Anda di halaman 1dari 13

Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

BAB IV
KERAGAMAN DAN EKSISTENSI
KEBUDAYAAN INDONESIA
Endriatmo Soetarto, Ratri Virianita, Rina Mardiana, Martua Sihaloho,
Bayu Eka Yulian

Realitas dan Dinamika Keragaman Kebudayaan


Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki keragaman budaya, ras, suku
bangsa, kepercayaan/agama, dan bahasa. Keragaman tersebut mendinamisasi
kehidupan berbangsa/bernegara dan bermasyarakat. Dalam konteks ini, pada
prinsipnya dapat dikatakan bahwa hampir semua aktivitas kehidupan
berbangsa/bernegara dan bermasyarakat adalah “wujud nyata” dari
keragaman kebudayaan. Dengan demikian, masyarakat menjadi “wadah
keragaman kebudayaan” dan selanjutnya menunjukkan eksistensi
kebudayaan.
Lebih dari 200 juta penduduk Indonesia tinggal di berbagai pulau dengan
keberagaman geografis mulai dari kawasan pegunungan yang merupakan
dataran tinggi, kemudian wilayah pesisir yang merupakan dataran rendah,
perdesaan, perkotaan dan sebagainya. Secara geografis, jumlah pulau di
Indonesia sebesar lebih dari 17.000 pulau memberi pengaruh besar terhadap
terciptanya pluralitas sukubangsa.

Kebudayaan Indonesia: Bhineka Tunggal Ika dan Gotong


Royong
Sumpah Pemuda 1928 menyatakan diri sebagai satu bangsa : bangsa Indonesia;
satu tanah air : tanah air Indonesia; satu bahasa : bahasa Indonesia. Pernyataan
ini mengandung pengertian adanya kesepakatan dari seluruh rakyat Indonesia
untuk hidup bersama dalam wadah negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) dengan mengacu pada suatu nilai yang sama, yang dalam konteks ini
disebut sebagai kebudayaan bersama, yakni kebudayaan nasional.
Lebih jauh, konsep kebudayaan nasional yang mencerminkan simbol identitas
bangsa ini tertuang pula dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Pasal 32
yang menyatakan bahwa Pemerintah memajukan kebudayaan nasional
Indonesia. Selanjutnya, penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa
kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah usaha
budinya rakyat Indonesia seluruhnya. Kebudayaan lama dan asli yang
terdapat sebagai puncak-puncak kebudayaan di daerah-daerah di seluruh
Indonesia terhitung sebagai kebudayaan bangsa. Usaha kebudayaan harus
menuju ke arah kemajuan adab, budaya, dan persatuan dengan tidak menolak
bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan

1
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri, serta mempertinggi derajat


kemanusiaan bangsa Indonesia.
Dalam berperilaku di masyarakat, budaya gotong royong merupakan ciri khas
bangsa Indonesia yang berarti bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu
hasil yang diinginkan. Budaya gotong royong ini merupakan budaya nasional
bahkan didalam aktivitas gotong roying tersebut melibatkan seluruh elemen
masyarakat yang berbeda etnis, berbeda budaya, dan berbeda secara struktur
sosial. Gotong royong merupakan idetitas dan ciri khas bangsa Indonesia
yang kaya akan unsur budaya.

Pembentuk Dinamika Keragaman Budaya Indonesia


Secara geografis proses penyebaran kebudayaan Indonesia terjadi melalui tig
acara, yakni difusi ekspansi (expansion diffusion), Difusi Relokasi (relocation
diffusion), dan Difusi Penularan (contagious diffusion).
Difusi Ekspansi (expansion diffusion) yaitu proses unsur-unsur kebudayaan
bergerak dari suatu masyarakat yang berada di suatu wilayah ke daerah lain
yang berdekatan di sekitar kebudayaan asal.

W-2

Gambar 4.1 Difusi ekspansi

2
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

Difusi Relokasi (relocation diffusion) merupakan suatu proses penyebaran


unsur-unsur kebudayaan meninggalkan daerah asal unsur kebudayaan
bersangkutan, kemudian berpindah ke daerah baru dan memberi pengaruh di
tempat baru tersebut.

W
W W

Gambar 4.2 Difusi relokasi

Difusi Penularan (contagious diffusion) merupakan suatu proses inovasi unsur-


unsur kebudayaan oleh suatu komunitas yang menjalar ke komunitas lain.
Proses ini bisa terjadi melalui model aliran yang berundak-undak (hirarki)
sehingga disebut pula difusi kaskade (cascade diffusion). Contoh internet yang
menyebar dari kota ke desa.

