Anda di halaman 1dari 42

BUKU JAWABAN TUGAS MATA KULIAH

TUGAS 2

Nama Mahasiswa : Liansi

Nomor Induk Mahasiswa/ NIM : 022035184

Kode/Nama Mata Kuliah : ADPU4534/MANAJEMEN LOGISTIK ORGANISASI PUBLIK

Kode/Nama UPBJJ : 48/Palangkaraya

Masa Ujian : 2020/21.2(2021.1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


UNIVERSITAS TERBUKA
A. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 10 TAHUN 1961
TENTANG
PENDAFTARAN TANAH

perlu diadakan peraturan tentang pendaftaran tanah sebagai yang dimaksud dalam Undang-
undang Pokok Agraria (Undang-undang No. 5 Tahun 1960; Lembaran Negara 1960 Nomor 104 - Tambahan
Lembaran Negara No. 2043);

PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENDAFTARAN TANAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM.

Pasal 1
Pendaftaran tanah diselenggarakan oleh Jawatan Pendaftaran Tanah menurut ketentuan-
ketentuan dalam Peraturan Pemerintah ini dan mulai pada tanggal yang ditetapkan oleh Menteri Agraria
untuk masing-masing daerah.

Pasal 2

1) Pendaftaran tanah diselenggarakan desa demi desa atau daerah-daerah yang setingkat dengan
itu (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut: desa).

2) Menteri Agraria menetapkan saat mulai diselenggarakannya pendaftaran tanah secara lengkap di
sesuatu daerah.

BAB II
PENGUKURAN, PEMETAAN DAN PENYELENGGARAAN
TATA USAHA PENDAFTARAN TANAH
BAGIAN I: PENGUKURAN DAN PEMETAAN
Pasal 3

1) Dalam daerah-daerah yang ditunjuk menurut Pasal 2 ayat (2) semua bidang tanah diukur desa
demi desa.

2) Sebelum sebidang tanah diukur, terlebih dulu diadakan a.penyelidikan riwayat bidang tanah itu
dan b.penetapan batas-batasnya.
3) Pekerjaan yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini dijalankan oleh suatu panitia yang dibentuk oleh
Menteri Agraria atau penjabat yang ditunjuk olehnya dan yang terdiri atas seorang pegawai
Jawatan Pendaftaran Tanah sebagai ketua dan dua orang anggota Pemerintah Desa atau lebih
sebagai anggota (selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut Panitia). Jika Menteri
Agraria memandangnya perlu maka keanggotaan Panitia dapat ditambah dengan seorang
penjabat dari Jawatan Agraria, Pamong Praja dan Kepolisian Negara. Di dalam menjalankan
pekerjaan itu Panitia memperhatikan keterangan-keterangan yang diberikan oleh yang
berkepentingan.

4) Hasil penyelidikan riwayat dan penunjukan batas tanah yang bersangkutan ditulis dalam daftar-
isian yang bentuknya ditetapkan oleh Kepala Jawatan Pendaftaran Tanah dan ditanda tangani
oleh anggota-anggota Panitia serta oleh yang berkepentingan atau wakilnya.

5) Jika ada perselisihan tentang batas antara beberapa bidang tanah yang letaknya berbatasan atau
perselisihan tentang siapa yang berhak atas sesuatu bidang tanah, maka Panitia berusaha
menyelesaikan hal itu dengan yang berkepentingan secara damai.

6) Jika usaha tersebut di atas gagal, maka yang berkepentingan dalam perselisihan batas maupun
dalam perselisihan tentang siapa yang sesungguhnya berhak atas bidang tanah itu, dapat
mengajukan hal itu kemuka hakim. Tanah-tanah yang menjadi pokok perselisihan pada peta-peta
dan daftar-daftar yang dimaksud dalam Pasal 4 dan 7 dinyatakan dengan satu nomor pendaftaran
atau dicatat sebagai tanah sengketa sampai perselisihan itu diselesaikan.

7) Batas-batas dari sesuatu bidang tanah dinyatakan dengan tanda-tanda batas menurut ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri Agraria.

Pasal 4

1) Setelah pengukuran sesuatu desa sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3 selesai, maka dibuat peta-
peta pendaftaran yang memakai perbandingan.

2) Peta itu memperlihatkan dengan jelas segala macam hak atas tanah di dalam desa dengan batas-
batasnya, baik yang kelihatan maupun yang tidak.

3) Selain batas-batas tanah pada peta itu dimuat pula nomor pendaftaran, nomor buku tanah,
nomor surat-ukur, nomor pajak (jika mungkin), tanda batas dan sedapat-dapatnya juga gedung-
gedung, jalan-jalan, saluran air dan lain-lain benda tetap yang penting.

Pasal 5
Cara mengukur dan membuat peta-peta sebagai yang dimaksud dalam Pasal 3 dan 4 ditetapkan oleh
Menteri Agraria.

Pasal 6

1) Setelah pekerjaan yang dimaksud dalam Pasal 3 dan 4 selesai, maka semua peta dan daftar isian
yang bersangkutan ditempatkan di kantor Kepala Desa selama tiga bulan, untuk memberi
kesempatan kepada yang berkepentingan mengajukan keberatan-keberatan mengenai
penetapan batas-batas tanah dan isi daftar-daftar isian itu.
2) Mengenai keberatan yang diajukan dalam waktu yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini dan yang
oleh Panitia dianggap beralasan, diadakan perubahan dalam peta maupun daftar-isian yang
bersangkutan.

3) Setelah perubahan-perubahan yang dimaksud dalam ayat (2) di atas selesai dikerjakan atau jika
di dalam waktu tersebut dalam ayat (1) tidak diajukan keberatan maka peta-peta dan daftar-
daftar isian itu disahkan oleh Panitia dengan suatu berita acara, yang bentuknya ditetapkan oleh
Menteri Agraria.

BAGIAN II: PENYELENGGARAAN TATA-USAHA PENDAFTARAN TANAH


Pasal 7

Untuk menyelenggarakan tata-usaha pendaftaran tanah oleh Kantor Pendaftaran Tanah


diadakan:
a. daftar tanah
b. daftar nama
c. daftar buku-tanah
d. daftar surat-ukur.

Pasal 8
Bentuk daftar tanah dan daftar nama serta cara mengisinya ditetapkan oleh Menteri Agraria.

Pasal 9

1) Daftar buku-tanah terdiri atas kumpulan buku-tanah yang dijilid.

2) Bentuk buku-tanah serta cara mengisinya ditetapkan oleh Menteri Agraria.

Pasal 10

1) Untuk hak milik, hak guna-usaha, hak guna-bangunan dan tiap-tiap hak lainnya yang
pendaftarannya diwajibkan oleh sesuatu peraturan diadakan daftar buku-tanah tersendiri.

2) Satu buku-tanah hanya dipergunakan untuk mendaftar satu hak atas tanah.

3) Tiap-tiap buku-tanah yang telah dipergunakan untuk membukukan sesuatu hak dibubuhi tanda-
tangan Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dan cap Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan.

Pasal 11

1) Surat ukur pada dasarnya adalah kutipan dari peta- pendaftaran yang dimaksud dalam Pasal 4.

2) Bentuk surat-ukur serta cara mengisinya ditetapkan oleh Menteri Agraria, dengan ketentuan
bahwa surat-ukur itu selain memuat gambar tanah yang melukiskan batas tanah, tanda-tanda
batas, gedung-gedung, jalan-jalan, saluran air dan lain-lain benda yang penting harus memuat
pula:
a. nomor pendaftaran,

b. nomor dan tahun surat-ukur/buku tanah,

c. nomor pajak (jika mungkin),

d. uraian tentang letak tanah,

e. uraian tentang keadaan tanah,

f. luas tanah,

g. orang atau orang-orang yang menunjukkan batas-batasnya,

3) Setiap surat-ukur dibuat dalam rangkap-dua, yang satu diberikan kepada yang berhak sebagai
bagian dari sertipikat yang dimaksud dalam Pasal 13 ayat (3), sedang yang lain disimpan di Kantor
Pendaftaran Tanah. Semua surat-ukur yang disimpan itu tiap-tiap tahun dijilid dan merupakan
daftar surat-ukur.

BAB III
PENDAFTARAN HAK; PERALIHAN DAN PENGHAPUSANNYA
SERTA PENCATATAN BEBAN-BEBAN ATAS HAK
DALAM DAFTAR BUKU-TANAH
BAGIAN I: PEMBUKUAN HAK-HAK ATAS TANAH.

a. Di desa-desa yang pendaftaran tanahnya telah diselenggarakan secara lengkap.


Pasal 12
Setelah ada pengesahan seperti yang dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3), maka dari tiap-tiap bidang tanah
yang batas-batasnya maupun yang berhak atasnya telah ditetapkan, hak-haknya dibukukan dalam daftar
buku-tanah.

Pasal 13

1) Untuk tiap-tiap hak yang dibukukan menurut Pasal 12 dibuat salinan dari buku-tanah yang
bersangkutan.

2) Untuk menguraikan tanah yang dimaksud dalam salinan buku- tanah dibuat surat-ukur sebagai
yang dimaksud dalam Pasal 11.

3) Salinan buku-tanah dan surat-ukur setelah dijahit menjadi satu bersama-sama dengan suatu
kertas-sampul yang bentuknya ditetapkan oleh Menteri Agraria, disebut sertipikat dan diberikan
kepada yang berhak.

4) Sertipikat tersebut pada ayat (3) Pasal ini adalah surat-tanda bukti hak yang dimaksud dalam Pasal
19 Undang-undang Pokok Agraria.
Pasal 14

1) Semua surat Keputusan mengenai pemberian hak atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara
(selanjutnya dalam Peraturan Pemerintah ini disebut tanah Negara) dikirim oleh Penjabat yang
berwenang memberi hak itu kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah yang bersangkutan, untuk
dibukukan dalam daftar buku-tanah yang bersangkutan.

2) Untuk pembuatan sertifikatnya maka dari bidang tanah yang bersangkutan dibuat surat-ukur
sebagai yang dimaksud dalam Pasal 11.

b. Di desa-desa yang pendaftaran tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap.


Pasal 15

1) Di desa-desa yang pendaftaran tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap, maka hak-hak
atas tanah yang telah diuraikan dalam sesuatu surat hak tanah yang dibuat menurut
"Overschrijvings-Ordonnantie" (s. 1834 No. 27), Peraturan Menteri Agraria No. 9 Tahun 1959 dan
peraturan-peraturan pendaftaran yang berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta, Keresidenan
Surakarta dan Sumatra Timur dan telah pula diuraikan dalam surat ukur (lama) yang menurut
Kepala Kantor Pendaftaran Tanah masih memenuhi syarat-syarat tehnis, dibukukan dalam daftar
buku-tanah.

2) Kepada yang berhak diberikan sertifikat.

3) Penyelenggaraan ketentuan-ketentuan dalam ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut oleh Menteri
Agraria.

Pasal 16

1) Jika pemberian hak yang dimaksud dalam Pasal 14 mengenai bidang tanah yang telah diuraikan
dalam suatu surat-ukur (lama), yang menurut Kepala Kantor Pendaftaran Tanah masih memenuhi
syarat-syarat tehnis, maka kepada yang memperoleh hak itu diberi sertifikat, dengan tidak perlu
membuat surat-ukur, sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11.

2) Jika pemberian hak tersebut mengenai bidang tanah yang belum diuraikan dalam sesuatu surat-
ukur yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini, sedangkan pembuatan surat-ukur sebagaimana yang
dimaksud dalam Pasal 11 tidak dapat dibuat dengan segera oleh karena peta pendaftaran yang
bersangkutan dengan bidang tanah itu belum dibuat, maka kepada yang memperoleh hak itu
diberi sertifikat-sementara, sebagai yang dimaksud dalam Pasal 17.

Pasal 17

1) Sertifikat-sementara, yaitu sertifikat tanpa surat-ukur, mempunyai fungsi sebagai sertifikat.

2) Sertifikat-sementara mempunyai kekuatan sebagai sertifikat.


Pasal 18

1) Atas permohonan yang berhak, maka sesuatu hak atas tanah di desa-desa yang pendaftaran
tanahnya belum diselenggarakan secara lengkap dapat pula dibukukan dalam daftar buku-tanah.
Untuk membukukan hak tersebut, kepada Kepala Kantor Pendaftaran Tanah harus disampaikan
surat atau surat-surat bukti hak dan keterangan Kepala Desa yang dikuatkan oleh Asisten Wedana,
yang membenarkan surat atau surat-surat bukti hak itu.

2) Setelah menerima surat atau surat-surat bukti hak beserta keterangan yang dimaksud dalam ayat
(1) pasal ini, maka Kepala Kantor Pendaftaran Tanah mengumumkan permohonan pembukuan
hak itu di Kantor Kepala Desa dan Kantor Asisten Wedana selama 2 bulan berturut-turut. Kalau
dianggapnya perlu maka selain pengumuman di Kantor Kepala Desa dan Kantor Asisten Wedana
itu, Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dapat juga mengumumkan dengan cara lain.

3) Jika dalam waktu 2 bulan yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini tidak ada yang mengajukan
keberatan, maka hak atas tanah itu dibukukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah dalam
daftar buku-tanah yang bersangkutan. Jika ada yang mengajukan keberatan, Kepala Kantor
Pendaftaran Tanah menunda pembukuannya sampai ada keputusan hakim yang membenarkan
hak pemohon atas tanah itu.

4) Setelah pembukuan dilaksanakan maka oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah diberikan kepada
pemohon sertifikat-sementara.

B. Mengurus Sertifikat Tanah

Jika Anda telah memiliki hak atas tanah dan bangunan, Anda juga harus memiliki sertifikat sebagai
bukti autentik. Menurut PP No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat ialah surat tanda
bukti hak atas tanah dan bangunan. Sertifikat sendiri dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN)
lewat kantor pertanahan masing-masing wilayah.

