Anda di halaman 1dari 22

Gangguan Makan pada Anak

FEEDING AND EATING DISORDERS

FEEDING DISORDERS OF INFANCY OR EARLY CHILDHOOD

 Feeding disorder dari bayi atau masa kanak-kanak awal ditandai dengan pengurangan
berat badan yang tiba-tiba pada bayi atau anak-anak (di bawah 6 tahun) dan perlambatan
atau gangguan emosi dan perkembangan social.
 Gangguan ini dapat mengarah pada retardasi fisik dan mental bahkan kematian

Prevalensi dan perkembangan

 Bila tidak diidentifikasi lebih dini, gangguan ini akan menyulitkan karena gangguan ini
memiliki efek jangka panjang pada pertumbuhan dan perkembangannya.
 Gangguan ini umum terjadi baik pada laki-laki maupun perempuan
 Serangan dari gangguan ini biasanya muncul selama 2 tahun pertama kehidupan.
 Gangguan ini dapat mengarah pada malnutrisi dengan konsekuensi perkembangan yang
cukup serius.
 Apabila tidak terdapat alasan medis untuk kegagalan dalam menaikkan berat badan, maka
serangan tersebut sering diasosiasikan dengan perawatan yang kurang baik, termasuk di
dalamnya siksaan dan penelantaran.
 Gangguan ini dapat mengarah pada atau merupakan hasil dari kegagalan untuk tumbuh
dengan pesat.
 Factor-faktor yang dapat menyebabkan masalah gangguan ini menjadi lebih serius adalah
(a) derajat dan kronisitas dari malnutrisi, derajad dan kronisitas dari penundaan
perkembangan, keparahan dan durasi dari masalah hubungan bayi-perawat (Drotar, 1991)

Penyebab dan perlakuan

 Etiologi dari feeding disorder telah dipelajari dari perspektif biologis dan psikososial, dan
kesimpulan terbaik saat ini adalah bahwa banyak factor resiko berinteraksi
mempengaruhi bagaimana anak beradaptasi dengan level tertentu dari penerimaan kalori,
dan mempengaruhi apakah anak tersebut menampilkan perkembangan tingkah laku
normal atau abnormal.
 Gangguan ini sejak lama berkaitan dengan keluarga yang tidak beruntung, kemiskinan,
pengangguran,, isolasi social, dan orang tua yang sakit mental, perhatian difokuskan pada
pertimbangan akan perhatian.
 Eating disorder pada ibu diidentifikasi sebagai faktor beresiko yang spesifik untuk
terjadinya eating disorders atau feeding disorders pada bayi.
 Kegagalan anak untuk tumbuh pesat pada ulang tahun pertama mereka diasosiasikan
dengan ibu yang memiliki sejarah anorexia nervosa (brinch, isager, & tolstrup, 1988) dan
sikap serta kebiasaan makan ibu yang terganggu (A. stein, murray, copper & fairburn,
1995)
 Karena hubungan ibu-anak selama tahapan awal dari pembentukan attachement sangat
kritis, eating disorders yang ditunjukkan oleh bayi dan anak-anak bisa saja merupakan
simptom dari masalah fundamental pada hubungan ini (Lyons-Ruth et al., 1996)
 Banyak perlakuan yang melibatkan assessment detail dari tingkah laku memberi makan
dan interaksi orangtua-anak seperti tersenyum, berbicara, dan menenangkan, sementara
mengizinkan orangtua untuk memainkan peran dalam pemulihan bayi (D. A. Wolfe & St.
Pierre, 1989).

Pica

 Pica adalah pengunyahan substansi yang tidak boleh dimakan, seperti rambut, serangga,
atau potongan cat (di tembok) dan secara langsung mempengaruhi anak yang sangat
muda dan mereka yang menderita retardasi mental.
 Seorang bayi atau anak-anak yang memakan substansi yang tidak boleh dimakan dan
tidak bernutrisi dalam perode 1 bulan atau lebih lama dapat memiliki masalah yang lebih
serius (Linscheid & Murphy, 1999)
 Anak-anak penderita pica tetap tertarik untuk memakan makanan biasa (normal), namun
mereka tetap mengkonsumsi benda yang tidak boleh dimakan
 Gangguan ini berawal selama masa bayi dan berakhir dalam beberapa bulan, pada saat ia
memutuskan untuk tidak emlakukannya lagi atau dengan bantuan yaitu dengan
menambahkan stimulasi pada bayi dan meningkatkan kondisi lingkungan.
 Pada individu dengan retardasi mental, pica dapat berlangsung sampai masa remaja
sebelum akhirnya berkurang secara gradual.

Prevalensi dan perkembangan

 Pica lebih umum terjadi pada anak-anak dan orang dewasa yang berada di suatu institusi,
terutama orang dengan kerusakan parah dan retardasi mental (Matson & Bamburg, 1999)
 Di antara anak-anak dan orang dewasa dengan ketidakmampuan intelektual, kelaziman
pica memiliki range dari 0,3 %-14,4% dalam komunitas, dan 9%-25% dalam institusi
(Ali, 2001).
 Derajad keparahan berkaitan dengan derajad deprivasi lingkungan dan retardasi mental
pada penderitaan individu yang didapat dari bentuk pica yang lebih ekstrim.

Penyebab dan perlakuan

 Menurut sejarah, pica seringkali dipicu oleh trend dan tekanan social yang serupa dengan
yang mempengaruhi body image dan penampilan sekarang.
 Selama abad 18 dan 19, para gadis seringkali memakan limau, batu bara, cuka, dan
kapur, karena substansi ini dipercaya dapat menghasilkan warna kulit pucat yang sedang
trend waktu itu (Parry-Jones & Parry-Jones, 1994).
 Pica dapat muncul selama 1 atau 2 tahun kehidupan.
 Penderita pica secara tipikal memiliki stimulasi yang kurang pada lingkungan rumah
mereka dan juga kurang diawasi.
 Karena resiko keracunan atau penghalanagn dalam usus mereka, pica dapat menjadi
sangat serius dan merupakan masalah substansial untuk kelompok bayi dan anak-anak
tersebut (Linscheid & Murphy, 1999;Woolston, 1991)
 Peneliti mencurigai dan pada beberapa kasus menemukan bahwa kekurangan vitamin
atau mineral diantara penderita pica, walaupun tidak ada abnormalitas biologis spesifik
yang menunjukkan hubungan sebab-akibat dengan gangguan ini (Vyas & Chandra, 1984)
 Tidak ada bukti, kecuali pada kasus retardasi mental, dimana factor genetic memainkan
peranan pada etiologi dari gangguan ini.
 Pica pada masa kanak-kanak membentuk factor resiko untuk perkembangan bulimia di
masa remaja.
 Kebanyakan intervensi klinis untuk anak penderita pica menekankan prosedur operant
conditioning, dimana perawat ditunjukkan bagaimana me-reinforce anak untuk tingkah
laku yang diharapkan seperti mengeksplor kamar atau bermain dengan objek.
 Bentuk positif dari perhatian, termasuk tersenyum, tertawa, dan mengelitik, menyediakan
stimulasi tambahan dan menguntungkan, karena gangguan ini sering berkaitan dengan
interaksi yang tidak cukup baik dengan perawat (L. burke & smith, 1999). Perawat juga
diajarkan untuk menjaga lingkungan anak tetap rapid an memindahkan atau menyimpan
substansi berbahaya dengan aman.

