memulai shalat. Atau lebih jelasnya, perbuatan yang harus dipenuhi
sebelum kita memulai takbir. Jadi, makna wudhu tsb seolah2 di kiaskan.. kita mestinya
memahami makna tersirat yang terkandung di dalamnya..
apakah termasuk baik atau jelek jika lebih mengikuti seseorang dari pada mengikuti rosul
dan sahabatnya. saya jadi bingung karna penjelasan tdk disertai hujjah yg ilmiah dan
mengapa dianggap sunnah pdhal sunnah sendiri adalah riwayat hidup nabi. mohon
penjelasan yg lebih ilmiah atau bukti2. trimakasih
Anonim mengatakan...
Anonim mengatakan...
Selama ini orang masih belum bisa membedakan antara niat dan lafadz .
Kalau niat di Hati, klo diucapkan lafadz .
Padahal selama ini belum ada Hadist sahih yg membuktikan bahwa niat sholat pakai
Ushali . .
Poskan Komentar
About Me
Ahmad Khoiri
Adalah putra daerah kampar kiri yang sedang menuntut ilmu di Fakultas Ilmu Komputer
Universitas Muhammadiyah Riau, Pekanbaru.
Lihat profil lengkapku
Be My Friend
Pengunjung
Arsip Blog
► 2011 (15)
► 2012 (70)
▼ 2013 (20)
o ► Januari (5)
o ▼ Februari (5)
Hukum Melafadzkan Niat Shalat Menurut NU Dan Muham...
Tips Menghilangkan Bekas Jerawat Secara Alami
Tips Menghilangkan Komedo Secara Alami
Mengobati Penyakit Usus Buntu Dengan Ramuan Alami
Obat Herbal Untuk Mengatasi Mata Minus / Plus
o ► Maret (1)
o ► April (1)
o ► Juni (6)
o ► Oktober (2)
Artikel Populer
Bacaan Shalat Berdasarkan Putusan Tarjih Muhammadiyah
Hukum Melafadzkan Niat Shalat Menurut NU Dan Muhammadiyah
Tata Cara Mandi Junub Berdasarkan Hadits Shahih
Cara Membuat AutoNumber / Kode Otomatis Pada VB.Net
Tata Cara Shalat Tahajud Berdasarkan Putusan Tarjih Muhammadiyah
Menampilkan Data Dari Database Ke ComboBox
Manfaat Air Seni Untuk Mengobati Sakit Mata
Manfaat Dan Bahaya Sayur Bayam
Bacaan Sayyidul Istighfar Dan Khasiatnya
Bacaan Dzikir Setelah Shalat Fardhu
ARTIKEL TERBARU
TRANSLATE THIS PAGE
KOMENTAR TERBARU
Tanggal 25 Nov 2014 godzilla berkomentar pada cara membuat autonumber kode otomatis:
sewaktu kita buat form (klik 2x atau view code)muncul : public class form1 (dibawah ini baru
ketik p...
Tanggal 14 Nov 2014 ineke berkomentar pada load data dari database ke combobox:
terima kasih, sangat membantu
Tanggal 08 Nov 2014 Kang Fand berkomentar pada load data dari database ke combobox:
'" + CboPenerbit.SelectedValue + "' sangat membatu sekali.. terima kasih..
Tanggal 06 Nov 2014 Anonymous berkomentar pada cara agar textbox hanya bisa di input:
makasih mas...simple tapi sangat membantu
Tanggal 30 Oct 2014 Anonymous berkomentar pada cara membuat autonumber kode otomatis:
gajelas jadi nya
Tanggal 30 Oct 2014 Roeri Achmad berkomentar pada bacaan shalat menurut majelis tarjih:
doa ruku' n sujud itu dibaca brapa kali ?
Tanggal 27 Oct 2014 hacker berkomentar pada mengatasi sinyal wi fi yang lemah:
percayalah sma sofware2 gitu2ansemau gak berjalan seperti yang kita inginkan.... saya udah
pakai tap...
Tanggal 22 Oct 2014 Bernando Hutajulu berkomentar pada load data dari database ke
combobox:
da sama ds nya itu apa gan
Copyright © 2012. My Life is My Spirit - All Rights Reserved B-Seo Versi 5 by Bamz
Menu
Skip to content
Beranda
Kami
Sejarah/Manaqib
Tentang Blog Ini
Penjelasan di bawah tentang melafalkan niat sholat saya kira cukup jelas. Ini merupakan
kelanjutan (catatan lain) dari dua buah artikel tentang niat sholat terdahulu.
Sebenarnya tentang melafalkan atau mengucapkan niat, misalnya membaca “Ushalli fardla
dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala” (Saya berniat melakukan shalat
fardlu dzuhur empat rakaat dengan menghadap kiblat dan tepat pada waktunya semata-mata
karena Allah SWT) pada menjelang takbiratul ihram dalam shalat dzuhur adalah sesuatu yang
sudah menjadi kebiasaan di kalangan warga NU (nahdliyin). Tetapi sepertinya menjadi asing dan
sesuatu yang disoal oleh sebagian kalangan yang tidak sepemahaman dengan warga nahdliyin.
Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan
para pengikut mazhab Imam Syafi’iy (Syafi’iyah) dan pengikut mazhab Imam Ahmad bin
Hambal (Hanabilah) adalah sunnah, karena melafalkan niat sebelum takbir dapat membantu
untuk mengingatkan hati sehingga membuat seseorang lebih khusyu’ dalam melaksanakan
shalatnya.
Jika seseorang salah dalam melafalkan niat sehingga tidak sesuai dengan niatnya, seperti
melafalkan niat shalat ‘Ashar tetapi niatnya shalat Dzuhur, maka yang dianggap adalah niatnya
bukan lafal niatnya. Sebab apa yang diucapkan oleh mulut itu (shalat ‘Ashar) bukanlah niat, ia
hanya membantu mengingatkan hati. Salah ucap tidak mempengaruhi niat dalam hati sepanjang
niatnya itu masih benar.
Menurut pengikut mazhab Imam Malik (Malikiyah) dan pengikut Imam Abu Hanifah
(Hanafiyah) bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbiratul ihram tidak disyari’atkan kecuali
bagi orang yang terkena penyakit was-was (peragu terhadap niatnya sendiri). Menurut penjelasan
Malikiyah, bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir menyalahi keutamaan (khilaful aula),
tetapi bagi orang yang terkena penyakit was-was hukum melafalkan niat sebelum shalat adalah
sunnah. Sedangkan penjelasan al Hanafiyah bahwa melafalkan niat shalat sebelum takbir adalah
bid’ah, namun dianggap baik (istihsan) melafalkan niat bagi orang yang terkena penyakit was-
was.
Sebenarnya tentang melafalkan niat dalam suatu ibadah wajib pernah dilakukan oleh Rasulullah
saw pada saat melaksanakan ibadah haji.
ً صلَّى هللا ُ َعلَ ْي ِه َو َسلّ َم يَقُوْ ُل لَبَّ ْيكَ ُع ْم َرةً َو َح ًّجا ُ ض َي هللا ُ َع ْنهُ قَا َل َس ِمع
َ ِْت َرسُوْ َل هللا ٍ َع َْن أَن
ِ س َر
“Dari Anas r.a. berkata: Saya mendengar Rasullah saw mengucapkan, “Labbaika, aku sengaja
mengerjakan umrah dan haji”.” (HR. Muslim).
Memang ketika Nabi Muhammad SAW melafalkan niat itu dalam menjalankan ibadah haji,
bukan shalat, wudlu’ atau ibadah puasa, tetapi tidak berarti selain haji tidak bisa diqiyaskan atau
dianalogikan sama sekali atau ditutup sama sekali untuk melafalkan niat.
Memang tempatnya niat ada di hati, tetapi untuk sahnya niat dalam ibadah itu disyaratkan empat
hal, yaitu Islam, berakal sehat (tamyiz), mengetahui sesuatu yang diniatkan dan tidak ada sesuatu
yang merusak niat. Syarat yang nomor tiga (mengetahui sesuatu yang diniatkan) menjadi tolok
ukur tentang diwajibkannya niat. Menurut ulama fiqh, niat diwajibkan dalam dua hal. Pertama,
untuk membedakan antara ibadah dengan kebiasaan (adat), seperti membedakan orang yang
beri’tikaf di masjid dengan orang yang beristirah di masjid. Kedua, untuk membedakan antara
suatu ibadah dengan ibadah lainnya, seperti membedakan antara shalat Dzuhur dan shalat
‘Ashar.
Karena melafalkan niat sebelum shalat tidak termasuk dalam dua kategori tersebut tetapi pernah
dilakukan Nabi Muhammad dalam ibadah hajinya, maka hukum melafalkan niat adalah sunnah.
Imam Ramli mengatakan:
ُف َم ْن أَوْ َجبَه ْ َُّويُ ْندَبُ الن
ِ ْاس َولِ ْل ُخرُو
ِ َج ِم ْن ِخال ِ ب وَأِل َنَّهُ أَ ْب َع ُد َع ِن
ِ الوس َْو َ اع َد اللِّ َسانُ القَ ْل
ِ ق بِال َم ْن ِويْ قُبَ ْي َل التَّ ْكبِي ِْر لِيُ َس
ُ ط
“Disunnahkan melafalkan niat menjelang takbir (shalat) agar mulut dapat membantu (kekhusyu’-
an) hati, agar terhindar dari gangguan hati dank arena menghindar dari perbedaan pendapat yang
mewajibkan melafalkan niat”. (Nihayatul Muhtaj, juz I,: 437)
Jadi, fungsi melafalkan niat adalah untuk mengingatkan hati agar lebih siap dalam melaksanakan
shalat sehingga dapat mendorong pada kekhusyu’an. Karena melafalkan niat sebelum shalat
hukumnya sunnah, maka jika dikerjakan dapat pahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa.
Adapun memfitnah, bertentangan dan perpecahan antar umat Islam karena masalah hukum
sunnah adalah menyalahi syri’at Allah SWT. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: http://www.nu.or.id/
Fatwa-fatwa para ulama Syafi’iyah yang berkaitan dengan talaffudh bin niyyah ini:
− Imam Nawawi dalam kitab Al-Minhaj menyebutkan: “Niat itu tempatnya didalam hati dan
disunnatkan melafazkannya sesaat sebelum takbir”.
− Ibnu Hajar Al-Haitami dalam Tuhfatul Muhtaj II/12 : “Dan disunnatkan melafazkan apa yang
diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan dapat menolong hati dan juga untuk keluar
dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang mewajibkan ini) adalah syaz
yakni menyimpang. Kesunnatan ini juga karena qiyas terhadap adanya pelafazan dalam niat
haji”.
− Imam Ramli dalam Nihayatul Muhtaj jilid 1/437 : “Dan disunnatkan melafazkan apa yang
diniatkan sesaat menjelang takbir agar supaya lisan menolong hati dan karena pelafazan itu dapat
menjauhkan dari was-was dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkan”.
………………………….
Pendapat para ulama madzhab yang empat dalam masalah talaffudh bin niyyah.
− Dr.Wahbah Zuhaili dalam kitabnya Al-Fighul Islami jilid 1/767 menyebutkan:“Disunnatkan
melafazkan niat menurutjumhur ulama selain madzhab Maliki”.
Dalam kitab yang sama jilid 1/214, menurut madzhab Maliki diterangkan bahwa: “Yang utama
adalah tidak melafazkan niat kecuali bagi orang yang was-was, maka disunatkanlah baginya
melafazkan agar hilang daripadanya keragu-raguan”.
Dengan keterangan diatas dapat kita simpulkan: Sunnat melafazkan niat shalat atau
membaca ushalli sesaat menjelang takbiratul ihram dengan tujuan agar lidah menolong hati atau
agar terhindar dari was-was (kebimbangan dan keragu-raguan).
Fatwa semacam ini adalah fatwa dalam madzhab Hanafi, Syafi’i dan madzhab Hambali. Adapun
madzhab Maliki, maka disunnatkan bagi yang berpenyakit was-was saja.
Sumber: http://sanggarislamik.blogspot.com/2011/04/bab-7imembaca-ushalli-sebelum.html
Terkait
Navigasi pos
« Rasulullah SAW & Pengemis Yahudi
Potret Galaksi Terjauh dan Tertua »
1. orgawam berkata:
Dari saidina umar r.a, beliau berkata : Saya dengan RasuluLLah s.a.w berkata di Wadi
Aqiq : datang tadi malam pesuruh dari Tuhanku, ia memerintahkan supaya kita solat di
lembah yang diberi berkah ini, dan ucapkanlah “Ini Umrah dalam Haji” (Hadith Sahih
riwayat Imam-Bukhari, Sahih BUkhari I hal. 189 – Fathul Bari Juz IV hal 135)
Imam Ibnu Hajar mengatakan dalam Tuhfah, bahawa Usolli ini diqiyaskan kepada haji.
Qiyas adalah salah satu sumber hukum agama.
Di dalam hadith Muslim :
Dari Anas bin Malik, beliau berkata : Saya dengar RasuluLLah s.a.w mengucapkan
“Labbaika, Aku sengaja mengerjakan umrah dan Haji (Hadith riwayat Muslim – Syarah
Muslim Juz VIII, hal 216)
Di dalam “Minhaj” satu kitab fiqih induk dalam Madhzhab Syafi’ie. Beliau (Imam
Nawawi) menyebutkan : “Dan niat itu adalah di dalam hati. Sunnat pula
mengucapkannya sebelum Takbir” (Minhaj pada bab sifat sembahyang)
“Dan sunnat mengucapkan sesuatu yang diniatkan sebelum takbir, gunanya supaya
bacaan dapat menolong hati, dan supaya jangan terlalu jauh dari fatwa orang yang
memfatwakan wajib” (Fathul Mu’in bab Sifatthussholah, Zainuddin al Malibary)
Balas
Saudara saudaraku terlepas dari benar dan salah itu semua adalah hak dari
ALLAH SWT. kita adalah bersaudara dan saudara muslim lebih kuat dari saudara
kandung, janganlah saling menuding dan menghakimi orang lain serta
menganggap diri kita (atau kelompok kita) yg paling benar mari kita jalani saja
segala amal ibadah dengan tujuan untuk menyembah, mengabdi dan bertakwa
kepada Rabb semesta alam yg maha pemurah dan penyayang dan berbuat amal
saleh sebanyak mungkin, semua yg kalian bicarakan disini tidak akan dibahas
dihadapan Rabb kelak kecuali amal ibadah kita sendiri Wass wbr. mohon maaf
atas segala kelancangan saya
–> maaf mas.. saya berkeberatan kalau dikatakan saling menuding, saling
menyalahkan. Artikel kami adalah menampilkan dalil landasan amal kami, bukan
menyalahkan yg lain atau merasa kami paling benar.
Alangkah baiknya jika anjuran anda ini disampaikan kepada orang-orang yg
suka menuding atau menyalahkan atau mem-vonis sesat.
Balas
o mukmin berkata:
jangan berdasar pada mahzab mas, dari 4 mahzab itu aja berkata seandainya apa
yang saya tulis tidak pada hadist/tidak pernah dicontohkan oleh nabi maka apa
yang saya tulis jangan dipakai, buang saja pakailah yang lebih shohih…
pertanyaan yang muncul adalah hadist yang seperti apa yang jadi pedoman???
yang pasti hadisny harus ada isnad,matan tidak boleh lemah, nasabnya harus
sampai pada rasullullah…praktek cara sholat bisa ditemukan pada hadist
kutubussitah.
–> mas firman atau mukmin, penjelasan sudah jelas baik di artikel ataupun di
komentar. Dan perkara mengucapkan niat shalat ini bukan wajib, jadi tak ada
yang mengharuskan.
Balas
prass berkata:
alamaak…
macam ada ulama saat ini yg ilmu nya ngelebihi imam syafii sm imam
ahmad aja…sebutkan….
yg ada mungkin setapak kakinya kali yaa…
alamaak…
emang nya ikutin imam 4 mazhab,nggak ikutin rasul apa…
wawan berkata:
Walah..walah..
Jadi orang buta tapi kok ga sadar dirinya buta..
wawan berkata:
mas Firman,
Kutubus Sitah trjemahan yg udah diedit&dipalsu ya mas..
Hehehe..
kitab editan kok dibikin pegangan mas..
mahsun berkata:
sudaaaah, jangan sok pandai, betapa hebat kalian…? bahas masalah agama
dgn ilmu yg masih dangkal, malah jadi bid’ah, tanya ajalah sama alim
‘ulama. sudah pada sholat belum kalian…? sana sholat duluuu…
okyfile berkata:
2. sandhi berkata:
NIAT
ب ِ ع َْن ُع َم َر ْب ِن ْالخَطَّاa قَا َل قَا َل النَّبِ ُّيb َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى هَّللا ِ َو َرسُولِ ِه ْ فَ َم ْن َكان،ئ َما نَ َوى ٍ َوإِنَّ َما ِال ْم ِر،” ْال َع َم ُل بِالنِّيَّ ِة
هَّللا َ َ
َ فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى َما ه،ُصيبُهَا أ ِو ا ْم َرأ ٍة يَ ْن ِك ُحهَا
فَ ِهجْ َرتُهُ إِلَى ِ َو َرسُولِ ِهb َاج َر إِلَ ْي ِه ِ َت ِهجْ َرتُهُ إِلَى ُد ْنيَا ي ْ َو َم ْن َكان. ”
Dari Umar bin al-Khattab a,,,,,,,,, , ia berkata,” Rasulullah b bersabda,” Suatu perbuatan
itu tergantung pada niatnya. Dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan
apa yang dia niatkan. Maka siapa yang hijrahnya karena (ingin mendapatkan keridhaan)
Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada (keridhaan) Allah dan RasulNya. Dan siapa
yang hijrahnya karena dunia yang dikehendakinya atau wanita yang ingin dinikahinya
maka hijrahnya kembali kepada apa yang dia niatkan.” (Shahih Bukhari dalam Kitab an-
Nikah no. 5126, Kitab al-Iman no. 54, & Kitab al-Iman wa an-Nudzur no. 6771; Shahih
Muslim dalam Kitab al-Imarah no.1907; Sunan at-Tirmidzi dalam Kitab Fadhail al-Jihad
no.1748; Sunan Abu Dawud dalam Kitab ath-Thalaq no.2203).
Niat itu di dalam hati dan tidak dilafazhkan karena memang tidak ada hadits yang
menyebutkan shighat lafazh niat tersebut kecuali seperti hadits perintah Rasulullah b
untuk melafazhkan basmalah ketika akan berwudhu. Berkata Imam Asy-Syafi’i v di
dalam kitab Al-Umm :
Maksud perkataan ini adalah ketika seseorang akan mengerjakan sesuatu, ia harus
tanamkan niat di dalam dirinya dengan kesungguhan bersamaan dengan pelaksanaan
pekerjaan itu. Hal serupa juga dikatakan Imam asy-Syafi’i v ketika membahas perkara
niat shalat, juga di kitab Al-Umm :
ِ ِير َوالَ تَجْ ِزي ِه النِّيَّةُ إالَّ أَ ْن تَ ُكونَ َم َع التَّ ْكب
) – ُير الَ تَتَقَ َّد ُم التَّ ْكبِي َر َوالَ تَ ُكونُ بَ ْع َده ِ ِقال الشافعي ( َوالنِّيَّةُ الَ تَقُو ُم َمقَا َم التَّ ْكب
)( باب النية في الصالة األم كتاب الصالة
”Dan niat itu tidak bisa menggantikan takbir dan tidak sah niat itu kecuali dilakukan
bersamaan dengan takbir. Tidak mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.” (Al-
Umm : Kitab Shalat : Bab Niat di dalam Shalat )
Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i v ini bahwa niat itu adanya di
dalam hati dan tidak dilafazhkan. Karena tidaklah mungkin melafazhkan niat tersebut jika
harus bersamaan dengan ucapan takbir. Apalagi menurut beliau v niat itu juga tidak boleh
mendahului takbir dan tidak pula setelah takbir.
Al-Imam Taqiyudin Abubakar bin Muhammad al-Husaini al-Hisni asy-Syafi’i v, seorang
ulama besar madzhab Syafi’i, di dalam Kifayatul Akhyar berkata,”
(اع ِ ْك ع َِن األَ ْك ِل َوال ُّشر
Xِِْ ب َو
ِ الْج َم ِ النِّيَةُ َو: ومحلها ) َوفَ َرائِضُ الصَّوْ ِم َخ ْم َسةُ أَ ْشيَا َء،ال يصح الصوم إال بالنية للخبر
ُ اإل ْم َسا
وال يشترط النطق بها بال خالف،القلب
“Dan kewajiban-kewajiban orang yang akan berpuasa ada lima: niat, menahan diri dari
makan, minum, dan bersetubuh. Dan tidak sah puasa kecuali dengan disertai niat,
berdasarkan hadits-hadits yang shahih. Niat letaknya di dalam hati dan tidak disyaratkan
untuk dilafazhkan dengan lisan, tanpa ada khilaf di kalangan para ulama.” ( Kifayatul
Akhyar : Kitab Shiyam)
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafii v, penulis Fathul
Qarib berkata,”
(صالَ ِة ثَ َمانِيَةَ َع ْش َر َر ْكنًا َ ُأَ َح ُدهَا (النِّيَةُ) َو ِه َي قَصْ ُد ال َّش ْي ِء ُم ْقتَ َرنا ً بِفِ ْعلِ ِه َو ُم َح ُّلهَا ْالقَ ْلب
َّ )واَرْ كَانُ ال
“Rukun-rukun shalat itu ada 18 (delapan belas), yaitu : Niat, yaitu memaksudkan sesuatu
bersamaan dengan perbuatannya. Sedangkan tempat niat itu berada di dalam hati.”
