Anda di halaman 1dari 18

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengaruh Infeksi HIV terhadap Nutrisi

Setiap orang yang telah terinfeksi HIV memiliki kebutuhan khusus terhadap

nutrisi baik sebelum menjalani terapi ataupun sedang menjalani terapi ARV.

Pemenuhan nutrisi yang adekuat akan membantu meningkatkan kekuatan sistem

kekebalan tubuh serta meningkatkan respon tubuhnya terhadap pengobatan serta

menurunkan progresifitas virus dalam tubuhnya (Tsehaye 2010; Yager et al.

2011). HIV dapat memberikan beberapa perubahan dalam beberapa hal seperti

dibawah ini.

a. Menurunkan Konsumsi Makanan

Terjadinya penurunan jumlah makanan yang dikonsumsi oleh seorang

yang terinfeksi HIV disebabkan karena rasa sakit pada mulut, faring,

esophagus, kelelahan, depresi, perubahan psikologis dan mental yang

dialaminya (Tsehaye 2010). Menurunnya intake nutrisi merupakan sebuah

proses metabolisme dimana terjadi penurunan selera makan seperti halnya

yang terjadi pada infeksi penyakit lainnya. Penurunan nafsu makan ini

merupakan hasil dari pro-inflammatory cytokines yang diproduksi selama

terjadi infeksi (Tsehaye 2010; Folasire et al. 2015).

Beberapa studi menyebutkan bahwa kejadian infeksi oportunistik (IO)

berkontribusi dalam terjadinya penurunan konsumsi makanan pada Odha

seperti TB, cryptoaporidium, candidiasis oesofagus, dan diare (Amadi et al.

2001; Tsehaye 2010). Hal lain yang dapat memperparah rendahnya konsumsi

1
makanan pada Odha adalah kemiskinan dan ketahanan pangan keluarga

(Joshua 2006).

b. Menurunnya Absorpsi Makanan

Terjadinya gangguan penyerapan makanan pada usus seorang yang

terinfeksi HIV dikarenakan terjadinya kerusakan pada sel-sel pada saluran

gastro-intestinal. Hal ini diperparah oleh beberapa infeksi oportunistik seperti

diare. Selain menurunkan absobsi nutrisi terutama karbohidrat dalam usus,

diare juga dapat menurunkan penyerapan viramin A, E dan zat besi (Tsehaye

2010). Menurunnya penyerapan dalam saluran pencernaan yang mengarah

pada malnutrisi merupakan hal yang sangat umum dialami oleh odha. Hal ini

terjadi karena rusaknya villi pada permukaan usus (Suttajit 2007; Tsehaye

2010).

c. Perubahan Metabolisme

Perubahan metabolisme tubuh pada seorang yang telah terinfeksi HIV

merupakan respon kekebalan tubuhnya terhadap virus tersebut. Saat terinfeksi

HIV, tubuh akan melepaskan citokines, jaringan otot akan rusak sehingga

menghasilkan asam amino untuk sintesa protein dan ensim (Tsehaye 2010).

Menurut WHO (2003) Odha yang asymptomatic akan mengalami peningkatan

kebutuhan terhadap energi sebanyak 10%, dan pada Odha yang symptomatic

akan mengalami peningkatan kebutuhan energi antara 20-30% untuk menjaga

kesehatannya, dibandingkan orang yang tidak terinfeksi HIV pada umur dan

jenis kelamin yang sama.

2
Perbaikan dalam hal status gizi pada Odha dapat memperkuat sistem

kekebalan tubuh sehingga dapat menurunkan kejadian infeksi opotunistik,

mencegah penurunan berat badan serta menghambat perkembangan penyakit.

Dengan demikian pasien yang berstatus HIV positif tidak berkembang menjadi

AIDS (Suttajit 2007; Serrano et al. 2010). Selain itu nutritional care and support

membantu Odha untuk mengatasi komplikasi yang berhubungan dengan HIV,

meningkatkan respon yang positif terhadap pengobatan, meningkatkan kualitas

hidup serta kepercayaan dirinya (Castleman et al. 2004). Dengan kata lain, Odha

yang memiliki status gizi yang baik memiliki sistem kekebalan tubuh yang baik

untuk menghambat replikasi HIV. Berikut ini merupakan gambar yang

memperlihatkan alur nutrisi yang adekuat dalam konteks HIV/AIDS berdasarkan

FANTA(2004).