Failure to Thrive (FTT)

 Failure to Thrive (FTT) adalah gangguan pertumbuhan yang berkaitan dengan gangguan
pemberian makanan awal, yang dapat memiliki konsekuensi parah pada perkembangan
fisik dan psikologis anak.
 FTT ditandai dengan berat badan di bawah percentile 5 pada usia tertentu dan/atau
penurunan paling tidak 2 standard deviasi pada rata-rata kenaikan berat badan dari lahir
hingga sekarang,menggunakan grafik standar pertumbuhan untuk perbandingan (Budd et
al., 1992; lyons-ruth et al., 1996).

Penyebab

 Kontroversi utama memfokuskan pada signifikansi deprivasi emosional (kekurangan


kasih sayang) dan malnutrisi (kekurangan makanan).
 Penyelidik menyatakan bahwa bayi dengan FTT kekurangan stimulasi dan kasih sayang
dari ibunya, yang menghasilkan kesengsaraan emosi, penundaan perkembangan, dan
perubahan fisik.
 Pada suatu studi , ibu dengan anak yang didiagnosa FTT ditemukan lebih tidak merasa
aman daripada ibu yang anaknya normal. Mereka lebih pasif dan bingung, juga marah
secara intens ketika berdiskusi tentang hubungan kedekatan di masa lalu dan sekarang
atau menghilangkan kedekatan, menganggap hal itu tidak penting dan tidak berpengaruh
(Benoit, Zeanah, & barton, 1989)
 Anak yang menderita FTT sebagai hasil dari penyiksaan menunjukkan hasil yang lebih
sedikit 20 tahun kemudian daripada anak yang menderita FTT yang dihasilkan dari
ditelantarkan, kurang bimbingan orangtua, atau kesulitan pemberian makan (Iwaniec,
Sheddon, & Allen, 2003)
 Penemuan ini memperkuat dugaan bahwa gangguan makan dan pertumbuhan selama
masa bayi awal berkaitan erat dengan kualitas yang kurang baik dari kedekatan perawat-
anak , yang kemungkinan merefleksikan perlakuan yang tidak sensitive yang perawat
terima ketika ia kecil
 Kemiskinan, ketidakteraturan keluarga, dan dukungan social yang terbatas bekontribusi
terhadap kemungkinan adanya malnutrisi dan kegagalan pertumbuhan, seperti yang
terjadi pada bayi yang sulit diberi makan dan diasuh karena temperamen dan penyakit
fisik akut (Budd et al., 1992; Drotar, 1991).
 Hasil perkembangan anak berkaitan erat dengan lingkungan rumah. Perubahan yang
signifikan pada kualitas perawatan dan pada lingkungan emosional menghasilkan
penyesuaian diri yang lebih baik 20 tahun kemudian, bahkan bagi anak-anak yang
mengalami FTT karena penyiksaan (Iwaniec et al., 2003)
 FTT pada usia dini dapat mempengaruhi pertumbuhan fisik pada anak-anak, tapi tidak
ada bukti yang menunjukkan bahwa ini mempengaruhi fungsi kognitif di masa yang akan
datang (Boddy, Skuse, & Andrews, 2000; Drewett, Corbett, & Wright, 1999; Mackner
Black, & Starr, 2003)

Obesitas

 Obesitas pada anak dipertimbangkan sebagai kondisi medis kronis yang mirip dengan
hipertensi atau diabetes. Obesitas ditandai oleh lemak tubuh yang berlebihan.
 Orang dengan obesitas mengatur berat badan secara tepat, namun patokan (set point)
mereka dinaikkan.
 Obesitas biasanya didefinisikan dalam istilah body mass index (BMI), secara esensial
merupakan perbandingan berat badan dan tinggi badan, yaitu di atas persentil 95,
berdasarkan norma untuk usia dan jenis kelamin anak.
 Anak dan remaja yang mengalami obesitas memiliki kemungkinan lima kali lebih besar
daripada anak sehat untuk mengalami kualitas hidup yang buruk, serupa dengan anak
yang menderita kanker (Schwimmer, Burwinkle, & Varni, 2003).
 Banyak anak dan orang dewasa yang mengalami obesitas menderita akan konsekuensi
dari sikap budaya barat yang menyamakan daya tarik dan kompetensi dengan
kelangsingan.
 Pada tingkat pertama, anak-anak lebih tidak menyukai bertemankan teman yang
mengalami kelebihan berat badan (Goldfield & Chrisler, 1995) dan sikap ini semakin
instensif selama remaja (Striegel-Moore et al., 2000).

Prevalensi dan perkembangan

 Proporsi anak-anak di Amerika Utara yang mengalami obesitas lnaik dari 5% pada
tahunn 1960-an mendekati 15% pada tahun 1990-an (Ogden, flegal, carroll &Johnson,
2002)
 Rata-rata obesitas di antara anak laki-laki mendekati rangkap tiga (triple) antara awal
1980-an dan pertengahan tahun 1990-an, sementara itu prevalensi obesitas di antara anak
perempuan dengan usia yang sama lebih dari rangkap dua (double) (M. s. tremblay &
willms, 2000).
 Walaupun obesitas selama masa bayi dan setelah masa anak-anak tidak secara kuat
berkaitan, munculnya obesitas masa kanak-kanak memiliki kemungkinan untuk bertahan
hingga remaja dan dewasa (Troiano, Kuczmarski, Johnson, Flegal, & Campbell, 1995)
 Walau mereka masih muda, individu yang mengalami obesitas harus memperhatikan
kesehatan khususnya masalah cardiovascular dan peningkatan kolesterol serta
triglycerides (hayman, meininger, coates, & Gallagher, 1995)
 Obesitas merupakan faktor mayor yang mengakibatkan tiap 10 kematian orang dewasa di
Amerika Utara (Katzmarzyk & Ardern, 2004)
 Obesitas pada masa pra remaja merupakan faktor resiko pada kemunculan gangguan
makan, khususnya untuk perempuan, secara utama merujuk pada perlakuan dimana peer
menolak atau mengejek anak-anak yang mengalami obesitas.
 Siswa yang mengalami kelebihan berat badan pada jenjang middle dan high school
menggunakan lebih banyak startegi pengendalian berat badan yang sehat (contoh :
aktivitas fisik, makan yang lebih sehat) dan lebih banyak strategi yang tidak sehat (contoh
: muntah, pil diet, obat cuci perut) daripada siswa yang tidak kelebihan berat badan
(Boutelle, Neumark-Sztainer, Story, & Resnick, 2002)

