Anda di halaman 1dari 10

Nutrisi dan Diet untuk Odha

Penatalaksanaan nutrisi sekarang sudah menjadi bagian integral dalam pengobatan pasien dengan
HIV/AIDS. Semakin banyak bukti yang menunjukkan bahwa perbaikan nutrisi akan
memperbaiki juga kondisi kesehatan odha (orang dengan HIV/AIDS).

Odha perlu memperoleh pendidikan kesehatan yang terkait dengan nutrisi mengenai beberapa
aspek, antara lain (a) prinsip diet sehat, (b) bagaimana menjaga agar kondisi otot tubuh tetap
normal, dan bagaimana prinsip pengobatan wasting syndrome, (c) manajemen interaksi obat dan
makanan, (d) managemen gejala gastrointestinal yang mempengaruhi asupan jumlah dan jenis
makanan, (e) bagaimana menyikapi dengan benar masalah suplemen herbal dan suplemen nutrisi,
(f) budaya yang berhubungan dengan makanan, (g) nutrisi sewaktu odha hamil, (h) susu formula
untuk bayi baru lahir, (i) timbulnya hiperglikemia dan kelainan lipid yang dapat meningkatkan
risiko diabetes, penyakit jantung dan stroke.

Nutrisi yang baik diperlukan untuk menjaga sistem imun odha tetap kuat. Selain itu nutrisi yang
baik juga dapat membantu proses tubuh dalam memetabolisir obat-obatan yang dikonsumsi odha.
Pemberian nutrisi yang baik, dengan demikian, akan meminimalisir penyakit-penyakit yang
terkait dengan HIV/AIDS, sehingga frekuensi dan lama rawat inap di rumah sakit akan jauh
berkurang dan kualitas hidup odha pun meningkat.
Selain membantu pemulihan sel-sel kekebalan tubuh dan mendukung ketahanan tubuh dalam
menghadapi pengobatan, makan juga memiliki efek psikologis, yaitu odha akan merasa nyaman
dan berpikiran positif. Jika makan bersama teman akan baik untuk kesehatan emosinya. Karena
itu, nutrisi merupakan salah satu faktor yang berperan penting dalam penatalaksanaan orang
dengan HIV/AIDS.

Malnutrisi Pada Odha


Sebagian besar pasien HIV/AIDS di Indonesia mengalami malnutrisi. Bahkan sebagian sudah
masuk dalam kategori wasting syndrome, yaitu suatu keadaan di mana pasien kehilangan berat
badan > 10% atau mempunyai indeks massa tubuh <20kg/m2 sejak kunjungan terakhir atau
kehilangan berat badan >5% dalam waktu enam bulan dan kondisi ini bertahan selama satu tahun.
Infeksi HIV mempunyai implikasi bermakna terhadap status nutrisi odha. Infeksi HIV di
antaranya menyebabkan ketidakmampuan mengabsorpsi zat gizi dan makanan, perubahan
metabolisme, serta berkurangnya asupan makanan akibat gejala-gejala yang terkait HIV.
Sebaliknya, nutrisi yang buruk meningkatkan kerentanan dan derajat berat infeksi oportunistik.
Nutrisi yang buruk juga akan mengurangi efikasi mengobatan dan kepatuhan minum obat, dan
dapat mempercepat progresivitas penyakit.

Selain masalah nutrisi klasik, sejak diberikannya terapi antiretroviral (highly active antiretroviral
therapy, HAART) pada odha, mulai timbul masalah-masalah nutrisi baru, yang akan dibahas
kemudian. Keberhasilan terapi antiretroviral terbukti menurunkan morbiditas dan mortalitas pada
odha. Namun, seperti mata uang, pengobatan juga selalu mempunyai dua sisi. Masalah-masalah
dalam bidang gizi adalah mulai munculnya lipodistrofi (pengumpulan lemak di tempat yang tidak
wajar), hiperlipidemia, resistensi insulin, serta obesitas. Sebuah studi kohort pada lebih dari 600
odha melaporkan bahwa 5% odha laki-laki dan 20% odha perempuan mengalami obesitas.

