Anda di halaman 1dari 38

MAKALAH

PENYAKIT ATAU CEDERA AKIBAT KECELAKAAN KERJA PADA


PERAWAT

Dosen pengajar

Inne ariane gobel, Skm,M.kl

Disusun oleh

Kelompok 3

Chairul Akbar Adolo Dewi Julita S.barham

Ishak M. Supu Mita Lestari R. Panu

Zenab Djauhari Siti Rahmatia A. Husain

Sri Nadelya S. Kasim Ananda Patricia Ahmad

Sagita Aristantia Giman Nurtin Radtillah S. Dukalang

Sri Fahrin Katili

FAKULTAS ILMU KESEHTAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GORONTALO

TAHUN 2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya maka
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah terkait”penyakit atau cedera akibat
kecelakaan kerja pada perawat”

Penulisan makalah adalah merupakan salah satu tugas dan persyaratan untuk
menyelesaikan tugas dan mata kuliah”kesehatan kerja dalam
keperawatan”Kemuhammadiyahan di Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah
Gorontalo.

Dalam Penulisan makalah ini penulis merasa masih banyak kekurangan, baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki penulis. Untuk itu
kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi penyempurnaan pembuatan
makalah ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada keluarga, dosen mata kuliah, beserta
teman-teman yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan makalah yang
sederhana ini.

Kritik dan saran sangat penulis harapkan guna kesempurnaan makalah ini, dan juga
menjadi faktor koreksi bagi penulis guna menyusun makalah-makalah yang akan datang. Akhir
kata penulis ucapkan syukur dan terima kasih, semoga bermanfaat.Amin.

Gorontalo,17 oktober 2021


Daftar isi
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Wardhono (1998) mendefinisikan perawat adalah orang yang telahmenyelesaikan professional


keperawatan, dan diberi wewenangan untuk melaksanakan peran serta fungsinya. Perawat
adalah suatu profesi yang mempunyai funsi outonomi yang didefinisikan sebagai profisional
keperawatan. Fungsi profesional yaitu membantu mengenali dan menemukan kebutuhan pasien
yang bersifat segera. Itu merupakan tanggung jawab perawat untuk mengetahui kebutuhan
pasien dan membantu memenuhinya. Dalam teorinya tentang disiplin proses keperawatan
mengandung elemen dasar yaitu perilaku pasien, reaksi perawat dan tindakan perawat yang
direncang untuk kebaikan pasien (suwignyo,2007).

Cedera adalah rasa sakit yang ditimbulkan akibat kecelakan atau trauma, sehingga
menimbulkan cacat, luka, dan rusak pada otot atau sendi serta bagian lain dari tubuh. Cedera
atau luka adalah suatu kerusakan pada struktur atau fungsi tubuh yang dikarenakan suatu
paksaan atau tekanan fisik maupun kimiawi. Luka juga dapat menunjuk pada luka batin atau
perasaan (yuliana, 2007). Setiap tempat kerja selalu mempunyai resiko kecelakaan dan penyakit
akibat kerja.

Perawat bertanggung jawab untuk perawatan, perlindungan,dan pemuliahan orang yang luka
atau pasien penderita penyakit akut atau kronis, pemeliharaan kesehatan orang sehat, dan
penanganan keadaan darurat yang mengancam nyawa dalam berbagai jenis perawatan
kesehatan. Perawat juga dapat terlibat riset medis dan perawatan serta menjalankan beragam
funsi non-klinis yang diperlukan untuk perawatan kesehatan.

Keberhasilan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) di rumah sakit tidak lepas dari
sikap kepatuhan personal baik dari pihak perawat maupun pihak manajemen atas dalam
melaksanaan peraturan dan kebijakan peraturan K3 untuk mendukung pencapaian zero accident
di rumah sakit. Dalam melaksanakan setiap Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja
tersebut, para pekerja rumah sakit mempunyai resiko untuk terjadinya Penyakit Akibat Kerja
(PAK) dan Kecelakaan Akibat Kerja (KAK). Hal ini disebabkan karena Penyakit Akibat Kerja
(PAK) merupakan penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses maupun
lingkungan kerja.

Penyakit Akibat Kerja (PAK) di rumah sakit dapat menyerang perawat. Perawat mempunyai
resiko untuk terpapar bahan biologi berbahaya (biohazard), dan kontak dengan alat medis sekali
pakai (disposable aquipment) seperti tak sengaja tertusuk atau tersentuh jarum suntik bekas
maupun selang infus bekas, terpapar virus langsung dari pasien, kontak dengan benda-benda
yang terpapar virus, tak sengaja tersentuh cairan dari pasien yang terinveksi virus, dan masih
banyak yang lainnya.

1.2 Rumusan masalah

1.3 Tujuan penulisan


 agar ,mahasiswa dapat memahami dan belajar tentang “penyakit atau cedera akibat
kecelakan kerja pada perawat”
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian penyakit atau cedera pada perawat


Penyakit akibat kerja adalah suatu penyakit yang disebapkan oleh pekerjaan yang dilakukan
setiap hari atau suatu penyakit yang memiliki asosiasi hubungan cukup kuat dengan lingkungan
kerja penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebapkan oleh pekerjaan,alat kerja,bahan
proses maupun lingkungan kerja. Dengan demikian penyakit akibat kerja merupakan penyakit
yang artifisial atau man mad diase.dalam melakukan pekerjaan apapun sebenarya kita beresiko
untuk mendapatkan ganguan kesehatan atau penyakit yang ditimbulkan oleh penyakit tersebut.

Sedangkan kecelakaan akibat kerja menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor
03/Men/98 adalah suatu kejadian yang tidak dikehendaki dan tidak didugasemula yang dapat
menimbulkan korban manusia dan atau harta benda. OHSAS18001:2007 menyatakan bahwa
kecelakaan kerja didefinisikan sebagai kejadianyang berhubungan dengan pekerjaan yang
dapat menyebabkan cidera ataukesakitan (tergantung dari keparahannya), kejadian kematian,
atau kejadian yangdapat menyebabkan kematian. Kejadian yang dapat menyebabkan
kerusakanlingkungan atau yang berpontensi menyebabkan merusak lingkungan. Selain
itu,kecelakaan kerja atau kecelakaan akibat kerja adalah suatu kejadian yang
tidakterencana dan tidak terkendali akibat dari suatu tindakan atau reaksi suatu objek, bahan,
orang, atau radiasi yang mengakibatkan cidera atau kemungkinan akibatlainnya (Heinrich et al.,
1980)

Ada beberapa hal yang melatarbelakangi perawat di dalam terkena penyakit akibat kerja di
rumah sakit, salah satunya adalah masih adanya petugas kesehatan yang tidak memakai alat
pelindung diri berupa sarung tangan saat melakukan tindakan di Instalasi Gawat Darurat,
pencahayaan yang kurang di ruang pasien yang dapat menyebabkan penglihatan perawat
kurang dalam melakukan tindak yang dapat mengakibatkan terjadinya kesalahan tindakan
bahkan dapat menimbulkan penyakit atau cedera pada perawat ataupun pada pasien, masih ada
perawat yang tidak memakai desinfektan ketika sebelum dan setelah menangani pasien, dan
masih banyak faktor-faktor lainnya.

RS merupakan tempat kerja yang berpotensi tinggi terhadap terjadinya kecelakaan kerja.
Adanya bahan mudah terbakar, gas medis, radiasi pengion dan bahan kimia membutuhkan
perhatian serius terhadap keselamatan pasien, staf dan umum (Sadaghiani, 2001) dalam Omrani
(2015). Kecelakaan kerja pada perawat dianggap sebagai suatu masalah serius karena
mengancam kesehatan dan kesejahteraan pasien dan petugas kesehatan secara global (Maria,
2015). Kecelakaan tersebut yang pada akhirnya dapat mempengaruhi produktivitas kerja
perawat. Produktivitas kerja yang rendah pada akhirnya berdampak terhadap pelayanan
kesehatan yang diberikan oleh rumah sakit. Kecelakaan kerja di kalangan petugas kesehatan
dan non kesehatan kesehatan di Indonesia belum terekam dengan baik. Sebagai faktor
penyebab, sering terjadi karena kurangnya kesadaran pekerja dan kualitas serta keterampilan
pekerja yang kurang memadai. Menurut International Labour Organitation (ILO) setiap tahun
sebanyak dua juta pekerja meninggal dunia karena kecelakaan kerja yang disebabkan oleh
faktor kelelahan.

Kecelakaan kerja pada perawat ini menimbulkan kerugian bagi perawat itu sendiri maupun
pihak rumah sakit. Tingginya kasus kecelakaan kerja perawat di Rumah Sakit juga berakibat
pada terganggunya proses pelayanan kesehatan di rumah sakit, oleh karena itu perlu diketahui
faktor risiko penyebab kecelakaan tersebut sehingga dapat dilakukan upaya pencegahan

Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) adalah salah satu bentuk upaya untuk
menciptakan tempat kerja yang aman, sehat, dan bebas dari pencemaran lingkungan, sehingga
dapat mengurangi dan atau bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada
akhirnya dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas kerja. Kecelakaan kerja atau penyakit
akibat kerja yang terjadi pada perawat di rumah sakit tak hanya merugikan perawat saja, tetapi
dapat juga menyebabkan kerugian pada pasien dan orang-orang yang berada di rumah sakit.
Penyakit menular yang diderita perawat dapat tertular ke orang-orang yang berada di rumah
sakit, dan jika cedera atau penyakit tidak menular yang terjadi pada perawat dapat
menyebabkan kineja perawat menurut di dalam memberikan asuhan keperawatan.

Beberapa komponen pelayanan kesehatan di rumah sakit adalah perawat. Perawat adalah salah
satu tenaga pelayanan kesehatan yang berinteraksi dengan pasien yang intensitasnya paling
tinggi dibandingkan komponen lainnya. Perawat sebagai anggota inti tenaga kesehatan yang
jumlahnya terbesar di rumah sakit (4060%) dan dimana pelayanan keperawatan yang diberikan
merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan memiliki peran kunci dalam mewujudkan
keselamatan dan kesehatan kerja (K3) di Rumah Sakit (Depkes, 2007). Leh karena itu, jika
perawat terkena penyakit akibat kerja ataupun kecelakaan akibat krja tentunya akan
mempengaruhi kinerja rumah sakitSecara singkat, hal yang mempengaruhi perawat di dalam
keselamatan dan kesehatan kerja di rumah sakit adalah pengetahuan, sikap, pelatihan, promosi
dan pengawasan yang di miliki perawat. perawat yang mempunyai pengetahuan yang baik
meengenai K3RS, mempunyai sikap yang patuh terhadap aturan, disiplin, cukup dalam
mendapatkan pelatihan dan promsi K3RS, dan diberikan pengawasan dalam bertindak akan
lebih terhindar dari penyakit akibat kerja dan cedera akibat kecelakaan kerja.

Jenis penyakit tidak menular akibat kerja pada perawat yang banyak di rasakan di rumah sakit
adalah keluhan terhadap gangguan muskuloskeletal yang dirasakan mengganggu pekerjaan
perawat. perawat menjadi lambat dalam bergerak, bekeluh tak dapat melakukantindakan
dengan efektif dan terhambat dalam pergerakan. Gangguan muskoloskeletal juga memberikan
dampak yang merugikan bagi perawat baik secara biologis, psikologis, sosial, dan juga
organisasi. Dampak lain yang dirasakan adalah berupa kurang fokusnya perawat serta adanya
hambatan terhadap pemanfaatan berbagai sumber daya kerja yang ada.sehingga hal ini
mengakibatkan penggunaan waktu optimum kerja terhadap berbagai aktivitas intervensi yang
dilakukan lebih panjang. Hal ini dapat disimpulkan cedera muskuloskletal membuang waktu
kerja efektif perawat. Hal itu dapat penurunan produktivitas kerja perawat dikarenakan
penurunan daya tahan dan perburukan mobilitas. Contoh dari musculoskeletal disorder (MSDS)
adalah nyeri otot pada punggung, leher, bahu, pada pergelangan tangan, pada kaki dan low
back pain (LBP). Low back pain atau nyeri pinggang bawah adalah salah satu masalah
kesehatan kerja pada perawat yang juga sering ditemukan dan dapat menimbulkan absenteisme
tertinggi di tempat kerja. Perawat adalah profesi dengan pekerjaan berisiko tinggi LBP, karena
aktivitas perawat berhubungan dengan peningkatan risiko pada gangguan tulang belakang
terutama aktivitas angkat-angkut atau mobilisasi pasien, dan juga pekerjaan dengan postur yang
membungkuk.

Diagnosis Penegakkan Penyakit atau Cidera Akibat Kerja dan Kecelakaan Akibat Kerja

Penyakit Akibat Kerja (PAK) dan Kecelakan Akibat Kerja (KAK) adalah suatu penyakit dan
keadaan gangguan kesehatan yang disebabkan oleh rutinitas pekerjaan atau lingkungan kerja.
PAK dan KAK dapat ditimbulkan dari berbagai faktor pekerjaan itu sendiri, proses kerja, alat
kerja yang dipakai, lingkungan kerja dan juga bahan yang dipakai untuk bekerja. Dalam
mendiagnosis penyakit dan kecelakaan akibat kerja harus dilakukan 7 langkah diagnosis yang
menjadi pedoman. Langkah-langkah tersebut adalah:

1. Menentukan diagnosis klinis Dalam mendiagnosis suatu penyakit harus melalui


beberapa tahapan yaitu:
melakukan anamnesis, melakukan pemeriksaan fisik, dan melakukan pemeriksaan
penunjang.
2. Menentukan pajaan Faktor pajaan merupakan faktor resiko atau bahaya yang ada di
tempat kerja. Bahaya potensial yang dapat menyebabkan PAK dibagi atas faktor fisik,
kimia, biologi, ergonomic dan psikososial.
3. Menentukan hubungan antara pajaan dengan penyakit Menentukan hubungan antara
pajaan dengan penyakit dapat dilakukan berdasarkan evidence based dan ditunjang
dengan bukti-bukti yang ada.
4.  Menentukan besarnya pajaan Penentu besarnya pajaan dapat dilakukan secara
kuantitatif dengan melihat data pengukuran lingkungan dan masa kerja atau secara
kualitatif dengan mengamati cara kerja.
5. Menentukan faktor peranan individu Peranan individu yang dimaksud adalah faktor
yang mempercepat terjadinya penyakit akibat kerja atau juga yang dapat menurunkan
kemungkinan penyakit akibat kerja seperti genetik atau kurangnya kesadaran diri untuk
menggunakan alat pelindung diri (APD).
6. Menentukan faktor lain diluar pekerjaan Faktor lain yang dimaksud adalah pejanan
selain di tempat kerja seperti gaya hidup yang dapat menunjang atau mengurangi
kemungkinan terjadinya penyakit.
7. Menentukan diagnosis Penyakit Akibat Kerja (PAK) Melalui bebrapa tahapan diatas
dapat dibuktikan bahwa minimal ada satu faktor pekerjaan yang berperan sebagai
penyakit yang termasuk kategori PAK. Tanpa 7 langkah diagnosis diatas, Penyakit
Akibat Kerja tidak dapat ditegakkan. Sehingga pemeriksaan dari segala aspek
lingkungan, penderita dan pejanan dapat saling berhubungan hingga dapat didiagnosis
sebagai penyakit akibat kerja (PAK).

