Anda di halaman 1dari 7

Demokrasi memang tak menemui lawan.

Sistem ini sudah mendominasi hampir


seluruh sistem pemerintahan negara-negara di dunia karena dianggap paling tepat.
Namun fakta juga menunjukkan tak ada sistem demokrasi yang ideal.

Buktinya, setiap negara berbeda dalam praktik demokrasi dan pemilu. Bahkan, tak
ada ukuran pasti apakah sebuah pemilu sudah bisa dikatakan berjalan demokratis
atau belum.
 
Memasuki pesta demokrasi 2014, kami mencoba memaparkan berbagai perbedaan
dalam penerapan sistem demokrasi dan pemilu di berbagai negara, namun tidak
membahas pada keseluruhan sistem. Kami lebih menitikberatkan pada hal-hal
sederhana namun mendasar, seperti usia pemilih, cara memilih, dan tentu saja
memilih itu hak atau kewajiban?

Perbedaan dan keragaman praktik demokrasi dan sistem pemilu membuktikan


bahwa tidak ada sistem demokrasi yang ideal saat ini. Berdasarkan hasil kajian tim
peneliti dari Lembaga Ilmu Penelitian Indonesia (LIPI) terhadap 9 negara di berbagai
kawasan yang sama-sama menerapkan multipartai, rasionalitas pilihan sistem
pemilu ternyata sangat ditentukan oleh konteks setiap  negara.

Perbedaan  interpretasi demokrasi dan sistem politik antarnegara, sistem pemilu,


dan
kepartaian, menurut LIPI, sangat ditentukan oleh interpretasi atas prinsip demokrasi.
Dan berdasarkan pengalaman ke-9 negara yang diteliti itu, banyak kendala dalam
melaksanakan pemilu yang demokratis.

Boleh Memilih Usia Berapa?


Salah satu hal paling mendasar dalam
sebuah pemilu adalah batasan usia pemilih
(voting age), di mana yang menjadi patokan
adalah harus sudah memasuki  usia
dewasa.

Nah, kriteria “dewasa” ini pun berbeda-beda


di setiap negara, yakni dari usia 16, 17, 18,
19, 20, 21, 25 tahun, dan usia berapa pun asal sudah menikah.

Batasan usia pemilih yang paling banyak dianut saat ini adalah 18 tahun. Misalnya,
di Australia, Amerika Serikat (AS), Jerman, Inggris, Bolivia, Perancis, China, dan
sebagian besar negara lainnya. Sementara di Austria, Brazil, Malta, Kuba, dan
Nikaragua, penduduk yang berusia 16 tahun dianggap sudah dewasa dan bisa
mendaftarkan diri sebagai pemilih.

Di Inggris dan Amerika Serikat pun, sejak lama berbagai kalangan sudah berjuang
untuk menurunkan usia pemilih namun belum berhasil sepenuhnya. Di AS,
misalnya, baru 19 negara bagian yang membolehkan usia 17 tahun untuk memilih.
Tahun lalu, kota Takoma Park, Maryland, menjadi yang pertama menurunkan usia
pemilih menjadi 16 tahun, meskipun untuk pemilu tingkat kota. Begitu juga di
Jerman, khusus untuk negara bagian Bremen, usia pemilih 16 tahun. Bahkan salah
satu partai mengusulkan usia 14 tahun untuk pemilu kota.

Negara yang masih memberlakukan batasan usia 21 tahun untuk memilih, antara
lain, Kamerun, Kuwait, Malaysia, Libanon, Oman, Samoa, Singapura, dan
Kepulauan Solomon. Sementara di Iran sebelum tahun 2007, batasan usia pemilih
masih 15 tahun sebelum menjadi 18 tahun. Dua tahuyn kemudian (2009) kembali
diturunkan menjadi 15 tahun tapi naik lagi menjadi 18 tahunn pada 2011.