Good Nutrition
Strengthening of the
(konsumsi makanan immune system
dan mikronutrien
(kemampuan untuk
yang cukup, berat melawan HIV dan
badan dan jaringan infeksi lainnya)
otot terpelihara.

Management of
HIV-related
Increased resistance
complications
to disease
(malabsorpsi,
(seperti diare, TB,
menurunnya nafsu
infeksi pernafasan)
makan dan
kehilangan BB

Gambar 2.1 Nutrisi yang Baik Dan Pertahanan Terhadap Infeksi.

3
Perubahan status gizi pada pasien HIV/AIDS dapat dinilai dengan adanya

perubahan IMT selama menjalani pengobatan. IMT sering juga disebut Quetele’s

index merupakan cara yang paling lazim digunakan untuk menentukan rasio berat

dengan tinggi badan pada orang dewasa. Penggunaan IMT dalam mengukur

komposisi tubuh sangat luas digunakan oleh para klinisi untuk mengukur status

gizi seseorang (Tsehaye 2010). Hal ini dikarenakan untuk dapat mengukur status

gizi seseorang tidak perlu menggunakan alat ataupun teknologi yang mahal

(Supariasa et al 2010). Pengukuran dengan IMT digunakan secara luas untuk

menentukan status obesitas seseorang (Wanke et al 2002). Pengukuran

antopometri dengan menggunakan IMT dikatakan sebagai pengukuran yang

objektif karena menggunakan standar yang telah ditetapkan (Folasire et al. 2015).

Walaupun sebenarnya IMT tidak dapat membedakan antara masa lemak dengan

masa otot. Seperti halnya yang terjadi pada binaragawan dan orang yang obesitas

mereka bisa saja memiliki IMT yang sama. WHO mengklasifikasikan rentang

IMT dalam beberapa kategori yaitu underweight/kurus (IMT<18,5 kg/m2),

overweight/gemuk (IMT ≥ 25kg/m2), dan obase/obes (IMT ≥ 30 kg/m2). Rumus

untuk mendapatkan IMT adalah sebagai berikut.

Berat Badan(kg)
IMT =
Tinggi Badan ( )

Setiap pasien HIV/AIDS yang telah dikatagorikan IMT berdasarkan data

berat badan dan tinggi badan akan dikaji lebih lanjut mengenai asupan makanan

dan minumnya, adanya kehilangan berat badan, efek samping obat yang

dikonsumsi serta pengetahuannya terhadap gizi selama mengidap HIV/AIDS

(Kemenkes RI, 2010). Berdasarkan hal diatas maka dibuatkanlah perskripsi gizi

4
yang sesuai dengan keadaan pasien tersebut. Penentuan kebutuhan gizi pada Odha

juga didasarkan pada stadium klinis pasien saat itu (Kemenkes RI, 2010). Berikut

adalah tabel kebutuhan gizi pada Odha berdasarkan stadium klinisnya

Tabel 2.1 Kebutuhan Gizi Pada Odha Berdasarkan Stadium Klinis

Stadium Klinis Kebutuhan Nutrisi


Stadium 1 Kebutuhan energi mengikuti kebutuhan normal dengan
memperhatikan gizi seimbang
Stadium 2 Kebutuhan energi meningkat 10% dari kebutuhan
normal
Stadium 3 dan 4 Kebutuhan energi meningkat 20%-30% dari kebutuhan
normal
Sumber: Pedomen Pelayanan Gizi Bagi Odha Tahun 2010