Walaupun terapi antiretroviral telah memperlihatkan hasil yang sangat baik dalam menurunkan
angka infeksi oportunistik sehingga memperpanjang masa tanpa gejala dan memperbaiki kualitas
hidup odha, wasting syndrome tetap menjadi masalah dalam penatalaksanaan HIV/AIDS.

Defisiensi Nutrisi
Masalah nutrisi pada odha dapat disebabkan oleh beberapa mekanisme yang bekerja sendiri-
sendiri atau saling mempengaruhi. Pada dasarnya, masalah nutrisi tersebut disebabkan oleh
ketidakseimbangan antara asupan yang akan diubah menjadi energi, serta kebutuhan energi untuk
metabolisme tubuh. Faktor penyebab timbulnya kondisi gizi yang buruk pada odha adalah: 1)
penurunan asupan makanan, 2) malabsorbsi gastrointestinal, 3) peningkatan jumlah kebutuhan
asupan makanan atau katabolisme jaringan akibat berbagai infeksi oportunistik yang biasa
dialami odha, seperti TB, radang paru atau pnemonia, toksoplasma otal, sariawan karena infeksi
jamur, dan sebagainya.
Keempat, adalah masalah kemiskinan yang dialami oleh sebagian besar odha, dan masalah
penyalahgunaan obat. Untuk diingat, pencegahan malnutrisi dilakukan dengan cara memberikan
diet tinggi kalori dan tinggi protein. Tapi pada kenyataannya protein dan serat—yang berasal dari
sayuran dan buah-buahan—jarang terpenuhi dalam menu harian pasien HIV. Umumnya mereka
masih mengutamakan konsumsi karbohidrat yang memang lebih cepat menimbulkan rasa
kenyang dan kenyamanan sesaat.

Konsumsi nutrien yang tidak adekuat adalah salah satu faktor yang dapat menyebabkan kondisi
gizi yang buruk. Beberapa faktor dapat menyebabkan asupan makanan yang abnormal. Misalnya,
inflamasi dan ulkus pada saluran pencernaan bagian atas (dari mulut hingga esofagus) dapat
menyebabkan anoreksia akibat timbulnya rasa nyeri saat menelan atau nyeri perut saat makan.
Sebuah studi melaporkan bahwa sekitar 70% dari saluran pencernaan bagian atas yang diperiksa
dengan endoskopi menunjukkan gambaran histologi yang abnormal.[i] Lesi ini dapat disebabkan
karena iritasi oleh asam lambung atau infeksi, misalnya oleh jamur kandida, virus sitomegalo,
atau virus herpes simpleks. Ulserasi di mukosa mulut akibat virus atau idiopatik juga sering
terjadi sehingga menyebabkan nyeri sewaktu makan.

Penyakit pada pankreas dan saluran empedu juga menyebabkan mual-muntah dan nyeri perut,
sehingga asupan makanan menjadi berkurang. Anoreksia primer, yang sering terjadi pada pasien
kanker dan penyakit kanker lainnya, pada akhirnya juga dapat berkontribusi terhadap asupan
makanan yang tidak adekuat.

Malabsorbsi dapat menyebabkan perubahan pada status gizi odha, sehingga meskipun makanan
yang dimakan sudah mencukupi, namun tidak semua zat gizi dapat diserap oleh tubuh dengan
efektif. Malabsorbsi dapat terjadi dengan atau tanpa diare. Penyebabnya multifaktorial, termasuk
di antaranya adalah abnormalitas mukosa gastrointestinal yang dapat disebabkan oleh infeksi
HIV-nya sendiri, atau merupakan akibat sekunder dari infeksi usus oleh agen lain. Apabila
malabsorbsi tersebut disertai dengan diare kronik, yang sering kali terjadi, maka jika tidak
ditangani dengan baik dapat menjadi predisposisi terjadinya malnutrisi yang berat. Diare juga
dapat merupakan efek samping dari obat-obatan, seperti beberapa obat antiretroviral dan
antibiotika.

