Anda di halaman 1dari 4

Jurnal Pengendalian Hayati (2008) 1, 22-25.

Pemanfaatan Mikroorganisme Antagonis untuk Mengendalikan


Penyakit Hawar Bakteri (Xanthomonas campestris pv.
malvacearum) pada Kapas

Titiek YULIANTI dan Nurul HIDAYAH

Balai Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat, Jl. Raya Karangploso - Malang

ABSTRACT. Bacterial blight of cotton caused by Xanthomonas campestris pv. malvacearum is one
of the important cotton diseases. The pathogen infects all of part of the plant from seedling to fully
develop plant. In South Sulawesi, bacterial blight caused severe damage to the plant resulting yield
lost up to 50 %. Biological control is now a popular control method for plant diseases.This study
aimed to explore bacterial antagonists of bacterial blight. Exploration was conducted in Asembagus,
Singosari and Karangploso. Bacteria were isolated from soil and cotton plant parts (root, sleaf, and
stem). Six of 140 isolates were able to inhibit the growth of X. campestris pv. malvacearum in vitro.
However, only 2 isolates (Asb-D-3 and Asb-D-5) have capability of reducing the disease severity on
48,48% and 45,64% respectively.

Keywords: Xanthomonas campestris pv. malvacearum, cotton, antagonist, biological control

PENDAHULUAN Penelitian ini bertujuan untuk mencari mikroorganisme


antagonis bagi X c. pv. malavacearum baik yang berasal
Salah satu penyakit utama pada pertanaman kapas di
dari bahan tanaman (akar, daun, tunas, buah,maupun
Indonesia adalah penyakit hawar bakteri yang
batang) maupun dari tanah sekitar pertanaman kapas
disebabkan oleh Xanthomonas campestris pv.
malvaceamm. Penyakit ini menyerang seluruh stadia Xanthomonas campestris pv. malvacearum (E.F. Smith)
tanaman, mulai tanaman berkecambah sampai tanaman Dye merupakan nama terakhir yang umum digunakan
dewasa dan berbuah. Penyakit berkembang pada suhu untuk bakteri patogen penyebab penyakit hawar bakteri
30-36 °C dengan kelembaban udara di atas 85 %. pada kapas (Dye et al., 1980). Penyakit akan
Penyakit ini cukup potensial menurunkan produksi berkembang jika lingkungannya menunjang. Suhu
kapas di Indonesia. Daerah endemik hawar bakteri optimum untuk perkembangan penyakit ini adalah 30-
selama ini adalah di daerah Cikoang (Sulawesi Selatan). 36 °C dengan kelembaban di atas 85 % (Allen, 1988)
Menurut pihak PTP 23 (komunikasi pribadi) di Cikoang Sumber infeksi primer penyakit ini adalah benih dan
penurunan produksi akibat penyakit ini berkisar 10-23 sisa-sisa tanaman. Infeksi terhadap kotiledon terjadi
%. Kanro (1989) menyatakan bahwa serangan yang akibat kotiledon kontak dengan kulit biji atau sisa-sisa
berat mampu menurunkan produksi sampai 50 %. tanaman selama proses perkecambahan. Infeksi
sekunder terjadi setelah kecambah muncul di atas
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengendalian
pennukaan tanah melalui angin ataupun percikan air
yang efektif. Sistem pengendalian yang ada, misalnya
hujan dan irigasi. Menurut Allen (1988) gejala muncul
penggunaan bakterisida, varietas tahan, sanitasi sisa-sisa
7-14 hari setelah infeksi. Hillocks (1992) menegaskan
tanaman sakit, serta penggunaaan benih tanpa kabu-
bahwa bila jaringan palisade dan mesofil hancur, ketika
kabu dari tanaman yang sehat masih belum memberikan
itulah terlihat lesi kering berwarana tua pada permukaan
hasil yang memuaskan.
daun.
Banyaknya laporan tentang tercemarnya lingkungan dan
Beberapa cara pengendalian sudah dianjurkan, misalnya
musnahnya sejumlah spesies mikroorganisme akibat
penggunaan varietas tahan, sanitasi, penggunaan benih
pemakaian pestisida kimia yang intensif menyebabkan
'acid delinted' dari tanarnan sehat, ataupun penggunaan
para peneliti berusaha mencari altematif pengendalian
antibiotik streptomycin sulfat. Narnun hasilnya masih
yang lebih aman, ramah lingkungan, serta sudah
belum memuaskan (Yulianti dan Ibrahim, 1997).
tersedia di alam. Pengendalian hayati merupakan salah
satu altematif pengendalian yang ramah lingkungan dan Secara alami sebenarnya mikroorganisme berinteraksi
banyak dikaji kemungkinan pengembangan-nya. satu sarna lain membentuk suatu keseimbangan.
Khusus untuk bakteri ini, masih belum banyak diteliti Perubahan ekosistem akibat pertanian intensif
tentang peran bakteri phylloplane (bakteri penghuni menyebabkan salah satu mikroorganisme diuntungkan,
kanopi) sebagai antagonis X C. pv. malvacearum. tetapi yang lain dirugikan. Kondisi ini menyebabkan
Eksploitasi mikroorganisme antagonis untuk tetjadinya epidemi penyakit. Agar keseimbangan alam
mengendalikan penyakit hawar bakteri pada tanaman kembali, maka mikroorganisme yang bersifat antagonis
kapas perlu dilakukan untuk mengurangi penggunaan terhadap patogen hams ditingkatkan atau diintroduksi ke
pestisida kimia. lingkungan di mana sering terjadi penyakitSebenarnya

