Anda di halaman 1dari 15

ETIKA PERKEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN

Makalah
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah Filsafat Ilmu Jurusan
Pendidikan Agama Islam
Fakultas Tarbiyah

Oleh

SRY WULANDARI.S
NIM. 86108202029

Dosen pemandu
Dr. Zakaria, M.Pd

PROGRAM PASCA SARJANA


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) BONE
2021
KATA PENGANTAR

‫بِس ِْم هللاِ الرَّحْ َم ِن ال َّر ِحيْم‬


‫ف االَ ْنبِيَا ِء َو ْال ُمرْ َسلِين َسيّ ِدنَ محمد َو َعلَى اَلِ ِه َوصْ َحبِ ِه أجْ َم ِعيْن‬
َ َّ ‫ال َح ْم ُد هلل رّبِّ ْال َعلَ ِميْن َوال‬.
ِ ‫صالَةُ َوال َّسالَ ُم َعلَى اَ ْش َر‬ ْ

Segala puji bagi Allah swt. yang maha pencipta, menghidupkan dan
mematikan, serta yang telah menciptakan manusia dengan berbagai potensi.
Alhamdulillah, segala syukur kami panjatkan kepada Allah swt. yang senantiasa
memberikan rahmat dan hidayah-Nya kepada kami, sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Etika Perkembangan Ilmu Pengetahuan”.

Shalawat senantiasa kita kirimkan kepada Nabi Muhammad saw. sebagai


sosok pembawa perubahan yang luar biasa dari zaman jahiliah ke zaman penuh ilmu
ini. Sosok pemimpin yang mengangkat derajat seorang perempuan dan seorang
pemimpin yang menjadi sosok teladan bagi seluruh umat.

Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas mata kuliah Filsafat
Ilmu. Dalam penyusunan makalah ini penulis mengalami banyak hambatan. Namun,
berkat bimbingan dan dorongan semangat dari berbagai pihak sehingga makalah ini
dapat diselesaikan tepat pada waktunya, selain itu penulis juga menyadari bahwa
tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak. Makalah ini tidak akan
terselesaikan dengan baik. Oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima
kasih yang tak terhingga.

Watampone, 28 Februari 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

SAMPUL

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Masalah 2

C. Tujuan Penulisan 2

BAB II PEMBAHASAN

A. Hubungan Etika dan Ilmu Pengetahuan 3

B. Etika Perkembangan Ilmu Pengetahuan 3

BAB IV PENUTUP

A. Kesimpulan 11

B. Saran 11

DAFTAR PUSTAKA

ii
1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan di era blobalisasi saling pengaruh-mempengaruhi, sehingga segala

sesuatu yang sebelumnya dianggap hanya milik satu bangsa tertentu, akan menyebar

luas hingga menjadi milik bersama.


Kemajuan yang makin dikaitkan dengan ilmu pengetahuan tidak hanya

mempunyai dampak positif tapi juga negatif. Krisis kemanusiaan ini menunjukkan

adanya ketimpangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan nilai-

nilai moral.

Dalam pemahaman setiap sesuatu haruslah ada etika keilmuan yang

mengajarkan metode atau cara berfikir yang benar hingga menemukan fakta yang

rasional tentang hakekat sesuatu dalam kehidupan. Etika merupakan salah satu

cabang filsafat yang membicarakan tentang perilaku manusia, dengan penekanannya

kepada hal–hal yang baik dan buruk, dengan kata lain etika adalah ilmu yang

membahas tentang perbuatan baik dan perbuatan tidak baik manusia, sejauh yang

dapat dipahami oleh pikiran manusia. Di dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah laku

manusia menjadi sentral persolan yaitu tingkah laku yang penuh dengan tanggung

jawab, baik tanggung jawab terhadp diri sendiri, masyarakat, alam maupun terhadap

Tuhan sebagai sang Pencipta.

