Anda di halaman 1dari 4

5.

Suntingan Teks
Tahap kelima dalam penelitian filologi adalah membuat suntingan teks, atau dengan kata lain
menyiapkan edisi teks yang bisa dibaca dan dipahami oleh khalayak luas. Sebuah edisi teks,
yang merupakan keluaran (output) dari tahap ini, idealnya merupakan teks yang telah
diverifikasi (al-nass al-muhaqqaq) melalui tahapan-tahapan penelitian filologis, judul, dan
pengarangnya jika ada sudah dianggap valid, dan bacaannya pun sudah dianggap paling dekat
dengan versi yang pertama kali ditulis oleh sang pengarang.
Akan tetapi, keluaran tersebut tentunya bergantung pada metode apa yang dipakai dalam
menghasilkan edisi teks itu sendiri. Berikut ini dijelaskan 4 jenis atau model edisi teks yang
dapat dihasilkan oleh seorang filologis. Langkah-langkah metodologis untuk menghasilkan
masing-masing edisi tersebut tentunya saling berbeda satu dengan yang lain:
a. Edisi Faximile (facsimile edition)
Edisi faximile adalah model suntingan teks yang dihasilkan melalui penciptaan
kembali (recreation) atau duplikasi sebuah teks, baik melalui cara konvensional (cetak
dari microfilm, photo copy, meski yang terakhir ini tidak dianjurkan) maupun cara
mutakhir (cetak dari hasil alih media digital melalui mesin scanner atau kamera
digital). Dalam hal ini penyunting membiarkan tampilan teks tersebut apa adanya,
seperti suntingan atas teks Hikayat Isma Yatim oleh Willem van der mollen.
Kelebihan edisi faximile karena teks yang ditampilkan ke pembaca betul-betul “asli”,
apa adanya tanpa ada campur tangan si penyunting sedikitpun, akan tetapi
kekurangannya adalah Justru karena tampil apa adanya itulah maka para pembaca
tidak mendapatkan bantuan apapun ketika menjumpai kesulitan membaca dan
memahami teks dalam naskah yang ditulis dalam Aksara atau bahasa yang tidak lazim
dipakai. Metode untuk menghasilkan model edisi teks semacam ini disebut sebagai
metode faksimile.
b. Edisi Diplomatik (diplomatic edition)
Edisi diplomatik adalah model guntingan teks yang dihasilkan melalui upaya
transkripsi setia dari sebuah teks agar sesuai dengan aslinya. Kata “asli” dalam
pengertian ini sama sekali tidak merujuk pada versi naskah awal yang ditulis oleh
pengarang (autograph), melainkan pada teks yang sedang dihadapi oleh sang pengkaji
naskah. Dalam hal ini, sang pengkaji naskah tidak bertujuan untuk menghadirkan teks
yang memiliki bacaan terbaik (best reading), melainkan untuk menyajikan teks “apa
adanya”.
Pun kata “transkripsi setia” tidak berarti bahwa benar-benar ada sebuah alih sistem
aksara yang dapat memproduksi teks persis sama dengan aslinya, pada dasarnya hal
tersebut nyaris mustahil dilakukan. Setidaknya dalam edisi diplomatik ini pun ada
tanda-tanda diakritik atau tanda baca tertentu yang digunakan untuk menandai bagian
teks yang terpaksa harus dihilangkan atau ditambahkan. Metode untuk menghasilkan
model edisi teks ini disebut sebagai metode diplomatik.
c. Edisi Campuran (eclectic edition)
Edisi campuran, atau gabungan, adalah model suntingan teks yang dihasilkan melalui
penggabungan bacaan lebih dari satu versi naskah. Artinya, penyunting tidak
mendasarkan teks yang diproduksinya dari satu sumber naskah salinan saja,
melainkan dari beberapa salinan naskah yang menurutnya patut digabungkan.
