Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PRAKTIKUM TEKNOLOGI

PASCA PANEN (PNA3523)

ACARA I
PENGERINGAN PRODUK PASCA PANEN

Oleh: Muhammad
Fachri S. NIM.
A1L013199
Rombongan 8

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
PERTANIAN
AGROTEKNOLOGI
PURWOKERTO
2015
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Hal penting dalam produk pasca panen buah maupun sayuran segar masih

melakukan aktivitas metabolisme yaitu respirasi. Aktivitas respirasi berlangsung

untuk memperoleh energi yang digunakan untuk aktivitas hidup pasca panen. Pada

prinsipnya semakin cepat laju respirasi, maka semakin cepat pula laju kemunduran

mutu dan kesegaran. Cara penanganan yang tepat untuk mengurangi proses

metabolism terutama resporasi setelah panen yang dapat menimbulkan penurunan

mutu yang menyebabkan mengurangnya minat konsumen atas produk tersebut yaitu

dengan pengurangan kadar air. Tindakan ini penting untuk mengurangi kadar air yang

dikandung oleh produk pasca panen.

Pengurangan kadar air pada suatu produk dapat menekan berlangsungnya

metabolism. Penekanan proses tersebut dinilai penting untuk menekan kerusakan

dalam penyimpanan produk pasca panen. Tujuan lain dari pengurangan kadar air

adalah untuk mempermudah pengemasan. Selain itu juga untuk mengurangi

pembusukan akibat air cucian yang menguap.

Mengatasi hal tersebut, diperlukan adanya suatu proses penghilangan atau

pengurangan kadar air yang terdapat dalam bahan pangan sehingga terhindar dari

pembusukan ataupun penurunan kualitas bahan pangan. Salah satu cara sederhananya

adalah dengan melalui proses pengeringan. Pengeringan merupakan tahap awal dari

adanya pengawetan.

B. Tujuan

2
1) Mengetahui kadar air dari beberapa produk pasca panen yang diperdagangkan

dalam kondisi kering


2) Membandingkan kadar air antara produk segar dan produk kering dari spesies

tanaman yang sama,


3) Membandingkan daya simpan antara produk kering dan segar dari spesies

tanaman yang sama.


II. TINJAUAN PUSTAKA

Penyimpanan produk hortikultura yaitu dengan menempatkan bahan di tempat

yang bersih, kering, dan kelembaban lingkungan yang relatif kering dengan tujuan

untuk menghindari kehilangan kandungan air bahan secara berlebihan dan terjadinya

proses pembusukan secara cepat. Proses pembusukan produk diawali dengan semakin

meningkatnya suhu produk dalam tempat penyimpanan. Meningkatnya suhu dan

timbulnya bau pengap merupakan tanda terjadinya awal proses pembusukan yang

mudah dikenali. Dalam keadaan basah dan hangat, cendawan dan bakteri pembusuk

akan cepat berkembang dan aktif merusak sehingga produk akan menjadi cepat rusak

(Suyanti, 1996).

Pengeringan (penghidratan) merupakan suatu cara untuk mengeluarkan atau

menghilangkan sebagian besar air dari suatu bahan dengan menggunakan energi

panas sehingga tercipta kondisi dimana mikroorganisme seperti kapang, jamur, dan

bakteri yang menyebabkan pembusukan tidak dapat tumbuh dan pengeringan juga

merupakan proses pengeluaran kadar air untuk memperoleh kadar air yang aman

untuk penyimpanan (Kartasapoetra, 1994).

Tujuan pengeringan antara lain agar produk dapat disimpan lebih lama,

mempertahankan daya fisiologi biji atau benih, dan mendapatkan kualitas produk

pasca panen yang lebih baik. Ada dua istilah yang dipakai untuk pengeringan yaitu

drying dan dehydration (dehidrasi). Drying adalah suatu proses kehilangan air yang

disebabkan oleh daya atau kekuatan alam, misalnya matahari denagn penjemuran dan
angin dengan diangin-anginkan. Sedangkan dehidrasi (dehydration) adalah suatu

proses pengeringan dengan panas secara buatan, dengan menggunakan alat

pengering. Prinsip utama dari dehidrasi adalah penurunan kadar air untuk mencegah

aktivitas mikroorganisme (Hasanah, 2006).