Gambar 4.3 Difusi Penularan

Kebudayaan: Rumusan dan Unsur-Unsurnya


Mengapa kebiasaan antar orang atau kelompok masyarakat yang berbeda
dapat menimbulkan salah tafsir? Jawabannya, karena pola-pola perilaku
kebudayaan yang melatarbelakangi masing-masing warga masyarakat itu
memberikan nilai yang berbeda tentang kebiasaan tersebut. Pola-pola perilaku

3
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

adalah cara-cara bertindak yang sama dari orang-orang yang hidup bersama
dalam kelompok masyarakat yang harus diikuti oleh semua warga kelompok
masyarakat tersebut.
Menurut Kluckhohn (1953) dalam Soekanto & Sulistyawati (2017)terdapat
tujuh unsur universal kebudayaan mulai dari abstrak sampai kongkrit, yakni:
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem pengetahuan, kesenian, bahasa,
sistem kemasyarakatan (organisasi sosial), sistem mata pencaharian hidup
(ekonomi), serta sistem teknologi dan peralatan.
Kebudayaan yang dikembangkan oleh setiap kelompok masyarakat senantiasa
akan mencari dan membentuk nilai-nilai dan norma-norma yang fungsional
untuk dirinya sehingga menghasilkan wujud yang sangat beraneka ragam
antar kelompok masyarakat. Mudah kita lihat misalnya, masyarakat nelayan
di kawasan pesisir memiliki seperangkat nilai dan norma budaya tertentu
yang berbeda dengan nilai dan norma milik masyarakat petani di dataran
tinggi, atau kelompok masyarakat petani dengan kepadatan penduduk yang
tinggi di suatu hamparan lahan tertentu memiliki perangkat nilai dan norma
budaya tertentu yang berbeda dengan kelompok masyarakat petani lainnya
yang berkepadatan penduduk rendah.
Kita dapat mengidentifikasikan bahwa pada satu aspek, yaitu aspek
nonmaterial, kebudayaan dimaksudkan sebagai hadirnya seperangkat nilai-
nilai dan norma-norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi
warga pendukungnya. Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu-
individu (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Dengan cara
demikian pada gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan
interaksi sosial dengan orang-orang lain dalam suatu pola makna tertentu yang
konstan.
Kita juga dapat melihat bahwa kebudayaan adalah suatu aspek material,
dalam hal ini benda-benda fisik buatan manusia. Benda-benda tersebut dibuat
orang dengan tujuan dan makna/simbol (aspek nonmaterial) tertentu. Sebagai
contoh buku, artefak, pakaian, masjid, sekolah, komputer, senjata peluru
kendali, dan sebagainya adalah sebutan-sebutan yang mempunyai makna
khusus.
Obyek-obyek alam jelas bukanlah bagian dari produk kebudayaan material,
misalnya gunung, danau, hutan, dan sebagainya. Akan tetapi, cara orang
memandang dan menggunakan obyek-obyek alam tersebut jelas dilandasi oleh
kerangka normatif budaya sebagai aspek kebudayaan nonmaterial. Sebagai
contoh, sebuah gunung bagi kalangan tertentu hanyalah sebuah pemandangan
alam biasa. Namun bagi kalangan lain gunung yang sama ternyata dipandang
sebagai tempat suci untuk memanjatkan doa.
Untuk menunjukkan arah kepada tingkah laku dan ide tentang yang “baik”
atau “buruk”, masyarakat dalam kebudayaan menciptakan simbol budaya
pada benda atau tindakan tertentu. Simbol budaya, merupakan istilah lain dari
kebudayaan nonmaterial, yang dimaknai dan digunakan orang untuk
berkomunikasi satu sama lain (Henslin 2017). Arti atau makna yang timbul