(Fathul Qarib : Kitab Ahkamus Shalat)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah v berkata, “Menurut kesepakatan para imam kaum
muslimin, tempat niat itu di hati bukan lisan di dalam semua masalah ibadah, baik
bersuci, shalat, zakat, puasa, haji, memerdekakan budak, berjihad dan lainnya. Karena
niat adalah kesengajaan dan kesungguhan di dalam hati.” (Majmu’atu ar-Rasaaili al-
Kubra, I/243)
Demikianlah para ulama ahlussunnah yang masyhur tidak ada yang mengajarkan bentuk
lafazh niat itu dan sekiranya lafazh niat itu ada dari Rasulullah b pastilah telah ada pada
kitab-kitab mereka. Hal ini karena masalah niat adalah perkara yang penting dan menjadi
syarat keabsahan suatu ibadah, jadi niscaya mereka tidak akan meluputkannya.
Wallahu’alam.
–> Mas .. diskusilah dengan baik. Saya tak tahu, apa motivasi anda mengirim naskah
copy paste ini sampai dua kali. Lihat d sini. Jawaban saya masih sama seperti yg
kemarin di link depan itu.
Alhamdulillah dalil-dalil anda memperkuat pula pendapat kami. Setuju bahwa niat itu
letaknya berada di hati, bukan lesan. Ucapan niat dilakukan untuk membantu
menetapkan niat di hati. Demikianlah pendapat-pendapat para ulama yang saya ketahui.
Ucapan lafadz niat dilakukan sebelum takbir, tidak bersama-sama takbir. Itu artinya
sebelum sholat.. bukankah kita bebas melakukan apapun sebelum (yg berarti di luar)
sholat. Lalu .. apa salahnya jika melafadzkan niat ketika akan sholat. Dgn demikian
bersamaan dengan takbiratul ikhram, niat di hati telah menetap mantab sesuai dgn
lafadz niat yg baru saja diucapkan.
Maka dari itu dapat dipahami dari ucapan Imam asy-Syafi’i v ini bahwa niat itu
adanya di dalam hati dan tidak dilafalkan. ………………
Pada kenyataannya dalam madzab syafii lafadz niat itu disunnahkan, karena membantu
menetapkan hati. Simaklah kembali kata2 gus Mus ini, (beliau adalah salah seorang
ulama bermadzab Syafii, sesepuh NU, yang tinggal di Rembang, Jawa Tengah)
Niat itu memang tempatnya di hati. Kalau hanya ucapan Usholli fardlo dzuhri
dan seterusnya saja itu namanya bukan niat.
Gunanya untuk menolong agar hati kita itu ingat mensahajakan, sebab manusia
itu tempatnya lupa. Apalagi di dalam niat itu, kita harus Ta’ridh dan Ta’yin.
Untuk ingat mensahajakan sholat berikut ta’ridh dan Ta’yin adalah tidak mudah.
Balas
o okta15 berkata:
saya orang bodoh yg gak ngerti isi kitab-kitab yg masyhur. tapi kalau dicerna
betul-betul, lebih masuk akal paparan orgawam dibanding sandhi
Balas
o wawan berkata:
betul mas Okta, makanya belajar.. (haha, kaya saya udah belajar aja..)
tapi nyari kitabnya yg original ya, jangan yg udah diedit/ dipalsu Wahabi..
terus kalo bisa satu mazhab dulu aja, misalnya Syafii, jangan kaya Wahabi yg
bukan Syafii tapi membahas2 mazhab syafii, pake kaca mata minus buat baca
koran (ya terang aja ngga nyambung..
sibuk ngurusin mazhab orang, sedangkan mazhabnya sendiri yg nyebutin Allah
duduk di Arsy, Allah duduk di Kursi, Allah naik turun langit bumi, malah ga
diurusi..
Balas
o ari berkata:
Assalamu’alaikum..
maaf mas, tp bukannya Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam tidak pernah
mencontohkan untuk membaca kalimat Ushalli fardla,dst.. sebelum sholat, trus
logikanya kalo kita melakukannya berarti kita mengada-ada/menambah-nambahi..
–> wangalaikumsalam wrwb. tidak menam bah-, karena di luar shalat. Tidal Ada
contoh (di luar shalat) bukan berarti dilarang.
Balas
3. Abu Ahmad berkata:
Ibadah itu mesti melihat Contoh (petunjuk Rasululloh), baik itu ibadah Haji, Sholat
maupun Ibadah-ibadah lainnya.
Adakah Rasululloh mencontohkan Sholat dg melafalkan niat ? dari mana kalimat (dari
mana tekstual lafal) yg seperti ini “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal
kiblati ada’an lillahi ta’ala” ??? adakah dalilnya bahwa Rasulullah mencontohkan dg
kalimat-kalimat seperti itu ketika mau sholat ?
Jika tidak ada contoh dari Rasululloh, mengapa juga harus di diambil qias dari niat Rasul
ketika Haji ? sedangkan sholat sudah jelas syarat dan rukunnya. (silahkan baca kitab
shifatul sholat Nabi yg ditulis oleh Syaich Nasirudin Al-Albani).
Sekiranya benar melafalkan niat itu bisa membantu menguatkan hati, apakah Antum
dalam setiap mau melakukan sesuatu selalu melafalkan niat ? seperti Antum mau buang
Hajat, Antum mau Pergi Ke Kantor atau Antum mau naik Bus, adakal antum melafalkan
“Ushalli … aku berniat mau Buang Hajat, atau aku berniat mau Naik Bus karena Alloh” ?
Benarkah ketika Antum mau buang hajat tetapi tidak melafalkan niatnya, lantas Antum
tidak berhasil mengeluarkan kotoran, meskipun Antum sudah jongkok diatas closed ?
Apakah Antum ketika berangkat kekantor tanpa melafalkan niat, kemudian Antum nyasar
kemana-mana ?
Tentu tidak !!! karena hati Antumlah yg yg mengendalikan langkah kaki Antum,
sehingga segala yg Antum kerjakan dan lakukan bisa terlaksana, dan Alloh maha tahu
apa-apa yg antum niatkan dalam hati antum meskipun tidak diucapkan sekalipun (Alloh
maha mendengar dan tidak tuli).
Wallohua’lam
–> Ibadah harus selalu dengan contoh Nabi saw?? Yang kalau tak ada contoh Nabi,
maka masuk kategori bid’ah (sesat) yg wajib dilempar ke neraka? Bagaimana dengan
adzan, baginda Rasul saw tak pernah melakukan adzan selama hidupnya. Bagaimana
dengan ibadah2 umum (ghairu mahdah)?
Dalam madzab Syafi’i, adanya lafadz niat ini adalah Qiyas dari haji. Apakah anda
menolak dalil Qiyas? Jika iyaa … maka selesailah diskusi. Karena pijakan berbeda.
Saya tak pakai madzab albani .. banyak kerancuan dalam pengambilan hukum di sana.
Silakan anda pakai madzab albani jika anda mantab. Namun anda tak berhak menuduh2
bid’ah kepada madzab lain, karena kami pun punya hujah yg kuat.
Ketika ada orang ke mana2 mengucapkan niatnya … biarlah … bagi saya tak masalah.
Setiap orang punya argumen-nya sendiri2 dalam tindakannya.
Balas
Duh Abu Ahmad, antum ini kayaknya cuma belajar di satu tempat, kayaknya
antum dan taqlid buta sama ulama antum. Coba antum pikirkan, Sekaliber Imam 4
Mahzab itu ada gak yang lebih canggih setelah kehidupan beliau, termasuk Syekh
Albani dan Syek Baz, Antum kira mereka Imam 4 Mahzab menetapkan suatu
hukum hanya karena nafsu mereka, kalau begitu antum bodoh banget. Ilmu dan
kepahaman mereka lebih tinggi dan pemahaman mereka tentang bid’ah lebih
dalam dari seluruh ulama setelah mereka. Yang antum harus perhatikan Solat itu
adalah ibadah yang dimulai dari takbir dan diakhiri salam, begitulah yang Nabi
SAW contohkan, jadi sebelum takbir apapun yang kita lakukan tanpa melihat
contoh Nabi SAW itu Mubah, karena itu diluar Sholat, misalnya melafazkan niat.
Yang gak bid’ah itu kalau lafaz niat itu diwajibkan. Gitu aja kok repot.
Balas
Assyafiiayah berkata:
marzuki berkata:
ya saya sangat senang sekali penjelasan ABI TAUHID yang sama sekali
tdk ada perubahan masalah ibada yg sudah terbiasa di lakukan oleh ummat
muslim yg ada di negara kita, sebagai mana yg tlah di ajarkan kpd kita
oleh orang2 sebelum kita, tetapi saya sangat kecewa dgn perkataan ABU
AHMAD seolah olah dia itu mengangapnya para wali para ulama lebih
bodoh dari dia(abu ahmad jadi sok pahlawan kesiangan) sebetulnya klo
dia merasah muslim dan merasa yg paling pinter,ko ga memilih kesatuan
dan persatuan sesamah muslim, justru malah sebaliknya,malah sepertinya
berusaha mati2an untuk bisa memecah belahkan ummat islam ,ABU
AHMAD tlong dong klo emang kamu ga sepaham dengan kami
.beribadalah sesuai dgn amalan2 yang kamu yakini benarnya,,,jangan
merubah bangunan yng sudah kokoh,,intinya,,klo amalan yg kami yakini
ini merutmu salah dan berdosa biarkan kami yg menjalani, hentikan
sifatmu yg membuat orang menjadi gelap mata
DODO berkata:
dalam tata bhasa Arab,,, kata “kul” apa dulu mas?? “yang ngaku2
Pengikut Imam Syafi’i”
Dan……yang perlu Anda garis bawahi bahwa bid’ah itu kaitannya hanya
dengan masalah ibadah mas bro…. bukan masalah yang lain,,,apalagi
tentang cara berpakaian kita…..
klo “bodoh” jangan di pelihara mas!!! domba aja pelihara biar gemuk!!!
wkwkwkwkwkwkwkwkwk……………………………………..
–> berpakaian itu ibadah mas.. itu menutup aurat. Sehingga cara
berpakaian pun menjadi ibadah. Maka cara berpakaian anda yg dengan
batik itu bid’ah.. tidak pernah dicontohkan Nabi saw.
hakim berkata:
bisa dibuktikan karna para imam itu tidak ada yang membikin bid’ah
kalau ada anda bisa buktikan lalu kita bahas
bid’ah apa yang dibikin imam safi’i atau imam nawawi dll
beri contoh satu saja sebagai tolak ukur
kalao ulama berbedah pendapat maka dalil kita bukan ulama’ tapi,,,,,
ithe fanaja’tuum bisyaian faruduhu ilallah werasuluhu kurang lebih begitu
dan coment disini selamanya tidak akan bisa ada kesepakatan
karena tidak ada moderator
semuanya merasa pendapatnya paling benar tapi hati2 semua apa yang kita
ucapkan nanti diminta pertanggung jawaban di hadapan ALLOH
tidak ada yang gratis semuanya berisiko
pastikan dulu apa yang anda katakan harus ada dalil dan bukti
jadi kalaupun salah kita sudah berusaha mengikuti dalil dan contoh dari
nabi
o syaikhu berkata:
batik bidah….. ada2 aja…..trus yang kama raitumuni usalli… udah pernah
melihat nabi ta
Balas
ternyata penulis blog ini tidak lebih bodoh dari saya,penulis tidak paham arti kata
” contoh Nabi ” ,bukankah dlm ilmu mustolah hadist kata contoh nabi termasuk
perbuatan beliau, ucapan beliau,dan juga persetujuan beliau trhadap perbuatan
para sahabatnya,adzan,nabi mgkin tidak mengucapkannya tapi mimpi sahabat
trsbut di acc oleh beliau,ini namanya contoh nabi juga loh mas…dan buat Abu
Tauhid, bagaimana kalau ucapan anda dibalik arah ke anda? anda sudah
mempelajari semua madzhab?sekali lagi saya katakan blog ini isinya orang-orang
pinter dlm tanda kutip……
–> mungkin anda benar.. bahwa pemilik blog tidak lebih pandai dari anda. Saya
masih perlu banyak belajar. Terima kasih. Kalau definisi “contoh Nabi” seperti
yg anda kemukakan, tentu tuduhan bid’ah sesat tidak akan sebanyak sekarang.
Tapi pernah di blog ini juga, penuduh bid’ah tdk berkutik ketika ada hal-hal baru
oleh sahabat tanpa contoh Nabi. Maka definisi diubah, harus ada contoh Nabi
dan sahabat. Kemudian, terbukti ada hal-hal baru di zaman tabi’in tanpa contoh
sahabat dan contoh Nabi. Dst. Apakah definisi-nya perlu diubah lagi?
Sedang ada pembahasan tentang “contoh Nabi” yang diungkap oleh mas Imam.
Silakan simak. Ada di sini,
http://orgawam.wordpress.com/2010/12/11/2581/#comment-7727
Balas
hakim berkata:
setuju banget
ana apa yang antum katakan
Lafas-lafas (lafal-lafal) sholat sudah ada contohnya dari Rasululloh, sejak dari Takbirotul
ichrom sampai Salam.
Sedangkan Rasululloh tidak pernah mengajarkan lafal niat sholat seperti yg Antum
sebutkan diatas.
Wallohua’lam bisawab
–> Rupanya anda tak membedakan antara niat dan mengucapkan lafadz niat. Lafadz
niat (sunnah) diucapkan sebelum takbiratul ikhram. Artinya sebelum shalat. Bukankah
kita bebas melakukan apa-pun sebelum shalat.
Sedangkan niat sendiri bersamaan dengan takbir. Dalam madzab Syafi’i, lafadz niat
dihukumi sunnat karena untuk memantabkan hati ketika beniat saat takbiratul ikhram.
Wallahu a’lam.
Balas
o Assyafiiayah berkata:
yah kami hanya berharap tambahan pahala aja dengan mengerjakan sunah, seperti
melafalzkan niat.
kalau ada yang tidak melafalkan niat, mungkin merasa pahalanya udah banyak,
jadi nggak perlu mengerjakan yang sunnah.
Balas
o hakim berkata:
sejuta imam safi’ipun kalau ngak ada dalam setandar diats itu tetap bukan sunnah
dalil itu alqur’an dan hadist bukan imam
ini perkataan yang ngawur
Balas
Dengan memohon petunjuk dari Allah Subhanahu wa Ta’ala , kita akan membahas
masalah niat dalam ibadah.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Sesungguhnya semua amalan itu hanyalah dengan niat, dan bagi setiap orang
mendapatkan apa yang telah ia niatkan.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Dari hadits di atas ada beberapa poin yang perlu dibahas, di antaranya:
Sedangkan makna adalah hasil atau balasan yang diperoleh seseorang dari amalnya
tergantung pada niat. Apakah amalan tersebut dilakukan secara ikhlas hanya karena
Allah, atau karena riya’, sum’ah, atau untuk tujuan dunia lainnya.
Walaupun seseorang mengucapkan lafadz niat dengan lisannya tetapi hatinya tertuju
kepada selain Allah, maka yang akan dihitung adalah yang tersirat dalam hatinya.
Hadits tersebut di atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa niat yang ikhlas adalah
salah satu syarat diterimanya amalan shaleh.
Bila ada yang mengatakan bahwa niat itu adalah salah satu rukun dari rukun-rukun shalat,
maka harus dimulai ketika mulai mengangkat tangan pada takbiratul ihram sampai pada
kata akbar , sebab rukun suatu amalan harus berada di dalam amalannya.
Yang benar, niat adalah syarat semua amalan, bukan rukun dalam setiap amalan.
Contoh dalam shalat. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada seorang
lelaki yang rusak shalatnya: “Jika kamu bangkit hendak shalat, maka baguskanlah
wudhu’mu, kemudian menghadaplah ke kiblat lalu bertakbirlah, selanjutnya bacalah yang
termudah bagimu dari Al-Quran.”(HR. Al-Bukhari).
Hadits ini sangat jelas menunjukkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memerintahkan untuk memulai shalat dengan perintah “bertakbirlah”, bukan dengan
“berniatlah” , dan tidak juga “bertakbirlah dan sertakan niat dalam takbirmu”.
Tidak. Karena, kalimat “Jika kamu bangkit hendak shalat” sudah menunjukkan suatu
maksud keinginan untuk shalat. Itulah yang disebut niat.
Kalaulah memang niat adalah rukun shalat yang membutuhkan lafadz khusus, niscaya
Rasulullah n meng-ajarkannya kepada para sahabat. Seperti halnya bacaan tasyahud
(tahiyyat). Ibnu Mas’ud radhiyallah ‘anhu berkata: “Rasulullah mengajariku tasyahud dan
tanganku berada di antara kedua tangan beliau, sebagaimana beliau mengajariku Surat
Al-Qur’an.”
Malam hari adalah sejak matahari terbenam sampai terbit fajar, dalam tenggang waktu
sebelum terbit fajar itulah niat di’azamkan. Sedangkan puasa baru dimulai setelah terbit
fajar, jelas tidak berkumpul dengan niat.. Jadi niat tersebut bukanlah rukun dari puasa,
tetapi syarat puasa. Dalam hadits di atas, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama
sekali tidak memerintahkan atau mengerjakan “Nawaitu shouma ghodin…”
Sungguh sangat disayangkan adanya orang yang dihinggapi rasa was-was. Mereka
terlihat sering sekali dalam shalat mengulang-ulang takbiratul ihram, bahkan sampai
imam telah ruku’ pun ia belum selesai bertakbiratul ihram. Alasannya, karena niat belum
masuk. Astaghfirullaah. Sedemikian sulitkah Islam ini?
Ada juga orang, pada malam Ramadhan telah bermaksud puasa untuk esok hari. Bahkan
ia bangun dan makan sahur. Tetapi esoknya ia membatalkan puasanya, karena ia
menganggap puasanya itu tidak sah, karena ia lupa, tidak mengucapkan “Nawaitu
shouma ghodin…” pada malam hari tadi. Subhanallah. Ini hanya tipu daya yang
datangnya dari bisikan syetan.
Apakah sudah seperti ini kondisi shalat dan puasa yang dilakukan oleh sebagian
Muslimin? Dengan mengidap kadar was-was yang tidak pernah tatacaranya dicontohkan
oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat radhiyallah ‘anhuma.
Munculnya pendapat bahwa shalat harus melafalkan niat dengan lisan adalah dari
kesalahan Abdullah bin Az-Zubairy dalam memahami ucapan Imam As-Syafi’i: “Jika
seseorang berniat haji atau umrah maka sudah cukup, walaupun tidak dilafalkan. Berbeda
dengan shalat, tidak sah kecuali dengan ucapan.” Abdullah Az-Zubairy mengatakan
bahwa Imam As-Syafi’i mewajibkan pelafalan niat dalam shalat.
Imam An-Nawawi berkata: “Para sahabat kami berkata: “Telah tersalah orang ini
(Abdullah Az-Zubairy), bukanlah yang dimaksud Imam As-Syafi’i dengan “ucapan” itu
niat, tetapi yang dimaksud adalah takbir.”
Jadi, menisbatkan “Ushalli” kepada Imam As-Syafi’i itu tidaklah benar. Kalau memang
ada ulama yang berpendapat seperti itu, maka seharusnya perkataan (sabda) dan amalan
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib didahulukan, ketimbang qaul ulama.
Semua nama yang mencakup perbuatan maupun ucapan yang dicintai dan diridhai Allah,
baik yang dhahir maupun yang batin, disebut dengan ibadah. Jadi, ibadah itu tidak hanya
terbatas pada amalan-amalan fiqhiyyah saja. Tetapi, mengapa orang yang
“menyunnahkan” atau bahkan “mewajibkan” untuk melafalkan niat serta mengajarkan
lafal-lafal tertentu, ternyata hanya terbatas pada wudhu’, tayam-mum, mandi, shalat,
zakat, puasa, dan haji. Sedangkan di sana masih banyak lagi amalan ibadah lainnya,
seperti membuang duri di jalan, memberi makan fakir miskin, menghormati tamu dan
tetangga dan lain-lain. Namun, mengapa mereka tidak pernah mengajarkan lafal niatnya?
Kita tidak dibebani untuk membuat syari’at, hanya saja kita diperintahkan untuk
mengikuti semua yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya. Itulah yang termudah
bagi kita.
Marilah kita tingkatkan amalan perbuatan kita dengan menjalankan Sunnah Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan meng-ikhlaskan niat untuk mengharapkan
pertemuan dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Maraji’:
Al-Qaulul Mubin fi Akhth’ail Mushallin, Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud
Salman.
Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muham-mad bin Shalih Al-’Utsaimin.
Sifat Shaum Nabi, Syaikh Ali Hasan dan Salim bin ‘Id Al-Hilaly.
Sifat Shalat Nabi, Syaikh Al-Albany.
Manhajul Anbiya’ fi Tazkiyatin Nufus, Salim bin ‘Id Al-Hilaly.
sumber: http://www.alsofwah.or.id
–> Rupanya anda tak membedakan antara niat dan mengucapkan lafadz niat. Lafadz
niat (sunnah) diucapkan sebelum takbiratul ikhram. Dalilnya adalah Qiyas dari niat
haji. Sedangkan niat sendiri bersamaan dengan takbir (lihat #2). Dalam madzab Syafi’i,
lafadz niat dihukumi sunnat karena untuk memantabkan hati ketika beniat saat takbiratul
ikhram.
Siapa pula yg mengharuskan melafadzkan niat shalat. Anda tahu kan beda antara sunnat
dengan wajib.
Rukun shalat atau syarat sahnya shalat (dll) adalah definisi para ulama, untuk
memudahkan umat mempelajari fiqh2 agama ini. Kanjeng Rasul saw sendiri setahu saya
tak mendefinisikannya (koreksi jika salah). Ketika anda mengatakan itu salah dan yg
benar adalah niat merupakan syarat shalat, referensi apa yg anda pakai? Alasan anda
(contoh hadits) itupun tak menunjukkannya.