Etika juga penting dalam kaitannya dengan tugas mendasar seorang ilmuwan,

yaitu mengembangkan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh

seorang ilmuwan harus dibungkus dengan bingkai etika moral yang jelas. Hal ini
2

penting dilakukan agar ilmu pengetahuan yang dikembangkan tidak semena-mena

terhadap kemanusiaan. Ilmu pengetahuan yang tidak mempertimbangkan nilai-nilai

kemanusiaan justru merusak terhadap kehidupan manusia. Produk keilmuwan harus

bermanfaat untuk seluruh umat manusia.1

Produk pengetahuan yang tidak bermanfaat bagi kemanusiaan dapat

berimplikasi destruktif pada terjadinya krisis kemanusiaan. Krisis kemanusiaan

menunjukkan adanya ketimpangan antara kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

dengan nilai-nilai moral. Keberhasilan ilmu eksakta dalam mengembangkan

teknologi berhadapan dengan realitas kegagalan ilmu-ilmu humaniora dalam

menjawab berbagai persoalan kemanusiaan.2

Dengan demikian, dalam makalah ini akan dibahas tentang etika

perkembangan ilmu pengetahuan.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dikemukakan rumusan

masalah sebagai berikut.

1. Apa hubungan etika dan ilmu pengetahuan?

2. Bagaimana etika perkembangan ilmu pengetahuan?

C. Tujuan

1. Untuk mendeskripsikan hubungan etika dan ilmu pengetahuan.

2. Untuk menjelaskan etika perkembangan ilmu pengetahuan.

M. Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan Integratif Interkonektif


1

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), h. 105.


2
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Rajawali Pers, 2013), h. 3.
3

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hubungan antara Etika dan Ilmu Pengetahuan

Ilmu pengetahuan dan etika sebagai suatu pengetahuan yang diharapkan dapat

meminimalkan dan menghentikan perilaku penyimpangan dan kejahatan di kalangan

masyarakat. Di samping itu, ilmu dan etika diharapkan mampu mengembangkan

kesadaran moral di lingkungan masyarakat sekitar agar dapat menjadi cendekiawan

yang memiliki moral dan akhlak yang baik/mulia.

Etika berkaitan dengan konsep yang dimiliki oleh individu atau kelompok

yang digunakan untuk menilai tindakan-tindakan salah-benar atau buruk-baik.

Sedangkan Ilmu sangat berguna dalam  proses penilaiannya untuk menetukan arah

dan tujuan masing-masing orang. Etika sebagai ilmu ketertiban tentang pokok

masalah moralitas yang dipelajari dan ilmu itu sendiri sebagai asas moral dalam

meningkatkan martabat manusia.3 Dalam penggunaan ilmu pengetahuan memerlukan

pemahaman etika untuk menentukan ilmu tersebut baik atau buruk. Selain itu, etika
juga diharapkan mampu mengembangkan kesadaran moral di lingkungan masyarakat

sekitar agar dapat menjadi cendikiawan yang memiliki etika, moral dan akhlak yang

baik atau mulia.

B. Etika Perkembangan Ilmu Pengetahuan

Pengembangan ilmu pengetahuan sendiri disebabkan beberapa faktor-faktor

yang menyebabkan berkembang ilmu pengetahuan yaitu antara lain bahasa

(komunikasi) dan penalaran (berpikir). Melalui bahasa manusia tidak hanya

3
Mohammad Adib, Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu
Pengetahuan, (Cet. II; Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2011), h.208.
4

berkomunikasi antara sesamanya, namun juga dapat memperdebatkan temuan dan

pengetahuannya tehadap manusia lainya, manusia juga dapat , menambah dan berbagi

pengetahuan yang dimilikinya. Pengungkapan dan peninjauan latar belakang dan

reasoning dari sebuah informasi dapat dikomunikasikan dan disebarluaskan kepada

orang lain, sehingga proses ini dapat saling menguntungkan.

