Anda di halaman 1dari 14

Cara Mengetahui Tingkat Pencemaran air

Menurut peraturan pemerintah (PP) No. 82 tahun 2001 mengenai lingkungan,


pencemaran air adalah masuknya atau dimasukannya makhluk hidup, zat, energi dan atau
komponen lain ke dalam air oleh kegiatan manusia sehingga kualitas air turun hingga tingkat
tertentu yang menyebabkan air tidak dapat berfungsi sesuai dengan peruntukkannya.
Pencemaran air dapat diketahui dari perubahan warna, bau, serta adanya kematian dari biota
air, baik sebagian atau seluruhnya. Apabila suatu sungai, danau atau laut diindikasikan
tercemar, tentunya kita juga harus tau seberapa besar tingkat pencemaran dari air tersebut.
Lalu, bagimana cara mengetahui tingkat pencemaran air? Pertanyaan berikut ini akan kita
jawab dalam artikel berikut ini. Adapun cara mengetahui tingkat pencemaran air yaitu
sebagai berikut:

1. Biochemical Oxygen Demand (BOD)

Biochemical Oxygen Demand merupakan banyaknya oksigen dalam mg/l yang diperlukan
oleh mikroba untuk menguraikan bahan organik pada suhu 20 °C selama lima hari.
Pengukuran BOD dapat dilakukan dengan menghitung selisih antara oksigen terlarut awal
dengan oksigen terlarut pada air sampel yang telah disimpan selama 5 hari pada suhu 20 °C.
Kadar oksigen terlarut dalam air alami berkisar antara 5–7 ppm. 1 ppm adalah 1 mg oksigen
yang terlarut dalam 1 liter air. Penurunan kadar oksigen terlarut dalam air adalah akibat
terjadinya proses oksidasi bahan organik, reduksi zat hasil aktivitas bakteri anaerob, dan
respirasi makhluk hidup air terutama pada malam hari.

Limbah bahan organik yang masuk ke dalam air diurai oleh mikroba, mikroba
membutuhkan oksigen terlarut untuk mengoksidasi bahan organik. Semakin banyak limbah
organik, semakin banyak mikroba yang hidup. Untuk hidupnya, mikroba memerlukan
oksigen. Semakin banyak mikroba, semakin rendah kadar oksigen terlarut dalam air. Hal ini
dapat mengganggu kehidupan di dalam air. BOD dapat menggambarkan oksigen yang
dibutuhkan untuk menguraikan bahan organik yang dapat didekomposisikan secara biologis
(biodegradable).
2. Chemical Oxygen Demand (COD)

Chemical Oxygen Demand menunjukkan total jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk
proses oksidasi bahan organik secara kimiawi baik yang biodegradable maupun yang
nonbiodegradable.

3. Oksigen terlarut (Dissolved Oxygen = DO)

Dissolved Oxygen menunjukkan jumlah kandungan oksigen di dalam air yang diukur
dalam 1 mg/1 lt. DO dapat digunakan sebagai indikasi seberapa besar jumlah pengotoran
limbah. Semakin tinggi oksigen terlarut, semakin kecil tingkat pencemarannya.

4. Total Suspended Solid (TSS), Mixed Liquor Suspended Solid

(MLSS), dan Mixed Liquor Volatile Suspended Solid (MLVSS) TSS, MLSS, dan
MLVSS menunjukkan jumlah berat dalam mg/1 kering lumpur yang ada di dalam air limbah
setelah dilakukan penyaringan dengan membran berukuran 0,45 mikron. MLSS menunjukkan
jumlah TSS yang berasal dari bak pengendap lumpur aktif sesudah dipanaskan pada suhu 103
°C -105 °C, sedangkan MLVSS merupakan kandungan organic matter yang terdapat pada
MLSS sesudah dipanaskan pada suhu 600 °C. Benda volatie yang menguap inilah yang
disebut dengan MLVSS.

5. Kekeruhan (Turbidity)

Kekeruhan air dapat diukur dengan menggunakan efek cahaya. Kekeruhan air disebabkan
oleh tercampurnya air dengan bahan organik di dalam air.