2. Coba anda lihat syarat2 (sahnya) shalat yg lain, semua harus beres sebelum shalat
dilakukan. Dalam kitab2 fikih madzab Syafi’i hal syarat2 sahnya shalat jelas disebutkan.
Adakah itu disebut pula di dalam madzab albani (misal, di “Sifat Shalat Nabi”-nya)?
Jika tidak ada .. ini masalah tersendiri ttg madzab ini.
3. Inilah yg ganjil. Ketika anda mengatakan niat adalah syarat, yg berarti bukan bagian
dari shalat, kenapa pula anda ribut ketika orang mengucapkan lafadz niat?
Wallahu a’lam.
Balas
6. anam berkata:
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Alhamdudillah kita puasa sudah 3 hari, mudah-mudahan amal kita bisa diterima Allah
swt. Amiin.
Ikutan nimbrung Mas.
Kalau masalah niat sudah tidak usah diperdebatkan lagi, semua Mazhab sudah
memasukkan sebagai Rukun dan fardhu sholat.
Yang perlu mendapat perhatian khusus adalah bacaan usholli ….. dst.
Kalau artikel Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masa’il PBNU sudah lama saya baca,saya
juga bingung mengenai pernyataan” Adapun hukum melafalkan niat shalat pada saat
menjelang takbiratul ihram menurut kesepakatan para pengikut mazhab Imam Syafi’iy
(Syafi’iyah)….” padahal imam Syafi’i tidak mengajarkan seperti itu ( lihat Fiqih Lima
Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah). Bahkan hal itu dikategorikan ke dalam
sepuluh perbuatan Bid’ah, karena tidak ada nash shahih yang menceritakan dengan sanad
yang shahih, dan tidak pula dengan sanad dha’if (lemah), dan tidak pula dengan sanad
hasan, dari salah seorang tabi’in, dan tidak pula dari para imam empat mazhab.Kalau
masalah qiyas dari niatnya umrah atau haji yah terserah yang mengqiyas aja.
–> Wa’alaikum salam wrwb. Siapakah yg lebih mengetahui pendapat imam Syafi’i.
Tentu saja anak cucu muridnya. Itulah para ulama pengikut madzab-nya. Jika anda
serius ingin belajar madzab Sayfi’i, belajarlah ke para ulama Syafiiyah. Dan NU adalah
sebuah organisasi yang (hampir) semua ulamanya bermadzab Syafi’i.
Ketika ada orang yg tidak bermadzab Syafi’i memegang (atau berkomentar ttg) kitab
beliau, maka jadinya yaaa … cem-macem menurut tafsir mereka sendiri. Pendapat2
mereka tak bisa dinisbahkan sebagai pendapat imam Syafi’i, betapapun kerasnya klaim
mereka.
Balas
o Assyafiiayah berkata:
belajar mazdhab Syafii yuk, maka akan jelas semua. belajar aja nggak pernah kok
menjelekkan imam syafii.
belajarlah dari kitab salaf, yang masih murni, jgn belejar dari terjemahan.
Jika kami pengikut ajaran syafii, melakukan kesunahan dengn melafalkan niat,
ngapain anda menyalahkan kami penganut madzhab syafii. kami ingin tambahn
pahal. Anda kan nggak mau pahala, makanya nggak melafalkan niat. lagian
melafalkan niat tidak memmbatalkan sholat.
Orang yang menuduh kafir atau sesat orang lain, sesungguhnya dia itulah yang
kafir atau sesat sendiri.
Balas
7. anam berkata:
Assalamu’alaikum Wr.Wb
Terimakasih atas penjelasannya mas, i don’t know abaout cem macem, cause i want to
sharing with you. Setelah tahu alasannya ya cukup bilang Wallahu a’lam.
Berarti selama ini saya salah mengerti mengenai aturan bermazhab, saya kira kalau Imam
Syafi’i menyatakan ” Saya lebih menyukai apabila adzan jumat dikumandangkan ketika
imam masjid masuk dan duduk di atas mimbar ……….” (Al Umm I: 172-173) lalu
pengikutnya ikut imamnya dengan melaksanakan hanya satu adzan di sholat jumat, atau
ketika Imam Syafi’i menyatakan bahwa bacaan Al-Quran itu pahalanya tidak bisa
dihadiakan , lalu pengikutnya tidak menghadiahkan. Ternyata pengikut(muridnya) bisa
mengubah fatwa Imamnya ya?. Mohon ma’af atas ketidak tahuan saya.
Wallahu a’lam.
–> Wa’alaikum salam wrwb. Saya tak tahu kalau ada murid mengubah fatwa imam-nya.
Yang saya pahami tidak seperti itu. Dan saya pun masih belajar.
Ini seperti memasukkan motor Honda ke bengkel Suzuki. Karena yg dikuasai hanyalah
mesin suzuki, maka apapun motornya .. yaa di-stel model suzuki. Jalankah motornya?
yaa.. (mungkin bisa) jalan, tapi sebenarnya itu motor tak beres. (Mungkin ilustrasi ni tak
tepat benar).
Jika anda pakai al Umm terjemahan, setahuku al Umm diterjemahkan bukan oleh
seorang yg bermadzab Syafii. Pengantarnya pun oleh syaikh bin Baz, yg jelas2 tak
bermadzab syafi’i. Banyak pendapat syaikh bin Baz ini yg tidak pass (bahkan
bertentangan) dengan pendapat ulama2 Syafiiyah. Maka mengenai hal2 yg meragukan/
bertentangan/ stelan yg tak pas (seperti kasus-kasus yg anda sebut di atas), lebih baik
anda tanyakan langsung ke ulama-ulama madzab syafi’i. Mungkin di sini bisa
membantu.
Wallahu a’lam.
Balas
o ulilamri berkata:
Januari 18, 2010 pukul 16:57
Orang yang tidak mengerti mazhab seperti si Anam dan Abu Ahmad tidak usah
bicara soal mazhab. Dalam suatu mazhab itu ada mujtahid. Mujtahid ada beberapa
tingkatannya:
Berikut ini adalah sedikit penjelasan dari kriteria para mujtahid dari beberapa
levelnya.
Mujtahid mutlak atau mujtahid mutlak mustaqil adalah seseorang yang mampu
membuat kaidah sendiri dalam membuat kesimpulan-kesimpulan hukum fiqih.
Atau ketika berfatwa terhadap suatu masalah, mereka menggunakan kaidah-
kaidah yang diciptakan sendiri sebagai hasil dari pemahaman mereka yang
mendalam terhadap Al-Quran dan Sunnah.
Yang termasuk mujtahid mutlak hanyalah 4 imam mazhab yang besar, yaitu Al-
Imam Abu Hanifah (80-150 H), Al-Malik bin Anas bin Abi Amir Al-Ashbahi (93
– 179 H), Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (150 – 204 H) dan Al-Imam Ahmad
bin Hanbal Asy Syaibani (164 – 241 H).
Selebihnya adalah para mujtahid yang punya hak untuk berijtihad, namun
levelnya ada di bawahnya. Mereka sering disebut dengan istilah mujtahid mazhab
atau istilah-istilah lainnya.
Yang termasuk di antara mereka adalah para murid imam madzhab sepertiAbu
Yusuf, Muhammad, Zufar dari kalangan madzhab Al-Hanafiyah. Ibnu Al-Qasim,
Asyhab, dan Asad Ibnu Furat dari kalangan Madzab Al-Malikiyah. Al-Buwaithi,
Al-Muzanni dari kalangan madzhab Asy-Syafi’iyah. Abu Bakar Al-Atsram, Abu
Bakar Al-Marwadzi dari kalangan Madzhab Al-Hanabilah.
Walau pun kadang suka berbeda dalam beberapa hal dengan gurunya, akan tetapi
mereka masih mengikuti gurunya dalam kaidah-kaidah pokoknya saja.
Dua tingkatan mujtahid di atas sudah tidak ada pada zaman sekarang.
c. Mujtahid Muqayyad
Mereka adalah para ulama yang berijtihad dalam masalah-masalah yang tidak ada
nashnya (keterangannya) dalam kitab-kitab madzhab, seperti Al-Hashafi, Al-
Thahawi, Al- Kurhi, Al-Halwani, Al-Srakhosi, Al-Bazdawi dan Qadli Khan dari
kalangan madzhab Al-Hanafiyah. Al-Abhari, Ibnu Abi Zaid Al-Qairawani dari
kalangan Madzab Al-Malikiyah. Abi Ishaq Al-Syiraji, Al-Marwadzi, Muhammad
bin Jarir, Abi Nashr, Ibnu Khuzaimah dari kalangan Madzhab Al- Syafi’iyah. Al-
Qadli Abu Ya’la, Al-Qadli Abi Ali bin Abi Musa dari kalangan Madzhab Al-
Hanabilah.
Mereka semua disebut para imam al-wujuh, karena mereka dapat meyimpulkan
suatu hukum yang tidak ada nashnya dalam kitab madzhab mereka, dinamakan
wajhan dalam madzhab (satu versi dalam madzhab) atau satu pendapat dalam
madzhab. Mereka masih berpegang kepada madzhab bukan kepada imamnya
(gurunya), hal ini tersebar dalam dua madzhab yaitu, Al-Syafi’iyah dan Al-
Hanabilah.
d. Mujtahid Tarjih
Mereka adalah para ulama yang mampu mentarjih (menguatkan) salah satu
pendapat dari satu imam madzhab dari pendapat-pendapat madzhab imam lain,
atau dapat mentarjih pendapat salah satu imam madzhab dari pendapat para
muridnya atau pendapat imam lainnya. Jadi mereka hanya mengambil satu
riwayat dari beberapa riwayat saja.
e. Mujtahid Fatwa
Mereka adalah para ulama yang senantiasa mengikuti salah satu madzhab,
mengambil dan memahami masalah-masalah yang sulit ataupun yang mudah,
dapat membedakan mana pendapat yang kuat dari yang lemah, mana pendapat
yang rajih dari yang marjuh.
Akan tetapi mereka lemah dalam menetapkan dalil dan mengedit dalil-dalil
qiyasnya. Seperti para imam pengarang matan-matan yang terkamuka dari
kalangan imam mutaakhir (belakangan), seperti pengarang Al-Kanzu (Kanzul
Ummal), pengarang Al-Durur Mukhtar, pengarang Majma’ Al-Anhar dari
kalangan Al-Hanafiyah, Al-Ramli dan Ibnu Hajar dari kalangan Al-Syafi’iyah.
f. Muqollid
Adalah mereka yang tidak mampu melakukan hal-hal di atas, seperti
membedakan mana yang kuat mana yang lemah, ia hanya bisa mengikuti
pendapat-pendapat ulama yang ada.
kepada akhi orgawam lebih baik tidak usah melayani anam dan abu ahmad, dua
orang wahabi yang sudah diracuni oleh nashiruddin al-bani ahli hadits yang tidak
konsekwen.
Balas
Yang saya lakukan semasa solat berjemaah bersama anak dan isteri:
selepas Qamat, saya mengucapkan lafadz niat sembahyang (eg. untuk sembahyang
asar)jelas didengar oleh anak & isteri, ini untuk mempastikan anak & isteri saya telah
menghadirkan hati & mindanya untuk fokus pada sembahyang (asar) itu. MAKLUM
SAHAJA MANUSIA ITU MUDAH LALAI & LEKA, JADI KITA INGATKAN AGAR
HATI DAN MINDANYA TURUT HADIR BERSAMA-SAMA JASADNYA YANG
SUDAH SIAP SEDIA BERDIRI TEGAK DI BELAKANG SAYA.
Anak akan menyahut (mengulangi bacaan lafaz niat itu dengan betul dan tertib), dan saya
mengengar dia sudah siap sedia untuk bersolat (asar) berimam.
Bila yakin semua mereka telah fokus pada solat, maka saya mulakan solat dengan
takbiratul ikhram + niat.
–> Wa’alaikum salam wrwb. Tips yg bagus. Semoga menjadi keluarga sejahtera
bahagia. Semoga ananda menjadi anak sholih sholihah. Amien.
Balas
9. hendy_kuroha berkata:
kalo emang yg diwajibkan adalah niatnya (bukan lafalnya), berarti pake bahasa indonesia
jg boleh ya? ga perlu harus pake “Ushalli fardla dzuhri arba’a raka’atin mustaqbilal
kiblati ada’an lillahi ta’ala?
terima kasih
–> silakan
Balas
Balas
DODO berkata:
ini masalah dunia akherat mas,,masalah yang urgen dan sangat mendasar,,,
sebab salat adalah ibadah pokok Umat Islam yang menjadi tiang agama…
jangan sampai salat kita terjerat virus-virus bid’ah yang dapat
menjerumuskan kita ke neraka-Nya…
maka masalah ini harus dituntaskan sampai jelas!! biar nanti terbukti mana
yang tukang bid’ah dan mana yang Ahlussunnah waljamaa’ah…
sebenarnya masalah ini sudah sangat JELAS dipaparkan oleh para Imam
yang 4…
cuma saja orang-orang picik dan bodoh itu belum membuka hati nya
untuk menerima hidayatuttaufiq dari Allah….
terkutuklah wahai tukang-tukang bid’ah………….
Allahu a’lam…..
hamid berkata:
katanya umat Islam akan terpecah jadi 72 golong, mungkin salah satu golongan di sini
adalah adanya golongan yang berpaling dari contoh rasulullah dan para sahabat yaitu
golongan yang suka membuat aturan dan menjadikannya syariat dalam ibadah padahal
tidak dicontohkan oleh rasul dan sahabat. Mungkin juga golongan aneh ini menganggap
dirinya lebih pintar dari Rasulullah sehingga menambah-nambahkan dang mengurangkan
apa-apa yang dari rasulullah dan sahabat.
Balas
o mustangin berkata:
Januari 8, 2010 pukul 03:27
Balas
ulilamri berkata:
uut berkata:
http://belasalafy.wordpress.com/2009/12/13/download-ebook-
menyingkap-mitos-wahhabi-terjemahan-dari-%E2%80%9Cthe-wahhabi-
myth%E2%80%9D-yang-fenomenal/
Assyafiiayah berkata:
hanya wahabi, PKS, dll, yang selalu menyalahkan NU, pengikut Syafii.
Manusia yang dhaif terkadang lupa untuk beriman bahwa Allah Maha Mengetahui.
Allah mengetahui manusia yang dhaif ada yang tata cara sholatnya tidak sesuai perintah
Allah, misal yang mengucapkan sholawat dengan tambahan Sayyidina.
Itu atas perintah siapa?
Allah tidak memerlukan ucapan niat manusia yang dhaif karena Allah mengetahui
rahasia dan yang lebih tersembunyi.
–> Tentang sayyidina, ada catatan kami tersendiri. Itu adalah ucapan santun kami
kepada baginda sayidina Nabi Muhammad saw.
Benar kata anda bahwa Allah tidak memerlukan ucapan niat manusia. Allah bahkan tak
butuh ibadah manusia. Manusia lah yang membutuhkan-Nya. Ucapan niat diperlukan
untuk menetapkan hati dalam berniat (shalat). Kalau anda tak butuh itu .. silakan saja.
Share pengalaman dalam hal lain. Dalam setiap mandi, ada rekan yang membiasakan
diri berwudlu. Dulu awalnya selalu dengan niat. Karena bertahun-tahun dilakukan dan
telah menjadi kebiasaan, maka otomatis dalam mandi pasti ada gerakan wudlu. Ketika
segalanya telah menjadi reflek, maka niat kadang terlupakan. Syah-kah
gerakan/basuhan wudlu yang hanya gerakan reflek dari mandi tanpa niat? Tidak saya
kira. Maka dalam hal ini mengucapkan niat menjadi penting sebagai pengingat bahwa
yang akan dilakukan adalah berwudlu, bukan reflek mandi lagi.
Semoga anda tak membid’ah-sesatkan contoh wudlu ketika/sesudah mandi ini, hanya
karena baginda sayidina Muhammad saw tak memerintahkan/mencontohkannya.
Balas
o ulilamri berkata:
–> mas .. setahuku .. bagi wahabi, merayakan 1 Januari, Valentin Day dll
dengan berbagai acara pesta-nya itu bukan bid’ah, karena itu bukan ibadah ..
katanya itu kegiatan duniawi.
Kalau melewatkan tahun baru dll dengan dzikir .. Allah Allah Allah dst .. baru
dikatakan oleh mereka sebagai bid’ah sesat, karena katanya itu ibadah dan Nabi
saw tak mencontohkannya.
Balas
uut berkata:
http://situs.assunnah.web.id/?s=Valentin+Day
http://belasalafy.wordpress.com/category/wahabi/
bantahan kajian bs Download
Terorisme, Wahabi dan Jihad dan subhad yang lain di
http://kajian.net/bagian/1-kajian/15-terorisme-wahabi-jihad.html
begini lah pny ilmu tnpa d dasari keimanan yg kuat, mslh ny cukup simple kl suatu
ibadah tdk ad cnth dr rosulullah yaa jgn d tiru mski itu baik.. jgn d otak-atik kyk bani
israel aj/yahudi
Balas
Bismillahirrahmanirrahiem..
tiada habisnya kita berdebat masalah Ushalli & Nawaitu,padahal Jawabannya sangat-
Sangat simple,saran aku datang aja ke Arab Saudi lalu tanyakan perkara tersebut kepada
Syaikh yang berwewenang.
kutipan aku : “Banyak pendapat syaikh bin Baz ini yg tidak pass (bahkan bertentangan)
dengan pendapat ulama2 Syafiiyah.
bantahan :
Syaikh Abdul bin Abdullah bin Baaz…
** tahu gak kalau Beliau itu adalah Kepala Direktorat Jenderal Fatwa, Riset, Da’wah,
Bimbingan Islam, dan MUFTI besar kerajaan Saudi Arabia….???
** tahu gak…kalau Beliau itu Jauuuh lebih Paham daripada anda….bahkan jauuuuh lebih
paham daripada ulama-ulama madzab syafi’i….???
maaf sebelumnya..
–> maaf .. tampak anda ta’asub dan bertaqlid buta pada syaikh Ibn Baz.
Munkin anda perlu menyimak sejarah Arab (Saudi). Duluu .. abad yang lalu sebelum era
wahabi, ulama-ulama di tanah hijaz (Makkah dan Madinah) bebas hidup dan
mengajarkan ilmunya, termasuk ulama-ulama madzab syaifi’iyah. Zaini Dahlan, syaikh
Nawawi al Bantani, syaikh Ahmad Khatib .. mereka adalah contoh ulama syafiiyah yang
hidup di era menjelang kedatangan kedatangan wahabi. Setelah kaum wahabi
menguasai tanah hijaz, banyak ulama dibunuh dan/atau menyingkir dari sana. Silakan
simak sejarah.
Dan .. ulama itu tidak hanya dari Arab Saudi saja. Ulama-ulama syafiiyah pun banyak,
dan ilmunya tak berada di bawah syaikh ibn baz (misalnya)
Balas
Bismillahirrahmanirrahiem..
Ashhaabus-Sunan dari ‘Irbadl bin Sariyyah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam,
bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup
setelahku, maka kelak ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu
hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin
yang mendapatkan hidayah. Maka berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah ia
dengan gigi geraham. Jauhilah segala perkara yangbaru, karena setiap perkara yang baru
itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.
Masalah Ibadah gak boleh Di Qias-Qias Pak…!! karna Ibadah itu tidak ada tambahannya
dan tidak aa kurangnya (kurasa bapak pun tahu….!!! ) yang boleh di Qias-Qiaskan hanya
urusa Dunia,karna urusan dunia selalu berubah-ubah dan selalu muncul yang baru
( kurasa bapak pun tahu….!!! )
maaf sebelumnya..
taffadal..
–> mohon maaf juga … fatwa madzab boleh diamalkan karena pasti ada dalilnya. Dan
Qiyas termasuk dalil yang sah. Uraian ada di-blog ini juga.
Maaf.. anda nggak pakai Qiyas, anda nanti zakat fitrah pakai apa mas? Beras/jagung ..
itu berarti anda beribadah dengan dalil Qiyas.
wallahu a’lam.