Budaya dan SES

 Survey yang dilakukan baru-baru ini dari 15 negara industri menemukan bahwa Amerika
Serikat memiliki presentase tertinggi dari anak-anak yang mengalami kelebihan berat
badan, apakah dibandingkan umurnya (13 dan 15 tahun) atau gendernya (Lissau et al.,
2004)
 Dapat disimpulkan bahwa pengaruh dan globalisasi industri makanan fast food yang
besar-besaran dapat mendorong peningkatan tingkat obesitas yang pesat.
 Kaum minoritas membuat proporsi yang signifikan dari populasi SES rendah di Amerika
Utara. Fast food dan junk food cenderung tidak mahal, rata-rata konsumsi makanan ini
lebih tinggi pada kelompok SES rendah (Crister, 2003)
 Tambahan masalah yang dihadapi kelompok SES rendah adalah lingkungan mereka tidak
aman, dan orangtua menjaga anak mereka tetap di rumah jauh dari perhatian keamanan,
yang membatasi kesempatan anak-anak untuk aktivitas fisik (Crister, 2003)
Berbagai Gangguan Makan Pada Anak

Orthorexia

Ciri-cirinya adalah terobsesi dengan makan makanan-makanan sehat, penyakit ini bisa
dikacaukan dengan diagnose sebagai anoreksia di mana perbedaan utamanya adalah alasan di
balik kebiasaan makan ini. Anorexics (pengidap anarexia) terobsesi dengan pengurangan berat
badan, sedangkan orthorexics (pengidap orthorexia) merasakan suatu kebutuhan akan makanan
yang sehat atau makanan “murni” atau alami. Orthorexia tidak dikenal oleh DSM IV (Diagnostic
and Statistical Manual of Mental Disorders) dan secara umum tidak terdiagnose, tetapi gejalanya
sedang mewabah dewasa ini.

Prader-Willi Syndrom (PWS)


PWS disebabkan adanya cacat chromosomal. Ini bukanlah penyakit turunan dan penyakit ini bisa
menyerang laki-laki atau perempuan semua ras. PWS dapat membawa serta sejumlah gejala-
gejala termasuk kekurangan ketrampilan gerak motorik tubuh, pertumbuhan yang tidak
sempurna, dan keterbelakangan mental. Sebagai tambahan, PWS juga menyebabkan selera yang
tak terpuaskan. Meninggalkan sifat tidak terkendali, yang mana si penderita memakan – arti
sebenarnya – diri sendiri sampai mati. Perawatan dengan hormon pertumbuhan dan diet kalori
rendah mutlak harus dilakukan.

Pica

Pica barangkali penyakit paling menarik di daftar ini. Ini adalah gabungan antara kekacauan
mental mengenai makanan dan masalah kejiwaan umum. Orang-orang dengan pica merasakan
adanya paksaan untuk memakan benda yang bukan makanan dan bukan bahan nutrisi. Seperti
memakan puntung rokok, obat nyamuk bakar, rambut, tanah, atau kaca dan benda tajam lainnya.
Penderita pica beresiko sakit atau bahkan kematian disebabkan masuknya bahan-bahan
berbahaya ke dalam tubuh.

Bigorexia

Bigorexia dikatakan sebagai lawan dari anorexia. Bigorexia adalah satu-satunya kekacauan
mental disebabkan makanan di daftar ini dengan penderitanya lebih banyak pria dibanding
wanita. Bigorexics adalah latihan penuh paksaan, mengambil suplemen tambahan, dan sangat
memperketat diet mereka. Bagaimana pun berotot dan kekarnya tubuh mereka, mereka tetap
merasa malu untuk memperlihatkan tubuh mereka karena mereka pikir tubuh mereka belum
cukup bagus. Karena gangguan mental jenis ini sudah lama diihat sebagai penyakit anak
perempuan sehingga banyak kaum yang mengidap gangguan malu untuk mengakuinya.

BED (Binge Eating Disorder=gangguan kesenangan berlebihan dengan makanan)

BED adalah suatu kondisi yang terpisah dibanding bulimia. Kondisi ini dianggap sebagai
kekacauan yang umum karena makanan, namun ditetapkan di dalam DSM IV sebagai suatu
bagian dari EDNOS (Eating Disorder Not Otherwise Specified=Kekacauan makan bukan oleh
sebab-sebab yang spesifik). Ini adalah suatu kategori yang luas dari kekacauan mental
disebabkan makanan dengan ciri-ciri sebagai berikut:

Pada perioide tertentu mengonsumsi makanan secara tidak terkontrol, baik jumlahnya maupun
temponya, di luar serangan bisa normal kembali.

Makan dengan gelisah, dan biasanya makan dalam jumlah berlebihan saat bosan, stres atau
depresi.

Makan dalam jumlah besar walaupun tidak benar-benar lapar.

Takut makan di depan orang lain karena malu dengan kelainan ini.

Timbul perasaan bersalah, menyesal diakhiri dengan depresi pada pasca serangan.
Anorexia Athletica

Sementara tidak secara teknis digolongkan sebagai penyakit terkait dengan makanan, karena
orang yang menderita kekacauan ini hampir tidak pernah didiagnose tanpa kehadiran dari
kekacauan yang lain. Seperti namanya, seseorang dengan anoreksia athletica melampaui
perasaan yang normal dari kebanyakan kita setelah mereka menempuh sebuah latihan lari
panjang yang bagus atau suatu sesi yang berhasil di dalam ruang senam atau fitness. Perasaan ini
bukanlah pilihan untuk mereka pada penyakit ini, dan mereka sering kali mendorong diri mereka
sendiri untuk melakukan tindakan berlebihan atau bahkan rasa sakit serius hanya untuk
mendapatkan tubuh yang sempurna.

NES (Night Eating Syndrome=sindrom makan malam)

NES adalah jenis kekacauan baru, mirip seperti orthorexia dalam diagnosa cepat. Korban makan
malam berupa kegemukan biasa atau kegemukan berlebihan, yang hampir tidak makan apa pun
di pagi hari dan sepanjang hari atau makan kurang dari separuh kalori yang dimakan pada malam
hari. Mereka sering kali mengalami kesulitan untuk tidur atau terjaga pada malam hari untuk
memenuhi hasrat untuk makan. Seperti orang dengan ED lainnya, orang-orang dengan NES
sering tertutup tentang kebiasaan makan mereka dan tidak suka mengakui bahwa ada masalah.