4
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

dari simbol budaya bersifat sewenang-wenang sesuai kesepakatan masyarakat


tersebut. Contohnya, pada abad pertengahan warna ungu menyimbolkan
kedukaan sementara saat ini menyimbolkan emansipasi wanita. Simbol
budaya mencakup nilai, norma, bahasa, dan gesture. Mari kita lihat masing-
masing komponen simbol budaya ini:
1) Nilai
Dalam konteks sebagai perangkat normatif, budaya memuat nilai, yaitu
gagasan-gagasan orang tentang apa yang baik dan buruk, apa yang dianjurkan
dan apa yang sewajarnya dihindarkan. Nilai mewarnai seluruh kehidupan
masyarakat dan mengabstraksikan situasi-situasi tertentu. Gagasan-gagasan
ini dipelajari individu-individu secara turun temurun melalui proses
sosialisasi (ajar) yang berlangsung di berbagai lingkungan,
keluarga/rumahtangga, tetangga, teman sepermainan, ruang-ruang kelas di
sekolah, tempat kerja, dan sebagainya, mulai dari usia dini hingga menjelang
akhir hayat.
Kadang-kadang salah satu nilai menguat dan mendesak atau bertentangan
dengan nilai lainnya. Contohnya, ketika terjadi penguatan nilai demokrasi
yang menggagas bahwa seseorang sederajat dengan lainnya, terdapat
pertentangan dengan nilai yang menggagas bahwa orang yang berumur lebih
tua memiliki derajat lebih tinggi daripada orang yang berumur lebih muda.
Ketika konflik antar nilai meruncing terus menerus, tumbuh tekanan untuk
melakukan perubahan sosial.
2) Norma
Norma merupakan derivat (turunan) dari nilai yang memerinci lebih spesifik
tentang apa yang baik dan buruk pada suatu konteks siatuasi sosial tertentu,
kelompok tertentu, dan masyarakat tertentu. Perlu ditegaskan bahwa norma
hanya berlaku untuk konteks situasi yang terbatas yang dialami kelompok,
sementara nilai bersifat lebih abstrak dan menjaring hampir seluruh aktivitas
masyarakat. Contohnya, norma pergaulan yang berlaku di kalangan anak
remaja di kota besar membolehkan laki-laki merangkul perempuan di mal. Ini
berbeda dari norma pergaulan yang biasa berlaku di kalangan remaja
pedesaan yang melarang laki-laki menyentuh perempuan di muka umum.
Norma menyangkut aturan berperilaku dalam kehidupan bermasyarakat
sehingga orang atau kelompok yang melanggar aturan tersebut dapat
dikenakan sanksi sesuai aturan yang berlaku di masyarakat. Norma memiliki
kekuatan yang bersifat memaksa, dari tingkat norma yang paling rendah, yaitu
cara (usages), kebiasaan (folkways), tata kelakuan (mores) hingga tingkat
norma yang paling tinggi, yaitu adat istiadat (customs).
3) Bahasa
Simbol terpenting bagi manusia ialah bahasa, yaitu sistem percakapan atau
simbol tulisan (dalam berinteraksi/berkomunikasi) yang bisa menjaring
banyak makna atau ide yang kompleks. Nilai hirarkis orang Jawa dan Sunda
disimbolkan oleh bahasa yang membedakan penggunaan kata-kata tertentu

5
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

bagi orang yang lebih tinggi atau lebih rendah tingkatannya. Sementara nilai
pembedaan laki-laki dari perempuan (seksis) pada orang Arab disimbolkan
dari penggunaan kata tertentu untuk laki-laki yang berbeda dari turunan kata
tersebut untuk perempuan.
Ketika bahasa digunakan untuk menafsirkan situasi atau keadaan sosial, maka
orang sedang membangun struktur sosial. Contohnya ketika orang
menafsirkan negara sebagai keluarga dalam bentuk terbesar, maka rakyat
tidak bersedia memprotes pemerintah. Di balik tindakan tersebut terdapat nilai
yang menggariskan bahwa pemerintah ibarat orang tua dan rakyat ibarat
anaknya dan tidak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya, sebaliknya
akan menyejahterakannya, sehingga anak yang membantah perkataan orang
tuanya menjadi durhaka.
4) Gestures atau Gerak/Bahasa Tubuh
Gestures, atau gerak/bahasa tubuh digunakan orang untuk berkomunikasi
dengan orang lain, sebagai cara yang singkat untuk menyampaikan pesan
tanpa menggunakan kata-kata. Gestures pada setiap budaya dapat dimaknai
secara berbeda sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Karena itu,
dalam pergaulan sosial sangatlah penting untuk mempelajari gerak/bahasa
tubuh dalam suatu budaya.
Sebagai contoh, menawarkan makanan atau memberikan hadiah dengan
tangan kiri dalam kebudayaan Amerika merupakan sesuatu hal yang biasa
dilakukan. Namun, dalam kebudayaan Timur menawarkan makanan atau
memberikan hadiah dengan tangan kiri dapat dimaknai sebagai
ketidaksopanan karena tangan kiri dipandang sebagai sesuatu yang biasa
digunakan untuk membersihkan kotoran.
Dari uraian di atas tampak bahwa kebudayaan dapat kita pahami dalam
beberapa rumusan. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat,
dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat,
meliputi semua pola berpikir, merasakan, dan bertindak (Tylor 1871, seperti
dikutip oleh Soekanto dan Sulistyowati 2017). Kedua, kebudayaan adalah
sesuatu yang superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan
diturunkan dari generasi-generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun
orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti
disebabkan kelahiran atau kematian (Herskovits 1955). Ketiga, kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara
mempelajarinya (Koentjaranigrat 1979).
Tentu saja karena kelompok manusia itu berjumlah ribuan dan tersebar dalam
lokasi yang berbeda-beda, maka kebudayaan yang berkembang pun menjadi
sangat beraneka ragam. Namun dalam perbedaan tersebut pada tiap-tiap
kebudayaan akan dijumpai unsur-unsur yang serupa, dan oleh Kluckhohn
(1953) disebut sebagai unsur-unsur kebudayaan universal (Soekanto dan
Sulistyowati 2017). Ada tujuh unsur kebudayaan universal mulai dari hal