Biasanya, sertifikat dicetak dua rangkap: satu rangkap disimpan di kantor BPN sebagai buku tanah,
dan satu rangkap dipegang seseorang sebagai tanda bukti kepemilikan atas tanah dan bangunan. Arsip
buku tanah tercantum data detail mengenai tanah, mencakup data fisik maupun data yuridis, contohnya
luas, batas-batas, dasar kepemilikan, dan data pemilik.

Sementara itu, data fisik tanah dalam Surat Ukur yang terlampir dalam sertifikat hanya berupa
ukuran luas dan tidak melampirkan ukuran lainnya secara detail. Selain itu, data bangunan juga tidak
dicantumkan dalam sertifikat. Keterangan yang tercantum hanya tertera jika di atas tanah tersebut
terdapat bangunan.

Sertifikat tanah terdiri dari beberapa jenis, antara lain sertifikat Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna
Bangunan (HGB), dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Adapun, untuk SHM hanya diperuntukkan untuk warga
Negara Indonesia. Sementara HGU dan HGB diperbolehkan dimiliki oleh warga asing, namun dalam jangka
waktu tertentu.

Adapun langkah-langkah yang diperlukan untuk membuat sertifikat tanah:


1. Menyiapakan Dokumen

Anda harus menyiapkan dan melampirkan dokumen-dokumen yang menjadi syarat. Tentunya,
syarat ini perlu disesuaikan dengan asal hak tanah. Adapun, syarat-syaratnya mencakup:

- Sertifikat Asli Hak Guna Bangunan (SHGB)

- Fotokopi Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

- Identitas diri berupa Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan Kartu Keluarga (KK)

- SPPT PBB

- Surat pernyataan kepemilikan lahan

Selain itu, mungkin Anda mungkin berkeinginan membuat sertifikat tanah atau girik. Sertifikat ini
berasal dari tanah yang berasal dari warisan atau turun-temurun dari kakek nenek yang mungkin belum
disahkan dalam sertifikat. Untuk itu, Anda bisa membuatkan sertifikat dengan melampirkan:

- Akta jual beli tanah;

- Fotokopi KTP dan KK;

- Fotokopi girik yang dimiliki;

- Dokumen dari kelurahan atau desa, seperti Surat Keterangan Tidak Sengketa, Surat
Keterangan Riwayat Tanah, dan Surat Keterangan Tanah secara Sporadik.

2. Mengunjungi Kantor BPN

Anda perlu menyesuaikan lokasi BPN sesuai dengan wilayah tanah berada. Di BPN, belilah formulir
pendaftaran. Anda akan mendapatkan map dengan warna biru dan kuning. Buatlah janji dengan petugas
untuk mengukur tanah.

3. Penerbitan Sertifikat Tanah Hak Milik

Setelah pengukuran tanah, Anda akan mendapatkan data Surat Ukur Tanah. Serahkanlah untuk
melengkapi dokumen yang telah ada. Setelah itu, Anda hanya perlu bersabar menunggu dikeluarkannya
surat keputusan. Anda akan dibebankan BEA Perolehan Hak Atas Tanah (BPHTB) sembari menunggu
sertifikat tanah Anda terbit. Lama waktu penerbitan ini kurang lebih setengah hingga satu tahun lamanya.
Kadangkala, Anda perlu memastikan kepada petugas BPN kapan sertifikat tanah Anda jadi dan dapat
diambil.Selain BPN, Anda dapat membuat sertifikat melalui PPAT, namun bisa jadi harga untuk
mengurusnya bisa berlipat-lipat. Selain itu, upayakan agar Anda melakukannya sendiri dan tidak
menggunakan cara yang meragukan, bahkan calo.

Mengurus Sertifikat Tanah Girik


Tanah warisan atau yang biasa dikenal dengan istilah tanah girik merupakan salah satu aset yang
perlu untuk dilindungi. Untuk itu, semua tanah yang belum sertifikat, seperti tanah girik perlu didaftarkan
konversi haknya ke kantor pertanahan setempat. Hal tersebut diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 atau
Undang-undang Pokok Agraria (UUPA). Adapun hak-hak yang ada dalam UUPA tersebut mencakup Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Guna Usaha, dan lain-lain. Jenis tanah lainnya yang belum
bersertifikat, antara lain ketitir, petok D, rincik, ketitir, Verponding Indonesia, Eigendom Verponding,
erfpacht, opstaal, vruchtgebruik.

Namun demikian, karena kurangnya informasi yang diperoleh masyarakat, sehingga tanah-tanah
tersebut masih ada saja yang belum memiliki sertifikat. Untuk mengurus tanah girik, ada dua tahapan
yang perlu ditempuh, yaitu tahap pengurusan di kantor kelurahan dan kantor pertanahan.

1. Mengurus di Kelurahan Setempat

Ada beberapa hal yang perlu Anda ketahui untuk melalui tahapan pengurusan sertifikat untuk
tanah girik. Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan, antara lain:

- Surat Keterangan Tidak Sengketa

- Anda perlu memastikan bahwa tanah yang diurus bukan merupakan tanah sengketa. Hal
ini merujuk pada pemohon sebagai pemilik yang sah. Sebagai buktinya, dalam surat
keterangan tidak sengketa perlu mencantumkan tanda tangan saksi-saksi yang dapat
dipercaya. Saksi-saksi tersebut adalah pejabat Rukun Tetangga (RT) dan Rukun Warga
(RW) setempat. Hal tersebut karena mereka adalah kalangan tokoh masyarakat yang
mengetahui sejarah penguasaan tanah yang dimohonkan. Namun, jika suatu tempat tidak
terdapat RT dan RW seperti beberapa daerah, saksi bisa didapat dari tokoh adat
setempat.

- Surat Keterangan Riwayat Tanah

- Berikutnya, Anda perlu membuat Surat Keterangan Riwayat Tanah. Fungsinya, untuk
menerangkan secara tertulis riwayat penguasaan tanah awal mula pencatatan di
kelurahan sampai dengan penguasaan sekarang ini. Termasuk pula di dalamnya proses
peralihan berupa peralihan sebagian atau keseluruhan. Biasanya, tanah girik awalnya
sangat luas kemudian dijual atau dialihkan sebagian.

- Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara Sporadik

- Surat Keterangan Penguasaan Tanah Secara Sporadik ini mencantumkan tanggal


perolehan atau penguasaan tanah.

2. Mengurus di Kantor Pertanahan setelah mengurus dokumen di kelurahan setempat, Anda dapat
menlanjutkan ke kantor pertanahan. Adapun, tahapannya sebagai berikut:

- Mengajukan Permohonan Sertifikat


Caranya dengan melampirkan dokumen-dokumen yang diurus di kelurahan, dan dilengkapi
dengan syarat formal, yaitu fotokopi KTP dan KK pemohon, fotokopi PBB tahun berjalan, dan dokumen-
dokumen lain yang disyaratkan oleh undang-undang.

- Pengukuran ke Lokasi

Pengukuran ini dilakukan setelah berkas permohonan lengkap dan pemohon menerima tanda
terima dokumen dari kantor pertanahan. Pengukuran dilakukan oleh petugas dengan ditunjukkan batas-
batas oleh pemohon atau kuasanya.

- Pengesahan Surat Ukur

Hasil pengukuran di lokasi akan dicetak dan dipetakan di BPN dan Surat Ukur disahkan atau
tandatangani oleh pejabat yang berwenang, pada umumnya adalah kepala seksi pengukuran dan
pemetaan.

- Penelitian oleh Petugas Panitia A

Setelah Surat Ukur ditandatangani dilanjutkan dengan proses Panitia A yang dilakukan di Sub Seksi
Pemberian Hak Tanah. Anggota Panitia A terdiri dari petugas dari BPN dan lurah setempat.

- Pengumuman Data Yuridis di Kelurahan dan BPN

Data yuridis permohonan hak tanah tersebut diumumkan di kantor kelurahan dan BPN selama
enam puluh hari. Hal ini bertujuan supaya memenuhi pasal 26 PP No. 24 Tahun 1997. Dalam praktiknya,
bertujuan untuk menjamin bahwa permohonan hak tanah ini tidak ada keberatan dari pihak lain.

- Terbitnya SK Hak Atas Tanah

Setelah jangka waktu pengumuman terpenuhi, dilanjutkan dengan penerbitan SK hak atas tanah.
Tanah dengan dasar girik ini akan langsung terbit berupa Sertifikat Hak Milik (SHM).

- Pembayaran Bea Perolehan Hak atas Tanah (BPHTB)

BPHTB dibayarkan sesuai dengan luas tanah yang dimohonkan seperti yang tercantum dalam
Surat Ukur. Besarnya BPHTB tergantung dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) dan luas tanah. BPHTB ini juga
bisa dibayarkan pada saat Surat Ukur selesai, yaitu pada saat luas tanah yang dimohon sudah diketahui
secara pasti.

- Pendaftaran SK Hak untuk diterbitkan sertifikat

SK Hak kemudian dilanjutkan prosesnya dengan penerbitan sertifikat pada subseksi Pendaftaran
Hak dan Informasi (PHI).

- Pengambilan Sertifikat
Pengambilan sertifikat dilakukan di loket pengambilan. Lamanya waktu pengurusan sertifikat ini
tidak dapat dipastikan. Banyak faktor yang menentukan. Akan tetapi, kira-kira dapat diambil sekitar 6
bulan dengan catatan bahwa tidak ada persyaratan yang kurang.

3. Besarnya Biaya Pengurusan Sertifikat dari Tanah Girik

Biaya sangat relatif terutama tergantung pada lokasi dan luasnya tanah. Semakin luas lokasi dan
semakin strategis lokasinya, biaya akan semakin tinggi.

C. Ciri-Ciri Hak Milik

Hak Milik mempunyai ciri-ciri tertentu, antara lain adalah sebagai berikut :

1. Merupakan hak atas tanah yang kuat. Bahkan menurut pasal 20 UUPA adalah yang
terkuat, artinya mudah dihapus dan mudah dipertahankan terhadap gangguan pihak lain;

2. Merupakan hak turun temurun dan dapat beralih, artinya dapat dialihkan pada ahli waris
yang berhak;

3. Dapat menjadi hak induk, tetapi tidak dapat berinduk pada hak-hak atas tanah lainnya.
Ini berarti hak milik dapat dibebani dengan hak-hak atas tanah lainnya, seperti hak guna
bangunan, hak pakai, hak sewa, hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak penumpang;

4. Dapat dijadikan jaminan utang dengan dibebani hipotek atau credietverband;

5. Dapat dialihkan yaitu dijual, ditukar dengan benda lain dihibahkan dan diberikan dengan
wasiat;

6. Dapat dilepaskan oleh yang punya, sehingga tanahnya menjadi milik Negara.

7. Dapat diwakafkan;

8. Si pemilik memiliki hak untuk menuntut kembali di tangan siapapun benda itu berada.

D. Tanah Dan Sifat Pembuktian Sertifikat Sebagai Tanda Bukti Hak

Berdasarkan UU No.5 Tahun 1960 tentang Pokok-pokok Agraria sertifikat tanah yang sah di mata
hukum adalah:

1. Sertifikat Hak Milik (SHM) adalah sertifikat atas kepemilikan penuh hak lahan dan/atau
tanah yang dimiliki pemegang sertifikat tersebut. SHM sering disebut sertifikat yang
paling kuat karena pihak lain tidak akan campur tangan atas kepemilikan tanah atau lahan
tersebut. Jika melihat karakteristiknya, tanah dengan sertifikat SHM adalah tanah dengan
nilai yang paling tinggi (mahal).

2. Sertifikat Hak Satuan Rumah Susun (SHSRS) berlaku pada kepemilikan seseorang atas
rumah vertikal atau apartemen (rumah susun) yang dibangun di atas tanah dengan
kepemilikan bersama.Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB)

3. Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) merupakan hak atas seseorang untuk mendirikan
dan mempunyai bangunan-bangunan diatas tanah yang bukan miliknya sendiri. Tanah
tersebut dapat berupa tanah yang dimiliki oleh pemerintah ataupun tanah yang dimiliki
perseorangan atau badan hukum. Sertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) ini berlaku hingga
30 tahun dan dapat diperpanjang hingga batas waktu 20 tahun.

4. Girik atau Petok yaituTanah dengan jenis surat Girik dan Petok sebenarnya bukan
merupakan administrasi desa. Girik atau petok bukan sertifikat kepemilikan tanah serta
berfungsi untuk menunjukkan penguasaan atas lahan dan keperluan perpajakan. Di
dalam surat girik atau petok terdapat nomor, luas tanah, dan pemilik hak karena jual-beli
maupun waris. Umumnya surat girik dan petok harus disertai dengan Akta Jual Beli atau
Surat Waris.

5. Acte van Eigendom adalah bukti kepemilikan tanah sebelum Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pada saat
ini bukti kepemilikan Acte van Eigendom dapat dikonversi menjadi SHM selambat-
lambatnya 20 tahun semenjak diundangkannya undang-undang pokok agraria.

6. Akta Jual Beli (AJB) ini bukan sertifikat rumah, melainkan perjanjian jual-beli dan salah
satu bukti pengalihan hak atas tanah (akibat dari jual-beli). AJB dapat terjadi dalam
berbagai bentuk kepemilikan tanah bagi pembuatnya (pacta sunt servanda), baik Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, maupun Girik. Bukti kepemilikan berupa AJB biasanya sangat
rentan terjadinya penipuan AJB ganda.

Sifat pembuktian tanah sertifikat sebagai tanda bukti hak, dapat kita lihat pada Pasal 32 Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah :

Pasal 32 :

1. Sertipikat merupakan surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat
mengenai data fisik dan data yuridis yang termuat di dalamnya, sepanjang data fisik dan data
yuridis tersebut sesuai dengan data yang ada dalam surat ukur dan buku tanah hak yang
bersangkutan.

2. Dalam hal atas suatu bidang tanah sudah diterbitkan sertipikat secara sah atas nama orang atau
badan hukum yang memperoleh tanah tersebut dengan itikad baik dan secara nyata
menguasainya, maka pihak lain yang merasa mempunyai hak atas tanah itu tidak dapat lagi
menuntut pelaksanaan hak tersebut apabila dalam waktu 5 (lima) tahun sejak diterbitkannya
sertipikat itu telah tidak mengajukan keberatan secara tertulis kepada pemegang sertipikat dan
Kepala Kantor Pertanahan yang bersangkutan ataupun tidak mengajukan gugatan ke Pengadilan
mengenai penguasaan tanah atau penerbitan sertipikat tersebut.

