Anda di halaman 1dari 24

MANAJEMEN LINTAS BUDAYA

Makalah ini di buat guna memenuhi tugas mata kulliah Manajemen SDM Internasional

Dosen Pengampu : Sawukir, S.E, MM

Disusun Oleh :

1. Achmad Amron A.
2 . Ahmad Husein
3. Alifa Rizki A.
4. Ananda Aprilia
5. Anggi Pramono
6. Anisa Dian Ramadhanti

Kelas 07SMJE040

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS PAMULANG
TANGERANG SELATAN

i
2021

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan
hidayah yang telah dilimpahkan-Nya, Sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan
baik dan tepat waktu dengan pokok bahasan materi “Motivasi dan Kepemimpinan dalam Bisnis
Internasional”

Penulisan makalah ini dimaksudkan untuk memenuhi tugas mata kuliah Manajemen
Lintas Budaya. Kami menyadari bahwa paper yang kami selesaikan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Seperti halnya pepatah mengatakan,“ tak ada gading yang tak retak “,oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran dari semua kalangan yang bersifat membangun
guna kesempurnaan paper kami selanjutnya.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan paper ini dari awal sampai akhir. Serta kami berharap agar paper ini dapat
bermanfaat bagi semua kalangan.

Tangerang Selatan, 29 Oktober 2021

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………………………………... ii


DAFTAR ISI ……………………………………………………………….... iii
BAB 1 : PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang...................................................................................... 1
1.2 Rumusan masalah................................................................................. 2
1.3 Tujuan................................................................................................... 2
BAB 2 : PEMBAHASAN
2.1 Riset Motivasi Silang Budaya ………………………………………… 3
2.2 Makna Pekerjaan ……………………………………………………… 9
2.3 Motivasi dalam Konteks Internasional ……………………………….. 10
2.4 Peran Multibudaya Pemimpin ………………………………………... 12
2.5 Riset Kepemimpinan Silang Budaya ………………………………… 13
2.6 Kepemimpinan Kontingensi ………………………………………….. 15
2.7 Kepemimpinan Internasional yang Efektif …………………………… 18
BAB 3 : PENUTUP
3.1 Kesimpulan........................................................................................... 20
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 21

iii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keberhasilan suatu organisasi dipengaruhi oleh kinerja para pegawainya (job
performance) atau hasil kerja yang dicapai oleh para pegawai dalam melakukan tugas sesuai
dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya. Pegawai merupakan sumber daya yang
penting bagi organisasi, karena memiliki bakat, tenaga, dan kreativitas yang sangat dibutuhkan
oleh organisasi untuk mencapai tujuannya. Dewasa ini semakin disadari oleh berbagai pihak
bahwa dalam menjalankan organisasi, manusia merupakan unsur terpenting sehingga
pemeliharaan hubungan yang berkelanjutan dan serasi dengan pegawai dalam setiap organisasi
menjadi sangat penting. Salah satu faktor yang dapat mendukung dalam mewujudkannya adalah
faktor kepemimpinan, artinya adalah seorang pemimpin harus mampu menunjukkan perilaku
serta suasana kerja yang dapat mendukung terciptanya sikap dan kinerja pegawai yang baik.
Kepemimpinan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan berorganisasi.
Banyak gaya kepemimpinan dapat dipilih untuk kemudian diterapkan oleh seorang pemimpin
dalam organisasi yang dipimpinnya. Diantara teori kepemimpinan yang unggul adalah teori
kepemimpinan transformasional. Kepemimpinan transformasional adalah pendekatan
kepemimpinan dengan melakukan usaha mengubah kesadaran, membangkitkan semangat dan
mengilhami bawahan atau anggota organisasi untuk mengeluarkan usaha ekstra dalam mencapai
tujuan organisasi, tanpa merasa ditekan atau tertekan. Seorang pemimpin dikatakan bergaya
transformasional apabila dapat mengubah situasi, mengubah apa yang biasa dilakukan, bicara
tentang tujuan yang luhur, memiliki acuan nilai kebebasan, keadilan dan kesamaan. Pemimpin
yang transformasional akan membuat bawahan melihat bahwa tujuan yang mau dicapai lebih
dari sekedar kepentingan pribadinya.
Perdagangan internasional telah membagi kerja dunia, yang mana negara – negara maju
sebagai negara yang memproduksi produk industri sedangkan negara berkembang berperan
sebagai negara pemasok bahan baku untuk industri negara maju. Impilikasi lain dari perdangan
internasional ditandai dengan semakin berkembangnya perusahaan multinasional atau MNC
(Multi Nasional Company) diberbagai bidang (manufacture, transportasi, telkomonikasi, food
processing, jasa, energy dll).

