Anda di halaman 1dari 18

Analisis unsur intrinsik, ekstrinsik dan historiografi pada Max Havelaar

Disusun Oleh :

No Nama NIM
1 Ainur El Faz 1601045109
2 Evita Maina Putri 1601045004
3 Ismi Salamah 1601045077
4 M. Sabri Putra Oktavianto 1601045085
5 Saefullah Riyadi 1601045025
6 Siti Nur Khotimah 1601045033

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA

JAKARTA

2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdulillah kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan pengetahuan sehingga kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Analisis unsur intrinsik, ekstrinsik, dan
historiografi pada Max Havelaar”

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah ini bisa disusun dengan baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini bisa menambah pengetahuan para pembaca.
Namun terlepas dari itu, kami memahami bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,
sehingga kami sangat mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun demi
terciptanya makalah selanjutnya yang lebih baik lagi.

Jakarta, 12 Desember 2019

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang Masalah ................................................................ 1
1.2 Perumusan Masalah ....................................................................... 2
1.3 Tujuan ............................................................................................ 3
1.4 Luaran yang diharapkan ................................................................. 3
1.5 Manfaat .......................................................................................... 3
BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................... 4
BAB III HASIL ANALISIS .......................................................................... 6
BAB IV BIAYA DAN JADWAL KEGIATAN ........................................... 8
4.1 Anggaran Biaya ............................................................................. 8
4.2 Jadwal Kegiatan ............................................................................. 8
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 9
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bagi dunia sastra Indonesia, Max Havelaar karya Multatuli tidak boleh
diabaikan begitu saja. Sastrowardoyo (1983, hlm. 45-46) mengemukakan studi Henry
A. Ett mengenai Multatuli bahwa cara berkata Multatuli meninggalkan bekas
pengaruhnya pada tulisan-tulisan Van Deyssel dan Kloss, gagasan- gagasannya pada
kisah Frederick van Eeden De Kleine Johannes (Si Yohannes Kecil), dan nada getirnya
pada pandangan Querido. Pengarang-pengarang tersebut sebagai anggota angkatan 1880
di negeri Belanda yang memengaruhi penulis- penulis Pujangga Baru pada tahun 1930-
an.
Max Havelaar juga membawa pengaruh yang besar bagi sejarah perubahan
sistem kolonial. Fenomena ini menjadi gambaran bagaimana sebuah teks sastra, sebuah
roman dapat memengaruhi sejarah kehidupan manusia. Dalam Indische Spiegel
disebutkan bahwa Max Havelaar telah mendekatkan daerah jajahan kepada
masyarakat Belanda yang berakibat pada kemunculan pengarang- pengarang Belanda
memberikan informasi tentang Hindia Belanda. Pengaruhnya juga berimbas pada
penerbitan dan munculnya teks-teks tentang perkawinan dan secara tidak langsung
menimbulkan perubahan di pulau Jawa (Nieuwenhuys, 1978, hlm. 188).

