Anda di halaman 1dari 4

2.3.

Peyampaian Nasihat oleh Rasulullah kepada Sahabatnya


Rasulullah saw. merupakan teladan yang sangat baik karena memiliki akhlak dan
karakter yang terpuji. Dalam hidupnya, Rasulullah telah banyak menasihati para sahabat yang
melakukan kekeliruan dengan cara yang berbeda sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.

Ketika Rasulullah hendak menasihati, beliau memperhatikan orang yang hendak


ditegur, karena menasihati seseorang yang tidak tahu berbeda dengan orang yang sengaja
berbuat salah. Sehingga nasihatnya dapat tersampaikan secara bijak dan efektif.

Dalam menyampaikan nasihat, Rasulullah memberi contoh:

1. Tidak membeda-bedakan orang yang berbuat salah

Rasulullah bersabda, “Umat yang datang sebelum kalian dibinasakan karena jika seorang
pembesar di antara kalian mencuri, mereka membiarkannya. Namun, jika ada rakyat jelata
yang mencuri, mereka menghukumnya. Demi Zat menguasai jiwaku, bahkan seandainya
Fatimah putri Muhammad mencuri, aku pasti akan memotong tangannya.”1
Rasulullah dengan jelas menyebut bahwa kita dilarang untuk membeda-bedakan
seseorang yang berbuat salah, sekalipun orang tersebut merupakan anggota keluarga. Apabila
anggota keluarga melakukan kesalahan, ia wajib untuk ditegur bukan untuk ditutup-tutupi
atau dimaklumi.
Kita juga harus menegur orang yang melakukan kesalahan, bahkan jika itu seorang anak
kecil. Karena dikhawatirkan anak kecil akan menganggap bahwa tindakan tersebut
dibenarkan dan dilanjutkan hingga ia dewasa. Rasulullah menegur mereka dengan kata yang
jelas.
Al-Bukhari r.a. meriwayatkan bahwa al-Hasan ibn Ali mengambil sebutir kurma dari
tumpukan kurma yang diberikan untuk zakat dan meletakkannya di mulutnya. Nabi
Muhammad saw. berkata, “Kakh, kakh (isyarat agar Hasan memuntahkannya) tahukan kau
bahwa kita tidak boleh memakan zakat?”2
Hadits lain juga menyebut bahwa Rasulullah tak ragu untuk menegur salah satu sahabat
dekatnya yang melakukan kesalahan. Hadits yang diriwayatkan oleh al-Darimi r.a. dari Jabur
yang menceritakan bahwa Umar ibn al-Khaththab mendatangi Rasulullah saw. membawa
Salinan Taurat dan berkata, “Wahai Rasul, ini adalah salinan Taurat.”

1
Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid, Cara Cerdas Nabi Mengoreksi Kesalahan Orang Lain, (Jakarta: Penerbit
Zaman, 2010), hlm. 56-57.
2
Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid, Cara Cerdas Nabi Mengoreksi Kesalahan Orang Lain, (Jakarta: Penerbit
Zaman, 2010), hlm. 69.
Rasulullah tidak menggubris ucapannya. Ketika Umar mulai membacakannya, paras
muka Rasulullah berubah menjadi merah karena marah. Abu Bakar mengatakan, “Andai
ibumu tak melahirkanmu! Apakah kau tidak melihat wajah Rasulullah saw.?”
Umar r.a. melihat wajah Rasulullah saw. dan berkata, “Aku berlindung kepada Allah
dari murka Allah dan murka Rasul-Nya saw. Kami rida Allah sebagai Tuhan kami, Islam
sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami.”
Rasulullah bersabda, “Demi Zat yang menciptakan Muhammad, bahkan jika Musa a.s
hidup di antara kalian dan kemudian kalian mengikutinya serta meninggalkanku, niscaya
kalian akan tersesat dari jalan lurus. Jika ia hidup sampai masa kenabianku, niscaya ia akan
mengikutiku.”3
Riwayat tersebut menerangkan bahwa Rasulullah saw. juga menegur Umar yang
merupakan salah satu orang terdekat Beliau dengan keras dan marah karena kekeliruan yang
Umar lakukan dengan cara, yaitu:
 Rasulullah tidak menggubris perkataan Umar yang berkata bahwa Umar membawa
salinan Taurat.
 Ketika Umar mulai membaca salinan Taurat tersebut, wajah Rasulullah menunjukan
kemarahan kepada perilaku Umar.
 Abu Bakar menegur Umar ketika melihat ekpresi Rasulullah berubah.
 Setelah ditegur oleh Abu Bakar, Umar menyadari kesalahannya kemudian meminta
maaf atas kekeliruan yang ia lakukan.
 Rasulullah kemudian memberi penjelasan akan bagaimana seharusnya Umar bersikap
dengan menegaskan bahwa umat Islam harus mengikuti ajaran Allah yang telah
disempurnakan melalui Rasulullah saw. dan meninggalkan pedoman lain selain Al-
Qur’an

2. Menasihati dengan bijak


Rasulullah pernah menasihati Muawiyah ibn al-Hakam al-Salami ketika mendirikan
shalat.
“Ketika aku melaksanakan shalat di belakang Rasulullah, seseorang bersin sehingga aku
berucap- yarhamukallaah-semoga Allah mengasihimu. Orang-orang di sekitarku berpaling
dan memelototiku. Aku bertanya, “Ada apa ini? Mengapa kalian melihatku dengan tatapan
seperti itu? Apa yang salah denganku?’ Namun aku melihat mereka menepuk paha dan