Balas
o hakim berkata:
buat admin
untuk zakat itu bukan kiyas
tapi melihat makanan pokok penduduk setempat
kenapa kalo dikiyas ukuranya berbedah
sedangkan
onta,sapi,dikiyas dengan kerbau kok ukuranya sama walaupun harganya berbeda
karna kerbau bukan makanan pokok suatu suku atau negara
tapi kerbau adalah sejenis dengan sapi ini namanya kiyas
jadi kiyas anda tentang zakat adalah kiyas yang tanpa ilmu alias ngawur
tamer dan beras adalah dua tanaman yng sangat berdedah
karna kurma adalah jenis tanaman buah
dan beras adalah jenis tanaman yang bukan buah
akan tetapi kurmah pada zaman nabi itu merupakan makanan pokok
tapi di zaman sekarang kurmah sudah bukan lagi sebagai makanan pokok
di jazirah arab
sehingga anda sudah tidak akan menemukan orang berzakat dengan kurma/tamer
melaikan dengan gandum/beras
kalo suatu negara /suku makanan pokoknya mangga walaupun di penduduk itu
ada kurma maka yg harus di pakai zakat adalah mangga bukan kurma
seperti disaudi dimasa sekarang yaitu zakat dgan beras dan gandum
ini bukan kiyas
karna yg wajib itu zakatnya sedangkan makananya itu disesuaikan kebutuhan
masyarakatnya
lalu kalo ibadah yg sifatnya ubudiyah itu perlu dalil untuk mengiayaskanya
sebab seperti hajji dan sholat misalnya ini ibadah yang berbedah ngak mungkin
bisa dikiyas
contonya
dalam hajji dan umroh
niatnya labaikallah hajjan auh umrotan ini yg di ajrkan oleh nabi
lalu kalo niat sholat dikiyas
maka bunyi niatnya adalah labaikalloh sholatan maqrib ……….
lalu dari mana anda dapat NAWAITU USHOLI padahal anda berdalil dengan
kiyas
makanya oleh orang bodoh dikalangan anda niat HAJJI DAN UMROHNYA DI
ganti menjadi NAWAITU HAJJI DAN UMROH
lihat dibuku panduan golongan anda
Balas
subhanallah
seandainy saudarakita, sahabat kita, imam kita, kesayangan jg Rasul kita sayidina
Muhammad SAW. Masih hidup tentu ia akan menangis menangapi tingkah laku kita
sebagai umatnya yang saling berselisih. sesuatu masalah yg kita belum jelas
penyelesaiany kita serahkan kembali ke yang maha tahu Allah SWT. apakah yg orang
lain kerjakan itu sunah, makruh, bid’ah itu bukanlah urusan kita. Yang terpenting adalah
bahwa yg kita lakukan sudah benar boleh kita ikuti orang lain yg jauh lebih paham, tapi
jangan terlalu mengekor. Lebih jika memang penyelesaiannya tidak jelas biar Allah yg
selesaikan apa yg kita lakukan baik atau tidak. Dari Allah lah semua brasal, dan kepada
Allah lah kita kembali.
Cuma saran saya kalaulah ada perbuatan yg meragukan antara BID’AH dan WAJIB
kerjakanlah tetapi berhati-hati dan berlindunglah kepada Allah dari ke khilafan dan
kesalahan.
Tetapi kalau ada perbuatan antara SUNAH dan BID’AH alangkah lebih baiknya kita
tinggalkan, karena sunah tidak wajib di kejakan, sementara bid’ah wajib di tinggalkan.
Wahai muslim bersatulah
Nb; jika ada kesalahan dari komentar saya tolong di komplain dan di maafkan. Saya juga
manusia biasa.
syukran
Balas
kutipan…………………!!!!!!1
“maaf .. tampak anda ta’asub dan bertaqlid buta pada syaikh Ibn Baz”.
******************************************************************
berarti Kami Sesat dong….????
hay bung…anda orang hebat kenapa anda tinggal diam aja di Indonesia,,terbang aja ke
ARAB SAUDI dan sampaikan Aspirasi anda bahwa “Syaikh Abdul bin Abdullah bin
Baaz” adalah orang sesat,,& sampaikan apakah berUSHALLI & NAWAITU adalah
Syariat…???
okelah,, kita gak Usah Lihat Figurnya,tp kita lihat Hadits yg beliau bawakan gitu Lo,…
semuanya SHAHIH….???
hay bung…yang TAQLID buta tuh siapa…ANDAkah yang pengguna MADHZAB atau
KAMIkah yang pengguna HADITS SHAHIH…?????
–> duh-duh … kami tak mengatakan sesat mas. Anda taklid itu boleh, silakan saja ..
kami pun taklid kepada orang-orang/ulama-ulama yang lebih alim, yang lebih
menguasai ilmu di bidangnya, yang kami tak mengetahui atau kurang ilmunya. Namun
hendaknya janganlah memuja-muja secara berlebihan. Maaf .. komentar di atas adalah
indikasi demikian.
Dalam berargumen, pakailah dalil-dalil dari ulama/syaikh yang anda taklid-i, bukannya
malah memuja-muja syaikh tsb. Kami pun merasakan masih dangkal ilmu dan bertaklid
kepada ulama yg lebih alim. Namun dalam berhujah .. kami gunakan dalil-dalil yang
dipakai ulama-ulama panutan kami. Plus referensi2 ulama2 lain yang kuat/sahih.
Berdasar pengalaman nyata yg kami alami. Jadilah hujah lengkap yang kami tulis.
Artikel ini justru menampilkan dalil-dalil bolehnya ber-ushali atau nawaitu, untuk
menangkis tuduhan-tuduhan bid’ah sesat yang dialamatkan kepada kami. Justru kami
yang divonis sesat. Lhaa ini kok malah sekr dituduh menuduh sesat. Wahh jauh mas ..
lidah/pena/keyboard kami tak sekejam itu.
Tahukah anda.. para periwayat hadits yang sahih itu pun bermadzab di dalam fikihnya.
Imam Bukhari (w 256 H), misalnya, adalah cucu murid imam Syafi’i (w 204H), dan
tercatat di dalam sejarah sebagai ulama yg bermadzab Syafi’i. Demikian pula para
ulama periwayat hadits yang lain, mereka lahir setelah madzab yang 4 itu ada. Dan para
ulama itu pun bermadzab di dalam fikihnya.
wallahu a’lam.
maaf kl tak berkenan..
Balas
o hakim berkata:
Balas
Ashhaabus-Sunan dari ‘Irbadl bin Sariyyah, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam,
bahwasannya beliau bersabda : “Sesungguhnya siapa saja di antara kalian yang hidup
setelahku, maka kelak ia akan melihat perselisihan yang banyak. Oleh karena itu
hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin
yang mendapatkan hidayah. Maka berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah ia
dengan gigi geraham. Jauhilah segala perkara yangbaru, karena setiap perkara yang baru
itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat”.
***
Mas…Liat gak Hadits yang di bawakan oleh saudara kita diatas (Islam kaffah…) dan
saudara kita yang lain,,mereka itu ngomong sesuai Alquran & As Sunnah
Lo… ??????????
*****
kita kembali ke Masalah ushali atau nawaitu…
Mas…sangat lah jelas bahwa Nabi saw gak pernah mencontohkan perkara tersebut,,gak
ada 1 pun Hadits yg menerangkan,bahkan dalam Ayat pun gak ada,,toh kenapa masih ada
orang yang mau percaya pada P E N D A P A T,,skalipun dia Orang Sholeh tp dia bukan
Nabi,jd mengapa mesti di Ikuti,,bukankah AGAMA ini udah sempurna….?????????
Masih adakah yang belum disampaikan oleh NABI SAW,,yaitu shalli & nawaitu
tersebut..??????????????????????????????????????
**************
nb :
Alquran & As Sunnah :
Maka berpegang teguhlah kalian kepadanya dan gigitlah ia dengan gigi geraham.
Jauhilah segala perkara yang baru.
Balas
o wawan berkata:
ushalli atau nawaitu shalat dianggap bidah dan harus dimusnahkan, tapi nawaitu
haji dan umrah yg dicontohkan Nabi yg jelas2 sunnah sudahkah dikerjakan oleh
Wahabbi ini?
Balas
o Assyafiiayah berkata:
kalau anda pemegang teguh hadits, dan tidak mau yang namanya qiyas, sekarang
saya mau tanya.
anda zakat fitrah pake apa?
adakah hadits yang menjelaskan zakat fitrah pake beras?
nggak ada. paling anda juga pake beras zakatnya.
Balas
sudah jelas dan tegas bahwa tidak ada satu hadistpun yang mencontohkan bahwa niat
sholat itu harus di lafadzkan…jadi buat apa kita perdebatkan lagi. jangan berpatokan
pada 4 mahzab, berpatokanlah pada hadist nabi.
Balas
o wawan berkata:
wah wah, bakal tambah pusing lagi nih anda2 yg simpatisan wahabi, hehehe..
kapok, makanya jangan terlalu dangkal memahami agama…
Balas
babah_cong berkata:
wawan berkata:
Kmudian..
Mengenai komentar anda,telah di sanggah&dipatahkan oleh komen temen
anda sndiri para TSW..
Mereka bilang,tidak boleh ada aktivitas semisal ushalli,shalawat,dzikir
atau Quran sbelum/ssudah shalat, bid’ah katanya..
Jadi,anda adalah pendukung bid’ah sesat juga versi TSW,temen anda
sndiri..
Ga pduli sblum masuk waktu shalat atau ssudah,pokoknya bid’ah sesat
katanya..
kemudian..
saya setuju kita harus mngutamakan shalat dulu,pertanyaan saya,
bagaimana kalo SDQ itu dilakukan sbelum masuk waktu shalat??
Begitu masuk waktu, semuanya STOP, fokus keshalat..
Mohon dijawab..
Hmm..
saya punya prtanyaan lagi yg saya anggap relevan dengan pembahasan
kita.
Bagaimanakah SDQ yg dicontohkan Nabi?
Ini penting karena awalnya SDQ itu sunnah, tapi begitu ada yg
membacanya di kubur,dirumah kluarga mayit atau dirutinkan pada
malam2 trtentu misalnya malam jumat/malam senin, malah berubah jadi
haram mutlak versi TSW..
Apakah mmbaca SDQ di atas psawat/kapal jg bidah sesat haram?
apakah pekik Allahuakbar di ruang pengadilan ketika anggota klompok
diadili jg bid’ah?
wawan berkata:
wawan berkata:
statement anda :
“saya tidak pernah mnenyebut anda dan org yang sealiran dengan anda
ahli bid’ah”
komentar saya :
apa anda lupa dengan statement anda pada artikel2 selain di artikel
“melafalkan niat ini” ?
sepertinya statemen anda yg dulu2 agak bertentangan dengan “tidak
pernah mnenyebut anda dan org yang sealiran dengan anda ahli bid’ah”..
coba dicek.. koreksi saya bila salah, saya siap meralat&minta maaf
terbuka di forum ini
statement anda :
“kami berusaha dalam melakukan ibadah(sholat, puasa, zakat, haji…)untu
berpedoman pada qur’an dan hadits”
komentar saya :
mudah2an ini bukan jawaban anda atas pertanyaan saya..
dan menurut saya bukan hanya anda dan teman2 anda saja yg ingin
berpedoman pada Quran &hadis, kamipun seperti itu juga,
anda dengan penafsiran anda, kamipun menurut penafsiran, mazhab
Syafii..
marilah kita jaga sopan santun untuk tidak saling mencaci/membid’ahkan,
karena ini cuma perbedaan pemahaman/penafsiran.. adapun yg kita
tafsirkan ini sama aja, Quran&hadits yg sama yg itu2 juga..
pernyataan anda :
“makanya kami juga tidak berani menambahkan sesuatu yang tidak ada
tuntunannya dalam melaksanakan ibadah.. karana kami tidak tahu apakah
itu benar atau itu salah…”
koment saya :
mungkin seperti itu pemahaman anda/kelompok anda,silahkan adapun
kami melalui artikel2 yg disusun/dibuat admin blog ini justru berusaha
menunjukan dalil dan landasan kami, dengan dalil ini kami akhirnya
berkesimpulan bahwa kegiatan kami masih didalam bingkai Quran dan
Hadits..
kemudian..
mengenai pertanyaan2 saya, bisakah anda menjawabnya..
belum dijawab tuh…
berpatokan ya ke imam madzhab yang jelas pada hafal hadits nabi,,coba lihat tahun brapa
hidupnya!! lebih dulu hidup dari pada perawi hadits seperti imam bukhori dan
muslim,dll,jadi hadits2 tersebut ga akan keluar dari mereka imam mujtahid,,lah di
bandingkan kita,,hafal brapa hadits?? itu juga ga tau asal usulnya,,ente pake bicara ga
berpatokan segala,,emang kamu berpatokan ke siapa? kpd hadits shahih bukhori
muslim,dkk?wong imam bukhori muslim juga berpatokan kpd imam mujtahid…
Balas
Orang awam mau ngomong, sepakat gak kita kalo ane bilan niat itu rukunnya sholat. Nah
yang namanya rukun itu dilakukan didalam sholat, sedangkan syarat dilakukan diluar
sholat. Yang namanya Sholat adalah ibadah yang dilakukan yang dimulai dari takbir dan
diakhir salam. JADIIIII…… Mau kita jungkir balik, mau kita ngobrol, mau kita nguap,
atau kegiatan lainnya sebelum takbir ya ndak masalaah… gitu aja kok repot. Tapi kalo
mewajibkan lafal niat itu baru bid’ah, lah yang mewajibkan aja nggak ada kookkkkk …..!
Terus, kalo antum semua sholat tanpa niat alias langsung takbir, berarti antum ninggalin
rukun pertama sholat yaitu niat, gak sah tauuu. …… beneran. Sebab dalam mahzab
syafe;i niat itu bersamaan dengan takbir, dilakukan didalam takbir. sementara melafazkan
cuma untuk menguatkan hati, gak dilafazkan juga gak apa, gitu aja kok repot….. ?. Yang
GAJK SAH SHOLATNYA itu kalo langsung takbir tanpa mengerjakan rukun yang
pertama yaitu niat bersamaan takbir …. beneran orang sombong….?
Ana juga mau tanya, tentang perkataan Sayyidina Umar ra, pada hadits solat tarawih, “Ini
adalah sebaik-baiknya bid’ah” berarti ada bid’ah hasanah dong, ya itu termasuk
malafazkan niat mahzabnya syafe’i. Inget gak ketika Abu Bakar dan Umar ingin
membukukan Al-qur’an, merka bilang BAGAIMA MUNGKIN AKU MELAKUKAN
SESUATU YANG TIDAK PERNAH DILAKUKAN NABI SAW, Kemudian Sayyidina
Umar menjelaskan, hingga alloh membukakan hati Abu Bakar, dan setelah proses yang
cukup panjang maka dibukukan Firman Alloh Al-qur’an dalam Mushab yang kita baca
sekarang ini, Bid’ah …. gak para sahabat tadi ….? orang sombong….?
BAnyak sih yang lainnya, yang dilakukan sahabat dalam perkara ibadah, yang dilakukan
ketika ada Nabi SAW masih hidup ataupun setelah Beliau wafat, padahal mereka lebih
tau persis apa yang dikatakan bid’ah ….. gak seperti pemiira orang sombong …. yang
cuma bisa ngedenger dan tklid buta…!
Orang awam ngomong, emang goblok, tapi sumpah aja …. saya gak pernah nyesat-
nyesatin orang, karena dihati Umat Muslim yang berbeda pendapat dan amalan sama
saya ada kalimat LAAILAAHAILLALLOOH ….. yang harus saya jaga.
Astagfirulloh … mudah2 han saya dijauhi dari orang orang yang bodoh dan sombong.
Balas
21. Abi Tauhid berkata:
Balas
o iwan berkata:
Ya Alloh,,, seperti itukah ketika manusia d palingkan??? apa yg kurang jelas dari
dalil2 ini,,, smoga yang di cari adalah kebenaran,,,
Balas
o Assyafiiayah berkata:
Balas
hehe..
niat yg usholli….itu di lafalkan sblm sholatkan..?
hehe..ane malahan sebelum sholat itu sering ngerapihin peci sama sarung…kadang ya klo
gatel garuk2 dulu sdikit,gak masalah en nggak di bilang bid,ah ya…lha wong semua di
lakukan sebelum kita sholat…pie toh…
hehe…
Balas
o wawan berkata:
mas Prass, itu bid’ah… versinya Wahabi sih, tapi klo versi Syafii ya ga bid’ah..
yang lucu itu kalo ngliat mazhab Syafii pake kacamata Mazhab Wahabi, kacamata
minus dipake buat baca koran, ya jelas aja ngga ketokkk..
kalo dipaksain, ya, namanya “maksa”..
kita bisa menghitung tebal aspal rencana menggunakan metode ASHTOO 1986,
bisa juga menggunakan metode punyanya Bina marga PU, hasilnya ga jauh2 amat
(ada standar deviasi yang masih bisa ditoleransi)
tapi kalo menghitung tebal aspal menggunakan rumusnya orang pertanian IPB
bogor, ya jelas ga nyambung..
oleh karena itu, sadarlah wahai Wahabi, kacamata yg kita gunakan sudah jelas
beda, anda ga bisa memaksakan pemahaman anda sampai anda jelek sekalipun..
walaupun anda ngotot bilang Quran Hadits adalah pegangan anda, tapi anda tetap
menggunakan metode penafsiran ulama2 anda, sama seperti kami..
ada juga imam anda yg A bilang kalo imam anda yg B adalah sesat kafir (lihatlah,
sesama wahabi sendiri saling menyebut kafir)
saya ga perlu menyebut nama, toh orang2 sudah pada tau juga siapa yg dimaksud
dengan imam2 Wahab itu..
Balas
yaps…Insya Allah semoga kita di berikan keluasan Ilmu agama,dan istiqomah dalam
pelaksanaannya…amiin
Balas
amin..
maaf mas Prass, saya mau ralat bahwa kata “anda” di komentar saya itu refers to – nya ke
temen2 Wahabi, bukan ke mas Prass..
saya lupa membedakan mana koment buat mas Prass, mana yg buat temen2 Wahabi..
Balas
Hehehehehe dasar wahabi apa’ bid’ah tanpa menggali lebih dalam,jangan’ mushaf al-
quran juga bid’ah lagi.,beravo as-syafi’iah memang indah dan sejuk di hati.
Balas
–> wangalaikum salam wrwb. Ketika perbuatan itu mubah (tidak ada perintah atau
tidak ada larangan) .. maka keduanya sama saja. Perbuatan mubah itu menjadi bernilai
ibadah ketika diniatkan untuk mendekat ke pada sang Pencipta.
Klasifikasi anda tak tepat benar. Urusan dunia, urusan akhirat. Coba anda pikirkan
juga. Apakah ada urusan dunia yang bukan urusan akhirat? Apakah ada perbuatan
dunia yang tidak diminta pertanggung jawaban di akhirat nanti? Apakah ada perbuatan
mubah yang tidak bisa menjadi ibadah? Tidak ada kan ..
Balas
o mahsun berkata:
maaf numpang ngobrooool… masalah keyakinan itu adanya dalam hati, soal baca
usholli atau tdk itu urusan masing2 org yg mau sholat, diterima apa tidak
tergantung Alloh SWT,
Yang ikut madzhab Syafi’i silahkan, hanafi silahkan, maliki juga silahkan,yg ikut
madzhab lain pun silahkan.
Kalau menurut saya yang pakai Usholli sholatnya sah, yg tak pakai usholli juga
sah, yg tak sah yg tak sholat.
jgn mudah mengharamkan,….. atau menghalalkan.
ulama warotsatul’anbiya’…, tapi ‘ulama tak bisa membuat hukum, apalagi ‘ulama
sekarang.. pandanya menjual hukum. kan ‘ulamanya udah dpt warisan,
Apalagi kalian………… sok pandai…. sok tau….. sok paham Al qur’an…..sok
ngerti hadits….
udah jgn bantah lagi…. malu2 in aja.
Balas
Penjelasannya kok pake kalimat “memang tempatnya niat ada di hati”, berarti anda
sendiripun sebenarnya kurang yakin dgn artikel anda..(memang sih, memang benar dan
memang lainnya) berarti sebenarnya memang seperti itu.
Balas
Balas
Balas
o ANAK GAUL berkata:
yoi
Balas
afwan, begini,ngasih masukan aja, kalau berlarut2 dalam pertentangan begini kasihan
teman2 kita yg mencari kebenaran,malah bingung
sekedar buka pendapat. Saya bisa dikatakan salafiyah, gatau mau disebut wahhabiyah, ya
juga gapapa. Sy tidak berpatok pada aliran
InsyaAllaah saya mengikuti ahlussunnah -aamiin-
Yg jelas InsyaAllah saya menghargai pandangan imam 4 madzhab. Karena memang
mereka lebih sangat banyak ilmunya dibanding saya.
Izinkanlah saya ikut memberi masukkan
Saya hanya menyebutkan beberapa point2 karena semuanya telah disebutkan diatas.
1. Letaknya niat itu dihati,didorong keinginan yg besar untuk melaksanakannya. Semua
sepakat akan ini. Kalau ada yg bilang wahabbiy tidak sepakat akan ini,berarti anda tidak
mengetahui wahhabiy.
2. Niat lisan digunakan ‘untuk menghilangkan was was’ disini saya beri tanda kutip.
Disinilah perbedaannya. Coba, afwan, kita hargai semuanya. Saya meyakin imam syafi’i
juga imam yg lain,imam syafi’i mengajarkan niat lisan ‘untuk menghilangkan was was’.
Dan ini berbeda dengan yang terjadi sekarang. Kasihan sahabat kita yg awam sekali,
belajar islam, ia membuka buku, yg ia dapatkan “bacaan niat sholat” hingga berpatokan
niat sholat menjadi wajib dilisankan. Mereka tidak mendapat penjelasan.
Coba, afwan, bertanya pada mereka, apa hukum niat sholat? ‘WAJIB’
Maka ini menyalahi perkataan imam syafi’i kan yg mensunnahkan niat lisan.
Berbalik lg ke masalah niat lisan sebenarnya perlu atau tidak? “PERLU” untuk
menghilangkan rasa was was.
Namun,mengapa ini menjadi selalu dibaca saat hendak sholat? Bukan kah ini yg hukum
awalnya sunnah menjadi wajib? Karena dijalankan secara berkelanjutan.
Ini yg menjadi salah pemahaman.
Afwan jika dalam perkataan saya terselip hujatan yg tidak sy sengaja,saya mohon maaf
Wallahu a’lam
Balas
o Imam berkata:
Komentar Anda :
Berbalik lg ke masalah niat lisan sebenarnya perlu atau tidak? “PERLU” untuk
menghilangkan rasa was was.
Namun,mengapa ini menjadi selalu dibaca saat hendak sholat? Bukan kah ini yg
hukum awalnya sunnah menjadi wajib? Karena dijalankan secara berkelanjutan.
Ini yg menjadi salah pemahaman.
Tanggapan saya :
Karena, pada saat Imam Syafi`i mensunahkan melafadzkan niat kemudian oleh
pengikutnya dilanggengkan ko oleh Anda disalahkan, ini kan aneh…..