Sastrowardoyo (1983, hlm. 44) menuliskan bahwa buku ini telah membuka
perhatian masyarakat Belanda tentang kecurangan dan tindakan pemerintah Belanda
yang mendatangkan kesengsaraan sehingga pada tahun 1870 sistem cultuurstelsel (tanam
paksa) yang telah ada sejak tahun 1830 dihapuskan.
Pengaruh Max Havelaar dilaporkan tampak pada penghapusan tanam paksa di
Indonesia. Penghapusan cultuurstelsel adalah langkah yang sangat penting mengingat
perannya yang vital bagi pemasukan dana untuk ekspansi kolonial di Hindia Belanda di
samping bagi negeri Belanda sendiri. Pada periode 1830-1850 sistem cultuurstelsel ini
telah menyeimbangkan anggaran keuangan pemerintah Hindia Belanda juga melunasi
hutang pemerintah sebelumnya. Pada periode berikutnya (1850-1870), tanam paksa
digunakan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dengan mengoptimalkan industri
perkebunan secara intensif dan ekstensif (Simarmata, 2002, hlm. 33-65). Hanya
saja, kemajuan ekonomi di Hindia Belanda tidak menyentuh perbaikan ekonomi rakyat
bahkan menimbulkan kesengsaraan. Kisah Max Havelaar juga kental dengan
permasalahan penyelewengan uang negara—dalam pandangan masa itu pemerintah adalah
Belanda—yang sekarang lazim disebut sebagai korupsi.
Sejak tahun 1930, Max Havelaar menghilang dari pengajaran sastra Belanda. Usaha
pembungkaman dan penyensoran juga bisa dilihat dari sedikitnya fragmen-fragmen yang
ada di dalam novel tersebut; bagian-bagian yang dianggap tidak berbahaya saja yang
diperkenalkan. Tidak heran, terjemahan lengkap Max Havelaar tidak ditemukan pada
zaman kolonial (Teeuw, 1997, hlm. 77).
Meskipun novel Max Havelaar terbit tahun 1860—156 tahun yang lalu—, novel
ini masih dibicarakan oleh kritikus sastra pada abad berikutnya. Penelitian tentang novel
Max Havelaar telah dilakukan oleh Willem Frederik Hermans yang berjudul “De
raadselachtige Multatuli” yang kemudian diterjemahkan oleh H.B. Jassin ke dalam
bahasa Indonesia menjadi Multatuli yang penuh teka-teki (Djambatan, 1988).
Terkait tentang penting dan menariknya Max Havelar tersebut. Maka, penyusun
membahas tentang unsur instrinsik dan ekstrinsik serta historiografi yang terdapat
dalam karya Max Havelar ini.

B. Rumusan Masalah
1) Apa saja unsur-unsur intrinsik yang terdapat dalam Max Havelar?

2) Apa saja unsur-unsur ekstrinsik yang terdapat dalam Max Havelar?

C. Tujuan Penelitian

1) Untuk mengetahui unsur instrinsik yang terdapat dalam Max Havelar.

2) Untuk mengetahui unsur ekstrinsik yang terdapat dalam Max Havelar.


BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Unsur Pembangun Novel

Novel sebagai salah satu genre sastra tentunya memiliki unsur-unsur


pembangun. Secara umum menurut Nurgiantoro (2010: 22-23), unsur pembangun
itu disebut sebagai unsur intrinsik dan ekstrinsik. Unsur intrinsik dan ekstrinsik
sebuah karya sastra tidak dapat dipisakhan begitu saja karena keduanya saling
mempengaruhi. Unsur intrinsik terbentuk karena adanya pengaruh dari luar
(ekstrinsik). Pengaruh dari luar ini berasal dari pengarang selaku penentu cerita.
Asal-usul dan lingkungan pengarang sangat mempengaruhi karya sastra yang
diciptakannya.

2.1.1 Unsur Instrinsik

Unsur-unsur pembangun sebuah novel banyak namun yang menjadi garis


besarnya yaitu unsur intrinsik dan ekstrinsik. Kedua unsur inilah yang sering
disebut para kritikus dalam rangka menkaji dan atau membicarakan novel atau
karya sastra pada umumnya. Unsur intrinsik (intrinsic) adalah unsur yang
membangun karya sastra itu sendiri, unsur inilah yang menyebabkan karya sastra
hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur faktual secara faktual akan dijumpai jika
orang membaca karya sastra. Unsur intrinsik sebuah novel adalah unsur-unsur
yang (secara langsung ) turut serta membangun cerita. Kepaduan antar berbagai
intrinsik inilah yang membuat sebuah novel berwujud. Jika dilihat dari sudut
pembaca unsur inilah yang akan terlihat saat membaca sebuah novel. Unsur yang
dimaksud, untuk menyebut sebagian saja, misalnya peristiwa cerita, plot,
penokohan tema, latar, sudut pandang, penceritaan, bahasa atau gaya bahasa dan
lainnya (Nurgiyantoro, 2014 : 23).

Semua unsur instrik digunakan sebagai pembangun sebuah karya sastra.


Karya sastra tanpa adanya unsur pembangun akan membuat sebuah cerita tidak
menarik. Unsur instrinsik terbagi menjadi beberapa salah satunya penokohan dan
latar dalam karya sastra. Penokohan dibutuhkan guna menghidupakan tokoh
dalam cerita, tokoh ini akan membawa pembaca terbawa akan karakter. Bukan
hanya penokohan yang ada dalam cerita, terdapat alur. Latar merupakan sebuah
rangkaian peristiwa yang menggambarkan sebuah cerita. Latar juga dapat
mempengaruhi penokohan.