6
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

yang abstrak sampai paling konkrit, yaitu: sistem religi, sistem pengetahuan,
kesenian, bahasa, sistem kemasyarakatan (organisasi sosial), sistem ekonomi
(mata pencaharian hidup), dan sistem teknologi (peralatan dan perlengkapan
hidup).
Setiap unsur kebudayaan universal menjelma dalam ketiga wujud
kebudayaan, yakni wujud idiil, aktivitas, dan fisik . Dengan demikian sistem
ekonomi misalnya, mempunyai wujud idiil sebagai konsep-konsep, rencana-
rencana, kebijaksanaan, adat-istiadat yang berhubungan dengan ekonomi. Ia
juga memiliki wujud aktivitas berupa tindakan-tindakan dalam interaksi
berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, pengecer dengan konsumen.
Selain itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsur berupa komoditas
dan benda-benda ekonomi lainnya sebagai wujud fisik. Contoh lainnya adalah
sistem religi. Wujud idiilnya adalah percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.
Wujud aktivitasnya adalah tindakan berdasarkan pola bersikap dari manusia
dalam masyarakat yang dilakukan secara berpola dan menjadi bagian yang
melekat dalam kehidupan manusia. Selanjutnya, wujud fisik berupa rumah-
rumah ibadah dan peralatan ibadah yang digunakan untuk beraktivitas
(wujud aktivitas) berdasarkan wujud idiil.

Integrasi dan Diversitas Kebudayaan


Ketika seseorang berpindah dan ingin hidup bersama masyarakat baru, atau
dua masyarakat yang berbeda kebudayaannya hendak disatukan dalam satu
negara, terdapat dua kemungkinan gerak kebudayaan. Pertama, melakukan
pembauran atau asimilasi untuk mewujudkan integrasi kebudayaan. Istilah
terakhir ini merujuk pada pemahaman yang melihat kebudayaan sebagai
suatu sistem fungsional yang terintegrasi, di mana seluruh bagian yang ada
dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat berupaya untuk saling
menyesuaikan kepentingannya satu sama lain. Pada derajat tertentu proses
integrasi kebudayaan yang menghubungkan satu aspek dengan aspek
kehidupan lain secara fungsional, terlihat dari wujud struktur sosial dan relasi-
relasi kekuasaan (power-relations) yang berkembang di dalamnya. Sebagai
contoh hal yang disebut pertama adalah asimilasi struktural yang bertalian
dengan masuknya golongan-golongan minoritas secara besar-besaran dalam
perkumpulan-perkumpulan dan lembaga-lembaga pada tingkat primer dari
golongan mayoritas. Selanjutnya untuk contoh hal yang disebut kedua,
misalnya adalah asimilasi civic yang berkaitan dengan tak adanya bentrokan
mengenai nilai-nilai dan pengertian kekuasaan (Gordon dikutip Tan, 1973).
Kedua, tetap mempertahankan jatidiri budayanya sehingga mewujudkan
kemajemukan atau diversitas kebudayaan. Ini dapat terjadi jika kebudayaan-
kebudayaan tersebar dalam kelompok-kelompok masyarakat yang saling
berbeda antara lain dari segi latar belakang pendidikan, pekerjaan, jenis
kelamin, umur, dan sebagainya. Walaupun orang-orang dalam suatu
kelompok masyarakat terintegrasikan oleh suatu kebudayaan, namun tak
jarang terjadi kontradiksi antara tataran berpikir dan tindakan pada warga