6. pH air

pH air dapat dijadikan indikasi apakah air tersebut tercemar atau tidak dan seberapa besar
tingkat pencemarannya. pH air alami berkisar antara 6,5 – 8,5 dan pada kisaran pH ini sangat
cocok untuk kehidupan organisme di dalam air. Pencemaran air dapat menyebabkan naik atau
turunnya pH air. Jika banyak tercemar zat yang bersifat asam (bahan organik), pH air akan
lebih kecil dari 6,5, tetapi jika air tercemar oleh zat yang bersifat basa (kapur), pH air akan
lebih besar dari 8,5. Setiap kenaikan 1 angka pada skala pH menunjukkan kenaikan kebasaan
10 kali. Demikian juga sebaliknya, penurunan 1 angka pada skala pH menunjukkan
penurunan keasaman 10 kali. Kondisi air yang semakin asam atau semakin basa menjadi
semakin tidak cocok bagi kehidupan organisme di dalam air, sehingga jika pH air semakin
asam akan semakin sedikit organisme yang hidup di dalamnya, bahkan tidak ada sama sekali.

7. Pengukuran Kadar CO2

Tingkat pencemaran air dapat diukur dengan cara tetrimetri untuk menentukan kadar
karbondioksida (CO2) terlarut dalam air. Semakin banyak organisme yang hidup di dalam air,
maka semakin tinggi kadar CO2 yang terdapat di dalam air karena gas CO2 yang terlarut di
dalam air berasal dari proses pernapasan organisme yang terdapat di dalam air tersebut.
Semakin banyak organismenya, maka gas oksigen yang terlarut di dalam air semakin banyak,
atau sebaliknya.

8. Pengukuran Pencemaran Air Secara Biologis

Pengukuran pencemaran air secara biologis merupakan pengukuran kualitatif (mutu) air
tercemar. Pengukuran pencemaran air secara biologis tersebut hanya untuk menentukan besar
dan tingkat pencemaran air. Indikator yang sering digunakan biasanya adalah makhluk hidup
yang ada di dalam air itu. Alasannya, karena makhluk hidup yang digunakan sebagai
indikatornya selalu berada terus menerus di dalam air yang terpengaruh langsung oleh bahan
pencemar. Setiap jenis makhluk hidup tersebut mempunyai daya tahan (adaptasi) yang
berbeda-beda terhadap bahan pencemar. Jika makhluk hidup itu mempunyai daya tahan
tinggi, maka ia akan tetap bertahan hidup, tetapi jika makhluk hidup memiliki daya tahannya
rendah atau peka terhadap bahan pencemar, maka akan mudah mati, bahkan punah.

Kita dapat menggunakan cacing planaria untuk mengetahui tingkat pencemaran air
sungai. Bentuk cacing ini pipih dan peka terhadap bahan pencemar. Habitat planaria berada
pada lingkungan yang airnya jernih dan banyak mengandung oksigen. Jika di sungai masih
banyak kita temukan cacing planaria, berarti sungai tersebut belum tercemar. Apabila
keberadaan cacing planaria semakin sedikit atau punah sama sekali, maka dapat dikatakan
pencemaran air di sungai itu semakin tinggi. Meskipun pengukuran pencemaran air secara
biologis hanya dilakukan dengan cara pengamatan saja, tetapi hasilnya lebih mudah terlihat
dibandingkan dengan pengukuran pencemaran air secara kimia, seperti telah dijelaskan pada
uraian di atas. Hal itu disebabkan makhluk hidup yang digunakan sebagai indikatornya selalu
terus menerus berada di dalam air yang terpengaruh langsung oleh bahan pencemar.
Tindakan Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran Air

Pencemaran air dapat memberikan dampak yang sangat merugikan terhadap manusia, hewan
maupun lingkungan serta ekosistem disekitarnya. Pencemaran air dapat mengakibatkan
gangguan kesehatan, kerusakan lingkungan serta terganggunya keseimbangan ekosistem. 
Begitu besar dampak yang ditimbulkan oleh pencemaran air terhadap kelangsungan makhluk
hidup dan ekosistem di permukaan bumi, sehingga tindakan pencegahan dan penanggulangan
pencemaran air penting untuk dilakukan. Berikut ini akan dijelaskan mengenai tindakan
pencegahan dan penanggulangan pencemaran air, agar air sebagai kebutuhan vital bagi
makhluk hidup tetap terjaga kebersihannya.