Menurut Nurgiyantoro (2014: 247) penokohan dan karakterisasi diartikan


sebagai hal yang sama, hal tersebut merujuk pada watak-watak di dalam sebuah
cerita. Penokohan ini yang mampu membangkitkan cerita dengan pada sebuah
karya. Penokohan dalam karya satra salah satunya terdapat pada novel. Berbagai
macam novel memiliki cerita dengan tokoh berbeda-beda karaker.

Unsur instrinsik terdiri atas :


a) Tema
Tema menjadi menjadi dasar pengembangan dalam seluruh cerita
yang dibangun, maka tema bersifat menjiwai seluruh bagian cerita itu.
Menurut Staton (dalam Nurgiantoro 2010:25), mengartikan tema
sebagai makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagian
besar unsurnya dengan cara yang sederhana. Tema menurutnya, kurang
lebih dapat bersinonim dengan ide utama dan tujuan utama.
Tema sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna dari
kehidupan. Melalui karya sastra pengarang memberikan makna tertentu
dalam kehidupan. Pengarang biasanya mengajak kita merasakan arti
kehidupan yang sesungguhnya seperti kesedihan, kebahagiaan, dan
lain-lain.
Tema juga dapat dikatakan sebagai ide yang mendasari suatu cerita
sehingga mempunyai peranan sebagai pangkal seorang pengarang
dalam memaparkan karya fiksi yang telah diciptakan. Sebelum
pengarang melaksanakan proses kreatif penciptaan sebuah karya sastra,
maka ia harus memamhami tema apa yang akan dipaparkan dalam
ceritanya. Sementara pembaca baru akan memahami apa tema dari
suatu cerita apabila mereka telah selesai memahami unsur-unsur
signifikan yang menjadi media pemapar tersebut (Aminuddin, 2011:
91).
b) Tokoh

Menurut Nurgiantoro (2010: 166), tokoh cerita merupakan orang-


orang yang ditampilkan dalam suatu karya sastra baik naratif maupun
drama yang oleh pembaca kemudian ditafsirkan memiliki kualitas
moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa saja yang dilakukan dalam tindakan. Maka dalam
sebuah karya sastra khususnya novel, tokoh sangat berpengaruh dalam
menggambarkan sebuah cerita atau keadaan. Melalui tokoh yang
diciptakan, pengarang mampu memberi nafas terhapap setiap karyanya.

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan


penyampai amanat, pesan, moral, atau sesuatu yang sengaja ingin
disampaikan pengarang kepada pembaca. Kehidupan tokoh cerita
merupakan kehidupan dalam dunia fiksi.

Dilihat dari segi peranan atau tingkat pentingnya tokoh dalam


sebuah ceirta novel, dibagi menjadi dua yakni, tokoh utama dan tokoh
tambahan (Aminudin, 2011:79). Tokoh utama merupakan tokoh yang
paling banyak atau paling sering diceritakan di dalam novel, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Sedangkan
tokoh tambahan merupakan tokoh-tokoh yang hanya dimunculkan
sekali atau beberapa kali saja dalam cerita, dan itu pun mungkin dalam
porsi penceritaan yang terbatas dan relatif pendek.

Aminudin (20122:80) juga mengungkapkan bahwa jika dilihat dari


fungsi penampilan, sebuah tokoh dalam suatu cerita di dalam novel
dibagi menjadi dua bagian. Bagian yang pertama adalah tokoh
protagonis dan tokoh antagonis. Tokoh protagonis ialah tokoh yang
selalu membawa nilai-nilai kebaikan. Sedangkan tokoh antagonis
adalah tokoh yang menyebabkan terjadinya sebuah konflik. Kehadiran
tokoh antagonis inilah yang menyebabkan terjadinya peristiwa,
konflik, dan ketegangan di dalam sebuah cerita.
c) Alur

