Anda di halaman 1dari 4

Proses Terbentuknya Iman

Beriman adalah syarat penting dalam menjadi muslim, tanpa iman, keislaman
orang tersebut perlu dipertanyakan. Dari itu muslim harusnya belajar tentang Tuhan
dan Keimanan agar bisa disebut beriman.

Iman dalam bahasa Arab memiliki arti pengetahuan, percaya dan yakin tanpa
keraguan. Dengan demikian, iman adalah kepercayaan yang teguh yang timbul akibat
pengetahuan dan keyakinan. Adapun orang yang mengetahui dan percaya pada Allah
disebut dengan Mukmin.

Kalau kita cermati kembali makna iman tersebut, dapat dikatakan bahwa proses
terbentuknya iman dalam diri seseorang itu melalui 2 tahap, diantaranya:

1. Didahului Oleh Pengetahuan Tentang Tuhan

Artinya, bahwa iman itu dapat diperoleh lewat proses berpikir, perenungan
mendalam, survey atau penelitian terhadap alam semesta.

)190( ِ ‫ت أِل ُولِي اأْل َ ْلبَا‬


‫ب‬ ِ َ‫ف اللَّي ِْل َوالنَّه‬
ٍ ‫ار آَل يَا‬ ِ ‫اختِاَل‬ ْ ‫ض َو‬ِ ْ‫ت َواأْل َر‬ َ ‫ق ال َّس َم‬
ِ ‫اوا‬ ِ ‫إِ َّن فِي َخ ْل‬
ِ ‫ق ال َّس َما َوا‬
‫ت‬ ِ ‫ُون فِي َخ ْل‬ َ ‫ين يَ ْذ ُكر‬
َ ‫ُون هَّللا َ قِيَا ًما َوقُعُودًا َو َعلَ ٰى ُجنُوبِ ِه ْم َويَتَفَ َّكر‬ َ ‫الَّ ِذ‬
)191( ‫ار‬ ِ َّ‫اب الن‬ َ ‫ك فَقِنَا َع َذ‬ َ َ‫اطاًل ُس ْب َحان‬ ِ َ‫ت ٰهَ َذا ب‬ ِ ْ‫َواأْل َر‬
َ ‫ض َربَّنَا َما َخلَ ْق‬
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya
malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau
dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan
langit dan bumi (seraya berkata)”Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau
menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci Engkau, maka peliharalah
kami dari siksa neraka (Q.S. Ali Imran:190-191).
Dengan demikian, iman seseorang tidak tumbuh dengan sendirinya, melainkan
diasah dan dipertebal dengan cara terus-menerus menggali rahasia kekuasaan Allah
yang tersedia di alam semesta

Lihatlah bagaimana Ibrahim a.s. mengeksplorasi alam dalam proses imannya


kepada Allah, padahal Ibrahim hidup di tengah kaum (dan bahkan bapaknya sendiri,
Azar) yang menjadikan berhala sebagai Tuhan. Dan demikianlah Kami perlihatkan
kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di langit dan di bumi,
dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk orang orang yang yakin.
Ketika malam hari telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang (lalu) dia berkata,
“Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata, “Saya tidak suka
kepada yang tenggelam. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah
Tuhanku.” Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika
Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat.” Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata, “Inilah Tuhanku, ini
yang lebih besar.” maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata: “hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan Yang Menciptakan langit dan bumi dengan
cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan” (Q.S. al An’am: 74-79).burhan kauniyah), di samping
selalu taat, takwa dan beribadah kepadaNya.

` Ayat di atas menyiratkan sebuah makna bahwasanya faktor keturunan tidaklah


membantu dalam terbentuknya iman dalam diri, melainkan eksplorasi dan
pengetahuan tentang Tuhan.

2. Timbulnya Sikap Percaya Kepada Allah

Meskipun kepercayaan pada tahap ini masih labil, tergantung pada seberapa
banyak pengetahuan tentang Allah dan upaya kontemplasinya terhadap alam semesta
tersebut, namun iman pada tahap ini akan terus meningkat seiring dengan
bertambahnya pengetahuan yang diperoleh atau pengalaman yang dijalani.

Kadang-kadang muncul keraguan dalam dirinya, namun ketika proses


pencarian tersebut berlanjut, sedikit demi sedikit keraguan itu akan hilang lalu
berubah pada terbentuknya tahap KETIGA, yakni yakin tanpa dibayangi oleh sikap
ragu.