Demikian juga dengan penalaran, manusia dapat mengembangkan

pengetahuan dengan cepat dan mantap, dengan upaya pengantisipasian terhadap

gejala-gejala yang terjadi, sehingga pengetahuan manusia senantiasa berubah,

semakin dinamis, progresif dan inovatif.4  Karena kedua faktor utama inilah manusia

terus melakukan pengembangan pengetahuan untuk menyempurnakan,

memperoleh kepuasan, kesenangan, dan pemenuhan rasa ingin tahu dengan melakuan

pemikiran dan inovasi yang kemudian berusaha memecahkan masalah-masalah yang

terjadi di lingkunganya dan mengembangkan kerangka berpikir tertentu untuk

menghasilkan ilmu pengetahuan.

Sebenarnya ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik atau

buruk dan pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap dan etika, jalan

mana yang akan ditempuh dalam memanfaatkan kekuasaan yang besar itu terletak

pada sistem nilai pemilik pengetahuan.

Menurut Amsal Bachtiar, tanggung jawab keilmuan menyangkut kegiatan

maupun penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Ini berarti ilmuwan dalam

mengembangkan ilmu pengetahuan harus memperhatikan kodrat dan martabat

manusia, menjaga ekosistem, bertanggung jawab, pada kepentingan umum, dan

generasi mendatang, serta bersifat universal karena pada hakikatnya ilmu

4
Susanto, Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam dimensi ontologis, epsitomologis, dan aksiologi,
(Jakarta: Bumi Aksara, 2011) h.78.
5

pengetahuan dan teknologi adalah untuk mengembangkan dan meperkokoh ekosistem

manusia bukan untuk menghancurkan ekosistem tersebut.5 

Metode ilmu pengetahuan memang otonom dan tidak boleh dicampuri oleh

pihak lain seperti nilai moral, nilai keagamaan pertimbangan nasional atau alasan

apapun. Akan tetapi ilmu itu tidak asing terhadap nilai berarti ilmu itu tidak bebas

nilai, karena memperhatikan nilai-nilai etis bukan tugas ilmu pengetahuan sendiri tapi

tugas manusia. Jika kemampuan manusia bertambah berkat ilmu pengetahuan maka

kebijaksanaan dalam menggunakannya harus bertambah pula. Semua hal yang bisa

dilakukan oleh ilmu pengetahuan tidaklah semua boleh, manusia harus membatasi

diri berdasar dengan kesadaran moral manusia sendiri. 6 Etika pengembangan

(moralitas) ilmu pengetahuan menurut barat menggunakan teori-teori moral sebagai

berikut.

1. Teori utilitarian (Mill dan Brandt), pengembangan ilmu pengetahuan harus

didasarkan pada tindakan yang menghasilkan kebaikan pada lebih banyak

orang.

2. Moral imperatif (Immanuel Kant), pengembangan ilmu di dasarkan kesadaran

moral masyarakat.

3. Teori HAM (John Locke), pengembangan ilmu berdasarkan pemaksimalan

kebebasan tiap individu dan sekaligus untuk menyuarakan komunitasnya.

4. Etika pengembangan (moralitas) ilmu pengetahuan menurut islam

Di dalam pandangan Islam, ilmu bukanlah sekedar penjejalan kepala dengan

jumlah informasi, betapa pun tingginya nilai informasi itu. Ilmu bukan hanya sekedar

5
Susanto, Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam dimensi ontologis, epsitomologis, dan aksiologi,
h.189.
6
K. Bertens, Etika, (Cet.VI; Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001), h. 286 dan 289.
6

menggali dan memperolehnya saja. Tetapi, seorang ilmuwan yang telah menggali

ilmu itu, dituntut untuk konsekuensi dengan nilai moral yang dituntut oleh ilmu itu

sendiri. Untuk itulah diperlukannya moralitas ilmu yang diperlukan oleh ilmuwan

yaitu sebagai berikut:

1. Perasaan Bertanggung Jawab

Orang yang ilmunya banyak dan dalam, mereka mempunyai tanggung jawab

lebih berat. Ia bertanggug jawab atas perbuatan dari banyak aspek. Bertanggung

jawab mengenai ilmunya agar bisa bertahan. Bertanggung jawab atas pendalaman dan

perwujudannya agar bernilai. Bertanggung jawab atas penggunaannya sehingga

berbuah. Bertanggung jawab mengenai pengajarannnya terhadap orang yang mencari

ilmu daripadanya sampai orang itu pandai. Bertanggung jawab terhadap lingkungan

dan penyebarluasannya agar manfaatnya dirasakan umum. Bertanggung jawab

terhadap kaderisasi generasi pelanjut yang akan memegang tongkat estafet agar

kelestarian ilmu dapat terjamin dan sebelum segala-galanya, ia bertanggung jawab

tentang keihklasan ilmunya terhadap Allah.7 

2. Amanat Ilmiah

Salah satu amanat ilmiah ini adalah merujuk ucapan kepada orang yang

mengucapkannya, merujukkan pemikiran kepada pemikirnya, dan tidak mengutip

dari orang lain kemudian mengklaim pendapatnya karena hal seperti itu merupakan

plagiat dan penipuan. Termasuk pula apa yang disebut amanat ilmiah, bahwa

seseorang yang tahu sesuatu bertahan pada pendiriannya, dan terhadap hal-hal yang

tidak diketahuinya ia berkata: Aku tidak tahu. Di dalam dunia ilmiah tidak dikenal

sifat malu dan sombong. Dunia ilmiah selalu mengakui kebenaran apapun, atau

7
Yusuf Al-Qardhawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah, (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 1991), h. 68.
7

faedah apapun yang sudah jelas, sekalipun bersumber dari orang yang tidak memiliki

ilmu banyak, atau berusia muda, atau kedudukan rendah.8

Di sisi lain juga terdapat teori yang mengatakan bahwa ilmu pengetahuan itu

bebas nilai. Ada yang berpendapat bahwa ilmu bebas nilai karena sesungguhnya ilmu

itu memiliki nilai dalam diri sendiri.

Menurut Josep Situmorang, menyatakan bahwa bebas nilai artinya tuntutan

terhadap setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakikat ilmu pengetahuan itu

sendiri. Untuk menentukan bahwa ilmu itu bebas nilai, maka diperlukan sekurang-

kurangnya 3 faktor sebagai indikator. Pertama, ilmu tersebut harus bebas dari

pengandaian dan pengaruh faktor eksternal seperti politik, ideologi, agama, budaya,

dll. Kedua, perlunya kebebasan usaha ilmiah demi terjaminnya otonomi ilmu

pengetahuan.Ketiga, tidak luputnya penelitian ilmiah dari pertimbangan etis yang

selalu dituding menghambat kemajuan ilmu pengetahuan. Indikator pertama dan

kedua memperlihatkan upaya ilmuwan untuk menjaga objektivitas ilmiah ilmu

pengetahuan, sedangkan indikator ketiga ingin menunjukkan adanya faktor X yang

hampir mustahil dihindarkan dari perkembangan ilmu pengetahuan, yaitu

pertimbangan etis.9

Selain 3 indikator tadi, masih ada indikator keempat yang amat sulit ditolak

oleh ilmu pengetahuan, yakni kekuasaan. Perkembangan ilmu pengetahuan selalu

sarat dengan berbagai kepentingan, terutama kepentingan kekuasaan yang kadang

memunculkan konflik kepentingan antara ilmuwan.

8
Yusuf Al-Qardhawi, Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif Sunnah, h. 70.
9
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar, (Cet.V; Jakarta : PT Bumi Aksara, 2012), h.84.
8

Ilmu sendiri, baik secara teoritis maupun praktis tidak pernah bebas dari nilai.

Selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis

semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang

perkembangan ilmu pengetahuan tersebut. Kesalahan Barat adalah mereka

menganggap bahwa ilmu selalu bebas nilai dan sudah semestinya ilmu pengetahuan

tidak berhubungan dengan agama (sekularisme). Akan tetapi, intervensi nilai yang

berlebihan ke dalam ilmu pengetahuan juga akan mengekang kreativitas manusia

dalam berpikir. Ilmu pengetahuan semata-mata hanya menjadi alat dari berbagai

macam kepentingan, terutama kepentingan ideologis dan politik.

Ilmu pengetahuan tidaklah bebas nilai, maka sudah sewajarnya kita mengkuti

perkembangannya, asalkan kita tidak terjebak rasa ketergantungan pada teknologi.

Teknologi hanyalah alat untuk membantu meringankan beban kerja kita sehingga

jangan sampai justru kita menjadi malas dan diperbudak teknologi. Dalam

perkembangan teknologi komunikasi dan komunikasi kontemporer sendiri, sudah

begitu banyak media yang dikembangkan untuk memperlancar komunikasi dan

memperpendek jarak antar manusia.

Jalan keluar dari bebas nilai dalam ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dengan

dua cara berikut :

a. Context of   Discovery

Context of discovery adalah konteks di mana ilmu pengetahuan itu ditemukan.

Dalam konteks ini ilmu tidak bebas nilai. Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan

berkembang dalam konteks ruang dan waktu tertentu, dalam konteks sosial tertentu.10

10
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, (Kanisius:
Yogyakarta, 2010), h. 154.
9

Menyangkut konteks dimana ilmu pengetahuan ditemukan. Bahwa ilmu

pengetahuan tidak terjadi, ditemukan, dan berlangsung dalam kevakuman

(kekosongan). Ilmu pengetahuan selalu ditemukan dan berkembang dalam konteks

ruang dan waktu tertentu. Jadi ilmu pengetahuan tidak muncul secara mendadak

begitu saja. Ada konteks tertentu yang melahirkannya. Dan tidak dapat dipungkiri

bahwa ilmu pengetahuan berkembang dalam konteks tertentu yang sekaligus sangat

mempengaruhi nilai obyektifnya dan sejauh mana ia dapat mengungkapkan realitas

(kebenaran).

b.  Context of Justification

Context of justification adalah konteks pengujian ilmiah terhadap hasil

penelitian ilmiah dan kegiatan ilmiah. Dalam konteks ini pengetahuan harus

didasarkan pada pertimbanganpertimbangan murni yang objetif dan rasional, tidak

boleh ada pertimbangan lain. Satu-satunya yang berlaku dan dipakai untuk

pertimbangan adalah nilai kebenaran. Ia tidak mau peduli terhadap pertimbangan-

pertimbangan lain di luar dirinya. Ilmu bersifat otonom. Ilmu yang berdialog dalam

dirinya sendiri itu bebas nilai. Ia berada di bawah pertimbangan ilmiah murni.11

Menyangkut konteks dimana kegiatan ilmiah dan hasil-hasilnya diuji

berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Kegiatan ilmiah dan hasil-

hasilnya diuji berdasarkan kategori dan kriteria yang murni ilmiah. Di mana yang

berbicara adalah data dan fakta apa adanya serta keabsahan metode ilmiah yang

dipakai tanpa mempertimbangkan kriteria dan pertimbangan lain di luar itu. Jadi,

satu-satunya yang dipertimbangkan adalah bukti empiris dan penalaran logis rasional

dalam membuktikan kebenaran suatu hipotesis atau teori, semua faktor ekstra ilmiah

11
Sonny Keraf dan Mikhael Dua, Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis, h. 155-156.
10

harus ditinggalkan dan yang diperhitungkan adalah bukti empiris dan penalaran logis-

rasional. Satu-satunya nilai yang berlaku dan diperhitungkan adalah nilai kebenaran

pada hal-hal yang dapat dibuktikan melalui observasi ilmiah.