Alur merupakan rangkaian peristiwa-peristiwa dalam sebuah cerita


(Staton, 2007:26). Aminuddin (2012:83) juga mengungkapkan bahwa
pada umumnya, alur dalam sebuah karya fiksi merupakan rangkaian
cerita yang dibentuk oleh tahapan-tahapan peristiwa sehingga menjalin
suatu cerita yang dihadirkan oleh pelaku dalam suatu cerita. Sebuah
cerita tidak akan sepenuhnya dimengerti tanpa adanya pemahaman
terhadap peristiwa-peristiwa yang mempertautkan alur. Alur dapat
dikatakan sebuah unggung cerita, karena alur memiliki dua elemen
yang sangat penting. Dua elemen tersebut yakni konflik dan klimaks
(Staton, 2007:31). Keduanya merupakan unsur yang amat esensial
dalam pengembangan sebuah plot atau alur cerita. Demikian pula
dengan masalah kualitas dan kemenarikan sebuah cerita dalam novel.

Konflik merupakan suatu dramatik yang mengacu pada


pertarungan antara dua kekuatan yang seimbang dan menyiratkan
adanya aksi dan reaksi. Dengan demikian dalam pandangan hidup yang
normal, wajar, dan faktual, artinya bukan dalam cerita yang mengacu
pada konotasi negatif atau sesuatu yang tidak menyenangkan. Itulah
sebabnya orang lebih memilih menghindari konflik dan mengharapkan
kehidupan yang tenang.

Klimaks merupakan titik yang mempertemukan kekuatan-kekuatan


konflik dan menentukan bagaimana oposisi tersebut dapat
terseslesaikan. Klimaks juga merupakan suatu kondisi di mana konflik
telah mencapai titik tertinggi, dan saat itu merupakan kondisi yang
tidak dapat dihindari kejadiannya. Klimaks juga sangat menentukan
arah perkembangan alur cerita. Dalam klimaks, ada pertemuan antara
dua atau lebih hal yang dipertentangkan dan hal inilah yang
menentukan bagaimana permasalahan atau konflik akan diselesaikan.
d) Latar

Secara sederhana, latar atau setting merupakan tempat terjadinya


peristiwa baik yang berupa fisik, unsur tempat, waktu, dan ruang.
Aminuddin (2011: 67) mengemukakan bahwa sebuah latar bukan hanya
bersifat fisikal untuk membuat suatu cerita menjadi logis, melainkan
juga harus memiliki fungsi psikologis, sehingga suasana-suasana
tertentu yang menggerakkan emosi atau aspek kejiwaan pembacanya.

Menurut Wiyatmi (2006:40), latar dapat dibedakan menjadi tiga


unsur pokok yakni, tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu walau
masing-masing menawarkan permasalahan yang bebeda dan dapat
dibicarakan sendiri, namun pada kenyataannya ketiganya saling
mempengaruhi satu dengna yang lain. Latar tempat menyaran pada
lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam novel tersebut.

Latar waktu berhubungan dengan masalah kapan terjadinya


peristiwa- peristiwa yang diceritakan dalam novel. Masalah waktu
tersebut juga dapat dihubungkan dengan waktu yang kaitannya dengan
peristiwa sejarah misalnya. latar waktu yang menceritakan sejarah
itulah yang digunakan pengarang untuk masuk ke dalam jalan cerita.
Sedangkan latar sosial hubungannya dengan perilaku kehidupan sosial
masyarakat di suatu tempat, yang kemudian dianalogikan di dalma
sebuah novel. Latar sosial ini mencakup beberapa permasalahan yang
cukup kompleks, yakni dapat berupa kebiasaan hidup, adat istiadat,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir dan bersikap, dan
lain-lain yang tergolong spiritual. selain itu, latar sosial juga dapat
menggambarkan status sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya
rendah, menengah, atau atas.

2.1.2 Unsur Ekstrinsik

Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang ada di luar karya sastra yang
secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme
karya sastra. Secara lebih khusus mempengaruhi bangunan cerita sebuah
karya sastra, namun tidak ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur
ekstrinsik tersebut ikut menjadi bagian di dalamnya. Unsur ekstrinsik
tersebut ikut berpengaruh terhadap totalitas sebuah karya sastra.

