PB04 - Naskah - Keragaman Dan Eksistensi Kebudayaan
PB04 - Naskah - Keragaman Dan Eksistensi Kebudayaan
BAB IV
KERAGAMAN DAN EKSISTENSI
KEBUDAYAAN INDONESIA
Endriatmo Soetarto, Ratri Virianita, Rina Mardiana, Martua Sihaloho,
Bayu Eka Yulian
1
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
W-2
2
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
W
W W
3
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
adalah cara-cara bertindak yang sama dari orang-orang yang hidup bersama
dalam kelompok masyarakat yang harus diikuti oleh semua warga kelompok
masyarakat tersebut.
Menurut Kluckhohn (1953) dalam Soekanto & Sulistyawati (2017)terdapat
tujuh unsur universal kebudayaan mulai dari abstrak sampai kongkrit, yakni:
sistem religi dan upacara keagamaan, sistem pengetahuan, kesenian, bahasa,
sistem kemasyarakatan (organisasi sosial), sistem mata pencaharian hidup
(ekonomi), serta sistem teknologi dan peralatan.
Kebudayaan yang dikembangkan oleh setiap kelompok masyarakat senantiasa
akan mencari dan membentuk nilai-nilai dan norma-norma yang fungsional
untuk dirinya sehingga menghasilkan wujud yang sangat beraneka ragam
antar kelompok masyarakat. Mudah kita lihat misalnya, masyarakat nelayan
di kawasan pesisir memiliki seperangkat nilai dan norma budaya tertentu
yang berbeda dengan nilai dan norma milik masyarakat petani di dataran
tinggi, atau kelompok masyarakat petani dengan kepadatan penduduk yang
tinggi di suatu hamparan lahan tertentu memiliki perangkat nilai dan norma
budaya tertentu yang berbeda dengan kelompok masyarakat petani lainnya
yang berkepadatan penduduk rendah.
Kita dapat mengidentifikasikan bahwa pada satu aspek, yaitu aspek
nonmaterial, kebudayaan dimaksudkan sebagai hadirnya seperangkat nilai-
nilai dan norma-norma yang menjadi pedoman atau acuan perilaku bagi
warga pendukungnya. Perangkat normatif ini ditanamkan pada individu-
individu (baru) pendukungnya melalui proses sosialisasi. Dengan cara
demikian pada gilirannya mereka mampu menjalin dan mengembangkan
interaksi sosial dengan orang-orang lain dalam suatu pola makna tertentu yang
konstan.
Kita juga dapat melihat bahwa kebudayaan adalah suatu aspek material,
dalam hal ini benda-benda fisik buatan manusia. Benda-benda tersebut dibuat
orang dengan tujuan dan makna/simbol (aspek nonmaterial) tertentu. Sebagai
contoh buku, artefak, pakaian, masjid, sekolah, komputer, senjata peluru
kendali, dan sebagainya adalah sebutan-sebutan yang mempunyai makna
khusus.
Obyek-obyek alam jelas bukanlah bagian dari produk kebudayaan material,
misalnya gunung, danau, hutan, dan sebagainya. Akan tetapi, cara orang
memandang dan menggunakan obyek-obyek alam tersebut jelas dilandasi oleh
kerangka normatif budaya sebagai aspek kebudayaan nonmaterial. Sebagai
contoh, sebuah gunung bagi kalangan tertentu hanyalah sebuah pemandangan
alam biasa. Namun bagi kalangan lain gunung yang sama ternyata dipandang
sebagai tempat suci untuk memanjatkan doa.
Untuk menunjukkan arah kepada tingkah laku dan ide tentang yang “baik”
atau “buruk”, masyarakat dalam kebudayaan menciptakan simbol budaya
pada benda atau tindakan tertentu. Simbol budaya, merupakan istilah lain dari
kebudayaan nonmaterial, yang dimaknai dan digunakan orang untuk
berkomunikasi satu sama lain (Henslin 2017). Arti atau makna yang timbul
4
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
5
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
bagi orang yang lebih tinggi atau lebih rendah tingkatannya. Sementara nilai
pembedaan laki-laki dari perempuan (seksis) pada orang Arab disimbolkan
dari penggunaan kata tertentu untuk laki-laki yang berbeda dari turunan kata
tersebut untuk perempuan.