2.2. Terapi ARV terhadap Peningkatan Status Gizi

ARV merupakan pengobatan yang dapat menekan perkembangan HIV dalam

tubuh, terdiri dari kombinasi dari minimal tiga obat yang berbeda, sering juga

disebut antiretroviral therapy (ART) atau HAART. Kombinasi ini terdiri dari

protease inhibitor (PI) atau non nucleoside analogue reverse transcriptase

inhibitor (NNRTI) dan nucleoside analogue reverse transcriptase inhibitors

(NRTI) dapat meningkatkan prognosis dari pasien yang telah terinfeksi HIV

(Egger et al. 2002). Terapi ini dapat menekan replikasi HIV namun harus

dikonsumsi secara teratur sesuai dengan waktu yang ditentukan selama seumur

hidup. Seorang yang telah didiagnosa terinfeksi HIV dapat memulai terapinya

dengan regimen lini satu.

Penggunaan terapi ARV di Indonesia menunjukkan perkembangan yang baik.

Kini semakin banyak orang yang terdeteksi HIV Positif telah mau menjalani

5
terapi ARV. Menurut Kemenkes RI (2014) dari 105.363 orang yang terdeteksi

positif HIV, sebanyak 81.518 orang (77,4%) telah menjalani terapi. Peningkatan

jumlah orang terinfeksi HIV yang mau mengikuti pengobatan ARV merupakan

suatu keberhasilan dalam program konseling bagi pengidap HIV yang belum

mengikuti terapi ini.

Peningkatan jumlah pasien yang menjalani terapi ARV tentunya harus

dibarengi dengan adanya monitoring terhadap keberhasilan terapi. Pada enam

bulan sejak dimulainya terapi, diharapkan ada perkembangan klinis dan imunologi

kearah yang lebih baik, namun tidak menutup kemungkinan adanya proses

toksisitas obat. Sehingga masa enam bulan pertama merupakan masa yang kritis

untuk memantau outcome terapi ini (Zulu et al. 2006).

Sejak ditemukan ARV pada tahun 1996 prognosis pengidap HIV/AIDS

mengalami perbaikan (Jansel dan fangel, 2004). Tujuan akhir dari pemberian

terapi ARV adalah adanya peningkatan status gizi dan kualitas hidup pasien

(Folasire et al. 2015; Boodram & Plankey 2009). Prognosis ini terlihat dengan

menurunnya morbiditas dan mortalitas serta meningkatnya surrogate marker

berupa CD4 dan peningkatan berat badan atau status gizi (Yasin 2011). Perbaikan

status gizi pada Odha, dinyatakan memiliki hubungan dengan pemakaian terapi

ARV dan pola makannya (Tsehaye 2010; Vorster & Kruger 2004). Hal ini

dikarenakan oleh kombinasi dari beberapa ARV bekerja lebih baik dalam

menekan perkembangan virus HIV sehingga hasil akhirnya adalah adanya

peningkatan kualitas hidup pada Odha (Tate et al. 2012). Ketika

manajemen/penanganan terhadap terhadap HIV semakin meningkat dalam hal

6
pengobatan dan konseling gizi, diharapkan setiap pasien dapat memperbaiki pola

makannya menjadi lebih berkualitas dari pada hanya sekedar memenuhi kuantitas

makannya saja (Wanke 2008).

Menurut penelitian yang dilakukan di Rumah Sakit Dr Soetomo Surabaya

yang melihat hubungan antara peningkatan IMT dan CD4, mendapatkan rerata

IMT pada awal pengamatan sebesar 19,46; setelah pengamatan enam bulan, 12

dan 18 bulan, rerata IMT mengalami peningkatan menjadi 20,84; 21,54; 22,26

(Fitriani et al 2013). Penelitian lain yang dilakukan di salah satu rumah sakit

pendidikan di Yogyakarta didapatkan bahwa 72,72% responden mengalami

peningkatan berat badan pada enam bulan pertama bahkan 41% diantaranya

mengalami peningkatan sebanyak 10% dari berat badan sebelumnya (Yasin

2011).

2.3. Prediktor Peningkatan Status Gizi pada Pasien HIV/AIDS

Berikut ini diuraikan beberapa prediktor dari peningkatan IMT pada Odha

yang telah menjalani terapi berdasarkan penelusuran literatur yang telah

dilakukan.