Wellek dan werren (2013: 71-140) menyebutkan ada empat faktor


ekstrinsik yang saling berkaitan dalam karya sastra yakni:

a. Biografi pengarang: bahwa karya seorang pengarang tidak akan


lepas dari pengarangnya. Karya-karya tersebut dapat ditelusuri
melalui biografinya.

b. Psikologis (proses kreatif) adalah aktivitas psikologis pengarang


pada waktu menciptakan karyanya terutama dalam penciptaan
tokoh dan wataknya.

c. Sosiologis (kemasyarakatan) sosial budaya masyarakat


diasumsikan bahwa cerita rekaan adalah potret atau cermin
kehidupan masyarakat yaitu, profesi atau intuisi, problem
hubungan sosial, adat istiadat antarhubungan manusia satu dengan
lainnya, dan sebagainya.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Unsur Instrinsik


1) Tema
Perjuangan seorang asing memperjuangkan kehidupan yang merdeka bagi
orang bumiputera.
2) Tokoh dan Penokohan
a. Tokoh
 Droogstoppel (Tokoh Utama)
 Havelaar (Tokoh utama)
 Tine (Tokoh pendukung)
 Frits (Tokoh pendukung)
 Tuan Stren (Tokoh Pendukung)
 Wawelaar (Tokoh pendukung)
 Venbrugge (Tokoh pendukung)

b. Penokohan
 Havelaar : Penyabar

(“..Ia bersabar dalam kekurangan..”)

Peduli

(“..Haruslah diberikan gambaran masa depan yang lebih


menyenangkan bagi pekerja, harapan masa depan yang
menggembirakan, dan dalam hal ini baiklah dimulai dengan
memberinya makanan yang cukup..”)

 Tine : Penyayang
(Ketika Tine memberi semangat Max Havelar untuk
selalu berjuang melawan kolonialisme)
 Syaalman : Mempunyai semangat tinggi
(“Syaalma mengelilingi kota di waktu malam untuk
mencari seseorang yang menaruh minat terhadap
naskah karangannya..”)
 Frits : Penolong dan murah hati
(“..tiba-tiba Frits menolong saya”)
 Wawelaar : Lemah lembut
(“..Wawelaar yang lemah lembut itu..”)
 Venbrugge : Jujur
(“Ia seorang yang jujur dan tidak akan berbohong”)

3) Latar
a. Tempat
 Lebak
“..membuat jalan-jalan yang lebih baik lagi di Lebak.”

b. Waktu
 Tahun 1842
“Tahun 1842 ia dipindahkan ke Sumatera Barat, suatu daerah
dimana kekuasaan Belanda masih sangat..”

4) Sudut Pandang
 Orang Ketiga dan orang pertama
Pada pembahasan di bab awal dalam novel ini menggunakan sudut
pandang orang ketiga, karena pada bab awal Droogstppel
mencertitakan tentang Max Havelaar.
Sedangkan dalam pertengahan dan akhir bab dalam novel ini,
penulis menggunakan sudut pandang orang pertama, dengan
menceritakan Max Havelaar sebagai tokoh utama yang berperan
dalam cerita tersebut.
5) Alur

a. Pengenalan: Havelaar seorang berkebangsaan Belanda yang tekun


dalam mendalami bidang kesastraan yang ditugaskan bekerja di tanah
Hindia Belanda.
b. Permasalahan: Havelaar tinggal di Lebak dan ia menjabat sebagai
pemerintah dari Belanda. Semenjak itu Havelaar dapat mengerti
permasalahan di tanah Hindia Belanda yang terjajah.
c. Klimaks: Kejamnya peraturan dan pelaksanaan sistem pemerintahan
oleh Belanda yang membuat rakyat menderita menggugah rasa simpati
Havelaar. Tanam paksa sangat merugikan dan menyiksa rakyat pribumi.
d. Penyelesaian: Havelaar menggunakan jabatannya untuk membantu
orang pribumi yang tersiksa.
e. Penutup: Havelaar banyak mengorbankan hidupnya untuk kepentingan
rakyat. Ia rela hidup berkekurangan. Havelaar menuliskan semua
pengalaman hidupnya dalam sebuah buku. Ia berharap segala
penderitaan rakyat dan segala kepentingan rakyat yang seharusnya
tercukupi agar tersampaikan kepada seluruh jajaran pemerintahan.

