Buktinya, setiap negara berbeda dalam praktik demokrasi dan pemilu. Bahkan, tak
ada ukuran pasti apakah sebuah pemilu sudah bisa dikatakan berjalan demokratis
atau belum.
Memasuki pesta demokrasi 2014, kami mencoba memaparkan berbagai perbedaan
dalam penerapan sistem demokrasi dan pemilu di berbagai negara, namun tidak
membahas pada keseluruhan sistem. Kami lebih menitikberatkan pada hal-hal
sederhana namun mendasar, seperti usia pemilih, cara memilih, dan tentu saja
memilih itu hak atau kewajiban?
Batasan usia pemilih yang paling banyak dianut saat ini adalah 18 tahun. Misalnya,
di Australia, Amerika Serikat (AS), Jerman, Inggris, Bolivia, Perancis, China, dan
sebagian besar negara lainnya. Sementara di Austria, Brazil, Malta, Kuba, dan
Nikaragua, penduduk yang berusia 16 tahun dianggap sudah dewasa dan bisa
mendaftarkan diri sebagai pemilih.
Di Inggris dan Amerika Serikat pun, sejak lama berbagai kalangan sudah berjuang
untuk menurunkan usia pemilih namun belum berhasil sepenuhnya. Di AS,
misalnya, baru 19 negara bagian yang membolehkan usia 17 tahun untuk memilih.
Tahun lalu, kota Takoma Park, Maryland, menjadi yang pertama menurunkan usia
pemilih menjadi 16 tahun, meskipun untuk pemilu tingkat kota. Begitu juga di
Jerman, khusus untuk negara bagian Bremen, usia pemilih 16 tahun. Bahkan salah
satu partai mengusulkan usia 14 tahun untuk pemilu kota.
Negara yang masih memberlakukan batasan usia 21 tahun untuk memilih, antara
lain, Kamerun, Kuwait, Malaysia, Libanon, Oman, Samoa, Singapura, dan
Kepulauan Solomon. Sementara di Iran sebelum tahun 2007, batasan usia pemilih
masih 15 tahun sebelum menjadi 18 tahun. Dua tahuyn kemudian (2009) kembali
diturunkan menjadi 15 tahun tapi naik lagi menjadi 18 tahunn pada 2011.
Batasan usia pemilih pun tidak sepenuhnya ketat, karena ada beberapa
perkecualian. Indonesia misalnya, batasan usia pemilih 17 tahun atau sudah
menikah (berapa pun usianya). Begitu juga di Republik Dominika, batasan usia
pemilih 18 tahun atau sudah menikah, tak peduli usia berapa. Di Korea Utara mirip
dengan Indonesia di mana usia 17 tahun atau sudah menikah sudah memiliki hak
pilih. Bedanya, di Korea Utara anggota militer boleh, bahkan harus pilih.
Di beberapa negara, anggota militer dan polisi tak memiliki hak pilih. Negara-negara
yang menerapkan aturan ini, antara lain, Indonesia dan Republik Dominika. Di
Guatemala, anggota militer aktif bahkan dilarang keluar barak pada hari pemilihan.
Anggota militer dan polisi juga tak punya hak pilih di Kuwait dan Oman. Begitu juga
pernah diberlakukan di Peru sebelum 2005.
Negara-negara lain yang pernah mengatur masalah serupa, antara lain, Angola,
Argentina, Brazil, Chad, Kolombia, Ekuador, Honduras, Paraguay, Senegal, Tunisia,
Turki, Uruguay, dan Perancis sebelum 1945.
Pada 2015 nanti, ada secercah harapan bagi wanita Saudi Arabia, karena wanita
sudah boleh memilih meskipun masih dibatasi pada tingkat pemilu kota. Sementara
pemilihan Paus di Vatikan dilakukan oleh kardinal yang memang hanya pria.
Di luar usia, gender, dan profesi, sesungguhnya masih banyak batasan bagi
seseorang untuk memilih. Sejarah menunjukkan bahwa bahkan negara yang
mengklaim dirinya kampiun demokrasi seperti AS (wilayah barat), Inggris, dan
Swedia, pernah melarang wanita ikut pemilu pada 1860-an. Di Republik Maladewa
sebelum 2011, bahkan hanya penduduk muslim yang berhak memilih.
Dewasa ini, persyaratan seseorang warga negara untuk ikut memilih (atau dipilih)
masih tergolong ketat dan berbeda-beda di berbagai negara. Umumnya, mereka
yang menjalani atau pernah menjalani hukuman akan kehilangan hak pilih atau
dipilih.
Di beberapa negara bagian AS, napi dan mantan napi kelas berat tak punya hak
pilih. Di Kanada sebelum 2002, hanya napi dan mantan napi yang menjalani
hukuman di bawah 2 tahun yang boleh ikut memilih. Namun sejak 2004 semua napi
dan mantan napi sudah boleh memilih.
Ada pula syarat ketat berupa tempat kelahiran. Di Nikaragua, Peru, dan Filipina,
misalnya, hanya warga negara asli, dalam pengertian lahir di negara mereka, yang
boleh dipilih sebagai wakil rakyat. Sementara warga negara naturalisasi hanya
berhak memilih.
Memilih sebagai kewajiban disebut juga dengan compulsory voting atau compulsory
suffrage. Dalam sistem ini, mereka yang tidak menggunakan suaranya bisa didenda
atau dikenakan kerja sosial. Negara bagian Georgia di AS pernah memberlakukan
compulsory voting pada 1777. Austria, Belanda, Spanyol, Venezuela, dan Chile juga
pernah menerapkan ini.
Negara lain yang mengatur kewajiban memilih dalam UU, masing-masing, Republik
Demokratik Kongo, Luxembourg, Nauru, Peru, dan Uruguay.
Sementara itu, ada 12 negara lain yang mewajibkan ikut pemilu dalam UU namun
tidak tegas dalam penerapannya. Belgia, misalnya, mewajibkan warga berusia 18
tahun ke atas untuk ikut pemilu, bahkan ada sanksi hukum, namun faktanya belum
pernah ada hukuman yang diberlakukan sejak 2003.
• Ada juga yang tidak menggunakan kertas suara, seperti di Gambia. Di negeri ini,
pemilih memasukkan gundu ke gentong pilihan. Sementara di negara lain, pemilih
memberikan cap jempol di sisi lambang partai atau kandidat pilihannya. Di beberapa
negara, memilih bisa dilakukan di rumah dan pilihan dikirim lewat pos.
• Di beberapa negara, seperti, Yaman, Chile, dan Puerto Rico, bilik suara masih
dibedakan atas bilik suara pria dan wanita. Di Bolivia, malam sebelum pemilu dan di
hari pemilu, pemilih dilarang keras
mengonsumsi alkohol.
• Yang juga unik adalah di Republik Irlandia. Di sini pemilih boleh memilih tiga
kandidat namun diurutkan berdasarkan mana yang paling dikehendaki.
• Dewasa ini e-voting atau memilih secara virtual sudah umum dilakukan di
banyak negara, seperti, India, Estonia, Swiss, Spanyol, Brasil, Australia, dan banyak
lainnya. Saat ini ada empat macam mesin pilih yang diganakan dalam pemilu, yaitu
Direct Recording Electronic (DRE) di Brasil, open-source software di Australia,
internet voting di Estonia yang menggunakan digital IDCard, dan crypto-voting di
Spanyol.