2.3.1.Faktor Konsumsi Makanan pada Pasien HIV/AIDS

Pemenuhan nutrisi dalam jumlah dan kualitas yang cukup sangat berperan

dalam peningkatan status gizi pasien HIV/AIDS yang sedang menjalani terapi

maupun yang belum memulai terapinya. Dalam rangka menjaga status gizi tetap

baik seorang pasien HIV/AIDS memerlukan asupan nutrisi dengan jumlah yang

cukup dari beberapa sumber yang bervariasi untuk memenuhi kebutuhan

karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineran dan mikronutrient (FANTA 2004).

7
Variasi dalam hal konsumsi bahan makanan merupakan salah satu indikator

kecukupan nutrisi. Rendahnya variasi makanan diasosiasikan dengan defisiensi

nutrient tertentu didalam tubuhnya (Nontobeko et al. 2008). Variasi makanan

dalam hal ini berarti makanan yang dikonsumsi lebih dari satu jenis makanan

karena tubuh kita memerlukan makanan dalam jumlah yang cukup dan dengan

kombinasi yang beragam (Tsehaye 2010). Dalam program pengobatan ARV,

pasien HIV/AIDS tidak hanya mendapatkan terapi ARV saja melainkan

mendapatkan konseling tentang bagaimana mengatur gizi selama menjalani

terapinya (Tsehaye 2010). Pengaturan gizi yang baik selama menjalani terapi akan

menjadikannya lebih sehat dan hasil akhirnya adalah adanya peningkatan status

gizi yang dapat dilihat dari kenaikan IMT.

Dalam hasil studi yang dilakukan oleh Bukusuba et al. (2007) tentang

ketahanan pangan pada Odha di Uganda didapatkan bahwa sebagian besar dari

mereka mengkonsumsi makanan dengan variasi yang kurang dimana menu harian

mereka didominasi oleh satu jenis makanan saja yaitu sereal. Studi lain yang

dilakukan di Afrika selatanpun menemukan hal yang serupa dimana Odha

cenderung menkonsumsi makanan yang kurang bervariasi dibandingkan orang

yang tidak mengidap HIV/AIDS (Nontobeko et al. 2008). Konsumsi makanan

yang berimbang akan memperbaiki keadaan defisiensi terhadap nutrient tertentu,

memenuhi kebutuhan terhadap energi, meningkatkan berat badan dan memastikan

tubuh dapat berfungsi dengan baik (Tsehaye 2010).

2.3.2.Faktor Sosioekonomi Dan Demografi

1. Jenis Kelamin

8
Dalam sebuah penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan

dengan kejadian obes dan underweight pada Odha di Brasil didapatkan jenis

kelamin perempuan berhubungan secara signifikan dengan kejadian overweight

(OR1,45; 95%CI=119-1,76; p<0,001) (Mariz, 2011). Penelitian lain yang

dilakukan di Kampala Uganda didapatkan bahwa ada perbedaan peningkatan IMT

yang signifikan pada kelompok pria dengan perempuan (Tsehaye 2010). Hal ini

disebabkan karena secara alamiah, perempuan memiliki lemak yang lebih banyak

dibandingkan dengan kelompok laki-laki bahkan dalam keadaan yang tidak

normal (sakit) sekalipun (Tsehaye 2010). Selain itu perempuan lebih banyak

menjalani tes karena mengikuti program PMTCT dan sekaligus menjalani terapi

ARV (Ayele et al. 2015.,Leite et al. 2010) .