YULIANTI dan HIDAYAH 22


YULIANTI dan HIDAYAH Mikroorganisme Pengenddali Xanthomonas campestri pv. malvacearum

pennukaan daun ataupun bagian tanaman yang lain diratakan. Satu titik biakan murni bakteri antagonis
banyak dihuni oleh mikroorganisme saprofit seperti berumur 48 jam ditumbuhkan di atasnya. Sebagai
bc:Ucteri, kapang, ataupun cendawan yang mungkin kontrol suspensi dituang ke atas media tanpa bakteri
bersifat antagonis bagi X c. pv. malvacearom. Menurut antagonis. Biakan diinkubasi selama 24 jam pada 30°C.
Venna (1986) populasi bakteri phyllosphere semakin Parameter yang diamati adalah: zone hambatan yang
meningkat dengan meningkatnya umur serta terbentuk
kelembaban di atas daun. Bagian tanaman yang paling
Uji invivo. Bakteri yang secara in vitro memberikan
tinggi populasinya berturut-turut adalah daun, tunas,
hasil terbaik dan bersifat antagonis secara konsisten
pucuk, buah, dan batang. Biasanya mereka terdiri dari
digunakan dalam pengujian in vivo. Metode yang
kelompok koloni kuning cerah dan koloni putih.
digunakan adalah gabungan metode Verma (1986)
Beberapa bakteri yang dilaporkan mampu menekan dengan metode Dhingra and SinClair (1986). Tanaman
pertumbuhan dan perkembangan hawar bakteri antara kapas berumur 2 minggu dibersihkan dengan larutan
lain adalah: Flavobacterium sp., Pseudomonas syringae alkohol 70 % selama 30 detik kemudian dispray dengan
pv. syringae, dan Sterptomyces annlliatus. Selain dari suspensi bakteri antagonis sebelum diinokulasi dengan
kelompok bakteri, mikroorganisme yang bersifat X c. pv. malvacearum. Penyemprotan bakteri antagonis
antagonsitik terhadap X c. pv. malvacearum juga ada dilakukan 24 jam sebelum inokulasi patogen pada
yang berasal dari kelompok cendawan, misalnya: bagian bawah daun, demikian juga untuk X c. pv.
Penicillium sp., P. urticae, P. multicolor, P. wahmanii, malvacearum. Setelah diinokulasi, tanaman diinkubasi
dan P. variabile. Selain dari tanaman kapas segar, dalam kontainer plastik tertutup yang di bawahnya
bakteri Agrobacterium yang diisolasi dari sisa-sisa diberi air sehingga kelembabannya tinggi (85-100 %).
tanaman dilaporkan mampu menurunkan serangan X c. Sebagai kontrol daun diinokulasi dengan bakteri
pv. malvacearum (Habish, et al., 1968). Mekanisme antagonis saja atau patogen saja.
antagonis pada phyllosphere dijelaskan oleh Sing and
Percobaan menggunakan rancangan acak lengkap
Faull (1988) sebagai kompetisi nutrisi dan ruang,
dengan ulangan lima kali. Satu unit perlakuan adalah
antibiosis, dan hiperparasitisme
satu cawan Petri untuk pengujian in vitro sedangkan