Beberapa peneliti telah melaporkan adanya gangguan absorbsi karbohidrat, protein, dan lemak
pada odha, namun beratnya malabsorbsi ternyata tidak berhubungan dengan derajat malnutrisi.
Malabsorbsi nutrien lain juga terjadi, seperti vitamin B12, asam folat, tiamin, seng, selenium,
kalsium, dan magnesium. Juga dapat terjadi malabsobsi vitamin yang larut dalam lemak, terutama
vitamin A dan D.

Peningkatan kebutuhan nutrisi dan laju katabolisme jaringan juga dialami oleh sebagian odha,
sebagaimana telah dikatakan sebelumnya. Beberapa faktor yang dapat menyebabkannya adalah
tingginya jumlah virus HIV dalam darah, infeksi sekunder, serta gejala konstitusional seperti
demam dan keringat malam.

Infeksi virus kronik dapat berpengaruh terhadap penggunaan energi, dan dapat menjadi
predisposisi terhadap infeksi sekunder yang akan mengubah pola penggunaan energi. Infeksi-
infeksi tersebut dapat meningkatkan atau mengubah pola penggunaan energi yang efektif pada
orang sehat menjadi abnormal. Oleh karena itu, pada odha peningkatan penggunaan energi
terutama terkait dengan jumlah virus HIV di dalam darah serta adanya koinfeksi dan
komorbiditas.

Nutrisi dan ARV


Obat antiretroviral yang diduga dapat menimbulkan masalah nutrisi terutama adalah golongan
penghambat protease. Obat golongan penghambat protease yang selama ini beredar di Indonesia
adalah nelvinafir, dan baru-baru ini telah beredar atanazavir (Reyataz®).
Pemberian obat antiretroviral golongan penghambat protease dapat menyebabkan akumulasi
lemak tubuh yang abnormal (lipoatrofi dan lipodistrofi), resistensi insulin perifer, serta kenaikan
kolesterol, trigliserida, dan glukosa darah. Distribusi lemak yang abnormal juga ditemui pada
pasien yang mendapat terapi non-penghambat protease seperti golongan Nucleoside Reverse
Transcriptase Inhibitor (NRTI), yaitu stavudin dan zidovudin. Lipodistrofi lebih banyak terjadi
pada odha yang diberi stavudin (63%) dibandingkan zidovudin (18,75%). Sayangnya hingga saat
ini, studi-studi yang meneliti mengenai efek obat antiretroviral terhadap peningkatan risiko
penyakit kardiovaskuler masih melaporkan hasil yang saling berlawanan.
Obat penghambat protease diduga dapat berinteraksi dengan beberapa protein sel yang terlibat
pada metabolisme lipid karena adanya homologi asam amino parsial antara protein-protein
tersebut dan HIV-1 protease. Obat golongan penghambat protease juga dapat berinteraksi dengan
obat antihiperlipidemik golongan statin. Ritonavir, dapat meningkatkan kadar simvastatin serum
sehingga dapat meningkatkan toksisitas yang terkait dengan statin seperti mialgia,
rhabdomiolisis, gagal ginjal, dan kerusakan hati. Obat golongan penghambat protease sebaiknya
tidak diberikan bersamaan dengan simvastatin dan lovastatin. Pravastatin adalah statin yang
paling aman digunakan bersama dengan penghambat protease. Atorvastatin dan fluvastatin harus
digunakan secara hati-hati dan dengan dosis yang lebih rendah bila diberikan bersama-sama
dengan penghambat protease.

Karena penghambat protease dapat menyebabkan resistensi insulin dan peningkatan kadar
glukosa darah, maka obat golongan ini dapat memperberat diabetes pada odha yang juga
menderita diabetes mellitus. Seperti pengobatan diabetes mellitus pada umumnya, terapi non-
medikamentosa seperti diet, olah raga, dan menurunkan berat badan sangat dianjurkan. Jika
diperlukan dapat diberikan obat hipoglikemik oral.