2. Umur

Faktor umur diasosiasikan dengan terjadinya obesitas dimana pada Odha

yang memiliki umur lebih dari 40 tahun lebih sering mengalami perubahan dalam

distribusi lemak, melambatnya metabolisme tubuh dibandingkan dengan

kelompok umur yang lebih muda. Melambatnya proses metabolisme dan tidak ada

lagi pertumbuhan tinggi badan secara langsung akan memperlihatkan adanya

peningkatan IMT. Menurut Mariz (2011) didapatkan Odha yang berumur diatas

40 tahun berhubungan signifikan terhadap terjadinya obesitas (OR=1,27;95% CI=

1,05-1,54; p < 0,005)

3. Status Pendidikan

9
Tingkat pendidikan seseorang berpengaruh terhadap besarnya stresor

sehingga akan menentukan kemampuannya dalam menghadapi segala bentuk

perubahan yang diterimanya (coping mechanism) (Nursalam 2008). Semakin

tinggi pendidikan seseorang akan memudahkan dalam menerima informasi baru

yang terkait dengan penanganan HIV/AIDS. Penerimaan yang baik terhadap

informasi baru akan meningkatkan pengetahuan dan perubahan perilaku

kesehatan. Salah satu perubahan perilaku yang diharapkan adalah perubahan pola

makan untuk dapat meningkatkan status gizi selama menjalani terapi. Menurut

Mariz (2011) didapatkan faktor pendidikan tidak berhubungan dengan IMT pada

pasien HIV positif. Sedangkan menurut Tiyou et al. (2012) yang melakukan

penelitian di Etiopia didapatkan bahwa Odha yang hanya memilik pendidikan

dasar atau lebih rendah, memilik risiko 3,1 kali lebih tinggi untuk mengalami food

insecurity (kekurangan makanan) (OR=3,10; 95% CI=1,68-5,71). Pada penelitian

yang dilakukan di RSUP Dr Kariadi Semarang didapatkan tidak ada hubungan

antara pengetahuan dengan status gizi pasien HIV/AIDS (r=0,22; p=0,261)

(Kartikasari 2009)

4. Pekerjaan dan Pendapatan

Rendahnya pendapatan merupakan latar belakang terjadinya kemiskinan

dalam keluarga. Kondisi menyandang status HIV positif pada seseorang akan

menyebabkan dirinya mengalami ketidaknyamanan di tempat kerja (Tsehaye

2010) . Seseorang yang telah mengidap HIV tanpa menjalani pengobatan akan

mengalami penurunan kinerja mengingat rendahnya sistem imun yang

menyebabkan dirinya sering terserang penyakit. Keadaan lain yang dapat terjadi

10
adalah diskriminasi dalam lingkungan kerjanya. Kedua hal ini dapat menyebabkan

terpuruknya tingkat ekonomi keluarga yang menyebabkan menurunkan daya beli

keluarga terhadap makanan yang bernutrisi tinggi. Tentunya hal ini dapat

menyebabkan turunnya status gizi.

Di sisi lain Odha memiliki kebutuhan nutrisi yang lebih tinggi dibandingkan

dengan orang yang tidak terinfeksi HIV. Orang yang terinfeksi HIV harus

meningkatkan jumlah dan kualitas makanannya guna memenuhi peningkatan

kebutuhan nutrisi. Asupan ini berupa makanan yang tinggi energi dan protein

termasuk buah dan sayuran. Peningkatan jumlah dan frekuensi makan ini

bertujuan untuk memenuhi kebutuhannya terhadap energi (Weiser et al. 2014).

Menurut Tsehaye (2010) yang meneliti perubahan komposisi tubuh dan pola diet

pada Odha, menemukan justru dengan adanya stigma yang berhubungan dengan

status HIV positif dan memiliki badan yang terlalu kurus, Odha akan memiliki

keinginan untuk meningkatkan berat badan sampai mencapai berat badan normal

untuk menghindari stigma tersebut.

Menurut Tiyou et al. (2012) menyebutkan bahwa keluarga yang memiliki

pendapatan rata-rata ≤ 100 USD memiliki risiko 13,1 kali untuk mengalami food

insecurity (OR= 13,1; 95%CI= 4,29-40,0), dan orang yang mengkonsumsi

makanan yang kurang beragam memiliki risiko 2,18 kali untuk mengalami food

insecurity (OR= 2,8; 95% CI= 1,21-3,99)

5. Tempat Tinggal

11
Seseorang yang tinggal di daerah perkotaan akan mendapatkan informasi

tentang tempat untuk VCT yang dapat diakses dengan mudah dan cepat.

mudahnya mendapatkan akses VCT akan mempercepat dilakukannya pengobatan

terhadap penyakitnya (Ayele et al. 2015; Chu & Selwyn 2011). Akses yang

mudah untuk mendapatkan layanan informasi pemenuhan gizi dan terapi akan

meningkatkan status gizi serta respon imun pasien selama pengobatan. Menurut

Mariz et al. (2011) mendapatkan bahwa tidak ada hubungan yang signifikan

antara tempat tinggal dengan kejadian obesitas maupun underweight pada Odha di

Brasil.