 BBD (Body Dysmorphic Disorder=kekacauan tubuh dysmorphic)

Sementara BDD bisa saja didiagnose tanpa kehadiran suatu ED. Orang-orang dengan BDD
diyakinkan mereka mempunyai sejumlah cacat-cacat, tidak hanya termasuk perasaan kegemukan
yang jelek, tapi juga karena mempunyai rambut, gigi yang jelek, atau bau badan yang sangat
tidak enak. Hal ini melampaui kegelisahan remaja secara umum tentang penampilan. Ketika
seorang penderita BDD melihat bayangan dirinya di dalam cermin, mereka melihat sosok yang
benar-benar berbeda dibanding orang di sekitarnya.

 Bulimia Nervosa

Bulimia dicirikan ditandai oleh lingkaran kesenangan berlebihan akan makanan dan
pembersihan. Ketika kebanyakan orang berpikir tentang bulimics (pengidap bulimia), mereka
berpikir tentang diri sendiri yang terbujuk memuntahkan makanan dengan maksud
membersihkan. Selain dengan cara memuntahkan untuk membersihkan, para bulimics juga
melakukan pembuangan air seni dan berak. Selain itu, para bulimics menggunakan sirop ipecac
atau gerakan menggelitik kerongkongan untuk memuntahkan. Seorang bulimics sangat
menyadari perilaku mereka itu adalah hal yang tidak biasa atau tidak benar, dan mereka akan
bersusah payah untuk menyembunyikannya. Yang menarik, seorang bulimics dengan siklus
pembersihan yang tidak berlebihan akan mempunyai berat badan yang normal. Hanya mereka
yang membersihkan lebih dari ukuran normal yang memperlihatkan tanda-tanda suatu ED.

Anorexia Nervosa

Penelitian-penelitian terbaru memperkiraka ada 1 dari 100 gadis remaja menderita anorexia,
yakni kekacauan berupa kesediaan untuk tidak makan dan lapar dalam jangka waktu lama,
dengan hanya makan sedikit sekali disebabkan stres untuk menjaga berat badan. Anak-anak
perempuan berusia 8 tahun-an sudah ada yang diopname dengan kondisi ini. Pemetaan otak pada
penderita anorexia menunjukkan kecanduan mereka untuk tidak makan adalah sama besarnya
seperti orang yang kecanduan narkoba atau alkohol berat. Anorexics (penderita anorexia)
beresiko lebih besar untuk berbuat lebih parah disebabkan anorexia itu sendiri dan kemungkinan
mengidap ED yang lain, seperti kebanyakan rasa kecanduan, tidak pernah hilang begitu saja.
Mereka yang mengalami perawatan dan tidak lagi menunjukkan gejala-gejala atau tanda-tanda
kekambuhan mereka dipertimbangkan di dalam penyembuhan dan harus menjaga diri dari
dorongan-dorongan di luar kendali. Bahkan orang sembuh setelah bertahun-tahun, hanya karena
suatu peristiwa dapat memicu ulang penyakit ini. Bagaimanapun, mereka yang sungguh-sungguh
mengatur untuk memelihara datangnya penyakit dapat memulihkan diri secara penuh dan dapat
hidup dan makan secara normal.
Autisme
Dari Wikipedia

Belum Diperiksa

Langsung ke: navigasi, cari

Artikel ini perlu dirapikan agar memenuhi standar Wikipedia


Merapikan artikel bisa berupa membagi artikel ke dalam paragraf atau wikifikasi artikel. Setelah
dirapikan, tolong hapus pesan ini.

Wikipedia Indonesia tidak dapat bertanggung jawab dan tidak bisa menjamin bahwa
informasi kedokteran yang diberikan di halaman ini adalah benar.
Mintalah pendapat dari tenaga medis yang profesional sebelum melakukan pengobatan.

Autisme
Klasifikasi dan bahan-bahan eksternal

Repetitively stacking or lining up objects may indicate autism.

ICD-10 F84.0
ICD-9 299.00

OMIM 209850

DiseasesDB 1142

MedlinePlus 001526

eMedicine med/3202  ped/180

MeSH D001321

Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang
membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal.
Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas
dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan
autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:

 interaksi sosial,
 komunikasi (bahasa dan bicara),
 perilaku-emosi,
 pola bermain,
 gangguan sensorik dan motorik
 perkembangan terlambat atau tidak normal.

Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.

Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah
satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Pervasive Development Disorder) di luar
ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder).
Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan
beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:

1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan
dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya
perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas
yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta
memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah
atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan
kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-
laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan
kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan
dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2
tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan
yang telah dicapai sebelumnya.

Diagnosa Pervasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS)


umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa
karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for
Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme
dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa
dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat
neurologis yang memengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan
kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan
adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga
dihubungkan pada gejala autisme.

Daftar isi
[tampilkan]

[sunting] Diagnosa Autisme Sesuai DSM IV


A. Interaksi Sosial (minimal 2):

1. Tidak mampu menjalin interaksi sosial non verbal: kontak mata, ekspresi muka, posisi
tubuh, gerak-gerik kurang tertuju
2. Kesulitan bermain dengan teman sebaya
3. Tidak ada empati, perilaku berbagi kesenangan/minat
4. Kurang mampu mengadakan hubungan sosial dan emosional 2 arah

B. Komunikasi Sosial (minimal 1):

1. Tidak/terlambat bicara, tidak berusaha berkomunikasi non verbal


2. Bisa bicara tapi tidak untuk komunikasi/inisiasi, egosentris
3. Bahasa aneh & diulang-ulang/stereotip
4. Cara bermain kurang variatif/imajinatif, kurang imitasi social

C. Imaginasi, berpikir fleksibel dan bermain imaginatif (minimal 1):

1. Mempertahankan 1 minat atau lebih dengan cara yang sangat khas dan berlebihan, baik
intensitas dan fokusnya
2. Terpaku pada suatu kegiatan ritualistik/rutinitas yang tidak berguna
3. Ada gerakan-gerakan aneh yang khas dan berulang-ulang. Seringkali sangat terpukau
pada bagian-bagian tertentu dari suatu benda
Seorang anak penderita autisme, dengan jajaran mainan yang ia buat