Hal yang perlu diingat adalah bahwa melalui edisi campuran ini berarti penyunting
sama sekali tidak bertujuan untuk menelusuri asal mula teks yang ditulis oleh
pengarang, melainkan menghasilkan teks baru yang menurut pertimbangan
subjektifnya penting dihadirkan ke hadapan pembaca. Kelebihan edisi campuran
adalah kemungkinan isinya yang lebih lengkap, akan tetapi kelemahannya adalah
karena edisi yang dihasilkan berubah menjadi teks baru dan bisa jadi jauh dari versi
asli yang ditulis pertama kali oleh pengarang. Metode untuk menghasilkan model
edisi teks ini disebut sebagai metode campuran, metode gabungan, atau metode
eklektis.
d. Edisi Kritis (critical edition)
Edisi kritis adalah model suntingan teks yang dihasilkan melalui hasil olah
penyunting yang menginginkan terbentuknya sebuah teks dengan kualitas bacaan
terbaik (best readings). Dalam hal ini penyunting biasanya tidak membiarkan teks
yang dihadapinya itu “apa adanya”, melainkan melakukan campur tangan, baik
berupa perbaikan, pengurangan, penambahan, atau pemggantian kata sejauh dapat
dipertanggung jawabkan. Ini terutama dilakukan jika ada bagian-bagian teks yang
diyakini oleh penyunting sebagai tidak ajek, tidak patut, atau menyimpang dari kaidah
kaidah bahasa yang mutlak diyakini kebenarannya.
Akan tetapi, buru-buru perlu ditambahkan bahwa jika diterapkan pada korpus naskah
tunggal (codex unicus) yang tidak memiliki salinan teks lain untuk dijadikan sebagai
bacaan pembanding, metode penyuntingan seperti ini seyogianya diterapkan dengan
sangat hati-hati karena bisa saja bacaan yang intervensi itu justru semakin
menjauhkan keaslian teksnya dari versi pengarang, meskipun ini sah saja dilakukan
jika tujuan penyuntingannya sejak awal memang untuk menampilkan teks dengan
“bacaan terbaik”, bukan “bacaan terasli”. Dan, baik disini tentu saja terserah
penyunting meskipun ada kaidah-kaidah umum yang harus dipatuhi.
Biasanya, langkah pertama yang ditempuh oleh seorang penting adalah menentukan
terlebih dahulu satu salinan naskah yang bisa dianggap sebagai paling otoritatif dan
akan dijadikan sebagai naskah landasan, baik atau dasar pertimbangan usia
naskahnya, kejelasan bacaannya, kelengkapan isinya, maupun alasan lain yang dapat
dipertanggungjawabkan. Kemudian, setelah itu proses penyuntingan dapat dimulai
dengan membetulkan bagian-bagian teks yang rusak (corrupt) dengan memanfaatkan
varian-varian dari salinan naskah lain yang tersisa. Adapun bacaan teks yang
dianggap corrupt tetap ditampilkan dengan mencatatnya dalam sebuah aparat kritik
(apparatus criticus). Jika salah satu salinan naskah dijadikan sebagai landasan untuk
menghasilkan sebuah edisi teks, maka metode yang digunakannya sering juga disebut
sebagai metode landasan.
Demikianlah empat model adisi teks yang dapat dihasilkan melalui tahap suntingan
teks: edisi faksimile, edisi diplomatik, edisi campuran, dan edisi kritis. Berkaitan
dengan metode penelitian filologi ini, dalam tradisi filologi klasik dikenal sebuah
metode kritik teks lain yang perlu diketahui, yakni “metode skema” akan tetapi,
pembahasannya akan dijelaskan tersendiri di bawah. Masih berkaitan dengan tahap
penelitian filologi, ada beberapa hal yang biasanya dilakukan oleh sang penyuntingan
terkait dengan suntingan teksnya:
a) Melakukan pembagian paragraf yang disusun berdasarkan kesatuan ide, dan
membubuhkan tanda pungtuasi (khususnya untuk teks berbahasa Arab) guna
membantu pembaca dalam memahami isi teks.
b) Melakukan intervensi, meski Harus sangat berhati-hati, berupa perbaikan teks
yang meliputi penggantian, penambahan, dan penghapusan bacaan yang dianggap
perlu. Bacaan pengganti diusahakan berasal dari teks pendukung dan jika tidak
dijumpai, maka bacaan langsung diperbaiki berdasarkan kesesuaian dengan
kaidah-kaidah bahasa terkait, sedangkan bacaan teks standar yang diganti,
diletakkan dalam aparat kritik. Penambahan dilakukan pada bagian teks yang
tertinggal adanya. Bacaan yang tertinggal tersebut diketahui dari kelengkapan teks
pendukung yang sekaligus menjadi sumber untuk bacaan yang ditambahkan,
sedangkan gerakan penghapusan bacaan dilakukan pada bagian yang benar-benar
dianggap sebagai bacaan menyimpang dan diperkuat oleh teks pendukung dan
merupakan pengulangan. Bagian bacaan yang dihapus ini selanjutnya diletakkan
dalam aparat kritik supaya tidak mengganggu kelangsungan teks utama.