1. Penggunaan pupuk organik dan kompos sebagai pengganti pupuk buatan pabrik.

Hal ini merupakan alternatif tepat untuk mengurangi pencemaran air oleh nitrat dan
fospat. Kompos dan pupuk organik di samping dapat memulihkan kandungan mineral dalam
tanah juga dapat memperbaiki struktur dan aerasi tanah serta mencegah eutrofikasi

2. Pemanfaatan musuh alami dan parasitoid dalam pemberantasan hama.

Pemanfaatan musuh alami dan parasitoid lebih aman bagi lingkungan. Hama
pengganggu populasinya berkurang, tetapi tidak menimbulkan residu pestisida dalam tanah
dan dalam tubuh tanaman. Pertanian organik sudah dikembangkan di negara-negara maju.
Disamping menghasilkan produk yang aman bagi lingkungan dan kesehatan, produk
pertanian organik memiliki nilai jual yang lebih tinggi.

3. Hindari penggunaan racun dan bahan peledak untuk menangkap ikan.

Penggunaan jala dan pancing di samping lebih higienis juga tidak menimbulkan
kerusakan lingkungan, kelangsungan regenerasi ikan juga dapat berlangsung baik.

4. Jangan membuang limbah rumah tangga di sungai atau danau.

Sebaiknya kelola limbah rumah tangga dengan baik dan benar.

5. Kurangi penggunaan detergen.


Sebisa mungkin pilihlah detergen yang ramah lingkungan dan dapat terurai di alam
secara cepat.

6. Pengolahan limbah cair dari pabrik/industri dengan benar.

Limbah cair dari pabrik sebaiknya disaring, diencerkan, diendapkan dan dinetralkan
dulu sebelum dibuang ke sungai.

7. Perencanaan AMDAL

Pembangunan kawasan industri sebaiknya disertai dengan perencanaan AMDAL


(Analisis Mengenai Dampak Lingkungan).

8. Kawasan industri harus memenuhi syarat yang telah ditentukan.

Persyaratan untuk kawasan industri yaitu telah memiliki instalasi pengolahan limbah,
jauh dari pemukiman warga, serta seminimal mungkin menghasilkan limbah.

9. Memiliki bak penampungan limbah (septi tank)

Rumah sakit dan peternakan sebaiknya memiliki bak penampungan limbah (septi
tank) untuk menampung limbah yang dihasilkan.

10. Setiap rumah hendaknya membuat septi tank yang baik.

11.Pencegahan kebocoran instalasi pengeboran minyak lepas pantai dan kebocoran


tanker minyak.

Mengupayakan pencegahan kebocoran instalasi pengeboran minyak lepas pantai,


kebocoran tanker minyak yang dapat menimbulkan tumpahan minyak di laut. Jika terjadi
tumpahan minyak di pantai harus segera dibersihkan sebelum menimbulkan dampak lebih
luas.

12. Gerakan penghijauan, reboisasi, pembuatan jalur hijau, mempertahankan areal


resapan air.
Melakukan gerakan penghijauan, reboisasi, pembuatan jalur hijau, mempertahankan
areal resapan air pada kawasan-kawasan penyangga untuk mencegah terjadinya banjir.

13. Pembuatan sengkedan dan terasering pada lahan miring

Pembuatan sengkedan dan terasering pada lahan miring juga dapat memperkecil laju
erosi, yang akhirnya dapat mengurangi tingkat pencemaran karena erosi lapisan tanah.

Gambar 1 Diagram proses pengolahan air limbah rumah tangga (domistik) dengan proses
biofilter anaerob-aerob

INTRUSI AIR LAUT

Kawasan pantai adalah kawasan yang secara topografi merupakan dataran rendah dan
dilihat secara morfologi berupa dataran pantai. Secara geologi, batuan penyusun dataran
umumnya berupa endapan aluvial yang terdiri dari lempung, pasir dan kerikil hasil dari
pengangkutan dan erosi batuan di bagian hulu sungai. Umumnya batuan di dataran bersifat
kurang kompak, sehingga potensi airtanahnya cukup baik. Akuifer di dataran pantai yang
baik umumnya berupa akuifer tertekan, tetapi akuifer bebas pun dapat menjadi sumber
airtanah yang baik terutama pada daerah-daerah pematang pantai/gosong pantai.
Permasalahan pokok pada kawasan pantai adalah keragaman sistem akuifer, posisi dan
penyebaran penyusupan/intrusi air laut baik secara alami maupun secara buatan yang
diakibatkan adanya pengambilan airtanah untuk kebutuhan domestik, nelayan, dan industri.
Oleh karena itu, kondisi hidrogeologi di kawasan ini perlu diketahui dengan baik, terutama
perbandingan antara kondisi alami dan kondisi setelah ada pengaruh eksploitasi.