Maka berdasarkan ketentuan Pasal 32 ayat (1) Peraturan PemerintahNomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah, maka sistem publikasi pendaftaran tanah yang dianut adalah sistem publikasi negatif,
yaitu sertifikat merupakan surat tanda bukti yang mutlak.

E. Alat Bukti Hak Milik Atas Tanah

Tanah merupakan salah satu unsur untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia. Seseorang yang
memiliki tanah, pasti memiliki alat bukti kepemilikan atas tanah. Sertifikat merupakan alat bukti hak atas
tanah dan sebagai alat pembuktian yang kuat menurut ketentuan Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA dan Pasal
32 ayat (1) PP 24/1997 yang diterbitkan melalui pendaftaran tanah. Bagi seseorang yang dalam hal ini
belum memiliki sertifikat hak atas tanah, maka perlu membuktikan dirinya sebagai pemegang hak atas
tanah tersebut dengan alat-alat bukti lainnya selain sertifikat.

Tanah yang belum memiliki sertifkat sangat rentan terjadi konflik atau sengketa dengan pihak
lain. Oleh karena itu, ada 2 (dua) permasalahan dalam skripsi ini, permasalahan pertama, yaitu apa alat
bukti yang dapat dipakai oleh pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat dan yang kedua,
yaitu bagaimana perlindungan hukum terhadap pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat.

Tujuan yang hendak dicapai dalam penulisan skripsi ini yaitu untuk mengetahui dan memahami
tentang alat bukti yang dapat dipakai oleh pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat dan
untuk mengetahui dan memahami perlindungan hukum terhadap pemegang hak milik atas tanah yang
belum bersertifikat. Metode penelitian yang digunakan dalam skripsi ini meliputi tipe penelitian hukum
yang bersifat yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach)
dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Sumber bahan hukum meliputi, bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.

Tinjauan pustaka dalam penulisan skripsi ini terdiri dari beberapa hal, antara lain : pengertian
tanah, pengertian hak atas tanah, macam-macam hak atas tanah, pengertian penguasaan atas tanah,
pengertian hak milik, subjek hak milik, terjadinya hak milik, pengertian alat bukti, macam-macam alat
bukti, fungsi alat bukti hak atas tanah, pengertian perlindungan hukum dan sarana perlindungan hukum.

Hasil Pembahasan dan kesimpulan dalam skripsi ini yaitu Pertama, mengenai Alat bukti yang
dapat dipakai oleh pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat yang berkaitan dengan
pendaftaran hak pada PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah, dapat menggunakan alat bukti kepemilikan
sebelum lahirnya UUPA sebagaimana diatu pada Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997, berupa: Grosse akta hak
eigendom, Petuk pajak Bumi/Landrete, girik, pipil, ketitir, dan Verponding Indonesia sebelum berlakunya
PP 10/1961, Surat keterangan riwayat tanah yang pernah dibuat oleh Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan
Bangunan, atau lain-lain bentuk alat pembuktian tertulis dengan nama apapun juga sebagaimana
dimaksud Pasal II, Pasal VI, dan Pasal VII ketentuan-ketentuan Konversi UUPA, dan alat bukti kepemilikan
hak atas tanah setelah berlakunya UUPA adalah sertifikat, tetapi terhadap pemegang hak milik atas tanah
yang belum bersertifikat dapat dibuktikan dengan alat bukti kepemilikan hak atas tanah yang berkaitan
dengan pendaftaran hak sebagaimana diatur pada Pasal 23 PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah,
berupa Asli Akta PPAT. Kedua, bentuk perlindungan hukum xiv terhadap pemegang hak atas tanah yang
belum bersertifikat ada dua, yaitu pertama perlindungan hukum preventif adalah perlindungan hukum
yang lebih mengarah untuk mencegah terjadinya sengketa. Perlindungan hukum preventif terhadap
pemegang hak milik atas tanah yang belum bersertifikat adalah dengan melakukan pendaftaran tanah.

Seseorang yang pendaftaran tanahnya akan menerbitkan surat tanda bukti hak berupa sertifikat
yang diterbitkan oleh BPN. Dengan sertifikat tersebut, seseorang dapat membuktikan dirinya sebagai
pemegang hak atas tanah yang sah dan dapat memberikan kepastian hukum serta perlindungan hukum
bagi pemegang hak beserta tanahnya sebagaimana maksud dari tujuan pendaftaran tanah yang diatur
pada Pasal 3 PP 24/1997 dan Pasal 2 ayat (2) Permen ART/BPN 6/2018 tentang Pendaftaran Tanah
Sistematis Lengkap. Kedua, Perlindungan hukum represif, yaitu bentuk perlindungan hukum yang arahnya
lebih kepada upaya penyelesaian sengketa. Mengenai hak milik atas tanah yang belum bersertifikat tetap
mendapatkan perlindungan hukum apabila memperoleh tanahnya dengan itikad baik. Maksud itikad baik
adalah seseorang memperoleh tanahnya dengan itikad baik telah menguasai dan memanfaatkan serta
mengolah tanah, berhak untuk memperoleh hak atas tanah. Perlindungan hukum terhadap pemegang
hak milik atas tanah yang belum bersertifikat dengan itikad baik sebagaimana diatur pada Pasal 32 dan
Pasal 27 PP 24/1997 tentang Pendaftaran Tanah yaitu dapat mengajukan pengaduan, keberatan dan
gugatan melalui pengadilan untuk mencari kebenaran mengenai kepemilikan hak atas tanah yang sah.

Saran yang dapat diberikan dalam skripsi ini adalah Pertama, mengingat pentingnya sertifikat
sebagai alat bukti hak atas tanah yang sah dan sebagai alat pembuktian yang kuat, disarankan kepada
masyarakat yang masih menggunakan alat bukti kepemilikan tanah yang bukan berupa sertifikat tanah
untuk segera mendaftarkan tanahnya kepada pejabat yang berwenang untuk mendapatkan alat bukti hak
atas tanah yang sah dan kuat menurut ketentuan UUPA dan PP 24/1997 yaitu sertifikat hak atas tanah
dan Kedua, terkait perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah yang belum bersertifikat
pertama-tama memerlukan tersedianya perangkat hukum tertulis, jelas, dan lengkap, oleh karena itu
diharapkan peraturan perundang-undangan di Indonesia dalam bidang pertanahan perlu direvisi kembali
sesuai dengan keadaan sekarang ini.

F. PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 24 TAHUN 1997
TENTANG
PENDAFTARAN TANAH

Pasal 19

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan batas-batas yang menurut kenyataannya merupakan batas-batas bidang-
bidang tanah yang bersangkutan adalah misalnya tembok atau tanda-tanda lain yang menunjukkan batas
penguasaan tanah oleh orang atau yang bersangkutan. Apabila ada tanda-tanda semacam itu maka
persetujuan dari pemegang hak atas tanah yang berbatasan tidak mutlak diperlukan.

Ayat (2)

Cukup jelas

Ayat (3)

Ketentuan ini berlaku juga, jika pemegang hak atas tanah yang bersangkutan atau mereka
mempunyai tanah yang berbatasan, biarpun sudah disampaikan pemberitahuan sebelumnya, tidak hadir
pada waktu diadakan pengukuran.

Ayat (4)
Yang dimaksud dengan gambar ukur adalah hasil pengukuran dan pemetaan di lapangan berupa
peta batas bidang tanah atau bidang-bidang tanah secara kasar. Catatan pada gambar ukur didasarkan
pada berita acara pengukuran sementara.

Ayat (5)

Cukup jelas

Pasal 32

Ayat (1)

Sertifikat merupakan tanda bukti hak yang kuat, dalam arti bahwa selama tidak dapat dibuktikan
sebaliknya data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya harus diterima sebagai data yang benar.
Sudah barang tentu data fisik maupun data yuridis yang tercantum dalam sertifikat harus sesuai dengan
data yang tercantum dalam buku tanah dan surat ukur yang bersangkutan, karena data itu diambil dari
buku tanah dan surat ukur tersebut.

Ayat (2)

Pendaftaran tanah yang penyelenggaraannya diperintahkan oleh UUPA tidak menggunakan


sistem publikasi positif, yang kebenaran data yang disajikan dijamin oleh Negara, melainkan
menggunakan sistem publikasi negatif. Di dalam sistem publikasi negatif Negara tidak menjamin
kebenaran data yang disajikan. Tetapi walaupun demikian tidaklah dimaksudkan untuk menggunakan
sistem publikasi negatif secara murni. Hal tersebut tampak dari pernyataan dalam Pasal 23, 32 dan 38
UUPA bahwa pendaftaran berbagai peristiwa hukum merupakan alat prosedur pengumpulan,
pengolahan, penyimpanan dan penyajian data fisik dan data yuridis serta penerbitan sertifikat dalam
Peraturan Pemerintah ini, tampak jelas usaha untuk sejauh mungkin memperoleh dan menyajikan data
yang benar, karena pendaftaran tanah adalah untuk menjamin kepastian hukum.

Sehubungan dengan itu diadakanlah ketentuan dalam ayat (2) ini. Ketentuan ini bertujuan, pada
satu pihak untuk tetap berpegang pada sistem publikasi negatif dan pada sisi lain pihak untuk secara
seimbang memberikan kepastian hukum kepada pihak yang dengan itikad baik menguasai sebidang tanah
dan didaftar sebagai pemegang hak dalam buku tanah, dengan sertifikat sebagai tanda buktinya, yang
menurut UUPA berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.

Kelemahan sistem publikasi negatif adalah, bahwa pihak yang namanya tercantum sebagai
pemegang hak dalam buku tanah dan sertifikat selalu menghadapi kemungkinan gugatan dari pihak lain
yang merasa mempunyai tanah itu. Umumnya kelemahan tersebut diatasi dengan menggunakan lembaga
acquisitive verjaring atau adverse possession. Hukum tanah kita yang memakai dasar hukum adat tidak
dapat menggunakan lembaga tersebut, karena hukum adat tidak mengenalnya. Tetapi dalam hukum adat
terdapat lembaga yang dapat digunakan untuk mengatasi kelemahan sistem publikasi negatif dalam
pendaftaran tanah, yaitu lembaga rechtsverwerking.

Dalam hukum adat jika seseorang selama sekian waktu membiarkan tanahnya tidak dikerjakan,
kemudian tanah itu dikerjakan orang lain yang memperolehnya dengan itikad baik, maka hilanglah haknya
untuk menuntut kembali tanah tersebut. Ketentuan di dalam UUPA yang menyatakan hapusnya hak atas
tanah karena diterlantarkan (Pasal 27, 34 dan 40 UUPA) adalah sesuai dengan lembaga ini.
Dengan pengertian demikian, maka apa yang ditentukan dalam ayat ini bukanlah menciptakan ketentuan
hukum baru, melainkan merupakan penerapan ketentuan hukum yang sudah ada dalam hukum adat,
yang dalam tata hukum sekarang ini merupakan bagian dari Hukum Tanah Nasional Indonesia dan
sekaligus memberikan wujud konkret dalam penerapan ketentuan dalam UUPA mengenai penelantaran
tanah.

B. Pengertian Revaluasi Aset

a. Revaluasi aset adalah penilaian kembali atas aset tetap yang dimiliki oleh perusahaan
(entitas). Hal ini dilakukan akibat adanya kenaikan nilai aset tetap di pasaran atau karena
rendahnya nilai aset tetap dalam laporan keuangan perusahaan akibat dievaluasi.

Kenaikan atau penurunan nilai aset menyebabkan nilai aset tetap pada laporan keuangan menjadi
tidak wajar. Maka dari itu, penilaian kembali aset dilakukan agar perusahaan dapat melakukan
perhitungan penghasilan dan biaya secara lebih wajar, dengan begitu nilai dan kemampuan perusahaan
yang sebenarnya akan terlihat.

a. Dasar Hukum Revaluasi Aset

Dasar hukum mengenai revaluasi aset telah dicantumkan pemerintah dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 36 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983
tentang Pajak Penghasilan. Dalam Pasal 19 Ayat UU 36/2008 tertulis:

1. Menteri Keuangan berwenang menetapkan peraturan tentang penilaian kembali aktiva dan
faktor penyesuaian apabila terjadi ketidaksesuaian antara unsur-unsur biaya dengan penghasilan
kareana perkembangan harga.

2. Atas selisih penilaian kembali aktiva sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterapkan tarif pajak
tersendiri dengan Peraturan Menteri Keuangan sepanjang tidak melebihi tarif pajak tertinggi.

Selain dalam UU, regulasi tentang penilaian kembali aset juga pemerintah buat lebih rinci dalam
Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191/PMK.10/2015 tentang Penilaian Kembali Aktiva Tetap
untuk Tujuan Perpajakan bagi Permohonan yang Diajukan pada Tahun 2015 dan Tahun 2016.

Regulasi tersebut menjelaskan bahwa Direktorat Jenderal Pajak (DJP) akan memberikan pengurangan
tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 19 bagi wajib pajak badan atau perusahaan yang melakukan penilaian
kembali aset.

b. Hubungan Revaluasi Aset dengan Perpajakan


Seperti dijelaskan sebelumnya, pemerintah membuat regulasi tentang penilaian kembali aset
untuk memberikan pengurangan tarif PPh. Artinya, kebijakan ini adalah bentuk insentif perpajakan yang
diberikan kepada wajib pajak (WP).

Peraturan tersebut dibuat untuk memotivasi emiten di pasar modal melaporkan nilai aset tetap
mereka berdasarakan nilai wajar. Kebijakan ini pun sejalan dengan implementasi International Financial
Reporting Standard tentang akuntansi nilai wajar.