Gejala autisme dapat sangat ringan (mild), sedang (moderate) hingga parah (severe), sehingga
masyarakat mungkin tidak menyadari seluruh keberadaannya. Parah atau ringannya gangguan
autisme sering kemudian di-paralel-kan dengan keberfungsian. Dikatakan oleh para ahli bahwa
anak-anak dengan autisme dengan tingkat intelegensi dan kognitif yang rendah, tidak berbicara
(nonverbal), memiliki perilaku menyakiti diri sendiri, serta menunjukkan sangat terbatasnya
minat dan rutinitas yang dilakukan maka mereka diklasifikasikan sebagai low functioning
autism. Sementara mereka yang menunjukkan fungsi kognitif dan intelegensi yang tinggi,
mampu menggunakan bahasa dan bicaranya secara efektif serta menunjukkan kemampuan
mengikuti rutinitas yang umum diklasifikasikan sebagai high functioning autism. Dua dikotomi
dari karakteristik gangguan sesungguhnya akan sangat berpengaruh pada implikasi pendidikan
maupun model-model treatment yang diberikan pada para penyandang autisme. Kiranya melalui
media ini penulis menghimbau kepada para ahli dan paktisi di bidang autisme untuk semakin
mengembangkan strategi-strategi dan teknik-teknik pengajaran yang tepat bagi mereka. Apalagi
mengingat fakta dari hasil-hasil penelitian terdahulu menyebutkan bahwa 80% anak dengan
autisme memiliki intelegensi yang rendah dan tidak berbicara atau nonverbal. Namun sekali lagi,
apapun diagnosa maupun label yang diberikan prioritasnya adalah segera diberikannya intervensi
yang tepat dan sungguh-sungguh sesuai dengan kebutuhan mereka.

Referensi baku yang digunakan secara universal dalam mengenali jenis-jenis gangguan
perkembangan pada anak adalah ICD (International Classification of Diseases) Revisi ke-10
tahun 1993 dan DSM (Diagnostic And Statistical Manual) Revisi IV tahun 1994 yang keduanya
sama isinya. Secara khusus dalam kategori Gangguan Perkembangan Perpasiv (Pervasive
Developmental Disorder/PDD): Autisme ditunjukkan bila ditemukan 6 atau lebih dari 12 gejala
yang mengacu pada 3 bidang utama gangguan, yaitu: Interaksi Sosial – Komunikasi – Perilaku.

Autisme sebagai spektrum gangguan maka gejala-gejalanya dapat menjadi bukti dari berbagai
kombinasi gangguan perkembangan. Bila tes-tes secara behavioral maupun komunikasi tidak
dapat mendeteksi adanya autisme, maka beberapa instrumen screening yang saat ini telah
berkembang dapat digunakan untuk mendiagnosa autisme:

 Childhood Autism Rating Scale (CARS): skala peringkat autisme masa kanak-kanak yang dibuat
oleh Eric Schopler di awal tahun 1970 yang didasarkan pada pengamatan perilaku. Alat
menggunakan skala hingga 15; anak dievaluasi berdasarkan hubungannya dengan orang,
penggunaan gerakan tubuh, adaptasi terhadap perubahan, kemampuan mendengar dan
komunikasi verbal
 The Checklis for Autism in Toddlers (CHAT): berupa daftar pemeriksaan autisme pada masa
balita yang digunakan untuk mendeteksi anak berumur 18 bulan, dikembangkan oleh Simon
Baron Cohen di awal tahun 1990-an.
 The Autism Screening Questionare : adalah daftar pertanyaan yang terdiri dari 40 skala item yang
digunakan pada anak dia atas usia 4 tahun untuk mengevaluasi kemampuan komunikasi dan
sosial mereka
 The Screening Test for Autism in Two-Years Old : tes screening autisme bagi anak usia 2 tahun
yang dikembangkan oleh Wendy Stone di Vanderbilt didasarkan pada 3 bidang kemampuan
anak, yaitu; bermain, imitasi motor dan konsentrasi.

Diagnosa yang akurat dari Autisme maupun gangguan perkembangan lain yang berhubungan
membutuhkan pengamatan yang menyeluruh terhadap: perilaku anak, kemampuan komunikasi
dan kemampuan perkembangan lainnya. Akan sangat sulit mendiagnosa karena adanya berbagai
macam gangguan yang terlihat. Observasi dan wawancara dengan orang tua juga sangat penting
dalam mendiagnosa. Evaluasi tim yang terdiri dari berbagai disiplin ilmu memungkinkan adanya
standardisasi dalam mendiagnosa. Tim dapat terdiri dari neurolog, psikolog, pediatrik, paedagog,
patologis ucapan/kebahasaan, okupasi terapi, pekerja sosial dan lain sebaginya.

[sunting] Gejala
Anak dengan autisme dapat tampak normal di tahun pertama maupun tahun kedua dalam
kehidupannya. Para orang tua seringkali menyadari adanya keterlambatan kemampuan berbahasa
dan cara-cara tertentu yang berbeda ketika bermain serta berinteraksi dengan orang lain. Anak-
anak tersebut mungkin dapat menjadi sangat sensitif atau bahkan tidak responsif terhadap
rangsangan-rangasangan dari kelima panca inderanya (pendengaran, sentuhan, penciuman, rasa
dan penglihatan). Perilaku-perilaku repetitif (mengepak-kepakan tangan atau jari, menggoyang-
goyangkan badan dan mengulang-ulang kata) juga dapat ditemukan. Perilaku dapat menjadi
agresif (baik kepada diri sendiri maupun orang lain) atau malah sangat pasif. Besar
kemungkinan, perilaku-perilaku terdahulu yang dianggap normal mungkin menjadi gejala-gejala
tambahan. Selain bermain yang berulang-ulang, minat yang terbatas dan hambatan bersosialisasi,
beberapa hal lain yang juga selalu melekat pada para penyandang autisme adalah respon-respon
yang tidak wajar terhadap informasi sensoris yang mereka terima, misalnya; suara-suara bising,
cahaya, permukaan atau tekstur dari suatu bahan tertentu dan pilihan rasa tertentu pada makanan
yang menjadi kesukaan mereka.

Beberapa atau keseluruhan karakteristik yang disebutkan berikut ini dapat diamati pada para
penyandang autisme beserta spektrumnya baik dengan kondisi yang teringan hingga terberat
sekalipun.

1. Hambatan dalam komunikasi, misal: berbicara dan memahami bahasa.


2. Kesulitan dalam berhubungan dengan orang lain atau obyek di sekitarnya serta menghubungkan
peristiwa-peristiwa yang terjadi.
3. Bermain dengan mainan atau benda-benda lain secara tidak wajar.
4. Sulit menerima perubahan pada rutinitas dan lingkungan yang dikenali.
5. Gerakkan tubuh yang berulang-ulang atau adanya pola-pola perilaku yang tertentu

Para penyandang Autisme beserta spektrumnya sangat beragam baik dalam kemampuan yang
dimiliki, tingkat intelegensi, dan bahkan perilakunya. Beberapa diantaranya ada yang tidak
'berbicara' sedangkan beberapa lainnya mungkin terbatas bahasanya sehingga sering ditemukan
mengulang-ulang kata atau kalimat (echolalia). Mereka yang memiliki kemampuan bahasa yang
tinggi umumnya menggunakan tema-tema yang terbatas dan sulit memahami konsep-konsep
yang abstrak. Dengan demikian, selalu terdapat individualitas yang unik dari individu-individu
penyandangnya.