6) Amanat
Sebagai manusia seharusnya kita bisa bersikap jujur, adil dan teguh dalam
pendirian untuk membela kebenaran. Seperti hal nya Max Havelaar yang
selalu ingin membantu masyarakat pribumi dari kebijakan-kebijakan
kolonialisme yang merugikan pribumi, walaupun Max Havelaar sendiri
bukan berasal dari pribumi dan banyak yang menentang hal kebajikan
yang dilakukan Max Havelaar.

3.2 Unsur Ekstrinsik


1) Biografi
Douwes Dekker terlahir di Pasuruan, Jawa Timur, pada tanggal 8 Oktober
1879, sebagaimana yang dia tulis pada riwayat hidup singkat saat mendaftar
di Universitas Zurich, September 1913. Ayahnya, Auguste Henri Eduard Douwes
Dekker, adalah seorang agen di bank kelas kakap Nederlandsch Indisch
Escomptobank. Auguste ayahnya, memiliki darah Belanda dari ayahnya, Jan
(adik Eduard Douwes Dekker) dan dari ibunya, Louise Bousquet.
Douwes Dekker menjabat sebagai asisten presiden di Lebak menggantikan
asisten presiden sebelumnya. Ia menjabat selama 17 tahun dan melihat
kebusukkan yang terjadi dalam pemerintahan di Lebak, Banten. Ia berusaha untuk
memperbaiki hak dan keadilan kaum pribumi. Tetapi, perjuangannya terhambat
karena banyaknya rintangan. Karena perjuangannya untuk membunuh
kolonialisme gagal di Lebak Banten, dengan itu ia menuliskan pengalamannya
melalui buku dengan judul Max Havelaar.

2) Psikologis
Douwes Dekker menulis novel ini sebagai bentuk kefrustrasiannya melihat
praktik eksploitasi lewat sistem tanam paksa serta kebijakan-kebijakan
pemerintah Belanda yang menindas bumiputra. Dengan nama pena Multatuli yang
berarti aku menderita, dia mengisahkan kekejaman tanam paksa yang
menyebabkan ribuan pribumi kelaparan, miskin dan menderita. Mereka diperas
sedangkan pejabat kolonial Belanda dan pejabat pribumi sibuk memperkaya diri
dengan praktik-praktik korupsi.
Diceritakan dalam novel itu, bahwa Douwes Dekker sempat menduduki
jabatan controleur di Natal, Sumatera Utara. Kemudian dimutasi ke Padang
tepatnya di Sumatera Barat dan Rangkas Bitung, Lebak, Banten. Dia selalu
menentang kebijakan atasannya yang selalu merugikan kaum pribumi.
Ketidakadilan dan perampasan hak yang dilakukan Belanda membuatnya
bersikukuh untuk melakukan perlawanan dan terus mengkritik model tersebut.
Meskipun seorang Belanda, dia justru lebih memilih untukbersimpati pada rakyat
pribumi yang teraniaya dan tertindas. Kelakuan pemerintah Belanda terhadap
penduduk dianggapnya tidak berkemanusian dan justru memperlihatkan bahwa
Negeri Belanda sebagai negeri yang tidak berperadaban.
Akibat dari tekadnya yang sangat gigih dalam membela penduduk itu
Douwes Dekker pernah diskors. Karena hal itu juga, gajinya hanya dibayar
separuh oleh pemerintah Belanda. Pada akhirnya, perlawanannya pada tahun 1856
membuat dirinya diberhentikan dari jabatannya. Bahkan pemerintah Belanda
mengajukan Douwes Dekker ke pengadilan.
Setelah kalah dalam perkara ini Douwes Dekker dipulangkan ke Eropa.
Namun, semangatnya tidak pernah pudar. Hal ini membuat pemerintah Belanda
kesulitan untuk menghilangkan ideologi Douwes Dekker. Dengan menyewa
sebuah apartemen sederhana di Belgia, dia memulai melakukan perlawanan. Sifat
antikolonialnya ditunjukan tetap dengan cara non-kooperatif, yaitu menolak
penindasan, perampasan, penganiayaan, antidiskriminasii.
Meski begitu, sebenarnya Novel ini belum berbicara tentang pembebasan
politis, namun baru berbicara tentang pembebasan pada kelas pekerja atau buruh
tanam paksa dan kelas bawah atas pengusaha dan penguasa. Akan tetapi,
setidaknya lewat keberanian yang dipompakan Multatuli lewat buku ini mulai
menyadarkan orang akan kebejatan politik kolonialisme.
Seperti yang dikatakan oleh John F. Kennedy bahwa “Jika politik itu
kotor, puisi akan membersihkannya. Jika politik bengkok, sastra akan
meluruskannya”. Jadi, Max Havelaar sebagai sebuah karya sastra memang layak
menjadi inspirasi bagi siapa saja yang ingin merdeka dan melakukan perlawanan
dari segala bentuk penjajahan ketidakadilan.
Pandangan-pandangan Multatuli dapat membuka perspektif orang orang
bahwa kita harus melakukan pergerakan untuk memperjuangkan kemerdekaan
yang menjadi hak segala bangsa.