6. Waktu Tunggu Pengobatan ARV

Diagnosa dan pengobatan lebih dini pada pasien HIV/AIDS dapat

menurunkan angka kematian, meningkatakan angka harapan hidup, dan

menurunkan angka infeksi baru (Kemenkes RI 2011b). Dengan adanya

pengobatan ARV lebih awal diharapkan peningkatan status gizi dan kualitas hidup

pasien HIV/AIDS dapat meningkat pula.

7. Waktu Saat Memulai Pengobatan ARV

Berdasarkan pedoman terapi antiretroviral tahun 2011 merekomendasikan

pemberian ARV pada pasien yang memiliki kadar CD4 ≤ 350 sel/mm 3 tanpa

melihat ada ataupun tidaknya gejala klinis pada pasien sedangkan Odha dengan

gejala klinis yang berat (Stadium klinis 3 atau 4) berapapun jumlah CD4 nya

dapat memulai terapi (Kemenkes RI 2011b). Kemudian mulai tahun 2013

Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan kebijakan test and treat untuk setiap

pasien baru yang terdiagnosa HIV .

12
2.3.3.Faktor Klinis

1. Kadar Hemoglobin

Anemia adalah komplikasi yang sering terjadi pada Odha dimana sekitar

20%-80% dari mereka mengalami anemia (Balperio & Rhew 2004). Anemia

merupakan kelainan hematologi yang biasanya ditemukan, serta memiliki dampak

yang signifikan pada hasil klinis dan kualitas hidup. Kejadian anemia pada Odha

berhubungan dengan rendahnya konsumsi mikronutrien, gangguan pada produksi

eritropoitin dan kehilangan darah melalui gastrointestinal (Ayele et al. 2015).

Kadar hemoglobin secara signifikan lebih rendah pada orang yang terinfeksi HIV

dibandingkan pada orang yang tidak yang terinfeksi HIV (Vorster & Kruger

2004). Anemia secara independen berhubungan dengan progresifitas penyakit dan

penurunan survival (Russel et al 2010). Menurut Mariz (2011) anemia

berhubungan secara signifikan terhadap kejadian underweight (OR=1,82; 95%CI=

1,33-2,50; p<0,001)

Infeksi HIV dapat menimbulkan anemia melalui beberapa mekanisme antara

lain peningkatan produksi sitokinin yang mempengaruhi eritropoesis (Salome et

al 2002, Koka et al 2004, Constantini et al 2009) serta destruksi eritrosis oleh

mekanisme autoimun (Wasif, 2001). Dengan memberikan terapi pada pasien serta

asupan nutrisi yang cukup akan memberikan pengaruh terhadap peningkatan

hemoglobin serta peningkatan status imun yang dapat meningkatkan kualitas

hidup pasien. Dengan demikian intervensi untuk mencegah terjadinya anemia dan

atau memperbaiki kondisi anemia akan meningkatkan status kesehatan termasuk

meningkatkan status gizi yang dapat diukur dengan IMT.