Pengeringan produk pasca panen ditujukan untuk melawan kebusukan oleh

mikroorganisme, tetapi hal tersebut tidak dapat membunuh semua mikroba yang ada,

oleh karena itu bahan pangan yang kering biasanya tidak steril. Mikroorganisme

membutuhkan air untuk pertumbuhan dan perkembang biakannya. Jika pengurangan

kadar air dalam produk pasca penen, maka pertumbuhan mikroorganisme dalam

produk tersebut akan lambat (Winarno, 1980).

Adapun beberapa keuntungan dari pemakaian teknologi pengeringan pada

produk buah dan sayuran antara lain, bahan menjadi lebih awet, volume produk

menjadi lebih kecil sehingga mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan dan

pengemasan, berat produk juga akan menjadi berkurang sehingga memudahkan

pengangkutan, dengan demikian diharapkan biaya produksi menjadi lebih murah.

Disamping itu, kerugian yang diperoleh yakni terjadinya perubahan sifat fisis seperti

pengerutan, perubahan warna dan kekerasan, penurunan mutu (Muchtadi, 1989).


III. METODE PRAKTIKUM
A. Waktu dan Tempat

Pelaksanaan praktikum pengeringan produk pasca panen dilakukan pada hari

Senin, 7 Desember 2015 yang bertempat di laboratorium hortikultura pada pukul

13.45 WIB.

B. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu biji jagung kering dan segar, gabah kering dan

segar, biji kedelai kering dan segar, dan biji kacang tanah kering dan segar.

Sedangkan alat yang digunakan meliputi alat pengukur kadar air (Moisture tester),

kantong plastik ¼ kg, karet gelang, kertas label, dan alat tulis.

C. Prosedur Kerja
1. Bahan dan alat praktikum disiapkan terlebih dahulu
2. Kadar air dari produk pasca panen segar dan kering diukur dengan alat

pengukur kadar air (Moisture tester)


3. Perbandingan kadar air dibuat dengan grafik batang
4. Produk pasca panen segar dan kering dilihat warnanya lalu didokumentasi
5. Produk pasca panen tersebut dimasukan kedalam kantong pelastik ¼ kg

secukupnya
6. Kantong tersebut diberikan label memuat rombongan, kelompok, dan tanggal

pembuatan.
7. Produk pasca panen tersebut disimpan pada ruangan terbuka selama lima hari

dengan interval pengamatan sehari sekali dengan melihat warna, bau, dan

tekstur.
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil

Tabel 1.1. Kadar Air Produk Pasca Panen Basah/kering


N
Jenis Produk Warna Kadar Air
o
1. Biji Jagung Kering Putih 16.3%
2. Biji Jagung Basah Kuning 29.8%
3. Gabah Kering Kuning Kecoklatan 13.8%
4. Gabah Basah Coklat 22.8%
5. Kacang Tanah Kering Coklat 17.3%
6. Kacang Tanah Basah Putih 29.7%

Tabel 1.2. Grafik Kadar Air Produk Pasca Panen

Kering Bas ah
35.00%
29.80% 29.70%
30.00%
25.00% 22.80%

20.00%
16.30% 17.30%
KADAR AIR 15.00% 13.80%

10.00%

5.00%
0.00%
Biji Jagung Gabah Kacang Tanah

JENIS PRODUK

Tabel 1.3. Pengamatan Daya Simpan Produk Pasca Panen


No Indikator Hasil Pengamatan
Biji Jagung Gabah Kacang Tanah
Basa
Kering Basah Kering Kering Basah
h
1. Selasa, 08 Desember 2015
Warna P K K C C P
Bentuk T T T T T T
Penampilan T T T T T B
Bau TBk TBk TBk TBk TBk TBk
2. Rabu, 09 Desember 2015
Warna P K K C C P
Bentuk T T T T T T
Penampilan T T T T T B
Bau TBk TBk TBk TBk TBk TBk
3. Kamis, 10 Desember 2015
Warna P K K C C C
Bentuk T T T T T T
Penampilan T T T T T B
Bau TBk TBk TBk TBk TBk TBk
4. Jumat, 11 Desember 2015
Warna P K K C C C
Bentuk T T T T T T
Penampilan T T T B T B
Bau TBk TBk TBk TBk TBk TBk
5. Sabtu, 12 Desember 2015
Warna P K K C C C
Bentuk T T T T T T
Penampilan T T T B T B
Bau TBk TBk TBk TBk TBk TBk
Keterangan :
Warna : K (Kuning), KH (Kuning Kehitaman), C (Cokelat), CH (Cokelat Kehitaman), P
(putih) Bentuk : T (Tetap), K (Keriput)
Penampilan : T (Tetap), B (Berubah)
Bau : Bk (Busuk), TBk (Tidak Busuk)