Gambar 1.
Penampang
Melintang
Pertemuan
Airtanah dan Air Laut

Air laut memiliki berat jenis yang lebih besar dari pada air tawar akibatnya air laut
akan mudah mendesak airtanah semakin masuk. Secara alamiah air laut tidak dapat masuk
jauh ke daratan sebab airtanah memiliki piezometric yang menekan lebih kuat dari pada air
laut, sehingga
terbentuklah
interface sebagai
batas antara
airtanah dengan air
laut. Keadaan
tersebut
merupakan
keadaan
kesetimbangan
antara air laut dan
airtanah.
Gambar 2. Kondisi Interface yang Alami dan Sudah Mengalami Intrusi

Masuknya air laut ke sistem akuifer melalui dua proses, yaitu intrusi air laut dan
upconning. Intrusi air laut di daerah pantai merupakan suatu poses penyusupan air asin dari
laut ke dalam airtanah tawar di daratan.  Zona pertemuan antara air asin dengan air tawar
disebut interface.  Pada kondisi alami, airtanah akan mengalir secara terus menerus ke laut. 
Berat jenis air asin sedikit lebih besar daripada berat jenis air tawar, maka air laut akan
mendesak air tawar di dalam tanah lebih ke hulu.  Tetapi karena tinggi tekanan piezometric
airtanah lebih tinggi daripada muka air laut, desakan tersebut dapat dinetralisir dan aliran air
yang terjadi adalah dari daratan kelautan,  sehingga terjadi keseimbangan antara air laut dan
airtanah, sehingga tidak terjadi intrusi air laut.  Intrusi air laut terjadi bila keseimbangan
terganggu. Aktivitas yang menyebabkan intrusi air laut diantaranya pemompaan yang
berlebihan, karakteristik pantai dan batuan penyusun, kekuatan airtanah ke laut, serta
fluktuasi airtanah di daerah pantai. Proses intrusi makin panjang bisa dilakukan pengambilan
airtanah dalam jumlah berlebihan. Bila intrusi sudah masuk pada sumur, maka sumur akan
menjadi asing sehingga tidak dapat lagi dipakai untuk keperluan sehari-hari.

Menurut konsep Ghyben – Herzberg, air asin dijumpai pada kedalaman 40 kali tinggi
muka airtanah di atas muka air laut.  Fenomena ini disebabkan akibat perbedaan berat jenis
antara air laut (1,025 g/cm3) dan berat jenis air tawar (1,000 g/cm3).

sehingga didapat nilai z = 40 hf

keterangan:

hf = elevasi muka airtanah di atas muka air laut (m)

z = kedalaman interface di bawah muka air laut (m)

ρs = berat jenis air laut (g/cm3)

ρf = berat jenis air tawar (g/cm3)


Upconning adalah proses kenaikan interface secara lokal akibat adanya pemompaan
pada sumur yang terletak sedikit di atas interface.  Pada saat pemompaan dimulai, interface
dalam keadaan horisontal.  Makin lama interface makin naik hingga mencapai sumur.  Bila
pemompaan dihentikan sebelum interface mencapai sumur, air laut akan cenderung tetap
berada di posisi tersebut daripada kembali ke keadaan semula.

Intrusi air laut dapat dikenali dengan melihat komposisi kimia airtanah.  Perubahan ini
terjadi dengan cara

1. Reaksi kimia antara air laut dengan mineral-mineral akuifer.


2. Reduksi sulfat dan bertambah besarnya konsentrasi karbon atau asam lemah lain.

3. Terjadi pelarutan dan pengendapan.

Revelle menggunakan nilai rasio antara klorida dan bikarbonat untuk mengevaluasi
adanya intrusi air laut.  Penggunaan klorida dikarenakan klorida merupakan ion dominan
pada air laut dan bikarbonat merupakan ion dominan pada air tawar.