Penatalaksanaan Diet
Karena orang dengan HIV/AIDS sering mengalami masalah nutrisi, maka sebaiknya mereka
tidak berpantang makanan apapun, kecuali memang sangat diperlukan. Bahkan untuk odha yang
mengalami malnutrisi, apalagi wasting syndrome, diberikan diet tinggi kalori dan tinggi protein:
susu, telur, daging, ikan, sangat dianjurkan.
Sebaiknya odha tidak perlu terlalu takut kelebihan kalori apalagi protein, karena odha sangat
memerlukannya. Sebuah studi pada 871 odha perempuan melaporkan bahwa odha yang memiliki
indeks massa tubuh yang lebih tinggi akan lebih lambat mengalami kadar CD4 di bawah 200
sel/mm3—salah satu kriteria AIDS—dibandingkan odha dengan indeks massa tubuh yang lebih
rendah. Selain itu, indeks massa tubuh yang tinggi atau kenaikan indeks massa tubuh selama
perjalanan penyakit, ternyata berkaitan dengan lambatnya progresivitas HIV.

Untuk diketahui, rasa makanan sangat dipengaruhi oleh kadar lemak. Akibatnya jika pasien
emikian juga odha yang mulai minum antiretroviral sebaiknya tidak pantang lemak. Kalau pasien
hanya makan sedikit dan kebutuhan nutrisi tidak tercukupi, efek samping obat akan lebih berat
dan kondisinya bisa semakin menurun. Karena itu pasien seperti ini justru memerlukan diet tinggi
lemak dan tinggi protein. Namun sebaiknya hindari lemak untuk sementara waktu jika ada diare,
karena justru akan memperberat masalah.

Saat ini untuk meningkatkan nafsu makan memang sudah tersedia beberapa jenis obat, misalnya
siproheptadin. Namun obat ini tak banyak menolong pada odha. Berbeda halnya dengan obat
megestrol acetat, dipasarkan dengan nama Tracetat atau Megace sirup atau tablet yang cepat
sekali meningkatkan nafsu makan dan membuat pasien merasa lebih nyaman dan membuat
banyak pasien merasa lebih nyaman dan merasa lebih enak. Perlu diketahui bahwa obat tersebut
hanya mempertahankan, dan tidak menambah, massa otot.

Penggunaan megestrol acetat untuk pasien kanker dan odha telah disetujui sejak 10 tahun lalu
oleh badan pengawasan obat dan makanan Amerika (FDA), dan telah menolong banyak orang.
Sayangnya, harga obat ini masih cukup mahal, yakni sekitar 850 ribu hingga 1,2 juta rupiah.
Seharusnya obat yang sudah cukup lama masa patennya ini kini bisa diperoleh dalam bentuk
generik.

Yang menjadi pertanyaan sekarang: bagaimana dengan odha (dan pasien kanker) yang berasal
dari kelompok ekonomi menengah-bawah bisa memenuhi kebutuhan nutrisinya tanpa bantuan
obat yang harganya di luar jangkauan mereka? Prinsipnya yang harus diingat adalah pasien tidak
perlu kaya, tapi akses terhadap obat harus dibuka seluas-luasnya. Tapi seandainya masih ada ha--
+---------mbatan, maka beberapa hal yang bisa dilakukan oleh keluarga adalah menyusun menu
yang variatif setiap hari, yang disesuaikan dengan keinginan pasien. Harus diingat bahwa karena
penyakitnya, tingkat kekebalan odha menurun atau lebih rendah dibanding non-odha. Karenanya
yang terbaik adalah makan makanan yang dimasak sendiri di rumah karena kebersihannya relatif
lebih baik. Jika sesekali ingin makan di luar, pilihlah makanan yang panas (nasi goreng yang
langsung dimasak begitu dipesan, bakso, soto, dan sebagainya) serta hindari makanan pelengkap
seperti aneka sambal atau acar. Sayuran harus diberikan dalam bentuk matang, bukan mentah
(lalap), untuk menghindari masuknya kuman ke dalam tubuh.
Cara lain untuk menyiasati nafsu makan yang rendah atau mual adalah dengan menerapkan
prinsip small-frequent feeding. Artinya jadwal makan pasien diberikan dalam 5 sampai 6 kali,
tapi dalam porsi yang lebih kecil. Cara ini, meski mungkin sedikit merepotkan, juga mestinya
bisa diterapkan di rumah sakit.