Yang namanya sunah kalau dilanggengkan itu kan bagus karena akan tetap
mendapatkan pahala kesunahannya.
Yang salah adalah merubah hukum sunah menjadi wajib atau perbuatan yang
disunahkan kemudian dilanggengkan kemudian dianggap salah oleh seseorang, ya
….seperti pendapat Anda itu.
Balas
ikhtilaf dalam fiqih itu sudah terjadi dari dahulu kala, tapi kalau mengklaim bahwa satu
paham seperti wahabi yang disebutkan diatas sebaiknya hal itu tidak terjadi. apalagi
untuk pembahasan fiqih yang sebenarnya tidak ada hubungannya.
Apalagi kalau memang ternyata wahabi itu adalah justru yang berpegang teguh pada
sunnah. walhasil kita hanya dibuat menyalahkan yang sebenarnya adalah saudara kita
sendiri, dan kembali hal ini adalah kemenangan buat mereka yang tidak suka dengan
Islam.
Perlu dicermati lagi lebih dalam, kita semua tidak luput dari kekurangan dan info yang
kita dapat terkadang simpang siur apalagi di internet klaim atau pengakuan apapun bisa
terjadi walaupun tanpa dasar.
Wallahu ‘alam
Balas
Berikut ini beberapa etika bila menemukan beda pendapat antar kelompok:
Memulai dengan “husnuzzan” (prasangka baik) terhadap sesama muslim.
Menghargai pendapat kelompok lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil.
Tidak memaksakan kehendak bahwa kelompoknyalah yang paling benar, karena
pendapat lain juga mempunyai kemungkinan benar yang seimbang, sejauh dalam
diskursus syariah.
Mengakui adanya perbedaan dalam masalah furu’iyah (cabang-cabang ajaran) dan tidak
membesar-besarkannya.
Tidak mengkafirkan orang yang telah mengucapkan “Laailaaha illallah”.
Mengkaji perbedaan secara ilmiyah dengan mengupas dalil-dalilnya.
Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah-masalah furu’iyah
(cabang-cabang ajaran), karena ragamnya dalil, di samping kemampuan akal yang
berbeda-beda dalam menafsiri dalil-dalil tsb.
Terbuka dalam menyikapi perbedaan, dengan melihat perbedaan sebagai hal yang positif
dalam agama karena memperkaya khazanah dan fleksibillitas agama. Tidak cenderung
menyalahkan dan menuduh sesat ajaran yang tidak kita kenal. Justru karena belum kenal,
sebaiknya kita pelajari dulu latar belakang dan inti ajarannya.
semoga bermanfaat agar persatuan islam tetap terjaga :)
Wa’alaikum sallam wrb.
Balas
“Apabila seseorang berniat haji dan ‘umrah sudah mencukupi meskipun tidak
dilafazhkan, berbeda dengan shalat karena shalat tidak sah melainkan dengan ucapan.”
Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan: “Telah berkata para sahabat kami (ulama
dari madzhab Syafi’i) bahwa orang yang memahami bahwa ucapan itu (dengan
mengucapkan ushalli…) adalah keliru, karena bukan demikian maksud Imam asy-Syafi’i.
Akan tetapi yang dimaksud oleh beliau adalah ucapan mulai shalat, yaitu takbiratul
ihram.”
–> al majmu’ syarahl al muhadzdzab adalah karya imam an Nawawi. Dan Imam
Nawawi yang bermadzab syafi’i pun ber-ushali.
Balas
o Imam berkata:
Tulisan Anda :
Komentar saya :
Menurut saya Andalah yang tidak pakai otak, tapi pakai nafsu dengan
memalsukan ( talbis ) pendapat Imam Syafi`i dan Imam Nawawi, saya curiga
Anda tidak mempunyai kitabnya tapi hanya klik sana dan klik sini dengan tidak
melihat sumber kitab aslinya yang menjadi rujukan Anda itu. sehingga nyasar….
Dalam Kitab Majmu` Sharhil Muhadzdzab dalam juz 3 hal 277 sesuai kitab yang
saya punyai bukan menjelaskan tentang niat tapi menjelaskan tentang hadits2
shoheh berkaitan dengan doa istiftah, silakan Anda cek dalam nama kitab yang
sama cetakan maktabah Al-Irsyad – Jedah KSA.
Dalam cetakan itu juz 3 hal 241 berbunyi seperti tulisan Anda tetapi Anda telah
memalsukan makna yang terkandung di dalamnya , demikian redaksinya :
Artinya :
Tempatnya niat adalah hati, apabila niat dalam hati tidak disertai dengan lisannya
maka hukumnya boleh. Sedangkan beberapa shahabat kami ( masdzhab Syafi`i)
yang mengatakan bahwa niat dengan hati harus juga niat dengan lisan, tidak
dianggap karena sejatinya niat yaitu menyengaja melakukan sesuatu dalam hati
; ب َوتَلَفُّ ِظ اللِّ َسا ِن ِ ي أَنَّهُ اَل يُجْ ِزئُهُ َحتَّى يُجْ ِم َع بَ ْينَ نِيَّ ِة ْالقَ ْل ُّ ِ هُ َو قَوْ ُل أَبِي َع ْب ِد هَّللا: اوي
ِّ الزبَي ِْر ِ صا ِحبُ ْال َح َ ال َ ََوق
صاَل ِة اَل
َّ ْس َكال َ ْ َّ َ َ ْ َ َ ً َ ًّ َ ْ
َ َوإِن ل ْم يَتَلفظ َولي، ًُجا أوْ ُع ْم َرة أجْ َزأهXّ إذا نَ َوى َح: ِّي – َر ِح َمهُ ُ – قا َل فِي ال َحج َ هَّللا َّ أِل َ َّن الشافِ ِع
َّ
ُ بَلْ ُم َرا ُده، صاَل ِة هَ َذا َّ ق فِي ال ْ
ِ ْس ُم َرا ُد ال َّشافِ ِع ِّي بِالنُّط ْ َ
َ َولَي، َغلِطَ هَ َذا القَائِ ُل: قَا َل أصْ َحابُنَا. ق ْ
ِ صحُّ إاَّل بِالنُّط ِ َت
َْ َولو. اع فِي ِه إْل َ َ َ َ َ إْل ُ اَل ْ ْ َ َ ْ َ ْ َ َ َّ َ َ َ ْ َّ
ِ كذا نق َل أصْ َحابُنَا بِا ِ جْ َم. اع فِي ِه ِ ص تهُ بِا ِ جْ َم َ التكبِي ُر َولوْ تلفظ بِلِ َسانِ ِه َول ْم يَن ِو بِقلبِ ِه ل ْم تن َعقِد
الظه ِْر ُّ ُصاَل ة َ َت ْ صاَل ةُ ْال َعصْ ِر ا ْن َعقَد َ الظه ِْر َو َج َرى َعلَى لِ َسانِ ِه ُّ َصاَل ة َ نَ َوى بِقَ ْلبِ ِه
Artinya :
Berkata Pengarang kitab Al-Hawi : Pendapat itu ( yang mewajibkan niat dengan
hati dan lisan ) adalah pendapat Abu Abdillah Al-Zubairiyyi,ia mengatakan
bahwa tidak boleh ( bagi seseorang niat sholat ) hingga mengumpulkan niat
dengan hati dan juga melafadzkannya, karena berdasarkan pendapat Imam
Syafi`ii bahwa beliau berkata dalam kitab Haji : Apabila seseorang niat haji atau
umroh dengan tidak melafadzkannya adalah boleh, berbeda dengan sholat, ia
tidak sah tanpa nathqi ( melafadzkan ).
*( Nathqi menurut Abu Abdulloh Al- Zubairiy adalah melafadzkan niat ).
Balas
coba lihat celananya tu orang-orang NU pada isbal semua contohnya orang NU yang ada
di kota ane.._!!!”
Saran ane tolong tu celana bwa di tukang jahit dong, biar nga isbal lagi.
Balas
o Imam berkata:
Komentar Anda :
Silakan lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi dalam bab Maa Jaa`a fi karoohati jarril
izaari , demikian redaksinya :
وأما اإلسبال لغير الخيالء فظاهر، في هذه األحاديث أن إسبال اإلزار للخيالء كبيرة: قال الحافظ في الفتح
لكن استدل بالتقييد في هذه األحاديث بالخيالء على أن اإلطالق في الزجر الوارد، األحاديث تحريمه أيضا
: قال ابن عبد البر. في ذم اإلسبال محمول على المقيد هنا فال يحرم الجر واإلسبال إذا سلم من الخيالء
. مفهومه أن الجر لغير الخيالء ال يلحقه الوعيد إال أن جر القميص وغيره من الثياب مذموم على كل حال
وهكذا نص الشافعي على، فإن كان لغيرها فهو مكروه، اإلسبال تحت الكعبين للخيالء حرام: وقال النووي
والمستحب أن يكون اإلزار إلى نصف الساق والجائز بال: قال، الفرق بين الجر للخيالء ولغير الخيالء
وما نزل من الكعبين ممنوع منع تحريم إن كان للخيالء وإال فمنع تنزيه ؛ ألنXكراهة ما تحته إلى الكعبين
األحاديث الواردة في الزجر عن اإلسبال مطلقة فيجب تقييدها باإلسبال للخيالء انتهى
Artinya :
Berkata Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab Al-Fathi : Dalam banyak hadits
menjelaskan bahwa isbal ( menurunkan ) pakaian karena sombong adalah dosa
besar. Sedangkan Isbal ( menurunkan pakaian ) yang bukan dengan rasa
kesombongan maka makna dzohir haditsnya juga haram, TETAPI dapat ditarik
kesimpulan dengan membatasi dengan hadits yang bermakna/berkaitan dengan
sifat kesombongan dari keumuman hadits yang berisi pelarangan akan tercelanya
isbal ( menurunkan pakaian ). Keumuman hadits itu harus dibawa maknanya
kepada makna tertentu ( dibatasi maknanya ). Maka tidaklah haram
menyeret/menurunkan pakaian apabila selamat dari rasa kesombongan.
Berkata Ibnu Abdul Barr : Hadits itu dapat dipahami bahwa isbal/menyeret
pakaian dengan tidak sombong maka tidak akan mendapat ancaman ( dari Alloh ),
kecuali apabila menyeret (isbal ) gamis ( baju panjang ) dan selainnya berupa
pakaian2 yang tercela dipandang dari berbagai sudut.
Balas
hakim berkata:
Isbal artinya melabuhkan pakaian hingga menutupi mata kaki, dan hal ini
terlarang secara tegas baik karena sombong ataupun tidak. Larangan isbal
bagi
laki-laki telah dijelaskan dalm hadist-hadist Rasulullah SAW yang sangat
banyak,
maka selayaknya bagi seorang muslim yang telah ridho Islam sebagai
agamanya
untuk menjauhi hal ini. Naun ada sebagian kalangan yang dianggap
berilmu menolak
isbal dengan alasan yang rapuh seperti klaim kalau tidak sombong maka
dibolehkan
?!. Untuk lebih jelasnya, berikut kami paparkan perkara yang sebenarnya
tentang
isbal aga menjadi pelita bagi orang yang mencari kebenaran. Amiin.
Wallohu
Musta’an
A. DEFINISI ISBAL
Isbal secara bahasa adalah masdar dari asbala, yusbilu, isbalan, yang
bermakna
irqaa’an yang artinya menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan.
Sedang menurut
istilah sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnul A’roby RA dan
selainnya adalah;
memanjangkan, melabuhkan dan menyentuh tanah, baik karena sombong
ataupun tidak.
(Lihat Lisanul ’Arob Ibnul Manzhur II/321, Nihayah Fi Ghoribil Hadist
Ibnul
Atsir 2/339).
Berkata Syaroful Haq Azhim Abadi R.A.: “Hadist ini menunjukkan bahwa
yang sunnah
hendaklah sarung seorang muslim hingga setengan betis, dan dibolehkan
turun dari
itu hingga di atas mata kaki, apa saja yang di bawah mata kaki maka hal
itu
terlarang dan haram”. (’Aunul Ma’bud 11/103).
Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Walhasil ada dua keadaan bagi laki-laki;
dianjurkan yaitu menurunkan sarung hingga setengan betis, boleh yaitu
hingga di
atas kedua mata kaki. Demikian pula bagi wanita ada dua keadaan;
dianjurkan
yaitu menurunkan di bawah mata kaki hingga sejengkal, dan dibolehkan
higga
sehasta”. (Fathul Bari 10/320).
Pertama :
Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulullah bersabda: “Ada tiga golongan yang
tidak akan
diajak bicara oleh Alloh pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang
pedih;
Rasululloh menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak
3 kali,
Abu Dzar brkata: “Merugilah mereka, siapakah mereka wahai Rasulloh?”
Rasululloh
menjawab: “Orang yang memanjangkan pakaiannya, yang suka
mengungkit-ungkit
pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah
palsu”. (HR.
Muslim 106, Abu Dawud 4087, Nasa’I 4455, Dharimy 2608, Lihat Al-
Irwa’ : 900).
Kedua :
Syaikh Salim bin I’ed Al-Hilali berkata: “Isbal karena sombong adalah
dosa
besar, oleh karena itu pelakunya berhak tidak dilihat oleh Alloh pada hari
kamat, tidak disucikanNya, dan baginya adzab yang pedih”. (Manahi
Syari’ah
3/206).
Ketiga :
Dari Abu Hurairoh bahwasanya Nabi bersabda: “Apa saja yang di bawah
kedua mata
kaki di dalam neraka”.(HR. Bukhari 5797, Ibnu Majah 3573, Ahmad
2/96).
Keempat :
Dari Mughiroh bin Su’bah R. A., adalah Rasulloh SAW bersabda: “wahai
Sufyan bi
Sahl! Janganlah kamu isbal, sesungguhnya Alloh tidak menyenangi orang-
orang yang
isbal.” (HR. Ibnu Majah 3574, Ahmad 4/246, Thobroni dalam Al-Kabir
7909,
dishohihkan oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 2862).
Kelima :
“Waspadalah kalian dari isbal pakaian, karena hal itu termasuk
kesombongan, dan
Alloh tidak menykai kesombongan”. (HR. Abu Dawud 4084, Ahmad
4/65, dishohihkan
oleh Al-Albani dalam As-Shohihah 770).
Keenam :
1. Menyelisihi sunnah
Menyelisihi sunnah termasuk perkara yang tidak bisa dianggap enteng dan
ringan,
karena kewajiban setiap muslim untuk mengamalkan setiap sendi dien
dalam segala
perkara baik datangnya dari Al-Qur’an atau Sunnah.
3. Termasuk kesombongan
4. Menyerupai wanita
Dari Khorsyah bin Hirr berkata: “Aku melihat Umar bin Khotob,
kemudian ada
seorang pemuda yang melabuhkan sarungnya lewat di hadapannya. Maka
Umar
menegurnya seraya berkata: “Apakah kamu orang yang haidh?” pemuda
tersebut
menjawab: “Wahai Amirul Mukmini apakah laki-laki itu mengalamai
haidh?” Umar
menjawab: “Lantas mengapa engkau melabuhkan sarungmu melewati
mata kaki?”
kemudian Umar minta diambilkan gunting lalu memotong bagian sarung
yang melebihi
kedua mata kakinya”. Khorsyah berkata: “Seakan-akan aku melihat
benang-benang
diujung sarung itu”. (HR. Ibnu Abi Syaibah 8/393 dengan sanad yang
shohih, lihat
Al-Isbal Lighoiril Khuyala’ hal. 18).
Akan tetapi laa haula wala quwwata illa billah, zaman sekarang yang
katanya
modern, patokan berpakaian terbalik, yang laki-lai melabuhkan
pakaiannya
menyerupai wanita dan tidak terlihat kecuali wajah dan telapak tangan!
Yang
wanita membuka pakaiannya hingga terlihat dua betisnya bahkan lebih
dari itu.
Yang lebih tragis lagi cemoohan dan ejekan kepada laki-laki yang
memendekkan
pakaiannya karena mencontoh Nabi dan mengejek para wanita yang
memajangkan
jilbabnya karena taat kepada Alloh SWT dan Rasulnya, akhirnya kepada
alloh kita
mengadu. (Al-Isbal Lighoiril Khuyala’ 18)
5. Berlebih-lebihan
Tidak ragu lagi syari’at yang mulia ini telah memberkan batas-batas
berpakaian,
maka barangsiapa yang melebihi batasnya sungguh ia telah berlebih-
lebihan. Alloh
berfirman :
6. Terkena najis
Orang yang isbal tidak aman dari najis, bahkan kemungkinan besar najis
menempel
dan mengenai sarungnya tanpa ia sadari. Rasululloh SAW bersabda:
Jawaban :
Didalam hadist ini Nabi SAW menyebutkan dua permisalan dalam satu
hadist, dan ia
menjelaskan perbedaan hukum keduanya karena perbedaan balasannya.
Keduanya
berbeda dalam perbuatan dan berbeda dalam hokum balasan. Maka selama
hukum dan
sebabnya berbeda tidaklah boleh membawa yang mutlak ke muqoyyad,
karena kaidah
membawa mutlak (umum) ke muqoyyad (khusus) di antara syaratnya
adalah bersatunya
dua nash dalam satu hukum, apabila hukumnya berbeda maka tidaklah
ditaqyid salah
satu keduanya dengan yang lain.
G. KESIMPULAN
Demikian yang bisa kami sajikan tentang masalah isbal semoga tulisan ini
ikhlas
karena mengharap wajahNya dan bermanfaat bagi diri penulis serta kaum
muslimin
di manapun berada. Amiin. Wallohu ’Alam
————–
Catatan kaki:
[1] Hullah Hamro adalah kain bergaris yang berwarna merah dari Yaman
[2] Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: Nash-nash yang berisi
ancaman neraka
bersifat umum, maka tidaklah boleh kita memastikan seseorang secara
mu’ayyan
(tunjuk hidung) bahwa ia termasuk penghuni neraka, karena bisa jadi ada
beberapa
penghalang yang memalingkannya untuk tidak mendapatkan tuntunan
tersebut
(neraka) seperti bertaubat atau ia mengerjakan kebaikan yang menghapus
dosa atau
mendapat syafa’at dan lainnya”. (Majmu’ Fatawa 4/484)
hakim berkata:
buat imam
lihat hadis
isbal tanpa sombong itu di ancam neraka
ke2
hadist yang disertai kesombongan itu
ALLAHtidak melihatnya,tidak menegurnya dan tidak mensucikanya
lalu sudah menjadi kebiasaan kamu yang menarik2 dalil untuk mendukung
pendapatmu yang ngawur
imam nawawipun mengatakan dilarang yaitu haram/bukan mamnu’seperti
pendapat anda
mana ada hukum mamnu’ dalam fiqih
ini karangan anda saja ALLAH yahdikuum
Kalau saya seorang hamba yang awam tentang dinullah mengambil yang mudah sajalah.
Jika perkara ibadah, yang saya lakukan adalah mencontoh tata cara Rasulullah,para
sahabat,Tabi’in,Tabi’ut Tabi’in yg shahih….
Sebenarnya agama Islam itu mudah,simple.Tapi para pengikutnya saja yang membuat
ajaran Islam ribet dan sulit…!!
Salam ukhuwah ……
Balas
o Imam berkata:
Mas Giok, kami menganut salah satu dari empat madzhab, tahukah Anda empat
imam madzhab itu ada pada era tabiin dan tabiinat tabiin, artinya kami mengikuti
apa yang dicontohkan nabi ( diucapkan,dikerjakan dan taqrir oleh Nabi ).
Para Imam bukanlah malah mempersulit agama tapi mereka berijtihad dengan
ilmunya terhadap hukum yang tidak ada nash qot`i dalam Al-quran dan Hadits.
Justru beliau2 itu malah lebih menjabarkan makna2 yang terkandung dalam Al-
quran dan Hadits sehingga mempermudah bagi penganutnya untuk mengambil
suatu hukum pada keduanya sehingga kita tidak menjadi salah tafsir dan nyasar
serta tersesat.
Saya lebih percaya kepada beliau2 itu dan para pengikutnya dari pada saya harus
mengambil hukum kepada selain beliau2, karena pendapat beliau2 itu sudah teruji
dari zaman ke zaman dan diakui serta diikuti oleh banyak ulama sedunia.
Insya Alloh kalau kita mengikuti pendapat mayoritas ulama dunia dan tidak syad
maka kita lebih dekat kepada kebenaran. Terimakasih.
Balas
Maaf, sdr2ku sekalian saya bukannya mau membela salah satu dari kalian, tapi coba
kalian pikirkan kembali niat kalian soal debat niat ini, apa sudah benar, saya kira klau
niat kalian hanya mencari ridlo Allah, tentunya tidak seperti ini, saling membalas dan
menjatuh satu dengan yg lain dan perlu juga kalian ketahui bahwa nantinya yg akan
dimintai pertanggungjawabannya hanya mengenai diri kalian sendiri dan bukan mengenai
diri orang lain, untuk itu tugas sdr2 hanya menyapaikan saja tidak lebih dari itu.
–> bukan saling mas.. kami hanya memperlihatkan landasan dalil. Biar orang yg
menilai.
Balas
Silahkan beribadah sesuai dengan apa yang diajarkan guru kita masing2..
Wahabi jangan menyalahkan NU, NU pun tak pernah menyalakan Wahabi.
Yang dilarang adalah belajar dengan akal kita sendiri. Krena Islam itu wahyu, Nur, bukan
akal., yang diturunkan turun temurun. Allah –> Jibril –> Nabi Muhammad –> Ulama –>
Tabiin –>dst.
Balas
“Barang siapa yang sholat selamat 40 hari (bukan 40 waktu—red) secara berjamaah di
Mesjid (bukan di mesjidku / mesjid nabawi —red) secara berturut – turut dan “tidak
ketinggalan takbiratul ihram”, maka ia terbebas dari api neraka.