IMAN ANTARA HATI DAN APLIKASI


Tahu jalan. Didalam kegelapan, manusia tidak bisa melihat apapun, apalagi jalan
tembok pun ditabraknya. Itulah kehidupan di dunia. Gelap gulita. Dengan kasih sayang-
Nya, Allah, sebagai nuurus samaawaati wal ardhi-Pemberi Cahaya langit dan bumi
(QS.24:35), memberikan cahayaNya kepada siapa yang dikehendaki. Dengan cahaya
itu manusia bisa melihat (esensi melihat itu kan bukan karena ada mata, tapi cahaya?)
sehingga dia tahu yang mana ‘jalan’, yang mana ‘jurang’, ‘tebing’ ato ’sungai’. Tanpa
cahaya itu, dengan apa manusia bisa melihat dan menjalani kehidupannya? Dengan
insting, yang kurang lebih sama saja dengan hawa nafsu? Atau manut grubyuk, ikut-
ikutan orang banyak? Itupun juga hawa nafsu. (“Tidak beriman seseorang sampai
hawa nafsunya tunduk kepada apa yang diturunkan kepadaku.“Al hadits) Sehingga
dia nabrak-nubruk. Apa saja boleh dan halal, yang penting bisa hidup, enak dan senang.
Dalam istilah Al Qur’an mereka itulah kal an’am-seperti binatang ternak, bahkan, bal
hum adhollu -mereka lebih sesat lagi dari binatang (QS.7:179). Disini, iman
diaplikasikan sebagai pedoman berpikir. Sebagaimana kisah para sahabat diawal tadi,
miskin-kaya dipandang tidak semata obyek miskin-kayanya saja, tapi bagaimana hal itu
bermanfaat dalam peningkatan ibadah mereka, fastabiqul khoirot-berlomba meraih
keridhoan Allah.
Tahu cara menempuh jalan itu. Tidak jarang, ada manusia yang sudah tahu jalan yang
benar dan mudah tapi masih saja tidak beruntung bahkan ada yang malah tidak mau
menempuhnya. Dengan demikian, tahu jalan yang benar saja tidak cukup. Dengan kasih
sayangNya lagi, Allah memberikan hidayah kepada manusia. Hidayah-petunjuk (jalan)
itu menjadi rambu-rambu bagi manusia; seperti dalam rambu-rambu lalu lintas: kapan
dan dimana harus berhenti, tidak boleh mendahului. Disinilah hakikat manusia diuji. Wa
qulil haqqo mirrobbikum fa man syaa’a fal yu’min wa man syaa’a fal yakfur Dan
katakanlah: “Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang ingin
(beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia
kafir.” (QS.18:29). Disini, iman diaplikasikan sebagai pedoman bertindak. Dalam istilah
sederhananya apakah dia akan memilih bank konvensional ato bank syari’ah, makan
siang di KFC atau di Ayam Bakar Wong Solo, beli donat di Dunkin’s Donut ato di toko
roti Madinah, berinvestasi di pasar uang atau di logam mulia,dll.
Tahu tujuan jalan itu. Meski sudah tahu jalan yang benar dan telah menempuhnya
dengan benar pula, tapi tujuan akhirnya tidak tahu (belum benar), juga masih dikatakan
merugi. Ini berkaitan dengan niat, kejujuran, dan keikhlasan. Silahkan pahami Hadits
Arba’in, dibagian-bagian awal, dua hadits pertama. Tidak ada yang bisa memastikan
keselamatan manusia, selama masih ada didunia. Hidup itu penuh dinamika, dan relatif.
Hanya satu yang bisa memastikan; ”Kemudian jika datang petunjuk-Ku, maka
barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas
mereka dan tidak pula mereka bersedih hati” (QS.2:38).
Orang beriman itu seharusnya tidak khawatir terhadap masa depan mereka atau apa
yang akan terjadi. Tidak pula bersedih hati terhadap masa lalu mereka atau yang lepas
dari harapannya.
“Keinginanmu untuk tetapnya sesuatu selain Allah itu sebagai bukti bahwa kamu
belum bertemu pada Allah, dan kerisauanmu karena kehilangan sesuatu selain Allah
itu sebagai bukti tidak adanya hubunganmu dengan Allah atau sebagai bukti belum
sampaimu kepada Allah”.(Al Hikam, Ibnu Atho’illah)
Disinilah sulitnya, tidak sedikit dari kita yang merasa sudah benar, sudah baik, sudah
ikhlas, bahkan sampai-sampai merasa lebih baik dari orang lain. Padahal, bisa jadi itu
hanya bisikan syetan. Masih ingatkah tentang kisah seseorang yang berniat ibadah haji
tetapi meremehkan restu dari ibunya? Boro-boro bisa ibadah haji, malah dia mendapat
peristiwa tragis ditengah perjalanan. Dituduh mencuri, dipukuli massa, dipotong
tangannya, dan pulang dengan penuh penderitaan. Masih ingat kisah ketika ada wanita
pezina yang dirajam dan ada sahabat yang memandang negatif pada wanita itu?
Rasulullah saw menegurnya dan mengatakan bahwa nilai tobat wanita itu sangat tinggi
derajatnya.
Disini, iman yang benar dan kuat sangat diperlukan. Tujuan akhir perjalanan hidup
manusia, banyak orang yang tertipu dengan persepsinya sendiri. Ada seorang Abid
yang sudah beribadah ratusan tahun dan dia menyangka amalnya itulah yang akan
memasukkannya ke surga. Ternyata bukan. Ada lagi hadits dari Rasulullah sawyang
mengabarkan bahwa akan datang suatu kaum dari umat islam pada hari akhir nanti
dengan membawa ibadah yang banyak sebesar gunung tihamah yang putih. Akan
tetapi, dijadikan oleh Allah amal itu bagaikan bulu-bulu yang beterbangan tak bernilai.
Sehingga wajarlah jika banyak para sahabat yang harap-harap cemas. Ada ungkapan
yang populer tentang hal ini: ilahi, lastu lil firdausi ahla wa laa aqwa ‘alan naril
jahimi…
Namun, sekali lagi, hanya orang berimanlah yang akan beruntung, dunia dan
akhirat. “Qod aflahal mu’minuuna……” :Sungguh beruntunglah orang yang beriman itu
(QS.23:1). Mereka itulah yang akan mewarisi Surga Firdaus dan kekal didalamnya
(QS.23:10-11).

Anda mungkin juga menyukai