Substansi hukum yang tidak baik dan mudah ditemukan dalam aturan-aturan yang diskriminatif dan
tidak adil; rumusan yang tidak jelas-tegas (non lex certa) sehingga multi tafsir; kontradiksi dan
overlapping dengan peraturan lain (baik yang sederajat maupun yang lebih tinggi). Sanksi yang tidak
setara dengan perbuatan yang dilarang sehingga tidak tepat sasaran serta dirasa terlalu ringan atau
terlalu berat; Penggunaan konsep yang berbeda-beda untuk sesuatu yang sama, semua itu mendukung
suatu peraturan yang tidak kompatibel dengan yang ada.
a. Hambatan Struktural
Yaitu hambatan yang terjadi dari praktik-praktik tata kelola negara dan pemerintahan yang tindak
pidana korupsi berjalan mestinya.
b. Hambatan Kultural
Yaitu hambatan yang bersumber dari kebiasaan negatif yang berkembang di masyarakat.
c. Hambatan Instrumental
Yaitu hambatan yang bersumber dari instrumen pendukung yang mendukung bentuk peraturan
perundang-undangan yang membuat tindak pidana korupsi berjalan mestinya.
d. Hambatan Manajemen
Yaitu hambatan yang bersumber dari diabaikannya atau tidak diterapkannya prinsip-prinsip manajemen
yang baik (komitmen yang tinggi dilaksanakan secara adil, transparan dan akuntabel) yang membuat
tindak pidana korupsi tidak berjalan mestinya.
1. Ketidakjujuran (Dishonesty)
Ketidakjujuran merupakan suatu tindakan yang tidak jujur. Banyak contoh ketidakjujuran yang dilakukan
oleh para penyelenggara negara, misalnya:
A. Mencantumkan hari bertugas di luar lebih banyak dari yang senyatanya dalam Surat Perintah
Perjalanan Dinas/SPPD (lebih parah lagi tanpa pergi, titip SPPD kepada teman yang sedang tugas luar).
B. Bentuk lain ketidakjujuran yang tidak secara langsung berhubungan dengan uang, misalnya memalsu
tanda tangan atau cap (stempel) kantor, mengisi presensi secara tidak benar, melaporkan yang baik-baik
saja dan menyembunyikan yang jelek-jelek. Ketidakjujuran merupakan tindakan penyimpangan yang
berbahaya karena dapat menimbulkan ketidakpercayaan (distrust) dan dalam beberapa kasus sangat
merugikan kepentingan masyarakat dan institusi.
2. Perilaku yang Buruk (Unethical Behaviour) Pegawai mungkin saja melakukan tindakan dalam batas-
batas yang diperkenankan hukum, tetapi tindakan tersebut dapat digolongkan sebagai tidak etis, namun
secara hukum tidak dapat dituntut. Misalnya, Seorang pejabat yang berpengaruh meminta kepada
kepala personalia supaya familinya diluluskan dalam seleksi pegawai. Di sini semua calon pegawai
diseleksi secara sama melalui prosedur formal tertentu. Akan tetapi, dalam melakukan penilaian dan
pengambilan keputusan, bagian personalia meloloskan calon bosnya meskipun secara objektif nilai
tesnya tidak memenuhi syarat kelulusan. Walaupun dalam kasus ini bos atau bagian personalia tidak
mungkin dituntut karena permintaan bos diajukan secara lisan (tidak ada bukti tertulis), tetapi juga tidak
ada unsur penyogokan, mungkin pula kalimat yang digunakan bos sangat tersamar (misalnya, "aku titip
keponakanku"), tetapi tindakan demikian jelas tidak etis karena mengorbankan objektivitas penilaian
dalam seleksi pegawai.
Pegawai dapat mengabaikan hukum atau membuat tafsiran hukum yang menguntungkan
kepentingannya. Misalnya, Pegawai A menggunakan mobil dinas untuk mengantar sekolah anaknya,
meskipun ia tahu bahwa keluarga pegawai tidak berhak menggunakan fasilitas kantor yang secara
hukum hanya diperuntukkan pegawai negeri dan hanya untuk kepentingan dinas.