7
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

pendukungnya. Sebagai gambaran agama, ekonomi, dan keluarga adalah


bidang-bidang kehidupan yang hadir dalam satu wadah. Pergeseran fungsi
yang terjadi pada satu bidang kehidupan akan menggeser fungsi bidang
kehidupan lainnya.
Kemajemukan budaya bisa muncul ketika budaya minoritas tidak bersedia
berasimilasi ke dalam budaya dominan melalui hukum anti-diskriminasi, atau
mempertahankan privilese dan kekuasaan melalui pembedaan kelompok.
Budaya mayoritas ditunjukkan oleh seperangkat nilai, norma, tradisi dan
pandangan hidup yang dianggap normal oleh masyarakat secara keseluruhan.
Sedangkan budaya minoritas mengembangkan perbedaan nilai, kebiasaan dan
identitas kebudayaan yang disebut subkultur. Contohnya, ketika minoritas
bangsa kulit putih Belanda menjajah Indonesia, mereka menetapkan
kedudukan orang Eropa di atas pribumi, dan menguasai politik serta ekonomi
nusantara.
Dalam Kasus 4.1. dipaparkan “Hubungan migran Madura dengan kelompok
etnis Bugis di Kalimantan Barat”. Dalam hubungan diantara kedua etnis
tersebut berlangsung diversitas kebudayaan. Oleh karena meskipun etnis
Madura dan Bugis sama-sama memeluk Agama Islam secara fanati (baca:
ketat), tetapi hubungan antara orang Madura dan orang Bugis adalah
hubungan antara pekerja kontrak dan majikan. Di samping itu, orang Madura
dan orang Bugis mempunyai bidang usaha yang berbeda. Tidak ada orang
Bugis yang menjadi penambang sampan (perahu), penarik becak, penjaja
sayuran, dan buah-buahan seperti kebanyakan orang Madura menjalaninya,
Kasus 4.1.
Hubungan Migran Madura dan Kelompok Etnis Bugis di Kalimantan
Barat1

Migran swakarsa orang Madura di Kalimantan Barat berasal dari status sosial
ekonomi bawah, baik ditinjau dari sudut pendidikan, maupun sosial
ekonominya. Di Kalimantan Barat umumnya mereka masih tetap berstatus
ekonomi sosial di lapisan bawah, walaupun terdapat kemajuan berarti dalam
penghasilan per kapita pertahun, yaitu dari Rp 17.973,78 (di Madura) menjadi
Rp 87.500,- (di Kalimantan Barat).
Latar belakang pekerjaan mereka di Madura adalah: tidak bekerja (12%), tani
(67%), buruh tani (9.5%), tidak tetap (8.5%), guru agama (0.25%), berdagang
(0.75%), nelayan (1.25%) dan pandai besi (0.75%). Di Kalimantan Barat
59.75% dari mereka, kembali bekerja sebagai petani, 40.25% memasuki sektor
informal di perkotaan sebagai tukang becak, penambang sampan, sopir oplet,
pemecah batu, penjual daging sapi, dan buruh harian.
Pola pemukiman mereka di Kalimantan Barat terbagi dua: pemukiman
mengelompok dan pemukiman sisipan. Pemukiman mengelompok dijumpai
di daerah pedesaan, dan pemukiman sisipan dijumpai di kota-kota.
Walaupun mereka bertempat tinggal menyisip di tengah kelompok etnik lain,
namun mereka umumnya tetap berkelompok, artinya tinggal diantara

1 Dikutip dan diadaptasi dari Sudagung, Hendro Suroyo. 2001. Mengurai Petikaian Etnis. Migrasi Swakarsa Etnis Madura
ke Kalimantan Barat. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.

