Anda di halaman 1dari 7

OPIOID HIPERALGESIA

Definisi

OIH dapat didefinisikan sebagai peningkatan sensitisasi nosiseptif yang


disebabkan oleh paparan terhadap opioid. OIH berbeda jelas dari toleransi,
kecanduan, dan ketergantungan. Prevalensi klinis OIH masih tidak diketahui.1

Etiologi
Mekanisme yang pasti dari OIH sampai sekarang masih belum dipahami
secara baik karena sangat bervariasi dari segi literatur maupun klinis. Secara umum,
OIH dianggap sebagai hasil dari neuroplastisitas pada sistem saraf perifer dan sistem
saraf pusat (SSP) yang menyebabkan sensitisasi pada jalur pronosiseptif. Meskipun
ada banyak mekanisme, ada 3 mekanisme yang dianggap paling mungkin
menyebabkan terjadinya OIHaktivasi NMDA atau dikenal juga dengan central
glutaminergic system, spinal dynorphins, dan descending facilitation.4,8

Patofisiologi

Gambar 1. Mekanisme Kerja Opioid


Sumber: Finkel R, Clark MA, Cubeddu LX. Lippincott’s Illustrated Reviews: Pharmacology, 4 th ed.

1
Mekanisme yang tepat untuk menjelaskan OIH masih tidak dipahami dengan
baik. Namun, ada beberapa teori yang menghubungkan mekanisme ini dengan
beberapa jalur (pathways) yang berhubungan dengan reseptor μ-opioid. Hal ini
termasuk aktivasi neurotransmiter eksitatori NMDA (N-methyl-D-aspartate) pada
sistem saraf pusat, pelepasan endogen dari spinal dynorphin, dan descending
facilitation.8
1. Aktivasi NMDA
Aktivasi dari neurotransmiter NMDA pada sistem saraf pusat dapat menyebabkan
sensitisasi sentral. Aktivitas reseptor NMDA akan meningkat setelah penggunaan
morfin secara kronis; efek ini juga ditemukan pada penggunaan remifentanil atau
agonis dinorfin secara akut. Hal ini bisa dicegah dengan antagonis reseptor
NMDA.8
2. Pelepasan spinal dynorphin
Spinal dynorphin adalah substansi hiperalgesi endogen. Spinal dynorphin dilepas
sebagai bentuk respon dari administrasi opioid secara kronis dan menyebabkan
nyeri yang abnormal.8
Peningkatan kadar opioid dalam plasma menyebabkan pelepasan spinal excitatory
neuropeptides seperti CGRP (Calcitonin Gene-Related Peptide) dari aferen
primer. Oleh karena itu OIH adalah proses pronosiseptif yang difasilitasi dengan
meningkatnya sintesis excitatory neuropeptides dan pembebasannya pada
stimulasi nosiseptif perifer.4

Peningkatan aktivitas excitatory peptide neurotransmitted cholecystokinin (CCK)


dalam rostral ventromedial medulla (RVM) mengaktivasi jalur spinal yang
mengregulasi spinal dynorphin dan mengakibatkan peningkatan input nosiseptif di
tingkat spinal.4

3. Descending facilitation

Descending facilitation adalah suatu respon “on/off” cells yang terletak di RVM,
dan sensitif terhadap opioid. Terapi opioid berkepanjangan dapat menyebabkan
pergeseran antara kontrol descending inhibitory dan sistem antinosiseptif menjadi
descending facilitation dan sistem pronosiseptif. Mekanisme ini meliputi
neurotransmiter kolesistokinin (medulla oblongata) dan dinorfin (medulla
spinalis).

2
4. Mekanisme Lain

Beberapa literatur menduga bahwa genetika mempengaruhi perkembangan


terjadinya OIH karena beberapa pasien dengan terapi kronis opioid bisa
berkembang menjadi OIH dan yang lainnya tidak berkembang. Namun, genetika
OIH masih belum dieksplorasi secara baik karena berbagai hambatan pada
penelitian genetik.4

4. Manifestasi Klinis 5,6


- Memburuknya rasa sakit dari waktu ke waktu seiring dengan peningkatan
dosis opioid.
- Sensitisasi nosiseptif.
Stimulus kecil pada penderita OIH cenderung lebih menyakitkan daripada
biasanya. Pada beberapa kasus terdapat manifestasi lain seperti alodinia.
- Nyeri bersifat difus.
- Lokasi nyeri sulit untuk ditentukan.
- Nyeri pada OIH sering bermanifestasi ke tempat yang jauh dari tempat cedera
atau kerusakan jaringan. Nyeri dapat bertahan meskipun sumber luka atau
jaringan yang rusak sudah sembuh.
- Nyeri yang berhubungan dengan OIH cenderung lebih menyebar, difus, dan
stimulus kecil cenderung lebih menyakitkan dari biasanya.