3) Sosiologis
Dampak dari penerbitan novel Max Havelaar  bagi rakyat Indonesia
(waktu itu masih bernama Hindia Belanda) bisa dikatakan sama dengan dampak
yang ditimbulkan dari terbitnya novel Uncle Tom’s Cabin bagi rakyat Amerika
Serikat khususnya yang berkulit hitam atau Noli Me Tangere bagi rakyat Filipina.
Max Havelaar yang pertama kali terbit di negeri Belanda pada tahun 1860
ini menimbulkan kegemparan di negeri Belanda. Selanjutnya melahirkan
tuntutan-tuntutan dari dalam negeri Belanda sendiri, agar pemerintah Belanda
memberlakukan politik etis bagi rakyat negeri seberang (dalam hal ini Indonesia).
Pemberlakuan politik etis inilah yang memberikan kesempatan bagi
segelintir rakyat Indonesia untuk mencicipi pendidikan yang lebih tinggi. Dan
sejarah menceritakan kepada kita bahwa generasi itulah yang pada akhirnya
memimpin Indonesia bebas dari penjajahan Belanda. Sehingga, dengan
pengaruhnya yang sebegitu besar tidak salah Pramudya Ananta Toer mengatakan
bahwa novel inilah yang menghabisi zaman kolonialisme.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Di dalam buku Max Havelar terdapat banyak sejarah yang terkuak sejak zaman
kolonial atau zaman penjajahan Belanda, sistem tanam paksa dan kerja paksa yang
dianggap sangat kejam pun disampaikan dalam buku ini. Selain itu, Max Havelar juga
menceritakan tentang perdagangan Belanda yang sangat tidak menguntungkan bagi
bangsa Indonesia. Selain itu, pemerintahan Belanda yang Liberal pun diungkapkan dalam
novel ini. Walaupun buku ini sempat dilarang namun buku ini tetap diterjemahkan dalam
40 bahasa di dunia.

Secara garis besar novel ini membahas tentang kejamnya dan piciknya
kolonialisme yang tertutupi dengan apik, namun karena hadirnya novel ini piciknya
kolinialisme terkuak dan buku ini pun terkenal dengan buku yang membunuh
kolonialisme.
DAFTAR PUSTAKA

Multatuli. 1973, Max Havelaar, Bandung : Percetakan Karya Nusantara.

Ubaidillah. 2016, Kajian Bandingan Novel Max Havelar Dengan Bumi Manusia
Serta Pemanfaatannya Untuk Menyusun Buku Pengayaan Kepribadian Di SMA,
Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia.

Vrydag. 2013, Historiografi Tradisional Mitos. (Diakses pada tanggal 13 Desember


2019) http://arrieffatriansyah.blogspot.com/2013/03/makalah-historiografi-
tradisional-mitos.html

Siregar, Nurma, 2019. Max Havelaar: Karya Sastra Multatuli Menguak Kejamnya
Kolonialisme. Jakarta: Idn Times. (Diakses pada tanggal 13 Desember 2019)
https://www.idntimes.com/science/discovery/nur-mar-a-siregar/max-havelaar-karya-
sastra-multatuli-exp-c1c2.

Anda mungkin juga menyukai