Karena odha seringkali mengalami defisiensi mikronutrien seperti vitamin B12, asam folat,
tiamin, seng, selenium, kalsium, magnesium, serta vitamin yang larut dalam lemak, terutama
vitamin A dan D, maka dapat diberikan suplemen untuk mengatasi kekurangan zat gizi yang
terjadi.
Sebagai penutup, olahraga aman dilakukan oleh odha dan banyak manfaatnya. Latihan beban
merupakan metode yang dapat secara langsung meningkatkan massa otot. Untuk odha yang
mengalami wasting syndrome, olahraga dapat meningkatkan massa tubuh dan berat badan secara
keseluruhan jika dikombinasikan dengan asupan makanan yang adekuat.

Pustaka:
Wanke CA, Silva M, Knox T, et al. “Weight loss and wasting remain common complications in
individuals infected with Human Immunodeficiency Virus in the era of highly active
antiretroviral therapy.” Clin Infect Dis, 2000; 31:803-5.
Abby H, Shevitz, Knox TA. “Nutrition in the era of highly active antiretroviral therapy.” Clin
Infect Dis 2001;321:1769-75.
(zubairidjoerban.org)
IABETES MELLITUS
 Artikel  08 Feb 2019  1218

   

Pengaturan    makan    (diet)    merupakan    komponen    utama  keberhasilan 


pengelolaan  Diabetes  Mellitus,  akan  tetapi  mempunyai  kendala    yang   
sangat    besar    yaitu    kepatuhan    seseorang    untuk  menjalaninya.   Prinsip  
pengaturan   makan   pada   penderita   diabetes  hampir  sama  dengan  anjuran 
makan  untuk  orang  sehat  masyarakat  umum, yaitu makanan yang beragam
bergizi dan berimbang atau lebih dikenal   dengan   gizi   seimbang   maksudnya  
adalah   sesuai   dengan kebutuhan  kalori  dan  zat  gizi  masing-masing  individu. 
Hal  yang sangat penting ditekankan adalah pola makan  yang disiplin dalam hal
jadwal makan, jenis dan jumlah makanan atau terkenal dengan istilah 3  J.
Pengaturan  porsi  makanan  sedemikian  rupa  sehingga  asupan  zat gizi 
tersebar  sepanjang  hari. Hal-hal  yang  penting  harus  diperhatikan dalam
perencanaan makan adalah kebutuhan kalori ditentukan berdasarkan   umur,  
jenis   kelamin,   berat   badan,   aktifitas   fisik, kehamilan atau menyusui.
Konsensus  pengelolaan  dan  pencegahan  DM  di   Indonesia menetapkan empat
pilar utama dalam pengelolaan DM, yaitu edukasi, terapi nutrisi medis (diet),
latihan jasmani dan intervensi farmakologi. tetapi yang akan dilakukan dalam
pencegahan ini adalah terapi nutrisi medis (diet). Terapi  Nutrisi  Medis 
(TNM)/diet  merupakan  hal  yang  sangat penting  dalam  mencegah  DM, 
mengelola  DM  jika  sudah  terjadi,  dan mencegah   atau   setidaknya  
memperlambat   tingkat   perkembangan komplikasi DM (ADA, 2008).  Perkeni
(2011) juga menjelaskan bahwa penatalaksanan diet pada penderita DM tipe 2
merupakan bagian dari penatalaksanaan  DM  tipe  2  secara  total. 
Penatalaksanaan  diet  ini ditekankan  pada  keteraturan  dalam  hal  jumlah 
energi,  jenis  makanan dan  jadwal  makan.  Tjokopurwo  (dikutip  dalam 
Suprihatin,  2012) mengatakan bahwa diet diabetes mellitus adalah pengaturan
makanan yang  diberikan  kepada  penderita  DM  dimana  diet  yang  dilakukan
harus  tepat  jumlah  energi  yang  dikonsumsi  dalam  satu  hari,  tepat jadwal
sesuai 3 kali makan utama dan 3 kali makanan selingan dengan interval waktu 3
jam antara makan utama dan makanan selingan serta tepat  jenis  yaitu 
menghindari  makanan   yang  tinggi  kalori.
Dalam membuat susunan menu pada perencanaan   makan,  seorang ahli gizi
tentu akan  mengusahakan mendekati kebiasaan  makan  sehari-hari, sederhana,
bervariasi dan mudah dilaksanakan, seimbang, dan  sesuai  kebutuhan, namun
pada dasarnya hampir semua jenis makanan sebagai penyebab diabetes mellitus.
Makanan  yang  harus  dihindari adalah makanan manis yang termasuk pantangan
buah   golongan A seperti sawo, jeruk, nanas, rambutan, durian, nangka   dan
anggur. Jenis  dianjurkan adalah makanan   manis   termasuk   buah golongan   B  
yaitu   pepaya,   kedondong, salak, pisang (kecuali pisang raja, pisang emas,
pisang  tanduk),  apel,  tomat, semangka (Tjokroprawiro, 2006). Tujuan diet pada
pasien dengan diabetes mellitus adalah membantu pasien memperbaiki
kebiasaan  makan  dan  olahraga untuk mendapatkan kontrol metabolik yang
lebih baik (Almatsier, 2010).