Sisanya, beberapa negara memilih batasan usia berbeda menurut pertimbangan


masing-masing, seperti, Ethiopia, Timor Leste, Sudan, dan 19 negara bagian AS
(17), Korea Selatan (19), Bahrain, Jepang, dan Nauru (20 tahun).  Yang cukup unik
adalah Italia, yang  menetapkan batasan usia 18 tahun, namun khusus untuk
memilih anggota senat harus berusia 25 tahun ke atas.

Batasan usia pemilih pun tidak sepenuhnya ketat, karena ada beberapa
perkecualian. Indonesia misalnya, batasan usia pemilih 17 tahun atau sudah
menikah (berapa pun usianya). Begitu juga di Republik Dominika, batasan usia
pemilih 18 tahun atau sudah menikah, tak peduli usia berapa. Di Korea Utara mirip
dengan Indonesia di mana usia 17 tahun atau sudah menikah sudah memiliki hak
pilih. Bedanya, di Korea Utara anggota militer boleh, bahkan harus pilih.

Yang tak kalah uniknya di Uni Emirat Arab


(UEA) yang berbentuk negara persatuan dari
7 penguasa (emirat). Di negeri ini batasan
usia tidak sama karena masing-masing emirat
menetapkan sendiri batasan usia minimal
pemilih dan juga proporsinya untuk memilih
Federal National Council (FNC).
Sesungguhnya, hanya 12 persen rakyat UEA
yang diberi hak memilih dan alasan siapa yang berhak memilih tidak dipublikasikan.

Kenapa tak Boleh Memilih?


Meskipun prinsip dasar demokrasi memberikan kebebasan kepada setiap warga
negara untuk bersuara dan menentukan pilihan, praktik demokrasi dan sistem
pemilu di berbagai negara tidak sepenuhnya demikian, bahkan sebagian bertolak
belakang dengan prinsip demokrasi.

Di beberapa negara, anggota militer dan polisi tak memiliki hak pilih. Negara-negara
yang menerapkan aturan ini, antara lain, Indonesia dan Republik Dominika. Di
Guatemala, anggota militer aktif  bahkan dilarang keluar barak pada hari pemilihan.
Anggota militer dan polisi juga tak punya hak pilih di Kuwait dan Oman. Begitu juga
pernah diberlakukan di Peru sebelum 2005.

Negara-negara lain yang pernah mengatur masalah serupa, antara lain, Angola,
Argentina, Brazil, Chad, Kolombia, Ekuador, Honduras, Paraguay, Senegal, Tunisia,
Turki, Uruguay, dan Perancis sebelum 1945.

Yang juga nyata bertentangan dengan prinsip


demokrasi adalah tak adanya hak pilih bagi para
wanita. Pembatasan hak pilih berdasarkan gender ini
diberlakukan hanya di Saudi Arabia dan Vatikan. 

Sebelum 2008, Bhutan juga melarang wanita ikut


pemilu. Sebelumnya, sistem pemilu di negeri
memberlakukan suara keluarga, artinya hak suara hanya diberikan kepada kepala
keluarga (pria) mewakili anggota keluarganya (1 suara).

Pada 2015 nanti, ada secercah harapan bagi wanita Saudi Arabia, karena wanita
sudah boleh memilih meskipun masih dibatasi pada tingkat pemilu kota. Sementara
pemilihan Paus di Vatikan dilakukan oleh kardinal yang memang hanya pria.

Di luar usia, gender, dan profesi, sesungguhnya masih banyak batasan bagi
seseorang untuk memilih. Sejarah menunjukkan bahwa bahkan negara yang
mengklaim dirinya kampiun demokrasi seperti AS (wilayah barat), Inggris, dan
Swedia, pernah melarang wanita ikut pemilu pada 1860-an.  Di Republik Maladewa
sebelum 2011, bahkan hanya penduduk muslim yang berhak memilih.

Dewasa ini, persyaratan seseorang warga negara untuk ikut memilih (atau dipilih)
masih tergolong ketat dan berbeda-beda di berbagai negara. Umumnya, mereka
yang menjalani atau pernah menjalani hukuman akan kehilangan hak pilih atau
dipilih.

Di beberapa negara bagian AS, napi dan mantan napi kelas berat tak punya hak
pilih. Di Kanada sebelum 2002, hanya napi dan mantan napi yang menjalani
hukuman di bawah 2 tahun yang boleh ikut memilih. Namun sejak 2004 semua napi
dan mantan napi sudah boleh memilih.

Ada pula syarat ketat berupa tempat kelahiran. Di Nikaragua, Peru, dan Filipina,
misalnya, hanya warga negara asli, dalam pengertian lahir di negara mereka, yang
boleh dipilih sebagai wakil rakyat. Sementara warga negara naturalisasi hanya
berhak memilih.

Hak atau kewajiban?


Prinsip demokrasi adalah kebebasan, Namun negara-negara di dunia belum satu
sikap soal penerapan asas itu dalam sistem pemilu. Sebagian besar negara yang
mempraktikkan demokrasi menetapkan bahwa memilih dalam pemilu bersifat
sukarela (voluntary voting), sementara hingga Agustus 2013, tercatat ada masih ada
22 negara di dunia yang menetapkan bahwa memilih adalah kewajiban.

Memilih sebagai kewajiban disebut juga dengan compulsory voting atau compulsory
suffrage. Dalam sistem ini, mereka yang tidak menggunakan suaranya bisa didenda
atau dikenakan kerja sosial. Negara bagian Georgia di AS pernah memberlakukan
compulsory voting pada 1777. Austria, Belanda, Spanyol, Venezuela, dan Chile juga
pernah menerapkan ini.

Dari 22 negara yang memberlakukan pemilu sebagai kewajiban, hanya 10 negara


yang menerapkannya secara tegas. Yang menarik, dari 30 negara anggota
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), yang menerima
prinsip demokrasi perwakilan dan ekonomi pasar bebas, 10 negara di antaranya
sudah menetapkan bahwa memilih adalah kewajiban, diatur dalam UU, dan
menerapkannya secara tegas.

Negara-negara yang menetapkan kewajiban memilih dalam UU, juga berbeda-beda


dalam pengaturannya. Di Argentina, misalnya, mewajibkan warga negara yang
berusia antara 18 hingga 70 tahun. Mereka yang berusia 70 tahun ke atas dan usia
antara 16-18 tahun boleh tidak memilih.
Batasan usia 18-70 tahun sebagai wajib pilih, juga diatur dalam UU di Brazil dan
Peru. Seperti di Argentina, warga Brasil yang menolak memilih diberi kesempatan
untuk mengajukan keberatan. Berbeda dengan Australia yang tidak boleh ada
alasan. Pada pemilu lokal di Tasmania, Australia, 2010, ada 6000 warga yang
didenda sebesar 26 dolar karena tak ikut memilih.

Di Singapura, UU mewajibkan warga yang


berusia 21 tahun di atas pada tanggal 1
Januari di tahun pemilu, untuk memilih.
Sementara di Ekuador, batasan usia wajib
pemilu adalah 18-65 tahun, sementara
mereka yang berusia 16-18, dan mereka
yang buta huruf, bebas untuk tidak ikut
pemilu.

Negara lain yang mengatur kewajiban memilih dalam UU, masing-masing, Republik
Demokratik Kongo, Luxembourg, Nauru, Peru, dan Uruguay.

Korea Utara bisa dibilang menerapkan compulsory voting, karena mewajibkan


seluruh penduduk untuk memilih. Namun negara ini tak bisa dikatakan menerapkan
sistem demokrasi karena hanya ada satu partai, dan pemilunya hanya menawarkan
satu calon (baca boks).

Sementara itu, ada 12 negara lain yang mewajibkan ikut pemilu dalam UU namun
tidak tegas dalam penerapannya. Belgia, misalnya, mewajibkan warga berusia 18
tahun ke atas untuk ikut pemilu, bahkan ada sanksi hukum, namun faktanya belum
pernah ada hukuman yang diberlakukan sejak 2003.

Negara lainnya adalah Bolivia, Kostarika, Yunani, Honduras, Libya, Panama,


Paraguay, Thailand, Republik Dominika, Mesir, dan Libanon. Khusus negara yang
terakhir, kewajiban memilih hanya berlaku untuk pria.
   
Meskipun UU di ke-22 negara itu mewajibkan ikut memilih, tetap ada fleksibilitas
bagi mereka yang memiliki alasan kuat untuk tidak ikut pemilu. Di Argentina dan
Brazil, misalnya, menyertakan surat dokter karena sakit, atau surat keterangan dari
kantor polisi jika berada 500 km dari TPS, akan bebas dari kewajiban. Sementara di
Belgia, memilih bisa diwakilkan ke orang lain dengan menyertakan surat kuasa dan
membawa kartu identitas pemilih yang diwakili.
Soal denda bagi yang tak bisa menunjukkan alasan kuat tidak ikut pemilu, Brasil
dan Bolivia termasuk ketat dalam aturan namun berbeda dalam penegakan hukum.
Brasil ketat dalam memberikan sanksi, yaitu menolak permohonan paspor dan surat
resmi dari pemerintah bagi mereka yang lalai ikut pemilu tanpa alasan. Bolivia,
meskipun tidak tegas dalam penegakan sanksi, dalam UU-nya mengatur bahwa
mereka yang tidak ikut pemilu akan dipotong gajinya selama tiga bulan.

Beda Cara Memilih


Di seluruh dunia terdapat banyak sekali perbedaan
dalam memberikan suara pada pemilu. Di AS, beda
wilayah bahkan beda cara memilih. Satu hal yang
sama umumnya sama adalah kerahasiaan. Berikut ini
beberapa perbedaannya:

•    Kebanyakan negara menggunakan tinta yang sulit


dihapus bagi pemilih yang sudah selesai memberikan
suara. Negara-negara yang menerapkan ini, antara lain,
Afghanistan, Iraq, India, Mesir, Zimbabwe, Peru.  Ada
total 40 negara yang menggunakan tinta, dan di
kawasan Asia Tenggara hanya Indonesia, Malaysia, dan
Filipina yang menerapkan.

•    Kertas suara umum digunakan di semua negara, tapi


tak semua menggunakan tulisan. Di beberapa negara
yang tingkat melek hurufnya rendah, calon presiden,
calon wakil rakyat, dan partai, diwakili dengan foto,
lambang, dan warna.

•    Ada juga yang tidak menggunakan kertas suara, seperti di Gambia. Di negeri ini,
pemilih memasukkan gundu ke gentong pilihan. Sementara di negara lain, pemilih
memberikan cap jempol di sisi lambang partai atau kandidat pilihannya. Di beberapa
negara, memilih bisa dilakukan di rumah dan pilihan dikirim lewat pos.

•    Di beberapa negara, seperti, Yaman, Chile, dan Puerto Rico, bilik suara masih
dibedakan atas bilik suara pria dan wanita. Di Bolivia, malam sebelum pemilu dan di
hari pemilu, pemilih dilarang keras
mengonsumsi alkohol.

•    Di hampir seluruh negara, pemilu digelar di


hari libur atau hari yang diliburkan. Hanya di AS pemilu digelar di hari kerja. AS juga
termasuk unik karena beda wilayah beda cara memilih (mekanik, kertas suara, atau
komputer), tergantung KPU setempat.

•    Yang juga unik adalah di Republik Irlandia. Di sini pemilih boleh memilih tiga
kandidat namun diurutkan berdasarkan mana yang paling dikehendaki.

•    Dewasa ini e-voting atau memilih secara virtual sudah umum dilakukan di
banyak negara, seperti, India, Estonia, Swiss, Spanyol, Brasil, Australia, dan banyak
lainnya. Saat ini ada empat macam mesin pilih yang diganakan dalam pemilu, yaitu
Direct Recording Electronic (DRE)  di Brasil, open-source software di Australia,
internet voting di Estonia yang menggunakan digital IDCard, dan crypto-voting di
Spanyol.

Anda mungkin juga menyukai