1
Globalisasi perdagangan merupakan peluang  dalam mengembangkan usaha dan
pemasaran bagi perusahaan yang mampu bersaing, namun juga akan menjadi tantangan bagi
perusahaan atau negara yang tidak mempunyai daya saing tinggi. Berbagai perusahaan MNC
telah mengembagkan sayapnya ke negara – negara lain, selain itu membuat variansi – variansi
dalam produknya atau pun pelayanan serta manajemen perusahaan. Perdagangan global
menuntut perusahaan agar mampu berasing tidak hanya terpaku pada keunggulan komparativ
saja tapi harus mengedepankan keunggulan kompetitif.
Perkembangan bisnis internasional yang memasuki lintas negara, tentu tidakalah terjadi
segampang yang dilihat, karena banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk memulai bisnis
internasional. Hal itu dikarenakan bisnis internasional akan melibatkan manusia lintas negara
yang tentu akan berbgaimacam pula corak prilaku, budaya dan agamanya. Maka berkaitan
dengan hal tersebut penulisan makalah ini bertujuan untuk melihat berbagai prilaku, budaya
tenaga kerja dan kepemimpinan individu lintas negara dalam bisnis internasional yang
berjudul “Motivasi dan Kepemimpinan dalam Bisnis Internasional”.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Apa yang dimaksud dengan Riset Motivasi Silang Budaya?
1.2.2 Apa yang dimaksud dengan makna pekerjaan?
1.2.3 Bagaimana Motivasi dalam konteks internasonal?
1.2.4 Bagaimana peran multibudaya pemimpin?
1.2.5 Bagaimana riset kepemimpinan silang budaya?
1.2.6 Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan kontingensi?
1.2.7 Bagaimana sistem kepemimpinan internasional yang efektif?
1.3 Tujuan Penulisan
1.3.1 Mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan Riset Motivasi Silang Budaya.
1.3.2 Mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan makna pekerjaan.
1.3.3 Mengetahui dan memahami bagaimana Motivasi dalam konteks internasonal.
1.3.4 Mengetahui dan memahami bagaimana peran multibudaya pemimpin.
1.3.5 Mengetahui dan memahami bagaimana riset kepemimpinan silang budaya.
1.3.6 Mengetahui dan memahami yang dimaksud dengan kepemimpinan kontingensi.
1.3.7 Mengetahui dan memahami system kepemimtinan internasional yang efektif.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Riset Motivasi Silang Budaya
Stephen P. Robbins dalam bukunya “Perilaku Organisasi” Edisi 12 Buku 1 (2008:222)
mendefinisikan motivasi (motivation) sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah dan
ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Motivasi merupakan dorongan yang
diberikan seseorang kepada orang lain untuk bersemangat melakukan sesuatu. Dalam bisnis
internasional manejemen menghadapi tantangan dalam memotivasi karayawannya untuk
mengembangkan produk baru, dan memperbaiki pelayanan konsumen. Sehingga motivasi
menyebabkan seseorang memilih perilaku tertentu bukannya beberapa perilaku lainnya.
Pemberian motivasi kepada para pekerja di bisnis internasional sangat berbeda tergantung
latar belakng budaya atau perilaku dari individu-individu tersebut. Misalnya, manejer dan
karyawan di negara yang individualistic akan sangat termotifasi oleh kebutuhan dan penghargaan
yang sifatnya individualis. Kesempatan untuk mendemonstarsikan kompetensi dirinya untuk
menerima pengakuan dari orang lain mungkin akan sangat menarik baginya. Sebaliknya, orang
dari budaya kolektif akan sangat termotivasi oleh kebutuhan dan penghargaan yang sifatnya
kelompok.
Konflik dapat dengan mudah muncul ketika mekanisme perusahaan internasional dalam
memotivasi karyawannya berbenturan dengan sikap budaya. Banyak manejer Amerika yang
bekerja di Jepang mengalami kesulitan dengan system kompensasi yang berbasis senioritas dan
kinerja kelompok yang dianut di Jepang.

3
2.1.1.  Teori-teori Motivasi
Tahun 1950-an merupakan periode subur perkembangan konsep-konsep motivasi.
Terori-teori tersebut adalah hierarki teori kebutuhan, teori X dan Y, dan teori dua faktor. Teori-
teori kuno ini yaitu sebagai (1) Teori-teori tersebut merupakan dasar berkembangnya teori-teori
yang ada saat ini, dan (2) para manajer pelaksana masih menggunakan teori-teori tersebut beserta
terminiloginya dalam menjelaskan motivasi karyawan.(Komang Ardana,dkk
A .Teori-Teori Dini/ Awal Tentang Motivasi
a. Hierarki Teori Kebutuhan

Hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) milik Abraham Maslow, membuat hipotesis


bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan. Kebutuhan-kebutuhan
tersebut adalah:
a) Fisiologis: Meliputi rasa lapar, haus, berlindung, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya
b) Rasa aman: Meliputi rasaa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional
c) Sosial: Meliputi rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan
d) Penghargaan: Meliputi faktor-faktor penghargaan internal seperti hormat diri, otonomi
dan pencapaian; dan faktor-faktor penghargaan eksternal seperti status, pengakuan dan
perhatian
e) Aktualisasi diri: Dorongan untuk menjadi seseorang sesuai kecakapannya; meliputi
pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang dan pemenuhan diri sendiri
Maslow memisahkan lima kebutuhan kedalam urutan-urutan yang lebih tinggi dan lebih
rendah. Kebutuhan fisiologi dan rasa aman dideskripsikan sebagai kebutuhan tingkat bawah
( lower-order needs); kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri sebagai kebutuhan
tingkat atas (highe- order needs). Perbedaan antara kedua tingkat tersebut didasarkan pada dasar
pemikiran bahwa kebutuhan tingkat atas dipenuhi secara internal (di dalam diri sesorang),

4
sementara kebutuhan tingkat rendah secara dominan dipenuhi secara ekternal (oleh hal-hal
seperti imbalan kerja, kontrak serikat kerja, dan masa jabatan).
b. Teori X dan Teori Y
Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan nyata mengenai manusia: pandangan
pertama pada dasarnya negatif, disebut Teori X (Theory X), dan yang kedua pada dasarnya
positif, disebut Teori Y (Theory Y). McGregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer
mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan bahwa mereka
cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.
a) Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan, sebisa mungkin berusaha untuk
menghindarinya.
b) Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau
diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan.
c) Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah formal bila mungkin.
d) Sebagai karyawan menempatkan keamanan di atas semua faktor lain terkait pekerjaan
dan menunjukkan sedikit ambisi.
Bertentangan dengan pandangan-pandangan negative mengenai sifat-sifat manusia dalam Teori
X, McGregor menyebutkan empat asumsi positif yang disebut sebagai Teori Y:
a) Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat
atau bermain
b) Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan
c) Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan mencari, tanggung jawab
d) Karyawan mempu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh
populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.
Teori X berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuan tingkat yang lebih rendah mendominasi
individu. Teori Y berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuan tingkat yang lebih tinggi mendominasi
individu. McGregor sendiri yakin bahwa asumsi-asumsi Teori Y lebih valid daripada Teori X.
Oleh karena itu, ia mengemukakan berbagai ide seperti pembuatan keputusan partisipatif,
pekerjaan yang menantang, serta hubungan kelompok yang baik sebagai pendekatan yang akan
memaksimalkan motivasi pekerjaan seorang karyawan.
c. Teori Dua Faktor