Pejabat atau pegawai suatu instansi tetap mengikuti hukum yang berlaku, tetapi hukum tersebut
ditafsirkan untuk menguntungkan kepentingan tertentu. Misalnya, Seorang pejabat menyatakan bahwa
gubernur harus bersikap netral dalam pemilu, tetapi sebagai kader partai A maka yang bersangkutan
harus merasa terpanggil untuk memenangkan partai tersebut.
5. Perlakuan yang Tidak Adil terhadap Pegawai Tindakan tidak etis lainnya adalah memperlakukan
pegawai secara tidak adil. Contohnya, Pemimpin suatu instansi menghambat karier bawahannya yang
berprestasi karena merasa disaingi. Sebaliknya, ia memperlakukan seorang pegawai lainnya secara
istimewa karena bawahan tersebut pandai "melayani" kemauan pemimpin tersebut.
Kadang-kadang para pegawai suatu instansi melakukan inefisiensi bruto dengan menggunakan celah-
celah kelemahan suatu peraturan, misalnya Pejabat melakukan pemborosan dana secara berlebihan
meskipun tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.
7. Menutupi Kesalahan
Pimpinan atau pegawai negeri kadang-kadang menutupi kesalahan sendiri atau kesalahan bawahannya
atau melarang pers meliput kesalahannya atau instansinya. Contohnya Sikap para pejabat dalam kasus
Marsinah.
Sebagian pegawai kadang-kadang gagal membuat keputusan yang positif atau menggunakan diskresi
(keleluasaan) yang diberikan hukum kepadanya. Contohnya, setelah keluarnya suatu peraturan,
beberapa pejabat tidak berani mengambil inisiatif dalam mengatasi suatu permasalahan menurut
peraturan tersebut dan cenderung menunggu juklak atau juknis dari instansi induknya.
3. etika penyelenggara negara adalah nilai-nilai moral yang menjadi pedoman bagi penyelenggara
negara dalam menunaikan tugas dan kewajibannya.
4. kode etik PNS
Etika PNS dalam bernegara (Pasal 8 PP No. 42 Tahun 2004), meliputi:
C. menjadi perekat dan pemersatu bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia;
E. akuntabel dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa;
F. tanggap, terbuka, jujur, dan akurat, serta tepat waktu dalam melaksanakan setiap kebijakan dan
program Pemerintah;
g. menggunakan atau memanfaatkan semua sumber daya Negara secara efisien dan efektif;
Etika PNS dalam berorganisasi (Pasal 9 PP No. 42 Tahun 2004) terdiri atas:
e. menjalin kerja sama secara kooperatif dengan unit kerja lain yang terkait dalam rangka pencapaian
tujuan;
h. mengembangkan pemikiran secara kreatif dan inovatif dalam rangka peningkatan kinerja organisasi;
meliputi:
b. memberikan pelayanan dengan empati hormat dan santun tanpa pamrib dan tanpa unsur
pemaksaan;
C. memberikan pelayanan secara cepat, tepat, terbuka, dan adil serta tidak diskriminatif;
melaksanakan tugas.
meliputi:
a. jujur dan terbuka serta tidak memberikan informasi yang tidak benar;
a. saling menghormati sesama warga negara yang memeluk agamal kepercayaan yang berlainan;
c. saling menghormati antara teman sejawat, baik secara vertikal maupun horizontal dalam suatu unit
kerja, instansi, maupun antar-instansi;
f. menjaga dan menjalin kerja sama yang kooperatif sesama Pegawai Negeri Sipil;
g. berhimpun dalam satu wadah Korps Pegawai Republik Indonesia yang menjamin terwujudnya
solidaritas dan soliditas semua Pegawai Negeri Sipil dalam memperjuangkan hak-haknya.