Forum diseminasi informasi bidang kajian Kementerian Keuangan yakni Simposium Nasional
Keuangan Negara (SNKN) menyebutkan, PMK Nomor 191/PMK.10/2015 telah berhasil meningkatkan
jumlah perusahaan yang melakukan penilaian kembali aset. Perusahaan yang mendominasi adalah sektor
lembaga keuangan, khususnya perbankan.

Namun perlu diketahui, kebijakan insentif pajak yang berkaitan dengan revaluasi aset telah
berakhir tahun 2016.

Kebijakan tersebut berlaku bertahap dengan tarif yang berbeda, disesuaikan pada saat WP
melakukan pemanfaatan insentif perpajakan penilaian kembali aset ini.

Tarif dikenakan atas selisih lebih nilai aktiva tetap hasil penilaian kembali atau hasil perkiraan
penilaian kembali oleh WP berdasarkan Kantor Jasa Penilai Publik atau ahli penilai di atas nilai buku fiskal
semula.

Untuk permohonan sampai dengan 31 Desember 2015 dan penilaian kembali selesai paling
lambat 31 Desember 2016, tarifnya sebesar 3%. Untuk permohonan periode Januari-Juni 2016 dan
penilaian kembali selesai paling lambat 30 Juni 2017 tarifnya sebesar 4%. Untuk permohonan periode Juli-
Desember 2016 dan penilaian kembali selesai paling lambat 31 Desember 2017, tarifnya sebesar 6%.

c. Aset yang Dapat Direvaluasi

Perlu Anda ketahui bahwa tidak semua aset perusahan dapat direvaluasi. Aset yang dapat
direvaluasi adalah aset tetap berwujud yang terletak di Indonesia. Aset juga harus dimiliki dan digunakan
untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak, contohnya aset
properti.

Bangunan merupakan salah satu aset tetap berwujud yang kedudukan atau keberadaannya jelas
berada di wilayah mana. Dengan begitu revaluasi aset akan dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai
wajar properti dimaksud, sebagai aset tetap.

Perlu diingat juga kalau penilaian kembali aset tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan
nilai pasar atau nilai wajar yang berlaku pada saat penailaian kembali. Penilaian hanya bisa dilakukan oleh
perusahaan jasa ahli penilai yang diakui atau memperoleh izin pemerintah.

Agar nilai aset yang tercatat tidak berbeda jauh dengan nilai pasar yang berlaku, maka penilaian
kembali aset disarankan dilakukan secara teratur. Apabila aset yang dimiliki merupaka tipe aset yang
harganya tidak cepat berubah signifikan, maka penilaian kembali aset bisa dilakukan tiga sampai lima
tahun sekali. Namun bila aset yang dimaksud merupakan aset mengalami perubahan harga signifikan,
maka penilaian kembali aset disarankan dilakukan setiap tahun.
5 Keuntungan Revaluasi Aset

Lebih dari sekadar kewajiban, revaluasi aset sebenarnya tetap membawa keuntungan tersendiri
bagi perusahaan. Berikut 5 keuntungan yang akan perusahaan Anda dapatkan bila melakukan penilaian
kembali aset:

1. Menunjukkan Posisi Kekayaan yang Wajar

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa tujuan revaluasi aset adalah memberi nilai riil pada aset
suatu perusahaan, dengan begitu nilai aset tetap dalam laporan keuangan dapat mencerminkan nilai yang
wajar (fair value).

Hal ini sangat penting bagi perusahaan yang ingin atau sudah go public, lantaran penilaian kembali
aset akan sangat berguna untuk menyusun nilai aset ke harga yang relatif lebih realistis.

2. Mengontrol Permodalan

Revaluasi aset mampu membantu Anda mengontrol permodalan agar rasio utang terhadap
ekuitas (debt-to-equity ratio) turun. Sehingga perusahaan bisa lebih mudah mendapatkan utang dari bank
untuk meningkatkan permodalan, lantaran rasio utangnya menurun.

Bagi perusahaan di sektor perbankan, meningkatnya permodalan juga akan meningkatkan rasio
kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR). Artinya bank akan memiliki lebih banyak kemampuan
untuk mengucurkan dana kredit bagi perusahaan dan nasabah lainnya.

3. Meringankan Kewajiban Perpajakan

Nilai aset suatu perusahaan biasanya akan bertambah, seiring berjalannya waktu. Jika aset
bertambah maka biaya penyusutan juga akan bertambah.

Naiknya biaya penyusutan setelah revaluasi yang dibebankan dalam laporan keuangan
perusahaan dapat membantu meringankan kewajiban perpajakan suatu perusahaan pada tahun-tahun
selanjutnya. Lantaran laba yang dihasilkan perusahaan akan menurun.

4. Menarik Minat Investor

Revaluasi aset pada dasarnya dapat membantu meningkatkan performa keuangan perusahaan.
Bisa dipastikan hal tersebut dapat menarik minat investor terhadap perusahaan Anda.

Bila investasi sudah masuk dan bekal modal perusahaan Anda kuat maka perusahaan bisa
menjaring dana dari penawaran saham atau penerbitan obligasi. Kepercayaan kreditur juga diyakini dapat
meningkat, sebagai efek dari beberapa rasio keuangan perusahaan. Seperti yang ditunjukkan oleh debt-
to assets ratio dan debt-to-equity ratio.

5. Menguntungkan bagi Perusahaan yang Ingin Merger


Revaluasi aset bisa membantu memudahkan perusahaan yang ingin melakukan merger. Pasalnya,
bila masing-masing perusahaan yang ingin merger melakukan penilaian kembali aset tetap, maka nilai
aset sesungguhnya (nilai wajar) untuk bentuk perusahaan baru setelah merger bisa terlihat.

b. Pengertian Penilaian Aset

SPI 2007 mendefinisikan penilaian sebagai suatu proses pekerjaan seorang penilai dalam
memberikan oepini tertulis mengenai nilai ekonomi pada saat tertentu.

Dari defini tersebut, Penilaian Aset diartikan sebagai proses penilaian seorang penilai dalam
memberikan suatu opini nilai suatu aset baik berwujud maupun tidak berwujud, berdasarkan hasil analisa
terhadap fakta-fakta yang obyektif dan relevan dengan menggunakan metode dan prinsip-prinsip
penilaian yang berlaku pada saat tertentu.

1.Penggunaan dan Manfaat Penilaian Aset

Jaminan Bank
Fungsi utama perbankan yang merupakan lembaga intermediasi antara pihak yang kelebihan
dana (surplus of fund) dengan pihak yang memerlukan dana (lack of fund). Dalam menyalurkan kreditnya,
perbankan membutuhkan jaminan. Berdasarkan Undang-Undang Perbankan nomor 7 tahun 1992,
jaminan kredit dapat berupa jaminan pokok (semua asset yang terkait dengan proyek) dan jaminan
tambahan (asset dan tabungan anggota/koperasi yang bersedia di jaminkan yang perlu di inventarisasi
oleh agen atau pengurus koperasi). Untuk mengetahui nilai jaminan maka perlu dilakukan penilaian atas
jaminan tersebut, yang biasanya adalah penilaian aset.

Restrukturisasi
Dalam melakukan restrukturisasi yang perlu dilakukan adalah:

a. Pemetaan portfolio, untuk mengetahui bagaimana kemampuan masing-masing aset


dalam memberikan nilai tambah bagi perusahaan. Apakah ada idle asset, atau aset yang
kurang produktif, dan tak perlu dipertahankan karena tak sejalan dengan strategi
perusahaan? Aset yang tak produktif serta tak sejalan dengan strategi perusahaan
sebaiknya disisihkan untuk dijual.

b. Kemudian dilakukan pemetaan SBU, masing-masing SBU dinilai berdasarkan beberapa


karakter, seperti: a) daur hidup, b) bagian pasar, c) pertumbuhan dan arus kas.
Selanjutnya masing-masing SBU dievaluasi, apakah masih sejalan dengan strategi
perusahaan. SBU yang sesuai, dapat dikaitkan dengan peningkatan nilai, atau
memberikan Economic Value Added (EVA) kepada perusahaan secara keseluruhan.

c. Penilaian aset SBU. Penilaian aset SBU dilakukan dengan melibatkan penilai publik untuk
mendapatkan nilai aset SBU yang wajar

d. Pembenahan portfolio dan SBU.Setelah penilaian tersebut, aset dan SBU yang tersisa
hanya yang benar-benar sesuai dengan strategi perusahaan. Namun kualitas aset dan SBU
perlu dievaluasi, agar beroperasi secara optimal.
Go Public
Salah satu cara perusahaan untuk mendapatkan dana dalam membiaya kegiatan operasionalnya
adalah dengan go public. Go public adalah menjual sebagian sahamnya kepada publik dan mencatatkan
sahamnya di bursa. Perusahaan yang akan melakukan go public disebut emiten. Hal-hal yang harus
dipersiapkan calon emiten dalam rangka penawaran umum yaitu:

a. Persetujuan pemegang saham pendiri melalui RUPS

b. Menunjuk Penjamin Emisi untuk membantu penyiapan semua dokumen yang diperlukan,
termasuk upaya pemasaran agar penawaran umum tersebut sukses.Dengankoordinasi dengan
penjamin emisi, perusahaan menyiapkan berbagai dokumen yang diperlukan seperti:

c. Laporan keuangan yang diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Bapepam-LK;

d. Anggaran dasar berikut arnandernennya yang disiapkan notaris dan disahkan oleh instansi yang
berwenang;

e. Legal Audit dari konsultan hukurn yang terdaftar di Bapepam-LK;

f. Laporan penilai independen;

g. ProspeMus Penawaran Umurn; dan

h. Beberapa dokumen lain sebagaimana yang diatur dalam ketentuan yang berlaku.

Jual/beli
Dalam melakukan pembelian maupun penjualan suatu aset maka perlu dilakukan penilaian aset
untuk mengetahui nilai dari aset tersebut.

2. Standar Nilai dalam Penilaian Aset

Nilai Pasar didefinisikan sebagai estimasi sejumlah uang pada tanggal penilaian, yang dapat
diperoleh dari transaksi jual beli atau hasil penukaran suatu properti, antara pembeli yang berminat
membeli dengan penjual yang berminat menjual, dalam suatu transaksi bebas ikatan, yang pemasarannya
dilakukan secara layak, di mana kedua pihak masing-masing bertindak atas dasar pemahaman yang
dimilikinya, kehati-hatian dan tanpa paksaan.

Nilai dalam Penggunaan merupakan nilai yang dimiliki oleh suatu properti tertentu bagi
penggunaan tertentu untuk seorang pengguna tertentu dan oleh karena itu tidak berkaitan dengan Nilai
Pasar. Nilai dalam Penggunaan ini adalah nilai yang diberikan oleh properti tertentu kepada badan usaha
dimana properti tersebut merupakan bagian dari badan usaha tanpa memperdulikan penggunaan terbaik
dan tertinggi dari properti tersebut atau jumlah uang yang dapat diperoleh atas penjualannya.
Nilai Investasi merupakan nilai properti untuk investor tertentu atau kelompok investor tertentu
untuk tujuan investasi yang teridentifikasi. Konsep Nilai Investasi atau Manfaat Ekonomi (worth) ini
mengkaitkan properti khusus dengan investor khusus, kelompok investor, atau badan usaha dengan
kriteria-kriteria dan tujuan-tujuan investasi yang teridentifikasi. Nilai Investasi atau Manfaat Ekonomi
suatu properti dapat lebih tinggi atau lebih rendah dari Nilai Pasar properti. Istilah Nilai Investasi atau
Manfaat Ekonomi hendaknya jangan dirancukan dengan Nilai Pasar properti investasi. Walau
bagaimanapun, Nilai Pasar dapat mencerminkan sejumlah penaksiran atas Nilai Investasi atau Manfaat
Ekonomi secara individual, atau properti tertentu. Nilai Investasi, atau manfaat ekonomi berkaitan dengan
Nilai Khusus.

Nilai Bisnis yang Berjalan adalah Nilai suatu bisnis secara keseluruhan. Konsep ini melibatkan
penilaian terhadap suatu bisnis yang berjalan, di mana alokasi atau pembagian dari Nilai Bisnis Yang
Berjalan secara keseluruhan menjadi bagian-bagian penting yang memberikan kontribusi kepada
keseluruhan bisnis, tetapi tidak satu pun dari komponen tersebut membentuk dasar untuk Nilai Pasar.
Oleh karena itu konsep Nilai Bisnis yang Berjalan dapat diterapkan hanya pada properti yang merupakan
bagian penyertaan badan usaha atau perusahaan.

Nilai Asuransi adalah nilai properti sebagaimana yang diatur berdasarkan kondisi-kondisi yang
dinyatakan di dalam kontrak atau polis asuransi dan dituangkan dalam definisi yang jelas dan terinci.

Nilai Kena Pajak adalah nilai berdasarkan definisi yang tertuang dalam peraturan perundang-
undangan yang berlaku berkaitan dengan penaksiran nilai, dan atau penentuan pajak properti. Walaupun
beberapa peraturan perundang-undangan mungkin mengutip Nilai Pasar sebagai dasar penaksiran nilai,
metodologi penilaian yang digunakan untuk mengestimasi nilai dapat menghasilkan nilai yang berbeda
dengan Nilai Pasar sebagaimana telah didefinisikan dalam SPI 1. Oleh karena itu Nilai Kena Pajak tidak
dapat dipertimbangkan sebagai Nilai Pasar sebagaimana didefinisikan dalam SPI 1 kecuali diindikasikan
sebaliknya secara eksplisit.

Nilai Sisa adalah nilai suatu properti, tanpa nilai tanah, seperti jika dijual secara terpisah untuk
setiap bagiannya dan tidak lagi dimanfaatkan untuk penggunaannya saat ini serta tanpa memperhatikan
penyesuaian dan perbaikan khusus. Nilai tersebut dapat diberikan dengan atau tanpa memperhitungkan
biaya penjualan, dan apabila memperhitungkan biaya penjualan, hasilnya dihitung dengan menggunakan
konsep nilai realisasi bersih (net realisable value). Dalam setiap analisis, komponen-komponen yang
termasuk atau tidak termasuk hendaknya diidentifikasi.