umlah kalori ditentukan menurut umur, jenis kelamin, berat badan, tinggi badan
dan aktivitasBatasi penggunaan karbohidrat kompleks seperti : Nasi, lontong, roti,
ketan, jagung, kentang, dll.
Dikurangi jumlahnya dari kebiasaan sehari-hari
Hindari penggunaan sumber karbohidrat sederhana / mudah diserap seperti gula
pasir, gula jawa, sirup, selai, manisan, buah-buahan, susu kental manis, minuman
botol ringan, dodol, es krim, kue-kue manis, bolu, tarcis, abon, dendeng, dan
sarden
Diet pada Penyakit Jantung Koroner
 Batasi penggunaan garam bila ada tekanan darah tinggi (hipertensi)
 Bagi yang terlalu gemuk, jumlah makanan pokok sebagai sumber hidrat
arang dikurangi, contoh sumber hidrat arang : beras, roti, mie, kentang, bihun,
biskuit, tepung-tepungan, gula dan sebagainya
 Bahan makanan yang berlemak sebaiknya dibatasi. Pilihlah daging tampak
lemak atau ikan segar, ayam dll
 Hindari sayuran yang mengandung gas, kol, lobak, nangka muda

PENATALAKSANAAN DIET JANTUNG


Oleh: Instalasi Gizi RSUP Persahabatan
 
Pola konsumsi makanan yang terdiri dari makanan tinggi lemak terutama lemak jenuh atau
lemak trans dapat menyebabkan penyumbatan dan penyempitan pembuluh darah oleh
penumpukan zat-zat lemak.
Penatalaksanaan diet diberikan bertujuan untuk pengobatan/terapi diet dengan memberikan
makanan secukupnya tanpa memberatkan kerja jantung, menurunkan berat badan pada
penderita kegemukan, mencegah/menghilangkan penimbunan garam/air, menurunkan kadar
kolesterol LDL dan kadar kolesterol total, mengubah jenis dan asupan lemak makanan,
menurunkan asupan kolesterol, meningkatkan asupan karbohidrat kompleks dan menurunkan
asupan karbohidrat sederhana.
 