5. Diagnosis dan Diagnosis Banding


i. Worsening Pain Pathology7,8
Worsening pain pathology akan menjadi diagnosis banding ketika penggunaan
analgesik opioid tidak memberikan efek terhadap nyeri. Untuk menegakkan
diagnosis ini dibutuhkan evaluasi terhadap penyebab dari meningkatnya rasa
sakit atau rasa sakit di lokasi baru. Contoh seperti pada pasien dengan nyeri
persisten akibat kanker, bisa diakibatkan pertumbuhan tumor atau metastasis di
tempat lain. Pada pasien pasca operasi atau trauma, peningkatan rasa nyeri bisa
menandakan infeksi, perdarahan, atau tindakan bedah yang tidak berhasil.
Tatalaksana yang tepat dari worsening pain pathology tergantung dari
penyebab nyeri, seperti menambahkan analgesik lain, intervensi bedah, atau

3
meningkatkan dosis opioid.
ii. Opioid Tolerance
Toleransi opioid adalah diagnosis banding yang paling mendekati diagnosis
OIH. Tatalaksana pada toleransi opioid adalah dengan melakukan peningkatkan
dosis opioid sampai rasa sakit akhirnya hilang. Hal ini menandakan toleransi
opioid yang dapat diatasi dengan peningkatan dosis opioid. Pengobatan pertama
pada pasien OIH yang diagnosisnya belum ditegakkan biasanya dengan
peningkatkan dosis opioid. Bila peningkatan dosis opioid dapat memperburuk
rasa nyeri, kita perlu memikirkan diagnosis OIH.7,8
iii. Withdrawal Symptoms / Physical Dependence
Gejala withdrawal terjadi ketika dosis opioid diturunkan atau saat antagonis
opioid diberikan. Gejala ini menghasilkan peningkatan nyeri pada pasien dengan
ketergantungan fisik. Manifestasi ini mirip dengan OIH dimana peningkatan
rasa nyeri bersifat difus dan dapat menyebar jauh dari asal rasa sakit. Tetapi
ketika dosis opioid ditingkatkan, nyeri akan membaik.7,8
iv. Opioid Addictive Disease
Peningkatan dosis opioid pada kasus ini dapat menghilangkan rasa nyeri.
Sayangnya pada beberapa pasien, meskipun penerimaan mereka nyeri
memuaskan, mereka mungkin akan menunjukkan perilaku khas kecanduan.7,8
v. Pseudoaddiction
Pseudoadiksi adalah istilah gejala iatrogenik yang muncul seperti perilaku
kecanduan. Etiologinya adalah nyeri yang tidak diobati, sehingga mengarahkan
pasien untuk mendapat terapi opioid berlebih. Pseudoadiksi dapat dibedakan dari
penyakit adiktif ketika rasa sakit disembuhkan dengan terapi opioid tanpa
menimbulkan gejala kecanduan.7,8

4
Tabel 2. Perbedaan OIH dengan Diagnosis Bandingnya

Respon Pada
Persentasi dan Onset
Kondisi Sifat Nyeri Nyeri
Pemberian
Opioid
Lokalisasi rasa nyeri
Worsening pain Bervariasi, tergantung
dari tempat luka atau dari sumber nyeri
Nyeri membaik
pathology
tempat baru.
Opioid Lokalisasi rasa nyeri
Onset bertahap Nyeri membaik
tolerance dari tempat luka
Sensitivitas Tiba-tiba dengan
meningkat terhadap short-acting opioids
Opioid nyeri; bersifat difus atau pemberian
Nyeri membaik
withdrawal dan nyeri dapat antagonis; bertahap
menyebar jauh dari dengan long-acting
asal rasa sakit opioids
Sensitivitas
meningkat terhadap Nyeri membaik,
Opioid
nyeri; bersifat difus Onset bertahap tapi menimbulkan
addictive gejala khas
dan nyeri dapat
disease kecanduan
menyebar jauh dari
asal rasa sakit
Pseudoaddictio Lokalisasi rasa nyeri Bervariasi, tergantung
Nyeri membaik
n dari tempat luka dari sumber nyeri
Sensitivitas
meningkat terhadap
nyeri; bersifat difus
Onset tiba-tiba dengan
dan nyeri dapat
OIH peningkatan dosis Nyeri memburuk
menyebar jauh dari opioid.
asal rasa sakit;
kemungkinan
alodinia