13
2. Jumlah CD4

Jumlah CD4 dalam darah pasien dipakai sebagai gold standart dalam

menentukan inisiasi terapi ARV. Rendahnya jumlah CD4 dihubungankan dengan

replikasi virus dan rendahnya respon imun dalam tubuhnya. Seiring dengan

dilakukannya terapi dapat memperbaiki kondisi imun yang secara langsung akan

meningkatkan status gizi pasien. Menurut Forrester et al (2001) peningkatan CD4

berhubungan dengan peningkatan IMT pasien, demikian juga hasil penelitian

yang dilakukan di Brasil mendapatkan peningkatan berat badan pada pasien HIV

berhubungan erat dengan CD4 (Leite et al. 2010). Menurut Yasin (2011) CD4

berhubungan dengan peningkatan berat badan, walaupun hanya mendapatkan

korelasi yang lemah dengan r= 0,284 dan nilai p=0,031. Sedangkan oleh Mariz

(2011), jumlah CD4 <200 sel/mm3 berhubungan secara signifikan dengan

underweight (OR=2,53; 95%CI=1,78-3,59; p< 0,001). Hal yang berbeda

dikemukakan oleh Fitriani (2013) yang melakukan penelitian di Rumah Sakit Dr

Soetomo Surabaya mendapatkan peningkatan CD4 pada bulan ke 6, 12 dan 24

tidak berhubungan dengan peningkatan IMT pasien pada bulan pengamatan

tersebut.

3. Kadar Albumin Dalam Darah

Rendahnya serum albumin digunakan sebagai indikator kejadian malnutrisi

pada saat menilai status gizi saat inisiasi terapi ARV. Penurunan kadar albumin

pada Odha dapat terjadi karena peningkatan sitokin inflamasi yang menghambat

sintesa protein dan kurang adekuatnya intake nutrisi. Menurut Mariz (2011) Odha

14
yang memiliki kadar serum albumin < 3,5 g/dL berhubungan secara signifikan

dengan kejadian underweight (OR 3,14; 95% CI 1,78-5,26; p< 0,001)

4. Infeksi Oportunistik (IO)

Seorang yang mengidap HIV akan mengalami penurunan kekebalan tubuh

yang drastis sehingga sangat mudah menderita satu atau bahkan beberapa infeksi

oportunistik sekaligus. Beberapa studi menyebutkan bahwa kejadian IO

berkontribusi dalam terjadinya penurunan konsumsi makanan pada Odha seperti

TB, cryptoaporidium, candidiasis oesofagus, dan diare (Amadi et al. 2001;

Vorster & Kruger 2004; Tsehaye 2010). Selain terjadi penurunan intake nutrisi,

IO juga dikaitkan dengan kejadian rusaknya villi pada gastro-intestinal yang

menyebabkan terjadinya penurunan penyerapan nutrisi baik mikro maupun

makronutrient dalam usus seperti yang terjadi pada penderita diare (Tsehaye

2010). Hal serupa juga dikemukakan oleh (Nasronudin 2007) dimana seorang

yang terinfeksi HIV dan menderita IO yang berupa tuberkulosis, pneumonia,

diare, dermatitis, herpes simplek, herpes zoster, meningitis, dan sepsis akan

mengalami penurunan stasus gizi.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Mariz et al. (2011) pasien yang

menderita IO sejak tiga bulan terakhir sebelum pengamatan, berhubungan secara

signifikan terhadap kejadian underweight (OR=1,77; 95% CI=1,28-2,45;

p<0,001). Sedangkan merurut penelitian yang dilakukan pada pasien HIV/AIDS

balita yang berada di Kota Padang didapatkan bahwa diare tidak berhubungan

dengan status gizi (p=0,72) (Rosari et al. 2013).

15
TB dan kandidiasis sebagai IO utama dimana kandidiasis 46,48%; TB

40,85% (Yasin et al. 2011). Kandidiasis adalah infeksi oportunistik yang sangat

umum pada orang terinfeksi HIV. Infeksi ini merupakan salah satu IO utama pada

pengidap HIV yang disebabkan oleh sejenis jamur yang umum, yang disebut

kandida. Jamur ini biasa menyebabkan infeksi pada mulut, esofagus dan vagina

namun yang berhubungan dengan peningkatan status gizi pasien HIV adalah

kandidiasis pada mulut dan esofagus. Penyakit ini dapat menyebabkan sakit

kerongkongan, sulit menelan, mual, dan hilang nafsu makan. Hal ini

menyebabkan menurunnya intake nutrisi pada pasien HIV/AIDS.