Untuk mengetahui peran mikroorganisme phyllosphere untuk pengujian in vivo satu unit perlakuan adalah 25
ini terhadap X c. pv malvacearum perlu dilakukan tanaman. Untuk mengetahui pengaruh perlakuan
eksplorasi dan pengujian di laboratorium dan rumah dilakukan analisa statistik dan uji BNT pada taraf 5%.
kaca.
HASIL DAN PEMBAHASAN
METODOLOGI PENELITIAN
Dari hasil eksplorasi bakteri dari tanah dan tanaman
Penelitian ini dilakukan di laboratorium dan rumah kaca kapas di daerah Asembagus, Karangploso, dan
fitopatologi, Balai Penelitian Tembakau dan Tanaman Singosari diperoleh 140 jenis bakteri yang mempunyai
Serat. Bakteri antagonis diisolasi dari sampel tanah dan penampakan koloni berbeda. Jumlah terbesar diperoleh
bahan tanaman kapas yang diperoleh dari di dari tanah menyusul daun, akar, buah dan batang. Jenis
Asembagus, Karangploso, dan Singosari. Isolasi yang diperoleh dari Asembagus dan Karangploso lebih
antagonis berasal dari tanah menggunakan metode banyak daripada yang berasal dari Sigosari (Tabel 1).
Arwiyanto (1997), yaitu metode pegenceran sebagai
berikut: 10 gram tanah dicampur dengan 90 mL bufer Tabel 1. Isolat bakteri hasil isolasi dari tanah dan
fosfat 0,1 M pH7,0 ditambah pepton 0,1 %. Suspensi bagian tanaman kapas
tersebut diputar selama 30 menit. Kemudian diencerkan
dengan buffer yang sama sampai 10-3. Pada Asal Sampel Tanah Akar Batang Daun Buah Jumlah
pengenceran terakhir diambil 0,1 ml dan diteteskan ke
Asembagus 15 10 3 15 5 48
atas media tryptic soy agar + 100 ppm sikloheksimid
(untuk membunuh jamur) lalu diratakan. Biakan Karangploso 13 10 5 17 3 48
kemudian diinkubasi selama 48 jam pada suhu 30 0C.
Sedangkan isolasi bakteri yang berasal dari bagian Singosari 21 4 2 10 7 44
tanaman menggunakan prosedur dari Dhingra and
Sinclair (1986) yang dimodifikasi, 10 gram bagian Jumlah 49 24 10 42 15 140
tanaman dihancurkan dulu sebelum dicampur, lalu
disaring dengan kain saring. Kemudian diencerkan
sampai 10-3 dengan buffer fosfat. Suspensi dibiakkan Uji in vitro
pada media agar daun dan tripic soy agar. Koloni Dari 140 isolat yang berhasil dimurnikan, ternyata
tunggal yang diperoleh dipindah untuk dimurnikan dan hanya 6 isolat yang mempunyal kemampuan
diperbanyak untuk penelitian tahap selanjutnya. menghambat pertumbuhan bakteri X c. pv.
Uji invitro.Uji antagonisme in vitro menggunakan, malvacearum, semuanya berasal dari daun. Isolat-isolat
metode zona hambatan. Suspensi X c. pv. malvacearum tersebut berasal dari Asembagus (4 isolat) dan
0,1 ml dituang ke atas medium nutrien agar lalu Karangploso (2 isolat). Namun yang memberikan hasil
konsisten dari beberapa kali pengujian in vitro hanya 4