Jika imam sudah mengucapkan takbiratul ihram, maka segeralah ma’mum mengikutinya.
Mereka yang mengucapkan ushali, jelas akan ketinggalan takbiratul ihram dan akan
mengganggu makmum yang lain, itu yang saya dengar dari suatu ceramah.
–> menurut pengalaman, mengucapkan ushali tidak ketinggalan takbiratul ihram, dan
tidak pula megganggu makmum yang lain. Ini kenyataan, bukan sekedar ceramah.
Balas
o Dedy berkata:
April 24, 2012 pukul 08:37
Ralat..
—–…… di Mesjid mana saja (Tidak hanya di Mesjidku / Nabawi……—
Kasihan dong, Muslim yang tidak tinggal di Madinah, gak bisa Arbain…
Balas
Wk…wk…wk…. gitu aja kok repot, siapa bilang Nabi SAW tidak pernah melafadzkan
usholli ???
Balas
Ass….
ngopi we yeuh,kering tah tnggorokan,man kana ya’minu billahi wal yaumil akhiri
falyaqul khoiron auliasmut,falyukrim jarrohu,falyukrim do’ifahu
coz,saya tetangga madzhab mu, and saya tamu kalian orng d forum ini,tadi’y saya males
salam sama kalian, islam ko’ brselisih, katanya ikhwatun, ka annahum bunyanummarsus
donx !!!
santri’y kerahin dulu tuh pd biar subuh jama’ahan, subuh penuh islam utuh,nabi jga bkan
yang nyabdain,
sedu we deui ahhhh… kopi na , asyeeekkk……!!!
sripitttttttt…..
Balas
waduhh pada berantem.. piss men, damai damai. g ada ujungnya klo gn trus,, kesimpulan.
yakini siapa pemimpin ato guru agama kalian yang kalian pahami masing2. yang jelas
niat kita udah diketahui sama Allah SWT. sekarang siapa yang tau khn benar ato salah..?
ya yang tau cuma sang pencipta. jika pun salah pemimpin kalian yang bakal
bertanggungjawab. okee
Balas
Assalamu’alaikum…
Kalau menurut saya mah kan udah pada mengeluarkan pendapat masing2, jadikanlah itu
sebagai tambahan pengetahuan bagi kita semua… yang pake “usholi” dan yang gak pake
juga sama2 saudara seiman… mari kita mohon ampun kepada Allah swt. dan memohon
petunjuk yang benar dari-Nya… amiin.
Balas
aslmkm wr wb……
mohon saudaraku “ulilamri” untuk tidak menjelek2kan wahabi,apalagi mengatakan
beliau khawarij,betulkan info yang anda dengar itu benar.beranikah anda
mempertanggungjawabkan perkataan anda jika anda salah (mohon dijawab ya jika info
yg anda sampaikan itu 100 persen benar)
oke saya sekedar masukkan…sering sekali saya melihat buku2 umum tentang sholat,
puasa dll di indonesia dari buku untuk anak2 dini hingga ke buku wajib disekolah
sekolah,..khususnya masalah niat dan lafadz,menurut mahzab safi’i masalah ushalli itu
sunah, tapi tdk diterangkan dibuku itu sunah,dan tidak diterangkan jika meninggalkannya
sholatnya tetap sah,sehingga kerapkali anggapan orang awam kalau tdk pake ushali tidak
sah ibadahnya, kemudian tidak ada keterangan pendapat imam lain.yang saya tau
diseluruh negeri ini hampir disemua tempat ibadah adalah mahzab imam syafi’e,dan
kebanyakan orang awam tidak tau masalah ushali ini adalah perkara sunah,keapada
admin saya yakin anda sendiri sebagai orang yang berilmu menyadarinya.
Balas
Balas
kayaknya ada yg lebih pintar dari Rasul nih atau Rasulullah lupa mengajarkan ber Usalli
ketika sholat sehingga sepeninggal beliau ada yg sok pintar mengada2 kan niat pakai
usalli?
Balas
o hakim berkata:
–> lihat artikel mas.. madzab syafi’i pencetusnya adalah imam syafi’i. madzab
hambali pencetusnya adalah imam ahmad ibn hambal.
Balas
hakim berkata:
saya paham apa yg anda katakan tapi anda ngak paham apa yang kami
katakan?
dikitab apa imam safi’i mengajarkan usholi
kayak apa bunyi tecknya
jangan 2anda hanya mengarang lalu ini dari imam safi’i
buktikan mana usholinya imam safi’i
، والشافعي، فقال طائفة من أصحاب أبي حنيفة: هل يستحب اللفظ بالنية ؟ على قولين
، وأحمد، وقالت طائفة من أصحاب مالك، يستحب التلفظ بها لكونه أوكد: وأحمد
ال يستحب التلفظ بها ؛ ألن ذلك بدعة لم ينقل عن رسول هللا صلى هللا عليه: وغيرهما
وسلم وال أصحابه وال أمر النبي صلى هللا عليه وسلم أحدا من أمته أن يلفظ بالنية
215 – 214 / 1 : [ الفتاوى الكبرى ص
wallahu a’lam.
ass. kepada saudara muslim semua. dari diskusi diatas dapat sy simpulkan bahwa tidak
ada 1 dalil pun pernah menyebutkan rasullulah melapazkan, bagi muslim yg memakai
ushali jg tidak ada yg salah karna dilakukan diluar sholat, tetapi tlg hukum melapaskan
niat sholat jangan dibuat berdasarkan pemikiran sendiri saja yaitu sunat, alangkah
baiknya karna ini diluar sholat dikatakan aja hukumnya mubah atau boleh, karna tidak
ada dalil yg mendukung niat shalay dilapazkan. terimakasih mohon maaf atas salah dan
hilafnya
Balas
o hakim berkata:
2 ketika ulama’ berselisi pendapat maka dalil kita bukan ulama’ tapi alqur’an dan
hadist
maka yang kita pilih ulama’ yang bersumber hadist yang shoheh
Ada di artikel.
wallahu a’lam.
Balas
hakim berkata:
Juli 25, 2012 pukul 21:16
buat admin
anda ini pakai dalil anda sendiri
yang dapat menghilang waswas itubukan melafadzkan niat,
tapi ta’awudz yaitu kalimat a’udubilahi minasyaithon
dan anda bilang niat itu diluar sholat atau diluar setiap amalan
pernyataan anda ini sulit dipahami
anda bilang sebelum sholat itu kan boleh melakukan apapun
pertanyaan saya kenapa anda kok tidak berniat ketika dirumah mau
berangkat kemesjid kok harus sesaat sebelum sholat lalu mana dalil yang
mendukung pernyataan anda ini
dan menurut anda sendiri dalil itu alqur’an dan hadis
dengan hanya punya alasan itu lalu kamu mengatakan hal itu sunnah
walaupun tanpa dalil yang mendukung
–> itu bukan kata2 saya mas… anda gak baca artikel.
Pokokna mah kieu hey saudara saudara,Jikalau Rasulullah tidak mencontohkan apalagi
melakukan seuatu dalam ibadah, ya………… jangan kita lakukan,,simple aja bos,jangan
sok pinter apalagi menjelekan salahsatu dari kita,di indonesia mah memang banyak ritual
yang tidak dicontohkan nabi,tapi tetep dilakukan,sudah lah kembali aja ke Qur’an dan
sunnah apabila kita berselisih,kalau dalam Qur’an dan sunnah tidak pernah ada perintah
niat dilapazkan yo wiss jangan,wew ah…………gitu aja kok repot.
Balas
o hakim berkata:
Juli 26, 2012 pukul 11:45
tapi persoalanya bukan sesederhana itu mereka tidak mau mengambil dalil kalo
hanya contoh nabi
karna mereka bilang masih ada ibadah yang tidak harus diconthkan oleh nabi
apa lagi golongan ini AKALPUN jadi dalil LIHAT perkataan saudara imam
Balas
Gimana panji panji islam akan semakin maju dan besar kalau hal ini terus berlanjut, coba
lihat dari 4 mazhab yg berkembang dari dulu pasti ada perbedaan namun tidak saling
menjatuhkan namun saling menghargai. Tapi kok yg saya lihat ini malah madzhab yg di
luar madhab yg 4 ntah mazhab apa itu langsung memveto aja bahwa itu bid’ah atau sesat.
Bo hati hati kalau mengeluarkan ucapan bid’ah tuh, ingat salamtul insan bihifdil lisan. di
khawatir anda berkata ke yg lain bid’ah malah anda sendiri yg bid’ahnya jadi jangan
meveto deh. Toh kalau anda sebagai muslim or mukmin yg bijak kalau anda merasa
perbuatan itu bid’ah buat anda ya udh jangan di pake tapi jangan mengluarkan kata kata
bid’ah bagi yg melaksanakannya karena dia punya dalil tersendiri.
Saya sering cape kalau baca artikel or lihat diskusi banyak sekali orng itu dengan
enetengnya mengeluarkan kata kata bid’ah sedikit sedikit bid’ah-sedikit sedikit bid’ah.
Banyak juga contoh-contoh ibadah yg ga di contohkan oleh Nabi tapi dilakukan oleh para
sahabat tapi bukan bid’ah / sesat seperti mushaf Qur’an ini kan atas inisiatip para sahabat,
terus solat tarawih yg di lakukan sahabat umar itu dia berkata inilah sebaik baiknya
bid’ah.
Balas
Balas
o lukmanulhakim berkata:
Balas
http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/
Subhanallah..subhanallah..subhanallah..
Inilah tulisan mendalam Ust. Muhammad Mu’afa yang kami tunggu2 ^_^ tentang
HUKUM MELAFADZKAN NIAT…insyaAllah mencerahkan..
Balas
http://abuhauramuafa.wordpress.com/2012/12/03/hukum-melafazkan-niat/
Berikut petikannya…
“Melafalkan niat untuk melakukan ibadah hukumnya mubah bukan haram, wajib atau
sunnah/mandub/mustahabb. Kemubahan ini tidak membedakan apakah ibadah tersebut
ibadah Mahdhoh seperti shalat, puasa Wudhu, Mandi Junub, Tayamum, Zakat, Haji,
Umroh, berkurban, Kaffaroh,I’tikaf dll ataukah Ghoiru Mahdhoh seperti berbakti kepada
orangtua, shilaturrahim, membezuk orang sakit dll, juga tidak membedakan apakah
ibadah tersebut manfaatnya juga dirasakan hamba yang lain seperti menghajikan orang
lain ataukah tidak, juga tidak membedakan apakah ibadah tersebut dilakukan langsung
setelah pelafalan ataukah ada jarak waktu. Semuanya mubah selama lafadz niatnya tidak
bertentangan dengan syara’, baik untuk kepentingan mengajari, menguatkan niat,
menghilangkan was-was, menegaskan maksud, dan semua kepentingan yang syar’i.
Namun kemubahan ini adalah mubah dari segi pelafalan itu sendiri, bukan menjadi syarat
sah, sifat wajib, apalagi rukun niat. Jika niat dilafalkan, hendaknya tidak dilakukan terus
menerus, dan mengucapkannya juga harus pelan jika dimungkinkan mengganggu ibadah
orang lain. Jika pelafalan niat itu untuk selain ibadah seperti jual beli, ijaroh, wakalah,
syirkah, nikah, talak, rujuk, sumpah, nadzar dan yang semisal, maka lebih jelas lagi
kemubahannya.”
Balas
Berikan Balasan
Terbaru
UU Minyak dan Gas Bumi kita sungguh konyol
Skenario KPSI kudeta PSSI: Jika Gagal, Hancur-hancuran
Sekilas Tentang PKS
Kaderisasi PKS (Termasuk Perjodohan) dalam Pandangan Mantan (Sekr Salafy)
KH Hasyim Al Asy’ari (1287 – 1366H)
Rhoma .. Mendadak CaPres
Yudas Iskariot Dalam Agama Kristen, pengkhianat atau berjasa
Shalat Jamaah Berdua (satu imam satu makmum)
Definisi Tauhid dan Ilmu Tauhid
Habib Abdurrahman Assagaf (1309 – 1390 H)
Sejarah Mataram Pecah Belah
10 Level Istilah Silsilah Jawa
Ibnu Hajar Al-Atsqalani
Imam al-Baghawi (436 – 516 H)
Pondok Pesantren Terbaik, Darul-Mustafa, Tarim, Hadramaut, YAMAN
Aturan Komentar
Kami akan menghapus komentar yang:
Tak sopan, memakai HURUF BESAR, berupa caci maki, mengandung kata-kata kebun
binatang, debat kusir, provokasi, di luar konteks, berupa undangan/ reklame.
Komentar yang terlalu panjang, tanpa paragraf dan sulit dipahami. Terlalu banyak singkatan
huruf, mirip spam.
Komentar dari satu orang namun berganti-ganti nama, seolah-olah saling mendukung. Ke
semuanya langsung dihapus.
Isi komentar adalah tanggung jawab penulis komentar, bukan tanggung jawab pengelola
blog/situs ini.
Harap maklum.
Komentar
arofah on Majelis Rasulullah tentang Tah…
edhhi on Membuat Daftar Isi di MS …
faisal riza on Terjemah Maulid Diba’
isak on Terjemah Maulid Diba’
Saidah Mawadah on Ustadz Mahrus Ali (Mantan Kyai…
Saidah Mawadah on Ustadz Mahrus Ali (Mantan Kyai…
Saidah Mawadah on Ustadz Mahrus Ali (Mantan Kyai…
mawar jelita on 10 Pondok Pesantren Terbaik di…
Razilu on Macam-Macam Shalawat
arofah on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
aweh wicaksono on Majelis Rasulullah tentang Tah…
12 Terpopuler
10 Pondok Pesantren Terbaik di Indonesia
Ijma dan Qiyas Adalah Juga Sumber Hukum Islam
Definisi Tauhid dan Ilmu Tauhid
Doa Khatam Al Qur'an
Macam-Macam Shalat Sunnah
Macam-Macam Puasa Sunnah
Shalawat Paling Ringkas: Shallallahu 'ala Muhammad (saw)
Macam-Macam Shalawat
Sejarah Perang Salib
Turki Utsmani, Kekhalifahan Terakhir Di Abad 20
Tamu kami
..$$..
Meta
Mendaftar
Masuk log
RSS Entri
RSS Komentar
WordPress.com
Dilihat
3,446,546 kali
Hikmah
Rasul saw bersabda : "Dan aku demi Allah tidak merisaukan kalian akan musyrik setelah aku
wafat, tapi yg kutakutkan adalah keluasan duniawi atas kalian" (Bukhari Muslim)
“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam perkara baru yang baik maka baginya
pahala dari perbuatan tersebut juga pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya)
setelahnya tanpa berkurang sedikitpun pahala mereka, dan barang siapa merintis dalam Islam
perkara baru yang buruk maka baginya dosa dari perbuatan tersebut juga dosa dari orang yang
melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dosa-dosa mereka sedikitpun”
(H.R. Muslim) .
Berita
Detik
Jawa Pos
Okezone
Suara Merdeka
Blogroll
Mas Warsun
Nurul Indarti
Syafiiyah
Bahrusshofa
Majelis Rasulullah
NU
Ngudi Ilmu
Kategori
Arsip
Desember 2012
November 2012
Oktober 2012
September 2012
Agustus 2012
Juli 2012
Juni 2012
Mei 2012
April 2012
Maret 2012
Februari 2012
Januari 2012
Desember 2011
November 2011
Oktober 2011
September 2011
Agustus 2011
Juli 2011
Juni 2011
Mei 2011
April 2011
Maret 2011
Februari 2011
Januari 2011
Desember 2010
November 2010
Oktober 2010
September 2010
Agustus 2010
Juli 2010
Juni 2010
Mei 2010
April 2010
Maret 2010
Februari 2010
Januari 2010
Desember 2009
November 2009
Oktober 2009
September 2009
Agustus 2009
Juli 2009
Juni 2009
Mei 2009
April 2009
Maret 2009
Februari 2009
Januari 2009
Desember 2008
November 2008
Oktober 2008
September 2008
Agustus 2008
Juli 2008
Juni 2008
Mei 2008
April 2008
Maret 2008
Februari 2008
Januari 2008
Desember 2007
November 2007
Oktober 2007
September 2007
Agustus 2007
Juli 2007
Yuaniv
Beranda
Permintaan
Pesan
Pemberitahuan
Pintasan Privasi
Pengaturan Akun
Melafadzkan niat sudah masyhur dikalangan masyarakat, hal ini bukan tanpa dasar tapi karena
memang memiliki landasan dalam ilmu fiqh. Contoh melafadzkan niat adalah membaca “ushulli
fardhush shubhi rak’atayni mustaqbilal kiblati ada’an lillahi ta’ala”, hal semacam ini biasa
dibaca oleh kalangan Muslimin (terutama di Indonesia) sebelum Takbiratul Ihram artinya dibaca
sebelum melaksanakan shalat, tidak bersamaan dengan shalat dan bukan bagian dari rukun
shalat.
Seperti yang sudah diketahui bahwa permulaan shalat adalah niat dan takbiratul ihram dilakukan
bersamaan dengan niat. Niat tidak mendahului takbir (Takbiratul Ihram) dan tidak pula sesudah
takbir. Sebagaimana dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’I dalam kitab Al-Umm Juz 1, pada
Bab Niat pada Shalat (; ) باب النية في الصالة
والنية ال تقوم مقام التكبير وال تجزيه النية إال أن تكون مع التكبير ال تتقدم التكبير وال تكون بعده:قال الشافع
“..niat tidak bisa menggantikan takbir, dan niat tiada memadai selain bersamaan dengan Takbir,
niat tidak mendahului takbir dan tidak (pula) sesudah Takbir.”
Sekali lagi, niat itu bersamaan dengan Takbir. Hal senada juga dinyatakan oleh al-‘Allamah asy-
Syaikh Zainuddin bin Abdul ‘Aziz al-Malibariy asy-Syafi’i dalam Fathul Mu’in Hal 16 ;
، (النية) الن التكبير أول أركان الصالة فتجب مقارنتها به، (مقرونا به) أي بالتكبير.
“..Takbiratul ihram harus dilakukan bersamaan dengan niat (shalat), karena takbir adl rukun
shalat yang awal, maka wajib bersamaan dengan niat”
Al-Imam An-Nawawi, didalam Kitab Raudhatut Thalibin, pada fashal ( فصل في النية يجب مقارنتها
)التكبير
“diwajibkan memulai niat dengan hati bersamaan dengan takbir dengan lisan”
Al-Qadhi Abu al-Hasan al-Mahamiliy, didalam kitab Al-Lubab fi al-Fiqh asy-Syafi'i, pada
pembahasan (; )باب فرائض الصالة
"dan adanya niat bersamaan dengan takbir, tidak cukup selain itu. dan takbir yaitu mengucapkan
( )أهلل أكبرatau ( )هللا األكبر, selain yang demikian tidaklah cukup (bukan takbir)."
Jadi, shalat telah dinyatakan mulai manakala sudah takbiratul Ihram yg sekaligus bersamaan
dengan niat (antara niat dan takbir adalah bersamaan). Aktifitas atau ucapan apapun sebelum itu,
bukanlah masuk dalam rukun shalat, demikian juga dengan melafadzkan niat, bukan masuk
dalam bagian dari (rukun) shalat.
Didalam melakukan niat shalat fardlu, diwajibkan memenuhi unsur-unsur sebagai berikut ;
- Ta’yin ( )التعيينmaksudnya adalah menentukan jenis shalat, seperti Dhuhur atau Asar atau
Maghrib atau Isya atau Shubuh.
Jadi berniat, semisal (ﺍﺼﻠﻰ ﻓﺮﺽ ﺍﻟﻈﻬﺮ ﺃﺩﺍﺀ ﻪﻠﻟ ﺗﻌﻠﻰ/”Sengaja aku shalat fardhu dhuhur karena
Allah”) saja sudah cukup.
Sekali lagi, niat tersebut dilakukan bersamaan dengan Takbiratul Ihram. Yang dinamakan
“bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah ( )ﻣﻘﺎﺭﻧﻪmengadung pengertian sebagai berikut
(Fathul Mu’in Bisyarhi Qurratu ‘Ayn),
“Menurut pendapat (qoul) yang telah dishahihkan oleh Al-Imam Ar-Rafi’i. bahwa cukup
dicamkan bersamaan pada awal Takbir”.
أنه يكفي فيها المقارنة العرفية عند العوام بحيث يعد مستحضرا:وفي المجموع والتنقيح المختار ما اختاره االمام والغزالي
للصالة
“Didalam kitab Al-Majmu dan Tanqihul Mukhtar yang telah di pilih oleh Al-Imam Ghazali,
bahwa “bersamaan” itu cukup dengan kebiasaan umum (‘Urfiyyah/ )العرفية, sekiranya (menurut
kebiasaan umum) itu sudah bisa disebut mencamkan shalat (al-Istihdar al-‘Urfiyyah)”
Imam Al-Ibnu Rif’ah dan A-Imam As-Subki membenarkan pernyataan diatas, dan Al-Imam As-
Subki mengingatkan bahwa yang tidak menganggap/menyakini bahwa praktek seperti atas
(Muqaranah Urfiyyah ( )) ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪtidak cukup menurut kebiasaan), maka ia telah terjerumus
kepada kewas-wasan.
Pada dasarnya “bersamaan” atau biasa disebut Muqaranah ( )ﻣﻘﺎﺭﻧﻪadalah berniat yang bersamaan
dengan takbiratul Ihram mulai dari awal takbir sampai selesai mengucapkannya, artinya
keseluruhan takbir, inilah yang dinamakan Muqaranah Haqiqah ( ) ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﺣﻘﻴﻘﺔ.
Namun, jika hanya dilakukan pada awalnya saja atau akhir dari bagian takbir maka itu sudah
cukup dengan syarat harus yakin bahwa yang demikian menurut kebiasaan (Urfiyyah) sudah bisa
dinamakan bersamaan, inilah yang dinamakan Muqaranah Urfiyyah ( ) ﻣﻘﺎﺭﻧﻪ ﻋﺭﻓﻴﻪ.
Menurut pendapat Imam Madzhab selain Imam Syafi’i, diperbolehkan mendahulukan niat atas
takbiratul Ihram dalam selang waktu yang sangat pendek.
Tempatnya niat adalah di dalam hati. Sebagaimana diterangkan dalam Fiqh Sunnah, Sayyid
Sabiq, pada pembahasan فرائض الصالة
“niat tempatnya didalam hati, pada asalnya tidak terikat dengan lisan”
Al-Imam Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qasim asy-Syafi’i, didalam Kitab
Fathul Qarib, pada pembahasan Ahkamush Shalat ;
ُالنِّيَةُ) َو ِه َي قَصْ ُد ال َّش ْي ِء ُم ْقتَ َرنا ً بِفِ ْعلِ ِه َو ُم َحلُّهَا ْالقَ ْلب
“niat adalah memaksudkan sesuatu bersamaan dengan perbuatannya dan tempat niat itu berada di
dalam hati.”
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar bin Muhammad Al-Husaini, didalam Kifayatul Ahyar,
pada bab (])باب أركان الصالة
واعلم أن النية في جميع العبادات معتبرة بالقلب فال يكفي نطق للسان
“Ketahuilah bahwa niat dalam semua ibadah menimbang dengan hati maka tidak cukup hanya
dengan melafadzkan dengan lisan”
Demikian juga dikatakan dalam kitab yang sama (Kifayatul Akhyar) pada bab باب فرائض الصوم
وال يشترط النطق بها بال خالف، ومحلها القلب،ال يصح الصوم إال بالنية للخبر
Tidak sah puasa kecuali dengan niat, berdasarkan khabar (hadits shahih), tempatnya niat didalam
hati, dan tidak syaratkan mengucapkannya tanpa ada khilaf”
Keterangan : pada bab Fardhu Puasa ini, mengucapkan niat tidak disyaratkan artinya bukan
merupakan syarat dari puasa. Dengan demikian tanpa mengucapkan niat, puasa tetap sah.
Demikian juga dengan shalat, melafadzkan (mengucapkan) niat shalat bukan merupakan syarat
dari shalat, bukan bagian dari fardhu shalat (rukun shalat). Jadi, baik melafadzkan niat
(talaffudz binniyah) maupun tidak, sama sekali tidak menjadikan shalat tidak sah, tidak pula
mengurangi atau menambah-nambah rukun shalat.
Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam Tuhfatul Muhtaj ([ )تحفة المحتاج بشرح المنهاجII/12] :
والنية بالقلب
Semua keterangan diatas hanya menyatakan bahwa niat tempatnya didalam hati (tidak ada cap
bid’ah), niat amalan hati atau niat dengan hati. Demikian juga dengan niat shalat adalah didalam
hati, sedangkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) bukanlah merupakan niat, bukan pula
aktifitas hati (bukan amalan hati) namun aktifitas yang dilakukan oleh lisan. Niat dimaksudkan
untuk menentukan sesuatu aktifitas yang akan dilakukan, niat dalam shalat dimaksudkan untuk
menentukan shalat yang akan dilakukan. Dengan kata lain, niat adalah memaksudkannya
sesuatu. Ibnu Manzur dalam kitabnya yang terkenal yaitu Lisanul ‘Arab (15/347) berkata ;
" Meniatkan sesuatu artinya memaksudkannya dan meyakininya. Niat adalah arah yang dituju”.
Al-Fiqh al-Manhaji 'ala Madzhab Al-Imam asy-Syafi'i, pada pembahasan Arkanush Shalat ;
" ودليلها قول النبي"إنما األعمال بالنيات. ومحلها القلب،وهي قصد الشيء مقترنا ً بأول أجزاء فعله
"(Niat), adalah menyengaja (memaksudkan) sesuatu bersamaan dengan sebagian dari perbuatan,
tempatnya didalam hati. dalilnya sabda Nabi SAW ; ("")"إنما األعمال بالنيات
Maka, selagi lagi kami perjelas. Niat adalah amalan hati, niat shalat dilakukan bersamaan dengan
takbiratul Ihram, merupakan bagian dari shalat (rukun shalat), adapun melafadzkan niat
(mengucapkan niat) adalah amalan lisan (aktifitas lisan), yang hanya dilakukan sebelum
takbiratul Ihram, artinya dilakukan sebelum masuk dalam bagian shalat (rukun shalat) dan bukan
merupakan bagian dari rukun shalat. Niat shalat tidak sama dengan melafadzkan niat.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) hukumnya sunnah. Kesunnahan ini diqiyaskan dengan
melafadzkan niat Haji, sebagaimana Rasulullah dalam beberapa kesempatan melafadzkan niat
yaitu pada ibadah Haji.
“Dari sahabat Anas ra berkata : “Saya mendengar Rasulullah SAW mengucapkan “Aku
memenuhi panggilan-Mu (Ya Allah) untuk (mengerjakan) umrah dan haji” (HR. Imam Muslim)
Dalam buku Fiqh As-Sunnah I halaman 551 Sayyid Sabiq menuliskan bahwa salah seorang
Sahabat mendengar Rasulullah SAW mengucapkan (َّْت ْال َحج
ُ ْت ْال ُع ْم َرةَ اَوْ نَ َوي
ُ “ )نَ َويSaya niat
mengerjakan ibadah Umrah atau Saya niat mengerjakan ibadah Haji”
أو نويت الحج، " نويت العمرة: أنه سمعه صلى هللا عليه وسلم يقول
Memang, ketika Rasulullah SAW melafadzkan niat itu ketika menjalankan ibadah haji, namun
ibadah lainnya juga bisa diqiyaskan dengan hal ini, demikian juga kesunnahan melafadzkan niat
pada shalat juga diqiyaskan dengan pelafadzan niat dalam ibadah haji. Hadits tersebut
merupakan salah satu landasan dari Talaffudz binniyah.
Hal ini, sebagaimana juga dikatakan oleh al-‘Allamah al-Imam Ibnu Hajar al-Haitami ( ابن
) حجر الهيتميdidalam Kitab Tuhfatul Muhtaj (II/12) ;
(ويندب النطق) بالمنوي (قبيل التكبير) ليساعد اللسان القلب وخروجا من خالف من أوجبه وإن شذ وقياسا على ما يأتي في
الحج
“Dan disunnahkan melafadzkan (mengucapkan) niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu
hati dan juga untuk keluar dari khilaf orang yang mewajibkannya walaupun (pendapat yang
mewajibkan ini) adalah syad ( menyimpang), dan Kesunnahan ini juga karena qiyas terhadap
adanya pelafadzan dalam niat haji”
Al-Allamah Asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz didalam Fathul Mu'in Hal. 1 :
أن ليس ألحد أبدا أن يقول في شيء حل وال حرم إال من جهة العلم وجهة العلم الخبر في الكتاب أو السنة أو األجماع أو القياس
..selamanya tidak boleh seseorang mengatakan dalam hukum baik halal maupun haram kecuali
ada pengetahuan tentang itu, pengetahuan itu adalah al-Kitab (al-Qur'an), as-Sunnah, Ijma; dan
Qiyas.”
قلت لو كان القياس نص كتاب أو سنة قيل في كل ما كان نص كتاب هذا حكم هللا وفي كل ما كان نص السنة هذا حكم رسول هللا
ولم نقل له قياس
Aku (Imam Syafi'i berkata), jikalau Qiyas itu berupa nas Al-Qur'an dan As-Sunnah, dikatakan
setiap perkara ada nasnya didalam Al-Qur'an maka itu hukum Allah (al-Qur'an), jika ada nasnya
didalam as-Sunnah maka itu hukum Rasul (sunnah Rasul), dan kami tidak menamakan itu
sebagai Qiyas (jika sudah ada hukumnya didalam al-Qur'an dan Sunnah).
Maksud perkataan Imam Syafi'i adalah dinamakan qiyas jika memang tidak ditemukan dalilnya
dalam al-Qur'an dan As-Sunnah. Jika ada dalilnya didalam al-Qur'an dan as-Sunnah, maka itu
bukanlah Qiyas. Bukankah Ijtihad itu dilakukan ketika tidak ditemukan hukumnya/dalilnya
dalam Al-Qur'an dan As-Sunnah ?
Jadi, melafadzkan niat shalat yang dilakukan sebelum takbiratul Ihram adalah amalan sunnah
dengan diqiyaskan terhadap adanya pelafadzan niat haji oleh Rasulullah SAW. Sunnah dalam
pengertian ilmu fiqh, adalah apabila dikerjakan mendapat pahala namun apabila ditinggalkan
tidak apa-apa. Tanpa melafadzkan niat, shalat tetaplah sah dan melafadzkan niat tidak merusak
terhadap sahnya shalat dan tidak juga termasuk menambah-nambah rukun shalat.
Ulama Syafi’iyyah & ulama lainnya yang mensunnahkan melafadzkan niat (Talaffudz binniyah)
adalah sebagai berikut ;
Al-Allamah asy-Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibari (Ulama Madzhab Syafi’iiyah),
dalam kitab Fathul Mu’in bi syarkhi Qurratul 'Ain bimuhimmati ad-Din, Hal. 16 ;
. وخروجا من خالف من أوجبه، ليساعد اللسان القلبX، (و) سن (نطق بمنوي) قبل التكبير.
“Disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul ihram, agar lisan dapat membantu hati
(kekhusuan hati), dan karena mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya.”
Al-Imam Muhammad bin Abi al-'Abbas Ar-Ramli/Imam Ramli terkenal dengan sebutan
"Syafi'i Kecil" [ ]الرملي الشهير بالشافعي الصغيرdalam kitab Nihayatul Muhtaj ()نهاية المحتاج, juz I :
437 :
“Disunnahkan (mandub) melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapt membantu
hati (kekhusuan hati), agar terhindar dari gangguan hati (was-was) dan karena mengindari
perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya”.
Asy-Syeikhul Islam al-Imam al-Hafidz Abu Yahya Zakaria Al-Anshariy (Ulama Madzhab
Syafi'iyah) dalam kitab Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab ()فتح الوهاب بشرح منهج الطالب
[I/38] :
"(Disunnahkan) mengucapkan niat sebelum Takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat
membantu hati.."
Diperjelas (dilanjutkan) kembali dalam Kitab Syarah Fathul Wahab yaitu Hasyiyah Jamal Ala
Fathul Wahab Bisyarhi Minhaj Thullab, karangan Al-'Allamah Asy-Syeikh Sulaiman Al-
Jamal ;
"dan sebuah penjelasan, agar lisan lisan dapat membantu hati, terhindar dari was-was, dan untuk
mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya. selesai"
( ويندب النطق ) بالمنوي ( قبل التكبير ) ليساعد اللسان القلب وألنه أبعد عن الوسواس
"Disunnnahkan mengucapkan niat sebelum takbir, agar lisan dapat membantu hati dan
sesungguhnya untuk menghindari kewas-was-was-an (gangguan hati)"
"dan disunnahkan mengucapkan (niat) sebelum takbiratul Ihram, agar lisan dapat membantu
hati"
Al-‘Allamah Sayid Bakri Syatha Ad-Dimyathiy, dalam kitab I’anatut Thalibin ()إعانة الطالبين
[I/153] ;
. إذ العبرة بما في القلب، فلو نوى الظهر بقلبه وجرى على لسانه العصر لم يضر، وسن نطق بمنوي) أي وال يجب:(قوله
وخروجا من خالف من أوجبه أي النطق بالمنوي: وقوله. ليساعد اللسان القلب) أي والنه أبعد من الوسواس:(قوله
“[disunnahkan melafadzkan niat] maksudnya (melafadzkan niat) tidak wajib, maka apabila
dengan hatinya berniat shalat dzuhur namun lisannya mengucapkan shalat asar, maka tidak
masalah, yang dianggap adalah didalam hati. [agar lisan membantu hati] maksudnya adalah
terhindari dari was-was. [mengindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkan] maksudnya
dengan (ulama yang mewajibkan) melafadzkan niat.”
Al-‘Allamah Asy-Syekh Jalaluddin Al-Mahalli, di dalam kitab Syarah Mahalli Ala Minhaj
Thalibin ( )شرح العالمة جالل الدين المحلي على منهاج الطالبينJuz I (163) :
“dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbir (takbiratul Ihram), agar lisan dapat
membantu hati””
Didalam Kitab Matan Al-Minhaj lisyaikhil Islam Zakariyya Al-Anshariy fi Madzhab Al-Imam
Asy-Syafi'i :
Kitab Safinatun Naja, Asy-Syaikh Al-‘Alim Al-Fadlil Salim bin Samiyr Al-Hadlramiy ‘alaa
Madzhab Al-Imam Asy-Syafi’i ;
ومحلها القلب والتلفظ بها سنة، قصد الشيء مقترنا بفعله: النية
"Niat adalah menyengaja sesuatu bersamaan dengan pekerjaannya, adapun tempatnya niat
didalam hati sedangkan mengucapkan dengan lisan itu sunnah"
Didalam kitab Niyatuz Zain Syarh Qarratu 'Ain, Al-'Allamah Al-'Alim Al-Fadil Asy-Syekh
An-Nawawi Ats-Tsaniy (Sayyid Ulama Hijaz) ;
"adapun melafadzkan niat maka itu sunna supaya lisan dapat membantu hati"
Kitab Faidlul Haja 'alaa Nailur Roja, Al-'Alim Ahmad Sahal bin Abi Hasyim Muhammad
Mahfudz Salam Al-Hajiniy ;
قوله واللفظ سنة) اللفظ بمعنى التلفظ مصدر لفظ يلفظ من باب ضرب يضرب أى والتلفظ بها أى بالنية سنة فى جميع األبواب
كما قاله حج خروجا من خالف موجبه
Al-'Allamah Asy-Syekh Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitamiy, didalam kitab Minhajul Qawim
(1/191) ;
فصل في سنن الصالة وهي كثيرة ( و ) منها أنه ( يسن التلفظ بالنية ) السابقة فرضها ونفلها ( قبيل التكبير ) ليساعد اللسان
القلب وخروجا من خالف من أوجب ذلك
"Fashal didalam menerangkan sunnah-sunnah shalat, dan sunnah shalat itu banyak, diantaranya
adalah disunnahkan melafadzkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati
dan untuk keluar (menghindari) khilaf ulama yang mewajibkannya"
( ومحلها القلب ) نعم يسن التلفظ بها في جميع األبواب خروجا ً من خالف من أوجبه: قوله
"qouluhu (tempatnya niat didalam hati), memang disunnahkan talaffudz biha (melafadzkan niat)
didalam semua bab-bab untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya"
Al-'Allamah Al-Imam Muhammad Asy-Syarbiniy Al-Khatib, didalam kitab Al-Iqna' Fiy Alfaadh
Abi Syuja', pada pembahasan "Arkanush shalah" ;
ويندب النطق بالمنوي قبيل التكبير ليساعد اللسان القلب وألنه أبعد عن الوسواس
"dan disunnahkan mengucapkan niat sebelum takbiratul Ihram agar lisan dapat membantu hati,
dan karena sesungguhnya menjauhi dari was-was"
Didalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, Asy-Syekh Musthafa Al-Bugha & Asy-
Syekh Muhyiddin Misthu, telah menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan
(melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"
Didalam kitab Al-Futuhat Ar-Rabbaniyah (Syarah) 'alaa Al-Adzkar An-Nawawiyah (1/54), Asy-
Syekh Muhammad Ibnu 'Alan Ash-Shadiqiy mengatakan,
نعم يسن النطق بها ليساعد اللسان القلب وألنه صلى هللا عليه وآله وسلم نطق بها في الحج فقسنا عليه سائر العبادات وعدم
وروده ال يدل على عدم وقوعه
"Iya, sunnah mengucapkan niat agar lisan dapat membantu hati, dan karena sesungguhnya Nabi
mengucapkan niat dalam ibadah haji, maka diqiyaskan kepadanya dalam seluruh Ibadah, dan
ketiadaan yang meriwayatkannya tidak menunjukkan atas ketiadaannya dan terjadinya"
Redaksi melafadzkan niat dari Imam Syafi'i, di riwayatkan dari Al-Hafidz Al-Imam Ibnu Muqri'
didalam kitab Mu'jam beliau (336) :
، مؤديا لفرض هللا، موجها لبيت هللا، بسم هللا: قال،أخبرنا ابن خزيمة حدثنا الربيع قال كان الشافعي إذا أراد أن يدخل في الصالة
هللا أكبر
") هللا أكبر، مؤديا لفرض هللا، موجها لبيت هللا،(بسم هللا
(سنن كثيرة) منها تقديم النية مع أول السنن المتقدمة على غسل الوجه فيحصل له ثوابها كما مر ومنها التلفظ بالمنوي:قوله
ليساعد اللسان القلب
Tujuan dari melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagaimana dijelaskan diatas adalah
agar lisan dapat membantu hati yaitu membantu kekhusuan hati, menjauhkan dari was-was
(gangguan hati), serta untuk menghindari perselisihan dengan ulama yang mewajibkannya, itu
karena menghindar dari khilaf ulama hukumnya hukumnya adalah sunnah. Selain itu lafadz niat
adalah hanya demi ta’kid yaitu penguat apa yang diniatkan.
Berkata shohibul Mughniy : Lafdh bimaa nawaahu kaana ta’kiidan (Lafadz dari apa apa yg
diniatkan itu adalah demi penguat niat saja) (Al Mughniy Juz 1 hal 278), demikian pula
dijelaskan pd Syarh Imam Al Baijuri Juz 1 hal 217 bahwa lafadh niat bukan wajib, ia hanyalah
untuk membantu saja.
. فتجزئ وإن لم يتلفظ، القلب: ومحلها، أي قصدك به، نواك هللا بخير: يقال، القصد: باب النية لغة
وال يضر سبق لسانه بغير قصده وتلفظه بما نواه تأكيد
".. dan melafadzkannya dengan apa yang diniatkan adalah penguat (ta'kid)"
Dan sungguh begitu indahnya kata-kata ulama, mereka sebisa mungkin menghindari perselisihan
bahkan dalam perkara yang seperti ini, tidak seperti saat ini, sebagian kelompok kecil ada yang
beramal ASBED (asal beda), selalu mengangkat perkara khilafiyah dan begitu mudah mulut
mereka membuat tuduhan bid’ah terhadap pendapat yang lainnya. Padahal dengan kata lain,
tuduhan bid’ah yang mereka lontarkan, hakikatnya telah menghujat ulama dan menuduh ulama-
ulama Madzhab yang telah mensunnahkannya.
Kesunnahan melafadzkan niat dari ulama Syafi’iiyah juga dapat dirujuk pada pendapat dalam
kitab ulama syafi’iiyah lainnya maupun kitab-kitab ulama madzhab yang lainnya.
Melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) juga merupakan ucapan yang baik, bukan ucapan yang
buruk, kotor maupun tercela. Sebagai sebuah perkataan yang baik maka tentunya diridhoi oleh
Allah Subhanahu wa ta’alaa dan Allah senang dengan perkataan yang baik. Dengan demikian
ucapan yang terlontar dari lisan seorang hamba akan dicatat oleh malaikat sebagai amal bagi
hamba tersebut.
Allah berfirman ;
“Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang
selalu hadir” (QS. al-Qaaf 50 : 18)
َُمن َكانَ ي ُِري ُد ْال ِع َّزةَ فَلِلَّ ِه ْال ِع َّزةُ َج ِميعا ً إِلَ ْي ِه يَصْ َع ُد ْال َكلِ ُم الطَّيِّبُ َو ْال َع َم ُل الصَّالِ ُح يَرْ فَ ُعه
‘Barangsiapa yang menghendaki kemuliaan, maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.
Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” (QS.
al-Fathir 35 : 10)
Maka demikian, melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) sebagai sebuah ucapan yang baik, juga
memiliki nilai pahala sendiri disisi Allah berdasarkan ayat al-Qur’an diatas.
Didalam madzhab lainnya selain madzhab Syafi’iiyah juga mensunnahkan melafadzkan niat,
misalnya ; Mazhab Hanafi (Ulama Hanafiyah) berpendapat bahwa niat sholat adalah bermaksud
untuk melaksanakan shalat karena Allah dan letaknya dalam hati, namun tidak disyaratkan
melafadhkannya dengan lisan. Adapun melafadhkan niat dengan lisan sunnah hukumnya,
sebagai pembantu kesempurnaan niat dalam hati. Dan menentukan jenis sholat dalam niat adalah
lebih afdlal. [al-Badai’ I/127. Ad-Durru al-Muhtar I/406. Fathu al-Qadir I/185 dan al-lubab I/66]
Mazhab Hanbali (Ulama Hanabilah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk melakukan
ibadah, yang bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Shalat tidak sah tanpa niat,
letaknya dalam hati, dan sunnah melafadzkan dengan lisan, disyaratkan pula menentukan jenis
sholat serta tujuan mengerjakannya. [al-Mughny I/464-469, dan II/231. Kasy-Syaaf al-Qona’
I364-370]
Mazhab Maliki (Ulama Malikiyah) berpendapat bahwa niat adalah bermaksud untuk
melaksanakan sesuatu dan letaknya dalam hati. Niat dalam sholat adalah syarat sahnya sholat,
dan sebaiknya tidak melafadzkan niat, agar hilang keragu-raguannya. Niat sholat wajib bersama
Takbiratul Ihram, dan wajib menentukan jenis sholat yang dilakukan [asy-Syarhu ash-Shaghir
wa-Hasyiyah ash-Shawy I/303-305, al-Syarhu al-Kabir ma’ad-Dasuqy I/233 dan 520]
قال العالمة الدردير رحمه هللا تعالى في الشرح الكبير ( ولفظه ) أي تلفظ المصلي بما يفيد النية كأن يقول نويت صالة فرض
واألولى أن ال يتلفظ ألن النية محلها القلب وال مدخل للسان فيها. الظهر مثال ( واسع ) أي جائز بمعنى خالف األولى
..dan melafadzkan niat yaitu seorang mushalli melafadzkan niat dimana dia mengatakan
seumpama ( )نويت صالة فرض الظهرadalah wasi'/luas maksudnya boleh ( )جائزbimakna khilaful
Aula..
لكن يستثنى منه الموسوس فإنه يستحب له التلفظ بما يفيد النية: قال الدسوقي رحمه هللا تعالى في حاشيته على الشرح الكبير
ليذهب عنه اللبس كما في المواق وهذا الحل الذي حل به شارحنا وهو أن معنى واسع أنه خالف األولى
dan tetapi dikecualikan bagi orang yang was-was maka sesungguhnya baginya di sunnahkan
melafadzkan niat..
DR. Wahbah Zuhaili dalam kitab Al-Fiqhul Islam I/767 : "Disunnatkan melafadzkan niat
menurut jumhur selain madzab maliki." Didalam kitab yang sama juga diterangkan mengenai
pendapat madzhab Maliki, jilid I/214 bahwa : “Yang utama adalah tidak melafadzkan niat
kecuali bagi orang-orang yang berpenyakit was-was, maka disunnatkan baginya agar hilang
daripadanya keragu-raguan".
Hadits ini sama sekali tidak berbicara bahwa melafadzkan niat adalah bid’ah, namun mengenai
niat sebagai syarat sahnya sebuah amal, atau niat sebagai penyempurna sebuah amalan.
Sebagaimana shalat juga tidak sah jika tidak disertai dengan niat, sebab niat dalam shalat
merupakan bagian dari rukun sholat yang aktifitasnya didalam hati. Berbeda dengan
melafadzkan niat (Talaffudz binniyah) dimana aktifitasnya adalah lisan dan bukan merupakan
rukun shalat, namun sunnah. Kesunnanan ini (Talaffudz binniyah) baik dikerjakan atau tidak,
tidak merusak pada sahnya shalat dan tidak juga menjadikan shalat batal.
Didalam kitab syarahnya pun yaitu dalam kitab Al-Wafi Syarah Arba'in An-Nawawi, telah
menjelaskan tentang hadits No.1,
ومحل النية القلب؛ فل يشترط التلفظ بها؛ ولكن يستحب ليساعد اللسان القلب على استحضارها
"dan tempat niat dalam hati, tiada disyaratkan melafadzkannya, dan tetapi disunnahkan
(melafadzkan) agar lisan dapat membantu hati dengan menghadirkan niat"
[-]. Perihal Jawaban Imam Ahmad : Abu Dawud As-Sijistany , penulis kitab As-Sunan pernah
bertanya kepada Imam Ahmad, "Apakah seorang yang mau melaksanakan Sholat mengucapkan
sesuatu sebelum takbir?" Jawab beliau, " tidak usah". [Lihat Masa'il Abi Dawud (hal.31)]
Dalam Masa’il Abi Daud diatas, Imam Ahmad tidak membid’ahkan, beliau hanya mengatakan
tidak usah. Sedangkan kalangan Madzhab Hanabilah sendiri mensunnahkan melafadzkan nit.
[-] Ada yang mengatakan, "yang didahulukan itu seharusnya adalah sabda Nabi bukan Ulama".
Jawaban : "memang benar, tetapi siapa yang lebih paham mengenai sabda/perbuatan Nabi
daripada Ulama ?? Tentu saja yang diikuti adalah ulama yang tepat, yang lebih paham sabda
Nabi.
Ini kami anggap penting untuk dijelaskan, agar tidak terjadi salah paham atau disalah pahami
untuk menyalah pahamkan pendapat lainnya. Sebagaimana sudah disebutkan diatas, oleh Imam
Ibnu Hajar Al-Haitami (Tuhfatul Muhtaj), Imam Ramli (Nihayatul Muhtaj), Al-'Allamah Syeikh
Zainuddin bin Abdul Aziz (Fathul Mu'in) dan yang lainnya, bahwa penetapan hukum sunnah
terhadap melafadzkan niat (talaffudz binniyah) juga bermaksud menghindari perselisihan dengan
ulama yang mewajibkannya.
Perlu diketahui bahwa ulama yang mewajibkan (talaffudz binniyah) juga dinisbatkan kepada
madzhab Syafi'iyyah sebab memang masih bermadzhab Syafi'i. Beliau adalah Imam Abu
Abdillah az-Zubairiy ()أبي عبد هللا الزبيري. Beliau mewajibkan melafadzkan niat berdasarkan
pemahamannya terhadap perkataan Imam Syafi'i tentang "an-Nuthq ()النطق. Menurut pemahaman
beliau apa yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan "an-nuthq ( ")النطقadalah melafadzkan niat.
Padahal yang dimaksud oleh Imam Syafi'i dengan an-Nuthq ( )النطقadalah Takbir (Takbiratul
Ihram), menurut Al-Imam Nawawi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab Al-Majmu' (II/43) ;
وإن لم يتلفظ وليس كالصالة ال تصح إال بالنطق، إذا نوى حجا أو عمرة أجزأ: ألن الشافعي رحمه هللا قال في الحج،
"Karena sesungguhnya Al-Imam asy-Syafi'i berkata didalam (Bab) Haji : "apabila seseorang
berniat menunaikan ibadah haji atau umrah dianggap cukup sekalipun tidak dilafadzkan. Tidak
seperti shalat, tidak dianggap sah kecuali dengan melafadzkannya (an-Nuthq)"
Jadi, beliau (Abu Abdillah az-Zubairiy ) mengira bahwa Imam Syafi'i memasukkan talaffudz
binniyah menjadi bagian dari syarat sahnya shalat, padahal tidak demikian.
Maka, itu sebabnya pendapat yang mewajibkan ini dikatakan syad (menyimpang) oleh Al-Imam
Ibnu Hajar Al-Haitamiy didalam Tuhfatul Muhtaj (II/12) :
Imam an-Nawawi didalam kitab Al-Majmu' (II/43) juga menjelaskan kekeliruan tersebut.
بل مراده التكبير، وليس مراد الشافعي بالنطق في الصالة هذا، غلط هذا القائل: قال أصحابنا
"beberapa shahabat kami berkata : "Orang yang mengatakan hal itu telah keliru. Bukan itu yang
dikehendaki oleh Al-Imam Asy-Syafi'i dengan kata "an-Nuthq (melafadzkan)" di dalam shalat,
tetapi yang dikehendaki adalah Takbir (Takbiraul Ihram)"
Sementara lihatlah begitu indah menyebut Syekh Abu Abdillah az-Zubairy dengan sebutan
"Ashabinaa", walaupun tidak menyetujui pendapatnya. Tauladan yang sangat terpuji dalam
menyikapi khilafiyah.
Disebutkan juga dalam Al-Hawi fiy Fiqh Asy-Syafi'i, Al-Imam Al-Mawardiy Asy-Syafi'i, Darul
Kutub Ilmiyyah, Beirut - Lebanon ;
ال ِم ْن ٍ ُظ ِه َر بِلِ َسانِ ِه َما ا ْعتَقَ َدهُ بِقَ ْلبِ ِه فَيَ ُكونُ َعلَى َك َم ْ ب َو ِذ ْك ٌر بِاللِّ َسا ِن لِي ِ النِّيَّةُ ا ْعتِقَا ٌد بِ ْالقَ ْل: الزبَي ِْريُّ ِم ْن أَصْ َحابِنَا
ُّ ِ ال أَبُو َع ْب ِد هَّللا
َ ََوق
ُب أَ ْن تَ ُكونَ النِّيَّة َ َو َج، ب ِ زَم ا ْعتِقَا ُدهُ بِ ْالقَ ْل
ِ اختَصَّ بِاللِّ َسا ِن حكم النية به لَ ْم يَ ْل ْ أِل َ َّن ْالقَوْ َل لَ َّما: ُ َوهَ َذا اَل َوجْ هَ لَه، نِيَّتِ ِه َوثِقَ ٍة ِمنَ ا ْعتِقَا ِد ِه
َ فَل ِو. فَ َعلَى هَ َذا لَوْ َذ َك َر النِّيَّةَ بِلِ َسانِ ِه َولَ ْم يَ ْعتَقِ ْدهَا بِقَ ْلبِ ِه لَ ْم يُ ِج ْزهُ َعلَى ْال َم ْذهَبَي ِْن َمعًا. ب اَل يَ ْلزَ ْم ِذ ْك ُرهَا بِاللِّ َسا ِن ِ َّت بِ ْالقَ ْل
ْ اختَص ْ إِ َذا
َ َ ْ ْ َ
َولَ ِو ا ْعتَقَ َد النِّيَّةَ بِقَلبِ ِه َولَ ْم يَذ ُكرْ هَا بِلِ َسانِ ِه أجْ َزأهُ َعلَى، ك أ ْك َم ُل أحْ َوالِ ِه َ ْ ْ َ َ ْ
َ ِا ْعتَقَ َدهَا بِقَلبِ ِه َو َذ َك َرهَا بِلِ َسانِ ِه أجْ زَ أهُ َعلَى ال َمذهَبَ ْي ِن َج ِميعًا َو َذل
ُّ ب
ِّالزبَي ِْري ِ َ َولَ ْم يُجْ ِز ْئهُ َعلَى َم ْذه، ب ال َّشافِ ِع ِّي ِ ََم ْذه
dan didalam kitab Hilyatul Ulama fiy Ma'rifati Madzahib Al-Fuqaha (2/70), Al-Imam Saifuddin
Abu Bakar Muhammad bin Ahmad Asy-Syasyi Al-Qaffal,
وينوي والنية فرض للصالة ومحلها القلب وغلط بعض أصحابنا فقال ال تجزئه النية حتى يتلفظ بلسانه
Jadi, pendapat yang dianggap menyimpang/keliru adalah jika melafadzkan niat (talaffudz
binniyah) dimasukkan sebagai bagian dari fardhu shalat atau shalat dianggap tidak cukup jika
tanpa melafadzkan niat. Sebab mewajibkan talaffudz binniyah sama saja telah masukkannya
sebagai bagian dari shalat. Maka yang sebenarnya tidak dikehendaki adalah dalam hal
mewajibkannya bukan kesunnahan melafadzkan niat. [] []
REFERENSI :
SukaSuka · · Bagikan
Disan Indoboyz Toili Hmmm I Like pembahasan ini ... Niat sholat itu emang tidak
berada di "sebelum ataupun sesudah takbir" tapi niat sholat dalam hati itu harus
bersamaan dengan lisan(lidah) yg mengucapkan "Allaahu Akbar".. #Disan_Indoboyz
Aguston Prima jika para ulama menqiyaskan (menganalogikan atau menyamakan) antara
niat haji yang dikeraskan dengan niat shalat. Apakah Niat shalat boleh disamakan dengan
niat haji? karena pada dasarnya perintah shalat turun terlebih dahulu sebelum haji. Dan
kaidah penting dalam ilmu fiqh adalah yang terdahulu tidak boleh disamakan dengan apa
yang turun sesudahnya
12 Desember 2013 pukul 23:33 · Suka · 1
Musaafir Musaafir Aku menjumpai seseorang sedang sholat,dan orang itu mengulangi
lafad niatnya smpai tiga kali bahkan kadang lebih.wktu takbiratul ihram org itu cepat
sekali,sehingga kalau menurut saya itu tidak nutut untuk mengatakan niat dalam
hatinya,,mungkin parasahabat dumay mempunyai referensi yang membolehkan tntang
menyikapi hal itu.???
Arbaan Syah Putra niat memang bukan bid'ah. yang harus dibahas itu "usholli...." tidak
ada dasar hukum (alquran&hadits) yang mengajarkan seperti itu. Rasulullah shalat hanya
menyempurnakan wudlu, menghadap kiblat, dan takbiratul ihram. tidak ada usholli dalam
sholatnya.
Ibaz Niat lisan sebelm takbir + Niat dlm hati bersamaan dengan takbir.... hati2 dngan niat
dlm Hati.....
Noer Slalu Bercahaya adakah disini yang punya pikiran takut kehilangan jati diri dari
kelompoknya dari pada takut kehilangan jati diri sebagai seorang yang taat kepada Allah
dan rosulnya???
Mohammad Taufiq Marsikin saya pernah dpt keterangan bahwa lafal Usalli yg skrg ini
berasal dari seorang ulama bernama Ustadz Umar Jinib Asmaralangga,jd bukan dari
Nabi,apakah penulis pernah mempelajari hal ini?Sama dengan shalawat Badar yg
merupakan gubahan Kyai Ali Mansur Banyuwangi, salah seorang cucu dari KH.
Muhammad Shiddiq Jember tahun 1960.
Mohammad Taufiq Marsikin bukankah Rasulullah pernah bersabda yg artinya utk urusan
agama kamu liat aku,lalu dihadits lain dikatakan shalatlah sebagaimana aku
shalat,pertanyaan saya apakah ulama2 fiqih lebih pintar dari Rasulullah?Kita tdk perlu
bahas bid'ah ato tdk,krn itu hal yg lbh dalam,kira2 itu yg saya bisa sampaikan kepada
penulis
Bayu Rahmawati yg salah itu yg gak shalat, soal furuiyah masing2 az , kalou ana pasti
solawatan lafadz niat pasti di pake jangan tanya hadits nya mana tapi kalou antum mau
tsnya kitzbnyz hadist nya boleh datang ke rumah ana .salafy itu sesama manhaj az saling
menyalahkan
5 Maret pukul 22:23 · Suka · 1
Yose Apero "jangan menambahkan perkara baru yang tidak ada diajarkan rosul"
Irman Efendi al ulama waritsatul anbiya.. itu hadist nabi.klo kalian gak gak percaya
ulama,,sama aja x an gak percaya nabi..inget,yg ngajarin xan emang nabi lagsung?
ngimpi.. ulama lebih pintar drpada x an.. maaf. esmosi..dikit hehhe
youtube.com
Fa Qih kalian yg suka ngomong bid'ah sesat sama saja kalian menentang ulama sekelas
imam syafi'I yg hafal jutaan hadist dan al-quraan..sekarang gue tanya sma kalian, kalian
hafal brp hadis? 1000? 100000? hafal alquraan? ilmu kalian tak ada apa2nya dibanding
ulama2 terdahulu..
Bydone Nafizz tidak semua kebaikan iti ada pada zaman nabi
Purnomo Nugroho perlu dijauhi orang alim yang merusak agamanya, dan orang bodoh
yang taat beribadah. Kenapa ? karena orang alim yang tidak berilmu akan merusak
agamanya sendiri dengan dalil yang tidak jelas, dan pemahaman yang salah. sehingga
menyesatkan umat. jika me...Lihat Selengkapnya
4 Mei pukul 23:22 · Suka · 1
Abu Ghailan Melafazkan niat... Lucu aj. Misal, ada org yg ke masjid utk sholat, niat
sebenarnya agar dilihat oleh calon mertua. Wlpun dia melafazkan niatnya smp 100 kali
(klo perlu pake speaker), tetap aj yg dinilai itu niat yg ada dlm hatinya. Kelucuan yg lain,
t...Lihat Selengkapnya
Turob Al Aqdam akeh kang apal qur'an haditse# seneng ngafirke marang liyane / kafire
dewe gak digatekke# yen isih kotor ati akale.
Bekti Iskandar Monggo podo ngaji Ilmu Fikih sesarengan supados ngalim ing ilmu fikih.
tiang alim ingkang ngertos ilmu niku sanget ati-atine ing penggawe, pengucap lan ing
atine. monggo pdho nempat aken awake dewe dewe
Mas Geni Santo status yg lengkap dg dalil d bantah dg koment yg tdk d sertai dalil.
Olan Elharierie nabi tidak pernah mengajarkan shalat melafazkan niat,,,yg kurang bgus
adalh pengikut2 imam syafii yg ada di indonesia,, mrk taklid buta, hanya imam syafii ato
syafiiyyah yg benar,,,.yg menyalahkan salafy (wahaby) lagi,,,ketika kalian pergi haji
adakah ...Lihat Selengkapnya
Feri Irawan intinya..ibadah pakai dalil.. kalau ngk ada dalil yg sahih bearti bukan
sunnah..
Ari Falrabi masyallah udh smpai dg hadits rasulullah akn dtang suatu zaman dmn muslim
akn saling menyalahkan dan saling menganggap dirinya benar mhon mf sdulur diluar
mereka semngat menghancurkan kita tpi kenapa kita terlena hanya dg berdebat ayo
bersatu
Ari Falrabi olan elha re@ente klo g mw dg smwnya ya g apa2 g ush ampe bawa2 nama
ulama gitu mhon mf klo ente g setuju mendingan silahkan k arab sana jangan tinggal di
indonesia ukhruj min baldina
Olan Elharierie ia makanya jgn anggap mazhabnya paling benar, ana bukan pengikut
wahabi ato salafy, yg penting haditsnya sohih ya kita ambil kalu dalilnya maudu' ya kita
tinggalkan. imam syafii jg mengatakan idza shahhal hadits pahuwa madzahabi,,,imam
syafii sendiri...Lihat Selengkapnya
Olan Elharierie ia dulu sy endiri yg beli azimat dari kiayainya makanya ana berani
berkomentar tentang itu,,tp itu dulu waktu ana blum tahu tentang syirik,,,
Kennan Tanjung kalau pengen dekat dengan Allah amalkan Isi Al-qur'an dan Sunnah
Rasul jangan Ulama untuk menghindari Taklid ...
Syarip Hadiani wahaby, memang sok kepintaran, mazhab ini ga punya konsistensi, comot
dalil ke sana, kemari, mengkafir-kafirkan org, bilang org bid'ah, itulah akibat kebodohan,
kedunguan dan merasa paling pintar. Goblok, goblok wahabi ini,,,
Ach Mustofa Idris Betol kwn whhby mang sok pintr.pd hal jlebbo
Kasyfur Rahman sumber hukum islam ga cuma alquran n sunnah akhi. masih ada ijma',
qiyas, maslahah mursalah, dsb. memahami quran n sunnah pun jgn sepotong2, lihat dalil
lain....
Alfi Syah sebaiknya pahami dulu apa itu bid'ah saudara sekalian
Rizky Hanif Prayitno bid'ahkan ada dua bidah yang di anjurkan dan yang tidak.kalo ini
termasuk bidah yang tidak dianjurkan ane minta penjelasannya sih
Arridwan Rva pada so pinter kalian smua . jd org jng pada fanatik, mw sholat pke niat ato
kga ya gpp . jng pernh merasa diri kalian plg benar yg benar cuma allah .
Qurtusi Ks Ga da habisnya klo mslh nih trus dilnjutin... Pdhl kt punya landasan yg pabila
kt BERSELISIH kmbaliin aja yg py sumber urusan, ُول إِن ِ فَإِن تَنَا َز ْعتُ ْم فِي َش ْى ٍء فَ ُر ُّدوهُ إِلَى هللاِ َوال َّرس
ُكنتُ ْم تُ ْؤ ِمنُونَ بِاهللِ َو ْاليَوْ ِم ْاألَ ِخ ِر َذ ِل...Lihat SelengkapnyaLihat Terjemahan
Delta Tendez Icank kalaw memang melafazkan niat itu bukan bagian ibadah sholat
kenapa diwjibkan kan aneh
Delta Tendez Icank ada yang mengatakan bahwa jangan mmpersoalkan pake usholi atw
ga yang dipersalahan orang ga' shalat pandangan ini justru harus diluruskan, nah kata
nabi kalaw sholat ikutin cara ku kata nabi muhammad Saw. nah klw kita sholat tidak
mengikuti aturan yg telah nabi patenkan lha kita sholat ngikutin cara siapa. pikirkan
baik2
Iwan Wandi no komen lah, lieur aing ngabandungana ge, asa pa bener2 maraneh ari nu
lain salah.
Afnan Dhaifallah Kerjakan saja sesuai dengan ilmu dan keyakinan masing-masing,
jangan suka mengkafirkan saudara sendiri karena sangat jauh bedanya antara orang kafir
dan orang beriman. Saat ini sdh banyak orang2 yg membawa nama hadits dan Alquran
dan membid'ahkan pendapat lain padahal ilmunya cetek itupun dapet dari baca buku saja.
Semua Catatan
Beasiswa Stuned
Lihat Semua
Halaman Populer di Daerah Anda
Endank soekamti
Joko Widodo
Lihat Semua
Permintaan Pertemanan
Henny Puspita
Muhammad Tonysupcito
Tentan Buat Pengemban Ketentua
Buat Halaman KarierPrivasiKuki Bantuan
g Iklan g n
Facebook © 2014
Bahasa Indonesia
Tas Baju Amel menambahkan foto baru ke album GADGET NEW REPLIKA.
Indah Al-Haq
hanya yang jauh yang saat ini bikin kangen. — kangen , bersama M Naseh Al Failami.
o
Miftah Adistia
o
30m
Fatimah Az Zahro
Muh Mahbub
Huda Beltrame
6m
Qomad K'Hamid
o
1+
1+
2+
3+
Nailil Muna
Miftah AlFathony
o
36m
Nadha Miedah
Web
Al Ghozalie
Seluler
Web
Fatma IstiQomah
Web
Web
Web
Rani Purwati
Cari