Syarat diet jantung :
1. Energi cukup , untuk mencapai dan mempertahankan berat badan normal
2. Protein cukup 0,8 g/kg BB
3. Lemak sedang 25-30% dari kebutuhan energi total, 10% berasal dari lemak jenuh dan
10-15% lemak tidak jenuh.
4. Kolesterol rendah
Kolesterol < 300 mg (diet dislipidemia tahap I)
Kolesterol < 200 mg (diet dislipidemia tahap II)
5. Vitamin dan mineral cukup, hindari penggunaan suplemen kalsium, kalium dan
magnesium jika dibutuhkan.
6. Garam rendah 2-3 g/hari jika disertai hipertensi atau edema
7. Makanan mudah cerna dan tidak menimbulkan gas
8. Serat cukup untuk menghindari kesulitan buang air besar (konstipasi)
9. Cairan cukup sesuai dengan kebutuhan atau anjuran.
10. Bentuk makanan disesuaikan dengan keadaan penyakit, diberikan porsi kecil.
11. Bila kebutuhan gizi tidak dapat dipenuhi melalui makanan dapat diberikan tambahan
berupa makanan enteral, parenteral atau suplemen gizi.
Bahan makanan yang dianjurkan :
Makanan pokok :  Nasi, roti, kentang, pasta,mie, tepung-tepungan
Lauk hewani       :  Ikan, ayam tanpa kulit, susu rendah lemak, putih telur
Lauk nabati        :  Kacang hijau, kacang kedelai dan hasil olahannya seperti tahu, tempe
Sayuran         : Sayuran yang tidak mengandung gas seperti buncis,
kacang panjang,   labu siam, wortel, tomat, toge, ketimun, oyong
Buah buahan   : Buah buahan segar seperti pisang, apel, papaya,
jeruk, melon, semangka, alpukat.
Lemak                     :  Minyak yang mengandung lemak tak jenuh
seperti, minyak jagung, minyak kedelai, minyak zaitun
Minuman                :  Teh encer, sirup, youghurt
Bumbu dan lain2     :  Semua bumbu segar, gula pasir, madu
Makanan yang dibatasi :
Makanan pokok  :  Bolu, roti manis, Biskuit
Lauk hewani       :   Daging tanpa lemak, kuning telur.
Lauk nabati        :    Kacang merah, kacang tanah, kacang mede
Sayuran                 :  Asparagus, bayam, bit
Lemak                  :  Minyak kelapa, santan encer
      Minuman             :  Coklat
      Bumbu                 :  Di batasi cabe, lada,
 
 
Makanan yang di hindari :
Makanan pokok  : Kue yang mengandung lemak tinggi (cake, pastry),
ketan, mie instan, bahan makanan yang mengandung gas atau alkohol
seperti ubi, singkong, tape.
Lauk hewani      : Daging berlemak, ayam dengan kulit, sosis, ham, limpa,
babat, otak, udang, cumi, kerang keju, susu full cream
Sayuran                 :  Sayuran yang bergas kol, sawi, nangka muda,
lobak.
Buah                  :  Buah yang menimbulkan gas seperti nangka, durian,
nanas
Lemak               :  Mentega, santan kental
Minuman          :  Teh kental, yang mengandung soda dan minuman
beralkohol
Bumbu            :  Bumbu olahan yang mengandung natrium seperti
penyedap, kaldu instan.
 
         Konsumsi makanan sesuai tujuan dan syarat diet jantung dengan makanan bergizi dan
seimbang, dimana konsumsi sayur dan buah sangat diperlukan untuk memenuhi kebutuhan
vitamin dan mineral. Serat berperan penting dalam menurunkan berat badan, mengatur
pertumbuhan, pemeliharaaan dan pengganti sel-sel tubuh.
 
        Batasi makanan yang berkuah dan minumlah sesuai kebutuhan serta memasak
makanan sebaiknya dengan cara di tim, di kukus, di pepes, di rebus dan dipanggang.

Diet untuk Penderita Gagal Ginjal


Diet adalah pengaturan pola makan dan menu makanan. Diet bagi penderita ginjal bertujuan
untuk menyeimbangkan kadar elektrolit, mineral, dan cairan di dalam tubuh agar
meringankan beban kerja ginjal yang telah mengalami kerusakan dan penurunan fungsi.
Penderita gagal ginjal membutuhkan pengaturan makan khusus, karena organ ginjalnya tidak
lagi bisa mengeluarkan zat-zat sisa dan racun dari dalam tubuh. Pengaturan diet  gagal ginjal
biasanya akan dilakukan oleh dokter spesialis gizi. Tujuan diet ini adalah agar ginjal tidak
semakin rusak dan tidak terjadi komplikasi akibat gagal ginjal, misalnya penyakit jantung
atau edema paru.