Ketika bahasa digunakan untuk menafsirkan situasi atau keadaan sosial, maka
orang sedang membangun struktur sosial. Contohnya ketika orang
menafsirkan negara sebagai keluarga dalam bentuk terbesar, maka rakyat
tidak bersedia memprotes pemerintah. Di balik tindakan tersebut terdapat nilai
yang menggariskan bahwa pemerintah ibarat orang tua dan rakyat ibarat
anaknya dan tidak ada orang tua yang menjerumuskan anaknya, sebaliknya
akan menyejahterakannya, sehingga anak yang membantah perkataan orang
tuanya menjadi durhaka.
4) Gestures atau Gerak/Bahasa Tubuh
Gestures, atau gerak/bahasa tubuh digunakan orang untuk berkomunikasi
dengan orang lain, sebagai cara yang singkat untuk menyampaikan pesan
tanpa menggunakan kata-kata. Gestures pada setiap budaya dapat dimaknai
secara berbeda sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman. Karena itu,
dalam pergaulan sosial sangatlah penting untuk mempelajari gerak/bahasa
tubuh dalam suatu budaya.
Sebagai contoh, menawarkan makanan atau memberikan hadiah dengan
tangan kiri dalam kebudayaan Amerika merupakan sesuatu hal yang biasa
dilakukan. Namun, dalam kebudayaan Timur menawarkan makanan atau
memberikan hadiah dengan tangan kiri dapat dimaknai sebagai
ketidaksopanan karena tangan kiri dipandang sebagai sesuatu yang biasa
digunakan untuk membersihkan kotoran.
Dari uraian di atas tampak bahwa kebudayaan dapat kita pahami dalam
beberapa rumusan. Pertama, kebudayaan sebagai suatu kompleks yang
mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat-istiadat,
dan lain kemampuan yang diperoleh manusia selaku anggota masyarakat,
meliputi semua pola berpikir, merasakan, dan bertindak (Tylor 1871, seperti
dikutip oleh Soekanto dan Sulistyowati 2017). Kedua, kebudayaan adalah
sesuatu yang superorganik, artinya berada di atas sesuatu badan. Kebudayaan
diturunkan dari generasi-generasi dan tetap akan hidup terus, walaupun
orang-orang yang menjadi anggota masyarakat senantiasa silih berganti
disebabkan kelahiran atau kematian (Herskovits 1955). Ketiga, kebudayaan
adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam
rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan cara
mempelajarinya (Koentjaranigrat 1979).
Tentu saja karena kelompok manusia itu berjumlah ribuan dan tersebar dalam
lokasi yang berbeda-beda, maka kebudayaan yang berkembang pun menjadi
sangat beraneka ragam. Namun dalam perbedaan tersebut pada tiap-tiap
kebudayaan akan dijumpai unsur-unsur yang serupa, dan oleh Kluckhohn
(1953) disebut sebagai unsur-unsur kebudayaan universal (Soekanto dan
Sulistyowati 2017). Ada tujuh unsur kebudayaan universal mulai dari hal
6
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
yang abstrak sampai paling konkrit, yaitu: sistem religi, sistem pengetahuan,
kesenian, bahasa, sistem kemasyarakatan (organisasi sosial), sistem ekonomi
(mata pencaharian hidup), dan sistem teknologi (peralatan dan perlengkapan
hidup).
Setiap unsur kebudayaan universal menjelma dalam ketiga wujud
kebudayaan, yakni wujud idiil, aktivitas, dan fisik . Dengan demikian sistem
ekonomi misalnya, mempunyai wujud idiil sebagai konsep-konsep, rencana-
rencana, kebijaksanaan, adat-istiadat yang berhubungan dengan ekonomi. Ia
juga memiliki wujud aktivitas berupa tindakan-tindakan dalam interaksi
berpola antara produsen, tengkulak, pedagang, pengecer dengan konsumen.
