Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH EVALUASI TENGAH SEMESTER

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA


“GAYA KEPEMIMPINAN”

Disusun Oleh :

HERU ANGGIH YULLIATI (2161134)

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI


PGRI DEWANTARA JOMBANG
PROGRAM STUDI MANAJEMEN
Tahun Akademik 2022/2023
ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-nya, penulis
dapat menyelesaikan tugas makalah Manajemen SDM yang berjudul “ GAYA
KEPEMIMPINAN ” dengan tepat waktu. Makalah disusun untuk memenuhi tugas Evaluasi
Tengah Semester Manajemen SDM. Selain itu, makalah ini bertujuan untuk memberikan
informasi tentang Gaya Kepemimpinan agar pembaca dapat mengetahui dan dapat
menambah semangat. Saya mengucapkan terima kasih kepada Bpk. Deni Widyo P,SE.,MM.
selaku Dosen Manajemen SDM, dan sebagai pembimbing pembuatan makalah ini.
Saya menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna,baik dari segi peny
usunan maupun materinya. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan dem
i kesempurnaan makalah ini.

Jombang, 14 Oktober 2022

Heru Anggih Yulliati

iii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................... ii
DAFTAR ISI................................................................................................................... iii
BAB I.............................................................................................................................. 1
1,1 Latar Belakang........................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan..................................................................................... 2
BAB II............................................................................................................................. 3
2.1 Pentingnya Kepemimpinan Dalam Organisasi....................................... 3
2.2 Kepemimpinan Adalah Pengaruh, Konsen dan Orientasi....................... 4
2.3 Pengembangan Kepemimpinan Sebagai Suatu Sistem........................... 6
2.4 Pengembangan Kepemimpinan Mempertimbangkan Struktur Organisasi 10
2.5 Dampak Kepemimpinan Yang Buruk (Toxic Leadership)..................... 13
2.6 Respons Karyawan.................................................................................. 14
2.7 Peran Organisasi...................................................................................... 15
BAB III.......................................................................................................................... 17
3.1 Kesimpulan.............................................................................................. 17
3.2 Saran........................................................................................................ 18
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 19

iv
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dalam kehidupan organisasi, gaya kepemimpinan seorang pemimpin adalah hal yang
penting diperhatikan. Kepemimpinan dalam sebuah organisasi dituntut untuk bisa membuat
individu-individu dalam organisasi yang dipimpinnya bisa berperilaku sesuai dengan yang
diinginkan oleh pemimpin untuk mencapai tujuan organisasi. Maka dari itu seorang
pemimpin haruslah bisa memahami perilaku individu-individu di dalam organisasi yang
dipimpinnya untuk bisa menemukan gaya kepemimpinan yang tepat bagi organisasi nya.
Perilaku individu berbeda satu dengan yang lainnya. Hal ini tergantung dari stimulus atau
hal-hal yang bisa memotivasi individu tersebut untuk berperilaku dan juga bagaimana
individu tersebut mengelola menindaklanjuti stimulus tersebut. Perbedaan inilah yang
memunculkan adanya perilaku yang bersifat positif dan negatif.
Perilaku individu yang bersifat positif dan negative tersebut tentunya juga
berhubungan dengan gaya kepemimpinan. Hal tersebut dapat dilihat pada teori perilaku yang
dipaparkan oleh Douglas McGregor dalam buku The Human Side of Enterprises (1983) yaitu
teori X dan Y. Teori ini menyebutkan bahwa individu terbagi menjadi dua karakteristik yang
berbeda. Teori X mengasumsikan individu bersifat negatif dan teori Y mengasumsikan
individu bersifat positif. Salah satu asumsi dari teori X adalah kebanyakan orang harus di
kontrol secara ketat dan seringkali dipaksa untuk mencapai tujuan organisasi. Sedangkan
asumsi teori Y adalah kebanyakan orang bersifat self-directed dalam pekerjaannya jika
motivasi diberikan dengan cara yang tepat.
Gaya atau perilaku kepemimpinan terkait dengan karakteristik tersebut. Gaya
kepemimpinan menurut Kenneth Blanchard (1988, p.1) adalah pola perilaku pada saat
seseorang mencoba mempengaruhi orang lain dan mereka menerimanya. Pemimpin dapat
memimpin dengan gaya kepemimpinan yang disesuaikan dengan perilaku teori X dan Y yang
dimiliki oleh pegawai/ karyawannya. Penyesuaian ini dibutuhkan agar pemimpin dapat
memimpin dengan baik dan tepat sehingga tidak salah arahan ataupun sasaran. Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk menjelaskan kesesuaian gaya kepemimpinan dengan
perilaku individu dalam suatu organisasi.

1
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah dari makalah yang berjudul “Gaya Kepemimpinan“ adalah sebagai
berikut:
1. Mengapa kepemimpinan itu penting bagi sebuah organisasi?
2. Apa hubungan antara SDM dengan kepemimpinan di dalam sebuah organisasi?
3. Bagaimana pengembang kepemimpinan tersebut dalam konteks organisasi yang m
emiliki struktur atau jenjang?
4. Apa yang akan terjadi apabila kepemimpinan sebuah organisasi buruk?

1.3 Tujuan Penulisan


Tujuan Penulisan dari makalah yang berjudul “Gaya Kepemimpinan“ adalah sebagai
berikut :
1. Untuk memahami pentingnya kepemimpinan bagi sebuah organisasi
2. Untuk memahami hubungan antara SDM dan kepemimpinan dalam sebuah organisasi
3. Untuk memahami pengembangan kepemimpinan dalam organisasi
4. Untuk memahami apa saja dampak dari kepemimpinan yang buruk

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pentingnya Kepemimpinan Dalam Organisasi


Sebelum membahas mengenai bagaimana kepemimpinan dikembangkan dalam
organisasi, maka ada baiknya kita mengupas terlebih dahulu mengenai “mengapa
kepemimpinan itu dibutuhkan dalam organisasi?”. Perusahaan sebagai organisasi bisnis
merupakan sistem sosial yang berlapis-lapis. Mulai dari lapisan yang paling kecil yaitu
individu, kemudian membesar menjadi hubungan antar pribadi, menjadi group atau tim kerja,
seterusnya menjadi departemen atau divisi, akhirnya menjadi unit bisnis, bahkan berkembang
menjadi korporasi atau group of businesses. Semakin luas cakupan suatu sistem sosial di
dalam organisasi, maka akan semakin penting keberadaaan dan peranan dari struktur
organisasi.
Struktur organisasi secara umum menciptakan dua posisi yaitu posisi atasan (superior)
dan posisi bawahan (subordinates). Atasan dapat berupa team leader, supervisor, manager,
general manager, atau pun director. Sedangkan, bawahan dapat berupa anggota tim kerja
yang memiliki keahlian tertentu (staf fungsional) atau pun yang memiliki beragam keahlian
(staf operasional).
Untuk mencapai tujuan organisasi secara efektif dan efisien, maka idealnya posisi
atasan itu diduduki oleh orang-orang yang memiliki kemampuan berkinerja yang tinggi (high
performance). Sehingga dengan posisi strukturalnya sebagai atasan, mereka dapat
memberikan pengaruh yang konstruktif terhadap seluruh bawahan dalam pencapaian tujuan
organisasi. Namun kenyataanya, sering kali terjadi justru sebaliknya. Posisi atasan diduduki
oleh orang yang berkinerja buruk, dan orang-orang yang berkinerja bagus justru berada pada
posisi bawahan. Lalu, bagaiana kondisi seperti ini berdampak terhadap kinerja organisasi
secara keseluruhan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Tabel 11.1 memberikan ilustrasi matematis.
Pada Kasus 01, atasan X yang berkinerja buruk mengendalikan bawahan Y yang berkinerja
bagus. Misalkan kinerja X adalah 5 dan kinerja Y adalah 9 dari skala 10. Karena posisi
sebagai atasan maka X mendapat kesempatan untuk mempengaruhi seluruh bawahan yang
menjadi anggota timnya. Sementara itu Y sebagai bawahan,walaupun berkinerja bagus,
namun hanya memiliki kesempatan terbatas untuk bawahan lainnya. Kalau dikalikan antara

3
kinerja dan pengaruh, maka X memperoleh skor 45 dan Y memperoleh skor 18. Bila dijumlahkan,
maka pada Kasus 01 ini kinerja yang digabung antara X dan Y adalah 63 (= 45 + 18). Lalu bagaimana
jika X dan Y “bertukar nasib”? Y yang berkinerja bagus menjadi atasan dan X yang berkinerja buruk
menjadi bawahan. Kinerja Y yang bagus itu mendapatkan kesempatan yang luas untuk mempengaruhi
orang lain, sementara kinerja X yang buruk itu diisolasi hanya untuk dirinya sendiri dan teman
terdekatnya. Maka ketika “bertukar nasib”, otomatis terjadi loncatan kinerja gabungan yaitu menjadi
91 ( = 81 + 10)

Tabel 11.1 Kasus kinerja dan pengaruh

Kita tidak perlu sibuk-sibuk melakukan pelatihan ini itu, atau punya juga memberi
hadiah ini dan itu untuk mendongkrak kinerja organisasi secara keseluruhan. Cukup dengan
menempatkan orang-orang yang berkinerja bagus pada posisi yang dapat berpengaruh.
Sekaligus juga “mengisolasi” orang-orang yang berkinerja buruk agar cukup berpengaruh
hanya pada dirinya saja. Dari sinilah kita menjadi paham bahwa kinerja individu, posisi, dan
pengaruh adalah penting bagi kinerja organisasi secara keseluruhan. Orang-orang harus
didorong agar berkinerja bagus, kemudian orang yang berkinerja bagus harus mendapatkan
posisi yang lebih besar untuk dapat mempengaruhi orang lain, dan orang-orang yang sudah
berada di posisi sebagai atasan tersebut harus dapat berpengaruh terhadap seluruh anggota
tim. Dan kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang banyak merupakan kemampuan
atau kapabilitas kepemimpinan seseorang. Inilah arti penting kepemimpinan bagi organisasi.
Mengapa kepemimpinan perlu dikembangkan? Ya karena lewat kepemimpinan sekelompok
kecil orang yang berada pada posisi atasan (20% atau bahkan kurang) dapat memberikan
pengaruh positif terhadap orang lainnya yang berada pada posisi bawahan (80% atau bahkan
lebih).

2.2 Kepemimpinan adalah pengaruh, konsen, dan orientasi


4
Setelah memahami pentingnya kepemimpinan bagi organisasi, maka pertanyaan
selanjutnya penting untuk dijawab adalah “apa yang dimaksud dengan kepemimpinan itu?”
John Maxwell berpendapat bahwa “Leadership is influence, nothing more nothing less.”
(Maxwell, 2007). Kepemimpinan bukanlah posisi. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk
mempengaruhi. Bisa saja seseorang atasan itu tidak mampu mengaruhi anggota tim kerjanya.
Bisa juga seorang bawahan yang tidak memiliki posisi struktural tetapi justru lebih
didengarkan atau diikuti oleh anggota tim kerja yang lain daripada atasannya yang memiliki
posisi struktural. Jadi, tanpa kemampuan memengaruhi seorang atasan hanyalah atasan
belaka, bukanlah pemimpin. Lebih tegas lagi, Peter Drucker mengatakan bahwa “The only
definition of leader is who has followers” (Kruse, 2013). Tanpa ada orang lain yang bersedia
untuk mengikuti, maka seseorang bukanlah pemimpin, namun hanyalah orang yang berjalan
sendirian. Jika kepemimpinan hanya semata-mata “ability to influence” saja, maka apa
bedanya seorang pemimpin dengan penipu? Penipu juga memiliki kemampuan yang hebat
dalam mempengaruhi orang lain. Kalau tidak ada kemampuan mempengaruhi, maka dia tidak
efektif dalam menipu. Tentu saja berbeda antara pemimpin dan penipu. Perbedaannya
terletak pada konsen atau kepedulian. Penipu mempengaruhi orang lain hanya peduli pada
kepentingan sendiri (self-concern). Penipu tidak pernah mau peduli terhadap kepentingan
orang yang jadi target atau korban penipuannya. Sementara pemimpin, mereka memengaruhi
orang lain bukan untuk kepentingan diri sendiri, tapi justru untuk kepentingan orang yang
dipengaruhi (concern to the others). Hal ini sejalan dengan pernyataan Bill Gates, bahwa “as
we look ahead into the next century, leaders will be those who empower OTHERS” (George
dkk., 2015). Bahwasanya pemimpin adalah mereka yang peduli pada orang lain, bersedia
memberdayakan orang lain. Bukan memperdayakan orang lain.

5
Gambar 11.1 Level kepemimpinan
Lalu, apa bedanya pemimpin dari pelawak. Pelawak juga memiliki kemampuan untuk
mempengaruhi para pemirsanya. Pelawak juga memperhatikan dan sangat peduli terhadap
para pemirsanya. Bahkan, pelawak berjuang keras untuk membuat para pemirsanya tertawa
bahagia. Lalu, apa yang membedakan pemimpin dari pelawak? Pelawak hanya berorientasi
pada “saat ini” atau “sekarang” saja. Bagi pelawak, yang paling penting para pemirsa tertawa
saat dia berada di atas panggung. Mengenai para pemirsa menanggis selepas dia selesai
melawak, itu bukan tanggung jawabnya. Namun seorang pemimpin tidak hanya berorientasi
“sekarang “ atau “saat ini” saja. Pemimpin berorientasi masa depan. Hari ini kita bisa saja
tertawa sepuas hati, namun apa gunanya kalau besok kita menangis sejadi-jadinya. Seorang
pemimpin berorientasi pada masa depan, memikirkan kondisi atau keadaan ideal seperti apa
yang seharusnya diraih bersama-sama di masa depan. Hal ini sejalan dengan pendapat
Warren Bennis bahwa “leadership is a capacity to translate vision into action” (Bennis,
2008). Kepemimpinan adalah kapasitas seseorang untuk mengubah cita-cita bersama menjadi
tindakan bersama.
Berdasarkan uraian tersebut di atas, kita dapat menarik kesimpulan bahwa
kepemimpinan (leadership) merupakan suatu kemampuan seseorang untuk melakukan
process of social influence yang memberdayakan orang lain untuk mewujudkan sebuah visi
atau cita-cita bersama. Lewat definisi tersebut, kepemimpinan direfleksikan dalam tiga
dimensi (Saputra, 2017, 2018), yaitu kemampuan mempengaruhi (influence), kepedulian
terhadap orang lain (concern), dan orientasi terhadap masa depan (orientation). Melalui
ketiga dimensi tersebut, kita dapat mengelompokkan orang-orang dalam organisasi menjadi
delapan level. Level paling rendah adalah level pertama, yaitu orang-orang yang tidak dapat

6
mempengaruhi orang lain (low influence), hanya peduli pada diri sendiri (self concern) dan
hanya berorientasi saat ini saja (current orientation). Ini merupakan level terendah.
Sedangkan level tertinggi adalah level kedelapan, yaitu orang-orang yang mampu
mempengaruhi orang lain (high influence), peduli terhadap orang banyak (concern to others),
dan berorientasi pada masa depan (future orientation). Sehingga dengan demikian,
pengembangan kepemimpnan adalah upaya yang sistematis dilakukan organisasi untuk
mendongkrak level kepemimpinan seseorang dari level rendah menuju level tertinggi yaitu
level delapan.

2.3 Pengembangan kepemimpinan sebagai suatu sistem


Setelah memahami mengapa kepemimpinan itu penting bagi organisasi dan apa yang
dimaksud dengan kepemimpinan, maka pembahasan selanjutnya adalah “bagaimana
pengembangan kepemimpinan dilakukan dalam organisasi?” Untuk itu penting bagi kita
semua untuk terlebih dahulu memahami pengembangan kepemimpinan dalam perspektif
systemic thinking (Frank dkk., 2016), yaitu kepemimpinan sebagai suatu sistem.
Kepemimpinan sebagai suatu kapabilitas dapat dipandang sebagai entitas yang setidaknya
memiliki tiga elemen utama yaitu masukan (input), tahapan (process) dan keluaran (output).
Keluaran merupakan hasil atau produk dari tahapan dan masukan. Semakin lengkap
masukannya yang tersedia dan semakin sempurna tahapan yang dilakukan, maka
kepemimpinan akan menghasilkan keluaran yang semakin berdampak.

Tabel 11.2 Kepemimpinan sebagai sistem

 Keluaran dari sistem kepemimpinan

7
Setidaknya ada enam keluaran yang dapat diharapkan suatu sistem kepemimpinan,
yaitu keterpercayaan, keterlibatan, terselesainya masalah, tercapainya tujuan, kualitas hidup
yang lebih baik, dan pemimpin-pemimpin baru.
Keluaran pertama adalah keterpercayaan atau trust. Kepemimpinan harus mampu
membuat para pengikut untuk yakin bahwa atasan yang memimpin mereka memiliki
kemampuan dan karakter yang memadai untuk membawa mereka kepada terwujudnya
kehidupan yang lebih baik.
Keluaran kedua adalah keterlibatan atau involvement. Setelah percaya kepada sang
pemimpin, maka para pengikut pun mulai terlibat dalam kegiatan yang diarahkan oleh sang
pemimpin. Keterlibatan tersebut dapat terlihat dari kesediaan anggota tim untuk memberikan
waktu, pikiran, tenaga, perasaan, bahkan harta maupun jiwa mereka untuk terwujudnya
tujuan atau cita-cita bersama.
Keluaran ketiga adalah terselesainya masalah atau solved problems. Karena terlibatan
para anggota maka mulailah satu per satu permasalahan atau hambatan yang dihadapi oleh
tim kerja terselesaikan atau tertangani.
Keluaran keempat adalah tercapainya tujuan atau achieved vision. Dengan
terselesainya masalah atau hambatan yang dihadapi, unit kerja atau tim bergerak semakin
mendekati dengan tujuan yang diinginkan. Dengan bila kondisi ini dipertahankan dan
ditingkatkan, maka akhirnya perusahaan mencapai tujuannya.
Keluaran kelima adalah kehidupan yang lebih baik atau higher quality of life. Dengan
terwujudnya visi, maka unit kerja atau tim kerja mendapatkan kesempatan yang lebih baik
untuk tumbuh dan berkembang. Hal ini akan memberikan pengaruh positif terhadap kualitas
hidup yang dialami oleh semua orang yang ada di dalam kepemimpinan tersebut.
Keluaran keenam, pemimpin-pemimpin baru atau new leaders. Hasil terbesar dari
kepemimpinan adalah menghasilkan pemimpinpemimpin baru. Anggota tim kerja yang
tadinya bekerja bersama sang pemimpin bertumbuh dan berkembang kemampuannya. Bila
anggota-angota tersebut mendapat kesempatan atau posisi untuk memimpin, maka jadilah
mereka pemimpin-pemimpin baru.
 Tahapan dari sistem kepemimpinan
Kalau Jack Welch memiliki konsep empat E dari GE Leadership (Bartlett dan Wozny,
1999), maka sub bab ini mengadaptaskan konsep tersebut dalam Enam E untuk menjelaskan
enam proses dalam tahapan kepemimpinan, yaitu exploring, envisioning, encouraging,
empowering, enabling, dan enobling.

8
Proses pertama, Mengeksplorasi Keadaan atau Exploring merupakan tahapan paling
awal ketika seseorang mendapat kesempatan untuk memimpim. Pada tahap ini mereka
meluangkan waktu mempelajari keadaaan yang dihadapi oleh tim kerja. Pada tahap ini sang
pemimpin berupaya untuk mendengarkan dan menyimak sebanyak mungkin dari aktor-aktor
kunci dalam tim kerja. Sang pemimpin berupaya untuk menjawab sejumlah pertanyaan, yaitu
(1) apa saja masalah yang dihadapi dan mana yang menjadi prioritas untuk diselesaikan?, (2)
apa saja sumber daya yang dimiliki saat ini?, (3) apa saja kekuatan dan kelemahan yang
dimiliki oleh tim kerja saat ini ?, dan (4) pihak mana saja yang terkait dan berpengaruh
terhadap tim dalam mencapai tujuan ?
Proses kedua, Menetapkan Tujuan atau Envisioning merupakan tahap selanjutnya.
Setelah memahami dengan baik kondisi yang dihadapi oleh tim kerja, maka saatnya sang
pemimpin merumuskan kondisi ideal yang ingin dicapai di masa depan. Tujuan merupakan
pemandu yang menghubungkan kondisi unit atau tim kerja saat ini dengan kondisi ideal yang
diharapkan terjadi di masa depan.
Proses ketiga, Meyakinkan Tim atau Encouraging merupakan tahapan untuk
menyakinkan seluruh anggota tim bahwa tujuan di masa depan bukanlah hal yang mustahil
untuk dicapai. Tujuan yang dicanangkan dan disepakati pada proses envisioning bisa masih
terkesan “muluk” di benak pikiran para anggota tim. Tujuan dari proses ini adalah
membangun optimisme seluruh anggota tim. Sang pemimpin berupaya untuk membangun
hubungan logis antara kondisi buruk saat ini dengan kondisi ideal di masa depan.
Proses keempat, Memberdayakan Tim atau Empowering merupakan tahapan untuk
melengkapi anggota tim dengan keterampilanketerampilan yang dibutuhkan untuk mencapai
tujuan. Anggota tidak hanya optimis terhadap tujuan atau visi yang ingin dicapai, tetapi juga
kompeten untuk mencapainya.
Proses kelima, Menyiapkan Sarana dan Prasarana atau Enabling merupakan tahapan
di mana sang pemimpin berjuang untuk menyediakan sarana dan prasana yang dibutuhkan
tim kerja untuk mencapai atau mempercepat pencapaian visi yang disepakati.
Proses keenam, Memuliakan Anggota yang Berkontribusi atau Enobling merupakan
tahapan untuk mendistribusikan penghargaan dan kesempatan bertumbuh. Melalui proses
pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima unit atau tim kerja akhirnya mencapai visi atau
tujuannya. Dan begitu tujuan tersebut tercapai, maka sang pemimpin direkomendasikan untuk
mendistribusikan kesempatan bertumbuh untuk periode selanjutnya dan penghargaan kepada
seluruh anggota tim. Pendistribusian tersebut berdasarkan kontribusi yang diberikan.
Semakin besar kontribusi yang anggota tersebut berikan, maka akan semakin besar

9
penghargaan dan kesempatan untuk bertumbuh yang mereka peroleh. Melalui proses keenam
ini, para anggota dimuliakan, dimajukan, dan ditinggikan harkat, martabat, dan derajatnya.
 Masukan dari sistem kepemimpinan
Untuk menjalankan tahapan dan menghasilkan keluaran dari sistem kepemimpinan,
maka ada enam masukan yang ada yaitu leader, team members, structure, culture, resources,
dan stakeholders. Pemimpin atau leaders merupakan aktor sentral dari sistem kepemimpinan.
Pemimpin menjalankan tahapan kepemimpinan terhadap team members atau para
pengikutnya. Pemimpin memiliki cakupan pengaruh yang sangat tergantung pada
strukturnya. Semakin tinggi posisi seorang pemimpin dalam suatu struktur organisasi, maka
semakin luas cakupannya untuk memberikan pengaruh. Dalam memberikan pengaruh
tersebut, pemimpin mendapatkan dukungan maupun hambatan dari budaya (culture) yang
berkembang. Dalam memberikan pengaruh terhadap para pengikut, pemimpin juga
mendayagunakan sumber daya (resources) untuk menyediakan sarana dan prasarana yang
dibutuhkan para pengikut. Dalam menjalankan tahapan kepemimpinan, pemimpin dan para
pengikuti dipengaruhi dan mempengaruhi para pemangku kepentingan (stakeholders).

2.4 Pengembangan kepemimpinan mempertimbangkan struktur


organisasi
Pertanyaan yang terakhir coba sub bab ini jawab adalah “bagaimana mengembangkan
kepemimpinan dalam perusahaan sebagai suatu organisasi bisnis?” Untuk menjawab
pertanyaan tersebut, sub bab ini berfokus pada ada tiga dari enam komponen dalam masukan
sistem kepemimpinan yaitu atasan sebagai pemimpin, anggota tim sebagai pengikut, dan
struktur organisasi menentukan cakupan.

 Atasan Sebagai Pemimpin


Komponen pertama adalah pemimpin. Dalam sistem kepemimpinan di organasi,
setiap atasan dihadapkan pada dua tantangan utama, yaitu tantangan mengelola pekerjaan
(task related) dan tantangan mengelola orang-orang yang mengerjakannya (people related).
Bersamaan dengan tantangan-tantangan tersebut, atasan juga dituntut untuk mencapai sasaran
jangka pendek (short term orientated) dan juga sasaran jangka panjang (long term oriented).
Bila tantangan dan sasaran tersebut digabungkan, maka mucullah empat peran yang
diharapkan (expected roles) dari atasan sebagai pemimpin unit atau tim kerja. Sebagai

10
pemimpin unit kerja, atasan diharapkan mampu menjalankan empat peranan peranan (Conner
dan Ulrich, 1996) sebagai:
1) Administrative Expert
Atasan seharusnya menguasai dengan baik aspek teknis dan administrasi
pekerjaan-pekerjaan yang ada dalam teritorinya. Peran administrative expert ini
terkait dengan tantangan mengelola pekerjaan dalam jangka pendek.
2) Employee Champion
Atasan seharusnya menjadi juara di hati para anggota timnya Bila terjadi masalah
non teknis, maka anggota tim akan mencari dan berdiskusi dengan atasannya,
bukan dengan pihak lain untuk menemukan solusi. Peran employee champion ini
berhubungan dengan tantangan mengelola orang dalam jangka pendek.
3) Change Agent
Atasan seharusnya piawai untuk membantu anggota tim kerja berkembang
kompetensinya. Peran ini terkait dengan tantangan mengelola orang dalam jangka
panjang.
4) Strategic Partner
Atasan seharunys menjadi mitra strategis yang memiliki sense-ofbusinesses dalam
pengembangan unit kerja untuk berkembang. Peran ini terkait dengan tantangan
mengelola pekerjaan dalam jangka panjang.

 Struktur Organisasi Menentukan Cakup


Semakin tinggi posisi seorang atasan dalam struktur suatu organisasi maka akan
semakin luas cakupan mereka maupun anggota tim mereka. Dengan mengadaptasi konsep
leadership pipeline (Charan dkk., 2010), maka cakupan atasan sebagai pemimpin dapat
dikelompokkan menjadi pengelola hubungan (managing relationship), pengelola tim kerja
(managing team), pengelola fungsi kerja (managing function), dan pengelola bisnis
(managing business).

Tabel 11.3 Sistem kepemimpinan berbasis struktur organisasi

11
Dengan memadukan ketiga komponen tersebut—atasan sebagai pemimpin, anggota
tim sebagai pengikut, dan struktur organiasasi, maka pengembangan kepemimpinan dalam
perusahaan dapat diarahkan menjadi empat pola, yaitu:
1. Leading For Action adalah program pengembangan kepemimpinan untuk para team
leader yang mengelola tenaga kerja operasional lapangan (workforce). Sasaran yang
diharapkan dari kepemimpinan pada level ini adalah eksekusi atau menghasilkan
tindakan atau action yang dibutuhkan untuk merealisasikan rencana kerja atau arahan
dari lapis manajerial di atasnya. Melalui kepemimpinannya, para team leader dituntut
lebih banyak berperan sebagai administrative expert dengan mengembangkan aspek
kejujuran (honesty) dan kedisiplinan dari anggota timnya.
2. Leading For Performance yaitu program pengembangan kepemimpinan untuk para
supervisor yang mengelola anggota tim yang berkategori human resources. Supervisor
dituntut untuk berperan sebagai employee champion. Karena kontribusi utama dari
anggota tim bukanlah tenaga semata, tetapi juga pikiran dan keterampilan tertentu.
Suasana hati akan berpengaruh terhadap kinerja merka. Karena itu melalui
kepemimpinan, supervisor diharapkan dapat mengembang keterampilan dan menjaga
motivasi dari tim kerjanya.

12
Gambar 11.2 Pengembangan kepemimpinan berbasis struktur

3. Leading For effectiveness merupakan program pengembangan kepemimpinan pada level


direksi atau senior management. Mereka tidak hanya memimpin anggota yang
berkategori human capital, tetapi juga talented people. Sasaran yang diharapkan dari
kepemimpinan mereka adalah keberlangsungan bisnis yang terus menerus
(sustainability). Mereka tidak hanya memperhatikan aspek internal organisasi, tetapi juga
berkolahoasi dengan pihak lain yang menjadi pemangku kepentingan dari perusahaan.
Melalui kepemimpnan mereka, diharapkan, organisasi tercukupi kebutuhan akan talent
untuk menjadi unggul dibandingkan para pesaing.

2.5 Dampak Kepemimpinan yang Buruk ( Toxic Leadership )


Leadership adalah faktor penting penentu keberlanjutan kinerja organisasi. Ada berag
am bentuk leadership. Toxic leadership adalah salah satunya. Namun sayangnya ia memiliki
dampak yang merugikan organisasi. Secara umum, leadership telah identik dengan makna ko
nstruktif yang ditandai dengan niat, metode, dan konsekuensi positif.
Namun, belakangan ini semakin banyak peneliti dan praktisi manajemen yang memba
has tentang aspek negatif dari leadership. Di antaranya yaitu berfokus pada hubungan antara
sisi gelap leadership dan disfungsi organisasi. Para ahli manajemen melabeli leadership yang
buruk dengan sejumlah nama atau istilah yang berbeda-beda. Antara lain negative or dark lea

13
dership, abusive leaders, bad leadership, narcissistic leaders, toxic leadership, destructive le
adership.
Bahkan terbaru oleh Boddy dkk (2017) dalam makalahnya memakai istilah yang agak
ekstrim yaitu corporate psychopaths. Namun dari sekian banyak istilah tersebut, yang cukup
populer adalah toxic leadership. Ini didasari bahwa leadership yang buruk dapat menyebar se
cara diam-diam dan tidak terdeteksi seperti racun dan tidak hanya mencemari individu; melai
nkan juga mempengaruhi tim dan pada akhirnya seluruh organisasi (Bhandarker dan Rai, 202
0).
Leaders, bagaimanapun, tidak berdiri sendiri. Leaders ada dalam kerangka organisasi.
Para ahli manajemen sepakat bahwa toxic leadership itu penyebab dan wujudnya kompleks.
Bisa berupa tindakan ketidaksopanan, gangguan kepribadian dan perilaku, gejolak emosi dan
narsisme hingga kebijakan perusahaan yang bermasalah, ketidakstabilan perusahaan dan pasa
r, dan pergolakan sistemik akibat dari restrukturisasi, merger, akuisisi, pengurangan jabatan d
an karyawan.
Beberapa ciri dari toxic leadership yang dirangkum dari berbagai sumber literatur yaitu :
 Bertindak tanpa integritas dengan menyembunyikan dan terlibat dalam berbagai perila
ku tidak terhormat lainnya. Contohnya seperti korupsi, kemunafikan, sabotase dan ma
nipulasi, serta berbagai macam tindakan tidak etis, ilegal, dan kriminal lainnya.
 Menciptakan konflik dan memperumit lingkungan organisasi dengan menyebabkan ke
rusakan emosional pada bawahannya. Misalnya perilaku saling memata-matai dan sali
ng melaporkan di antara karyawan.
 Tidak pernah menganggap perilakunya sebagai negatif dan mereka selalu percaya bah
wa perilaku mereka dapat diterima secara sosial. Terkadang dengan mencari informas
i pada layer di bawahnya atas siapa saja yang membicarakan negatif tentang diri dan k
inerjanya
 Tidak memberdayakan timnya, cenderung merendahkan bawahan dengan membentak,
mengkritik dan mengejek baik secara langsung maupun tidak langsung, sehingga ber
dampak pada berkurangnya kepercayaan diri, harga diri, kekompakan tim dan efikasi
diri bawahan.
Penelitian lain juga menguraikan beberapa dampak yang ditimbulkan dari toxic leadership, m
eliputi :
 Berdampak pada hasil kinerja seperti penurunan komitmen organisasi, persepsi ketida
kadilan, konflik peran, penyimpangan interpersonal dan sikap terkait pekerjaan yang b
uruk di antara bawahan.

14
 Berdampak negatif dengan kepuasan kerja, dedikasi kerja dan motivasi kerja.
 Menyebabkan konsekuensi psikologis negatif seperti permusuhan, kecemasan dan dep
resi.
 Menghasilkan lingkungan dan budaya kerja yang toxic yang membawa seluruh organi
sasi ke dalam lingkaran setan keputusasaan dan kerusakan.
 Pada tingkat yang sangat senior dapat menciptakan budaya penjilat. Di mana orang-or
ang, dalam upaya untuk mendekati mereka yang berkuasa dapat menjadi pembisik, m
engecewakan rekan kerja dan secara umum mengacaukan kerja tim dan kolaborasi.
 Lebih jauh, dapat menyebabkan rusaknya reputasi perusahaan, akibat dari penyebaran
kata-kata buruk terhadap organisasi di media sosial, sebagai wujud perlawanan terbuk
a dari karyawan.

2.6 Respons Karyawan


Secara umum, karyawan sebagai bawahan bereaksi terhadap toxic leadership dengan
cara apa yang dikenal sebagai coping response yaitu mengacu pada upaya perilaku sp
esifik yang digunakan individu untuk menguasai, mentolerir, mengurangi atau memin
imalkan peristiwa stres (Folkman dan Lazarus, 1980).
Coping response dilakukan dengan 3 cara yitu :
a. Assertive coping
Ditandai dengan mengambil tindakan cepat untuk menghadapi pemimpin yang
toksik melalui keluhan langsung ke otoritas internal yang lebih tinggi atau pejabat terk
ait di atasnya. Baik secara terbuka maupun tanpa nama.
Contohnya melaporkan tanda-tanda toksik, perilaku, dan kesalahan yang dilakukan ol
eh toxic leaders. Terkadang dalam bentuk protes terbuka dan mencoba memobilisasi p
endapat orang lain terhadap toxic leaders.
b. Adaptive coping
Ditandai dengan penggunaan mekanisme adaptif oleh bawahan seperti menjag
a hubungan positif dengan pemimpin. Bahkan jika mereka marah dengan perilaku tox
ic leaders tersebut, mereka berusaha mengendalikan amarah mereka dan menunggu w
aktu yang tepat untuk berdiskusi. Dalam hal ini, memilih untuk tetap diam dan menut
up mata terhadap perilaku dan tindakan toxic leaders.
c. Avoidance coping

15
Di mana karyawan cenderung untuk menyeimbangkan perilaku yang dirasaka
n tidak adil dari toxic leaders baik dengan menghindari mereka atau memiliki interaks
i minimal dengan toxic leaders tersebut baik secara aktif maupun pasif.
Misalnya dengan menahan informasi, tidak berbagi masalah atau peluang bisnis deng
an pemimpin serta tidak membantu rekan kerja lain. Ini tentu merupakan hal yang mer
ugikan bagi karyawan dan organisasi. Dari ketiga respons di atas, yang paling sering d
ilakukan oleh karyawan dalam menghadapi toxic leaders adalah dengan Adaptive cop
ing. Karyawan menganggap bekerja dengan toxic leaders sebagai "fase buruk" yang p
ada akhirnya akan berlalu. Alasannya lainnya karena tidak mau mempertaruhkan kari
er masa depannya.
Selain itu, Duffy dkk. (2002) juga menemukan bahwa bawahan sering menggu
nakan cara-cara yang tidak jelas seperti menyebarkan desas-desus, diam-diam tidak m
ematuhi dan menyensor informasi dari atasan yang berdampak negatif pada toxic lead
ers dari waktu ke waktu. Hal ini juga dapat merusak suasana dan meracuni budaya ker
ja dan iklim organisasi. Pada kasus yang lebih ekstrem, karyawan pada akhirnya mem
ilih keluar dari organisasi meninggalkan pekerjaan. Ini merupakan langkah terakhir un
tuk mengurangi tingkat stres serta emosi negatif yang disebabkan oleh perlakuan buru
k yang dirasakan akibat toxic leaders.

2.7 Peran Organisasi


Seperti dijelaskan sebelumnya, perilaku destruktif seorang leaders pada akhirnya berd
ampak negatif terhadap loyalitas, produktivitas, motivasi, kesehatan, dan kebahagiaan karyaw
an. Pada banyak perusahaan Fortune 500 telah menyadari dan mengelola sisi gelap toxic lead
ership ini sebagai realitas kehidupan organisasi. Oleh karena itu, organisasi harus mengambil
tindakan proaktif yang tepat untuk mengidentifikasi, mengoreksi dan mengelola toxic leaders
hip yang ada di organisasi. Pertama, organisasi harus lebih berhati-hati menganalisis kinerja
menyeluruh sebelum memberi penghargaan atau promosi karier kepada seorang talent.
Baik dalam bisnis keluarga atau perusahaan, individu yang bermasalah dan destruktif
terkadang cukup sulit untuk dideteksi oleh pewawancara yang kurang terlatih. Bahkan pada s
aat tes atau wawancara pada level top manajemen. Kedua, organisasi juga harus merancang
mekanisme whistle-blowing system, sehingga karyawan dapat mengekspos kesalahan toxic le
aders melalui saluran intenal tepercaya. Karena jika karyawan diam-diam beradaptasi dengan
kondisi dan keinginan toxic leaders, itu akan merugikan tidak hanya bagi karyawan, tapi juga

16
pada kinerja organisasi. Ketiga, melembagakan praktik SDM profesional berbasis psikologi k
linis untuk mengatasi keluhan karyawan dapat membantu mengurangi efek negatif dari toxic
leadership.
Keempat, organisasi secara berkala melakukan tes MMPI (Minnesota Multiphasic Per
sonality Inventory) untuk menilai kepribadian dan psikopatologi pada senior leaders. Ini bert
ujuan untuk mengetahui kondisi kesehatan mental, sehingga ahli profesional bisa menentukan
ada atau tidaknya gangguan mental pada para pemimpin organisasi. Diharapkan dengan meng
identifikasi, mengoreksi dan mengelola toxic leadership, organisasi dapat meminimalisasi da
mpak buruk yang ditimbulkan agar keberlanjutan kinerja dapat tercapai dengan baik.

17
BAB 3
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
“Mengapa kepemimpinan itu dibutuhkan dalam organisasi?”. Perusahaan sebagai
organisasi bisnis merupakan sistem sosial yang berlapis-lapis.Struktur organisasi secara
umum menciptakan dua posisi yaitu posisi atasan (superior) dan posisi bawahan
(subordinates). Atasan dapat berupa team leader, supervisor, manager, general manager, atau
pun director. Sedangkan, bawahan dapat berupa anggota tim kerja yang memiliki keahlian
tertentu (staf fungsional) atau pun yang memiliki beragam keahlian (staf operasional).
“Apa yang dimaksud dengan kepemimpinan itu?” John Maxwell berpendapat bahwa
“Leadership is influence, nothing more nothing less.” (Maxwell, 2007). Kepemimpinan
bukanlah posisi. Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi. Bisa saja
seseorang atasan itu tidak mampu mengaruhi anggota tim kerjanya. Bisa juga seorang
bawahan yang tidak memiliki posisi struktural tetapi justru lebih didengarkan atau diikuti
oleh anggota tim kerja yang lain daripada atasannya yang memiliki posisi struktural. Jadi,
tanpa kemampuan memengaruhi seorang atasan hanyalah atasan belaka, bukanlah pemimpin.
“Bagaimana pengembangan kepemimpinan dilakukan dalam organisasi?” Untuk itu
penting bagi kita semua untuk terlebih dahulu memahami pengembangan kepemimpinan
dalam perspektif systemic thinking (Frank dkk., 2016), yaitu kepemimpinan sebagai suatu
sistem. Kepemimpinan sebagai suatu kapabilitas dapat dipandang sebagai entitas yang
setidaknya memiliki tiga elemen utama yaitu masukan (input), tahapan (process) dan
keluaran (output). Pengembangan kepemimpinan mempertimbangkan struktur
organisasisetiap atasan dihadapkan pada dua tantangan utama, yaitu tantangan mengelola
pekerjaan (task related) dan tantangan mengelola orang-orang yang mengerjakannya (people
related).Semakin tinggi posisi seorang atasan dalam struktur suatu organisasi maka akan
semakin luas cakupan mereka.
Leadership adalah faktor penting penentu keberlanjutan kinerja organisasi. Ada berag
am bentuk leadership. Toxic leadership adalah salah satunya. Namun sayangnya ia memiliki
dampak yang merugikan organisasi. Secara umum, leadership telah identik dengan makna ko
nstruktif yang ditandai dengan niat, metode, dan konsekuensi positif.

18
3.2 Saran
Mungkin inilah yang dapat diwacanakan pada penulisan makalah ini meskipun masih
jauh dari sempurna minimal penulis telah mengimplementasikan tulisan ini. Penulis sadar
masih banyak kesalahan dari makalah ini, untuk itu penulis juga membutuhkan saran dan
kritikan agar bisa menjadi motivasi untuk masa depan yang lebih baik daripada masa
sebelumnya. Penulis juga mengucapkan terimakasih atas dosen pembimbing mata kuliah
Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) Bapak Deni Widyo P,SE.,MM. Yang telah
memberi tugas demi memenuhi Evaluasi Tengah Semester yang dimana tujuannya adalah
demi kebaikan diri penulis dan pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

(Teguh, 2022). Toxic Leadership dan Dampaknya pada Organisasi. Diakses p


ada 10 November 2022 dari https://kumparan.com/mujas-teguh/toxic-leadership-dan-dampak
nya-pada-organisasi-1xN0K8XtpnB/full

(Suyatno, 2020). Manajemen Sumber Daya Manusia (Prisnsip Dasar dan Aplikasi). Dibaca pa
da 10 November 2022. dari Buku terbitan Diandra Kreatif/ Mirra Buana Media. Yogyakarta,
Diandra Kreatif 2020, cetakan pertama

(Edy Sutrisno, 2011) manajemen sumber daya manusia (Jakarta: Kencana, 2011), 222-223.
BAB II.pdf (iainkediri.ac.id)

20

Anda mungkin juga menyukai