Semakin tinggi nilai rasio, berarti pengaruh intrusi air laut makin besar, sedangkan
bila nilai rasio rendah maka pengaruh intrusi air laut kecil.

Di tahun 1960 an, investigasi intrusi air laut di lakukan dengan analisis kimia dengan
mengambil sample airtanah dan menyelidiki pola alirannya berdasarkan piezometric level. 
Saat ini metode geofisika lebih penting dan akurat digunakan untuk investigasi intrusi air
laut.  Perolehan data lebih cepat dengan teknik drilling.

Konduktivitas dan temperatur air dapat digunakan untuk estimasi intrusi air laut.  Zat
cair memiliki kemampuan untuk mengalirkan arus listrik oleh gerakan ion.  Gerakan ion
dapat diukur melalui konduktivitas.  Konduktivitas sangat bergantung pada temperatur.
Pengukuran terhadap kedua variabel tersebut merupaka faktor penting untuk mendeteksi
perilaku zona transisi dan interface antara air asin dan air tawar.  Menggunakan Solinst
Model 101 Water Level dengan penyelidikan P4, C4 Conductivity Sleeve dan T4
Temperature Sleeve, salinitas dapat diestimasi melalui pembacaan konduktivitas dan
temperatur pada kedalaman yang sama.  Sebagai contoh, pembacaan konduktivitas 25,000
µS/cm dan temperatur 20°C, estimasi salinitas sebesar 17 ppt.  Melalui metode ini investigasi
salinitas dapat digunakan untuk melacak fluktuasi interface antara muka air asin dan muka air
tawar.

Saat ini terdapat beberapa metode dalam penyelidikan intrusi air laut, diantaranya
well logging, dating, isotope techniques and chemical analysis of groundwater samples;
classification of groundwater samples; classification of groundwater; research into the
interaction between aquifer matrix and groundwater; and verticle conductivity and
temperatureprofiling.

Terdapat beberapa cara untuk mengendalikan intrusi laut, diantaranya;

1. Mengubah Pola Pemompaan

Memindah lokasi pemompaan dari pantai ke arah hulu akan menambah kemiringan
landaian hidrolika ke arah laut, sehingga tekanan airtanah akan bertambah besar.

Gambar 3. Mengubah
Pola Pemompaan

2. Pengisian Airtanah
Buatan

Muka airtanah dinaikkan dengan melakukan pengisian airtanah buatan.  Untuk akuifer
bebas dapat dilakukan dengan menyebarkan air dipermukaan tanah, sedangkan pada akuifer
tertekan dapat dilakukan pada sumur pengisian yang menembus akuifer tersebut.

Gambar 4. Pengisian
Airtanah Buatan

3. Extraction Barrier
Ekstraction barrier dapat dibuat dengan melakukan pemompaan air asin secara terus
menerus pada sumur yang terletak di dekat garis pantai.  Pemompaan ini akan menyebabkan
terjadinya cekungan air asin serta air tawar akan mengalir ke cekungan tersebut.  Akibatnya
terjadi baji air laut ke daratan.

Gambar 5. Extraction
Barrier

4. Injection Barrier

Injection barrier dapat dibuat dengan melakukan pengisian air tawar pada sumur yang
terletak di dekat garis pantai.  Pengisian air akan menaikkan muka air tanah di sumur
tersebut, akan berfungsi sebagai penghalang masuknya air laut ke daratan.

Gambar 6.
Injection
Barrier

5. Subsurface
Barrier

Penghalang di bawah tanah sebagai pembatas antara air asin dan air tawar dapat dibuat
semacam dam dari lempung, beton, bentonit maupun aspal.

Gambar 7.
Subsurface
Barrier

Intrusi air laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu :

 Aktivitas manusia
 Faktor batuan

 Karakteristik pantai

 Fluktuasi airtanah di daerah pantai

Aktivitas manusia terhadap lahan maupun sumberdaya air tanpa mempertimbangkan


kelestarian alam tentunya dapat menimbulkan banyak dampak lingkungan. Bentuk aktivitas
manusia yang berdampak pada sumberdaya air terutama intrusi air laut adalah pemompaan
air tanah (pumping well) yang berlebihan dan keberadaannya dekat dengan pantai.