Selain itu dalam sistem ekonomi terdapat juga unsur-unsur berupa komoditas
dan benda-benda ekonomi lainnya sebagai wujud fisik. Contoh lainnya adalah
sistem religi. Wujud idiilnya adalah percaya pada Tuhan Yang Maha Esa.
Wujud aktivitasnya adalah tindakan berdasarkan pola bersikap dari manusia
dalam masyarakat yang dilakukan secara berpola dan menjadi bagian yang
melekat dalam kehidupan manusia. Selanjutnya, wujud fisik berupa rumah-
rumah ibadah dan peralatan ibadah yang digunakan untuk beraktivitas
(wujud aktivitas) berdasarkan wujud idiil.
7
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
Migran swakarsa orang Madura di Kalimantan Barat berasal dari status sosial
ekonomi bawah, baik ditinjau dari sudut pendidikan, maupun sosial
ekonominya. Di Kalimantan Barat umumnya mereka masih tetap berstatus
ekonomi sosial di lapisan bawah, walaupun terdapat kemajuan berarti dalam
penghasilan per kapita pertahun, yaitu dari Rp 17.973,78 (di Madura) menjadi
Rp 87.500,- (di Kalimantan Barat).
Latar belakang pekerjaan mereka di Madura adalah: tidak bekerja (12%), tani
(67%), buruh tani (9.5%), tidak tetap (8.5%), guru agama (0.25%), berdagang
(0.75%), nelayan (1.25%) dan pandai besi (0.75%). Di Kalimantan Barat
59.75% dari mereka, kembali bekerja sebagai petani, 40.25% memasuki sektor
informal di perkotaan sebagai tukang becak, penambang sampan, sopir oplet,
pemecah batu, penjual daging sapi, dan buruh harian.
Pola pemukiman mereka di Kalimantan Barat terbagi dua: pemukiman
mengelompok dan pemukiman sisipan. Pemukiman mengelompok dijumpai
di daerah pedesaan, dan pemukiman sisipan dijumpai di kota-kota.
Walaupun mereka bertempat tinggal menyisip di tengah kelompok etnik lain,
namun mereka umumnya tetap berkelompok, artinya tinggal diantara
1 Dikutip dan diadaptasi dari Sudagung, Hendro Suroyo. 2001. Mengurai Petikaian Etnis. Migrasi Swakarsa Etnis Madura
ke Kalimantan Barat. Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation.
8
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
mereka sendiri secara berdekatan, misalnya satu rumah ditempati dua atau
tiga keluarga. Di Madura, pola pemukiman seperti itu di sebut sistem tanean
lanjang. Tanean lanjang yang terpencar dengan jarak cukup jauh semakin
menimbulkan ikatan kekeluargaan yang erat. Soalnya, untuk menghadapi
kesulitan hidup dan gangguan dari luar, keluarga di dalam tanean lanjang lah
yang pertama tama akan membantu. Dalam sistem tanean lanjang tersebut
terdapat solidaritas, yang diwujudkan dalam bentuk tolong- menolong dan
saling membantu ketika menghadapi kesulitan, baik dengan uang maupun
dengan tenaga.
Para migran baru yakin bahwa keluarga atau teman-temannya yang telah
menetap di Kalimantan Barat akan membantu. Bantuan dapat berupa tempat
tinggal sementara, menjamin kehidupan sehari-hari, seraya mencarikan
pekerjaan, hingga suatu saat mereka memiliki tempat tinggal sendiri dan
pekerjaan. Salah satu usaha bersama yang menunjukkan kerukunan dan
solidaritas adalah penerapan sistem arisan. Di kecamatan Sungai Ambawang
dikenal arisan tanah, artinya uang yang terkumpul dengan cara arisan ini
digunakan untuk membeli tanah secara bergilir.