Nilai Jual Paksa adalah sejumlah uang yang mungkin diterima dari penjualan suatu properti dalam
jangka waktu yang relatif pendek untuk dapat memenuhi jangka waktu pemasaran dalam definisi Nilai
Pasar. Pada beberapa situasi, Nilai Jual Paksa dapat melibatkan penjual yang tidak berminat menjual, dan
pembeli yang membeli dengan mengetahui situasi yang tidak menguntungkan penjual. Istilah Nilai
Likuidasi seringkali digunakan dan memiliki arti sama dengan Nilai Jual Paksa.

Nilai Khusus adalah istilah yang terkait dengan unsur luar biasa dari nilai sehingga melebihi Nilai
Pasar. Nilai Khusus dapat terjadi, misalnya oleh karena kaitan fisik, fungsi, ataupun ekonomi dari properti
dengan properti lainnya seperti properti yang bersambungan. Nilai khusus merupakan suatu penambahan
nilai yang dapat diterapkan untuk pemilik/ pengguna tertentu atau pemilik/pengguna prospektif dari
properti dan bukan pasar secara keseluruhan. Nilai khusus hanya dapat diterapkan untuk pembeli dengan
kepentingan khusus. Nilai penggabungan (marriage value) merupakan penambahan nilai hasil
penggabungan dua atau lebih hak atas properti, merepresentasikan contoh khusus dari nilai khusus. Nilai
khusus dapat dikaitkan dengan elemen-elemen Nilai Bisnis yang Berjalan, dan Nilai Investasi atau Manfaat
Ekonomi. Penilai harus memastikan bahwa kriteria tersebut berbeda dengan Nilai Pasar, dengan
menyatakan sejelas-jelasnya Asumsi Khusus yang dibuat.

Nilai Jaminan Pinjaman merupakan nilai properti yang ditentukan oleh penilai dengan penaksiran
secara berhati-hati atas marketabilitas properti di masa mendatang dengan memperhatikan aspek
kesinambungan jangka panjang properti, kondisi pasar lokal dan normal, dan penggunaan saat ini serta
alternatif penggunaan properti yang sesuai. Elemen-elemen yang bersifat spekulatif tidak dapat
diperhitungkan dalam penilaian Nilai Jaminan Pinjaman. Nilai Jaminan Pinjaman akan didokumentasikan
secara jelas dan transparan.

3. Pendekatan Penilaian Aset (Data Pasar)

Metode perbandingan data pasar atau sering disebut juga sebagai metode perbandingan harga
jual (sales comparation method) atau metode perbandingan data langsung (direct market comparation
method) adalah metode penilaian yang dilakukan dengan cara membandingkan secara langsung properti
yang dinilai dengan data properti yang sejenis yaitu dengan cara Penilai harus mendapat 3 atau lebih data
banding yang telah terjual atau sedang ditawarkan untuk dijual yang sejenis terhadap properti yang akan
dinilai kemudian dibuat penyesuaiannya terhadap property yang dinilai

Harga Jual Property yang sebanding +/- penyesuaian = Indikasi Nilai dari property

Langkah-langkah yang diperlukan dalam metode ini adalah :

a. Tahap Pengumpulan data.


Kumpulan data dicatat dalam buku data.
Sumber-sumber data dpt dihimpun dari :
- Broker
- Developer
- Iklan, surat kabar, majalah, papan pengumuman (langsung tinjau kelokasi)
- Arsip hasil penilaian
- Investor

b. Tahap Analisa data


Data yang dipergunakan harus memenuhi syarat-syarat dibawah ini, yaitu :
➢ Data tersebut diperoleh dari transaksi jual beli tanpa paksaan
➢ Data transaksi Jual beli yang belum lama berlangsung
➢ Data jual beli tersebut harus punya kesamaan dalam hal peruntukan, bentuk tanah, lokasi yang
sejenis, sifat-sifat fisik & sosial, ukuran/luas, cara jual beli

c. Tahap Penyesuaian
Penyesuaian untuk perbedaan yang ada, berdasarkan pada waktu, lokasi dan lainnya.

4. Metode Penyesuaian

Metode dalam tahap penyesuaian ini terdapat 3 macam metode, yaitu:


➢ Metoda tambah kurang (Pluses and minuses method)
Artinya penyesuaian langsung dibandingkan secara keseluruhan kelebihan dan kekurangan
dengan data-data pembanding yang ada.

Data 1 Data 2 Data 3


Harga jual Rp. 100 jt Rp. 108 jt Rp. 98 jt
Nilai indikasi Rp.104 jt Rp. 106 jt Rp. 102 jt
Penyesuaian dilakukan dengan cara pembebanan.
Misalnya: Properti yang paling mendekati adalah no.2 diambil 40% no. 1 & 3 = 30%

Jadi Nilai Pasar :


30% x 104 jt = 31.200.000
40% x 106 jt = 42.400.000
30% x 102 jt = 30.000.000
104.200.000

➢ Metode jumlah rupiah (Rupiah Amount Method)

Data 1 Data 2 Data 3


Harga jual Rp. 100 jt Rp. 108 jt Rp. 98 jt
Penyesuaian + 5 j 0 + 8 jt
Lokasi - 1 jt 0 0
Ukuran 0 0 - 4 jt
Kondisi perlengkap 0 0 0
Mutu bangunan 0 - 2 jt 0
Total penyesuaian + Rp. 4 jt -Rp. 2 jt Rp. 4 jt
Nilai indikasi Rp. 104 jt Rp. 106 jt Rp. 102 jt

Dengan cara pembebanan :

Nilai Pasar:
30% x Rp. 104 jt = Rp. 31.200.000
40% X Rp. 106 jt = Rp. 42.400.000
30% x Rp. 102 jt = Rp. 30.000.000
= Rp.104.200.000

➢ Metode Persentase (Percentage Method)

Data 1 Data 2 Data 3


Harga jual Rp. 100 jt Rp. 108 jt Rp. 98 jt
Penyesuaian 5% 0% 8%
Lokasi -1% 0% 0%
Ukuran 0% 0% -4%
% Kondisi pelengkap 0% 0% 0%
Mutu bangunan 0% -4% 0%
Total penyesuaian 4% -4% 4%
Nilai indikasi Rp. 104 jt Rp. 105.840 jt Rp.101.920 jt
Dengan cara pembebanan :

Nilai Pasar :
30% x Rp. 104 jt = Rp. 31.200.000
40% x Rp. 105.840 jt = Rp. 42.336.000
30% x Rp. 101.920 jt = Rp. 30.429.000
= Rp. 104.000.000

➢ Teknik Berpasangan (Paired Comparison)


Penyesuaian dilakukan berdasarkan satu perbedaan dari pasangan properti pembanding yang
dipasang-pasangkan.

5. Pendekatan Penilaian Aset (Biaya)

Dengan mengunakan Metode Kalkulasi biaya, Nilai properti (Tanah dan Bangunan) diperoleh
dengan menganggap tanah sebagai tanah kosong, nilai tanah dihitung dengan menggunakan metode
perbandingan data pasar (market data approach). Sedangkan nilai bangunan dihitung dengan metode
kalkulasi Biaya. Nilai pasar bangunan dihitung dengan menghitung biaya reproduksi baru (RCN) bangunan
pada saat penilaian dikurangi penyusutan.

Rumus Umum :
Nilai Properti = Nilai Tanah + ( Biaya Reproduksi Baru (RCN)-Penyusutan)

6. Langkah-langkah yang diperlukan:


➢ Hitung nilai tanah dengan perbandingan data pasar, dengan menganggap tanh sebagai tanah
kosong dan tersedia untuk dikembangkan sesuai dengan prinsip Highest and Best Use
➢ Hitung biaya realisasi baru dari bangunan & prasarana
➢ Hitung semua penyusutan oleh semua penyebab (fisik, fungsional dan ekonomis)
➢ Kurangi biaya realisasi baru dengan besarnya penyusutan akan diperoleh nilai pasar bangunan
➢ Nilai pasar tanah di tambah nilai pasar bangunan sama dengan nilai properti dengan methode
pendekatan biaya

7. Menghitung Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New)

Dalam menghitung biaya pengganti baru terdapat 4 macam metode yang dapat digunakan, yaitu

a. Metode survey kuantitas (quantity survey method)


Dalam menerapkan metode ini, penilai Properti wajib memperoleh data:
1) biaya langsung, antara lain biaya persiapan lahan, biaya material, dan biaya tenaga kerja;
2) biaya tidak langsung, antara lain biaya survey, biaya perizinan, biaya asuransi, biaya lain-
lain (overhead cost), keuntungan, dan pajak; dan
3) harga satuan yang digunakan, meliputi biaya bahan dan biaya upah;

b. Metode unit terpasang (unit inplace method)


Dalam menggunakan Metode Unit Terpasang (Unit In Place Method), Penilai Properti wajib
menghitung estimasi biaya bangunan atau konstruksi berdasarkan harga satuan unit terpasang

c. Methode meter persegi (square meter method)


1) Dalam menggunakan Metode Meter Persegi (Square Meter Method), Penilai Properti
wajib: menghitung estimasi biaya pembangunan dengan memperhatikan harga kontrak
atau biaya pembangunan dari properti pembanding yang sebanding dan sejenis yang baru
selesai dibangun dalam jangka waktu paling lama satu tahun sejak Tanggal Penilaian (Cut
Off Date);
2) melakukan penyesuaian terhadap data properti pembanding yang sebanding dan sejenis,
dalam hal terdapat perbedaan data secara signifikan antara obyek penilaian dan properti
pembanding yang sebanding dan sejenis yang dapat mempengaruhi Nilai;
3) melakukan penyesuaian estimasi biaya pembangunan terhadap kecenderungan
perubahan biaya pembangunan pada tanggal kontrak atau tanggal konstruksi sampai
dengan Tanggal Penilaian (Cut Off Date); dan
4) menghitung estimasi biaya pembangunan yang dapat diambil dari biaya pembangunan
properti pembanding yang sebanding dan sejenis atau biaya pembangunan properti yang
baru selesai dibangun dalam jangka waktu paling lama satu tahun sebelum Tanggal
Penilaian (Cut Off Date), dalam hal biaya pembangunan pada tanggal kontrak atau tanggal
konstruksi tidak diketahui, sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- properti pembanding yang sebanding dan sejenis memenuhi prinsip penggunaan tertinggi dan
terbaik (highest and best use);
- properti pembanding yang sebanding dan sejenis dalam kondisi pasar yang stabil; dan
- nilai lokasi (site value) dari properti pembanding yang sebanding dan sejenis dapat diketahui.

d. Metode Index biaya (Index method)


Dalam menggunakan Metode Indeks Biaya (Cost Indexing Method), Penilai Properti wajib
mengalikan biaya pembangunan properti pembanding yang sebanding dan sejenis dengan Indeks Biaya
tertentu untuk menghasilkan estimasi biaya pembangunan obyek penilaian.

8. Menghitung Penyusutan Bangunan/Depresiasi

Penyusutan adalah pengurangan nilai dari biaya pembuatan baru. Dalam melakukan penilaian
dengan pendekatan Kalkulasi Biaya (Cost Approach), diperlukan suatu tahapan yang cukup penting, yaitu
memperkirakan besarnya penyusutan atau depresiasi dari bangunan untuk dapat memperoleh nilai pasar
dari bangunan atau nilai pasar dari properti yang dinilai. Depresiasi dari bangunan tidak hanya dipengaruhi
oleh umur bangunan saja, tetapi juga keadaan bangunan, walaupun bangunan dalam keadaan 100% baru.
Karena dalam penilaian yang kita tentukan adalah nilai bangunan bukan biaya membangun baru
bangunan. Ingat bahwa biaya membangun bangunan tidak sama dengan nilai bangunan. Bangunan akan
mempunyai nilai bila bangunan tersebut mempunyai kegunaan bagi manusia.

Dalam menghitung penyusutan terdapat 3 macam metode yang dapat digunakan, yaitu

Terdapat 3 Macam Penyusutan/Depresiasi bangunan, yaitu :

a. Metode ekstraksi pasar


Metode ekstraksi pasar hanya dapat digunakan jika:
1) harga jual properti pembanding yang berasal dari asosiasi penilai tersedia;
2) properti pembanding yang digunakan wajib memiliki kriteria sebanding dan sejenis; dan
3) perhitungan nilai tanah dan/atau Biaya Reproduksi Baru (Reproduction CostNew) atau Biaya
Pengganti Baru (Replacement Cost New) atas properti pembanding dapat dilakukan dengan
akurat.

Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode ekstraksi pasar adalah:


1) memperoleh data transaksi atau penawaran properti pembanding dari asosiasi penilai;
2) melakukan penyesuaian data transaksi atau penawaran properti pembanding;
3) menghitung nilai properti pembanding yang telah disusutkan (depreciated cost of improvements)
untuk properti yang terdiri atas tanah dan bangunan serta prasarana lain dilakukan dengan cara
mengurangkan data transaksi atau penawaran properti pembanding dengan nilai tanah properti
pembanding;
4) menghitung Biaya Reproduksi Baru (Reproduction CostNew) atau Biaya Pengganti Baru
(Replacement Cost New) properti pembanding;
5) menghitung penyusutan dengan cara mengurangkan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction
CostNew) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement Cost New) properti pembanding dengan nilai
properti pembanding yang telah disusutkan; dan
6) mengkonversikan penyusutan dalam bentuk persentase dengan cara membagi penyusutan
dengan Biaya Reproduksi Baru (Reproduction CostNew) atau Biaya Pengganti Baru (Replacement
Cost New) properti pembanding.

b. Metode Umur Ekonomis


Dalam menghitung penyusutan dengan menggunakan metode
umur ekonomis, Penilai Properti wajib terlebih dahulu
memperoleh data sebagai berikut:
1) umur aktual properti dengan cara menghitung jumlah tahun sejak properti selesai didirikan atau
dibuat sampai dengan tanggal penilaian;
2) umur efektif dengan cara melakukan penyesuaian terhadap umur aktual berdasarkan kondisi dan
kegunaan properti, atau sisa umur ekonomis properti dengan cara melakukan estimasi terhadap
sisa umur yang masih tersisa sebelum properti tidak dapat digunakan atau dioperasikan secara
ekonomis;
3) umur ekonomis (economic life) atau umur manfaat (useful life) dengan cara menghitung jumlah
tahun sejak properti didirikan atau dibuat sampai dengan estimasi waktu properti tidak dapat
digunakan atau dioperasikan secara ekonomis;

Prosedur perhitungan penyusutan dengan menggunakan metode umur ekonomis adalah:


1) menentukan umur ekonomis dan umur efektif obyek penilaian; dan
2) menentukan penyusutan dalam bentuk persentase dengan cara membagi umur efektif dengan
umur ekonomis obyek penilaian.

c. Metode Breakdown
Dalam metode breakdown, penyusutan dikelompokkan kedalam tiga bagian utama yaitu:

d. Kerusakan fisik (physcal deterioration)


contohnya rusak, lapuk, retak, mengeras atau kerusakan pada strukturnya

Prosedur perhitungan penyusutan berdasarkan kemunduran fisik (physical deterioration), antara


lain:
a) kemunduran fisik (physical deterioration) yang tidak dapat diperbaiki (incurable) didasarkan pada
faktor umur, dihitung dengan cara membagi umur efektif dengan umur ekonomis; atau
b) kemunduran fisik (physical deterioration) yang dapat diperbaiki (curable) didasarkan pada faktor
kondisi terlihat, dihitung dengan cara memperkirakan besaran biaya perbaikan yang diperlukan.