Batuan penyusun akuifer pada suatu tempat berbeda dengan tempat yang lain, apabila batuan
penyusun berupa pasir akan menyebabkan air laut lebih mudah masuk ke dalam airtanah.
Kondisi ini diimbangai dengan kemudahan pengendalian intrusi air laut dengan banyak
metode.  Sifat yang sulit untuk melepas air adalah lempung sehingga intrusi air laut yang
telah terjadi akan sulit untuk dikendalikan atau diatasi.

Pantai berbatu memiliki pori-pori antar batuan yang lebih besar dan bervariatif sehingga
mempermudah air laut masuk ke dalam airtanah. Pengendalian air laut membutuhkan biaya
yang besar sebab beberapa metode sulit dilakukan pada pantai berbatu. Metode yang
mungkin dilakukan hanya Injection Well pada pesisir yang letaknya agak jauh dari pantai,
dan tentunya materialnya berupa pasiran.

Pantai bergisik/berpasir memiliki tekstur pasir yang sifatnya lebih porus. Pengendalian intrusi
air laut lebih mudah dilakukan sebab segala metode pengendalian memungkinkan untuk
dilakukan.

Pantai berterumbu karang/mangrove akan sulit mengalami intrusi air laut sebab
mangrove dapat mengurangi intrusi air laut. Kawasan pantai memiliki fungsi sebagai sistem
penyangga kehidupan. Kawasan pantai sebagai daerah pengontrol siklus air dan proses intrusi
air laut, memiliki vegetasi yang keberadaannya akan menjaga ketersediaan cadangan air
permukaan yang mampu menghambat terjadinya intrusi air laut ke arah daratan. Kerapatan
jenis vegetasi di sempadan pantai dapat mengontrol pergerakan material pasir akibat
pergerakan arus setiap musimnya. Kerapatan jenis vegetasi dapat menghambat kecepatan dan
memecah tekanan terpaan angin yang menuju ke pemukiman penduduk.
Apabila fluktuasi airtanah tinggi maka kemungkinan intrusi air laut lebih mudah
terjadi pada kondisi airtanah berkurang. Rongga yang terbentuk akibat airtanah rendah maka
air laut akan mudah untuk menekan airtanah dan mengisi cekungan/rongga airtanah. Apabila
fluktuasinya tetap maka secara alami akan membentuk interface yang keberadaannya tetap.

Intrusi air laut merupakan bentuk degradasi sumberdaya air terutama oleh aktivitas
manusia pada kawasan pantai. Hal ini perlu diperhatikan sehingga segala bentuk aktivitas
manusia pada daerah tersebut perlu dibatasi dan dikendalikan sebagai wujud kepedulian
terhadap lingkungan.

DAFTAR PUSTAKA

http://ilmulingkungan.com/bagaimana-cara-mengetahui-tingkat-pencemaran-air/
Kistinnah I, Lestari ES. 2006. Biologi Makhluk Hidup dan Lingkungannya. Jakarta: Pusat
Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Sulistyorini A. 2009. Biologi 1. Jakarta:  Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Suwarno. 2002. Panduan Pembelajaran Biologi. Jakarta:  Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
http://ilmulingkungan.com/tindakan-pencegahan-dan-penanggulangan-pencemaran-air/
Subardi, Nuryani, Pramono S. 2009. Biologi 1. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
Sulistyorini A. 2009. Biologi 1. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen Pendidikan Nasional.
Suwarno. 2009. Panduan Pembelajaran Biologi. Jakarta: Pusat Perbukuan Departemen
Pendidikan Nasional.
https://vienastra.wordpress.com/2010/07/06/intrusi-air-laut/
Purnama, S. 2000. Bahan Ajar Geohidrologi. Yogyakarta: Fakultas Geografi, UGM.

Redwood, Jason. – . Pump / Recharge Rate Affect Saltwater Intrusion. Groundwater


Management, Monitoring and Conservation Keep Intrusion Undercontrol, diakses dari
http://www.solinst.com§.

USGS. 2007. Geological Interpretation of Bathymetric and Backscatter Imagery of the Sea
Floor Off Eastern Cape Cod, Massachusetts, diakses dari http://www.usgs,gov§.

Anda mungkin juga menyukai