5. Status Gizi pada Saat Awal Pengobatan ARV

Status gizi pasien HIV/AIDS dapat dilihat dari IMT ataupun berat badan pada

saat memulai terapi ARV. Dalam sebuah penelitian dengan metode kohort

retrospektif di Brasil didapatkan 64,7% pasien dengan status underweight pada

awal pengamatan mencapai IMT normal pada akhir pengamatan (Leite et al.

2010). Pada penelitian lain dengan metode penelitian kohort prospektif yang

dilakukan pada 107 pasien HIV/AIDS yang baru memulai terapi di Nigeria

didapatkan 53,13% pasien yang memulai terapi dengan status underweight dapat

mencapai IMT normal (Denue et al. 2013). Selain itu hasil yang lebih rendah pula

didapatkan pada penelitian dengan design kohort retrospektif yang dilakukan pada

38 responden HIV/AIDS di RSUP Dr Soetomo Surabaya dimana didapatkan

sebesar 44,7% pasien mengalami peningkatan IMT pada bulan ke 12 (Fitriani et

al. 2013).

16
6. Stadium Klinis

Pasien yang terinfeksi HIV dengan stadium klinis III dan IV memiliki

kemungkinan untuk mengalami wasting sindrom pada 46% kasus. Wasting

sindrom ditandai dengan adanya penurunan berat badan yang melebihi 10%

disertai dengan adanya penurunan daya tahan tubuh secara umum dan

berkepanjangan. Pada penelitian dengan desain kroseksional yang dilakukan di

RSUP Dr Kariadi Semarang, didapatkan tidak ada hubungan antara stadium klinis

terhadap status gizi pasien HIV/AIDS (r=0,169; p= 0,391) (Kartikasari 2009).

7. Regimen Terapi ARV

Beberapa regimen obat ARV memiliki efek positif terhadap kejadian

peningkatan nafsu makan dan meningkatkan keinginan terhadap makanan tertentu

(Alliance 2007; Weiser et al. 2010). Hal ini terjadi pada awal terapi ARV dimana

tubuh mulai membangun sel dan jaringan sehingga memerlukan energi yang

didapat melalui asupan nutrisi. Selain efek yang bersifat positif ada beberapa

gejala seperti mual, hilangnya selera makan, ulserasi pada mulut, nyeri perut,

konstipasi, perut kembung, sakit kepala, diare, muntah merupakan keluhan yang

umum dirasakan pada awal terapi (FANTA, 2004; Hoffmann et al. 2013).

Masalah-masalah inilah yang mengarah pada menurunnya intake dan absorpsi

makanan yang menyebabkan terjadinya kehilangan berat badan. Berdasarkan studi

di USA didapatkan 30% dari ketidaknyamanan penggunaan ARV pada 90 hari

pertama adalah mual, muntah dan gangguan pencernaan lainnya (Chen et al,

2003). Menurut Leite et al. (2010) yang meneliti tentang kejadian

overweight/obesitas Odha di Brasil mendapatkan bahwa tidak ada hubungan

17
antara IMT dengan penggunaan regimen terapi ARV. Dibawah ini dijelaskan

beberapa regimen ARV serta efek samping yang dapat terjadi pada pengguna

terapi tersebut

Tabel 2.3 Regimen ARV dan Kemungkinan Efek Samping

Regimen ARV Efek Samping pada Nutrisi (diadaptasi dari FANTA, 2004)

Zidovudine mual, muntah, anoreksia, anemia, konstipasi, demam, sakit


kepala dan kelelahan
Lamivudine Mual, muntah, sakit kepala, pusing, diare, nyeri perut, dan
kelelahan
Stavudine Mual, muntah, diare, demam, kedinginan, anoreksia,
stomatitis, anemia dan sakit kepala
Efavirenz Pusing, anoreksia, mual, muntah, diare, nyeri perut, dan perut
kembung
Nevirapine Mual, muntah, demam, sakit kepala, kelelahan, stomatitis,
nyeri perut dan rasa kantuk

Sumber: National Antiretroviral treatment and care guidelines for adults and
children (MOH, 2003).

18

Anda mungkin juga menyukai