Rumus umum menghitung depresiasi / penyusutan yang diakibatkan kerusakan fisik


Penyusutan fisik = (umur efektif / umur manfaat) X 100%

e. Keusangan Fungsional (functional obsolescence)


contohnya, perencanaan yang kurang baik, ketidakseimbangan yang berhubungan dengan ukuran, model,
bentuk, umur dan lainnya

Perhitungan penyusutan akibat keusangan fungsional (functional obsolescence) dilakukan dengan


cara menghitung estimasi besarnya biaya yang diperlukan untuk membuat obyek penilaian berfungsi
dengan optimal, atau memperkirakan inefisiensi operasional.

Rumus umum menghitung depresiasi / penyusutan yang diakibatkan kemunduran fungsional


Kemunduran fungsional = % kemunduran fungsional X (100% - %penyusutan fisik)

f. Keusangan Ekonomis (economic obsolescence)


contohnya perubahan sosial, peraturan-peraturan pemerintah dan peraturan lain yg membatasi
peruntukan dan lain-lain.

Perhitungan penyusutan akibat keusangan ekonomis (economic obsolescence) dilakukan dengan


memperhatikan hal-hal, antara lain:
a) dalam hal obyek penilaian dapat diperjualbelikan, maka dihitung dari besarnya nilai perbandingan
harga penjualan pada saat sebelum terjadinya keusangan ekonomis (economic obsolescence)
dengan pada saat sesudah terjadinya keusangan ekonomis (economic obsolescence);
b) dalam hal obyek penilaian merupakan properti komersial, maka dihitung dari besarnya
penurunan pendapatan obyek penilaian dengan memperhatikan penyebab penurunan
pendapatan tersebut; dan
c) dalam hal obyek penilaian merupakan properti industri, maka dihitung dari besarnya penurunan
produksi obyek penilaian dengan memperhatikan penyebab penurunan produksi tersebut.

Rumus umum menghitung depresiasi / penyusutan yang diakibatkan keusangan ekonomis


Keusangan ekonomis = % keusangan ekonomis X (100% - %penyusutan fisik)

9. Pendekatan Penilaian Aset (Pendapatan)

Pendekatan Pendapatan (Income Approach) berdasarkan pada pola pikir hubungan antara
pendapatan dari properti dan nilai dari properti itu sendiri.
Nilai dari properti tergantung pada kemampuan properti itu untuk menghasilkan keuntungan. Metode ini
dikenal juga sebagai metode kapitalisasi karena pendapatan bersih yang dihasilkan oleh suatu properti
dikapitalisasi menjadi nilai kini melalui perhitungan matematis yang disebut dengan kapitalisasi

Formula yang mendasari metode ini adalah

V = I/R Dimana, V= Nilai, I = Pendapatan, R= tingkat bunga

Dalam Pendekatan Pendapatan terdapat 4 metode:


1) Metode Diskonto Arus Kas(Discounted Cash Flow Method/Metode DCF);
2) Metode Kapitalisasi Langsung (Direct Capitalization Method);
3) Metode Penyisaan (Residual Technique Method); dan
4) Gross Income Multiplier (GIM).

a. Metode Diskonto Arus Kas


DCF atau dikenal juga dengan metode Arus Kas yang didiskonto. Dimana arus kas dapat lebih
memberikan gambaran pendapatan suatu properti baik sekarang maupun yang akan datang, dengan
memperhatikan data-data masa lampau. Metode DCF sangat sesuai untuk property yang menghasilkan
pendapatan dengan kondisi perekonomian yang tidak stabil. Proyeksi arus kas sangat penting dalam
penilaian untuk property yang menghasilkan pendapatan, oleh karena itu diperlukan :
- Prinsip antisipasi (principle of anticipation)
- Penyesuaian seluruh data pasar
- Analisa data pasar secara cermat
- Data pasar harus akurat
- Jangka waktu proyeksi yang dapat dianggap memenuhi prediksi arus kas (umumnya 5 – 10 tahun)

Tahapan pekerjaan yang dilakukan pada metode ini adalah:


a) melakukan analisis pendapatan dan pengeluaran dari obyek penilaian dan properti pembanding;
b) mengestimasi pendapatan kotor potensial (potential gross income) dengan memperhatikan,
paling kurang:
1. keandalan asumsi yang digunakan;
2. data historis yang digunakan; dan
3. biaya sewa dan luas area bangunan.
c) melakukan penjumlahan antara pendapatan lain-lain dan pendapatan kotor potensial setelah
dikurangi tingkat kekosongan dan potensi kehilangan pendapatan (vacancy and collection loss)
untuk memperoleh perkiraan pendapatan kotor efektif (effective gross income);
d) menentukan biaya-biaya operasi (operating expenses), dengan memperhatikan, paling kurang:
1. keandalan asumsi yang digunakan;
2. data historis yang digunakan; dan
3. biaya perawatan bangunan.
e) mengurangkan pendapatan kotor efektif dengan biaya-biaya operasional untuk mendapatkan
pendapatan bersih operasi sebelum bunga dan pajak;
f) menentukan Tingkat Diskonto;
g) menentukan prosedur pendiskontoan;
h) mendiskontokan pendapatan bersih operasi (net operating income) untuk mengestimasi indikasi
Nilai obyek penilaian; dan
i) dalam hal terdapat terminal value sebagai salah satu unsur pembentuk indikasi Nilai, maka Penilai
Properti dapat menggunakan tingkat kapitalisasi terminal (terminal capitalization rate)dalam
perhitungan terminal value dengan mempertimbangkan.Tingkat Kapitalisasi pada periode
awal(Initial Capitalization Rate) yang merupakan tolok ukur untuk memastikan besaran tingkat
kapitalisasi terminal (terminal capitalization rate).

b. Metode Kapitalisasi Langsung


Pada metode ini Nilai obyek penilaian didapatkan dengan membagi proyeksi pendapatan tahunan
yang mencerminkan dan mewakili pendapatan tahunan dimasa yang akan datang dengan Tingkat
Kapitalisasi tertentu.

Langkah-langkah yang wajib dilakukan dalam penggunaan metode kapitalisasi langsung (direct
capitalization method), paling kurang:
a) melakukan analisis pendapatan dan pengeluaran dari obyek penilaian dan properti pembanding;
b) mengestimasi pendapatan kotor potensial obyek penilaian;
c) mengestimasi tingkat kekosongan dan potensi kehilangan pendapatan (vacancy and collection
loss) dari obyek penilaian;
d) melakukan pengurangan antara total pendapatan kotor potensial dengan tingkat kekosongan dan
potensi kehilangan pendapatan (vacancy and collection loss) untuk memperoleh pendapatan
kotor efektif (effective gross income);
e) mengestimasi total biaya operasional yang terdiri dari biaya tetap, biaya variabel dan cadangan;
f) melakukan pengurangan antara pendapatan kotor efektif (effective gross income) dengan total
biaya operasional untuk memperoleh pendapatan bersih operasi;
g) menetapkan tingkat kapitalisasi; dan
h) mengkapitalisasikan pendapatan bersih operasi untuk mengestimasi indikasi Nilai obyek
penilaian;

c. Metode Penyisaan
Pada metode ini, nilai obyek penilaian didapatkan dengan mengkapitalisasi komponen
pendapatan yang merupakan bagian dari komponen properti, antara lain tanah dan bangunan serta mesin
dan peralatan. Melakukan pengurangan antara pendapatan bersih operasi properti secara keseluruhan
dengan pendapatan tahunan (annual income) dari komponen-komponen properti lainnya yang bukan
obyek penilaian untuk memperoleh komponen pendapatan obyek penilaian.
Teknik yang digunakan dalam metode penyisaan (residual technique method), adalah sebagai
berikut:
a) Teknik Penyisaan Tanah (Land Residual Technique);
b) Teknik Penyisaan Bangunan (Building Residual Technique); dan/atau
c) Teknik Penyisaan Mesin dan Peralatan Bangunan (Building Equipment Residual Technique).

Dalam penerapan Teknik Penyisaan Tanah (Land Residual Technique), maka berlaku ketentuan sebagai
berikut:
a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta Tingkat Kapitalisasi;
b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan oleh tanah dengan cara
mengurangkan proyeksi pendapatan tahunan properti secara keseluruhan dengan proyeksi
pendapatan tahunan yang dihasilkan oleh properti selain tanah (bangunan, prasarana, mesin
serta peralatan lain);
c) properti selain tanah sebagaimana dimaksud dalam poin b) dapat berupa properti yang telah ada
ataupun berupa proyeksi apabila dibangun/dikembangkan dalam hal memenuhi prinsip
penggunaan terbaik dan tertinggi dari tanah;
d) penentuan Tingkat Kapitalisasi khusus untuk tanah; dan
e) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari tanah sebagaimana dimaksud dalam poin
b) dengan Tingkat Kapitalisasi tanah untuk mendapatkan indikasi nilai tanah;

Dalam penerapan Penilai Properti menggunakan Teknik Penyisaan Bangunan (Building Residual
Technique), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta Tingkat Kapitalisasi;
b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan oleh bangunan dengan cara
mengurangkan proyeksi pendapatan tahunan properti secara keseluruhan dengan proyeksi
pendapatan tahunan yang dihasilkan oleh properti selain bangunan (tanah, mesin serta
peralatan lain);
c) penentuan Tingkat Kapitalisasi khusus untuk bangunan; dan
d) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari bangunan sebagaimana dimaksud dalam
poin b) dengan Tingkat Kapitalisasi bangunan untuk mendapatkan indikasi nilai bangunan;

Dalam penerapan Teknik Penyisaan Mesin dan Peralatan Bangunan (Building Equipment Residual
Technique), maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
a) penentuan proyeksi pendapatan tahunan dari properti serta Tingkat Kapitalisasi;
b) penentuan proyeksi pendapatan tahunan khusus yang dihasilkan oleh mesin dan peralatan
bangunan dengan cara mengurangkan proyeksi pendapatan tahunan properti secara keseluruhan
dengan proyeksi pendapatan tahunan yang dihasilkan oleh properti selain mesin dan peralatan
bangunan (tanah, bangunan dan prasarana);
c) penentuan Tingkat Kapitalisasikhusus untuk mesin dan peralatan bangunan; dan
d) mengkapitalisasikan proyeksi pendapatan tahunan dari mesin dan peralatan bangunan
sebagaimana dimaksud dalam poin b) dengan Tingkat Kapitalisasi mesin dan peralatan bangunan
untuk mendapatkan indikasi nilai mesin dan peralatan bangunan.
d. Metode Gross Income Multiplier
Pada metode ini, nilai obyek penilaian didapatkan dengan mengkonversikan Pendapatan kotor
tahunan (potential gross income) yang mencerminkan dan mewakili pendapatan tahunan dimasa yang
akan datang dengan konstanta tertentu.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penggunaan gross income multiplier method, paling
kurang:
a) mengestimasi nilai jual dari properti yang sebanding dan sejenis dengan obyek penilaian;
b) mengestimasi pendapatan kotor potensial dari properti yang sebanding dan sejenis dengan obyek
penilaian;
c) membagi nilai jual properti sebanding dengan pendapatan kotor potensial properti sebanding dan
sejenis untuk memperoleh gross income multiplier;
d) mengestimasi pendapatan kotor potensial obyek penilaian; dan
e) mengalikan gross income multiplier dengan pendapatan kotor potensial obyek penilaian untuk
memperoleh indikasi Nilai obyek penilaian.