5
Teori dua faktor (two-factor theory)- juga disebut teori motivasi higiene (motivation-
hygiene theory)- dikemukakan oleh seorang psikolog bernama Frederick Herzberg. Dengan
keyakinan bahwa hubungan seseorang individu dengan pekerjaan bisa dengan baik menentukan
keberhasilan atau kegagalan.
Frederick Herzberg mengembangkan Teori Dua Faktor, yang terdiri atas:
a) Faktor Higiene
Faktor Higiene, yaitu faktor-faktor yang dapat menyebabkan ataupun mencegah
ketidakpuasan yang pada hakekatnya, terdiri atas faktor ektrinsik dari pekerjaan. Faktor-
faktor lainnya yaitu:
a. Gaji
b. Jaminan pekerjaan
c. Kondisi kerja
d. Status
e. Kebijakan perusahaan
f. Kualitas supervise
g. Kualitas hubungan antara pribadi dengan atasan
h. Bawahan dengan sesame pekerja
i. Serta jaminan social.
b) Faktor Motivator
Faktor motivator, faktor-faktor yang betul-betul membawa pada pengembangan sikap
positif dan pendorong pribadi (bersifat intrinsik). Faktor-faktor lainnya yaitu:
a. Tanggung jawab
b. Prestasi
c. Pengakuan
d. Pekerjaan itu sendiri
e. Kemajuan
f. Serta pertumbuhan dan perkembangan pribadi.
Kontribusi utama teori ini adalah dapat meningkatkan sensitivitas/kepekaan manajer
terhadap fakta bahwa memperlakukan anggota secara baik semata belumlah cukup untuk
memotivasi mereka. Pimpinan harusa dapat memanfaatkan kapasitas, keterampilan serta bakat

6
dari anggota melalui desain kerja secara efektif. Pekerjaan yang ditawarkan mesti menangtang
dan menggairahkan.

b. Teori Kontemporer Tentang Motivasi


Teori-teori yang menggambarkan kondisi pemikiran saat ini dalam mejelaskan motivasi
karyawan.
Teori Kebutuhan David McClallend
Menurut McClallend (McCelland’s theory of needs) dikembangkan oleh David
McClelland dan rekan-rekannya. Teori tersebut berfokus pada tiga kebutuhan: pencapain,
kekuatan dan hubungan. Hal-hal tersebut didefinisikan sebagai berikut:
1) Kebutuhan akan prestasi atau Need for Achievement (nAch), adalah keinginan untuk
melakukan sesuatu dengan lebih baik, lebih efisien, dan lebih unggul.
2) Kebutuhan akan kekuasaan atau Need for Power (nPow), adalah keinginan untuk
mengawasi atau mengendalikan orang lain, mempengaruhi perilaku mereka, atau bertanggung
jawab atas orang lain.
3) Kebutuhan akan afiliasi atau Need for Affilation (nAff), yaitu keinginan untuk
membangun dan memelihara hubungan yang bersahabat dan memelihara hubungan yang
bersahabat dan hangat dengan orang lain.
Lebih jauh lagi, Mc Clallend mengatakan bahwa orang mengembangkan ketiga macam
kebutuhan tersebut dari waktu ke waktu sebagai hasil dari pengalaman pribadi.
Teori Evaluasi Kognitif
Teori yang menjelaskn bahwa pengenalan penghargaan ekstrisik, seperti imbalan kerja,
untuk usaha kerja yang sebelumnya memuaskan secara intristik karena kesenangan yang
berhubungan dengan isi dari pekerjaan itu sendiri cenderung menurunkan seluruh motivasi.
Terori ini memperlihatkan bahwa penghargaan –penghargaan ekstrinsik digunakan oleh
organisasi-organisasi sebagai imbalan atas kinerja yang unggul, penghargaan –penghargaan
intrinsik, yang berasal dari individu-individu yang melakukan hal yang mereka sukai, berkurang.
Dengan kata lain, ketika penghargaan –penghargaan ekstrinsik diberikan kepada seseorang
karena mengerjakan tugas yang menarik, hal ini justru menurunkan minat intrinsic dalam tugas
itu sendiri.

7
2.1.3 Incentive and Culture
Insentif keuangan untuk memotivasi karyawan sangat sering digunakan di Negara yang
memiliki populasi penduduk yang tinggi. Perusahaan-perusahaan mecoba menghubungkan
kompensasi dengan performa kerja. Sebuah sistem bonus berbasis individual untuk sales
representative di sebuah MNC di amerika diperkenalkan ke anak perusahaan mereka di
Denmark, lalu ditolak oleh bagian penjualan mereka. Hal itu dikarenakan dengan sistem bonus
berbasis individual, ada salah satu pihak yang merasa diuntungkan. Selain itu, para karyawan
juga merasa mereka berhak menerima bonus yang sama jumlahnya.
Sebagian besar pekerja di banyak negara lebih termotivasi oleh sesuatu yang justru tidak
berhubungan dengan uang. Contoh kongkritnya adalah penghargaan yang paling penting di 40
perusahaan elektrik multinasional berhubungan dengan pengakuan dan prestasi kerja.Lalu yang
kedua terpenting adalah kenaikan kemampuan di lingkungan dan kondisi kerja termasuk jam
kerja dan waktu pemberian gaji. Berikut adalah contoh negara-negara multikultur dengan sistem
reward masing-masing:
a) Karyawan di Prancis dan Italia menilai keamanan kerja merupakan hal yang sangat
penting, dimana di pekerja di Amerika Serikat menilai hal tersebut tidak terlalu penting.
b) Karyawan di Skandinavia menilai tingkat kepedulian terhadap sesama dan kebebasan
pribadi adalah hal yang penting, sementara mereka tidak terlalu mementingkan kemajuan
kerja mereka.
c) Pekerja di Jerman menganggap tingkat keamanan, tunjangan dan kemajuan kerja adalah
hal yang sangat penting.
d) Pekerja di Jepang menempatkan kondisi kerja yang baik dan lingkungan kerja yang
menyenangkan sebagai prioritas utama kerja mereka tetapi kemajuan pribadi mereka
cukup rendah.
Jadi, dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis-jenis insentif yang dianggap penting
dipengaruhi oleh budaya negara asal. Bahkan, budaya dapat mempengaruhi biaya keseluruhan
dari sebuah sistem insentif.