Tata Cara Pelaporan Penyakit Akibat Kerja dan Kecelakan Akibat Kerja

Setelah melaksanakan penegakkan diagnosis penyakit akibat kerja dan kecelakaan akibat kerja
maka dapat dilakukan pengumpulan, pengolahan dan dokumentasi data serta pelaporan
kegiatan K3 terhadap Penyakit Akibat Kerja (PAK). Langkah-langkah yang dilakukan dalam
pelaporan kegiatan K3 ini adalah:

1. Menyusun prosedur pencatatan dan pelaporan serta penanggulangan kecelakaan kerja,


penyakit akibat kerja, kebakaran dan bencana (termasuk format pencatatan dan
pelaporan yang sesuai dengan kebutuhan)
2. Pembuatan sistem pelaporan kejadian dan tindak lanjutnya (alur pelaporan kejadian
nyaris celaka dan celaka, serta SOP pelaporan kejadian nyaris celaka dan celaka serta
SOP pelaporan, penanganan dan tindak lanjut kejadian nyaris celaka (near miss) dan
celaka) c. Pendokumentasian data
3. Membuat evaluasi, pencatatan dan pelaporan kegiatan pelayanan keselamatan kerja
yang disampaikan kepada Direktur Rumah Sakit dan Unit teknis terkait di wilayah kerja
Rumah Sakit.
Beberapa faktor yang diakibatkan terjadinya kecelakaan kerja pada perawat:

Tindakan perbuatan manusia (unsafe human action). Menurut penelitian 85% kecelakaan
terjadi disebabkan faktor manusia yang melakukan tindakan tidak aman. Tindakan ini dapat
disebabkan oleh:

 Karena tidak tahu yang bersangkutan tidak mengetahui bagaimana melakukan pekerjaan
dengan aman dan tidak tahu bahaya-bahaya yang ada.
 Karena tidak mampu/tidak bisa, yang bersangkutan telah mengetahui cara kerja aman
dan bahaya yang ada, tetapi karena belum mampu dan kurang terampil maka dia
melakukan kesalahan.
 Walaupun telah mengetahui cara kerja dan peratuan-peraturan serta yang bersangkutan
dapat melaksanakannya, tetapi karena tidak mau melaksanakannya maka terjadi
kecelakaan. Faktor manusia meliputi aturan kerja, kemampuan pekerja (usia, masa
kerja/pengalaman, kurangnya kecakapan dan lambatnya mengambil keputusan), disiplin
kerja, perbuatan-perbuatan yang mendatangkan kecelakaan, ketidakcocokan fisik dan
mental. Kesalahan-kesalahan yang disebabkan oleh pekerja dan karena sikap yang tidak
wajar, seperti terlalu berani, sembrono, tidak mengindahkan instruksi, kelalaian,
melamun, tidak mau bekerja sama, dan kurang sabar. Kekurangan kecakapan untuk
mengerjakan sesuatu karena tidak mendapat pelajaran mengenai pekerjaan. Kurang
sehat fisik dan mental seperti adanya cacat, kelelahan, dan penyakit.
 Keadaan lingkungan yang tidak aman (unsafe condition). Kondisi tidak aman dapat
dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan kegiatan pekerja di lingkungan kerja seharusnya
mematuhi aturan dari industrial hygiene, yang mengatur agar kondisi tempat kerja aman
dan sehat. Keadaan lingkungan mencakup faktor mekanik dan lingkungan, yaitu letak
mesin yang tidak dilengkapi dengan alat pelindung, alat pelindung diri tidak dipakai,
alat alat kerja yang telah rusak.
Lingkungan kerja berpengaruh besar terhadap moral pekerja. Faktor-faktor keadaan
lingkungan kerja yang penting dalam kecelakaan kerja terdiri dari pemeliharaan rumah
tangga (house keeping), kesalahan disini terletak pada rencana tempat kerja, cara
menimpan bahan baku dan alat kerja tidak pada tempatnya, lantai yang kotor dan licin.
Ventilasi yang tidak sempurna sehingga ruangan kerja terdapat debu, keadaan
kelembaban yang tinggi sehingga orang merasa tidak enak kerja. Pencahayaan yang
tidak sempurna misalnya ruangan gelap, terdapat kesilauan dan tidak ada pencahayaan
setempat. Setiap keadaan/faktor adalah penting artinya bagi terjadinya kecelakaan,
tetapi serentetan peristiwa keseluruhan yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.

1) hubungan umur dengan kecelakaan kerja


menurut hunter (1975) dalam dhika (2011) umur mempunyai pengaruh yang penting
terhadap kejadian kecelakaan kerja. Golongan umur tua mempunyai kecenderungan yang
lebih yang lebih tinggi untuk mengalami kecelakaan akibat kerja dibandingkan dengan
golongan umur muda karena umur muda mempunyai reaksi dan kegesiatan yang lebih
tinggi
2) hubungan pengetahuan dengan kecelakaan kerja
pengetahuan merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang mengadakan
pengindraan terhadap suatu objek tertentu. Pengindraan terhadap suatu objek terjad melalui
indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba dengan
sendiri. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh malalui mata dan telinga.
Pengetahuan atau kognitif merupakan domainyang sangat penting dalam membentuk
tindakan seseorang (Notodmojo, 2007).
3) hubungan sikap dengan kecelakaan kerja
sikap merupakan suatu reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap
stimulusatau objek. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya kesesuaianreaksi
terhadap stimulus tertentu yang dalam kehidupan sehari-hari merupakn reaksi yang bersifat
emosional terhadap stimulus sosial (Notoadmodjo, 2007).
4) hubungan tindakan dengan kecelakaan kerja
tindakan merupakan suatu proses yang dijalanani manusia sebagai perilaku, dalam
mencapai suatu tujuan.pengukuran perilaku kesehatan dan keselamatan kerja perawat dalam
bentuk tindakan atau perbuatan dapat dilakukan melalui observasi langsung (Notoatmodjo,
2007).

2.2 Penyakit menular akibat kerja di rumah sakit

Penyakit menular yang akibat kerja pada perawat di rumah sakit salah satunya adalahpenyakit
HIV AIDS dan hepatitis. Hal itu dapat disebabkan ketika perawat tertusuk jarumyang dapat
dipastikan jarumnya sudah terpapar dengan darah, sehingga dampak yangditimbulkan tidak
hanya luka tusuk biasa tetapi merupakan jalan masuk (port the entry) darikuman atau bakteri
penyakit yang dapat menular melalui darah ke perawat sehingga dapatmenimbulkan
penyakitsepertiHIV/AIDSdan Hepatitis.

Bahaya di area kerja tenaga perawat:

 Penyakit menular
Tenaga perawat kemungkinan melakukan kontak yang berhubungan dengan cairan
darah berkuman, cairan tubuh, busa, cairan mulut, cairan urine, kotoran manusia,
muntahan dan lain-lain sehingga mendapat penularan. Media penularan yang sering
terjadi adalah sebagai berikut :
Media penularan Penyakit menular Penularan melalui cairan darah Penularan melalui
udara atau busa Penularan melalui kontak tubuh Penularan melalui mulut (berkontak
dengan cairan urine dan kotoran manusia) Hepatitis B, hepatitis C, AIDS Flu menular,
TBC, SARS Penyakit kulit biasa, radang infeksi kulit Radang infeksi perut, hepatitis A
 Sakit otot dan tulang
Tindakan memindahkan pasien, membalikkan dan menepuk-nepuk punggung pasien,
latihan penyembuhan, dikarenakan sering mengeluarkan tenaga berlebihan, gerakan
yang tidak benar atau berulang-ulang, mudah menyebabkan cedera di bagian otot dan
tulang, apabila tenaga perawat berusia agak tua, maka akan menambah resiko dan
tingkat keseriusan cedera di otot dan tulang.
 Gangguan tidur
Tenaga perawat perlu waktu sepanjang malam atau waktu yang tidak tentu untuk
menjaga pasien, sehingga mudah mengalami kondisi tidur pendek, tidur kurang lelap,
kesulitan tidur.

Beberapa faktor yang merupakan salah satu penyebab penyakit atau cedera pada
perawat ditempat kerja sebagai berikut :
 Akibat kelalaian perawat seperti tertusuk atau tergores jarum, jika perawat erkena
tusukan atau goresan jarum dari pasien yang menderita HIV dan Hepatitis B maka
risiko perawat akan tertular penyakitnya.
 Perawat beresiko terkena infeksi jika tidak cuci tangan atau menggunakan sarung
tangan serta masker berada pada ruang paru.
 Perawat sering kontak lansung dengan kimia seperti obat-obatan kontak kerja tersebut
pada umumnya dapat menyebabkan iritasi (keton). Bahan toksik (trichloroethane,
tetrachloromethane) jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat
menyebabkan penyakit akut atau kronik, bahkan kematian.

Upaya Pencegahan Penyakit Akibat Kerja Pada Profesi Perawat

Perilaku hidup sehat dan kebiasaan makan yang baik serta melakukan olah raga secara teratur,
adalah resep tiada duanya bagi tubuh yang sehat, berikut ini adalah saran pencegahan penularan
penyakit menular, cedera otot dan tulang, gangguan tidur. Penyakit akibat kecelakaan kerja
pada perawat umumnya berkaitan dengan faktor biologis (kuman patogen yang berasal
umumnya dari pasien), faktor kimia (pemaparan dalam dosis kecil namun terus menerus seperti
antiseptik pada kulit, zat kimia atau solvent yang menyebabkan kerusakan hati), faktor
ergonomi (cara duduk salah, cara mengangkat pasien salah), faktor fisik dalam dosis kecil yang
terus menerus (panas pada kulit, tegangan tinggi, radiasi), faktor psikologis (ketegangan di
kamar penerimaan pasien, gawat darurat, karantina). Upaya pengendalian risiko K3 pada
perawat dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah hierarchy of control K3 yang disesuaikan
dengan jenis tindakan keperawatan yang dilakukan

1. Faktor Biologis Lingkungan kerja pada Pelayanan Kesehatan merupakan tempat utama
berkembang biaknya kuman yang resisten, terutama kuman-kuman pyogenic, colli,
bacilli dan staphylococci yang bersumber dari pasien, benda-benda yang
terkontaminasi, dan udara. Virus yang menyebar melalui kontak dengan darah dan
sekreta (misalnya HIV dan Hep. B) dapat menginfeksi perawat hanya akibat kecelakaan
kecil dipekerjaan, misalnya karena tergores atau tertusuk jarum yang terkontaminasi
virus. Angka kejadian infeksi nosokomial di unit Pelayanan Kesehatan cukup
tinggi. Menurut Iwan M dan Ramdan, Abd. Rahman (2017), risiko paparan faktor
biologis dikendalikan melalui upaya eliminasi atau substitusi seperti:
 Mengurangi tindakan injeksi yang tidak perlu
 Seluruh perawat harus mendapat pelatihan dasar tentang kebersihan, epidemilogi
dan desinfeksi
 Sebelum bekerja dilakukan tindakan pemeriksaan kesehatan untuk memastikan
dalam keadaan sehat, punya cukup kekebalan alami untuk bekerja dengan bahan
infeksius, dan dilakukan imunisasi
 Menggunakan desinfektan yang sesuai dan cara penggunaan yang benar
 Sterilisasi dan desinfeksi terhadap tempat, peralatan, sisa bahan infeksius dan
spesimen secara benar
 Pengelolaan limbah infeksius dengan benar
 Menggunakan kabinet keamanan biologis yang sesuai
 Kebersihan diri dari perawat
 Menghilangkan benda tajam atau jarum yang tidak diperlukan
 Menggunakan konektor tanpa jarum
 Sosialisasi Kesehatan dan Keselamatan Kerja
 Pemeriksaan secara berkala
 Pengawasan terhadap pelaksanaan SOP
 Membuat SOP kejadian tidak diharapkan (KTD) agar apabila terjadi kecelakaan
kerja ada pedoman yang harus dilakukan

2. Faktor Kimia

Petugas di tempat kerja kesehatan yang sering kali kontak dengan bahan kimia dan
obat-obatan seperti antibiotika, demikian pula dengan solvent yang banyak digunakan
dalam komponen antiseptik, desinfektan dikenal sebagai zat yang paling karsinogen.
Semua bahan cepat atau lambat ini dapat memberi dampak negatif terhadap kesehatan
mereka. Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis kontak akibat kerja
yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya sedikit
saja oleh karena alergi (keton). Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane)
jika tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut
atau kronik, bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan
kerusakan jaringan yang irreversible pada daerah yang terpapar.

Pencegahan :

a.”Material safety data sheet” (MSDS) dari seluruh bahan kimia yangada untuk
diketahui oleh seluruh petugas untuk petugas atau tenaga kesehatan laboratorium.
b. Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk mencegah
tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol untuk petugas / tenaga kesehatan
laboratorium.
c. Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan, celemek, jas
laboratorium)
dengan benar.
d. Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara mata dan lensa.
e. Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar.