C. Penentuan harga jual properti berdasarkan NJOP

Jika Anda saat ini ingin menjual properti, sebenarnya ada dua metode yang bisa dilakukan untuk
menentukan harga jual. Yang pertama berdasarkan harga pasaran yang berlaku di sekitar properti
kemudian berdasarkan NJOP. Nah, bagi Anda yang ingin mengetahui cara menghitung harga jual properti
menggunakan NJOP berikut ini adalah caranya. :

D.Pemanfaatan Barang Milik Negara

a. Kerja Sama Pemanfaatan (KSP) merupakan bentuk pemanfaatan Barang Milik Negara yang
diharapkan menjadi tulang punggung bagi sumber pendapatan negara dari pengelolaan aset. Hal ini
mengingat KSP dapat dijalankan dengan pendekatan bisnis atau komersial secara penuh. Pendekatan
bisnis dalam pemanfaatan BMN merupakan upaya yang dilakukan guna memaksimalkan potensi aset
dalam menghasilkan pendapatan. Pendekatan bisnis pada kerja sama pemanfaatan Barang Milik Negara
dilakukan dengan pertimbangan saling menguntungkan. Pertimbangan saling menguntungkan tersebut
diwujudkan dalam bentuk penetapan skema bagi hasil yang disepakati kedua belah pihak. Skema bagi
hasil yang adil dan disepakati masing-masing pihak merupakan prasyarat yang harus dipenuhi agar kerja
sama yang dilakukan dapat berjalan dengan baik. Dalam praktik bisnis yang berlaku saat ini terdapat
berbagai macam bentuk skema bagi hasil kerja sama. Bentuk yang paling umum ialah skema bagi hasil
pada kerja sama dalam bentuk patungan usaha (joint venture). Dalam skema ini, pembagian hasil atas
keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha didasarkan pada proporsi risiko dan beban kerja para pihak.
Selain patungan usaha, skema bagi hasil yang jauh lebih tua dilakukan dalam bentuk kerja sama
pengelolaan lahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap lahan. Dalam skema ini bagi hasil
didasarkan pada proprosi yang disepakati di awal atas hasil panen yang diperoleh. Dalam tulisan ini,
Penulis mencoba menguraikan mengenai bentuk-bentuk kerja sama dan skema bagi hasil yang digunakan
serta membandingkannya dengan skema bagi hasil pada kerja sama pemanfaatan aset yang berlaku saat
ini. Pemahaman akan skema bagi hasil dari berbagai bentuk kerja sama usaha diharapkan dapat memberi
pandangan yang lebih luas atas skema bagi hasil yang sebaiknya diterapkan pada kerja sama pemanfaatan
Barang Milik Negara.
Bentuk-bentuk Kerja Sama Usaha

Secara umum, bentuk kerja sama usaha dapat dibedakan menurut prinsip yang mendasari dan
objek yang dikerjasamakan. Kerja sama usaha dapat dilakukan berdasarkan prinsip perusahaan dan
prinsip pengusahaan. Objek kerja sama usaha berdasarkan prinsip perusahaan berupa badan usaha yang
menjalankan kegiatan usaha. Sedangkan objek kerja sama usaha berdasarkan prinsip pengusahaan
berupa aset atau kepentingan yang diusahakan. Kerja sama usaha atas suatu badan usaha dilakukan
berdasarkan hubungan antara para pemilik usaha (business owner). Para pemilik usaha terikat dalam
hubungan kepemilikan atau patungan usaha (joint venture) berdasarkan kontribusi modal dan tanggung
jawab atas entitas usaha. Kewajiban investasi dan tanggung jawab atas kegiatan perusahaan dibagi
berdasarkan kesepakatan para pihak. Hasil dari kegiatan usaha dibagi menurut kontribusi modal dan
tanggung jawab tersebut. Sedangkan kerja sama usaha atas pengusahaan suatu aset (asset partnership)
dilakukan berdasarkan hubungan antara pemilik aset atau kepentingan (principal) dengan pihak yang
mengusahakan aset (agent). Pada prinsipnya pihak yang mengusahakan aset menjalankan suatu kegiatan
usaha untuk kepentingan pemilik aset. Hasil dari kegiatan usaha merupakan hak pemilik aset. Pemilik aset,
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak, memberikan sebagian hasil usaha tersebut kepada pihak
yang mengusahakan aset sebagai kompensasi atas usaha yang dilakukan.

Kerja Sama Pemanfaatan Barang Milik Negara

Kerja sama pemanfaatan (KSP) Barang Milik Negara adalah pendayagunaan BMN oleh pihak lain
dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan negara bukan pajak dan sumber
pembiayaan lainnya. Sesuai pengertiannya, kerja sama pemanfaatan BMN dilakukan guna optimalisasi
aset dalam rangka menghasilkan atau meningkatkan penerimaan negara. Pendayagunaan aset pada kerja
sama pemanfaatan BMN dilakukan oleh pihak lain atau mitra dengan cara mengembangkan suatu aset
BMN menjadi aset yang dapat menghasilkan pendapatan (income producing asset). Pengembangan aset
dapat dilakukan dengan cara mendirikan bangunan, fasilitas, atau konstruksi lainnya (green field) atau
dengan merehabilitasi, merenovasi, atau merekonstruksi aset yang sudah ada (brown field). Investasi atau
modal yang dibutuhkan dalam rangka pengembangan aset ditanggung oleh mitra KSP. Aset BMN yang
telah dikembangkan selanjutnya diusahakan atau diopersionalkan oleh mitra KSP selama jangka waktu
tertentu. Setelah jangka waktu kerja sama berakhir, aset dimaksud kemudian diserahkan kepada
Pemerintah selaku pemilik aset. Selama masa kerja sama, pendapatan atau keuntungan yang diperoleh
dari pengusahaan aset dibagi berdasarkan proporsi investasi para pihak dan memperhitungkan risiko yang
ditanggung mitra. Selain pembagian keuntungan, mitra KSP juga diwajibkan membayar kontribusi tetap
kepada Pemerintah. Nilai kontribusi tetap yang harus dibayarkan dihitung berdasarkan persentase
tertentu dari nilai aset BMN yang menjadi objek KSP. Kontribusi tetap dan pembagian keuntungan
dibayarkan setiap tahun dengan ketentuan kontribusi tetap tahun kedua dan seterusnya dibayarkan
berdasarkan besaran kontribusi tetap tahun pertama dengan kenaikan tertentu.

Pada prinsipnya kerja sama pemanfaatan Barang Milik Negara merupakan kerja sama usaha yang
dilakukan berdasarkan prinsip pengusahaan aset. Prinsip pengusahaan aset pada kerja sama pemanfaatan
BMN dilakukan berdasarkan hubungan antara Pemerintah sebagai pemilik aset (principal) dengan mitra
KSP sebagai pihak yang mengusahakan aset (agent). Meskipun dalam pelaksanaanya terdapat kebutuhan
investasi untuk mengembangkan aset, investasi tersebut harus dipahami dalam konteks pengusahaan
aset yang dilakukan mitra. Investasi yang dikeluarkan mitra tersebut dapat dipersamakan dengan investasi
yang dikeluarkan kontraktor kontrak kerja sama dalam rangka eksplorasi dan eksploitasi migas atau benih
yang harus ditanam dalam rangka kerja sama pengolahan lahan pertanian. Investasi itu dilihat dari sisi
mitra yang mengharapkan pengembalian atas dana yang telah dikeluarkan. Sedangkan dari sisi
Pemerintah, seluruh pengeluaran dalam rangka pelaksanaan kerja sama diperlakukan sebagai biaya
pengusahaan yang harus diperhitungkan dari hasil pengusahaan atau pendapatan aset.

Pemanfaatan BMN

Skema bagi hasil pada kerja sama usaha didasarkan pada konsep hubungan para pihak dalam kerja
sama. Pada kerja sama usaha atas dasar hubungan kepemilikan atau patungan usaha, hasil usaha yang
diperoleh entitas usaha merupakan hak pemilik usaha. Hasil usaha tersebut kemudian dibagikan diantara
para pemilik berdasarkan kontribusi dan pembagian risiko. Kontribusi yang diberikan dapat berupa
kontribusi modal dan operasional. Risiko yang ditanggung para pihak tergantung bentuk badan usaha yang
dijalankan. Pada badan usaha berbentuk persekutuan (partnership), risiko yang ditanggung para pihak
tidak hanya sebatas pada harta yang dimiliki perusahaan tetapi juga harta pribadi yang dimiliki. Pada
badan usaha berbentuk perseroan terbatas (limited liability) risiko yang ditanggung para pihak hanya
sebatas modal yang disetor. Dengan demikian skema pembagian keuntungan pada persekutuan berbeda
dengan skema pembagian keuntungan pada perseroan terbatas. Pada persekutuan, pembagian
keuntungan dapat dilakukan berdasarkan kontribusi modal dan tanggung jawab atau risiko yang
ditanggung para pihak. Sedangkan pada perseroan terbatas pembagian keuntungan hanya didasarkan
pada proporsi modal atau investasi.

Perubahan dengan menyesuaikan dengan praktik bisnis yang sesuai ini diharapkan dapat
mengakselerasi pelaksanaan pemanfaatan Barang Milik Negara sebagai sumber pendapatan negara dapat
diwujudkan. Selain optimalisasi aset sebagai sumber pendapatan, pelaksanaan kerja sama pemanfaatan
diharapkan dapat memberi kontribusi pada perekonomian melalui peningkatan investasi dan penciptaan
lapangan pekerjaan.

BENTUK PEMANFAATAN BARANG MILIK NEGARA

Sesuai dengan PMK Nomor 115/PMK.06/2020, karakteristik dan penjelasan terkait bentuk-bentuk
pemanfaatan BMN dapat dijabarkan sebagai berikut.

1. SEWA

Definisi :
Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dan menerima imbalan uang tunai.

Subjek :
Pihak yang dapat menyewa antara lain Badan Usaha Milik Negara/Daerah/Desa, Perorangan, Unit
penunjang kegiatan penyelenggaraan pemerintahan/negara dan badan usaha lainnya.

Objek :
BMN berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan, baik itu seluruhnya
maupun sebagian.

Jangka waktu :
Paling lama 5 (lima) tahun sejak dilakukan penandatanganan perjanjian dengan periode jam, hari, bulan
maupun tahun dan dapat diperpanjang.
Kontribusi :
Nilai sewa.

Contoh :
Sewa ruangan ATM, sewa Aula Dhanapala Kementerian Keuangan, dll.

2. PINJAM PAKAI

Definisi :
Pemanfaatan BMN melalui penyerahan penggunaan BMN dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah
atau Pemerintah Desa dalam Jangka Waktu tertentu tanpa menerima imbalan dan setelah jangka waktu
tersebut berakhir, diserahkan kembali kepada Pengelola Barang/Pengguna Barang.

Subjek :
Pihak yang dapat meminjam pakai adalah Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa.

Objek :
BMN berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan, baik itu seluruhnya
maupun sebagian.

Jangka Waktu :
Paling lama 5 (lima) tahun sejak dilakukan penandatanganan perjanjian dan dapat diperpanjang.

Kontribusi :
Manfaat ekonomi dan/atau sosial Pemerintahan Daerah atau Pemerintahan Desa.

Contoh :
Pinjam Pakai Kendaraan Dinas, Pinjam Pakai Gedung Kantor, dll.

3. KERJA SAMA PEMANFAATAN (KSP)

Definisi :
Pemanfaatan BMN oleh pihak lain dalam jangka waktu tertentu dalam rangka peningkatan penerimaan
negara bukan pajak dan sumber pembiayaan lainnya.

Subjek :
Pihak yang menjadi mitra KSP adalah Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Badan Usaha Milik Daerah
(BUMD) dan/atau swasta kecuali perorangan.

Objek :
BMN berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan, baik itu seluruhnya
maupun sebagian.

Jangka Waktu :
Paling lama 30 (tiga puluh) tahun, untuk KSP Penyediaan infrastruktur paling lama 50 (lima puluh) tahun
sejak penandatanganan perjanjian dan dapat diperpanjang.

Kontribusi :
Kontribusi tetap dan pembagian keuntungan.

Contoh :
KSP Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya, dll.

4. BANGUN GUNA SERAH (BGS)/BANGUN SERAH GUNA (BSG)

Definisi :
BANGUN GUNA SERAH adalah pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, kemudian didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam
jangka waktu tertentu yang telah disepakati. Selanjutnya diserahkan kembali tanah beserta bangunan
dan/atau sarana berikut fasilitasnya setelah berakhirnya jangka waktu.

BANGUN SERAH GUNA adalah pemanfaatan BMN berupa tanah oleh pihak lain dengan cara mendirikan
bangunan dan/atau sarana berikut fasilitasnya, setelah selesai pembangunannya diserahkan untuk
didayagunakan oleh pihak lain tersebut dalam jangka waktu tertentu yang disepakati.

Subjek :
Pihak yang menjadi mitra BGS/BSG adalah BUMN, BUMD, Swasta kecuali perorangan atau Badan Hukum
Lainnya.

Objek :
BMN berupa tanah

Jangka Waktu :
Paling lama 30 (tiga puluh) tahun sejak penandatanganan perjanjian dan tidak dapat diperpanjang.

Kontribusi :
Kontribusi tahunan dan hasil BGS/BSG

Contoh :
BGS Kompleks Tanah yang dikelola Pusat Pengelolaan Kompleks Gelora Bung Karno (PPGBK) Senayan, DKI
Jakarta, dll.

5. KERJA SAMA PENYEDIAAN INFRASTRUKTUR (KSPI)

Definisi :
Pemanfaatan BMN melalui kerja sama antara pemerintah dan badan usaha untuk kegiatan penyediaan
infrastruktur sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Subjek :
Pihak yang menjadi mitra KSPI adalah Badan Usaha Swasta berbentuk PT, Badan Hukum asing, BUMN,
BUMD, Anak perusahaan BUMN, dan Koperasi.

Objek :
BMN berupa tanah dan/atau bangunan serta selain tanah dan/atau bangunan, baik itu seluruhnya
maupun sebagian.
Jangka Waktu :
Paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak penandatanganan perjanjian dan dapat diperpanjang.

Kontribusi :
Barang hasil KSPI dan pembagian atas kelebihan keuntungan (clawback).

Contoh :
KSPI Pelabuhan Patimban, Subang, Jawa Barat, dll.

6. KERJA SAMA TERBATAS UNTUK PEMBIAYAAN INFRASTRUKTUR (KETUPI)

Definisi :
Pemanfaatan BMN melalui optimalisasi BMN untuk meningkatkan fungsi operasional BMN guna
mendapatkan pendanaan untuk pembiayaan infrastruktur lainnya.

Subjek :
Pelaksana KETUPI adalah Penanggung Jawab Pemanfaatan BMN (PJPB) dan Badan Layanan Umum (BLU)
dengan mitra BUMD, Swasta berbentuk PT, Badan Hukum Asing atau Koperasi.

Objek :
BMN berupa tanah dan/atau bangunan beserta fasilitasnya.

Jangka Waktu :
Paling lama 50 (lima puluh) tahun sejak penandatanganan perjanjian dan dapat diperpanjang.