JPH (2008), 1, 22-25 23


YULIANTI dan HIDAYAH Mikroorganisme Pengenddali Xanthomonas campestri pv. malvacearum

isolat yang berasal dari Asembagus. Pada tabel 2. di kemampuannya menekan perkembangan penyakit lebih
bawah ini hanya isolat yang menghasilkan zona konsisten dan terbaik (tabel 4.). Intensitas penyakit pada
hambatan yang ditampilkan. Sedangkan kontrol dan bibit kapas yang disemprot dengan isolat Asb-D-5
isolat lain yang tidak menghasilkan zona hambatan menurun sebesar 16.69 %.
nilainya dianggap sarna dengan kontrol (0) tidak
ditampilkan dan tidak diikutkan dalam analisa statistik. Tabel 4. Intensitas serangan X c. pv. ma/vacearum pada
Zona hambatan terbesar dihasilkan oleh isolat yang bibit kapas yang disemprot antagonis
berasal dari daun Asembagus (Asb D-3) dengan nilai
rata-rata: 33.78 mm2. No. Perlakuan 1 minggu 2 minggu 3 minggu
*)
1. Kontrol 56.04 a 46.29 36.57 a*)
Tabel 2. Luas zona hambatan yang dihasilkan oleh
2. Asb-D-3 43.02 bc 42.86 18.84 c
bakteri antagonis
3. Asb-D-9 46.83 ab 36.88 23.57 bc
No. Nomor Isolat Luas zona hambatan (mm2)
4. Asb-D-8 32.37 c 33.73 26.42 b
1. Asb-D3 33.78 d 5. Asb-D-5 33.94 c 36.74 19.88 c
2. Asb-D5 6.96 b BNT 5% 11.05 tn 6.09
3. Asb-D8 14.70 c KK 19.39 23.35 18.14
*):
4. Asb-D9 5.06 ab Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sarna
pada kolom yang sarna berarti tidak berbeda nyata dalam
5. Kr-Dl 1.70 ab uji BNT 5%

6. Kr-DI2 1.38 a Populasi dan jenis bakteri terbanyak berasal dari tanah,
BNT 5 % 5.275 tetapi tidak ada satupun dari isolat tersebut yang
mempunyai kemampuan menghambat bakteri X c. pv.
malvacearum. Isolat yang mampu menghambat X c. pv.
Sifat koloni dari enam isolat yang mempunyai
malvacearum semuanya berasal dari daun. Hal ini
kemampuan menghambat pertumbuhan X c. pv.
disebabkan karena bakteri tersebut secara alami biasa
malvacearum dapat dilihat pada Tabel 3.
berasosiasi dengan X c. pv. malvacearum yang umum
menyerang daun.
Tabel 3. Sifat koloni bakteri antagonis
Dengan bertambahnya umur tanaman, intensitas
No Isolat Sifat : serangan X c. pv. malvacearum cenderung menurun,
baik pada kontrol maupun pada tanaman yang diberi
Putih, bercabang, keruh, berkembang
1. Asb-D-3 melebar dan berlekuk pada bagian perlakuan antagonis. Hal ini karena daun-daun yang
tepi. terserang ada yang rontok sehingga tidak dihitung lagi.
Penyemprotan kotiledon dan. daun bibit kapas dengan
Putih keruh agak bulat. Menghasilkan bakteri antagonis semuanya menurunkan intensitas
2. Asb-D-5 warna merah 'kecoklatan pada media
serangan X c. pv. malvacearum. Hal ini menunjukkan
jika sudah tua (3 hari)
bahwa bakteri-bakteri tersebut mampu menghambat
3. Asb-D-8
Putih kekuningan, tipis, pertumbuhan perkembangan X c. pv. malvacearum. Menurut Verma
relatif lebih cepat (1986) suatu senyawa biosida yang dihasilkan oleh
Kuning cerah menghasilkan warna Pseudomonas syringae pv. syringae dan streptomyces
4. Asb-D-9 hijau, merah kecoklatan pada media mampu menghambat pertumbuhan bahkan membunuh
jika sudah tua (3 hari) X c. pv. malvacearum.