6. Tatalaksana
Strategi pengobatan untuk OIH meliputi:
i. Pengurangan Dosis Opioid
Pengurangan dosis pada pasien OIH biasanya menghasilkan penurunan
pada hiperalgesia dan VAS.7
ii. Rotasi Obat Opioid
Methadon adalah drug of choice untuk OIH karena memiliki sifat antagonis
NMDA dan waktu paruh yang panjang. Namun, pada dosis tinggi, manfaat
metadon menjadi terbatas karena juga bertindak sebagai μ-agonis, sehingga
memproduksi efek opioid yang bisa mengalahkan efek NMDA.7

5
Buprenorfin juga merupakan pilihan lain yang mungkin karena merupakan
agonis opioid parsial dengan sifat antagonis pada reseptor opioid kappa.
Hal ini dapat menguntungkan karena spinal dynoprhin (reseptor agonis
opioid kappa) yang bisa menyebabkan OIH dilepas selama pemberian
opioid.7
iii. Terapi Ajuvan Antagonis Reseptor NMDA
Dalam hal akut, seperti setelah operasi, suplementasi dengan anestesi
ketamin (antagonis reseptor NMDA) pada periode peri-operatif mungkin
berguna untuk menekan hiperalgesia pasca operasi. Ketamine berguna
sebagai ajuvan pada nyeri kronis serta akut, dan digunakan untuk
mengurangi kebutuhan opioid. Sebuah studi klinis menunjukkan bahwa
ketamin juga dapat mengatasi nyeri akut dan mengurangi konsumsi opioid
setelah operasi.7
iv. Pemberian Opioid Antagonis yang Dikombinasi Dengan Agonis Opioid
Penggunaan antagonis opioid dosis rendah dalam terapi opioid kronis harus
dipertimbangkan. Hal ini dapat membantu untuk mencegah perkembangan
terjadinya OIH.7
v. Terapi Ajuvan Lain Selain Opioid
Penggunaan opioid dapat dikurangi dengan menggunakan dosis maksimum
paracetamol dengan NSAID, jika tidak ada kontraindikasi.7

7. Pencegahan
Penelitian telah dilakukan untuk mencegah terjadinya OIH. Eskalasi pesat
opioid dalam kadar plasma telah dikaitkan dengan perkembangan OIH. Untuk itu,
penggunaan opioid long-acting lebih baik dibandingkan dengan opioid short-
acting untuk nyeri persisten. Onset dan offset yang bertahap pada opioid long-
acting membantu menghindari eskalasi opioid dalam kadar plasma secara cepat.
Penelitian telah menunjukkan bahwa COX-2-selektif NSAID (misalnya, celecoxib)
dapat mengurangi terjadinya OIH dan waktu yang tepat pemberian sangat penting
dalam memberikan efek ini. Penggunaan NSAID tidak hanya membatasi dosis
opioid tetapi juga dapat membantu mencegah OIH karena obat ini menginhibisi
medulla spinalis untuk melepas excitatory neurotransmitters.7

6
DAFTAR PUSTAKA

1. Chu LF, Angst MS, Clark D. Opioid-induced hyperalgesia in humans: molecular


mechanisms and clinical considerations. Clin J Pain. 2008;24:479–496.

2. Angst MS, Clark JD. Opioid-induced hyperalgesia: A Qualitative Systemic


Review. Anesthesiology. 2006;104(3):570-87.

3. Silverman S. Opioid induced hyperalgesia: Clinical implications for the pain


practitioner. Pain Physician 2009;12:679-684.

4. Lee M, Silverman SM, Hansen H, Patel VB, Manchikanti L. A comprehensive


review of opioid-induced hyperalgesia. Pain Physician. 2011;14(2):145-61.

5. Mao J. Opioid-induced abnormal pain sensitivity: implications in clinical opioid


therapy. Pain. 2002;100:213–217.

6. Pud D, Cohen D, Lawental E, Eisenberg E. Opioids and abnormal pain


perception: new evidence from a study of chronic opioid addicts and healthy
subjects. Drug Alcohol Depend. 2006;82:218–223.

7. Pasero C, McCaffery M. Opioid-Induced Hyperalgesia. PeriAnesthesia Nursing.


2012;46-50.

8. Jones T. The Management of Opioid-Induced Hyperalgesia. Clinical Pharmacy.


2010;153-156.

9. Katzung BG. Basic and clinical pharmacology 10th ed. London : McGraw-Hill;
2006.

Anda mungkin juga menyukai