Menyimak sejarah kedatangan migran Madura di Kalimantan Barat, orang
Bugis dipandang mempunyai peranan penting. Soalnya, mereka adalah salah
satu kelompok etnis pertama yang menampung kedatangan orang Madura
dan memberi pekerjaan sebagai penebang hutan atau pembantu di kebun,
serta memberikan tempat tinggal sementara. Jadi pada saat-saat pertama
kedatangan orang Madura di Kalimantan Barat, hubungan orang Madura
dengan orang Bugis hubungan antara pekerja kontrak dengan majikan.
Pandangan migran Madura terhadap orang Bugis, terutama yang tua-tua,
adalah orang Bugis itu baik dan dapat diajak kerjasama. Hubungan baik di
bidang sosial ekonomi ini diperkuat oleh adanya persamaan agama, yaitu
sama-sama memeluk agama Islam secara fanatik dalam arti positif.
Selama ini ada prasangka rasial bahwa antara orang Bugis dan orang Madura
tidak dapat terjalin hubungan baik. Kenyataannya di Kalimantan Barat tidak
demikian. Di Kota Pontianak misalnya, penduduk Madura diperkirakan
13.09 %, sedang orang Bugis 20.39 %. Faktor yang menyebabkan dua suku
bangsa yang sama-sama migran tersebut dapat hidup damai adalah mereka
mempunyai bidang usaha yang berbeda. Tidak ada orang Bugis yang menjadi
penambang sampan, penarik becak, penjaja sayuran dan buah-buahan. Jadi
tidak ada persaingan di bidang ekonomi atau pencaharian nafkah. Bahkan di
bidang perkebunan, orang Bugis mendapat kesempatan menggunakan
tenaga orang Madura yang tekun dan ulet sebagai pembantu.
9
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
10
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
dalam berbangsa dan bernegara. Terlebih lagi dalam bentuknya kini di era
Revolusi Industri 4.0 yang terus berkembang dengan kecanggihan teknologi
dan internet (dunia maya) yang membuat dunia nyata menjadi tanpa batas
(bluring boundaries).
Sehingga dalam mempelajari keragamaan kebudayaan dan ancamannya
paling tidak dapat kita petakan ancaman yang berasal dari dalam dan luar.
Ancaman dari dalam dan sekaligus tantangan bagi bangsa kita adalah
bagaimana kemudian mengelola keberagaman budaya yang ada, dan dari luar
adalah tekanan globalisasi yang tidak dapat dihindari dalam kedudukan
Bangsa Indonesia sebagai bagian dari dan terhubung dengan masyarakat
dunia.
Tabel 4.1. Ancaman dari dalam dan luar terhadap keragaman kebudayaan
12
Keragaman dan Eksistensi Kebudayaan Indonesia
Daftar Pustaka
Anderson, B. 2002. Imagined Communities: Komunitas-komunitas Terbayang.
Terjemahan dari Imagined Comunities: Reflections on the Origin and Spread of
Nationalism [Omi Intan Naomi)]. Edisi kedua (revisi), Insist Press dan Pustaka
Pelajar, Yogyakarta.
Henslin, J. M. 2017. Sociology A Down to Earth Approach. Thirteenth Edition.
Boston: Pearson Education, Inc.
Herskovits, M.J. 1955. Cultural Anthropology. New York: Alfred A. Knopf.
Koentjaraningrat (Ed.). 1979. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Penerbit Djambatan.
Kluckhohn, F.R. 1961. “Dominant and variant value-orientation” in: FR
Cluchohn & HA Murray (Eds.), Personality in Nature, Society and Culture.
New York: Alfred A Knoff.
Migdal, J. 2001. State in Society: Studying How States and Societies Transform
and Constitute One Another. Cambridge University Press, New York.
Redfield, R. 1956. Peasant society and culture. Chicago: University of Chicago
Press.
Soekanto, S. dan Sulistyowati, B. 2017. Sosiologi Suatu Pengantar. Cetakan ke
48, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Trouillot, M.R. 2001. The Anthropology of The State in The Age of
Globalization. Current Anthropology 42(1): 125-138.
13