8
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

mereka sendiri secara berdekatan, misalnya satu rumah ditempati dua atau
tiga keluarga. Di Madura, pola pemukiman seperti itu di sebut sistem tanean
lanjang. Tanean lanjang yang terpencar dengan jarak cukup jauh semakin
menimbulkan ikatan kekeluargaan yang erat. Soalnya, untuk menghadapi
kesulitan hidup dan gangguan dari luar, keluarga di dalam tanean lanjang lah
yang pertama tama akan membantu. Dalam sistem tanean lanjang tersebut
terdapat solidaritas, yang diwujudkan dalam bentuk tolong- menolong dan
saling membantu ketika menghadapi kesulitan, baik dengan uang maupun
dengan tenaga.
Para migran baru yakin bahwa keluarga atau teman-temannya yang telah
menetap di Kalimantan Barat akan membantu. Bantuan dapat berupa tempat
tinggal sementara, menjamin kehidupan sehari-hari, seraya mencarikan
pekerjaan, hingga suatu saat mereka memiliki tempat tinggal sendiri dan
pekerjaan. Salah satu usaha bersama yang menunjukkan kerukunan dan
solidaritas adalah penerapan sistem arisan. Di kecamatan Sungai Ambawang
dikenal arisan tanah, artinya uang yang terkumpul dengan cara arisan ini
digunakan untuk membeli tanah secara bergilir.
Menyimak sejarah kedatangan migran Madura di Kalimantan Barat, orang
Bugis dipandang mempunyai peranan penting. Soalnya, mereka adalah salah
satu kelompok etnis pertama yang menampung kedatangan orang Madura
dan memberi pekerjaan sebagai penebang hutan atau pembantu di kebun,
serta memberikan tempat tinggal sementara. Jadi pada saat-saat pertama
kedatangan orang Madura di Kalimantan Barat, hubungan orang Madura
dengan orang Bugis hubungan antara pekerja kontrak dengan majikan.
Pandangan migran Madura terhadap orang Bugis, terutama yang tua-tua,
adalah orang Bugis itu baik dan dapat diajak kerjasama. Hubungan baik di
bidang sosial ekonomi ini diperkuat oleh adanya persamaan agama, yaitu
sama-sama memeluk agama Islam secara fanatik dalam arti positif.
Selama ini ada prasangka rasial bahwa antara orang Bugis dan orang Madura
tidak dapat terjalin hubungan baik. Kenyataannya di Kalimantan Barat tidak
demikian. Di Kota Pontianak misalnya, penduduk Madura diperkirakan
13.09 %, sedang orang Bugis 20.39 %. Faktor yang menyebabkan dua suku
bangsa yang sama-sama migran tersebut dapat hidup damai adalah mereka
mempunyai bidang usaha yang berbeda. Tidak ada orang Bugis yang menjadi
penambang sampan, penarik becak, penjaja sayuran dan buah-buahan. Jadi
tidak ada persaingan di bidang ekonomi atau pencaharian nafkah. Bahkan di
bidang perkebunan, orang Bugis mendapat kesempatan menggunakan
tenaga orang Madura yang tekun dan ulet sebagai pembantu.

Tradisi atau Inti Kebudayaan


Dalam pengertian kebudayaan pastilah tercakup juga unsur yang bersifat
imanen atau dalam hal ini kita sebut saja sebagai tradisi. Tradisi dapat kita
nyatakan lebih jauh sebagai “inti kebudayaan” (culture-core), apabila “tradisi”
kita terjemahkan sebagai pewarisan atau penerusan norma-norma, adat-
istiadat, dan kaidah-kaidah.
Dengan pengertian ini bukan berarti kita mau mengatakan bahwa tradisi tidak
dapat berubah atau tak dapat diubah. Di depan telah disinggung bahwa ketika
bahasa digunakan untuk memaknai realitas maka masyarakat sedang
membangun struktur atau membentuk dirinya. Tradisi dengan demikian

9
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

berpadu dengan aneka ragam perbuatan manusia yang mengacu pada


pengetahuan baru, perkembangan teknologi baru, dan lain-lain. Perpaduan
antar unsur-unsur budaya lama dan baru yang saling menyesuaikan itu pada
gilirannya dapat membentuk suatu “tradisi baru” yang mengubah acuan
hidup manusia dengan ciri tertentu sebagai identitas kecenderungan
zamannya, dan begitulah seterusnya.
Itulah sebabnya mengapa kebudayaan, dalam tinjauan disiplin sosiologi, tak
lain merupakan cerita tentang perubahan-perubahan riwayat manusia yang
selalu memberi ciri baru kepada pola-pola kehidupan yang sudah ada. Akan
tetapi apa pun juga ciri-ciri pokok yang melekat pada inti kebudayaan tentu
saja sulit digeser atau tergeser begitu saja tanpa suatu hambatan dan
sesungguhnya akan memakan waktu yang relatif panjang (antar-generasi).
Sebagai contoh adalah tradisi atau inti kebudayaan Jawa menurut Geertz
(1976) yaitu “sawah”. Tradisi bersawah memiliki sejarah yang sangat panjang
dalam masyarakat Jawa. Dihitung sejak masa kerajaan-kerajaan Hindu di masa
silam, kebudayaan Jawa sudah mendapat pengaruh demi berbagai peradaban
yaitu Islam dan Barat (imperialism, colonialism, dan globalism). Akan tetapi
tradisi sawah tetap bertahan. Memang ada perubahan-perubahan di bidang
teknologi dan hubungan-hubungan produksi, tetapi semua itu hanya
menunjuk pada adanya perubahan-perubahan pada unsur-unsur kebudayaan,
bukan pergeseran atau pemudaran suatu tradisi atau inti kebudayaan.