Terlepas dari berbagai karakteristik di atas, terdapat arahan dan pedoman bagi para orang tua dan
para praktisi untuk lebih waspasa dan peduli terhadap gejala-gejala yang terlihat. The National
Institute of Child Health and Human Development (NICHD) di Amerika Serikat menyebutkan 5
jenis perilaku yang harus diwaspadai dan perlunya evaluasi lebih lanjut :

1. Anak tidak bergumam hingga usia 12 bulan


2. Anak tidak memperlihatkan kemampuan gestural (menunjuk, dada, menggenggam) hingga usia
12 bulan
3. Anak tidak mengucapkan sepatah kata pun hingga usia 16 bulan
4. Anak tidak mampu menggunakan dua kalimat secara spontan di usia 24 bulan
5. Anak kehilangan kemampuan berbahasa dan interaksi sosial pada usia tertentu

Adanya kelima ‘lampu merah’ di atas tidak berarti bahwa anak tersebut menyandang autisme
tetapi karena karakteristik gangguan autisme yang sangat beragam maka seorang anak harus
mendapatkan evaluasi secara multidisipliner yang dapat meliputi; Neurolog, Psikolog, Pediatric,
Terapi Wicara, Paedagog dan profesi lainnya yang memahami persoalan autisme.

[sunting] Prevalensi Individu dengan autisme


Diperkirakan terdapat 400.000 individu dengan autisme di Amerika Serikat. Sejak tahun 80 – an,
bayi-bayi yang lahir di California – AS, diambil darahnya dan disimpan di pusat penelitian
Autisme. Penelitian dilakukan oleh Terry Phillips, seorang pakar kedokteran saraf dari
Universitas George Washington. Dari 250 contoh darah yang diambil, ternyata hasilnya
mencengangkan; seperempat dari anak-anak tersebut menunjukkan gejala autis. National
Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) memperkirakan bahwa
autisme dan PDD pada tahun 2000 mendekati 50 – 100 per 10.000 kelahiran. Penelitian
Frombonne (Study Frombonne: 2003) menghasilkan prevalensi dari autisme beserta
spektrumnya (Autism Spectrum Disorder/ASD) adalah: 60/10.000 – best current estimate dan
terdapat 425.000 penyandang ASD yang berusia dibawah 18 tahun di Amerika Serikat. Di
Inggris, data terbaru adalah: 62.6/10.000 ASD. Autisme secara umum telah diketahui terjadi
empat kali lebih sering pada anak laki-laki dibandingkan yang terjadi pada anak perempuan.
Hingga saat ini penyebabnya belum diketahui secara pasti. Saat ini para ahli terus
mengembangkan penelitian mereka untuk mengetahui sebabnya sehingga mereka pun dapat
menemukan ‘obat’ yang tepat untuk mengatasi fenomena ini. Bidang-bidang yang menjadi fokus
utama dalam penelitian para ahli, meliputi; kerusakan secara neurologis dan ketidakseimbangan
dalam otak yang bersifat biokimia. Dr. Ron Leaf saat melakukan seminar di Singapura pada
tanggal 26 – 27 Maret 2004, menyebutkan beberapa faktor penyebab autisme, yaitu:

 Genetic susceptibility – different genes may be responsible in different families


 Chromosome 7 – speech / language chromosome
 Variety of problems in pregnancy at birth or even after birth

Meskipun para ahli dan praktisi di bidang autisme tidak selamanya dapat menyetujui atau bahkan
sependapat dengan penyebab-penyebab di atas. Hal terpenting yang perlu dicatat melalui hasil
penelitian-penelitian terdahulu adalah bahwa gangguan autisme tidak disebabkan oleh faktor-
faktor yang bersifat psikologis, misalnya karena orang tua tidak menginginkan anak ketika
hamil.

Bagaimana di Indonesia? Belum ditemukan data yang akurat mengenai keadaan yang
sesungguhnya di Indonesia, namun dalam suatu wawancara di Koran Kompas; Dr. Melly
Budhiman, seorang Psikiater Anak dan Ketua dari Yayasan Autisme Indonesia menyebutkan
adanya peningkatan yang luar biasa. “Bila sepuluh tahun yang lalu jumlah penyandang autisme
diperkirakan satu per 5.000 anak, sekarang meningkat menjadi satu per 500 anak” (Kompas:
2000). Tahun 2000 yang lalu, Dr. Ika Widyawati; staf bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia memperkirakan terdapat kurang lebih 6.900 anak penyandang autisme di
Indonesia. Jumlah tersebut menurutnya setiap tahun terus meningkat. Hal ini sungguh patut
diwaspadai karena jika penduduk di Indonesia saat ini mencapai lebih dari 160 juta, kira-kira
berapa orang yang terdata sungguh-sungguh menyandang austime beserta spektrumnya?

[sunting] Implikasi Diagnosa Autisme


Secara historis, diagnosa autisme memiliki persoalan; suatu ketika para ahli dan peneliti dalam
bidang autisme bersandarkan pada ada atau tidaknya gejala, saat ini para ahli dan peneliti
tampaknya berpindah menuju berbagai karakteristik yang disebut sebagai continuum autism.
Aarons dan Gittents (1992) merekomendasikan adanya descriptive approach to diagnosis. Ini
adalah suatu pendekatan deskriptif dalam mendiagnosa sehingga menyertakan pengamatan-
pengamatan yang menyeluruh di setting-setting sosial anak sendiri. Settingya mungkin di
sekolah, di taman-taman bermain atau mungkin di rumah sebagai lingkungan sehari-hari anak
dimana hambatan maupun kesulitan mereka tampak jelas diantara teman-teman sebaya mereka
yang ‘normal’.

Persoalan lain yang memengaruhi keakuratan suatu diagnosa seringkali juga muncul dari adanya
fakta bahwa perilaku-perilaku yang bermasalah merupakan atribut dari pola asuh yang kurang
tepat. Perilaku-perilaku tersebut mungkin saja merupakan hasil dari dinamika keluarga yang
negatif dan bukan sebagai gejala dari adanya gangguan. Adanya interpretasi yang salah dalam
memaknai penyebab mengapa anak menunjukkan persoalan-persoalan perilaku mampu
menimbulkan perasaan-perasaan negatif para orang tua. Pertanyaan selanjutnya kemudian adalah
apa yang dapat dilakukan agar diagnosa semakin akurat dan konsisten sehingga autisme
sungguh-sungguh terpisah dengan kondisi-kondisi yang semakin memperburuk? Perlu adanya
sebuah model diagnosa yang menyertakan keseluruhan hidup anak dan mengevaluasi hambatan-
hambatan dan kesulitan anak sebagaimana juga terhadap kemampuan-kemampuan dan
keterampilan-keterampilan anak sendiri. Mungkin tepat bila kemudian disarankan agar para
profesional di bidang autisme juga mempertimbangkan keseluruhan area, misalnya:
perkembangan awal anak, penampilan anak, mobilitas anak, kontrol dan perhatian anak, fungsi-
fungsi sensorisnya, kemampuan bermain, perkembangan konsep-konsep dasar, kemampuan yang
bersifat sikuen, kemampuan musikal, dan lain sebagainya yang menjadi keseluruhan diri anak
sendiri.