3
Ibid, hlm. 169
memberi isyarat agar aku diam. Karena itu aku berhenti bicara. Selesai mengerjakan shalat,
Rasulullah saw.—ayah dan ibuku menjadi tebusan, belum pernah aku melihat seorang guru
yang lebih baik darinya—tidak langsung menegur, memukul, atau mempermalukanku di
hadapan para sahabat. Rasulullah berkata singkat, ‘Ketika melaksanakan shalat, seseorang
tidak diperbolehkan bicara; hanya tasbih, takbir, dan bacaan Al-Quran.’” 4
Cara menasihati tersebut dapat kita terapkan, bahwa dalam menasihati orang lain,
harus bersikap lemah lembut, sopan, tidak mempermalukan dan berhati-hati.
Ada juga riwayat yang menerangkan Rasulullah bersikap lembut
Ibn Majah meriwayatkan bahwa Abu Hurairah berkata, “Seorang Badui memasuki
masjid yang di dalamnya ada Rasulullah sedang duduk bersama para sahabat. Laki-laki itu
mendekati Rasulullah saw., kemudian duduk, dan berkata, ‘Ya Allah, ampunilah aku dan
Muhammad, dan jangan ampuni orang lain.’
Rasulullah saw. tersenyum dan berkata, ‘Kau membatasi sesuatu yang lebih luas.’
Lalu orang Badui itu berdiri dan berjalan ke bagian lain masjid, membuka celananya,
dan langsung kencing. Si Badui itu menuturkan apa yang terjadi kemudian, “Setelah kencing,
aku melihat Rasulullah bangun. Demi Allah, ia tidak menegur atau menghinaku. Rasulullah
hanya berucap, ‘Kita tidak boleh kencing di dalam masjid, karena masjid didirikan hanya
untuk berdzikir kepada Allah dan melaksanakan shalat.’ Kemudian Rasulullah meminta
seember air dan menyiram air kencingku.’”5
Kita harus bersikap ramah dalam menegur orang yang memiliki ketidak-tahunan akan
suatu perkara dan perlu memberi pengetahuan yang benar akan suatu perkara tersebut. Dalam
memberi nasihat juga harus disegerakan dan jangan ditunda, karena Rasulullah langsung
menasihati orang Badui itu kemudian memberi contoh untuk segera menyiram air kencing
dengan seember air untuk menghilangkan najis di dalam masjid.
Riwayat lain juga menyebut bahwa ketika orang Badui itu kencing, para sahabat
serentak menyeruh orang Badui itu berhenti, tetapi Rasulullah meminta agar membiarkan
sampai kencingnya selesai. Kemudian, para sahabat membiarkan orang Badui tersebut.
Pelajaran lain yang bisa diambil, yaitu apabila orang Badui ini tidak menyelesaikan
kencingnya dengan tuntas, dikhawatirkan auratnya bisa dibuka karena terkejut serta
pakaiannya bisa terkena najis.

4
Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid, Cara Cerdas Nabi Mengoreksi Kesalahan Orang Lain, (Jakarta: Penerbit
Zaman, 2010), hlm. 43-44.
5
Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid, Cara Cerdas Nabi Mengoreksi Kesalahan Orang Lain, (Jakarta: Penerbit
Zaman, 2010), hlm. 105.
Riwayat ini memberi kita pelajaran bahwa seharusnya kita mencari tahu dan menganalisis
keadaan seseorang yang berbuat salah sebelum kita menegurnya. Pelajari penyebab ia
melakukan kesalahan tersebut sehingga kita bisa menyikapinya dengan bijak dan baik.
Selain harus bersikap adil dan tegas ketika menyampaikan nasihat, ada beberapa hal yang
harus diperhatikan, di antaranya:
1. Kita harus membedakan antara orang yang berbuat salah terus menerus dan orang
yang pertama kali berbuat salah.
2. Kita harus membedakan orang yang sering berbuat salah dan orang yang jarak berbuat
salah.
3. Kita harus membedakan antara orang yang berbuat salah secara terbuka atau terang-
terangan, dan orang yang berusaha menutupi kesalahannya.
4. Kita juga harus memperhatikan watak dan keberislaman seseorang sehingga teguran
atau nasihat yang kita sampaikan tidak membuatnya berpaling dari Islam. Karenanya,
kita harus bersikap bijak dan lemah lembut kepada orang yang belum kuat keislaman
dan keimanannya, seperti seorang mualaf atau yang sebelumnya dikenal sering
melakukan kesalahan. Sikap dan tegas mungkin akan membuatnya semakin jauh dari
Islam.
5. Kita juga harus mempertimbangkan kedudukan atau otoritas yang dimiliki seseorang
sehingga kita bisa menyampaikan teguran dengan pendekatan yang efektif.6

6
Syekh Muhammad Saleh al-Munajjid, Cara Cerdas Nabi Mengoreksi Kesalahan Orang Lain, (Jakarta: Penerbit
Zaman, 2010), hlm. 67-68.

Anda mungkin juga menyukai