Keragaman Kebudayaan: Ancaman dan Upaya


Mempertahankan Eksistensinya
Keragaman kebudayaan di Indonesia yang membentang dari Aceh sampai
Papua, dari Miangas sampai Pulau Rote merupakan suatu anugerah dan
kekayaan luar biasa sekaligus merupakan tantangan dalam membangun nation
state. Keberagaman yang diikat oleh landasan filosofis Pancasila yaitu
Persatuan Indonesia dan dikuatkan oleh semboyan Bhineka Tunggal Ika
(berbeda-beda namun tetap satu jua), menunjukkan bahwa keragaman adalah
suatu keniscayaan dan merupakan modal pokok membangun bangsa yang
kuat apabila kita bersatu. Semesta telah mengajarkan pada kita, bukankah
justru pelangi itu indah karena warnanya yang beragam (berbeda), namun
mampu membentuk satu pola yang harmoni antara satu dengan lainnya.
Fenomena itu memberikan inspirasi pada kita bagaimana eksistensi
mempertahankan persatuan dan kesatuan di tengah-tengah keragaman yang
ada.
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Bangsa Indonesia menganut politik
bebas-aktif dan siap ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Sehingga
konsekuensi dari keterhubungan dengan dunia internasional tersebut adalah
proses globalisasi. Sejarah panjang Kolonialisme di Indonesia perlu kita lihat
kembali untuk memahami bagaimana koneksi global-lokal itu telah terjadi
sejak lama dan mempengaruhi peri-kehidupan sosial-ekonomi dan politik

10
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

dalam berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi dalam bentuknya kini di era
Revolusi Industri 4.0 yang terus berkembang dengan kecanggihan teknologi
dan internet (dunia maya) yang membuat dunia nyata menjadi tanpa batas
(bluring boundaries).
Sehingga dalam mempelajari keragamaan kebudayaan dan ancamannya
paling tidak dapat kita petakan ancaman yang berasal dari dalam dan luar.
Ancaman dari dalam dan sekaligus tantangan bagi bangsa kita adalah
bagaimana kemudian mengelola keberagaman budaya yang ada, dan dari luar
adalah tekanan globalisasi yang tidak dapat dihindari dalam kedudukan
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari dan terhubung dengan masyarakat
dunia.

Tabel 4.1. Ancaman dari dalam dan luar terhadap keragaman kebudayaan

Ancaman dari dalam Ancaman dari luar

Keragaman nilai budaya terkadang Globalisasi yang merupakan


menyebabkan pemaknaan yang salah konskuensi kerterhubungan dan
seperti stereotype/prejudice yang integrasi sebagai bagian dari
negatif terhadap suku/ras/etnis masyarakat dunia, global-lokal
tertentu. koneksi. Kearifan lokal vs kearifan
global?

Etnosentrisme, sikap berlebihan yang Modernisasi teknologi dan ekspansi


menadang suku sendiri lebih tinggi kapital (ekonomi) dari luar.
dari suku lainnya. Terkadang masuk bersamaan
dengan proyek pembangunan.

Salah memaknai otonomi daerah/ Westernisasi yaitu gaya hidup


politik desentralisasi. Melahirkan (pakaian, tingkah laku) yang
“raja-raja” kecil di daerah, dinasti kebarat-baratan. Ingin menyamakan
politik, dan politik diri sama dengan gaya hidup barat.
kesukuan/kedaerahan.