Kontribusi :
Pembayaran dana di muka (upfront payment) dan Aset hasil KETUPI

Contoh :
Pembangunan Jalan Tol, Bendungan dan Pelabuhan yang dikelola oleh Badan Layanan Umum Lembaga
Manajemen Aset Negara (BLU LMAN) melalui skema KETUPI, dll.

b. Partnership Kelebihan dan Kekurangan

Secara sederhana, business partnership merupakan bisnis dengan banyak pemilik, yang masing-
masing telah berinvestasi dalam bisnis tersebut. Beberapa kemitraan mencakup individu yang bekerja
dalam bisnis, sementara yang lainnya mungkin termasuk mitra yang memiliki partisipasi terbatas serta
kewajiban yang terbatas pula.

Sebelum memulai kemitraan, Anda harus menentukan jenis kemitraan apa yang Anda inginkan.
Diantaranya adalah Kemitraan Umum, terdiri dari mitra yang berpartisipasi dalam operasi sehari-hari dari
kemitraan adalah siapa yang bertanggung jawab sebagai pemilik hutang dan tuntutan hukum. Kemitraan
Terbatas, yang memiliki satu mitra umum yang mengelola bisnis dan satu atau lebih mitra terbatas yang
tidak berpartisipasi dalam operasi kemitraan dan yang tidak memiliki tanggung jawab. Serta Kemitraan
Pertanggungan Terbatas yang serupa dengan kemitraan terbatas, namun mungkin ada beberapa mitra
umum.

a. Kelebihan dan Kekurangan Business Partnership

Business partnership atau kemitraan merupakan suatu bentuk kerjasama dua orang atau lebih
yang bersama-sama memiliki sebuah bisnis dengan tujuan menghasilkan laba. Bentuk kemitraan yang
sering dikenal adalah firma dan CV. Firma adalah suatu bentuk kemitraan dimana seluruh mitra
berpartisipasi aktif dalam menjalankan usaha dan bertanggung jawab secara bersama-sama.

Sedangkan CV adalah bentuk kemitraan yang mengenal adanya mitra aktif dan pasif atau
komanditer. Mitra aktif merupakan mitra yang ikut memiliki, mengoperasikan, serta mengelola bisnis
serta memiliki kewajiban tidak terbatas terhadap utang persekutuan. Sedangkan mitra komanditer
merupakan anggota kemitraan yang tidak berperan aktif dalam mengelola perusahaan dan kewajibannya
pada utang kemitraan sebatas uang yang ditanamkannya.

Kemitraan bisnis memang memiliki banyak keuntungan. Hal ini membuat


bisnis partnership menjadi salah satu cara yang paling umum untuk mencapai kesuksesan dalam
berbisnis. Namun sayangnya, meskipun memiliki banyak keuntungan ternyata kemitraan juga bisa
memiliki kelemahan. Bahkan data statistik menunjukkan bahwa hingga 70% kemitraan bisnis pada
akhirnya gagal.

1. Kelebihan

- Pendirian yang dapat dilakukan dengan mudah, dengan cara informal jika dianggap belum perlu
untuk menjadikan usaha kemitraan tersebut formal dan tercatat.

- Keterampilan yang dapat saling melengkapi keterbatasan dalam mengerjakan sesuatu di dalam
menjalankan suatu bisnis.

- Pembagian laba dapat dilakukan dengan lebih mudah, berdasarkan kesepakatan bersama yang
ditentukan di awal kerja sama. Pembagian laba belum tentu sama dengan perbandingan modal
karena beban kerja dan tanggung jawab dalam menjalankan bisnis bisa jadi berbeda.

- Kemudahan dalam mencari mitra pasif atau komanditer. Mitra komanditer dianggap sebagai
suatu bentuk kelebihan bentuk usaha kemitraan karena dapat mengakomodasi orang-orang yang
bersedia melakukan investasi tanpa mau terlibat secara langsung dalam bisnis. Serta bersedia
untuk mengambil risiko hanya sebatas uang yang ditanam tersebut.

- Pengumpulan modal aktif yang lebih besar. Apalagi jika ditambah dengan komitmen yang
mencapai harta pribadi, maka akan memungkinkan terjadinya perluasan usaha karena adalah
modal yang lebih besar.

- Adanya keluwesan dalam beradaptasi dengan dunia bisnis dan kecepatan dalam mengambil
keputusan.

2.Kekurangan
- Kewajiban tidak terbatas, yang mengharuskan pemilik mempertanggungjawabkan kewajibannya
hingga ke harta pribadi (kecuali mitra pasif).

- Akumulasi modal yang masih kurang optimal. Meskipun bentuk usaha kemitraan masih lebih baik
dalam mencari modal yang lebih besar dibandingkan mitra perorangan, namun bentuk usaha ini
masih dianggap kurang efektif jika dibandingkan dengan usaha perseorangan.

- Kesulitan untuk keluar dari kemitraan, karena dalam sebuah kemitraan apabila ingin menarik diri
biasanya saham yang ingin melepaskan diri harus dijual ke mitra yang lain. Padahal, seringkali
mitra yang lain tidak berniat atau tidak memiliki dana yang cukup untuk membeli saham mitra
yang ingin keluar. Sehingga seringkali kemitraan harus dibubarkan, yang membuat permasalahan
menjadi lebih rumit, apalagi seringkali nama menjadi trade mark yang diingat oleh para
pelanggan atau konsumen.

- Kurang berkesinambungan, dapat terjadi apabila ahli waris dari pihak yang meninggal tidak mau
ber-partner dengan mitra sang pewaris.

- Lebih berpotensi terjadi konflik.

c. Kerja Sama: Pengertian, Bentuk dan Faktor Pendorong

a. Pengertian kerja sama

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kerja sama adalah kegiatan atau usaha yang
dilakukan oleh beberapa orang (lembaga, pemerintah dan sebagainya) untuk mencapai tujuan bersama.

Dalam bahasa Inggris, kerja sama disebut cooperate. Menurut Kamus Oxford kerja sama adalah
bekerja bersama menuju akhir yang sama.

Soerjono Soekanto menyatakan kerja sama merupakan suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau kelompok untuk mencapai tujuan tertentu.

Basrowi menyatakan kerja sama merupakan proses sosial di mana di dalamnya terdapat aktivitas
tertentu yang ditujukan untuk mencapai tujuan bersama dengan saling membantu dan saling memahami
terhadap aktivitas masing-masing.

Pamudji mengartikan kerja sama adalah pekerjaan yang dilakukan oleh dua orang atau lebih
dengan melakukan interaksi antar individu yang melakukan kerja sama sehingga tercapai tujuan yang
dinamis.

Menurut Pamudji, ada tiga unsur yang terkandung dalam kerja sama yaitu:

1. Orang yang melakukan kerja sama

2. Adanya interaksi
3. Adanya tujuan yang sama

Berdasarkan pendapat para ahli, dapat disimpulkan kerja sama adalah bentuk hubungan antara
manusia yang satu dengan manusia lainnya yang saling berinteraksi dan saling menguntungkan untuk
mencapai tujuan bersama.

Berdasarkan hal tersebut, maka terdapat tiga prinsip dalam kerja sama yaitu:

1. Berorientasi pada tercapainya tujuan yang baik

2. Memperhatikan kepentingan bersama

3. Saling menguntungkan

Gotong Royong

Salah satu bentuk kerja sama adalah gotong royong. Gotong royong terdiri dari kata gotong yang
artinya bekerja dan royong yang artinya bersama.

Secara harfiah, gotong royong berarti mengangkat bersama-sama atau mengerjakan sesuatu
bersama-sama.

Sikap gotong royong adalah bekerja bersama-sama dalam menyelesaikan pekerjaan dan
menikmati hasil pekerjaan tersebut secara adil.

Goyong royong adalah suatu usaha atau pekerjaan yang dilakukan tanpa pamrih dan dilakukan
secara sukarela oleh semua warga menurut batas kemampuannya masing-masing.

Gotong royong merupakan ciri khas dan budaya masyarakat Indonesia yang didorong adanya
kesadaran bahwa:

Manusia memerlukan bantuan orang lain dalam kehidupannya.

Manusia dapat hidup secara wajar apabila bersama-sama dengan manusia lainnya.

Di Indonesia terdapat berbagai macam istilah kerja sama sesuai adat istiadat dan budaya daerah
masing-masing. Istilah kerja sama tersebut antara lain:

1. Gugur gunung (Yogyakarta)

2. Sambatan (Jawa Tengah)

3. Mapalus (Minahasa)

4. Ammosi (Sulawesi Selatan)

5. Subak (Bali)
6. Siadapari (Sumatera Utara)

7. Manunggal Sakato (Sumatera Barat)

a. Bentuk kerja sama

Bentuk kerja sama dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Kerja sama primer

Kerja sama primer adalah kerja sama yang terjadi dalam kelompok primer yaitu keluarga. Pihak-
pihak yang terlibat dalam kerja sama ini adalah setiap orang yang ada di lingkungan keluarga. Misal, ayah,
ibu, anak, kakek dan nenek.

2. Kerja sama sekunder

Kerja sama sekunder adalah kerja sama yang terjadi dalam kelompok sekunder, yaitu kelompok
yang terdapat di luar lingkungan keluarga. Misal organisasi kemasyarakatan dan organisasi profesi.

Faktor pendorong terjadinya kerja sama

Menurut JB Chitambar, faktor yang mendorong terjadinya kerja sama antara lain:

1. Motivasi pribadi

2. Kepentingan umum

3. Motivasi altruistik

4. Tuntutan situasi

Berikut ini penjelasannya:

a. Motivasi pribadi

Motivasi pribadi berarti tujuan-tujuan pribadi dihimpun dalam usaha-usaha bersama untuk
mencapainya.

b. Kepentingan umum

Kepentingan umum atau kepentingan bersama berdasarkan tujuan yang dianggap bernilai tinggi
dapat memberi motivasi kepada orang-orang atau kelompok-kelompok dan organisasi untuk bekerja
sama.
c. Motivasi altruistik

Motivasi altruistik bersumber dari keinginan seseorang untuk menolong pihak lain karena
panggilan hati. misalnya kelompok suka rela yang berniat menolong suatu pihak yang memerlukan
bantuan.

d. Tuntutan situasi

Tuntutan situasi adalah desakan karena berada pada situasi tertentu misalnya karena musibah
banjir, orang-orang tergerak untuk menanggulangi.

d. Optimalisasi PNBP dari Kerjasama Pemanfaatan (KSP) BMN: Peran Tim Penilai DJKN dan
Pembentukan Tim Pemanfaatan Kantor Pusat

Optimalisasi PNBP dari Pemanfaatan BMN sangat penting sehingga diperlukan peranan bukan
hanya para Penilai DJKN tetapi perlu Pembentukan Tim Pemanfaatan BMN Kantor Pusat. Pemanfataan
BMN dalam Siklus Pengelolaan BMN sesuai PP 27 Tahun 2014, pasal 6 (2), Pengguna Barang memiliki
kewenangan untuk mengajukan usul pemanfaatan BMN yang berada dalam penguasaannya. Selanjutnya,
Pengelola Barang berwenang sesuai pasal 4 (2) memberikan persetujuan atas usul Pemanfaatan BMN dari
Pengguna Barang tersebut. Yang dimaksud Pemanfaatan BMN adalah Pendayagunaan BMN yang tidak
digunakan untuk Tugas dan Fungsi Kementerian/atau Optimalisasi BMN dengan tidak mengubah status
kepemilikan. Pemanfataan BMN dapat berupa: Sewa, Pinjam Pakai, Kerjasama Pemanfaatan, BGS/BSG,
dan Kerjasama Penyediaan Infrastruktur.

Sesuai arahan Menteri Keuangan, Sri Mulyani, bahwa Aset Negara harus berkeringat
menghasilkan PNBP yang optimal. DJKN sebagai satu-satunya Pengelola Kekayaan Negara tidak hanya
sebagai Asset Administrator tetapi menjadi Distingusih Asset Manager yang berfokus menjadikan DJKN
sebagai Revenue Center. Peran DJKN sangat strategis untuk mengoptimalkan Pemanfaatan BMN salah
satunya yang akan dibahas adalah Kerjasama Pemanfaatan (KSP) BMN.

Dalam Siklus Pengelolaan BMN terdapat Kerjasama Pemanfaatan BMN (KSP) karena keterbatasan
APBN dan tidak tersedianya biaya untuk perawatan dan pemeliharaan BMN.

Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 78/2014 secara garis besar, yaitu :

1. Mengoptimalkan daya guna dan daya hasil BMN. Ada 2 kategori aset
yaitu Exploratory Asset dan Exploitative Asset. Exploratory Asset adalah aset yang
belum pernah dimanfaatkan, sedangkan Exploitative Asset adalah aset yang
sudah pernah dimanfaatkan tapi belumdieksploitasi optimal. Aset tidak
dapat berkeringat secara optimal karena tidak ada kontrak KSP. Kontrak KSP adalah dasar
dalam penagihan PNBP tetapi tidak mengalihkan kepemilikan BMN. Kontrak KSP sangat
jarang, karena jarang usulan pemanfaatan BMN dari Pengguna. Jarangnya usulan
pemanfaatan karena kurang optimalnya peran Pengawasan dan Pengendalian (Wasdal)
Pengelola. Kurang optimalnya PNBP Pemanfaatan karena peran Penilai kurang tepat
dalam memberikan opini nilai wajar BMN. Selain itu, di lapangan terdapat berbagai
masalah hukum yang membutuhkan pendampingan dari Tim Pemanfaatan. Tim
Pemanfaatan menurut hemat penulis sangat diperlukan agar Tim Penilai dapat bekerja
profesional, objektif, independen, dan akuntable. Tim Pemanfaatan diperlukan apabila
ada permasalahan hukum.

2. Meningkatkan penerimaan negara atau CashFlow untuk membiayai APBN atau


pembiayaan lainnya. Mendukung tujuan DJKN sebagai Distinguish Asset Manager perlu
peningkatan skala kinerja Revenue Center.

Anda mungkin juga menyukai