Bagi para orang tua dan keluarga sendiri perlu juga dicatat bahwa gejala autisme bersifat
individual; akan berbeda satu dengan lainnya meskipun sama-sama dianggap sebagai low
functioning atau dianggap sebagai high functioning. Membutuhkan kesabaran untuk
menghadapinya dan konsistensi untuk dalam penanganannya sehingga perlu disadari bahwa
bahwa fenomena ini adalah suatu perjalanan yang panjang. Jangan berhenti pada
ketidakmampuan anak tetapi juga perlu menggali bakat-bakat serta potensi-potensi yang ada
pada diri anak. Sebagai inspirasi kiranya dapat disebutkan beberapa penyandang autisme yang
mampu mengembangkan bakat dan potensi yang ada pada diri mereka, misalnya: Temple
Grandine yang mampu mengembangkan kemampuan visual dan pola berpikir yang sistematis
sehingga menjadi seorang Doktor dalam bidang peternakan, Donna William yang mampu
mengembangkan kemampuan berbahasa dan bakat seninya sehingga dapat menjadi seorang
penulis dan seniman, Bradley Olson seorang mahasiswa yang mampu mengembangkan
kemampuan kognitif dan kebugaran fisiknya sehingga menjadi seorang pemuda yang aktif dan
tangkas dan mungkin masih banyak nama-nama lain yang dapat menjadi sumber inspirasi kita
bersama. Pada akhirnya, sebuah label dari suatu diagnosa dapat dikatakan berguna bila mampu
memberikan petunjuk bagi para orang tua dan pendidik mengenai kondisi alamiah yang benar
dari seorang anak. Label yang menimbukan kebingungan dan ketidakpuasan para orang tua dan
pendidik jelas tidak akan membawa manfaat apapun.

[sunting] Perkembangan Penelitian Autisme


Tahun 1960 penanganan anak dengan autisme secara umum didasarkan pada model
psikodinamika, menawarkan harapan akan pemulihan melalui experiential manipulations
(Rimland, 1964). Namun demikian model psikodinamika dianggap tidak cukup efektif. Pada
pertengahan tahun 1960-an, terdapat sejumlah laporan penelitian bahwa pelaku psikodinamik
tidak dapat memberikan apa yang mereka janjikan (Lovaas, 1987). Melalui berbagai literatur,
dapat disebutkan beberapa ahli yang memiliki perbedaan filosofis, variasi-variasi treatment dan
target-target khusus lainnya, seperti:

 Rimland (1964): Meneliti karakteristik orang tua yang memiliki anak dengan autisme, seperti:
pekerja keras, pintar, obsesif, rutin dan detail. Ia juga meneliti penyebab autisme yang
menurutnya mengarah pada faktor biologis.
 Bettelheim (1967): Ide penyebab autisme adalah adanya penolakan dari orang tua. Infantile
Autism disebabkan harapan orang tua untuk tidak memiliki anak, karena pada saat itu
psikoterapi yang sangat berpengaruh, maka ia menginstitusionalkan 46 anak dengan autistime
untuk keluar dari stress berat. Namun tidak dilaporkan secara detail kelanjutan dari hasil
pekerjaannya tersebut.
 Delacato (1974): Autisme disebabkan oleh Brain injured. Sebagai seorang Fisioterapi maka
Delacato memberikan treatment yang bersifat sensoris. Pengaruh ini kemudian berkembang
pada Doman yang dikemudian hari mengembangkan metode Gleen Doman.
 Lovaas (1987): Mengaplikasikan teori Skinne dan menerapkan Behavior Modification kepada
anak-anak berkebutuhan khusus, termasuk anak dengan autistisme di dalamnya. Ia membuat
program-program intervensi bagi anak-anak berkebutuhan khusus yang dilakukannya di UCLA.
Dari hasil program-program Lovaas, anak-anak dengan autisme mendapatkan program
modifikasi perilaku yang kemudian berkembang secara professional dalam jurnal-jurnal
psikologi.

Hingga saat ini terdapat banyak program intervensi perilaku bagi anak dengan autisme, setiap
program memiliki berbagai variasi dan pengembangan-pengembangan sendiri sesuai dengan
penelitian-penelitan dilakukan. Perkembangan studi mengenai autisme kemudian disampaikan
oleh Rogers, Sally J., sebagaimana disebutkan di bawah ini:

 1960s Heavy emphasis on causes of autism, correlates of autism


 1970s Heavy emphasis on assessment, diagnosis: emerging literature on treatment
 1980s Heavy emphasis on functional assessment and treatment, school-based services
 1990s Heavy emphasis on social interventions, assessment, school-based services
 2000s Litigation, school-based services

[sunting] Penanganan Autisme di Indonesia


Intensitas dari treatment perilaku pada anak dengan autisme merupakan hal penting, namun
persoalan-persoalan mendasar yang ditemui di Indonesia menjadi sangat krusial untuk diatasi
lebih dahulu. Tanpa mengabaikan faktor-faktor lain, beberapa fakta yang dianggap relevan
dengan persoalan penanganan masalah autisme di Indonesia diantaranya adalah:

1. Kurangnya tenaga terapis yang terlatih di Indonesia. Orang tua selalu menjadi pelopor dalam
proses intervensi sehingga pada awalnya pusat-pusat intervensi bagi anak dengan autisme
dibangun berdasarkan kepentingan keluarga untuk menjamin kelangsungan pendidikan anak
mereka sendiri.
2. Belum adanya petunjuk treatment yang formal di Indonesia. Tidak cukup dengan hanya
mengimplementasikan petunjuk teatment dari luar yang penerapannya tidak selalu sesuai
dengan kultur kehidupan anak-anak Indonesia.
3. Masih banyak kasus-kasus autisme yang tidak di deteksi secara dini sehingga ketika anak
menjadi semakin besar maka semakin kompleks pula persoalan intervensi yang dihadapi orang
tua. Para ahli yang mampu mendiagnosa autisme, informasi mengenai gangguan dan
karakteristik autisme serta lembaga-lembaga formal yang memberikan layanan pendidikan bagi
anak dengan autisme belum tersebar secara merata di seluruh wilayah di Indonesia.
4. Belum terpadunya penyelenggaraan pendidikan bagi anak dengan autisme di sekolah. Dalam
Pasal 4 UU No. 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional telah diamanatkan pendidikan yang
demokratis dan tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, dukungan ini
membuka peluang yang besar bagi para penyandang autisme untuk masuk dalam sekolah-
sekolah umum (inklusi) karena hampir 500 sekolah negeri telah diarahkan oleh pemerintah
untuk menyelenggarakan inklusi.
5. Permasalahan akhir yang tidak kalah pentingnya adalah minimnya pengetahuan baik secara
klinis maupun praktis yang didukung dengan validitas data secara empirik (Empirically Validated
Treatments/EVT) dari penanganan-penanganan masalah autisme di Indonesia. Studi dan
penelitian autisme selain membutuhkan dana yang besar juga harus didukung oleh validitas data
empirik, namun secara etis tentunya tidak ada orang tua yang menginginkan anak mereka
menjadi percobaan dari suatu metodologi tertentu. Kepastian dan jaminan bagi proses
pendidikan anak merupakan pertimbangan utama bagi orang tua dalam memilih salah satu jenis
treatment bagi anak mereka sehingga bila keraguan ini dapat dijawab melalui otoritas-otoritas
ilmiah maka semakin terbuka informasi bagi masyarakat luas mengenai pengetahuan-
pengetahuan baik yang bersifat klinis maupun praktis dalam proses penanganan masalah
autisme di Indonesia.

[sunting] Terapi Bagi Individu dengan Autisme


Bila ada pertanyaan mengenai terapi apa yang efektif? Maka jawaban atas pertanyaan ini sangat
kompleks, bahkan para orang tua dari anak-anak dengan autisme pun merasa bingung ketika
dihadapkan dengan banyaknya treatment dan proses pendidikan yang ditawarkan bagi anak
mereka. Beberapa jenis terapi bersifat tradisional dan telah teruji dari waktu ke waktu sementara
terapi lainnya mungkin baru saja muncul. Tidak seperti gangguan perkembangan lainnya, tidak
banyak petunjuk treatment yang telah dipublikasikan apalagi prosedur yang standar dalam
menangani autisme. Bagaimanapun juga para ahli sependapat bahwa terapi harus dimulai sejak
awal dan harus diarahkan pada hambatan maupun keterlambatan yang secara umum dimiliki oleh
setiap anak autis, misalnya; komunikasi dan persoalan-persolan perilaku. Treatment yang
komprehensif umumnya meliputi; Terapi Wicara (Speech Therapy), Okupasi Terapi
(Occupational Therapy) dan Applied Behavior Analisis (ABA) untuk mengubah serta
memodifikasi perilaku.

Berikut ini adalah suatu uraian sederhana dari berbagai literatur yang ada dan ringkasan
penjelasan yang tidak menyeluruh dari beberapa treatment yang diakui saat ini. Menjadi
keharusan bagi orang tua untuk mencari tahu dan mengenali treatment yang dipilihnya langsung
kepada orang-orang yang profesional dibidangnya. Sebagian dari teknik ini adalah program
menyeluruh, sedang yang lain dirancang menuju target tertentu yang menjadi hambatan atau
kesulitan para penyandangnya.

 Educational Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: Applied Behavior Analysis (ABA)
yang prinsip-prinsipnya digunakan dalam penelitian Lovaas sehingga sering disamakan dengan
Discrete Trial Training atau Intervensi Perilaku Intensif.
 Pendekatan developmental yang dikaitkan dengan pendidikan yang dikenal sebagai Floortime.
 TEACCH (Treatment and Education of Autistic and Related Communication – Handicapped
Children).
 Biological Treatment, meliputi tetapi tidak terbatas pada: diet, pemberian vitamin dan
pemberian obat-obatan untuk mengurangi perilaku-perilaku tertentu (agresivitas, hiperaktif,
melukai diri sendiri, dsb.).
 Speech – Language Therapy (Terapi Wicara), meliputi tetapi tidak terbatas pada usaha
penanganan gangguan asosiasi dan gangguan proses auditory/pendengaran.
 Komunikasi, peningkatan kemampuan komunikasi, seperti PECS (Picture Exchange
Communication System), bahasa isyarat, strategi visual menggunakan gambar dalam
berkomunikasi dan pendukung-pendukung komunikasi lainnya.
 Pelayanan Autisme Intensif, meliputi kerja team dari berbagai disiplin ilmu yang memberikan
intervensi baik di rumah, sekolah maupun lngkungan sosial lainnya.
 Terapi yang bersifat Sensoris, meliputi tetapi tidak terbatas pada Occupational Therapy (OT),
Sensory Integration Therapy (SI) dan Auditory Integration Training (AIT).

Dengan adanya berbagai jenis terapi yang dapat dipilih oleh orang tua, maka sangat penting bagi
mereka untuk memilih salah satu jenis terapi yang dapat meningkatkan fungsionalitas anak dan
mengurangi gangguan serta hambatan autisme. Sangat disayangkan masih minim data ilmiah
yang mampu mendukung berbagai jenis terapi yang dapat dipilih orang tua di Indonesia saat ini.
Fakta menyebutkan bahwa sangat sulit membuat suatu penelitian mengenai autisme. Sangat
banyak variabel-variabel yang dimiliki anak, dari tingkat keparahan gangguannya hingga
lingkungan sekitarnya dan belum lagi etika yang ada didalamnya untuk membuat suatu
penelitian itu sungguh-sungguh terkontrol. Sangat tidak mungkin mengontrol semua variabel
yang ada sehingga data yang dihasilkan dari penelitian-penelitian sebelumnya mungkin secara
statistik tidak akurat.

Tidak ada satupun jenis terapi yang berhasil bagi semua anak. Terapi harus disesuaikan dengan
kebutuhan anak, berdasarkan pada potensinya, kekurangannya dan tentu saja sesuai dengan
minat anak sendiri. Terapi harus dilakukan secara multidisiplin ilmu, misalnya menggunakan;
okupasi terapi, terapi wicara dan terapi perilaku sebagai basisnya. Tenaga ahli yang menangani
anak harus mampu mengarahkan pilihan-pilihan anda terhadap berbagai jenis terapi yang ada
saat ini. Tidak ada jaminan apakah terapi yang dipilih oleh orang tua maupun keluarga sungguh-
sungguh akan berjalan efektif. Namun demikian, tentukan salah satu jenis terapi dan laksanakan
secara konsisten, bila tidak terlihat perubahan atau kemajuan yang nyata selama 3 bulan dapat
melakukan perubahan terapi. Bimbingan dan arahan yang diberikan harus dilaksanakan oleh
orang tua secara konsisten. Bila terlihat kemajuan yang signifikan selama 3 bulan maka bentuk
intervensi lainnya dapat ditambahkan. Tetap bersikap obyektif dan tanyakan kepada para ahli
bila terjadi perubahan-perubahan perilaku lainnya.

Anda mungkin juga menyukai