Tabel 1.4. Dokumentasi Pengamatan Produk Pasca Panen


Hari Pertama Hari Kelima
Gabah Kering

Gabah Basah

Jagung Kering

Jagung Basah

Kacang Tanah Kering


Kacang Tanah Basah

B. Pembahasan

Pengeringan merupakan usaha penanganan pasca panen yang dilakukan pada

produk yang memiliki kadar air yang tinggi segingga perlu dilakukan pengeringan

guna untuk mengurangi kadar airnya yang dapat disimpan dalam waktu yang lama.

Dasar dari proses pengeringan adalah terjadinya penguapan air menuju udara karena

adanya perbedaan kandungan uap air antara udara dengan bahan yang dikeringkan.

Tujuan pengeringan yakni agar produk pasca panen dapat mengurangi berat dan

volume dari kadar airya juga untuk memperpanjang masa penyimpanan setelah

pemanenan.

Sedangkan menurut Sudrajat, dkk (2008), bahwa pengeringan bahan pangan

dapat diartikan sebagai proses pemisahan air dari suatu bahan pangan dengan maksud

untuk mengawetkan bahan pangan dalam penyimpanan. Kadar air bahan dalam

proses pengeringan diturunkan sampai kesuatu tingkat yang memungkinkan untuk

dapat menahan atau menghambat pertumbuhan mikroba atau reaksi lainnya. Tujuan

dari pengeringan adalah mengurangi volume produk sehingga akan meningkatkan


efisiensi dalam pengangkutan maupun penyimpanan dari produk. Jadi pengeringan

merupakan salah satu kegiatan yang penting dalam proses pengolahan bahan pangan.

Tujuan pengeringan lainnya yaitu agar produk dapat disimpan lebih lama,

mempertahankan daya fisiologi biji-bijian benih, mendapatkan kualitas yang lebih

baik, untuk mengurangi kadar air sampai batas perkembangan mikroorganisme dan

enzim yang dapat menyebabkan pembusukan terhambat (Winarno, 1980).

Adapun manfaat pengeringan bagi produk pasca panen diantaranya bahan

menjadi lebih tahan lama disimpan dan volume bahan menjadi lebih kecil, dimana

bahan akan awet atau tahan lama karena proses pengeringan dan juga bahan akan

mengalami penyusutan kadar airnya yang menyebabkan volume bahan menjadi lebih

sedikit, juga dapat mempermudah dan menghemat ruang pengangkutan, dimana dari

proses pengeringan volume bahan menjadi kecil dan dapat menghemat ruang

pengangkutan juga menghemat ruang pengemasan. Dengan pengeringan juga

mikroba yang bersifat menurunkan kualitas produk hortikultura menjadi tertekan

inensitasnya, dan sifat produk itu sendiri dapat bertahan lebih lama (Heddy, 1994).

Moisture tester merupakan suatu instrumen atau peralatan yang dipakai untuk

mengukur jumlah kandungan air yang tedapat pada suatu zat. Alat tersebut juga bisa

digunakan untuk mengukur tingkat kelembaban suatu zat. Alat yang digunakan pada

saat praktikum yakni grain moisture tester. Fungsi dari grain moisture tester yakni

agar dapat mengetahui kadar air dalam produk pasca panen sebelum dilakukannya

penanganan panen selanjutnya terutama pada prodk biji-bijian (Ardjosentono, 1983).


Adapun prinsip kerja grain moisture tester diantaranya contoh biji-bijian

diambil secukupnya, kemudian dimasukan kedalam tempat penghancur, dan

dihancurkan sampai sempurna. Hasil penghancuran ditempatkan pada tempat

pengepresan dan aturlah knop dan dipress sampai sempurna. Skala yang ditunjukkan

oleh jarum meter dibaca, angka koreksi tersebut merupakan kadar air dari produk

yang diamati (Ardjosentono, 1983).

Tabel 1.5. Gambar alat grain moisture tester

Bagian-bagian grain moisture tester diantaranya skala pembacaan dan tempat

contoh. Bagian skala pembacaan digunakan untuk melihat hasil dari pengukuran

kadar air produk. Sedangkan tempat contoh untuk menaruh biji-bijian yang ingin

diukur tingkatan kadar air produk.