5. Kr-D-l Putih
KESIMPULAN DAN SARAN
Putih keruh pertumbuhan melebar dan
6. Kr-D-12 Isolat bakteri yang bersifat antagonistik bagi X c. pv.
agak berlekuk.
malvacearum semuanya berasal dari daun, terutama
yang berasal dari Asembagus.
Uji in vivo
Isolat terbaik dalam menghambat perkembangan
Isolat bakteri yang bersifat antagonis in vitro diuji intensitas serangan X c. pv malvacearum adalah isolat
kemampuannya dalam menghambat perkembangan yang berkode Asb-3, Asb-D-5 masing-masing dapat
penyakit hawar bakteri pada bibit kapas (in vivo). menekan penyakit hawar bakteri di rumah kasa sebesar
Ternyata isolat yang menghasilkan zona hambatan 48,48% dan 45,64%. Penelitian ini masih merupakan
banyak bukan berarti yang paling baik menekan penelitian awal. Penelitian selanjutnya adalah
perkembangan penyakit. Dibandingkan dengan isolat mengidentifikasi bakteri serta membuat formulasi untuk
Asb-D-3 dan Asb-D-8, isolat AsbD-5 mempunyai zona meningkatkan kemampuan antagonisnya.
hambatan lebih sempit, tetapi pada pengujian in vivo

JPH (2008), 1, 22-25 24


YULIANTI dan HIDAYAH Mikroorganisme Pengenddali Xanthomonas campestri pv. malvacearum

DAFTAR PUS TAKA Hillock, RJ. 1992. Bacterial Blight. in Hillocks, RJ.
(ed.). Cotton Diseases. CAB International,
Allen, SJ. 1988. Diseases of cotton. Agfact P5.AB.3.
Wallingford. pp 39-85.
Department of Agriculture. New South Wales.
Singh, J. and Faull, J.L. 1988. Antagonism and
7 hal.
Biological Control. in MukeIji, K.G. and Garg,
Arwiyanto, T. 1997. Pengendalian hayati penyakit layu
K.L. (eds). 1988. Biocontrol of Plant Diseases.
bakteri tembakau: 1. Isolasi bakteri antagonis.
2: 167-177.
Jurnal Perlindungan Tanaman. 3(1): 54-59.
Verma, J.P. 1986. Bacterial Blight ofCottoll. CRC Press
Dhingra, O.D. and Sinclair, B. 1985. Basic Plant
Inc. Boca Raton, Florida. 278 hal.
Pathology Methods. CRC Press Inc.Boca
Yulianti, T.dan Ibrahim, N. 1997. Penyakit Hawar
Raton, Florida. 355 pp.
Bakteri pada Kapas. Prosiding Diskusi Kapas
Dye, D.W., Bradbury, J.F., Goto, M., Hayward, AC.
Nasional.
Lelliot, RA, and Schroth, M.N. 1980.
International standard for naming pathovars of
phytopathogenic bacteria and a list of pathovar
names and pathotype strains. Review of Plant
Pathology 59: 153-168.
Habish, HA. 1968. Role of antagonistic bacterium in the
decline of X. malvacearum in wet cotton
debris. Cotton Grow. Review. 45: 36.

JPH (2008), 1, 22-25 25

Anda mungkin juga menyukai