8
2.2 Makna Pekerjaan

Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti
sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi
seseorang. Menurut pendapat Pemerintah Belanda Perncanaan Wetboek van Koophandel,
pekerjaan itu perbuatan-perbuatan yang dilakukan tidak terputus-putus, secara terang-terangan
dan dalam kedudukan tertentu. Jadi, laba tidak merupakan unsur mutlak.

Tentu kita tahu istilah lain ladang lain belalang, ternyata hal ini juga berlaku dengan
dunia kerja. Akar budaya, sosial dan aturan publik yang ada di tiap negara secara tak langsung
membentuk budaya kerja kepada tiap penduduknya. Hal ini pun akan tetap mereka bawa meski
bekerja di negara lain. Sebenarnya perbedaan budaya kerja adalah hal biasa selama kita mampu
beradaptasi dengan hal tersebut. Karena jika kita memahami budaya kerja di banyak negara,
maka itu salah satu bukti kesiapan diri menghadapi medan kerja, terlebih di era MEA dan AFTA
yang menuntut kompetisi serius. Perusahaan-perusahaan Multinasional diberbagai Negara
memiliki budaya kerja yang berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya karena
adanya latar belakang budaya yang berbeda, contohnya:

a) Jepang
Sebagai salah satu negara di belahan bumi timur yang sangat maju dan produktif.
Perusahaan-perusahaan di Jepang sangat menjunjung tinggi kolektivitas antar karyawan.
Keberhasilan atas suatu pencapaian adalah hasil kerja tim, bukan individu. Mengakui
suatu kesuksesan secara sepihak adalah hal paling tabu di Jepang, karena mindset yang
tertanam tentang kesuksesan di negara ini adalah milik bersama.
b) Jerman
Budaya kerja di Eropa cenderung lebih individualis, salah satunya Jerman. Menurut
Sulistyo Rini, Pengurus Harian Pusat Studi Jerman UGM, yang pernah bermukim di
negeri Der Panzer tersebut mengatakan, jika setiap orang Jerman sudah mengetahui porsi
kerja masing-masing, mereka akan fokus dengan dirinya masing-masing. Menurut Rini,
sering kali karyawan tidak mengetahui nomor telepon teman satu kantor lainnya karena
minimnya interaksi di luar urusan pekerjaan. Hal itu semata-mata dilakukan untuk
memaksimalkan profesionalisme karyawan.

9
c) Amerika
Negeri Paman Sam ini merupakan salah satu negara yang menempatkan jatah cuti
sebagai tunjangan dan bukan hak. Menurut Fotografer Landscape Hendartyo Hanggi
Wicaksono, persoalan cuti yang menjadi tunjangan adalah karena peraturan negara
tersebut yang menentukan seperti itu.
Menurutnya, ketentuan tentang liburan yang ditanggung, cuti sakit dan libur nasional
tergantung pada tawar menawar antara perusahaan dengan pekerja. Cuti di Amerika
adalah hadiah istimewa bagi pekerjanya. Dengan peraturan itu, loyalitas karyawan
terhadap pekerjaannya bisa cukup tinggi.

2.3 Motivasi dalam Konteks internasional


Semua bisnis internasional menghadapi tantangan dalam memotivasi karyawannya
mengurangi biaya, mengembangkan produk baru, meningkatkan kualitas produk, dan
memperbaiki pelayanan konsumen. Motivasi adalah seluruh kekuatan yang menyebabkan
seseorang memilih perilaku tertentu bukannya beberapa perilaku lainnya (Griffin&Pustay, 2005).
Namun, faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku individu dalam dunia kerja di berbagai
budaya tentu berbeda-beda. Apresiasi terhadap perbedaan individu menjadi langkah awal yang
penting dalam memahami cara manajer lebih memotivasi karyawannya untuk mencapai sasaran
organisasi. Poin awal dalam memahami motivasi adalah dengan mempertimbangkan kebutuhan
dan nilai. Kebutuhan adalah apa yang harus atau ingin dimiliki oleh seseorang, sedangkan nilai
adalah apa yang dianggap penting oleh seseorang (Griffin&Pustay., 2005).
Kebanyakan pendekatan teoretis modern tentang motivasi dibagi dalam tiga kategori,
(Griffin&Pustay, 2005) yaitu :
1. Model motivasi berbasis kebutuhan (need-based models of motivation)
Adalah pendekatan yang berusaha mengidentifikasi kebutuhan atau serangkaian
kebutuhan tertentu yang menghasilkan perilaku tertentu. Kebanyakan kebutuhan yang
lazim dimasukkan ke dalam sebagian besar model motivasi mencakup kebutuhan akan
rasa aman, menjadi bagian dari jaringan sosial, dan memiliki kesempatan untuk tumbuh
dan berkembang. Dengan menghubungkan kategori kebutuhan ini dengan empat dimensi
Hofstede (Orientasi sosial, orientasi kekuasaan, orientasi ketidakpastian, dan orientasi

10
sasaran), dapat diambil beberapa kesimpulan tentang perbedaan motivasi dalam berbagai
budaya.
Misalnya, manajer dan karyawan dari budaya individualisme akan sangat
termotivasi oleh kebutuhan dan penghargaan yang bersifat individual seperti kesempatan
mendemonstrasikan kompetensi pribadi. Sebaliknya, orang dari budaya kolektif akan
sangat termotivasi oleh kebutuhan dan penghargaan yang bersifat kelompok dan merasa
tidak nyaman apabila terpilih sendiri untuk menerima penghargaan terlepas dari
kelompoknya. Individu yang menghormati kekuasaan akan termotivasi untuk
memperoleh persetujuan dan penerimaan oleh atasan sehingga berusaha menjalankan
perintah atasan tanpa mempertanyakan lagi. Sebaliknya, individu yang toleran terhadap
kekuasaan lebih termotivasi oleh kesempatan untuk kenaikan gaji dan promosi
dibandingkan dengan memperoleh persetujuan dari atasan.
Individu yang berasal dari budaya menghindari ketidakpastian akan sangat
termotivasi oleh kesempatan untuk mempertahankan atau meningkatkan tingkat jaminan
dan stabilitas pekerjaan. Sebaliknya orang dari budaya yang menerima ketidakpastian
lebih termotivasi oleh perubahan, tantangan baru, dan kesempatan untuk pertumbuhan
dan pengembangan pribadi. Individu yang berasal dari budaya dengan perilaku sasaran
yang agresif lebih cenderung termotivasi oleh uang dan penghargaan materi lainnya dan
tidak terlalu tertarik dengan pekerjaan yang hanya menawarkan kenyamanan dan
kepuasan pribadi. Sebaliknya, pekerja dari budaya dengan perilaku sasaran yang pasif
lebih termotivasi oleh kebutuhan dan penghargaan yang berpotensi dapat meningkatkan
kualitas hidup mereka.
2. Model motivasi berbasis proses (process-based models of motivation)
Adalah pendekatan yang lebih berfokus pada proses pemikiran sadar yang
diguankan seseorang untuk memilih perilaku tertentu diantara berbagai perilaku lainnya.
Pendekatan ini menyatakan bahwa orang termotivasi untuk berperilaku dengan cara
tertentu yang menurut mereka akan memberikan hasil yang menurut mereka menarik.
Teori ini mengakui bahwa setiap orang memiliki kebutuhan yang berbeda-beda, namun
setiap orang berhasrat memperbaiki kinerjanya jika mereka yakin hasilnya akan
memenuhi kebutuhan yang menurutnya penting.

11
3. Model penguatan (reinforcement model)
Adalah pendekatan yang berkaitan dengan cara orang menilai konsekuensi dari
perilaku yang dipilihnya dan cara penilaian itu membentuk pilihan perilakunya di masa
depan. Model ini memasukkan penghargaan dan sangsi dalam mempertahankan atau
mengubah pola perilaku yang ada. Model ini mengatakan bahwa perilaku yang membawa
hasil positif akan diulangi dalam keadaan yang sama di masa mendatang. Pilihan perilaku
yang menghasilkan konsekuensi negatif akan berakibat pada pilihan perilaku yang
berbeda dalam keadaan yang sama di masa mendatang.

2.4 Peran Multi budaya Pemimpin


Perilaku setiap anggota kelompok budaya tergantung pada sejarah orang-orang/individu
dalam kelompok masyarakatnya. Pengalaman telah menunjukkan kegagalan belajar dari sejarah,
dan kesalahan-kesalahan yang diulangi oleh beberapa generasi dalam waktu lama Akhirnya
harus mengikuti seperangkat Norma dan nilai yang berdasarkan pengalaman dan perkembangan
mereka. Disamping pengaruh historis dan lingkungan, mentalitas suatu bangsa yang menentukan
sifat dan karakteristik bahasa tertentu akan mempengaruhi luas terhadap perkembangan visi,
misi, kharisma, emosi, perasaan politik, disiplin dan hirarki.
Pengembangan sumber daya manusia haruslah dalam hal-hal yang lebih banyak dari pada
praktek manajemen dan bisnis Barat, pengembangan sumber daya harus meliputi pelatihan
dalam kreativitas, inovasi, insentif, dan ganjaran untuk pengembangan karir, pengambilan risiko,
dan belajar dari kegagalan. Untuk menghasilkan sinergi budaya dalamjoint-venture itu, “orang-
orang demokrat” yang baru tampil itu perlu mempelajari budaya usaha bebas dan pelayanan
kepada konsumen, sementara orang-orang Barat sendiri harus mempelajari lingkungan bisnis dan
sistem ekonomi yang sosialistis, dan bagaimana dampaknya pada para penduduk. Pemimpin
ragam budaya sejatiadalah pimpinan yang inovatif, yang menjadi komunikator dan negosiator
antar budaya yang efektif dalam berbagai lingkungan masyarakat.

12
2.4.1 Ciri-Ciri Multibudaya Pemimpin
Berikut ini adalah ciri-ciri pemimpin dalam perusahaan multinasional atau mutibudaya
pemimpin:

1. Berfikir melampaui persepsi lokal


2. Siap untuk mengganti dengan pemikiran baru dan membuang pemikiran lama.

3. Menciptakan kembali norma-norma dan praktek budaya dengan hal yang baru.

4. Memprogram kembali peta dan bangunan mental mereka.

5. Menyesuaikan diri dengan lingkungan dan gaya hidup yang baru.

6. Menyambut baik pengalaman linta budaya bangsa.

7. Kemampuan akan kecakapan multy budaya.

8. Menciptakan sinerja budaya kapan dan dimana saja.

9. Bekerja efektif dalam lingkungan multy nasional/bangsa

10. Mempelajari hubungan antar manusia /bangsa dan nilaimglobal.

11. Terbuka dan fleksibel dalam menghadapi orang orang yang beragam budaya.

12. Mudah bergaul dengan orang yang berbeda latar belakang; ras dan lainnya.

13. Fasilitator pendatang baru, orang asing, kaum minoritas dan imirgran.

2.5 Riset Kepemimpinan Silang Budaya


Untuk mempelajari lebih banyak tentang kepemimpinan internasional, tim penelitian
dunia telah melakukan serangkaian penelitian di bawah pimpinan umum dari Proyek GLOBE
(Global Leadrship and Organizational Behavior Research Project). GLOBE pertama kali
dibentuk oleh Robert House, dan penelitian masih tetap dijalankan dibawah pengawasan.
GLOBE mengidentifikasi enam perilaku pimpinan yang dapat diamati dan dinilai dalam
berbagai budaya. Perilaku-perilaku tersebut adalah :

13
1. Kepemimpinan karismatik/berbasis nilai : kemampuan untuk menginspirasi, memotivasi,
meningkatkan kinerja yang tinggi; termasuk menjadi visioner, pencapaian dari sendiri,
terpercaya, tegas dan berorientasi pada kinerja.
2. Kepemimpinan berorientasi pada tim : menekankan pada pembentukan tim dan
terciptanya rasa tujuan bersama; termasuk melakukan kolaborasi, diplomatis, dan mampu
secara administratif.
3. Kepemimpinan partisipatif : sejauh mana pemimpin mengikutsertakan yang lain dalam
pengambilan keputusan, menjadi lebih partisipatif dan tidak autokrat.
4. Kepemimpinan berorientasi kemanusiaan : menjadi pendukung, penuh perhatian,
penyayang, dermawan, menunjukkan kesederhanaan dan sensitivitas.
5. Kepemimpinan otonom : mengacu pada independen dan individualis, otonom dan unik.
6. Kepemimpinan perlindungan diri : termasuk perilaku yang berkeinginan untuk
memastikan keselamatan dan keamanan pemimpinan dan kelompok; termasuk menjadi
berpusat pada diri sendiri, sadar akan status yang dimiliki, menginduksi konflik, dan
melindungi diri sendiri.

Perilaku tersebut telah- dan sedang- dipelajari di 62 masyarakat global. Masyarakat


global tersebut sebagian besar berada di negara-negara yang terpisah, tetapi jika terdapat
perbedaan yang sangat jelas pada masyarakat dalam suatu negara (seperti kulit hitam dan putih di
Afrika Selatan), masing-masing diuji secara terpisah. Berdasarkan hasil awalnya, sebanyak 62
masyarakat asli ini kemudian dibagi menjadi 10 klaster budaya – masyarakatyang membuahkan
hasil tinggi yang sama dengan masyarakat lainnya. Sebagai contoh, klaster Nordik Eropa
meliputi Firlandia, Swedia, Dennmark, dan Norwegia. Klaster Asia Selatan meliputi India,
Indonesia, Malaysia, Thailand dan Iran.
Secara umum, temuan-temuan dari GLOBE menyatakan bahwa di dalam setiap klaster
budaya, para pengikut memberikan respons pada cara yang sama terhadap perilaku pemimpin.
Sebagai contoh, karyawan di Nordik Eropa biasanya menginginkan pemimpinnya untuk
memberikan inspirasi dan mengikut sertakan karyawan dalam pengambilan keputusan, tetapi
kurang peduli dengan status dan atribut-atribut yang menyerupai sikap mementingkan diri
sendiri. Oleh karena itu, kepemimpinan yang karismatik/berbasis nilai dan partisipatif
merupakan yang paling penting, sedangkan kepemimpinan berorientasi kemanusiaan dan

14
perlindungan diri sendiri kurang begitu penting. Meskipun demikian, di Asia Selatan, hampir
semua karyawan menginginkan pemimpin mereka untuk dapat berkolaborasi, peka terhadap
kebutuhan orang lain, memedulikan status dan menutupi aib mereka. Sebagai konsekuensinya,
kepemimpinan perlindungan diri dan karismatik/berbasis nilai menjadi sangat penting di negara-
negara Asia bagian selatan, sedangkan kepemimpinan otonom dan partisipatif menjadi kurang
penting. “Tentu saja, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, penelitian tersebut masih
berlangsung, sehingga akan terlalu dini untuk menentukan generalisasi yang kuat terhadap
permasalahan ini.

2.6 Kepemimpinan Kontingensi


Studi kepemimpinan jenis ini memfokuskan perhatiannya pada kecocokan antara
karakteristik watak pribadi pemimpin, tingkah lakunya dan variable-variabel situasional. Model
kepemimpinan kontingensi memfokuskan perhatian yang lebih luas, yakni pada aspek-aspek
keterkaitan antara kondisi atau variable situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria
kinerja pimpinan (Hoy and Miskel 1987).
a) Teori Fiedler.
Teori atau model kontingensi (Fiedler, 1967) sering disebut teori situasional karena teori
ini mengemukakan kepemimpinan yang tergantung pada situasi. Model atau teori kontingensi
Fiedler melihat bahwa kelompok efektif tergantung pada kecocokan antara gaya pemimpin
(leadership style) yang berinteraksi dengan kesesuaian situasi (the favourableness of the
situation) .
Asumsi sentral teori ini adalah bahwa kontribusi seorang pemimpin kepada kesuksesan
kinerja oleh kelompoknya adalah ditentukan oleh karakteristik pemimpin dan oleh berbagai
variasi kondisi dan situasi.  Untuk dapat memahami secara lengkap efektifitas pemimpin, kedua
hal tersebut harus dipertimbangkan.
Teori kontingensi melihat pada aspek situasi dari kepemimpinan (organization context).
Fiedler mengatakan bahwa ada 2 tipe variabel kepemimpinan: Leader Orientation dan Situation
Favorability.
1. Leader Orinetation
Leader Orientation, adalah suatu saat ketika pemimipin pada suatu organisasi berorinetasi
pada relationship (hubungan) atau beorintasi pada task (pekerjaan) . Ketika seorang

15
pemimpin memiliki kesenjangan hubungan dengan para pekerjanya dengan taraf relative
tinggi, maka itu menunjukkan pemimpin itu berorientasi pada relationship atau
hubungan. sebaliknya ketika seorang pemimpin memiliki kesenjangan hubungan dengan
para pekerjanya dengan taraf relative rendah, maka itu menunjukkan pemimpin itu
berorientasi pada task atau tugas. Fiedler memprediksi bahwa para pemimpin dengan
tingkat kesenjangan rendah yakni mereka yang mengutamakan orientasi pada tugas, akan
lebih efektif dibanding para pemimpin yang memiliki tingkat kesenjangan yang tinggi,
yakni mereka yang mengutamakan orientasi kepada orang atau hubungan baik dengan
orang apabila kontrol situasinya sangat rendah ataupun sangat tinggi. Sebaliknya para
pemimpin dengan tingkat kesenjangantinggi akan lebih efektif dibanding pemimpin
dengan tingkat kesenjangan rendah apabila kontrol situasinya moderat.
2. Situation favorability adalah : sejauh mana pemimpin tersebut dapat mengendailikan
suatu situasi, yang ditentukan oeh 3 variabel situasi, yaitu :
1. Leader-Member Orientation: hubungan pribadi antara pemimpin dengan para
anggotanya.
2. Task Structure: tingkat struktur tugas yang diberikan oleh pemimpin untuk
dikerjakan oleh anggota organisasi.
3. Position Power: tingkat kekuasaan yang diperoleh pemimpin organisasi karena
kedudukan.
Situation favorability tinggi jika LMO baik, TS tinggi dan PP besar, sebaliknya Situation
Favoribility rendah jika LMO tidak baik, TS rendah dan PP sedikit
b) Teori Path Goal.
Path-Goal Theory atau model arah tujuan ditulis oleh House (1971) menjelaskan
kepemimpinan sebagai keefektifan pemimpin yang tergantung dari bagaimana pemimpin
memberi pengarahan, motivasi, dan bantuan untuk pencapaian tujuan para pengikutnya.
Bawahan sering berharap pemimpin membantu mengarahkan mereka dalam mencapai tujuan.
Dengan kata lain bawahan berharap para pemimpin mereka membantu mereka dalam pencapaian
tujuan-tujuan bernilai mereka.
Path Goal Theory menekankan pada cara-cara pemimpin memfasilitasi kinerja kerja
dengan menunjukkan pada bawahan bagamana kinerja diperoleh melalaui pencapaian rewards
yang diinginkan. Path Goal theory juga mengatakan bahwa kepuasan kerja dan kinerja kerja

16
tergantung pada expectancies bawahan. Harapan-harapan bawahan bergantung pada ciri-ciri
bawahan dan lingkungan yang dihadapi oleh bawahan. Kepuasan dan kinerja kerja bawahan
bergantung pada leadership behavior dan leadership style.
Ada 4 macam leadership style :
1. Supportive Leadership: Gaya kepemimpinan ini menunjukkan perhatian pada kebutuhan
pribadi karyawannya. Pemimpin jenis ini berusaha mengembangkan kepuasan hubungan
interpersonal diantara para karyawan dan berusaha menciptakan iklim kerja yang
bersahabat di dalam organisasi.
2. Directive Leadership: Pemimpin yang memberikan bimbingan khusus pada
Karyawannya dengan menetapkan standar kinerja, mengkoordinasi kinerja kerja dan
meminta karyawan untuk mengikuti aturan aturan organisasi.
3. Achievement Oriented Leadership: Pemimpin yang menetapkan tujuan yang menantang
pada bawahannya dan meminta bawahan untuk mencapai level performens yang tinggi.
4. Participative Leadership: Pemimpin yang menerima saran-saran dan nasihat-nasihat
bawahan dan menggunakan informasi dari bawahan dalam pengambilan keputusan
organisasi.
c) Teori Vroom dan Yetton.
Leader-Participation Model ditulis oleh Vroom dan Yetton (1973). Model ini melihat
teori kepemimpinan yang menyediakan seperangkat peraturan untuk menetapkan bentuk dan
jumlah peserta pengambil keputusan dalam berbagai keadaan. Teori Yetton dan Vroom
mengemukakan bahwa kepuasan dan prestasi disebabkan oleh perilaku bawahan yang pada
gilirannya dipengaruhi oleh perilaku atasan, karakteristik bawahan dan faktor lingkungan.
Pemimpin yang mampu membuat keputusan dengan baik akan lebih efektif dalam jangka
panjang dibanding dengan mereka yang tidak mampu membuat keputusan dengan baik. Dalam
mengambil keputusan, bagaimana pemimpin memperlakukan bawahannya. Dengan kata lain
seberapa jauh para bawahannya diajak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan.
Sebagaimana telah kita pahami bahwa partisipasi bawahan dalam pengambilan keputusan dapat
meningkatkan kepuasan kerja, mengurangi stress, dan meningkatkan produktivitas.
Teori kepeminmpinan Vroom & Yetton adalah jenis teori kontingensi yang
menitikberatkan pada hal pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemimpin. Dalam hal ini
ada 5 jenis ciri pengambilan keputusan dalam teori ini :

17
1. A-I  : Pemimpin mengambil sendiri keputusan berdasarkan informasi yang ada
padanya saat itu.
2. A-II : Pemimpin memperoleh informasi dari bawahannya dan mengambil keputusan
berdasarkan informasi yang didapat. jadi peran bahawan hanya memberikan
informasi, bukan memberikan alternatif.

3. C-I  : Pemimpin memberitahukan masalah yang sedang terjadi kepada bawahan


secara pribadi, lalu kemudian memperoleh informasi tanpa mengumpulkan semua
bawahannya secara kelompok, setelah itu mengambil keputusan dengan
mempertimbangkan/ tidak gagasan dari bawahannya.

4. C-II : Pemimpin mengumpulkan semua bawahannya secara kelompok, lalu


menanyakan gagasan mereka terhadap masalah yang sedang ada, dan mengambil
keputusan dengan mempertimbangkan/tidak gagasan bawahannya

5. G-II : Pemimpin memberitahukan masalah kepada bawahanya secara berkelompok,


lalu bersama – sama merundingkan jalan keluarnya, dan mengambil keputusan
yang disetujui oleh semua pihak.

2.7 Kepemimpinan Internasional Yang Efektif


Adanya dominasi budaya tertentu terhadap budaya lain di dalam satu komunitas, tak
dapat mengakibatkan ketegangan yang berujung kepada konflik. Hal demikian sering terjadi
akibat adanya penempatan yang tidak tepat dalam identitas lokal, nasional maupun universal
pada saat berinteraksi maupun bersosialisasi. Sehingga seseorang tanpa adanya kesadaran yang
lapang merasa benar dengan membawa dominasi identitas lokal ke dalam komunitas yang
multikultural.  Dalam hal ini perlu paradigma kepemimpinan yang tepat agar dominasi budaya
tertentu dalam sebuah komunitas yang beragam tidak terjadi. Pada kasus kepemimpinan dalam
pendidikan, paradigma yang harus dibenahi adalah paradigma kepemimpinan yang bersifat
hierarkis-otokratis menuju kepemimpinan yang berbasis kemitraan bersama dalam naungan
kepemimpinan pendidikan dengan paradigma multikultural.
Kepemimpinan multi budaya intinya merujuk pada upaya memperdayakan setiap
komponen manusia yang multi budaya untuk terlibat dan bertanggung jawab pencapaian tujuan.
Hersey dan Blanchard mengatakan bahwa gaya kepemimpinan akan sangat efektif apabila

18
mengakomodir budaya dan lingkungan. Untuk itu ditawarkan konsep kepemimpinan multi-
kultur, yaitu kepemimpinan yang menggunakan perspektif multukultural. Secara makna multi-
kultur berarti  membandingkan atau menangani dua atau lebih budaya yang berbeda terkait
dengan berbagai budaya daerah, bangsa dan lainnya.
Di dalam kepemimpinan multi-kultur ini, lebih ditujukan kepada budaya pemimpin (yang
mempengaruhi) yang berbeda dengan pengikutnya (yang dipengaruhi). Maka kepemimpinan
multi-kultur merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi dan memotivasi
anggota grupnya yang berbeda budaya dengan sengaja dan tidak seimbang menuju sasaran yang
diterapkan dengan mempertimbangkan pengetahuan dan sistem makna dari budaya yang berbeda
didalam grup. Atau dengan kata lain adalah pemimpin yang mampu menyesuaikan dan
menerapkan gaya kepemimpinan yang sesuai dengan situasi, budaya dan kondisi lingkungan
yang beragam.
Budaya secara tidak langsung berpengaruh terhadap prilaku kepemimpinan. Hal itu
dikemukakan oleh Bowditch dan Buono dengan alasan bahwa sikap dan prilaku seseorang
dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dipegangnya, dan nilai – nilai itu dipengaruhi oleh budaya dan
lingkungan sosial. Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya perlu menyadari
bahwa setiap individu, walaupun berada dalam satu unit kerja yang sama namun tetap memiliki
nilai-nilai yang berbeda antara satu dengan yang lainnya. Oleh karena itu, agar proses
kepemimpinan dapat berjalan dengan efektif, maka setiap pemimpin hendaknya menerapkan
gaya kepemimpinan yang sesuai dengan kondisi yang ada sehingga tidak menimbulkan masalah
dan konflik dengan bawahannya dan organisasinya.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa kepemimpinan internasional yang efektif antara
lain:
1) Pemimpin harus dapat sebagai pengarah dan pengingat budaya organisasi yang telah ada
dalam organisasi, serta sebagai pihak penengah apabila terjadi kesenjangan atau konflik
dalam multikultural budaya di organisasi (dalam hal ini, pemimpin juga berperan sebagai
pencipta keadilan kepada seluruh pihak secara obyektif).
2) Pemimpin harus berperan sebagai icon penerjemah, pemberi contoh, serta penunjuk
dalam menjalankan atau menerapkan budaya organisasi.
3) Disamping itu, peran pemimpin juga harus mampu dalam menyatukan orang-orang yang
memiliki perbedaan budaya di dalam organisasi atau perusahaan internasional.

19
4) Pemimpin yang efektif tentunya adalah pemimpin yang dapat memberdayakan sumber
daya-sumber daya manusia yang ada sehingga tujuan organisasi dapat tercapai secara
efektif dan efisien.

BAB III
KESIMPULAN

Kepemimpinan merupakan bagian tidak terpisahkan dalam kehidupan berorganisasi.


Banyak gaya kepemimpinan dapat dipilih untuk kemudian diterapkan oleh seorang pemimpin
dalam organisasi yang dipimpinnya
Motivasi merupakan dorongan yang diberikan seseorang kepada orang lain untuk
bersemangat melakukan sesuatu. Dalam bisnis internasional manejemen menghadapi tantangan
dalam memotivasi karyawannya untuk mengembangkan produk baru, dan memperbaiki
pelayanan konsumen. Sehingga motivasi menyebabkan seseorang memilih perilaku tertentu
bukannya beberapa perilaku lainnya.
Pekerjaan dalam arti luas adalah aktivitas utama yang dilakukan oleh manusia. Dalam arti
sempit, istilah pekerjaan digunakan untuk suatu tugas atau kerja yang menghasilkan uang bagi
seseorang.
Semua bisnis internasional menghadapi tantangan dalam memotivasi karyawannya
mengurangi biaya, mengembangkan produk baru, meningkatkan kualitas produk, dan
memperbaiki pelayanan konsumen.
Pengalaman telah menunjukkan kegagalan belajar dari sejarah, dan kesalahan-kesalahan
yang diulangi oleh beberapa generasi dalam waktu lama Akhirnya harus mengikuti seperangkat
Norma dan nilai yang berdasarkan pengalaman dan perkembangan mereka.
Masyarakat global tersebut sebagian besar berada di negara-negara yang terpisah, tetapi
jika terdapat perbedaan yang sangat jelas pada masyarakat dalam suatu negara (seperti kulit
hitam dan putih di Afrika Selatan), masing-masing diuji secara terpisah.
Kepemimpinan kontingensi yakni pada aspek-aspek keterkaitan antara kondisi atau
variable situasional dengan watak atau tingkah laku dan kriteria kinerja pimpinan.

20
Di dalam kepemimpinan multi-kultur ini, lebih ditujukan kepada budaya pemimpin (yang
mempengaruhi) yang berbeda dengan pengikutnya (yang dipengaruhi). Maka kepemimpinan
multi-kultur merupakan kemampuan seorang pemimpin untuk mempengaruhi dan memotivasi
anggota grupnya yang berbeda budaya dengan sengaja dan tidak seimbang menuju sasaran yang
diterapkan dengan mempertimbangkan pengetahuan dan sistem makna dari budaya yang berbeda
didalam grup.
DAFTAR PUSTAKA

Ardana,Komang, dkk. Perilaku Keorganisasian. Edisi kedua.Yogyakarta: Graha Ilmu.2009.

Griffin, Ricky W, 2008, Bisnis Edisi 8 Jilid 1. Jakarta : Erlangga.

Hoy and Miskel, (1978), Manajemen, (terjemahan: Antariksa et all), Erlangga, Jakarta.

Stephen P. Robbins, Timothy A.Judge. Perilaku Organisasi. Jakarta:Salembe Empat.2015.

https://rumahfilsafat.com/2011/03/07/makna-kerja-dalam-hidup-manusia/
(diakses pada Sabtu, 5 November 2016)

https://www.academia.edu/4802030/Teori_dasar_Kepemimpinan/
(diakses pada Sabtu, 5 November 2016)

http://aniatih.blogspot.co.id/2014/03/pengertian-pemimpin-dan-kepemimpinan/
(diakses pasa Sabtu, 5 November 2016)

21

Anda mungkin juga menyukai