Pengawetan dilakukan untuk memperpanjang umur simpan tanpa mengalami

kerusakan pada produk pangan. Proses pengawetan yang akan dilakukan tergantung

pada berapa lama umur simpan produk yang diinginkan dan berapa banyak perubahan

mutu produk yang dapat diterima. Teknik pengawetan dilakukan dengan beberapa

cara (Hasibuan, 2005):

a. Pengawetan dengan pemanasan yang dilakukan bersamaan dengan pengemasan


untuk dapat menghambat atau merusak mikroorganisme
b. Pengawetan dengan pengeluaran sebagian kandungan air bahan melalui proses
pemekatan atau pengeringan akan menurunkan laju reaksi kimiawi, enzimatis

maupun microbial
c. Pengawetan dengan pelilinan terutama pada produk buah yamg kulit buahnya
dapat dikonsumsi seperti apel, pir, anggur, dan lainnya
d. Penggunaan gula atau garam dengan konsentrasi yang tinggi akan menghambat

pertumbuhan mikroorganisme dan reaksi enzimatis, seperti yang dilakukan

pada pembuatan asinan dan manisan bauh


e. Pengawetan dengan aseptis dilakukan dengan mencegah masuknya kontaminan

kimiawi dan mikroorganisme kedalam bahan pangan, atau mencegah terjadinya

kontaminasi
f. Pengawetan dengan pembekuan (freezing) secara signifikan untuk

memperlambat laju reaksi kimiawi dan enzimatis serta menghambat aktivitas

mikroorganisme
g. Pengawetan dengan pengalengan dilakukan dengan melibatkan proses
pengeluaran udara, pengemasan, pengaturan pH dan penggunaan suhu tinggi

(sterilisasi) untuk menghindari terjadinya rekontaminasi selama penyimpanan.

Komoditas hortikultura memiliki karateristik kadar air yang tinggi yaitu besar

dari 70%. Adanya kadar air dalam produk pasca panen mempunyai keterkaitan yang

sangat erat dengan proses pengawetan produk. Semakin tinggi kadar air didalam

produk akan memperpendek umur simpan produk pasca panen sedangkan jika kadar

air produk rendah maka waktu simpan produk bisa bertahan lama, karena terdapat

factor yang akan mempengaruhi sifat fisik (kekerasan dan kekeringan) dan sifat-sifat

fisika-kimia, perubahan kimia, kerusakan mikrobiologis dan perubahan enzimatis


terutama pada makanan yang tidak diolah. Dan selama penyimpanan akan terjadinya

proses penyerapan uap air dari lingkungan yang menyebabkan produk kering

mengalami penurunan mutu menjadi lembab/tidak renyah. Sehingga peran kadar air

pada produk sangat berpengaruh pada daya simpan produk (Handerson, 1982).

Pada praktikum tentang pengeringan produk pasca panen melakukan dua

kegiatan ini. Kegiatan yang pertama adalah pengukuran kadar air beberapa produk

pasca panen terutama biji-bijian. Komoditas tersebut adalah jagung, kacang tanah,

dan gabah. Masing-masing komoditas ada dua jenis, yaitu jenis kering dan jenis

basah. Praktikan mengukur kadar air komoditas tersebut menggunakan alat grain

moisture tester. Cara penggunaan alat ini relatif mudah, tetapi harus teliti dalam

penggunaannya. Langkah awal dalam penggunaan alat ini adalah dipastikan alat

dalam keadaan ON. Selanjutnya komoditas yang akan diukur kadar airnya dipilih.

Lalu, maksimal 2 biji produk dimasukkan ke dalam lubang yang berada di bagian

bawah alat, lalu ditutup dengan hati-hati dan diusahakan samapi pecah, tetapi jangan

juga terlalu dalam karena dapat merusak alat, karena tekanan yang ditimbulkan

terlalu tinggi. Berikutnya dipilih tombol tertentu untuk masing-masing komoditas.

jika praktikan mengukur kadar air jagung yang basah, maka pilih tombol wet dan jika

produk kering pilih tombol dry, kemudian tunggu beberapa menit, lalu muncul angka

pada layar. Itulah besar kadar air yang terkandung.