3. Faktor Ergonomi
Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara populer kedua pendekatan
tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man and to fit the Man to the Job. Posisi
kerja yang salah dan dipaksakan dapat menyebabkan mudah lelah sehingga kerja
menjadi kurang efisien dan dalam jangka panjang dapat menyebakan gangguan fisik
dan psikologis (stress) dengan keluhan yang paling sering adalah nyeri pinggang kerja
(low back pain). Risiko ini terdapat pada sebagian besar kegiatan di rumah sakit berupa
kegiatan angkat angkut, posisi duduk, ketidaksesuaian antara peralatan kerja dan ukuran
fisik pekerja. Menurut Gallagher & Sunley, (2013), upaya pengendalian untuk risiko
ergonomi dapat dilakukan seperti:
 Perawat yang memasang infus di pasien dengan kondisi tempat tidur terlalu
rendah bagi si perawat
 Perawat yang menginjeksi pasien dengan kondisi tempat tidur sesuai dengan
tinggi perawat sehingga perawat tidak terlalu menunduk
 Mengganti atau memperbaiki tempat tidur yang bisa diatur ketinggiannya agar
bisa disesuaikan dengan tinggi perawat (engineering control)
 Perawat bersiap memindahkan pasien Perawat membungkuk untuk
memindahkan pasien
Pada saat merawat pasien apabila ada gerakan condong ke depan sebelum
membungkuk, harus dengan satu tangan sebagai tumpuan badan untuk
menghindari pinggang mendapat beban terlalu besar. Apabila perlu
memindahkan pasien, harus dengan kedua kaki merendah sehingga pusat beban
terkurang untuk menghindari terjadinya cedera di bagian pinggang.
 Jagalah posisi duduk yang benar, bagian punggung sebaiknya menempel di
punggung kursi, untuk menghindari tulang pinggang melengkung, dapat diganjal
dengan barang tumpuan kecil atau bantal kecil, untuk mengurangi beban di
tulang pinggang.

4. Faktor Fisik

Faktor fisik di laboratorium kesehatan yang dapat menimbulkan masalah kesehatan


kerja meliputi:

a. Kebisingan, getaran akibat alat / media elektronik dapat menyebabkan stress dan
ketulian.

b. Pencahayaan yang kurang di ruang kerja, laboratorium, ruang perawatan dan


kantor administrasi dapat menyebabkan gangguan penglihatan dan kecelakaan kerja.

c. Suhu dan kelembaban yang tinggi di tempat kerja

d. Terimbas kecelakaan/kebakaran akibat lingkungan sekitar.Terkena radiasi

e.Khusus untuk radiasi, dengan berkembangnya teknologi pemeriksaan, penggunaannya


meningkat sangat tajam dan jika tidak dikontrol dapat membahayakan petugas yang
menangani.

upaya pencegahan paparan factor fisik seperti:

 Pengendalian cahaya yang tepat


 Pengaturan ventilasi dan penyediaan air minum yang cukup memadai
 Pengaturan jadwal kerja yang sesuai
 Filter untuk mikroskop untuk pemeriksa demam berdarah
 Penyediaan kontainer bekas jarum infuse
 Penggunaan jarum infus yang lebih aman 

Pencegahan penyakit menular

 Rajin mencuci tangan


Dilakukan sebelum makan, setelah berkontak dengan pasien atau melakukan pekerjaan
yang berhubungan dengan cairan kotoran, cairan tubuh pasien, sebelum memakai
sarung tangan, dan setelah melepas sarung tangan.Cara mencuci tangan adalah dengan
menggunakan air mengalir dan sabun atau cairan pembersih kuman, cuci kedua tangan
setidaknya dalam waktu 15-20 detik.
 Memakai sarung tangan Pada waktu ada kemungkinan berkontak dengan cairan darah,
cairan tubuh, barang cairan dan kotoran, harus mengenakan sarung tangan anti air yang
terbuat dari bahan karet, ethylene resin, atau asafetida dan sejenisnya. Pada waktu
melepas sarung tangan, harus melalui pergelangan yang ditarik keluar, kemudian sarung
tangan dibalikkan keseluruhan, kemudian dibuang, dan segera mencuci tangan.
Perhatian: pemakaian sarung tangan tidak dapat menggantikan pentingnya mencuci
tangan
 Mengenakan masker mulut, masker mata atau masker muka Pada saat menghadapi
kemungkinan adanya cairan tubuh yang beterbangan, seperti : pasien yang batuk atau
bersin, harus mengenakan masker mulut atau masker muka dan lain-lain sebagai alat
pelindung. Hal-hal yang perlu diperhatikan mengenai masker mulut :
1) Masker mulut berbentuk datar walaupun memiliki hasil perlindungan, tetapi karena
kurang melengkung dan tidak menempel rapat di wajah, hasilnya tidak sebanding
dengan masker mulut berbentuk gelas
2) Masker mulut sebaiknya digunakan sekali pakai saja, apabila perlu dipakai berulangkali,
harus diperhatikan penyimpanan di tempat yang bersih dan berudara lancar. Tetapi
untuk kondisi berikut ini pemakaian tidak boleh dilanjutkan : ada kecurigaan
pencemaran, berlubang, berubah bentuk, kotor, berbau, hambatan untuk bernafas
bertambah dan lain-lain
3) Pada saat melepas masker mulut harus menghindari tercemarnya masker mulut,juga
menghindari terkena pencemaran dari masker mulut. Sebelum dan sesudah melepas
masker mulut, harus mencuci tangan secara bersih.
4) Pada saat membuang masker mulut yang tercemar, harus menghindari tersebarnya
kuman, dengan cara melipat masker ke arah dalam, diletakkan ke dalam kantong plastik
yang ditutup rapat.
5) Memakai seragam kerja Selama waktu kerja harus mengenakan seragam kerja serta
rajin diganti dan dicuci. Selesai kerja, meninggalkan kamar pasien untuk istirahat, atau
ke ruang makan untuk makan. Seragam kerja dan pakaian lainnya harus dicuci secara
terpisah.

Pencegahan cedera otot dan tulang

1) Pada saat memindahkan barang, tubuh sebisa mungkin dekat dengan barang tersebut
dan hindari gerakan membungkuk atau posisi membungkuk ke arah depan, sebaiknya
berlutut atau kedua kaki direndahkan sehingga pusat beban berkurang untuk
menghindari cedera di bagian pinggang. Pada saat memindahkan barang jangan hanya
memutarkan pinggang, harus dengan satu kaki sebagai tumpuan, kaki yang lain
bergerak dan memutarkan seluruh badan untuk menghindari cedera di lutut dan
pinggang.
2) Pada saat merawat pasien apabila ada gerakan condong ke depan sebelum
membungkuk, harus dengan satu tangan sebagai tumpuan badan untuk menghindari
pinggang mendapat beban terlalu besar. Apabila perlu memindahkan pasien, harus
dengan kedua kaki merendah sehingga pusat beban terkurang untuk menghindari
terjadinya cedera di bagian pinggang.
3) Jagalah posisi duduk yang benar, bagian punggung sebaiknya menempel di punggung
kursi, untuk menghindari tulang pinggang melengkung, dapat diganjal dengan barang
tumpuan kecil atau bantal kecil, untuk mengurangi beban di tulang pinggang.

Saran untuk istirahat tidur

1) Pergunakan waktu istirahat siang, atau istirahat singkat untuk mensuplai waktu tidur.
2) Sebelum tidur lakukan gerakan peregangan, untuk membantu cepat tidur. Tetapi
sebelum tidur tidak boleh melakukan olah raga berat.
3) Kegiatan sebelum tidur hendaknya diusahakan penuh kehangatan jangan membuat
emosi terlalu tinggi.
4) Dalam hal makanan hendaknya normal, teratur, seimbang sebagai patokan, sebelum
tidur hindari konsumsi makanan berlebihan, minum kopi, teh, nikotin dan makanan
merangsang lainnya. Apabila lembur malam, makan malam boleh ditambah, tetapi
sebelum selesai kerja harus menghindari produk penambah energi dan sebelum tidur
jangan makan terlalu kenyang atau mengkonsumsi makanan berlemak tinggi

Hal lain yang perlu diperhatikan

1) Merawat pasien dibatasi untuk satu pasien saja, batasan ruang gerak hanya di satu
kamar pasien saja, tidak dibenarkan bergerak di berbagai bagian rumah sakit.
2) Boleh mendapat suntikan vaksinasi untuk memperkecil kemungkinan penularan, seperti
vaksinasi untuk hepatitis B, TBC, flu dan lain-lain
3) Memahami perawatan pasien, atau kondisi penyakit menular pasien satu ruangan,
untuk mengambil langkah perlindungan diri sendiri yang memadai.
4) Memelihara kebiasaan berolah raga teratur, mempergunakan waktu luang perawatan
untuk mengerakkan seluruh otot dan tulang tubuh.
5) Secara aktif mengikuti program pendidikan dan pelatihan yang bersangkutan.
6) Setiap tahun melakukan pemeriksaan kesehatan berkala.

2.3 Cedera pada perawat

Penyebab kecelakaan atau cedera salah satunya adalah kebiasaan dimana terdapat suatu
keadaan lingkungan tidak aman (unsafe condition) atau tindakan yang tidak memenuhi
keselamatan (unsafe act).

Seringkali kecelakaan merupakan kombinasi dari kedua faktor tersebut.Pada penelitian ini
kejadian cedera pada perawat bisa terjadi karena dipengaruhi oleh tindakan yang tidak
memenuhi keselamatan (unsafe act) dalam hal ini adalah kepatuhan dalam menerapkan
pedoman keselamatan kerja.Hal ini sejalan dengan penelitian Hidayat (2013) yang menyatakan
bahwa perilaku tidak aman (unsfae action) berpengaruh positif dan signifikan terhadap
kecelakaan kerja.Kejadian cedera dapat terjadi dipengaruhi oleh banyak faktor, salah satunya
adalah kepatuhan perawat dalam menerapkan pedoman keselamatan kerja yang ada di ruang
operasi.Kepatuhan merupakan salah satu hal yang mempengaruhi dalam tindakan yang tidak
aman (unsafe action). dari pekerjaan berisiko rendah hingga berisiko tinggi. Disamping itu
pemahaman dan penerapan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) masih kurang di perhatikan
oleh pekerja formal maupun informal. Pada hal faktor K3 sangat penting dan harus diperhatikan
oleh pekerja dan hal ini menjadi tanggung jawab bersama, perlu adanya kerja sama antara
pemerintah, perusahaan dan pekerja agar terhindar dari Kecelakaan Akibat Kerja (KAK) dan
Penyakit Akibat Kerja (PAK).

Peran serta para pekerja dalam mencegah PAK merupakan komponen sikap.Para informan
sudah mempunyai pengetahuan langkah-langkah mencegah PAK, walaupun masih saja ada
yang tidak patuh terhadap prosedur pencegahan PAK di lokasi kerja.Keselamatan dan
Kesehatan Kerja merupakan upaya perlindungan tenaga kerja dari bahaya, penyakit dan
kecelakaan akibat kerja maupun lingkungan kerja.Penegakan diagnosis spesifik dan sistem
pelaporan penyakit akibat kerja penting dilakukan agar dapat mengurangi dan atau bebas dari
kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan efisiensi
dan produktivitas kerja.

Cedera akibat kerja merupakan dampak fisik seperti patah,retak,luka dan sebagainya yang di
akibatkan oleh kecelakaan jenis cedera akibat kecelakaan kerja dan klasifikasi dampak yang
ditimbulkan menurut The Centers For Disiase Control And Prevetion beberapa penyebap utama
cedera dibidang perawatan kesehatan meliputi, overexection,kegiatan mengangkat dan
memindahakan pasien,tetusuk jarum suntik,kekerasan,dan kekurangan sumber daya manusia
Dampak cedera akibat kerja perawat terbesar adalah sprain dan strain

 cedera kepala

cedera kepala terjadi akibat terpeleset(slip), tersandung(trip), dan terjatuh(fall). Perawat juga
dapat mengalami banyak cedera selain yang disebutkan di atas karena perawat menghabiskan
hari-hari mereka memberikan asuhan keperawatan kepada pasien dalam kondisi berbahaya dan
tempat kerja yang berbahaya

usaha pengendalian dilingkungan kerja rumah sakit sangat penting direncanakan dan di
terapkan diantaranya mengkaji kesehatan kerja tenanga kesehatan,staf dan kariawan,
standarisasi sanitasi lingkungan rumah sakit dan keamanan pasien dan pengunjung ruma sakit.

Upaya-upaya yang bisa dikerjakan untuk mencegah kecelakan kerja dan penyakit akibat kerja
yaitu:

 subtitusi pengenalan lingkungan kerja dengan cara mengkaji dan mengenali potensial
bahaya lingkungan kerja,kemudian menganti perlengkapan kerja yang tidak wajar
digunakan.
 Pelajari lingkungan kerja dalam hal ini menilai karakter serta besarnya potensi-potensi
bahaya yang mungkin muncul sehingga dengan mudah rumah sakit memprioritaskan
dalam penanganan permaslaahan yang lebih potensial.
 Pengendalian lingkungan kerja dengan bertindak mengurangi banhkan juga
menguhilangkan pajanan pada masalah kesehatan tenanga medis di lingkungan kerja
dengan menggunkan teknologi pengendalian.

Klasifikasi jenis cidera akibat kecelakaan kerja :


Jenis cidera akibat kecelakaan kerja dan tingkat keparahan yang ditimbulkan membuat
perusahaan melakukan pengklasifikasian jenis cilira akibat kecelakaan. Tujuan
pengklasifikasian ini adalah untuk pencatatan dan pelaporan statistik kecelakaan kerja.
Ban the referensi penerapan yang digunakan berbagai oleh perusahaan, salah satunya
adalah standar Australia AS 1885-1 (1990)1. Berikut adalah pengelompokan jenis
cidera dan keparahannya:
a. Cidera fatal(fatality): kematian yang disebabkan oleh cidera atau penyakit akibat
kerja.
b. Cidera yang menyebabkan hilang waktu kerja (Loss Time Injury): suatu kejadian
yang menyebabkan kematian, cacat permanen,atau kehilangan hari kerja selama satu
hari kerja atau lebih. Hari pada saat kecelakaan kerja tersebut terjadi tidak dihitung
sebagai kehilangan hari kerja.
c. Cidera yang menyebabkan kehilangan hari kerja (Loss Time Day) semua jadwal
Msuk kerja yang mana petugas kesehatan tidak bisa masuk kerja karena cidera, tetapi
tidak termasuk hari saat terjadi kecelakaan. Juga termasuk hilang hari kerja karena
cidera yang kambuh dari periode sebelumnya. Kehilangan hari kerja juga termasuk hari
pada saat kerja alternatif setelah kembali ke tempat kerja. Cidera fatal dihitung sebagai
220 kehilangan hari kerja dimulai dengan hari kerja pada saat kejadian tersebut terjadi.
d. Tidak mampu bekerja atau cidera dengan kerja terbatas (Restructed Duty). Jumlah
hari kerja karyawan yang tidak mampu untuk mengerjakan pekerjaan rutinnya dan di
tempatkan pada pekejaan lain sementara atau yang sudah dimodifikasi . Pekerjaan
alternatif termasuk perubahan lingkungan kerja pola atau jadwal kerja.
e. Cidera dirawat di rumah sakit (Medical treatmen injury) : kecelakaan kerja ini tidak
termasuk cidera hilang waktu kerja, tetapi kecelakaan kerja yang ditinggal oleh dokter,
perawat, atau orang yang memiliki klasifikasi untuk memberikan pertolongan pada
kecelakaan.
f. Cidera ringan (first aid injury): cidera ringan akibat kecelakaan kerja yang ditangani
menggunakan alat pertolongan pertama pada kecelakaan setempat, contoh luka lecet,
mata kemasukan debu,dan lain-lain.
g. Kecelakaan yang tidak menimbulkan cidera (Non Injury Incident): suatu
kejadianyang potensial, yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja atau penyakit akibat
kerja kecuali kebakaran, peledakan dan bahaya pembuangan limbah.

Penyakit Akibat Kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja.
Menurut World Heatlh Organitations (WHO) mencatat dari 35 juta pegawai kesehatan yang ada
di dunia, kematian akibat penyakit menular yang berhungan dengan pegawaian kesehatan
berjumlah kurang lebih 108.254 laki-laki dan perempuan517.404 kejadian. Insiden akut secara
signifikan lebih besar terjadi pada pegawai rumah sakit dibandingkan dengan seluruh pegawai
di semua kategori jenis kepegawaian.

Sedangkan menurut National Safety Council (Kemenkes RI, 2007) menyebutkan bahwa
terjadinya kecelakaan di rumah sakit 41% lebih besar dari pekerja di industri lain. Selain itu
Annizar (2012) menyatakan bahwa secara umum sebanyak 80-85 % kecelakaan kerja
disebabkan oleh perilaku yang tidak aman. Data dan fakta Kesehatan dan Keselamatan Kerja
Rumah Sakit (K3RS) secara global yang dipaparkan oleh WHO (Kemenkes RI, 2010)
menyebutkan bahwadari 35 juta petugas kesehatan, 3 juta terpajan patogen darah dan lebih dari
90% terjadi di negara berkembang, MenurutKMK1087/MENKES/SK/VIII/2010 Program
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yang harus diterapkan yaitu pengembangan kebijakan
K3RS, pembudayaan perilaku K3RS, pengembangan SDM K3RS, pengembangan pedoman,
petunjuk teknis dan Standard Operational Procedure (SOP) K3RS, pemantauan dan evaluasi
kesehatan lingkungan tempat kerja, pelayanan kesehatan kerja, pelayanan keselamatan kerja,
pengembangan program pemeliharaan pengelolaan limbah padat, cair, dan gas, pengelolaan
jasa, bahan beracun berbahaya dan barang berbahaya, dan pengembangan manajemen tanggap
darurat.
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER01/MEN/1981 dan
Keputusan Presiden RI No 22/1993 terdapat 31 jenis penyakit akibat kerja antara lain sebagai
berikut:

1. Pneumokoniosis yang disebabkan oleh debu mineral pembentukan jaringan parut


(silikosis, antrakosilikosis, asbestosis) dan silikotuberkulosis yang silikosisnya
merupakan faktor utama penyebab cacat atau kematian.
2. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu
logam keras.
3. Penyakit paru dan saluran pernafasan (bronkopulmoner) yang disebabkan oleh debu
kapas, vlas, henep dan sisal (bissinosis).
4. Asma akibat kerja yang disebabkan oleh penyebab sensitisasi dan zat perangsang yang
dikenal berada dalam proses pekerjaan.
5. Alveolitis allergika yang disebabkan oleh faktor dari luar sebagai akibat penghirupan
debu organik
6. Penyakit yang disebabkan oleh berillium atau persenyawaannya yang beracun.
7. Penyakit yang disebabkan oleh kadmium atau persenyawaannya yang beracun.
8. Penyakit yang disebabkan oleh fosfor atau persenyawaannya yang beracun.
9. Penyakit yang disebabkan oleh krom atau persenyawaannya yang beracun.
10. Penyakit yang disebabkan oleh mangan atau persenyawaannya yang beracun.
11. Penyakit yang disebabkan oleh arsen atau persenyawaannya yang beracun.
12. Penyakit yang disebabkan oleh raksa atau persenyawaannya yang beracun.
13. Penyakit yang disebabkan oleh timbal atau persenyawaannya yang beracun.
14. Penyakit yang disebabkan oleh flour atau persenyawaannya yang beracun.
15. Penyakit yang disebabkan oleh karbon disulfida.
16. Penyakit yang disebabkan oleh derivat halogen dari persenyawaan hidrokarbon alifatik
atau aromatik yang beracun.
17. Penyakit yang disebabkan oleh benzena atau homolognya yang beracun.
18. Penyakit yang disebabkan oleh derivat nitro dan amina dari benzena atau homolognya
yang beracun.
19. Penyakit yang disebabkan oleh nitrogliserin atau ester asam nitrat lainnya.
20. Penyakit yang disebabkan oleh alkohol, glikol atau keton.
21. Penyakit yang disebabkan oleh gas atau uap penyebab asfiksia atau keracunan seperti
karbon monoksida, hidrogen sianida, hidrogen sulfida atau derivatnya yang beracun,
amoniak, seng, braso dan nikel.
22. Kelainan pendengaran yang disebabkan oleh kebisingan.
23. Penyakit yang disebabkan oleh getaran mekanik (kelainan-kelainan otot, urat, tulang
persendian, pembuluh darah tepi atau syaraf tepi).
24. Penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dalam udara yang bertekanan lebih.
25. Penyakit yang disebabkan oleh radiasi elektromagnetik dan radiasi yang mengion.
26. Penyakit kulit (dermatosis) yang disebabkan oleh penyebab fisik, kimiawi atau biologik.
27. Kanker kulit epitelioma primer yang disebabkan oleh ter, pic, bitumen, minyak mineral,
antrasena, atau persenyawaan, produk atau residu dari zat tersebut.
28. Kanker paru atau mesotelioma yang disebabkan oleh asbes.
29. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus, bakteri, atau parasit yang didapat dalam
suatu pekerjaan yang memiliki resiko kontaminasi khusus.
30. Penyakit yang disebabkan oleh suhu tinggi atau rendah atau panas radiasi atau
kelembaban udara tinggi.
31. Penyakit yang disebabkan oleh bahan kimia lainnya termasuk bahan obat.

Adapun Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya penyakit dan kecelakaan akibat
kerja pada perawat dirumah sakit adalah sebagai berikut:

a. Komunikasi

Komunikasi keselamatan dan kesehatan kerja dapat menggunakan berbagai media baik lisan
maupun tulisan. Rumah sakit seharusnya memberikan sosialisasi dan pelatihan terkait program
K3RS kepada tenaga kesehatan terkhusus perawat dengan menjadwalkan program-program
tersebut secara mendetail agar perawat yang merupakan tenaga kesehatan terbanyak di rumah
sakit dapat mempunyai pengetahuan yang lebih mendalam lagi terkait K3RS yang dapat
membawa manfaat, yakni mencegah perawat dan tenaga kesehatan lainnya dari kecelakaan
kerja dan kesalahan tindakan pada pasien pun dapat di minimalisir. Selain itu, perawat harus
mampu melaporkan apabila terdapat penyakit akibat kerja yang dialami agar dapat segera
diberikan penangan. Jika perawat tak melakukan pelaporan, tak mendapat penanganan, dan
ternyata penyakit yang dialami perawat tersebut adalah penyakit menular, penyakit pada
perawat tersebut dapat tertular ke orang lain.

b. Sumber Daya, Peralatan Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Ketersediaan sarana dan prasarana seperti alat pelindung diri bagi petugas kesehatan
mendukung perawat untuk terhindar dari penyakit dan kecelakaan kerja. Alat-alat yang
mencukupi dan mudah diperoleh seperti pelindung diri seperti masker, apron, handscoon,
sepatu booth, kacamata google, dan topi. Dikarenakan terkadang perawat enggan menggunakan
alat pelindung diri disebabkan alat-alat yang ditempatkan jauh dan kurang dapat dijangkau
perawat saat hendak pergi ke ruangan pasien.

Kondisi dari alat pelindung diri yang disediakan dalam kondisi yang layak pakai membuat
perawat juga dapat menjadi faktor keinginan perawat dalam memakai alat pelindung
diri.Kualitas sumberdaya juga tentu berpengaruh di dalam bekerja. Perawat dan tenaga
kesehatan lain seharusnya mendapat pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja maupun secara
berkala. Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No 1087 Tahun 2010 tentang Standar
Keselamatan dan Kesehatan Kerja yaitu pemeriksaan berkala meliputi pemeriksaan fisik
lengkap, kesegaran jasmani, rontgen paru-paru (bilamana mungkin) dan laboratorium rutin,
serta pemeriksaan-pemeriksaan lain yang dianggap perlu dan pemeriksaan kesehatan berkala
bagi SDM Rumah Sakit sekurangkurangnya 1 tahun.

c. Lingkungan kerja

Lingkungan kerja beresiko menjadi penyebab terjadinya penyakit akibat kerja atau kecelakaan
akibat kerja. Faktor lingkungan ini meliputi hal yang berhubungan dengan proseskerja secara
langsung, seperti tekanan yang berlebihan terhadap jadwal pekerjaan yang dapat
mengakibatkan stress bahkan depresi pada perawat, peralatan keselamatan kerja yang kurang
bahkan tidak memadai, kurangnya pelatihan dan kurangnya pengawasan.
Faktor-faktor fisik di rumah sakit yang dapat menjadi penyebab adalah kebisingan, penerangan
yang tidak sesuai seperti kurang pencahayaan atau terlalu silau, tekanan udara, dan aroma di
tempat kerja. Lingkungan kerja jika tidak ditanggulangi segera akan menyebabkan penyakit
akibat kerja atau kecelakaan akibat kerja yang dialami oleh perawat.

Contoh akibat yang ditimbulkan adalah perawat yang tertusuk jarum suntik ketika hendak
menutup jarum suntik tersebut. hal tersebut dapat terjadi ketika pencahayaan ruangan yang
kurang yang menyebabkan perawat tak terlalu mampu melihat dengan jelas.

A. Standar Operasional Procedure (SOP)

Standar Operasional Prosedur dibutuhkan agar perawat dapat mengetahui prosedur kerja yang
harus dilakukan, sebagai standarisasi cara yang dilakukan perawat dalam menyelesaikan
pekerjaannya, mengurangi tingkat kesalahan dan kelalaian yang mungkin dilakukan dalam
melaksanakan tugas, meningkatkan efisiensi dan efektifitas pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab individual pegawai dan rganisasi secara keseluruhan.

Di tiap rumah sakit dan ruangan harus tersedia Standart Operasional Prosedur (SOP) dan sudah
didokumentasikan sehingga Standar Operasioanl Prosedur kerja dapat dilihat setiap saat karena
sudah tersusun rapih dan mudah diliat, dan SOP hendaklah diperbaharui untuk menyesuaikan
dengan perkembangan yang ada.

B. Komitmen

Komitmen penting sekali dimiliki leh perawat dalam bekerja. Perawat harus mempunyai
pengetahuan dan komitmen bahwa perawat tak hanya melindungi dan merawat pasien saja,
tetapi juga harus melindungi dirinya juga di dalam bekerja. Komitmen di dalam melakukan
tindakan sesuai dengan SOP, di dalam menggunakan alat pelindung diri, melakukan cuci
tangan, mengikuti pemeriksaan kesehatan, menerapkan program K3RS dengan baik, dan
mematuhi peraturan rumah sakit. Perawat tak boleh bersikap acuh tak acuh, meskipun itu
mengenai dirinya. karena yang akan perawat lakukan kepada pasien adalah merawat, jika
perawat yang sakit bekerja bukan tidak mungkin penyakitnya akan menular dan juga
mempengaruhi kinerjanya di dalam merawat pasien

Seorang perawat dalam melaksanakan manajemen K3 harus memiliki sikap yang sesuai dengan
nilai-nilai kesehatan dimana seluruh nilai positif yang ada dalam dirinya menjadi pendorong
perilaku sehat dan menjadi upaya dalam meningkatkan kesehatan dan keselamatan selama
bekerja.Selain itu, Notoadmodjo (2010)menambahkan bahwa ada berbagai cara yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan persepsi, pengetahuan dan sikap perawat dalam menjaga
kesehatan dan keselamatan selama bekerja, diantaranya dengan memberikan promosi kesehatan
dan pelatihan tentang K3sehingga hal ini diharapkan mampu merubah perilaku perawat
menjadi lebih baik.Selain faktor internal, faktor eksternal juga sangat mempengaruhi perilaku
perawat dalam penerapan manajemen K3 di rumah sakit. Peneliti berasumsi bahwa ada banyak
faktor yang dapat menentukan perubahan perilaku perawat dari segi faktor eksternal,
diantaranya pengalaman.Pengalaman perawat dapat dilihat dari berbagai aspek.Salah satunya
adalah masa kerja.Semakin lama masa kerja perawat maka pengalaman yang dimiliki juga
semakin meningkat sehingga perilakunya dalam menjaga keselamatan dirinya juga menjadi
lebih baik.Selain itu pengalaman juga dapat diperoleh dari berbagai sosialisasi maupun
pelatihan tentang K3 yang dilakukan oleh pihak rumah sakit.
Faktor risiko yang dapat menyebabkan terjadinya PAK adalah sebagai berikut:

Golongan fisik

 Kebisingan dapat mengakibatkan gangguan pada pendengaran sampai dengan Non-


induced hearing loss
 Radiasi (sinar radio aktif) dapat mengakibatkan kelainan darah dan kulit
 Suhu udara yang tinggi dapat mengakibatkan heat stroke, heat cramps, atau
hyperpyrexia. Sedangkan suhu udara yang rendah dapat mengakibatkan frostbite,
trenchfoot atau hypothermia
 Tekanan udara yang tinggi dapat mengakibatkan caison disease
 Pencahayaan yang tidak cukup dapat mengakibatkan kelahan mata. Pencahayaan yang
tinggi dapat mengakibatkan timbulnya kecelakaan.
 Suara tinggi/bising yang dapat menyebabkan ketulian.
 Temperatur/suhu tinggi yang dapat menyebabkan Hyperpireksi, Milliaria, heat Cramp,
Heat Exhaustion, Heart Stroke.
 Radiasi sinar elektromagnetik, pada mata infra merah dapat menyebabkan katarak,
ultraviolet menyebabkan konjungtivitis, radioaktif/ alfa/ beta/ gama/ X menyebabkan
gangguan terhadap sel tubuh manusia
 Tekanan udara tinggi yang dapat menyebabkan Coison Disease.
 Getaran/vibration yang dapat menyebabkan Reynaud’s Disease, Gangguan proses
metabolisme, Polineurutis

Golongan kimia

Perawat sering kali kontak dengan bahan kimia dan obat-obatan seperti antibiotika, demikian
pula dengan solvent yang banyak digunakan dalam komponen antiseptik, desinfektan dikenal
sebagai zat yang paling karsinogen. Semua bahan cepat atau lambat ini dapat memberi dampak
negatif terhadap kesehatan mereka. Gangguan kesehatan yang paling sering adalah dermatosis
kontak akibat kerja yang pada umumnya disebabkan oleh iritasi (amoniak, dioksan) dan hanya
sedikit saja oleh karena alergi (keton). Bahan toksik (trichloroethane, tetrachloromethane) jika
tertelan, terhirup atau terserap melalui kulit dapat menyebabkan penyakit akut atau kronik,
bahkan kematian. Bahan korosif (asam dan basa) akan mengakibatkan kerusakan jaringan yang
irreversible pada daerah yang terpapar.

 Debu dapat mengakibatkan pneumoconiosis


 Uap dapat mengakibatkan metal fume fever, dermatitis dan keracunan
 Gas dapat mengakibatkan keracunan CO dan H2S
 Larutan dapat mengakibatkan dermatitis
 Insektisida dapat mengakibatkan keracunan
 Berasal dari bahan baku, bahan tambahan, hasil antara, hasil samping, hasil (produk),
sisa produksi atau bahan buangan yang dapat berbentuk zat padat, cair, gas, uap maupun
partikel. Materi ini masuk ke tubuh dapat melalui saluran pernafasan, saluran
pencernaan, kulit dan mukosa.
 Efek terhadap tubuh dapat menyebabkan iritasi, alergi, korosif, Asphyxia, keracunan
sistemik, kanker, kerusakan/kelainan janin, pneumoconiosis, efek bius (narkose) dan
pengaruh genetik.
pencegahan dari paparan factor kimia dapat dilakukan dengan:

”Material safety data sheet” (MSDS) dari seluruh bahan kimia yang ada harus diketahui oleh
seluruh petugas kesehatan. Zat kimia dapat berbentuk cairan, padat, gas, dan uap. Suatu bahan
kimia yang tumpah dapat dikatakan berbahaya apabila suatu zat kimia tersebut berdampak
buruk bagi kesehatan manusia ketika kontak fisik secara langsung baik terkena kulit maupun
terhirup secara langsung. Adapun bahan-bahan kimia yang berbahaya tersebut antara lain: asam
sulfat (H2SO4), asam klorida, asam perklorat, hydrogen peroksida (H2O2), asam sianida,
benzena (C6H6), dan toluene (C6H5CH3). Penangan yang sangat tepat dalam tumpahan zat
kimia adalah dengan mengikuti data atau petunjuk penanganan bahan dalam MSDS. Prosedur
penanganan tumpahan zat kimia secara umum adalah:

 Mengenali tumpahan zat kimia tersebut dan mengetahui teknik aman penanganannya.
 Memastikan penggunaan alat pengaman diri
 Mencegah tumpahan meluas dan hentikan sumber tumpahan zat kimia tersebut
 Menangani di tempat dengan cara menetralisasi. Tumpahan zat kimia disiram dengan
air kemudian di netralisasi menggunakan cairan basa atau soda., dan disapu ke saluran
drainase.  Menggunakan karet isap (rubber bulb) atau alat vakum untuk mencegah
tertelannya bahan kimia dan terhirupnya aerosol 
 Menggunakan alat pelindung diri (pelindung mata, sarung tangan, celemek, jas
laboratorium) dengan benar
 Hindari penggunaan lensa kontak, karena dapat melekat antara mata dan lensa
 Menggunakan alat pelindung pernafasan dengan benar

Golongan infeksi

 Anthrax,. Brucell, HIV/AIDS.

Golongan fisiologis

 Dapat disebabkan oleh kesalahan kontruksi, mesin, sikap badan yang kurang baik, salah
cara melakukan suatu pekerjaan yang dapat mengakibatkan kelelahan fisik bahkan
lambat laun dapat menyebabkan perubahan fisik pada tubuh pekerja

Golongan mental

 Dapat disebabkan oleh hubungan kerja yang tidak baik atau keadaan pekerjaan yang
monoton yang menyebabkan kebosanan.

Faktor biologi yang dapat berasal dari virus, bakteri, parasit, jamur, serangga, binatang buas,
dan lain-lain

Faktor Ergonomi/Fisiologi

Ergonomi berasal dari bahasa yunani, yaitu “ergon” yang berarti kerja dan “nomos” yang
berarti ilmu yang mempelajari. Dengan kata lain ergonomi dapat diterjemahkan sebagai ilmu
yang mempelajari tentang pekerjaan atau sistem kerja, termasuk di dalamnya adalah pekerja,
peralatan kerja dan tempat kerja dari pekerja (Occupational Health and Safety second edition,
1994). Ergonomi adalah hubungan antara manusia dengan lingkungan kerjanya, yaitu
keseluruhan alat perkakas dan bahan yang dihadapi, organisasi atau metode kerjanya dan
sekitar lingkungan kerjanya (Suyatno, 1985). Selain itu menurut Corlett dan Clark (1995),
ergonomi merupakan ilmu yang mempelajari kharakteristik dan kemampuan manusia yang
mempengaruhi desain pekerjaan, peralatan, dan sistem kerja. Manuaba (2000) mendefinisikan
ergonomi sebagai ilmu, teknologi dan seni untuk menserasikan alat, cara kerja dan lingkungan
pada kemampuan, kebolehan dan batasan manusia sehingga diperoleh kondisi kerja dan
lingkungan yang sehat, aman, nyaman dan efisien sehingga tercapai produktivitas setinggi-
tingginya. Dengan ergonomi kita mampu menekan dampak negatif pemanfaatan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan hendaknya,ergonomi dimasukkan sedini mungkin bahkan dari
mulai rancangan sehingga dapat menekan kesalahan sesedikit mungkin. Berdasarkan berbagai
definisi di atas dapat disimpulkan bahwa ergonomi merupakan penerapan ilmu multidisiplin
yang mempelajari interaksi antara manusia dalam hal ini adalah kemampuan dan kapasitasnya,
alat kerja dan lingkungan kerja agar terciptanya kesesuaian diantaranya sehingga terciptanya
efisiensi dan produktivitas kerja yang maksimal.

 Penyebabnya adalah cara kerja, posisi kerja, alat kerja, lingkungan kerja yang salah dan
kontruksi salah.
 Efek terhadap tubuh yaitu dapat menyebabkan kelelahan fisik, nyeri otot, deformitas
tulang, perubahan bentuk dan dislokasi
Ergonomi sebagai ilmu, teknologi, dan seni berupaya menyerasikan alat, cara, proses, dan
lingkungan kerja terhadap kemampuan, kebolehan, dan batasan manusia untuk terwujudnya
kondisi dan lingkungan kerja yang sehat, aman, nyaman, dan tercapai efisiensi yang setinggi-
tingginya. Pendekatan ergonomi bersifat konseptual dan kuratif, secara populer kedua
pendekatan tersebut dikenal sebagai To fit the Job to the Man and to fit the Man to the Job

tujuan ergonomi adalah sebagai berikut: 

 Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental melalui upaya pencegahan cidera dan
penyakit akibat kerja, menurunkan beban kerja fisik dan mental, mengupayakan
promosidan kepuasan kerja.
 Meningkatkan kesejahteraan sosial melalui peningkatan kualitas kontak sosial,
mengelola dan mengkoordinir kerja secara tepat guna dan meningkatkan jaminan sosial
baik selama kurun waktu usia produktif maupun setelah tidak produktif.
 Menciptakan keseimbangan rasional antara berbagai aspek yaitu aspek teknis,
ekonomis, antropologis, dan budaya dari setiap sistem kerja yang dilakukan sehingga
tercipta kualitas kerja dan kualitas hidup yang tinggi.
Napitupulu Natassia (2009) mengungkapkan bahwa tujuan dalam penerapan ergonomi
antara lain:
 Meminimalisir angka cedera dalam melakukan pekerjaan
 Mengurangi biaya penanganan kecelakaan atau kesakitan
 Mengurangi kunjungan berobat
 Meningkatkan produktivitas/ kualitas dan keselamatan kerja
 Pekerja merasa nyaman dalam bekerja
 Meningkatkan kesejahteraan fisik dan mental
 Meningkatkan kesejahteraan social
 Menciptakan keseimbangan rasional antara aspek teknis, ekonomis, antropologis dan
budaya dari setiap sistem kerja.

Ruang Lingkup Ergonomi


Ergonomi bersangkutan dengan keilmuan lain diantaranya meliputi ilmu anatomi, psikologi dan
karakter psikologi seeorang yang mempengaruhi atau menetapkan desain dan kegunaan dari
tempat kerja, posisi bekerja, dan atau suatu pengoprasian dan dengan memastikan bahwa desain
tersebut yang berhubungan dengan tugas, peralatan, perlengkapan serta prosedur yang sesuai
dengan keterbatasan manusia dan kapasitas penggunaannya Jika dilihat dari sudut pandang
ergonomi, antara tuntutan tugas dengan kapasitas kerja harus selalu dalam garis keseimbangan
sehingga dicapai performansi kerja yang tinggi. Dalam kata lain, tuntutan pekerjaan tidak boleh
terlalu rendah (underload) dan juga tidak boleh terlalu berlebihan (overload), karena keduanya
dapat menyebabkan stress. Konsep keseimbangan antara kapasitas kerja dengan tuntutan tugas
Dalam hal ini ergonomi bisa dibagi menjadi beberapa bagian untuk memudahkan
pemahamannya. Ruang lingkup ergonomi antara lain:

 Ergonomi fisik:
berkaitan dengan anatomi tubuh manusia, anthropometri, karakteristik fisiologi dan
biomekanika yang berhubungan dengan aktifitas fisik
 Ergonomi kognitif:
berkaitan dengan proses mental manusia, termasuk di dalamnya; persepsi, ingatan, dan
reaksi, sebagai akibat dari interaksi manusia terhadap pemakaian elemen sistem.
 Ergonomi organisasi:
Berkaitan dengan optimasi system sosiol eknik, termasuk sturktur organisasi, kebijakan
dan proses.
 Ergonomi lingkungan:
berkaitan dengan pencahayaan, temperatur, kebisingan, dan getaran

Metode Ergonomi

Beberapa metode dalam artikel ergonomi dari departemen kesehatan Republik Indonesia,
dalam menilai ergonomis atau tidaknya suatu lingkungan kerja, yaitu:

 Diagnosis, dapat dilakukan melalui wawancara dengan pekerja, inspeksi tempat kerja
penilaian fisik pekerja, uji pencahayaan, ergonomik checklist dan pengukuran
lingkungan kerja lainnya. Variasinya akan sangat luas mulai dari yang sederhana sampai
kompleks.
 Treatment, pemecahan masalah ergonomi akan tergantung data dasar pada saat
diagnosis. Kadang sangat sederhana seperti merubah posisi meubel, letak pencahayaan
atau jendela yang sesuai.
 Follow-up, dengan evaluasi yang subyektif atau obyektif, subyektif misalnya dengan
menanyakan kenyamanan, bagian badan yang sakit, nyeri bahu dan siku, keletihan, sakit
kepala dan lain-lain. Secara obyektif misalnya dengan parameter produk yang ditolak,
absensi sakit, angka kecelakaan dan lain-lain.

Faktor Mental/Psikologi

Faktor Psikososial Risiko bahaya psikologi dapat terjadi di seluruh rumah sakit berupa
pelayanan kesehatan sering kali bersifat emergency dan menyangkut hidup mati seseorang,
untuk itu perawat dituntut untuk memberikan pelayanan yang tepat dan cepat disertai dengan
kewibawaan dan keramahan-tamahan. Pekerjaan pada unit-unit tertentu yang sangat monoton.
Hubungan kerja yang kurang baik antara sesama perawat, perawat dengan pasien, maupun
perawat dengan pimpinan. Beban mental karena menjadi panutan bagi mitra kerja di sektor
formal ataupun informal. Risiko psikologi akan memberikan pengaruh pada perilaku atau
semangat kerja perawat sehingga produktivitasnya akan menurun. Upaya pengendalian yang
dilakukan untuk risiko ini adalah dengan mengadakan pertemuan antar satuan kerja, antar staff,
dan pimpinan pada acara-acara bersama yang bertujuan agar terjalin komunikasi dengan baik.
Sehingga secara psikologi hal ini berdampak baik pada proses

pengakraban, dengan harapan risiko bahaya psikologi dapat ditekan seminimal mungkin.
Secara umum dapat disimpulkan bahwa perawat di instalasi gawat darurat berisiko untuk
mengalami gangguan terhadap kesehatan dan keselamatan kerja yang bersumber dari aktivitas
asuhan keperawatan yang dilakukannya, untuk itu diperlukan berbagai upaya pengendalian
risiko. Langkah awal agar pengendalian berbagai risiko kesehatan dan keselamatan kerja untuk
perawat di Rumah Sakit agar berhasil optimal maka perlu dibudayakan K3 di berbagai bagian
di Rumah Sakit. Sesuai dengan pendapat Mulyati dkk. (2016) bahwa budaya keselamatan dan
kesehatan kerja di Rumah Sakit merupakan kunci untuk tercapainya peningkatan kesehatan dan
keselamatan kerja dalam organisasi. Penyebabnya yaitu suasana kerja monoton dan tidak
nyaman, hubungan kerja kurang baik, upah kerja kurang, terpencil, atau tak sesuai bakat yang
mengakibatkan stress.

Risiko utama akibat kerja pada perawat adalah penyakit menular, cedera otot dan tulang,
gangguan tidur.

1. Penyakit menular Tenaga perawat kemungkinan melakukan kontak yang berhubungan


dengan cairan darah berkuman, cairan tubuh, busa, cairan mulut, cairan urine, kotoran
manusia, muntahan dan lainlain sehingga mendapat penularan.

Media penularan :

 Penularan melalui cairan darah


 Penularan melalui udara atau busa
 Penularan melalui kontak tubuh
 Penularan melalui mulut (berkontak dengan cairan urine dan kotoran manusia)
Penyakit menular : Hepatitis B, hepatitis C, AIDS, Flu menular, TBC, SARS, Penyakit
kulit biasa, radang infeksi kulitRadang infeksi perut, hepatitis A.

Berikut ini adalah penerapan konsep lima tingkatan pencegahan penyakit (five level of
prevention disease) pada penyakit akibat kerja, yakni:

 Peningkatan kesehatan (health promotion). Misalnya: penyuluhan kesehatan dan


keselamatan kerja (K3) pendidikan kesehatan, meningkatkan gizi yang baik,
pengembangan kepribadian, perusahaan yang sehat danmemadai, rekreasi, lingkungan
kerja yang memadai, penyuluhan perkawinan dan pendidikan seksual, konsultasi
tentang keturunan dan pemeriksaan kesehatan periodik.
 Perlindungan khusus (specific protection). Misalnya: imunisasi, hygiene perorangan,
sanitasi lingkungan, serta proteksi terhadap bahaya dan kecelakaan kerja dengan
menggunakan alat pelindung diri (APD) seperti helm, kacamata kerja, masker, penutup
telinga (ear muff dan ear plug) baju tahan panas, sarung tangan, dan sebagainya
 Diagnosis (deteksi) dini dan pengobatan segera serta pembatasan titik-titik lemah untuk
mencegah terjadinya komplikasi.
 Membatasi kemungkinan cacat (disability limitation). Misalnya: memeriksa dan
mengobati tenaga kerja secara komprehensif, mengobati tenaga kerja secara sempurna
dan pendidikan kesehatan.
 Pemulihan kesehatan (rehabilitation). Misalnya: rehabilitasi dan mempekerjakan kemali
para pekerja yang menderita cacat. Sedapat mungkin perusahaan mencoba
menempatkankeryawan-karyawan cacat di jabatan yang sesuai.

Penyelenggaraan program Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) adalah merupakan salah satu
bentuk perlindungan kepada tenaga kerja yang bertujuan untuk mewujudkan produktivitas kerja
yang optimal serta melindungi tenaga kerja dari risiko yang membahayakan kesehatan dan
keselamatannya.Sebagaimana Undang-Undang No.23/1992 tentang Kesehatan, bahwa tempat
kerja wajib menyelenggarakan upaya kesehatan kerja apabila tempat kerja tersebut memiliki
risiko bahaya kesehatan dan atau mempunyai pekerja paling sedikit 10 orang.Dalam
penyelenggaraan program K3 di industri atau jasa tidak terlepas dariperanan manajemen
melalui pendekatan yang berbentuk kebijakan pihak pengelola dalam penerapan K3.

Fasilitas kesehatan, termasuk di dalamnya rumah sakit, puskesmas, balai kesehatan masyarakat,
klinik, laboratorium klinik, dan laboratorium kesehatan, merupakan tempat kerja yang sangat
sarat dengan potensi bahaya kesehatan dan keselamatan pekerjanya.Risiko terjadinya gangguan
kesehatan dan kecelakaan menjadi semakin besar mengingat fasilitas kesehatan merupakan
tempat kerja yang padat tenaga kerja. Dan dari berbagai penelitian menunjukan bahwa
prevalensi gangguan kesehatan yang terjadi di fasilitas kesehatan lebih tinggi dibandingkan
tempat kerja lainnya

Faktor selanjutnya yang ikut berperan dalam perubahan perilaku perawat yaitu tersedianya
fasilitas yang mendukung sesuai dengan standar yang telah ditentukan.Hal ini sejalan dengan
penelitian Tukatman, Sulistiawati, Purwaningsih dan Nursalam (2015) yang menyebutkan
bahwa faktor enabling (fasilitas keamanan dan keselamatan, hukum/aturan) pada perawat
berpengaruhterhadap K3 pada perawat dalam penanganan pasien. Nilai yang paling tinggi pada
faktor enabling berada pada komponen hukum/aturan, artinya secara umum perilakuseseorang
dipengaruhi oleh aturan yang ada di lingkungannya.Selain beberapa faktor diatas, budaya
organisasi juga berpengaruh terhadap perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan,
dimana budaya organisasi yang baik akan mendorong perawat untuk bekerja sesuai dengan
prosedur yang telah ditetentukan(Notoadmodjo, 2010). Hal ini sejalan dengan penelitian
Mulyatiningsih (2013) tentang determinan perilaku perawat dalam melaksanakan keselamatan
pasien yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara budaya organisasi dengan
perilaku perawat dalam menjaga keselamatan.Budaya organisasi yang baik mempunyai peluang
2,652 kali lebih besar untuk mempunyai perilaku yang lebih baik dalam meningkatkan
keselamatan selama bekerja.

Hubungan antara Sikap dengan Kejadian Kecelakaan Kerja

Menurut Honda dkk (2014) dalam penelitian di Thailand, terdapat hubungan yang signifikan
antara sikap perawat terhadap pencegahan cidera/ kecelakaan akibat benda tajam dan terjadinya
cidera akibat benda tajam.Perawat yang memiliki sikap negative terhadap pencegahan cidera
benda tajam hampir dua kali cenderung terkena cidera benda tajam dibandingkan dengan yang
bersikap positif.Rumah sakit dapat mengurangi jumlah kejadian tertusuk benda tajam dengan
meningkatkan sikap perawat dimana sikap sangat berhubungan dengan perilaku.Penelitian ini
sesuai juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Salawati (2009) dan Sandewa (2014) bahwa
sikap ada hubungan dengan kejadian kecelakaan kerja.Direkomendasikan kepada perawat
untuk bersikap positif terhadap prosedur pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja dalam
bentuk mendukung/ menyetujui segala program K3 khususnya untuk pencegahan kecelakaan
kerja maka diusahakan adanya sikap yang pro aktif untuk mengaplikasikan ilmu baru tentang
pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja. Semakin pro aktif mengaplikasikan ilmu baru
maka akan semakin bersikap positif tentang pelaksanaan K3 sehingga akan mengurangi
kejadian kecelakaan kerja.Atas dasar rekomendasi diatas maka perlu adanya peran serta Rumah
Sakit khususnya bagian Komite K3RS untuk memberikan informasi dan ketetapan standar
operasional prosedur yang sesuai dengan pelaksanaan K3 secara bertahap dan menyeluruh

Hubungan antara Pelatihan dengan Kejadian Kecelakaan Kerja

Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja merupakan pelatihan yang diselenggarakan dan
diarahkan untuk membekali, meningkatkan, dan mengembangkan kemampuan, produktivitas,
dan kesejahteraan tenaga kerja. Kebutuhan pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja di
Rumah Sakit satu dengan Rumah Sakit lain berbeda sesuai sifat bahaya, skala kegiatan dan
kondisi petugas kesehatan (Ramli, 2010). Pelatihan keselamatan dan kesehatan kerja sangat
penting mengingat kebanyakan kecelakaan terjadi pada pekerja yang belum terbiasa bekerja
secara selamat. Penyebabnya adalah ketidaktahuan tentang bahaya atau cara mencegahnya
meskipun tahu tentang adanya suatu resiko. Direkomendasikan kepada perawat untuk
mengikuti pelatihan dan mengaplikasikan ilmu yang didapat dalam melaksanakan tugas yang
mengacu pada prosedur K3 terutama untuk pencegahan kejadian kecelakaan kerja.Atas
rekomendasi tersebut perlu dilaksanakan pelatihan K3 oleh komite K3RS yang lengkap dan
secara berkala bagi seluruh perawat agar memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam
pelaksanaan tugas sesuai prosedur. Perlu dilaksanakan pelatihan K3RS secara berkala,
komprehensif dan merata pada seluruh perawat yang bertugas di Rumah Sakit

Hubungan antara Promosi Keselamatan dan Kesehatan Kerja dengan Kejadian


Kecelakaan Kerja

Direkomendasikan supaya perawat dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja maka


diupayakan media sosialisasi untuk memberikan promosi K3 yang mudah diakses seluruh
perawat sehingga promosi K3 dapat terlaksana dengan baik.Atas dasar rekomendasi diatas
maka perlu adanya pemanfaatan media sosialisasi oleh bagian Komite K3RS yang berisi
tentang prosedur K3 terutama untuk pencegahan kejadian kecelakaan kerja.Untuk itu maka
diperlukan media sosialisasi seperti whatsapp yang dapat di akses dengan mudah oleh perawat
tentang informasi pelaksanaan K3, sehingga efisien dan efektif dalam menyampaikan promosi
K3.Media sosial tersebut dapat mengakomodir kebutuhan informasi, ilmu baru, praktik terbaik
tentang penanggulangan kecelakaan kerja yang dikelola oleh Komite K3RS.

Rumah sakit (RS) merupakan tempat kerja yang berpotensi tinggi terhadap terjadinya
kecelakaan kerja.Adanya bahan mudah terbakar, gas medis, radiasi pengion dan bahan kimia
membutuhkan perhatian serius terhadap keselamatan pasien, staf dan umum.Rumah sakit
sebagai industri jasa merupakan sebuah industri yang mempunyai beragam persoalan tenaga
kerja yang rumit dengan berbagai risiko terkena penyakit akibat kerja bahkan kecelakan akibat
kerja sesuai jenis pekerjaannya, sehingga berkewajiban menerapkan upaya Keselamatan
danKesehatan Kerja Rumah Sakit (K3RS).Upaya pembinaan K3RS dirasakan semakin
mendesak mengingat adanya beberapa perkembangan. Perkembangan tersebut antara lain
dengan makin meningkatnya pendayagunaan obat atau alat dengan risiko bahaya kesehatan
tertentu untuk tindakan diagnosis, terapi maupun rehabilitasi di sarana kesehatan. Terpaparnya
tenaga kerja (tenaga medis, paramedis, dan nonmedis) di sarana kesehatan pada lingkungan
tercemar bibit penyakit yang berasal dari penderita yang berobat atau dirawat, adanya transisi
epidemiologi penyakit dan gangguan kesehatan.

Oleh karena itu sepatutnya upaya kesehatan dan keselamatan kerja di rumah sakit (K3RS)
(Occupational Health and Safety Program) tidak dilihat sebagai barang mahal, tapi seharusnya
menjadi nilai tambah bagi organisasi rumah sakit itu sendiri (Wicaksana, 2002). Risiko bahaya
dalam kegiatan rumah sakit dalam aspek kesehatan kerja, antara lain berasal dari sarana
kegiatan di poliklinik, ruang perawatan, laboratorium, kamar rontgent, instalasi gizi, laundry,
ruang medical record, bagian rumah tangga (housekeeping), farmasi, sterilisasi alatalat
kedokteran, pesawat uap atau bejana dengan tekanan, instalasi peralatan listrik,instalasi proteksi
kebakaran, air limbah, sampah medis, dan sebagainya

Klasifikasi Jenis Cidera Akibat Kecelakaan Kerja

Jenis cidera akibat kecelakaan kerja dan tingkat keparahan yang ditimbulkan membuat
perusahaan melakukan pengklasifikasian jenis cidera akibat kecelakaan. Tujuan
pengklasifikasian ini adalah untuk pencatatan dan pelaporan statistik kecelakaan kerja. Banyak
standar referensi penerapan yang digunakan berbagai oleh perusahaan, salah satunya adalah
standar Australia AS 1885-1 (1990)1. Berikut adalah pengelompokan jenis cidera dan
keparahannya:

 Cidera fatal (fatality)


Adalah kematian yang disebabkan oleh cidera atau penyakit akibat kerja
 Cidera yang menyebabkan hilang waktu kerja (Loss Time Injury)
Adalah suatu kejadian yang menyebabkan kematian, cacat permanen, atau kehilangan hari
kerja selama satu hari kerja atau lebih. Hari pada saat kecelakaan kerja tersebut terjadi tidak
dihitung sebagai kehilangan hari kerja.
 Cidera yang menyebabkan kehilangan hari kerja (Loss Time Day)
Adalah semua jadwal masuk kerja yang mana karyawan tidak bisa masuk kerja karena
cidera, tetapi tidak termasuk hari saat terjadi kecelakaan. Juga termasuk hilang hari kerja
karena cidera yang kambuh dari periode sebelumnya. Kehilangan hari kerja juga termasuk
hari pada saat kerja alternatif setelah kembali ke tempat kerja. Cidera fatal dihitung sebagai
220 kehilangan hari kerja dimulai dengan hari kerja pada saat kejadian tersebut terjadi.
 Tidak mampu bekerja atau cidera dengan kerja terbatas (Restricted duty)
Adalah jumlah hari kerja karyawan yang tidak mampu untuk mengerjakan pekerjaan
rutinnya dan ditempatkan pada pekerjaan lain sementara atau yang sudah di modifikasi.
Pekerjaan alternatif termasuk perubahan lingungan kerja pola atau jadwal kerja.
 Cidera dirawat di rumah sakit (Medical Treatment Injury)
Kecelakaan kerja ini tidak termasuk cidera hilang waktu kerja, tetapi kecelakaan kerja yang
ditangani oleh dokter, perawat, atau orang yang memiliki kualifikasi untuk memberikan
pertolongan pada kecelakaan.
 Cidera ringan (first aid injury)
Adalah cidera ringan akibat kecelakaan kerja yang ditangani menggunakan alat pertolongan
pertama pada kecelakaan setempat, contoh luka lecet, mata kemasukan debu, dan lain-lain.
 Kecelakaan yang tidak menimbulkan cidera (Non Injury Incident)
Adalah suatu kejadian yang potensial, yang dapat menyebabkan kecelakaan kerja atau
penyakit akibat kerja kecuali kebakaran,
Penyakit menular pada perawat akibat kerja yang sering dijumpai, diantaranya adalah:

Penyakit Saluran Napas

 Penyakit saluran napas sering menjadi salah satu penyakit menular yang dapat terjadi
pada perawat. Perantara virus yang mudah menyebabkan penyakit saluran napas sering
menginfeksi dan dijumpai terjadi. Penyakit saluran napas yang sering terjadi pada
perawat akibat kerja, yaitu: Influenza
Virus flu adalah virus yang penyebarannya melalui kontak udara ketika orang yang
terinfeksi bersin ataupun batuk. Tiga jenis virus influenza, yang sering disebut influenza
A, B, C menyebabkan wabah flu. Virus influenza dapat menular memalui tiga cara:
1. Melalui kontak langsung dengan orang yang terinfeksi
2. Melalui kontak dengan benda yang terkontaminasi
3. Jika menghirup virus (serat aerosol).

TBC

 Tuberkulosis (TB) yang juga dikenal dengan singkatan TBC adalah oenyakit menular
paru-paru yang disebabkan oleh basil Mycobacterium tubercolosis. TB termasuk dalam
10 besar penyakit yang menyebabkan kematian dunia Data WHO menunjukkan bahwa
pada tahun 2015, Indonesia termasuk dalam 6 besar negara dengan kasus baru TB
terbanyak. Sebagai perawat yang bekerja dibidang kesehatan bersinggungan dengan
penderita TB sangatlah hal yang lazim. Berkaitan dengan penularan TB melalui kontak
udara yang artinya sangat mudah menular, maka perawat diharuskan melakukan
persiapan yang sesuai SOP jika akan melakukan kontak dengan pasien TB. 2. Penyakit
kulit Penyakit kulit yang biasa sampai dengan radang infeksi kulit biasa dijumpai terjadi
di rumah sakit. Media penularan adalah melalui kontak tubuh (kulit).

HIV/AIDS Human Immunodeficiency Virus

 Adalah lentivirus (subkelompok retrovirus) yang menyebabkan infeksi HIV dan dari
waktu ke waktu berubah menjadi Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS).
AIDS adalah infeksi virus yang bisa menyebabkan kerusakan yang parah dan tidak bisa
diobati pada sistem imunitas, sehingga korbannya terbuka terhadap infeksi dan kanker
tertentu (Jonathan Weber & Annabel Ferriman). Oleh karena HIV/AIDS belum ada
obatnya, hal ini menjadikan HIV/AIDS sebagai salah satu penyakit yang mematikan.
Media penularan yang sangat mudah langsung terpapar adalah melalui cairan darah.
Data WHO (2004) dari 35 juta pekerja kesehatan bahwa 3 juta terpajan patogen darah (2
juta terpajan virus HBV, 0.9 juta terpajan virus HBC dan 170.000 terpajan virus HIV/
AIDS). Probabilitas penularan HIV setelah luka tusuk jarum suntik yang terkontaminasi
HIV

Hepatitis

 Hepatitis dalam bahasa mudahnya dikenal dengan peradangan hati. Menurut WHO
hepatitis dapat berkembang menjadi fibrosis, sirosis atau kanker hati. Ada 5 virus
hepatitis, yang disebut tipe A, B, C, D dan E. Akan tetapi, penyebaran penyakit lebih
banyak dijumpai pada virus hepatitis B. Karena, media penularannya melalui paparan
darah infektif, air mani dan cairan tubuh. Kasus penularan HBV pada 5 tahun silam
terjadi secara besar terhadap tenaga kesehatan dikarekan kerusakan jarum suntik.
Penelitian yang dilakukan peneliti Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia, Lukman Hakim Tarigan, menemukan bahwa pada tahun 2013 terdapat 7000
tenaga kesehatan yang terinfeksi HBV dan sekitar 4900 di antara tenaga kesehatan yang
terinfeksi disebabkan karena kecelakaan jarum suntik, sedangkan sisanya terinfeksi dari
penderita lain.

Penyakit Tidak Menular pada Perawat Akibat Kerja

Menurut hasil penelitian di Cleveland Clinic Hospital dan 22 Rumah Sakit di Ohio (1993-1996)
di Amerika Serikat, ditemukan cedera sprain dan strain paling banyak pada perawat. Low back
pain merupakan keluhan terbanyak dari cedera tersebut dan lebih banyak menimpa perawat
wanita. Penyebabnya ditengarai adalah seringnya kerja otot statik, seperti mengangkat pasien
dan kerja bergilir (work shift). 

 Sprain adalah cidera pada sendi yang melibatkan robeknya ligamen dan kapsul sendi.
 Strain adalah cidera otot atau tendon (urat).
 Low back pain adalah rasa nyeri yang dirasakan pada punggung bawah yang
sumbernya tulang belakang daerah spinal, otot, saraf atau struktur lainnya si sekitar
daerah tersebut. Sprain, strain maupun low back pain ini terjadi dikarenakan kerja
perawat yang terus bergerak aktif seperti memindahkan atau mentransfer pasien.
Perawat termasuk kedalam pekerjaan manual material handling yang mana termasuk ke
dalam pekerjaan dengan aktivitas berat, sehingga penyakit seperti low back pain sering
diderita oleh pekerja jenis ini.

Di Amerika Serikat, tenaga pelayanan kesehatan yang memiliki tingkat tertinggi dari low back
pain adalah perawat. Di Indonesia angka kejadian pasti low back pain diperkirakan dalam
kisaran angka 7, 6-37%. Hal ini dipertegas oleh Roupa, at all (2008) yang mengemukakan
bahwa staf perawat termasuk ke dalam kelompok profesi beresiko tinggi untuk terkena cidera
muskuloskeletal, terutama di daerah tulang belakang thorako-lumbal yang akan mengakibatkan
low back pain. (HJS -Healt Science Journal, 2008 dalam Cahyati, 2012) Selain dari sisi fisik,
beban kerja perawat juga memengaruhi sisi mental-psikologis, terkait stressor. Dalam beberapa
penelitian, salah satunya yang berjudul “Hubungan Beban Kerja dan Kondisi Penyakit dengan
Stress Kerja Perawat Pelaksana di Intensive Care Unit (ICU) RSUD Polewali Mandar”
menyatakan bahwa terdapat lima stressor pada perawat, salah satunya beban kerja yang
berlebihan (sebanya 82,2%).

Sedangkan menurut PPNI (2006) terdapat 50% perawat mengalami stress kerja yang berakibat:

 Pusing, lelah, tidak ada istirahat, yang antara lain dikarenakan beban kerja yang terlalu
tinggi dan pekerjaan yang menyita waktu
 Gangguan tidur, Tenaga perawat perlu waktu sepanjang malam atau waktu yang tidak
tentu untuk menjaga pasien, sehingga mudah mengalami kondisi tidur pendek, tidur
kurang lelap, kesulitan tidur.

pada profesi perawat dapt dicegah

apabila dalam melakukan tindakan ini sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang
telah ditetapkan. Selain itu upaya pencegahan yang dapat dilakukan adalah : 

 Memisahkan jarum dan spuit pada tempat yang berbeda.


 Saat membuang jarum, jangan menggunakan tangan langsung, untuk mencegah
tertusuk, namun menggunakan sarung tangan yang tebal.
 Menggunakan bengkok untuk menaruh jarum bekas infus setelah pemasangan infus
 Kehati-hatian dan konsentrasi sangat diperlukan dalam bekerja, sehingga resiko cedera
dapat dicegah Untuk mencegah tertusuknya jarum bekas yang dicurigai dengan HBsAg
positif maka diperlukan pencegahan infeksi dengan melakukan imunisasi aktif dan
pasif. Jika telah diberikan imunisasi pasif berupa pemberian Hepatitis B
immunoglobulin (HBIG), juga harus melakukan imunisasi aktif yang diberikan dengan
vaksinasi hepatitis B. Namun jika upaya pencegahan yang dilakukan tetap tidak
membuahkan hasil, dan perawat tetap mengalami kecelakaan akibat kerja berupa
tertusuk jarum maka pertolongan pertama yang dapat dilakukan adalah:
 Segera cuci tangan dengan alcohol 70%
 Guyur luka dibawah air yang mengalir selama 3 menit.
 Biarkan darah keluar bersama air yang mengalir (agar virus/kuman ikut keluar bersama
darah)
 Tenang dan jangan panik.
 Jika tertusuk jarum suntik bekas pasien hepatitis B, maka segera lakukan imunisasi
pasif (suntikan imunoglobulin hepatitis B) maksimal 7 hari setelah tertusuk jarum
suntik. Sedangkan untuk HIV positif, resiko pajanan darah 0.3% Apabila pertolongan
pertama telah dilakukan tindakan selanjutnya yang harus dilakukan oleh perawat yang
mengalami kecelakaan akibat kerja berupa tertusuk jarum adalah melakukan pelaporan.
Adapun tata cara pelaporan kecelakaan kerja tertusuk jarum adalah sebagai berikut: 
1) Setiap petugas yang mengalami inseden atau kecelakaan kerja karena tertusuk
jarum setelah tindakan pada pasien atau tertusuk jarum bekas, jarum infus, pisau
bedah dan benda tajam lainnya yang berhubungan dengan pasien segera di bawa
ke unit gawat darurat untuk diberi pertolongan pertama.
2) Setelah mendapat pertolongan dari UGD, petugas UGD memilah apakah korban
perlu dirujuk atau tidak:
 Bila korban tertusuk jarum pasien pederita HIV-AIDS maka korban perlu
dirujuk.
 Bila korban tertusuk jarum dengan pasien hepatitis atau penyakit infeksi lain,
maka petugas yang mengalami kecelakaan kerja cukup diberi pertolongan di
UGD untuk selanjutnya dilakukan pemeriksaan lanjutan di poli pegawai.
 Setelah mendapatkan pertolongan, petugas atau rekan korban melaporkan
kejadian kecelakaan kerja tetapi langsung pada atasan.
 Atasan korban segera membuat laporan insiden atau kecelakaan kerja
dengan formulir laporan insiden pada jam kerja ditanda tangani pelapor dan
diketahui oleh atasan langsung.
 Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan investigasi
sederhana penyebab terjadinya kecelakaan.
 Setelah selesai melakukan investigasi, laporan hasil investigasi dan laopran
insiden dilaporkan ke ketua komite mutu K3RS dalam waktu 2x24 jam
setelah terjadinya insiden tau kecelakaan kerja.
 Komite mutu K3RS akan menganalisa kembali hasil investigasi dan laporan
insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan.
 Hasil investigasi lanjutan, rekomnedasi dan rencana kerja dilaporkan ke
direksi.
 Rekomendasi untuk perbaikan dan pembelajaran diberikan umpan blik
kepada unit kerja terkait.
 Unit kerja membuat analisa dan trend kejadian insiden atau kecelakaan kerja
di unit kerjanya masing-masing setiap 1 bulan 1 kali.

Faktor Penyebab Terjadinya Kecelakaan Kerja

Faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja ada beberapa pendapat. Faktor yang merupakan
penyebab terjadinya kecelakaan pada umumnya dapat diakibatkan oleh 4 faktor penyebab
utama (Husni:2003) yaitu :

 Faktor manusia yang dipengaruhi oleh pengetahuan, ketrampilan, dan sikap.


 Faktor material yang memiliki sifat dapat memunculkan kesehatan atau keselamatan pekerja.
 Faktor sumber bahaya yaitu
Perbuatan berbahaya, hal ini terjadi misalnya karena metode kerja yang
salah, keletihan/kecapekan, sikap kerja yang tidak sesuai dan sebagainya; Kondisi/keadaan
bahaya, yaitu keadaan yang tidak aman dari keberadaan mesin atau peralatan, lingkungan,
proses, sifat pekerjaan.
 Faktor yang dihadapi, misalnya kurangnya pemeliharaan/perawatan

Pencegahan Penyakit Akibat Kerja

Berikut ini beberapa tips dalam mencegah penyakit kerja, diantaranya:

 Memakai alat pelindung diri secara benar dan teratur


 Mengenali resiko pekerjaan dan cegah supayah tidak terjadi lebih lanjut
 Segara akses tempat kesehatan terdekat apabila terjadi luka yang berkelanjutanSelain itu
terdapat pula beberapa pencegahan lain yang dapat ditempuh seperti berikut ini:
a. Pencegahan Pimer – Healt Promotio
1) Perilaku kesehatan
2) Faktor bahaya di tempat kerja
3) Perilaku kerja yang baik
4) Olahraga
5) Gizi
b. Pencegahan Skunder – Specifict Protectio
1) Pengendalian melalui perundang-undangan
2) Pengendalian administratif/organisasi: rotasi/pembatas jam kerja
3) Pengendalian teknis: subtitusi, isolasi, alat pelindung diri (APD)
4) Pengendalian jalur kesehatan imunisasi
5) Pencegahan TersierPemeriksaan kesehatan pra-kerja
6) Pemeriksaan kesehatan berkala
7) Pemeriksaan lingkungan secara berkala
8) Surveilans
9) Pengobatan segera bila ditemukan gangguan pada pekerja
10) Pengendalian segera ditempat kerja
Dalam pengendalian penyakit akibat kerja, salah satu upaya yang wajib dilakukan adalah
deteksi dini, sehingga pengobatan bisa dilakukan secepat mungkin. Dengan demikian, penyakit
bisa pulih tanpa menimbulkan kecacatan. Sekurang-kurangnya, tidak menimbulkan kecacatan
lebih lanjut. Pada banyak kasus, penyakit akibat kerja bersifat berat dan mengakibatkan cacat.

Ada dua faktor yang membuat penyakit mudah dicegah.

 Bahan penyebab penyakit mudah diidentifikasi, diukur, dan dikontrol.


 Populasi yang berisiko biasanya mudah didatangi dan dapat diawasi secara teratur serta
dilakukan pengobatan.

2.4 Menurut Benny dan Achmadi (1991) yang dikutip dalam jurnal Syahrizal (2015),
penyebab kecelakaan kerja dikelompokkan sebagai berikut:

. Faktor Lingkungan Kerja (Work Environme

 Faktor Kimia
Disebabkan oleh bahan baku produksi, proses produksi, dan hasil produksi suatu
kegiatan usaha. Untuk golongan kimia dapat digolongkan kepada benda-benda mudah
terbakar, mudah meledak dan lainnya. b. Faktor Fisik Misalnya penerangan yang tidak
cukup baik di luar maupun di dalam ruangan, panas, kebisingan dan lainnya.
 Faktor Biologi
Dapat berupa bakteri, jamur, mikroorganisme lain yang dihasilkan dari bahan baku
proses produksi dan proses penyimpanan produksi, dapat juga berupa binatang-binatang
pengganggu lainnya pada saat berada di lapangan atau kebun
 Fakor Ergonomi
Pemakaian atau penyediaan alat-alat kerja, apakah sudah sesuai dengan keselamatan
kerja sehingga perkerja dapat merasakan kenyamanan saat bekerja. Ergonomi terutana
dikhususkan sebagai perencanaan dari cara kerja yang baik meliputi tata cara bekerja
dan peralatan.
 . Faktor Psikologi
Perlunya dibina hubungan yang baik antara sesama pekerja dalam lingkungan kerja,
misalnya antara pimpinan dan bawahan

Faktor Pekerjaan

 Jam Kerja Jam kerja adalah jam waktu bekerja termasuk waktu istirahat dan lamanya
bekerja sehingga dengan adanya waktu istirahat ini dapat mengurangi kecelakaan kerja.
 Pergeseran Waktu Pergeseran waktu dari pagi, siang, dan malam dapat mempengaruhi
terjadinya peningkatan kecelakaan akibat kerja.