Dari sintesis ini dapat dipahami bahwa dalam context of discovery ilmu

pengetahuan tidak bebas nilai, tetapi dalam context of justification, ilmu pengetahuan

harus bebas nilai. Dalam context of discovery ilmu pengetahuan mau tidak mau peduli

akan berbagai nilai lain di luar ilmu pengetahuan. Namun, dalam context of

justification, satu-satunya yang menentukan adalah benar tidaknya hipotesis atau teori

itu berdasarkan bukti-bukti empiris dan penalaran logis yang bisa ditunjukkan.

Manusia berusaha memikirkan implikasi dari konsep-konsep yang telah

dibangun dan menerapkannya secara praktis maka jadilah sebuah teknologi. Namun

hal ini akan mengakibatkan masalah besar bila dalam mengggunakan dan

memanfaatkan ilmu pengetahuan serta teknologi tanpa didasari dengan etika yang

baik.
11

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa:

1. Hubungan etika dan ilmu pengetahuan sangat berkaitan dalam penggunaan

ilmu pengetahuan memerlukan pemahaman etika untuk menentukan ilmu tersebut

baik atau buruk. Selain itu, etika juga diharapkan mampu mengembangkan kesadaran

moral di lingkungan masyarakat sekitar agar dapat menjadi cendikiawan yang

memiliki etika, moral dan akhlak yang baik atau mulia.

2. Etika perkembangan ilmu pengetahuan dibagi atas dua teori yaitu ilmu bebas

nilai dan tidak bebas nilai. Ilmu bebas nilai berpendapat bahwa ilmu bebas nilai

karena sesungguhnya ilmu itu memiliki nilai dalam diri sendiri dan untuk menjaga

objektivitas ilmiah ilmu pengetahuan. Ilmu tidak bebas nilai berpendapat bahwa

selalu ada kepentingan yang bermain di dalam ilmu itu. Namun, pertimbangan etis

semestinya hanya berperan sebagai rambu-rambu saja, dan bukannya mengekang

perkembangan ilmu pengetahuan tersebut dan juga manusia berusaha memikirkan

implikasi dari konsep-konsep yang telah dibangun dan menerapkannya secara praktis

maka jadilah sebuah teknologi. Namun hal ini akan mengakibatkan masalah besar

bila dalam mengggunakan dan memanfaatkan ilmu pengetahuan serta teknologi tanpa

didasari dengan etika yang baik.

B. Saran

Demikian makalah ini kami buat. Kami sadar bahwa makalah ini masih jauh

dari kesempurnaan, untuk itu kritik dan saran yang membangun sangat kami

harapkan dari berbagai pihak demi kebaikan pemakalah yang akan datang.
12

DAFTAR RUJUKAN

Abdullah, M. Amin. Islamic Studies di Perguruan Tinggi: Pendekatan


Integratif Interkonektif. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006.
Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan
Logika Ilmu Pengetahuan. Cet. II; Yogayakarta: Pustaka Pelajar, 2011.
Al-Qardhawi, Yusuf. Metode dan Etika Pengembangan Ilmu Perspektif
Sunnah. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.
Jalaluddin, Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Rajawali Pers, 2013.
K. Bertens, Etika. Cet.VI; Jakarta: Gramedia Pustaka, 2001.
Keraf, Sonny dan Mikhael Dua. Ilmu Pengetahuan Sebuah Tinjauan Filosofis.
Kanisius: Yogyakarta, 2010.
Surajiyo, Ilmu Filsafat Suatu Pengantar. Cet.V; Jakarta : PT Bumi Aksara,
2012.
Susanto, Filsafat Ilmu: suatu kajian dalam dimensi ontologis, epsitomologis,
dan aksiologi. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.

Anda mungkin juga menyukai