Hasil pengukuran kadar air dari komoditas yang telah disebutkan diatas, untuk

komoditas yang kering berupa jagung memiliki kadar air 16.3%, kacang tanah 17.3%,

dan gabah 13.8%. Sedangkan untuk komoditas yang basah yaitu pada jagung
mempunyai kadar air sebesar 29.8%, kacang tanah 29.7% dan gabah 22.8%. Dari

angka tersebut, dapat dikatakan kadar air komoditas yang basah lebih tinggi daripada

komoditas yang kering.

Pada kegiatan kedua, praktikan mengamati perbandingan daya simpan produk

basah dan produk kering selama 5 hari. Sama dengan kegiatan pertama produk yang

digunakan yakni jagung, kacang tanah, dan gabah yang semuanya terdiri dari jenis

basah dan kering. Indikator yang diamati adalah warna, bentuk, penampilan, dan bau.

Dalam perbandingan antara produk basah dan kering, masalah yang menonjol

adalah adanya kontaminasi yang menyebabkan bau pada komoditas yang basah.

lingkungan basah menimbulkan jenis mikroba yang merugikan, terutama jamur dapat

tumbuh dengan cepat. Hal ini dibuktikan dengan hasil pengamatan sampai pada hari

terakhir jagung dan kacang tanah yang basah memiliki bau yang busuk. Sedangkan

semua komoditas yang kering tidak berbau.

Hal tersebut sesuai menurut Firmansyah, (2006) bahwa kadar air merupakan

salah satu sifat fisik dari bahan yang menunjukkan banyaknya air yang terkandung di

dalam bahan. Kadar air suatu bahan dapat dinyatakan berdasarkan bobot basah (wet

basis) atau berdasarkan bobot kering (dry basis), sehingga perlu adanya penanganan

produk pasca panen diantaranya dengan pengeringan.

V. KESIMPULAN DAN SARAN


A Kesimpulan
1 Pengeringan bahan pangan dapat diartikan sebagai proses pemisahan air dari

suatu bahan pangan dengan maksud untuk mengawetkan bahan pangan dalam

penyimpanan.
2 Hasil pengukuran kadar air dari produk pasca panen untuk komoditas yang

kering berupa jagung memiliki kadar air 16.3%, kacang tanah 17.3%, dan

gabah 13.8%. dan untuk komoditas yang basah pada jagung sebesar 29.8%,

kacang tanah 29.7% dan gabah 22.8%.


3 Dari hasil yang didapat dapat disimpulkan bahwa pada kondisi kering produk

pasca panen akan mudah disimpan dalam jangka waktu lama dan tidak terjadi

perubahan mutu dan kualitas seperti warna, bentuk, dan bau yang terlalu cepat

dibandingkan dengan produk kondisi basah.

B Saran

Praktikum berjalan dengan baik dan lancar. Akan tetapi sebaiknya pada

peraktikum kedepannya praktikan lebih memahami lagi perubahan yang terjadi pada

saat pengamatan terutama dari segi bau produk tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Ardjosentono, M. 1983. Mesin-Mesin Pertanian. CV Vasa Guna. Jakarta.


Firmansyah, dkk. 2006. Proses pascapanen untuk menunjang perbaikan produk biji
jagung berskala industri dan ekspor. Laporan Hasil Penelitian, Balai
Penelitian Tanaman Serealia. Maros. p. 1-15.
Handerson, S.M and R.L. Perry. 1982. Agricultural process engineering. Third
edition. The AVI Publishing Company Inc., Westport Connecticut
[Terjemahan].
Hasanah, M. Dan Rusmin, D. 2006. Teknologi pengelolaan benih beberapa tanaman
obat di indonesia. Bogor : balai penelitian pangan dan obat. Jurnal Litbang
Pertanian. Volume 25 (2) : 68 – 73.
Hasibuan, Rosdaneli. 2005. Proses Pengeringan. Universitas Sumatera Utara. Medan,
Sumatera Utara.
Heddy, S. 1994. Pengantar Produksi Tanaman dan Penanganan Pasca Panen. Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Kartasapoetra, A.G. 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta,
Jakarta.
Muchtadi, Tien R. 1989. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi PAU Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Sudrajat, Dede J., Nurhasybi. 2008. Pengembangan Standar Pengujian Kadar Air dan
Perkecambahan Benih Beberapa Jenis Tanaman Hutan Untuk Menunjang
Program Penanaman Hutan Di Daerah. Jurnal Penelitian Pada Balai
Penelitian Teknologi Perbenihan Bogor.
Suyanti. 1996. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya. Jakarta.
Winarno. 1980. Fisiologi Pasca Panen. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai