Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN GERD (Gastroesophageal Reflux Disease)

OLEH :
PUTU KRISNA SIANTARINI
1102105004

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
UDAYANA 2012
A. KONSEP DASAR PENYAKIT
1. DEFINISI PENGERTIAN
- GERD (Gastroesofageal Reflux Disease) adalah suatu penyakit yang jarang
terdiagnosis oleh dokter di Indonesia karena bila belum menimbulkan keluhan
yang berat seperti refluks esofagitis dokter belum bisa mendiagnosa. Refluks
gastroesofagus adalah masuknya isi lambung ke dalam esofagus yang terjadi
secara intermiten pada orang, terutama setelah makan (Asroel, 2002).
- Penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux Disease/GERD)
didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks kandungan
lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang
mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra esofagus dan atau
komplikasi (Susanto, 2002)..
- Pada orang normal, refluks ini terjadi pada posisi tegak sewaktu habis makan.
Karena sikap posisi tegak tadi dibantu oleh adanya kontraksi peristaltik primer,
isi lambung yang mengalir masuk ke esofagus segera dikembalikan ke
lambung. Refluks sejenak ini tidak merusak mukosa esofagus dan tidak
menimbulkan keluhan atau gejala. Oleh karena itu,
dinamakan refluks fisiologis. Keadaan ini baru dikatakan patologis,
bila refluks terjadi berulang-ulang yang menyebabkan esofagus distal terkena
pengaruh isi lambung untuk waktu yang lama. Istilah esofagitis refluks berarti
kerusakan esofagus akibat refluks cairan lambung, seperti erosi dan ulserasi
epitel skuamosa esofagus (Susanto, 2002).
Jadi, GERD merupakan suatu keadaan patologis akibat maksuknya isi lambung ke
esofagus yang biasa terjadi setelah makan dan dapat terjadi pada posisi tegak oleh
adanya konstraksi peristaltik primer lambung.

2. EPIDEMIOLOGI/INSIDEN KASUS
GERD adalah penyakit organ esofagus yang banyak ditemukan di negara Barat.
Berbagai survei menunjukkan bahwa 20-40% populasi dewasa
menderita heartburn (rasa panas membakar di daerah retrosternal), suatu keluhan
klasik GERD. Di Indonesia, penyakit ini sepintas tidak banyak ditemukan. Hanya
sebagaian kecil pasien GERD datang berobat pada dokter karena pada umumnya
keluhannya ringan dan menghilang setelah diobati sendiri dengan antasida.
Dengan demikian hanya kasus yang berat dan disertai kelainan endoskopi dan
berbagai macam komplikasinya yang datang berobat ke dokter (Djajapranata,
2001).

Prevalensi PRG bervariasi tergantung letak geografis, tetapi angka tertinggi terjadi
di Negara Barat. Trend prevalensi GERD di Asia meningkat. Di Hongkong
meningkat dari 29,8% (2002) menjadi 35% (2003). Sedangkan berdasarkan data
salah satu rumah sakit di Indonesi, RSCM menunjukkan peningkatan signifikan
dari 6% menjadi 26% dalam kurun waktu 5 tahun. Asian Burning Desire Survey
(2006) membuktikan bahwa pemahaman tentang GERD pada populasi di
Indonesia adalah yang terendah di Asia Pasifik, hanya sekitar 1%, sedangkan di
Taiwan mencapai 81% dan Hongkong 66%.

Antara laki-laki dan perempuan tidak terdapat perbedaan insidensi yang begitu
jelas, kecuali jika dihubungkan dengan kehamilan dan kemungkinan non-erosive
reflux disease lebih terlihat pada wanita. Walaupun perbedaan jenis kelamin bukan
menjadi faktor utama dalam perkembangan PRG, namun Barrett’s
esophagus lebih sering terjadi pada laki-laki.

Gastroesophageal reflux disease (GERD) terdiri dari spektrum gangguan yang


terkait, termasuk hernia hiatus, reflux disease dengan gejala yang terkait, esofagitis
erosif, striktur peptikum, Barrett esofagus, dan adenokarsinoma esofagus. Selain
beberapa patofisiologi dan hubungan antara beberapa gangguan ini, GERD juga
ditandai dengan terjadinya komorbiditas pada pasien yang identik dan oleh
epidemiologi perilaku yang serupa diantara mereka.

3. ANATOMI FISIOLOGI
 Esofagus
Bagian saluran pencernaan ini merupakan tabung otot yang berfungsi
menyalurkan makanan dari mulut ke lambung. Esofagus diselaputi oleh epitel
berlapis gepeng tanpa tanduk. Pada lapisan submukosa terdapat kelompokan
kelenjar-kelenjar esofagea yang mensekresikan mukus. Pada bagian ujung
distal esofagus, lapisan otot hanya terdiri sel-sel otot polos, pada bagian tengah,
campuran sel-sel otot lurik dan polos, dan pada ujung proksimal, hanya sel-sel
otot lurik.
 Lambung
Lambung merupakan segmen saluran pencernaan yang melebar, yang fungsi
utamanya adalah menampung makanan yang telah dimakan, mengubahnya
menjadi bubur yang liat yang dinamakan kimus (chyme). Permukaan lambung
ditandai oleh adanya peninggian atau lipatan yang dinamakan rugae. Invaginasi
epitel pembatas lipatan-lipatan tersebut menembus lamina propria, membentuk
alur mikroskopik yang dinamakan gastric pits atau foveolae gastricae.
Sejumlah kelenjar-kelenjar kecil, yang terletak di dalam lamina propria,
bermuara ke dalam dasar gastric pits ini. Epitel pembatas ketiga bagian ini
terdiri dari sel-sel toraks yang mensekresi mukus. Lambung secara struktur
histologis dapat dibedakan menjadi: kardia, korpus, fundus, dan pylorus.

4. PENYEBAB/FAKTOR PREDISPOSISI
Beberapa penyebab terjadinya GERD meliputi:
 Menurunnya tonus LES (Lower Esophageal Sphincter)
 Bersihan asam dari lumen esofagus menurun
 Ketahanan epitel esofagus menurun
 Bahan refluksat mengenai dinding esofagus yaitu Ph <2, adanya pepsin, garam
empedu, HCL
 Kelainan pada lambung
 Infeksi H. Pylori dengan corpus predominan gastritis
 Non acid refluks (refluks gas) menyebabkan hipersensitivitas
 Alergi makanan atau tidak bisa menerima makanan juga membuat refluks
 Mengkonsumsi makanan berasam, coklat, minuman berkafein dan berkarbonat,
alkohol, merokok, dan obat-obatan yang bertentangan dengan fungsi
esophageal sphincter bagian bawah termasuk yang memiliki efek antikolinergik
(seperti beberapa antihistamin), penghambat saluran kalsium, progesteron, dan
nitrat
 Kelaianan anatomi, seperti penyempitan kerongkongan
(Yusuf, 2009)
5. PATOFISIOLOGI
Kondisi penyakit refluks gastroesofagus atau GERD (gastroesophageal reflux
disease) disebabkan aliran balik (refluks) isi lambung ke dalam esophagus. GERD
sering kali disebut nyeri ulu hati (heartburn) karena nyeri yang terjadi ketika cairan
asam yang normalnya hanya ada di lambung, masuk dan mengiritasi atau
menimbulkan rasa seperti terbakar di esophagus.

Refluks gastroesofagus biasanya terjadi setelah makan dan disebabkan


melemahnya tonus sfingter esophagus atau tekanan di dalam lambung yang lebih
tinggi dari esophagus. Dengan kedua mekanisme ini, isi lambung yang bersifat
asam bergerak masuk ke dalam esophagus.

Isi lambung dalam keadaan normal tidak dapat masuk ke esofagus karena adanya
kontraksi sfingter esofagus (sfingter esofagus bukanlah sfingter sejati, tetapi suatu
area yang tonus ototnya meningkat). Sfingter ini normalnya hanya terbuka jika
gelombang peristaltik menyalurkan bolus makanan ke bawah esofagus. Apabila
hal ini terjadi, otot polos sfingter melemas dan makanan masuk ke dalam lambung.
Sfingter esofagus seharusnya tetap dalam keadaan tertutup kecuali pada saat ini,
karena banyak organ yang berada dalam rongga abdomen, menyebabkan tekanan
abdomen lebih besar daripada tekanan toraks. Dengan demikian, ada
kecenderungan isi lambung terdorong ke dalam esofagus. Akan tetapi, jika sfingter
melemah atau inkompeten, sfingter tidak dapat mnutup lambung. Refluks akan
terjadi dari daerah bertekanan tinggi (lambung) ke daerah bertekanan rendah
(esofagus). Episode refluks yang berulang dapat memperburuk kondisi karena
menyebabkan inflamasi dan jaringan parut di area bawah esofagus.

Pada beberapa keadaan, meskipun tonus sfingter dala keadaan normal, refluks
dapat terjadi jika terdapat gradien tekanan yang sangat tinggi di sfingter. Sebagai
contoh, jika isi lambung berlebihan tekanan abdomen dapat meningkat secara
bermakana. Kondisi ini dapat disebabkan porsi makan yang besar, kehamilan atau
obesitas. Tekanan abdomen yang tinggi cenderung mendorong sfingter esofagus
ke rongga toraks. Hal ini memperbesar gradien tekanan antara esofagus dan
rongga abdomen. Posisi berbaring, terutama setelah makan juga dapat
mengakibatkan refluks. Refluks isi lambung mengiritasi esofagus karena tingginya
kandungan asam dalam isi lambung. Walaupun esofagus memiliki sel penghasil
mukus, namun sel-sel tersebut tidak sebanyak atau seaktif sel yang ada di lambung
(Corwin, 2009: 600).
PATHWAY TERLAMPIR

6. KLASIFIKASI
Kalsifikasi Los Angeles
Derajat Gambaran endoskopi
kerusakan
A Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5 mm tanpa
saling berhubungan
C Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenai/mengelilingi seluruh
lumen
D Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi
seluruh lumen esophagus)

Menurut The Genval Workshop Report: 1999, terdapat dua kelompok GERD.
Yang pertama adalah GERD erosif (esofagitis erosif ), didefinisikan sebagai
GERD dengan gejala refluks dan kerusakan mukosa esofagus distal akibat refluks
gastroesofageal. Pemeriksaan baku emas untuk diagnosis GERD erosif adalah
endoskopi saluran cerna atas. Yang kedua adalah penyakit refluks nonerosif (non-
erosive reflux disease, NERD), yang juga disebut endoscopic-negative GERD,
didefinisikan sebagai GERD dengan gejalagejala refluks tipikal tanpa kerusakan
mukosa esofagus saat pemeriksaan endoskopi saluran cerna.

7. GEJALA KLINIS
 Rasa panas/ tebakar pada esofagus (pirosis)
 Muntah
 Nyeri di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, bahkan menjalar ke
leher, tenggorokan, dan wajah, biasanya timbul setelah makan atau ketika
berbaring
 Kesulitan menelan makanan (osinofagia) karena adanya penyempitan (stricture)
pada kerongkongan dari reflux.
 Tukak esofageal peptik yaitu luka terbuka pada lapisan kerongkongan, bisa
dihasilkan dari refluks berulang. Bisa menyebabkan nyeri yang biasanya
berlokasi di belakang tulang payudara atau persis di bawahnya, mirip dengan
lokasi panas dalam perut.
 Nafas yang pendek dan berbunyi mengik karena ada penyempitan pada saluran
udara
 Suara parau
 Ludah berlebihan (water brash)
 Rasa bengkak pada tenggorokan (rasa globus)
 Terjadi peradangan pada sinus (sinusitis)
 Gejala lain : pertumbuhan yang buruk, kejang, nyeri telinga (pada anak)
 Peradangan pada kerongkongan (esophagitis) bisa menyebabkan pendarahan
yang biasanya ringan tetapi bisa jadi besar. Darah kemungkinan dimuntahkan
atau keluar melalui saluran pencernaan, menghasilkan kotoran berwarna gelap,
kotoran berwarna ter (melena) atau darah merah terang, jika pendarahan cukup
berat.
 Dengan iritasi lama pada bagian bawah kerongkongan dari refluks berulang,
lapisan sel pada kerongkongan bisa berubah (menghasilkan sebuah kondisi
yang disebut kerongkongan Barrett). Perubahan bisa terjadi bahkan pada gejala-
gejala yang tidak ada. Kelainan sel ini adalah sebelum kanker dan berkembang
menjadi kanker pada beberapa orang.

Tabel 1. Tanda dan Gejala PRGE pada Bayi dan Anak


Bayi Anak dan Remaja
Tidak mau makan/minum/menetek Nyeri perut
Muntah berulang Rasa terbakar di dada/ulu hati
(heartburn)
Gagal tumbuh (failure to thrive) Muntah berulang
Rewel terus-menerus Kesulitan menelan (disfagia)
Tersedak/apnea (henti napas sesaat) Batuk kronik/mengi
berulang
Posisi opistotonus Suara serak

8. PEMERIKSAAN FISIK
Inspeksi :
a) Klien tampak muntah
b) Klien tampak lemah
c) Klien tampak batuk-batuk
d) Klien tampak memegang daerah yang nyeri
Auskultasi :
a) Suara terdengar serak
b) Bising usus <12 detik per menit
c) Suara jantung S1/S2 reguler

9. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK/PENUNJANG
 Endoskopi
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis
refluks). Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut non-
erosive reflux disease (NERD).

 Esofagografi dengan barium


Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali
tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan. Pada keadaan
yang lebih berat, gambar radiology dapat berupa penebalan dinding dan lipatan
mukosa, ulkus, atau penyempitan lumen.

 Monitoring pH 24 jam
Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.
Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH
pada bagian distal esophagus. Pengukuran pH pada esophagus bagian distal dapat
memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal. pH dibawah 4 pada jarak 5 cm
di atas LES dianggap diagnostik untuk refluks gastroesofageal.

 Tes Perfusi Berstein


Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan
melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang
dari 1 jam. Tes ini bersifat pelengkap terhadap monitoring pH 24 jam pada pasien-
pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri
dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dianggap positif. Test Bernstein yang
negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.

 Manometri esofagus : mengukuran tekanan pada katup kerongkongan bawah


menunjukan kekuatannya dan dapat membedakan katup yang normal dari katup
yang berfungsi buruk kekuatan sphincter

10. DIAGNOSIS / KRITERIA DIAGNOSIS


 Gejala-gejala menunjukkan pada diagnosis, dan pengobatan bisa dimulai tanpa
tes diagnosa yang rinci. Tes khusus biasanya disiapkan untuk situasi dimana
diagnosa tersebut tidak jelas atau pengobatan tidak memiliki gejala-gejala
terkontrol. Penelitian pada kerongkongan menggunakan endoskop (pipa pelihat
elastis), penelitian sinar X, alat-alat penekan (manometry) pada esophageal
sphincter bagian bawah, dan tes pH kerongkongan (keasaman) kadangkala
diperlukan untuk membantu memastikan diagnosa dan untuk memeriksa
komplikasi.
 Endoskopi bisa memastikan diagnosa tersebut jika dokter menemukan bahwa
orang tersebut mengalami esophagitis atau kerongkongan barrett. Endoskopi
juga membantu mengeluarkan kanker esophageal. Sinar-X digunakan setelah
minum carian barium (sebuah bahan yang menguraikan secara singkat saluran
pencernaan) dan kemudian berbaring pada mencondongkan kepala lebih rendah
dari kaki bisa menunjukkan reflux pada barium dari perut menuju
kerongkongan. Seorang dokter bisa menekan perut untuk meningkatkan
kemungkinan reflux. Sinar X digunakan setelah barium ditelan juga bisa
menampakkan borok esophageal atau penyempitan kerongkongan.

 Alat-alat penekan pada esophageal sphincter bagian bawah mengindikasi


kekuatan sphincter dan bisa membedakan sphincter normal dari yang fungsinya
buruk. Informasi yag diperoleh dari tes ini membantu dokter memutuskan
apakah operasi adalah pengobatan yang sesuai.

 Beberapa dokter meyakini bahwa tes terbaik untuk gastroesophageal reflux


adalah tes pH esophageal. Pada tes ini, pipa tipis, elastis dengan sensor
pemeriksa pada ujung dipasang melalui hidung dan menuju kerongkongan
bagian bawah. Ujung lainnya pada pipa ini ditempelkan pada sebuah monitor
yang dipakai orang tersebut pada sabuknya, monitor tersebut merekam kadar
asam pada kerongkongan, biasanya untuk 24 jam.

 Disamping memastikan seberapa banyak reflux terjadi, tes ini mengidentifikasi


hubungan antara gejala-gejala dan reflux dan terutama sekali sangat membantu
untuk orang yang mengalami gejala-gejala yang tidak umum pada reflux. Tes
pH kerongkongan diperlukan untuk semua orang yang dipertimbangkan untuk
operasi untuk memperbaiki gadtroesophageal reflux. Sebuah alat baru
(menggunakan sebuah pH elektroda kecil yang ditanamkan yang mengirimkan
sebuah sinyal) tersedia untuk orang yang tidak dapat menggunakan pipa di
hidung mereka.

11. THERAPY/TINDAKAN PENANGANAN


Pada prinsipnya, penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi
endoskopik. Target penatalaksanaan GERD adalah menyembuhkan lesi
esophagus, menghilangkan gejala/keluhan, mencegah kekambuhan, memperbaiki
kualitas hidup, dan mencegah timbulnya komplikasi.
 Modifikasi gaya hidup
Modifikasi gaya hidup merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan
GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer. Walaupun belum ada
studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha
ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.

Hal-hal yang perlu dilakukan dalam modifikasi gaya hidup adalah meninggikan
posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan
tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks
asam dari lambung ke esophagus, berhenti merokok dan mengkonsumsi alkohol
karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung
mempengaruhi sel-sel epitel, mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi
jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi
lambung, menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari
pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intraabdomen, menghindari
makanan/minuman seperti coklat, teh, peppermint, kopi dan minuman bersoda
karena dapat menstimulasi sekresi asam, jikan memungkinkan menghindari
obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti antikolinergik, teofilin,
diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonis beta adrenergic, progesterone.

 Terapi medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada
penatalaksanaan GERD ini. Dimulai dengan dasar pola pikir bahwa sampai saat
ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran
cerna bagian atas. Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti
bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat
prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.

Terdapat dua alur pendekatan terapi medikamentosa, yaitu step up dan step
down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obat yang
tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2)
atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan obat golongan penekan sekresi
asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa
proton/PPI). Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai
dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan
dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau
prokinetik atau bahkan antacid.

Dari berbagai studi, dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata
lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan oleh pasien) dibandingkan
dengan pendekatan terapi step up. Menurut Genval Statement (1999) serta
Konsensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati
bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down. Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan
hasil tingkat kesembuhan diatas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk
selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy)
atau bahkan terapi “bila perlu” (on-demand therapy) yaitu pemberian obat-
obatan selama beberapa hari sampai dua minggu jika ada kekambuhan sampai
gejala hilang.

Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menandakan


adanya respons perbaikan lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini
tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala
pada tatalaksana GERD. Berikut adalah obat-obatan yang dapat digunakan
dalam terapi medikamentosa GERD:
- Antasid. Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan
gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esofagitis. Selain sebagai
buffer terhadap HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus
bagian bawah. Kelemahan obat golongan ini adalah rasanya kurang
menyenangkan, dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung
magnesium serta konstipasi terutama antasid yang mengandung aluminium,
penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
- Antagonis reseptor H2. Yang termasuk dalam golongan obat ini adalah
simetidin, ranitidine, famotidin, dan nizatidin. Sebagai penekan sekresi
asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks
gastroesofageal jika diberikan dosis 2 kali lebih tinggi dan dosis untuk terapi
ulkus. Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esofagitis derajat
ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
- Obat-obatan prokinetik. Secara teoritis, obat ini paling sesuai untuk
pengobatan GERD karena penyakit ini lebih condong kearah gangguan
motilitas. Namun, pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung
pada penekanan sekresi asam.
- Metoklopramid. Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine.
Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam
penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis
reseptor H2 atau penghambat pompa proton. Karena melalui sawar darah
otak, maka dapat timbul efek terhadap susunan saraf pusat berupa
mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diskinesia.
- Domperidon. Golongan obat ini adalah antagonis reseptor dopamine dengan
efek samping yang lebih jarang disbanding metoklopramid karena tidak
melalui sawar darah otak. Walaupun efektivitasnya dalam mengurangi
keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan,
golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung.
- Cisapride. Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat
mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tekanan tonus LES.
Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi
esophagus lebih baik dibandingkan dengan domperidon.
- Sukralfat (Aluminium hidroksida + sukrosa oktasulfat). Berbeda dengan
antasid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung. Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di eesofagus
serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup
aman diberikan karena bekerja secara topikal (sitoproteksi).
- Penghambat pompa proton (Proton Pump Inhhibitor/PPI). Golongan obat ini
merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD. Golongan obat-obatan
ini bekerja langsung pada pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi
enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan
asam lambung.
Obat-obatan ini sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta
penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esofagitis erosive derajat berat
serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2. Umumnya
pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan (maintenance therapy) selama 4
bulan atau on-demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
 Pembedahan dapat mengurangi peradangan berat, perdarahan, penyempitan,
tukak atau gejala yang tidak menunjukkan perbaikan dengan pengobatan
apapun. Namun tindakan pembedahan jarang dilakukan.
 Terapi endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta msih dalam konteks penelitian,
akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada GERD yaitu:
1. Penggunaan energi radiofrekuensi
2. Plikasi gastric endoluminal
3. Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implan di bawah
mukosa esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal
menjadi lebih kecil.
 Pada anak :
- Bayi dengan refluks harus diberi makan pada posisi tegak atau setengah
tegak dan kemudian dijaga pada posisi tegak untuk 30 menit setelah makan
- Untuk anak yang lebih tua, kepala pada tempat tidur bisa diangkat 6 inci
(kira-kira 15 ¼ cm) untuk membantu mengurangi refluks di waktu malam,
menghindari makan 2 sampai 3 jam sebelum waktu tidur, minum minuman
berkarbonat atau apa yang mengandung kafein, menjauhi asap tembakau.
- Pada bayi dengan ASI Eksklusif, jangan mengganti/menambahkan ASI
dengan susu formula, dan pada bayi dengan konsumsi susu formula, tidak
perlu mengganti ke jenis susu formula khusus.
Tabel 2. Pengaturan Kebiasaan/Perilaku pada Bayi/Anak dengan PRGE
Bayi Anak dan Remaja
Makanan/minuman dibuat Mengurangi berat badan
lebih kental jika overweight
Makan/minum sedikit tapi Modifikasi diet/pola
sering makan
Posisi tegak setelah Menghindari merokok
makan/minum
Menghindari paparan asap
rokok
Tabel diambil dari Medscape
- Baik antagonis reseptor histamin (H2) dan penghambat pompa proton
(proton pump inhibitors) dapat mengurangi gejala dan memulihkan mukosa
(selaput lendir) saluran cerna.
Tabel 3. Dosis Obat pada PRGE dengan Indikasi
Obat Dosis Frekuensi
Antagonis H2
Cimetidine 40 mg/kg/hari 3 – 4 x/hari
Famotidine 1 mg/kg/hari 2 x/hari
Ranitidine 5-10 mg/kg/hari 2 – 3 x/hari
Penghambat Pompa Proton (PPI)
Lansoprazo 0.4-2.8 Sekali
le mg/kg/hari sehari
Omeprazole 0.7-3.3 Sekali
mg/kg/hari sehari
Tabel diambil dari Medscape

12. KOMPLIKASI
 Batuk dan asma
 Erosif esophagus
 Esofagus Barret, yaitu perubahan epitel skuamosa menjadi kolumner
metaplastik
 Esofagitis ulseratif
 Perdarahan saluran cerna akibat iritasi
 Striktur esophagus / Peradangan esophagus
 Aspirasi
 Tukak kerongkongan

13. PROGNOSIS
Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut
atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa (jarang menyebabkan kematian).
Prognosis dari penyakit ini baik jika derajat kerusakan esofagus masih rendah dan
pengobatan yang diberikan benar pilihan dan pemakaiannya. Pada kasus-kasus
dengan esofagitis grade D dapat masuk tahap displasia sel sehingga menjadi
Barret’s Esofagus dan pada akhirnya Ca Esofagus.

B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
a. Data subjektif
Data yang mungkin muncul
- Klien mengatakan “mengalami mual muntah”
- Klien mengatakan “tidak nafsu makan”
- Klien mengatakan “susah menelan”
- Klien mengatakan “ada rasa pahit di lidah”
- Klien mengatakan “nyeri pada perut”

b. Data Objektif
Data yang mungkin muncul.
- Klien tampak tidak memakan makanan yang disediakan
- Klien tampak meringis kesakitan
- Klien tampak memegang bagian yang nyeri
- Tekanan darah klien meningkat
- Klien tampak gelisah

2. Diagnosa Keperawatan yang Mungkin Muncul


 Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera ditandai dengan melaporkan nyeri
secara verbal
 Risiko aspirasi berhubungan dengan
1. Risiko aspirasi berhubungan dengan hambatan menelan, penurunan refleks laring
dan glotis terhadap cairan refluks.
2. Gangguan Menelan berhubungan dengan penyempitan/strikture pada esophagus
akibat gastroesophegal reflux disease ditandai dengan klien tampak susah untuk
menelan.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan penumpukkan sekret dan
batuk tak efektif ditandai dengan adanya batuk takefektif, ketidakmampuan untuk
mengeluarkan sekresi jalan nafas, adanya mengi, frekuenssi, irama dan kedalaman
napas abnormal.
4. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan perubahan fungsi persarafan yang
melayani pernapasan akibat gastrointestinal refluks disease ditandai dengan sesak
nafas, pernapasan disritmik, frekuensi nadi meningkat.
5. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual muntah ditandai dengan penurunan nafsu makan, asupan makanan
tidak adekuat kurang dari yang dianjurkan, penurunan BB 10% dari berat badan ideal
untuk tinggi dan kerangka tubuh.
Hambatan komunikasi verbal berhubungan dengan hambatan kemampuan untuk menghasilkan
suara sekunder akibat edema laring ditandai dengan suara klien serak, suara klien tidak terdengar
jelas.
3. Rencana Asuhan Keperawatan
A. Intervensi

Diagnosa Tujuan Intervensi Rasional


Kelebihan Setelah NIC Label:
volume dilakukan Fluid Management
cairan tindakan …x24 1. Memasangkan kateter urin 1. Untuk mengetahui
berhubungan jam, diharapkan jumlah cairan yang
dengan bengkak pada berhasil keluar dari
kelebihan anggota gerak tubuh pasien
asupan tubuh pasien 2. Memonitor TTV pasien 2. Agar perawat dapat
cairan dapat berkurang memantau kondisi
dengan kriteria tubuh pasien saat ini
hasil : 3. Memberikan terapi intravena 3. Agar terapi IV tidak
NOC Label: sesuai dosis memperparah edema
Fluid Balance yang dialami oleh
1. Keseimbangan pasien
intake dan 4. Memberikan obat diuretik jika 4. Untuk mengeluarkan
output dalam diresepkan cairan yang berlebih
24 jam stabil dari tubuh pasien
(skala 4) 5. Menyarankan untuk 5. Agar sel tidak secara
2. TD pasien memberikan cairan peroral langsung terpapar
normal: cairan yang banyak bila
120/80 mmHg diberikan secara oral
(skala 4) Fluid Monitoring
3. Berat badan 6. Menentukan riwayat, jumlah dan 6. Agar intake cairan
pasien stabil jenis asupan cairan dan kebiasaan pasien sesuai dengan
(skala 3) eliminasi pasien kebutuhan tubuhnya
4. Turgor kulit dan intake dan output
normal: < 2 pasien seimbang
detik (skala 4)
5. Membran 7. Memantau membran mukosa, 7. Untuk mengetahui

mukosa pasien turgor kulit, dan haus pasien status hidrasi pasien

tidak kering
8. Untuk mengetahui
(skala 4) 8. Memantau asupan dan keluaran
intake dan ouput cairan
6. Elektrolit cairan pasien
pasien
serum pasien
normal (skala 9. Monitor serum dan nilai elektrolit
9. Untuk memantau
4) urin, sesuai
serum dan nilai
elektrolit pasien agar
tetap stabil.
4. Evaluasi
S : Pasien mengatakan ”bengkak pada kedua tangan dan kakinya berkurang”
O : Tidak ada edema, BB stabil, TD : 120/80 mmHg, Nadi : 80 x/menit. Suhu :
36oC
A : Kelebihan volume cairan berhubungan dengan kelebihan asupan cairan
P : Lanjutkan intervensi

DAFTAR PUSTAKA

Chello Elvy. 2011. http://id.scribd.com/doc/55414259/Pengertian-Dehidrasi. (diakses tgl


15 Desember 2012)
Dochterman, Joanne Mccloskey. 2000. Nursing Intervention Classification. America:
Mosby
Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan edisi 4 volume 2. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Prima, Ardian. 2011. http://id.scribd.com/doc/100213354/CAIRAN-ELEKTROLIT. (diakses
tgl 13 Desember 2012).
Ronny, dr., M.Kes, AIFO, Setiawan, Dr.med, dr., AIFM & Sari Fatimah, Ners, S.Kep.,
M.Kes. 2010. Fisiologi Kardiovaskular Berbasis masalah keperawatan. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran : EGC
Smith, Kelly. 2010. Nanda Diagnosa Keperawatan. Yogyakarta: Digna Pustaka.
Swanson, Elizabeth. 2004. Nursing Outcome Classification. America : Mosby
Sylvia A.Price & Lorraine M.Wilson. 2002. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit Edisi 6 Volume 1. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Tarwoto & Wartonah 2003. Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatan. Jakarta :
Salemba medika

PATHWAY BPH

Ketidakseimbangan
testosteron Faktor usia (usia lanjut)

Hiperplasia periuteral

Anda mungkin juga menyukai