Bagi kita bangsa Indonesia, bahwa sejarah panjang perjuangan ‘menjadi


Indonesia’ sebagai nation state adalah suatu proses yang dinamis sejak era
Hindia Belanda (Abad 17) hingga pasca kemerdekaan (tahun 1945) hingga
sekarang ini. Bayangkan bagaimana ikhtiar-ihktiar perjuangan yang dilakukan
oleh para pendahulu ketika berjuang untuk merdeka dari penjajah kolonial,
ditambah lagi secara geopolitik Indonesia merupakan negara kepulauan yang
terpisah satu dengan wilayah Indonesia yang lainnya (Pulau Sumatera, Jawa,
Kalimantan, Sulawesi, dan Papua). Gerakan mengukuhkan persatuan bangsa
telah diorkestrasi dengan baik oleh para pemuda/pemudi Indonesia yang
mengusung semangat persatuan dengan ‘Sumpah Pemuda’ pada 28 Oktober
1928 di Batavia (kini Jakarta). Agenda tersebut mengusung semangat
11
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

meskipun berbeda-beda pulau, suku bangsa, bahkan bahasa tapi sepakat


untuk menjadi satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa yaitu Indonesia.
Semangat membangun persatuan bangsa yang telah dilakukan oleh
pemuda/pemudi Indonesia jauh sebelum kemerdekaan merupakan salah satu
bentuk usaha mempersatukan keragaman budaya yang ada menjadi kekuatan
dan modal dalam membangun Bangsa Indonesia. Kebudayaan-kebudayaan
daerah, bukanlah masalah atau ancaman bagi proses ‘menjadi Indonesia’, tapi
justru kekuatan yang menopang “kebudayaan nasional” Indonesia. Hal ini
selaras dengan semangat konstitusi Indonesia sebagaimana UUD 1945
(amandemen ke-IV) Pasal 32 Ayat yaitu Negara memajukan kebudayaan nasional
Indonesia di tengah perdaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam
memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) seolah-olah sebagai suatu
‘komunitas terbayang’ (the imagined communities) yang bertahan karena
dibentuk oleh sebuah imaji kebangsaan sebagai bangsa terjajah yang memiliki
kesamaan nasib dan perjuangan (Anderson, 2002). Seolah-olah negara adalah
suatu ‘bentuk akhir’ (final) dari proses menjadi negara. Padahal menurut
Migdal (2001) bahwa negara ala Weber sebagai suatu yang final, ajeg, dan
harmoni tersebut tidak akan terwujud, karena di dalamnya terdapat dinamika
sosial-budaya-politik dan kontestasi dalam interaksi sosial masyarakatnya.
Proses meneguhkan kebudayaan nasional dalam formasi negara sehari-hari
(the everyday state formation), mengalami kontestasi antara beragam aktor yang
ada di dalamnya (yang memiliki keberagaman nilai kebudayaan) dan juga
pengaruh/tekanan nilai budaya dari luar (kebudayaan negara lain), jadi
negara tidak dapat diumpakan seperti benda (state is not a thing). Kebudayaan
dalam negara terus berubah dan bergerak. Dalam memahami negara, menjadi
penting bagi kita untuk melihat bagaimana interaksi dan sturktur sosial di
dalamnya, bahkan ketika dihubungkan dengan globalisasi (Trouillot, 2001).
Menjadi hal penting bagi kita Bangsa Indonesia untuk memiliki sikap yang
mencerminkan Pluralisme yaitu suatu sistem nilai atau pandangan yang
mengakui keragaman di dalam suatu bangsa. Sehingga saling menghargai,
menghormati, dan memahami perbedaan adalah kunci dalam merawat
kebhinekaan di tengah keragaman kebudayaan yang ada.

12
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia

Daftar Pustaka
Anderson, B. 2002. Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang.
Terjemahan dari Imagined Comunities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism [Omi Intan Naomi)]. Edisi kedua (revisi), Insist Press dan Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Henslin, J. M. 2017. Sociology A Down to Earth Approach. Thirteenth Edition.
Boston: Pearson Education, Inc.
Herskovits, M.J. 1955. Cultural Anthropology. New York: Alfred A. Knopf.
Koentjaraningrat (Ed.). 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Kluckhohn, F.R. 1961. “Dominant and variant value-orientation” in: FR
Cluchohn & HA Murray (Eds.), Personality in Nature, Society and Culture.
New York: Alfred A Knoff.
Migdal, J. 2001. State in Society: Studying How States and Societies Transform
and Constitute One Another. Cambridge University Press, New York.
Redfield, R. 1956. Peasant society and culture. Chicago: University of Chicago
Press.
Soekanto, S. dan Sulistyowati, B. 2017. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke
48, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Trouillot, M.R. 2001. The Anthropology of The State in The Age of
Globalization. Current Anthropology 42(1): 125-138.

13

Anda mungkin juga menyukai