Faktor Pekerja (Human Factor).

 Umur Pekerja
Penelitian dalam test refleks memberikan kesimpulan bahwa umur mempunyai
pengaruh penting dalam menimbulkan kecelakaan akibat kerja. Ternyata golongan umur
muda mempunyai kecenderungan untuk mendapatkan kecelakaan lebih rendah
dibandingkan usia tua karena mempunyai kecepatan reaksi lebih tinggi akan tetapi
untuk jenis pekerjaan tententu sering merupakan golongan pekerja dengan kasus
kecelakaan tinggi, mungkin hal ini disebabkan oleh karena kecerobohan atau kelalaian
mereka terhadap pekerjaan yang dihadapi.
 Pengalaman Bekerja
Pengalaman bekerja sangat ditentukan oleh lamanya seseorang bekerja. Semakin lama
dia bekerja maka semakin banyak pengalaman dalam bekerja. Pengalaman bekerja juga
memengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Pengalaman kerja yang sedikit terutama di
perusahaan yang mempunyai risiko tinggi terhadap terjadinya kecelakaan kerja akan
mengakibatkan besarnya kemungkinan terjadinya kecelakaan kerja.
 Tingkat Pendidikan dan Keterampilan
Pendidikan seseorang memengaruhi cara berpikir dalam menghadapi pekerjaan,
demikian juga dalam menerima latihan kerja baik praktik maupun teori termasuk di
antaranya cara pencegahan ataupun cara menghindari terjadinya kecelakaan kerja.
 Lama Bekerja
Lama bekerja juga memengaruhi terjadinya kecelakaan kerja. Hal ini didasarkan pada
lamanya seseorang bekerja akan mempengaruhi pengalaman kerjanya.
 Faktor Kelelahan
Faktor kelelahan dapat mengakibatkan kecelakaan kerja atau turunnya produktivitas
kerja. Kelelahan adalah fenomena kompleks fisiologis maupun psikologis dimana
ditandai dengan adanya gejala perasaan lelah dan perubahan fisiologis dalam tubuh.
Kelelahan akan berakibat menurunnya kemampuan kerja dan kemampuan tubuh para
pekerja

Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan upaya perlindungan tenaga kerja dari bahaya,
penyakit dan kecelakaan akibat kerja maupun lingkungan kerja. Penegakan diagnosis spesifik
dan sistem pelaporan penyakit akibat kerja penting dilakukan agar dapat mengurangi dan atau
bebas dari kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja yang pada akhirnya dapat meningkatkan
efisiensi dan produktivitas kerja. Klasifikasi kecelakaan kerja menurut jenis cidera terbanyak
berupa kontak dengan benda tajam yaitu jarum suntik, menurut penyebab kecelakaan kerja
kecelakaan terbanyak berupa mesin-mesin dan peralatan kerja lainnya yang bersifat portable,
menurut jenis luka dan cidera terbanyak berupa cidera dangkal dan luka terbuka, menurut
lokasi kejadian kecelakaan terbanyak di tempat kerja selain biasa, menurut dampak cidera
terbanyak berupa dampak lainnya yang belum terklasifikasi (tidak menyebabkan hari kerja
yang hilang), menurut jenis pekerjaan tertentu terbanyak berupa pekerjaan spesifik lainnya
yang belum terklasifikasi yaitu tindakan medis pada pasien dan penyiapan obat, menurut
penyimpangan dari keadaan normal terbanyak 15 berupa kurang pengendalian pada mesin,
alatalat kerja, sarana transportasi dan sejenisnya, serta menurut lokasi bagian tubuh yang
terluka terbanyak berupa cidera bagian tubuh lainnya (jari tangan).
BAB 111

PENUTUP
3.1 kesimpulan

Keselamatan kerja atau Occupational Safety, dalam istilah sehari-hari sering disebut dengan
safety saja, oleh American Society of Safety Engineers (ASSE) diartikan sebagai bidang
kegiatan yang ditujukan untuk mencegah semua jenis kecelakaan yang ada kaitannya dengan
lingkungan dan situasi kerja. Keselamatan kerja sangat diperlukan bagi tenaga kesehatan yang
bekerja di suatu rumah sakit, puskesmas maupun klinik. Karena, banyaknya faktor resiko yang
menyebabkan kemungkinan seperti tertular penyakit dan cidera akibat kecelakaan kerja.
Penyakit akibat kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan, alat kerja, bahan, proses
maupun lingkungan kerja. Dengan demikian, penyakit akibat kerja merupakan penyakit yang
artifisual atau man made disease. Sejalan dengan hal tersebut terdapat pendapat lain yang
menyatakan bahwa Penyakit Akibat Kerja (PAK) ialah gangguan kesehatan baik jasmani
maupun rohani yang ditimbulkan ataupun diperparah karena aktivitas kerja atau kondisi yang
berhubungan dengan pekerjaan. Ada banyak faktor-faktor resiko yang dapat menimbulkan
penyakit dan cidera akibat kerja, mulai dari faktor biologi, kimia, ergonomi, fisik hingga
psikososial yang ada dapat mengantarkan perawat beresiko terkena penyakit baik menular
maupun penyakit yang tidak menular. Upaya pengendalian risiko kesehatan dan keselamatan
kerja pada perawat dilakukan dengan mengikuti kaidah-kaidah hierarchy of control K3 yang
disesuaikan dengan jenis tindakan keperawatan yang dilakukan (Iwan M. Ramdan dan Abd.
Rahman, 2017). Mulai dari pengendalian faktor biologis seperti lingkungan, faktor kimia,
faktor fisik, faktor ergonomi hingga faktor psikososial.

Jenis penyakit tidak menular akibat kerja pada perawat adalah musculoskeletal disorder
(MSDS) yang contohnya seperti nyeri otot pada punggung, leher, bahu, pada pergelangan
tangan, pada kaki dan low back pain (LBP). Contoh dari penyakit menular akibat kerja pada
perawat adalah HIV AIDS dan hepatitis. Hal itu dapat disebabkan oleh tersentuhnya cairan
pasien seperti saat jarum suntik bekas pasien terinveksi yang tak sengaja tertusuk tangan atau
tersentuh tangan perawat. sedangkan cedera akibat kerja pada perawat di rumah sakit adalah
cedera jarum suntik, cedera punggung, maupun cedera kaki yang diakibatkan terlalu sering
berjalan atau terburu-buru saat berjalan.Penyebab penyakit dan kecelakaan akibat kerja
disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu Komunikasi, Sumber Daya, Peralatan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, Lingkungan kerja, Standar Operasional Procedure (SOP), dan Komitmen

3.2 Saran

Diharapkan kedepannya tiap rumah sakit mempunyai program K3RS yang lebih baik,
menyediakan peralatan yang cukup, dan memantau dan mengawasi tiap tenaga kesehatan
sehingga dapat meminimlisir terjadinya kecelakaan kerja pada perawat. perawat juga harus
mempunyai pengetahuan terkait K3RS, mengikuti kegiatan-kegiatan pelatihan agar dapat
menambah pengetahuan, dan juga perawat harus mempunyai komitmen, taat peraturan, dan
melakukan tindakan sesuai SOP agar dapat mencegah terjadinya kecelakaan kerja
DAFTAR PUSTAKA

Kurniawidjaja, L., M., Purnomo, E., Maretti, N., dkk. (2014). Pengendalian Risiko Ergonomi
Kasus Low Back Pain pada Perawat di Rumah Sakit. MKB, 46(4), 225-233.

Maria., S., Wiyono, J., Candrawati, J. (2015). Kejadian Kecelakaan Kerja Perawat Tindakan
Tidak Aman. Jurnal Care, 3(2), 10-17.

Nurhafizho, F., H. (2019). Perbedaan Keluhan Low Back Pain pada Perawat. Higeia Journal
Of Public Health Research And Development, 3(4), 534-544.

Putri, S., Santoso, Rahayu, E., P. (2018). Pelaksanaan Keselamatan Dan Kesehatan Kerja
Terhadap Kejadian Kecelakaan Kerja Perawat Rumah Sakit. Jurnal Endurance, 3(2), 271- 277.

Putri, Z., M., Murni, D., Maisa, E., A., dkk. (2019). Dampak Gangguan Muskoloskeletal Akibat
Pekerjaan Pada Perawat di RSI Siti Rahmah Padang Tahun 2019. Prosiding Seminar
Kesehatan Perintis, 2, 133-137.

Ramdan, I., M., Rahman, A. (2017). Analisis Risiko Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3)
pada Perawat. JKP , 5(3), 229-241.

Salawati, L. (2015). Penyakit Akibat Kerja Dan Pencegahan. Jurnal Kedokteran Syiah Kuala,
15(2), 91-95.

Salmawati, L., Rasul, M., Napirah, M., R. (2019). Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian
Kecelakaan Kerja Pada Perawat Di Ruang IGD RSU Anutapura Kota Palu. Jurnal Kesehatan
Masyarakat, 10(2), 104-112.

Simamora, R. H. (2017). A strengthening of role of health cadres in BTA-Positive Tuberculosis


(TB) case invention through education with module development and video approaches in
Medan Padang bulan Comunity Health Center, North Sumatera Indonesia. International
Journal of Applied Engineering Research, 12(20), 10026-10035.

Simamora, R. H., & Saragih, E. (2019). Penyuluhan kesehatan terhadap masyarakat: Perawatan
penderita asam urat dengan media audiovisual. JPPM (Jurnal Pendidikan dan Pemberdayaan
Masyarakat), 6(1),

Evryanti.2012.Kajian Risiko Keselamatan dan Kesehatan Kerja Pada Petugas Kesehatan dan
Petugas Kebersihan Klinik X Tahun 2012. Skripsi. Tidak Diterbitkan. Ningsih, Kusiah Warti.
2017. Keluhan Low Back Pain pada Perawat Rawat Inap RSUD Selasih Pangkalan Kelinci.
Jurnal IPTEKS Terapan V11.i1 (75-88). (https://doi.org/10.22216/jit.2017.v11i1.1466) Anies.
2005. Seri kesehatan umum: penyakit akibat kerja. Elex media komputindo. Jakarta Tukatman;
Sulistiawati; Puwaningsih; Nursalam. 2015. Analysis of Nurse’s Occupational Health in
Managing Patients in Benyamin Guluh Hospital Kolaka Regency. Jurnal Ners Vol. 10 No. 2
(343–347) Candrawati, Erlisa; Joko, Wiyono; Silvia, Maria, P. 2015. Kejadian Kecelakaan
Kerja Perawat Berdasarkan Tindakan Tidak Aman. Jurnal Care Vol 3 No. 2 Australian
Standard. (1990). Australian Standard AS 1885.1-1990: Workplace Injury and Disease
Recording Standard. Heinrich, HW. Petersen, DC, Roos, NR., Hazlett, S., 1980. Industrial
Accident Prevention: A Safety Management Approach. NY: McGraw-Hill Adzim, HI. (2013).
Penyakit Akibat Kerja.
(http://sistemmanajemenkeselamatankerja.blogspot.com/2013/10/penyakita kibat-kerja-
pak.html . 11.24. 7.39) Khunder SA, Schaub EA Bisesi MS, Krabill ZT. Injuries and Illness
Among Hospital Workers in Ohio. A study worker’s Compensation Claims from 1993 to 1996.
JOEM, 41; 1999: 53-8. Iwan M. Ramdan, Abd. Rahman. 2017. Analisis Risiko Kesehatan dan
Keselamatan Kerja (K3) pada Perawat. Jurnal Keperawatan Padjadjaran, 5, 239-240. Gallagher,
R., & Sunley, K. (2013). Sharps safety. RCN Guidance to support the implementation of the
health and safety. UK: Royal College of Nursing.30

Mulyati, L., Rachman, D., & Herdiana, Y. 2016. Fakor Determinan yang Memengaruhi Budaya
Keselamatan Pasien di RS Pemerintah Kabupaten Kuningan. Jurnal Keperawatan Padjadjaran,
4(2). Napitupulu Natassia. 2009. Gambaran Penerapan Ergonomi Dalam Penggunaan
Komputer pada Pekerja di PT.X. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia:Jakarta,
diakses31Agustus 2018,

(http://www.digilib.ui.ac.id/file?file=digital/126790-S-5669Gambaran%20penerapan-
Literatur.pdf) Manuaba, A.2000. Ergonomi, Kesehatan dan Keselamatan Kerja. Editor: Sritomo
Wignyosubroto an Stefanus Eko Wiranto. Proceeding Seminar Nasional Ergonomi 2000, Guna
Wijay, Surabaya: 1-4, diakses 31 Agustus 2018,
(http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sainmed/article/download/1085/1167) Laraswati Hervita.
2009. Analisis Risiko Musculuskeletal Disorders (MSDs) pada Pekerja Laundry Tahun 2009
(Studi Kasus pada 12 Laundry Sektor Usaha Informal di Kecamatan Beji Kota Depok).
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia:Jakarta,diakses31Agustus2018,
(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/126049-S-5687-Analisis%20resikoLiteratur.pdf) Ekie
Gilang Permata, Abdurrahman Husni.2016.Analisi Gangguan
Muskuloskletal Terhadap Perawat Berdasarkan Tingkat Paparan dengan Menggunakan Metode
Movement and Assistance of Hospital Patients (mapo) Index. Jurnal Hasil Penelitian dan Karys
Ilmiah dala Bidang Teknik Industri, Vol.2 (1). Binarfika Magfiroh Nuryaningtyas dan Tri
Martiana. 2014. Analisa Tingkat Risiko Muskuloskletal Disorders (MSDs) Dengan The Rapid
Upper Limbs Assessment (RULA) Dan Karakteristik Individu Terhadap Keluhan MSDs. The
Indonesian Journal of Occupational Safety and Health, Vol. 3 (2).

Anda mungkin juga menyukai