c) Memberikan tanda-tanda tertentu jika diperlukan, sebagai bentuk
pertanggungjawaban penyuntingan. Sekali lagi, hanya jika diperlukan! pada
dasarnya, semakin sedikit campur tangan penyalin terhadap penampilan teks yang
disunting nya, akan semakin baik beberapa tanda dimaksud antara lain:
- (...) : untuk menandai nomor halaman.
- {...} : untuk menandai ayat-ayat Al-Qur’an.
- [...] : untuk menandai teks hadist Nabi.
- /.../ : untuk menandai bacaan yang diganti dan bersumber pada teks
pendukung.
- \...\ : untuk menandai bacaan yang diganti atau ditambahkan dan tidak
berdasar pada teks pendukung.
- <...> : untuk menandai bacaan yang ditambahkan, dan berasal dari
pendukung.
d) Dalam kasus naskah keagamaan, maka keterangan tentang asal-usul sumber hadits
serta surat dan ayat Al-Quran, perlu ditambahkan dan diletakkan dalam aparat
kritik.
e) Memberi pembeda, misalnya dengan cetak tebal (bold), untuk bagian teks yang
ditulis dengan tinta merah.
Akan tetapi, setiap teks niscaya memiliki karakter tersendiri, apalagi jika bahasanya berbeda-
beda sehingga bisa jadi cara menanganinya pun akan berlainan satu dengan yang lain. Hal
terpenting bagi penyunting adalah penyunting harus menjelaskan semua sistem dan tanda-
tanda yang dibuatnya dalam pengantar edisinya, sehingga pembaca dapat betuk-betul
memahami fenimena teks seutuhnya, dan mampu membedakan mana bagian teks yang
berasal dari pengarang, bagian interolasi dari penyalin, dan bagian yang dihadirkan atau
campur tangan penyunting.
6. Terjemahan Teks
Tahap ke enam dari penelitian filologi adalah menerjemahkan teks yang telah selesai
disunting. Dalam konteks filologi Indonesia, tentu saja penerjemahan ini dilakukan jika teks
yang dikajinya ditulis dalam bahasa asing atau bahasa daerah yang tidak banyak dikenal oleh
kebanyakan calon pembaca, seperti bahasa Arab, Jawa Sunda, Bugis-Makassar, Bali, atau
bahasa-bahasa lainnya. Biasanya teks yang ditulis dalam bahasa Melayu tidak lagi
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, meski beberapa ungkapannya terdengar arkais
yang tidak digunakan lagi.
Di sini kemampuan sang peneliti dalam menerjemahkan teks bahasa sumber ke bahasa
sasaran menjadi sangat penting agar pesan-pesan sang pengarang dapat sampai kepada
pembaca secara tepat dan efisien. Di satu sisi, gaya penerjemahan yang terlalu harfiyah
terkadang mengakibatkan sebuah teks terjemahan yang tidak mudah dicerna oleh pembaca,
akan tetapi disisi lain, gaya penerjemahan yang terlalu bebas juga tidak jarang mengakibatkan
hilangnya bagian-bagian tertentu dari teks sumber.
Dalam praktiknya, teks terjemahan biasanya diletakkan berdampingan dengan teks sumber,
sehingga pembaca dapat turut mengontrol sejauh mana ketepatan sebuah terjemahan. Akan
tetapi, sebagian terjemahan malah sengaja diletakkan terpisah dari teks sumbernya agar mata
sang pembaca lebih leluasa menikmati versi terjemahannya tanpa terganggu untuk
membandingkannya dengan teks sumber. Pada akhirnya, semua itu adalah pilihan yang dapat
diambil sejauh memiliki alasan dan penjelasan.

Anda mungkin juga menyukai