Nutrisi yang Perlu Dibatasi dalam Diet Gagal Ginjal


Dalam diet gagal ginjal, ada beberapa nutrisi yang perlu dibatasi asupannya karena ginjal
tidak mampu lagi membuang kelebihan nutrisi tersebut. Beberapa nutrisi yang perlu dibatasi
adalah:

1. Protein
Pada penderita gagal ginjal, konsumsi makanan sumber protein dalam jumlah tinggi akan
memperberat kerja ginjalnya dan memperparah kerusakan ginjal.
Selain itu, sisa metabolisme protein yang seharusnya dapat dikeluarkan melalui urine tidak
bisa lagi disaring dan dibuang oleh ginjal. Oleh karena itu, pembatasan asupan protein perlu
dilakukan untuk mengurangi penumpukan zat ini di dalam darah.

2. Natrium
Natrium (sodium) banyak terkandung di dalam garam. Natrium dapat menahan cairan di
dalam tubuh dan meningkatkan tekanan darah. Pada penderita gagal ginjal, hal ini akan
membuat jantung dan paru-paru bekerja lebih keras. Diet rendah natrium penting untuk
mencegah pembengkakan organ tubuh akibat penumpukan cairan, tekanan darah tinggi, dan
gagal jantung.

3. Kalium
Normalnya, kalium dibutuhkan oleh tubuh untuk pergerakan otot dan menjaga irama
jantung. Sumber utama kalium antara lain bayam, buncis, apel, alpukat, pepaya, jeruk,
pisang, susu dan produk olahannya, serta jenis garam tertentu.
Namun, pada penderita gagal ginjal, konsumsi kalium yang terlalu banyak bisa berbahaya.
Ginjal yang rusak tidak lagi mampu menyeimbangkan kadar kalium di dalam darah, sehingga
menimbulkan kondisi yang disebut hiperkalemia (tingginya kadar kalium dalam darah).
Kondisi ini dapat menyebabkan kelemahan otot, gangguan irama jantung, atau bahkan
serangan jantung.

4. Fosfor dan kalsium


Ginjal yang sehat akan menyaring kelebihan fosfor dari dalam darah. Jika ginjal rusak, fungsi
tersebut tidak lagi berjalan dengan baik, sehingga bisa terjadi hiperfosfatemia (tingginya
kadar fosfor dalam darah).
Kadar fosfor yang tinggi dapat menyebabkan gatal-gatal dan menarik kalsium dari tulang,
sehingga tulang menjadi rapuh dan kalsium menumpuk di pembuluh darah, paru-paru, mata,
dan jantung.
Sedangkan penumpukan kalsium (hiperkalsemia) tidak hanya dapat menimbulkan nyeri dan
kelemahan otot, tapi juga sesak napas, detak jantung tidak beraturan, penurunan daya ingat,
dan kerusakan ginjal lebih lanjut.
Fosfor dan kalsium banyak terkandung di dalam:

 Daging ayam.
 Daging unggas.
 Daging ikan.
 Susu dan produk olahannya, seperti keju, krim, dan mentega.
 Kacang kedelai dan produk olahannya, seperti tahu, tempe, dan susu kacang.
 Sayuran, seperti brokoli, kol, bayam, dan okra.
 Minuman bersoda.

5. Cairan
Selain pengaturan menu makanan, pengaturan jumlah cairan juga sangat diperlukan pada
penderita gagal ginjal kronis stadium akhir, karena konsumsi cairan dalam jumlah normal
sekalipun dapat menyebabkan sesak napas akibat penumpukan cairan di paru-paru (edema
paru).
Batasan cairan dihitung berdasarkan kondisi penderita, jumlah urine yang keluar, dan
prosedur dialisis (cuci darah) yang digunakan. Cairan yang dimaksud bukan hanya air yang
diminum, tetapi juga air yang terdapat dalam masakan dan makanan/minuman beku apabila
dicairkan. Oleh karena itu, pada diet gagal ginjal, lebih disarankan makanan yang
dipanggang, ditumis, atau dikukus.
Mengikuti diet gagal ginjal memang bisa terasa berat. Meski begitu, pembatasan jenis
makanan tertentu sangat diperlukan untuk mengurangi penumpukan zat-zat sisa metabolisme
yang berpotensi menimbulkan komplikasi dan menyebabkan kerusakan ginjal lebih lanjut.
Ditulis oleh:
dr. Meristika Yuliana Dewi

Anda mungkin juga menyukai